Minggu, 28 Maret 2010

Menulis Profil dengan Gaya Berkisah

Profil termasuk ragam tulisan nonfiksi yang paling digemari. Hal ini sesuai dengan rumusan bahwa “People want to know (read) about people” (pada galibnya, orang suka mengetahui (membaca) ihwal orang lain.”

Lain media, lain pula nama untuk ragam tulisan bernama profil ini. Dilihat dari gaya publikasinya (publication style), ada yang isinya panjang, ada pula yang singkat. Nama rubriknya pun bermacam-macam, yakni

- Pokok dan Tokoh
- Nama dan Peristiwa
- Tamu Kita
- Siapa & Mengapa
- Sosok & Pemikiran
- Tokoh Kita
- Sosok
- Eksponen
- Profil
- Nama dan Warna

Panjang pendeknya naskah profil, bergantung pada kebijakan media masing-masing. Ada yang muncul setiap terbitan (biasanya singkat disertai foto) dan ada yang cukup panjang (kerap muncul dalam edisi Minggu).

Apa pun nama, tidak peduli panjang-pendeknya, yang pasti untuk menulis profil diperlukan proses dan langkah-langkah. Proses kreatifnya sama dengan ragam tulisan yang lain, yakni melalui penemuan ide (inventing), mengumpulkan data dan informasi (collecting), mengorganisasikan atau mengurutkan data dan informasi (organizing), mulai menulis naskah kasarnya (drafting), merevisinya (revising), dan memeriksa serta mengoreksi cetak-coba (proof reading).

Adakah kriteria untuk menentukan tokoh untuk diprofilkan? Tentu saja, ada. Kriteria yang berlaku umum untuk itu ialah dengan
- Memilih tokoh yang memiliki nilai berita (R. Masri Sareb Putra, 2005: 33)
- Memilih tokoh yang dikenal atau dekat dengan khalayak

Marilisa Sachteleben dalam artikelnya “How To Write a Personal Profile” membuat rambu-rambu agar dihasilkan tulisan profil yang berhasil sebagai berikut.

- Pertimbangkan kata sifat. Cek kamus jika harus menggunakannya sehingga Anda dapat memilih sepatah kata untuk menyatakan dengan jelas apa yang Anda inginkan untuk berbagi (misalnya, kata optimis versus ceria, pragmatis versus turun-ke-bumi).
- Pilih istilah spesifik. Misalnya, “Astrid pemain basket” memberikan informasi lebih banyak pada pembaca daripada “Astrid menyukai olah raga”; “mesin dan rem diperbaiki” lebih menarik daripada “cenderung mekanis”.
- Beri contoh bukan generalisasi. Misalnya, “Sutradara drama Hamlet di perguruan tinggi” jauh lebih menarik daripada “aktif di bengkel teater. "
- Gunakan kata-kata yang berdaya pikat. Biasanya, hal ini mengacu pada verba, tetapi berhati-hati dalam hal pilihan kata dalam penggunaan langsung, kata-kata punchy tidak malas, miskin frasa, misalnya, “desain” versus “membuat”, “kolaboratif” vs “dapat bekerja dengan baik dengan orang lain.”
- Rumuskan atau tuliskan dalam kalimat pendek. Katakanlah apa yang Anda maksudkan. Jangan menutup-nutupi, bertele-tele, bimbang, mengulangi, ngelantur, mengkhotbahi, atau terus-menerus menjelaskan.
- Format garis besar lebih mudah dibaca daripada format narasi. Daftar snapshot kadang memberikan pandangan tentang kehidupan seseorang.
- Angkat berbagi hal-hal positif, namun tidak berlebihan. Setiap orang punya masalah, tapi tidak ada yang sudi membaca ihwal yang serba negatif.
- Bersikaplah jujur, jangan bohong atau melebih-lebihkan.
- Mengisahkan tentang si profil. Jelas, tidak menyombongkan, tetapi juga tidak ada manfaatnya mencaci-maki atau mengkritik yang bersangkutan. Itu membuat orang merasa tidak nyaman dan menjengkelkan. Hindari menulis, "Ia gadis gemuk, tidak cantik, dan dungu...” ini akan membuat orang pergi meninggalkan tulisan Anda.
- Jangan menggunakan profil sebagai tempat untuk berkhotbah. Rubrik profil bukanlah tempatnya.
- Jangan mengiklankan atau menggunakan profil untuk menjual atau mempromosikan. Profil pribadi seseorang, jika Anda wartawan tetap suatu media, tidak boleh digunakan untuk menjadi mesin uang. Misalnya, menjanjikan akan dimuat dengan syarat yang bersangkutan memberikan imbalan.

Adakah ukuran untuk menentukan bagaimana tulisan profil yang berhasil? Memang ada. Yang pasti, tulisan profil dikatakan berhasil manakala tulisan itu dibaca habis. Akan lebih baik, apabila selain dibaca habis, tulisan profil juga meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca. Pembaca memetik hikmah, terinspirasi, termotivasi, dan berempati dengan sang tokoh. Inilah ukuran keberhasilan tulisan profil!

Pendeskripsian yang kuat dan ketajaman memperhatikan detail harus dilakukan. Penulis tidak cukup hanya melakukan wawancara, tetapi juga mendalaminya dengan pengamatan, memperkaya data dan informasi dengan berbagai sumber.

Dengan kata lain, untuk menghasilkan tulisan profil yang berhasil, seseorang harus mencelikkan mata dan membuka hati. Baru menuangkannya dalam tulisan. Tulisan baru akan memantulkan power atau greget ke luar manakala dihayati dengan sungguh. Sebaliknya, setenar dan sehebat apa pun sang tokoh, apabila penulis profil kurang menghayati dan mendalaminya, tulisan akan hambar dan pembaca tidak akan menemukan apa-apa usai membaca tulisan itu.

Untuk itu, penulis profil perlu mengetahui bidang-bidang yang menarik yang dapat dijadikan pelatuk dalam mendeskripsikan seseorang. Sebagaimana diketahui bahwa desksipsi berasal dari kata Latin describere yang berarti: menggores, menggambarkan, menarik, menulis. Apabila dikaitkan dengan orang atau profil maka mendeskripsikan seseorang berarti menggambarkan orang tersebut melalui kata-kata secara jelas dan terperinci.

Meski demikian, haruslah diingat bahwa manusia adalah makhluk multidimensional. Karena itu, tidak mungkin membuat gambaran tentang manusia secara lengkap dan terperinci hingga sedetail-detailnya.

Salah satu kompleksitas manusia ialah struktur anatominya yang tidak mudah untuk dianalisis atau struktur tubuhnya yang sukar untuk digambarkan. Apa lagi manusia adalah makhluk yang unik dibanding makhluk lain, yakni berakal budi dan berjiwa. Selain ada aspek badaniah yang kasat mata, ada pula aspek rohaniah yang tidak kasat mata sehingga tidak mudah untuk mendeskripsikan orang.

Adakah kiat bagaimana mendeskripsikan orang, agar tulisan bukan hanya benar berdasarkan fakta dan informasi, tetapi juga menarik? Memang ada! Berikut ini beberapa tips dan contoh bagaimana mendeskripsikan orang .

Bidang fisik
Bidang fisik tentu aspek yang paling mudah untuk mulai mendeskripsikan seseorang. Tujuan deksripsi aspek ini ialah memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai keadaan fisik seseorang sehingga pembaca memperoleh gambaran mengenai tokoh yang bersangkutan. Dengan mendeskripsikan fisik, pembaca mengenal kembali tokoh tersebut andaikata berjumpa dengannya pada suatu kesempatan.

Misalnya, Winnie dilukiskan sebagai seorang bertubuh semampai, kulit kuning langsat, bermata tajam bulat, berhidung mancung, memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri, rambut lurus tebal pekat, mengenakan celana blue jeans, dipadu T-Shirt keluaran terbaru, dan seterusnya. Deskripsi seperti ini lebih bersifat subjektif karena memang demikianlah adanya keadaan fisik Winnie. Penulis tidak memberikan penafsiran atas unsur-unsur deskripsinya. Metafora atau bahasa kiasan dapat dipakai untuk melukiskannya, termasuk unsur-unsur perbandingan dapat digunakan untuk menajamkan deskripsi.

Contoh deskripsi bidang fisik:

Pintu ruang 316 terkuak. Terdengar dari belakang derai tawa disertai dehem orang.
“Itu Winnie datang,” seru Diane.
Winnie muncul sekarang di depan kelas. “Hai, teman-teman semua. Apa kabar?”
Winnie yang telah lama tak masuk kuliah segera membuat sukacita. Ia bertubuh jangkung. Berkulit kuning langsat. Hidungnya yang mancung tampak kemerahan karena berkali-kali ia pencet. Seakan menahan perasaan. Tapi raut mukanya tampak segar, habis mandi rupanya. Ia mengenakan celana blue jeans, tubuhnya yang halus mulus dibalut kemeja T-Shirt keluaran terbaru. Sementara sepatunya masih tetap sama seperti dulu. Ia menyukai warna putih-biru.


Dalam contoh tampak beberapa deskripsi tambahan, namun tidak mengurangi penggambaran fisik tokoh yang dilukiskan dengan jelas: Winnie bertubuh jangkung, hidungnya mancung, kulitnya halus mulus dengan bola mata bulat yang menyorot tajam.
Deskripsi mengenai unsur-unsur fisik itu coba dikaitkan dengan ungkapan apa yang dikerjakan sehingga lukisan mengenai tokoh terasa lebih hidup dan segar.

Bidang milik
Bidang kedua yang dapat dijadikan pelatuk untuk mendeskripsikan seseorang ialah dengan mengangkat segala sesuatu yang dilingkupi atau dimiliki seseorang. Misalnya, pakaian, sepatu, rumah, kendaraan, maupun aksesorinya. Berikut ini contoh deskripsi seseorang yang mengangkat bidang aksesorinya.

Ada berbagai aksesori yang biasa dipakai seorang artis. Namun aksesori yang digemari Julia Perez tergolong unik. Dia suka sekali melukis tato di bagian tubuhnya yang sensual. "Tato itu aksesori yang membuatku merasa seksi dan kuat," ujar perempuan 29 tahun ini. Sekarang dua rajah tertera di tengkuk dan perut bawah sebelah kirinya.

Dua tato itu dibuat bersama kekasih-nya, Gaston Castano, pemain sepak bola asal Argentina. Rajah di tengkuk bertulisan India kuno, dibuat di Kemang, Jakarta Selatan. Tato di perut bawah berupa gambar kalajeng-king tiga dimensi berwarna cokelat tua, dibuat di Bandung. "Kalajengking itu artinya aku bisa baik, tapi juga bisa berbahaya," dia menjelaskan.

Belum puas, Jupe ingin menambah satu rajah lagi di tepi kanan tubuhnya, dekat payudara. Soalnya, dia ingin terlihat seksi bila difoto dari samping- kanan. "Tato ketiga ini soal falsafah hidup," katanya. Lalu apa arti rajah bertulisan India kuno? "Itu sebuah nama rahasia. Orang yang sangat berarti dalam hidupku."
Sumber: TempoOnline, 08 Maret 2010



Bidang tindakan
Bidang ketiga yang dapat dijadikan objek untuk mendeskripsikan seseorang ialah dengan mengangkat tindak tanduk atau perbuatan yang dilakukan sang tokoh.

Seorang penulis dapat mengikuti dengan saksama kemudian menuliskan dengan menarik tindak tanduk, perbuatan, dan gerak gerik sang tokoh dari suatu tempat ke tempat lain dan dari dari suatu kesempatan ke kesempatan lain. Sesuatu yang khas atau hal yang unik dapat diangkat. Anekdot atau cerita-cerita langka tentang sang tokoh dapat pula menjadi pemicu yang menarik untuk menggarap deskripsi bidang ini.

Camkan bahwa deskripsi mengenai tindakan ini bukanlah eksposisi secara umum, namun khusus mengenai sang tokoh. “Marwan meninju Daud,” bukanlah contoh kalimat deskriptif yang baik. Mengapa? Sebab kalimat ini merupakan kalimat pernyataan biasa, tanpa coba menunjukkan sifat-sifat deksriptif yang dimaksudkan.

Contoh deskripsi bidang tindakan.

Tak lama selang pulang dari studi di Jerman, Susanto ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang bekerja di pusat pertambangan berlian. Di sana mata hatinya tercelik. Bahwa proses menambang berlian tidak sesederhana sebagaimana yang dikira.


Ketika usianya belum lagi menapak angka 30, Susanto bertekad ke Martapura. Kisah mengenai kejayaan pertambangan berlian di Martapura, Kalimantan Selatan, telah lama ia dengar. Susanto ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri.

Maka, suatu hari, di tengah-tengah kesibukan. Ia menyempatkan diri datang ke pusat pertambangan dan pendulangan berlian yang terletak di wilayah Kalimantan Selatan itu. Dengan mata kepala sendiri, Susanto menyaksikan bagaimana berlian digali dari perut bumi pertiwi. Lokasi penambangan sebenarnya terletak di Kampung Cempaka Putih, sekitar 5 km dari Martapura. Kita memang belum punya kota pemotongan berlian seperti Antwerp.

Saat ini, hanya di Martapuralah berlian tanah Banjar ini dapat dipotong (cut).
Seperti diketahui, pusat pemotongan berlian dunia terdapat di Antwerp, Amsterdam, Johannesburg, New York, dan Tel Aviv. Baru-baru ini, dibuka di China, India, Thailand, Namibia dan Botswana. Bahkan, pusat pemotongan berlian termurah terdapat di Surat in Gujarat, India. Setelah diproses dan dipotong jadi benda berharga dan bernilai intrinsik, berlian siap dipasarkan di pasar Martapura.
Sumber: Biografi Profesional DR. A.B. Susanto, 2009: 129.



Bidang perasaan
Bidang perasaan juga dapat menjadi pelatuk bagi penulis untuk mulai mendeskripsikan seseorang. Tidak harus langsung, perasaan dapat digambarkan dengan metafora dan perbandingan. Suasana hati gembira, perasaan bahagia, dan jiwa yang membara dapat dilukiskan dengan suasana sebagai berikut.


Ruang dipan itu bernuansa interior modern. Tiga anggota keluarga sedang bercengkerama. Rona ceria terpancar pada wajah-wajah mereka. Sorot mata ayah, ibu, dan dara tengah terpanah pada sebuah noktah: perhiasan bertahtakan berlian.

Ini momentum penting. Mugkin ulang tahun. Perhiasan bertahta berlian itu siap dikalungkan pada leher sang dara. Ibu yang mengenakannya. Ayah mengamati, sembari menyungging senyuman. Sementara sang dara tiada putus-putusnya menebar tawa.

Sumber: Biografi Profesional DR. A.B. Susanto, 2009: 113.



Bidang watak
Bidang ini paling sukar dijadikan pijakan manakala mendeskripsikan seseorang. Mengapa? Karena watak sering abstrak, perlu pengamatan dan juga penafsiran. Namun, bukan berarti tidak dapat mendeskripsikan watak seseorang. Sesuatu yang dilakukan terus-menerus membentuk kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus menjadi watak.

Di mana pun, selalu ada orang sulit, egoisme, dan mencari perhatian. Seorang snobisme yang selalu mencari perkara. Orang macam begini biasanya bagian dari persoalan, bukan bagian dari pemecah persoalan. Ia cenderung membesarkan masalah yang kecil, berpandangan pesimistis, dan selalu menyalahkan orang lain, lingkungan, dan keadaan apabila mengalami kegagalan.
Contoh deskripsi bidang watak.

Hamidah, sebut saja begitu gadis yang nama lengkapnya panjang sekali itu: Hamidah Muliasari Harum Setandan Wangi. Namanya yang panjang sesuai dengan kerumitan pribadinya.

Seperti yang dilakukannya hari ini. Di kost, janji pada Sari meminjam mobil hanya sejam untuk ke salon. Tak tahunya, Hamidah ke mal. Pulang dari mal, karena tidak mengecek bensin, di jalan mobil pinjaman itu mogok. Bukannya memberi tahu Sari, Hamidah malah meninggalkan mobil teman kostnya itu di jalan.

Akibat perbuatan Hamidah, Sari terlambat kuliah. Pukul 08.20 ia baru sampai depan kelas. Toleransi keterlambatan lima belas menit sudah tidak berlaku lagi baginya. Karena tidak diperkenankan masuk, Sari nunggu kuliah berikutnya di kantin.
“Kukira aku yang paling telat. Kamu lebih terlambat lagi dariku,” kata Sari pada Hamidah.

“Nih, kuncinya,” lempar Hamidah pada Sari. Bukannya terima kasih, Hamidah malah menjelek-jelekkan mobil temannya. “Dasar gerobak tua!”


Profil, dalam bentuk singkatnya adalah "Pokok dan Tokoh". Bentuk panjangnya biografi. Ragam tulisan ini sangat menjanjikan. Mengapa Anda tidak coba mulai?

Cuplikan dari Bab 5 buku Principles of Creative Writing "Teknik Menulis Profil", yang dalam proses penerbitan oleh PT Indeks.

Jumat, 26 Maret 2010

Es Tu Brutu?

Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.
There is nothing new under the sun.
Nihil novi sub sole!


Begitu biasa kita mendengar pepatah yang dilontarkankan kaum cerdik cendikia, ketika mengomentari sesuatu. Biasanya, tentang sebuah penemuan baru. Entah penemuan di bidang ilmu, teknologi, maupun dalam pemikiran.

Segala misteri dan rahasia semesta pasti tersingkap satu demi satu. Merupakan tugas ilmu untuk menguak semua misteri semesta yang tersembunyi. Dan rahasia semesta, lambat laun, akan terkuak satu demi satu.

Pada zaman kuda menggigit besi misalnya, kita hanya tahu bahwa bulan hanyalah sebuah bola bulat sebesar basket yang bernaung di atas langit. Indah terlihat dari bumi. Itulah sebabnya, ada kiasan “Indah bagai rembulan”. Padahal, permukaan bulan itu buruk dan kasar. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di bulan tahun 1969, Neil Armstrong melihat permukaan bulan sangat jelek. Tidak rata. Penuh bebatuan tajam-tajam. Ternyata, bulan tidak seindah sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya.

Karena itu, ilmu terus-menerus berkembang. Namun, antara penemuan yang satu dengan yang lain hampir selalu serupa prosesnya. Mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis. Semula, orang meyakini matahari mengelingi bumi (tesis). Muncul Galileo Galilei yang mengatakan sebaliknya: bukan, justru bumilah yang berputar (antitesis). Dan masih bisa diajukan contoh penemuan lain. Semuanya melalui proses itu.
***
Psikologi juga demikian. Dulu, psikologi masih jadi satu dengan filsafat, dengan tokohnya Aristoteles, Rene Descartes, dan John Locke. Ketika keduanya masih menyatu, orang agak sulit memisahkan antara sesuatu yang abstrak dengan hal yang konkret. Antara ihwal yang idea dan barang yang nyata. Antara ada dan tiada. Dan antara pengalaman dan apa yang dirasakan. Titik pijak psikologi sebagai ilmu yang otonom dimulai pada 1879, ketika Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, Jerman.

Kemudian hari, terjadi revolusi di bidang ilmu. Terjadi division of works di antara para ilmuwan. Terjadi spesifikasi dan orang lalu masuk ke hal yang detail dan fokus. Maka psikologi pun menjadi ilmu yang otonom. Kini menjadi fakultas sendiri di perguruan tinggi. Dan memaklumkan terdapat sembilan cabang ilmu psikologi kontemporer (menurut Wortman, Loftus, dan Weafer). Dan salah dua di antaranya ialah psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan.

Ke dalam cabang kedua ilmu itulah soal need, perkara jasmani, dan ihwal kebutuhan dasar manusia diselidiki. Abraham Harold Maslow adalah tokoh yang tak bisa diabaikan dalam penyelidikan need. Ialah yang meletakkan fondasi bagi peneleitian tentang need, dengan teori strata kebutuhan (Teori Maslow).

Kemudian hari, muncul teori lain. David McClleland misalnya, memerasnya menjadi hanya tiga kebutuhan dasar manusia. Teori McCCleland dikenal dengan “The needs theory”.

Menurut McClleland, pada hakikatnya setiap insan bernama manusia memiliki tiga kebutuhan:
(1) berprestasi,
(2) berkuasa, dan
(3) berafiliasi.

Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement –N-Ach), ialah keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Kebutuhan untuk berkuasa (need for power), ialah kebutuhan untuk lebih kuat, lebih berpengaruh terhadap orang lain.

Dan kebutuhan afiliasi (need for affiliation), yaitu kebutuhan manusia untuk disukai, mengembangkan atau memelihara persahabatan dengan orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu menemui tipe manusia yang merepresentasikan ketiga kebtuhan itu. Di kantor, ada orang yang gila kerja (workaholic). Siang malam, tak ada hentinya. Yang ada dalam otaknya hanyalah bekerja dan bekerja. Istri atau anak menjadi nomor sekian. Nomor satu ialah kerja. Ia gila prestasi. Dan menjadi puas kalau mencapai puncak.

Atau seorang atlet yang giat berlatih, sampai menjadi juara. Juga seorang siswa dan mahasiswa yang belajar terus-menerus. Apa yang mereka cari? Mereka ingin berprestasi. Jika prestasi sudah dicapai, puas. Selesai. Kebutuhan sudah terpenuhi. Hidup terasa sudah penuh.

Lalu ada juga orang yang gila kuasa. Di rumah, si suami ingin menguasai isterinya. Sang istri juga balik ingin menguasai sang suami. Di kantor, kita juga menemui atasan yang sok kuasa. Main kayu. Tega melakukan apa saja, agar tampak bahwa ia memiliki power.

Dunia politik lebih lagi di dalam pamer kuasa, dalam power show. Rebut kekuasaan, adu pengaruh, saling menjegal merupakan manifestasi dari kebutuhan untuk berkuasa. Di lingkungan keagamaan pun ada saling rebut dan nyari kuasa. Padahal, kita sudah diingatkan bahwa “Kamu tidak mempunyai kuasa apa pun, kecuali kuasa itu diberikan dari atas!”

Kebutuhan untuk afiliasi juga sering kita temukan. Saya mengenal sebuah keluarga kaya. Harta benda mereka berlimpah. Apa saja mereka miliki. Namun, tetap saja merasa kurang. Mereka membutuhkan orang lain. Butuh afiliasi dan pengakuan. Perlu diketahui dan diakui bahwa mereka berada. Dan merasa puas jika orang lain mengakui.

Ketiga kebutuhan yang disebut, hampir selalu ada dalam diri manusia, walau dalam intensitas yang berbeda. Orang dapat saja didorong secara kuat oleh kebutuhan untuk berpestasi, sedangkan orang lain duperbudak nafsu untuk untuk berkuasa. Sementara orang lain lagi membutuhkan afiliasi.

Dan memiliki tiga kebutuhan itu sah-sah saja, sejauh mendatangkan buah bernama kebaikan. Tiap-tiap kebutuhan menjadi sumber yang sangat dahsyat dan penting, andai saja disalurkan demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Namun, akan menjadi daya yang negatif, apabila tiga kebutuhan tadi memperkuda. Malah jadi petaka, jika mencelakakan manusia lain.
***
Sejatinya, temuan McClleland populer di bidang psikologi sosial. Terutama, dan teristimewa, temuannya sering digunakan untuk menakar sejauh mana bacaan dan cerita rakyat (folk tales) berpengaruh pada (dan mempengaruhi) perilaku masyarakat.
Untuk sampai pada kesimpulannya, McClleland harus mengalami jatuh bangun. Ia meneliti pengaruh budaya pada Eropa Timur dan Eropa Barat. Tidak bersua jawaban, mengapa kedua benua –meski sama-sama Eropa—yang satu maju dan yang lainnya terbelakang? Diteliti banyak aspek. Disorot berbagai dimensi. Tidak ketemu juga penyebabnya.

Akhirnya, McClleland mengumpulkan folk tales dari kedua belah benua. Di sana ia baru menemukan jawaban: cerita rakyat Eropa Barat positif, mengandung nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih, sikap pantang menyerah pada nasib, dan penuh dengan optimisme. Nilai-nilai yang bertolak belakang dengan cerita rakyat Eropa Timur. Kandungan cerita rakyat Eropa Barat itu lalu disarikan McClleland dalam satu kata: N-Ach (mengandung need for achievement).

Kalau Eropa Barat maju dan masyarakat umumnya berperadaban tinggi, itu karena cerita rakyat mereka yang mengondisikan demikian. Ada cerita mengenai kodok yang tak pernah menyerah pada nasib, terus-menerus berusaha melompat keluar dari keterperosokan. Ada pula kisah mengenai pangeran tampan dan baik hati. Atau dongeng mengenai sebuah keluarga yang hidup rukun dan damai, di sebuah rumah kecil di sebuah lembah. (Tahun1970-an kisah ini difilmkan di bawah judul “Little House on the Prairie”).

Pantas saja Eropa Barat maju. Sudah maju, berbudaya tinggi lagi. Meski tempat-tempat ibadah di Eropa Barat umumnya dimasuki oleh kaum tua, rata-rata mereka itu humanis. Termasuk anak mudanya yang memang jarang ke gereja, namun rajin berdoa.
Di Eropa Barat bahkan berdiri sebuah kelompok yang memaklumkan mereka pembela dan penyayang anjing. Anjing pun dicintai di sana, apalagi manusia.

Di negeri kita, harga manusia sering tidak lebih dari seekor anjing. Baru-baru ini ada kejadian di Jakarta, maling modar dihajar massa karena ketangkap basah mencuri burung beo. Kita tampaknya lebih sayang pada beo daripada manusia. Padahal, martabat burung beo tidak lebih tinggi daripada manusia. Burung beo justru bisa bicara karena meniru manusia! Padahal, bisa saja sang maling diusut, apa motivasinya mencuri beo? Jangan-jangan cuma didorong kebutuhan faal, lapar. Kebutuhan yang oleh Maslow masuk strata paling bawah: kebutuhan perut.

Jangankan dibanding Eropa Barat, dibanding Eropa Timur –yang menurut McClleland folk tales-nya kurang positif— kita kalah. Periksalah cerita rakyat kita. Ada Malin Kundang yang durhaka pada ibunya. Ada kancil yang nyolong ketimun. Ada kisah mengenai kancil yang mengakali buaya (menipu buaya, menyuruh mereka berbaris katanya untuk dihitung, padahal dalam hatinya dibikin jembatan hidup untuk dilompati punggungnya agar bisa menyeberang sungai).

Ada legenda mengenai anak yang membirahi ibunya (Sangkuriang). Ada cerita mengenai pembalasan yang sadis (kura-kura menyumpahi kera karena tidak mau membagi buah pisang). Ada pula cerita mengenai ibu yang tega pada anaknya ketika sang anak tidak mau mendengar nasihatnya, ibu ditangkup batu (Batu Balah). Dan sang ibu hilang.

Dan yang paling hebat justru sejarah bangsa kita sendiri. Dari zaman Majapahit, sejarah mengajari pada kita supaya para pelaku politik harus bisa tega menghabisi lawan politiknya. Lewat jalan apa pun. Dengan cara bagaimana pun. Dengan menghunus keris, lalu menikam dari belakang. Atau secara terang-terangan mengangkat senjata. Tak peduli, asalkan kebutuhan untuk berkuasa terpenuhi!

Imperium Romawi pernah mencatat sejarah terburuk. Suetonius Trangquillus, sekretaris kaisar Hadrianus yang menulis De Vita Caesarum (riwayat hidup para kaisar) mencatat, Iunius Brutus tega menikam perut Caesar dengan pedang.

Itu hanya gara-gara Brutus didorong oleh hawa nafsu ingin berkuasa. Ia mengambil jalan pintas dengan menghabisi Caesar. Dengan ujung pedang tajam terhunus, Caesar pun terkapar. Darah segar mengucur deras. Sambil mengerang kesakitan memegang bekas luka, Caesar masih sempat berkata, “Es tu Brutu?” (Kaukah juga Brutus yang ikut komplotan, bersekongkol dengan lawan yang selama ini hendak mengenyahkanku?)

Rasa sakit hati karena dikhianati pasti lebih perih daripada hunjaman sebilah pedang! Barangkali dari nama Brutus itu pula kata “brute” atau “brutal” berasal. Di kamus, kata itu berarti: orang yang kejam dan kasar, tingkah lakunya kebinatangan.
Brutus dan Ken Arok. Kancil yang nyolong ketimun dan koruptor.

Atau folk tales kita apalagi, yang bisa menyeret kita ke hal-hal yang negatif? Di balik itu semua, kita sering lupa folk tales yang mengandung pesan positif. Adakah cerita kita yang mengantar ke suatu pencapaian? Adakah dongeng kita yang dapat memacu untuk berprestasi? Atau, berapa banyakkah cerita rakyat kita yang mengusung persabahatan, cinta kasih, sikap memaafkan, dan saling menghargai?

Dalam berbagai kesempatan pelatihan menulis cerita. Saya selalu mengatakan, pada galibnya mengarang ceirta itu gampang. Ambil saja dongeng yang sudah ada. Lalu ganti ending (akhirnya). Gantilah akhir dongeng yang negatif menjadi positif. Yang durhaka menjadi mulia. Yang mengakali dengan yang iklas. Dan yang benci jadi cinta. Beres!
Masalahnya, kita sering tidak berani mengubah akhir cerita kita sendiri. Ini karena kita kerap terkungkung kuasa, dan juga, tirani. Kita ingin lepas bebas, tapi tak berdaya. Kita ingin melawan, tapi tak punya cukup kawan.

Akhirnya, kita hanya bisa menerima cerita yang sudah ada. Kisah yang dibikin orang lain untuk kita jalani. McClleland mengajarkan kita banyak hal. Barangkali ajarannya tidak semua bisa kita laksanakan. Tapi mengerjakan satu perkara saja, masa tidak bisa? Kalau kita guru, kita kondisikan anak-anak untuk berprestasi. Kalau kita atasan di kantor, kita jangan main kuasa. Jangan pernah merasa terancam oleh anak buah yang unjuk prestasi tinggi. Dan kalau Anda orang kaya, berbagilah dengan sesama yang tak punya.

Cara melakukan dan mengajarkan temuan McClleland bisa dengan apa saja. Bisa dengan kata-kata. Dapat dengan kalimat. Yang paling kena mungkin dengan suri teladan.

CREATIVE WRITING: The Origin and the Raising in Indonesia Nowadays

Catatan awal:
Ini merupakan bagian awal buku saya ke-54, Principles of Creative Writing sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi yang sedang disiapkan penerbitannya oleh PT Indeks.


Pengertian
Apakah yang dimaksudkan dengan Creative Writing?

Creative writing ditilik dari etimologi berasal dari kata creative dan writing. Creative berasal dari kata Latin creatio yang berarti ciptaan, makhluk, alam ciptaan (K. Prent, dkk. 1969: 202). Adapun writing berarti tulisan.

Jadi, CW ialah tulisan terstruktur yang sarat dengan ide-ide baru (inovatif) yang menghibur, berguna, dan mencerahkan (bdk. Horatius, pujangga Romawi kuna yang menyatakan bahwa karya sastra (ars scribendi) yang baik mengandung dua unsur sekaligus yakni dulce (indah) dan utile (berguna).

Creative dapat dimengerti sebagai:
- Menggerakkan, membangun, mencipta, dan menghasilkan "karya kreatif“ dan inovatif.
- Mempunyai kemampuan, atau daya, untuk mencipta suatu karya imaginatif (a creative imagination).
- Konsep, desain, dan artwork dalam dunia periklanan.

The Oxford English Dictionary Online (2006) menganjurkan agar creative writing dipahami sebagai tulisan yang mengandung dimensi imaginasi dan intelegensi sekaligus: “...imaginative; exhibiting imagination as well as intellect, and thus differentiated from the merely critical, ‘academic’, journalistic, professional, mechanical, etc., in literary or artistic production. So creative writing, such writing” (3b)

The Random House Dictionary of the English Language (1969)
menggunakan creative untuk mengilustrasikan,”resulting from originality of thought, expression, etc..: creative writing.” “Imagination” receives this treatment: “ability to meet and resolve difficulties; resourcefulness (6)”.

Definisi tadi lantas diadopsi dunia akademik yang mengacu pada pengembangan thinking skills (keterampilan berpikir), melalui kegiatan creative writing.
Dalam sebuah tulisan kreatif, dapat direkonstruksi pemikiran penulisnya: alur, logika, validitas, kesahihan, kebenaran, maupun sudut pandangnya.
Karena itu, keterampilan menulis tidak dapat dipisahkan dari keterampilan berpikir.

Ruang Lingkup
Terdapat dua besar genre CW yang membedakannya dengan genre tulisan umum lain.Creative writing dapat dibagi menjadi dua bagian besar:
- creative fiction dan
- creative nonfiction.

Keduanya memiliki kesamaan, sekaligus perbedaan. Meski beragam, yang sama ialah keduanya bertumpu pada isi (content) yang hendak disampaikan dan cara penyampaian (tools) termasuk bahasa, EYD, dan teknik bercerita (story telling).
Dalam arti ini, menulis kreatif yang lebih kontemporer dan berorientasi pada komoditas yang secara tradisional disebut sebagai sastra mencakup berbagai genre tulisan. Praktik "menulis profesional" termasuk dalam penulisan kreatif dan seseorang dapat melakukan keduanya secara bersamaan.

Wikipedia
Sebelum menjelaskan CW, Wikipedia antara lain memberikan ilustrasi sebagai berikut, “In her work, Foundations of Creativity, Mary Lee Marksberry references Paul Witty and Lou LaBrant’s Teaching the People's Language to define creative writing. Marksberry notes: Witty and LaBrant…[say creative writing] is a composition of any type of writing at any time primarily in the service of such needs as:
1) the need for keeping records of significant experience,
2) the need for sharing experience with an interested group, and
3) the need for free individual expression which contributes to mental and physical health. (Marksberry, Mary Lee. Foundation of Creativity. Harper's Series on Teaching. (New York; London: Harper & Row, 1963), 39).

Ragam CW Nonfiksi
Tradisi pengajaran di perguruan tinggi di Inggris dalam kurikulumnya membagi CW dalam dua genre besar, yakni nonfiksi dan fiksi.
Adapun genre CW nonfiksi sebagai berikut.
- Article/opinion/essay (artikel/opini/esai)
- Travel essays (esai perjalanan)
- Book writing (buku)
- Column /personal essay (kolom/esai personal)
- Profiles (profil)
- Culture criticism (kritik budaya)
- Memoirs (memoir)
- Book/film/music review
- Ad-writing/copy writing
- Newsletter/leaflet/folder/flier/ booklet

Adapun genre CW fiksi sebagai berikut,
- Short story writing (cerita pendek)
- Novella writing (novella)
- Novel writing (novel)
- Comic writing (cerita komik)
- Drama writing (drama)
- Poetry writing (puisi)
- Scenario writing (skenario)
- Screen writing (stage/comic)
- Song writing (syair lagu)

Ruang lingkup dan ragam tulisan kreatif dapat saja diperluas lagi, asalkan tetap berada dalam jalur sebagaimana telah didefinisikan. Yakni ragam tulisan apa saja, fiksi atau non-fiksi, yang proses kreatifnya berlangsung di luar garis profesional pada umumnya, jurnalistik, akademik, dan bentuk-bentuk teknis sastra. Karya-karya yang termasuk dalam kategori ini meliputi sebagian besar novel dan epik, serta cerita pendek dan puisi.

Dalam Academic Goal-nya, Department of Creative Writing, Korea University mendefinisikan creative writing sebagai berikut, “Creative writing is considered to be anywriting, fiction or non-fiction, that goes outside the bounds of normal professional, journalistic, academic, and technical forms of literature. Works which fall into this category include most novels and epics, as well as many short stories and poems.”

Tidak mungkin dalam perkuliahan satu semester, 3 SKS, dan 14 kali tatap muka untuk menjelaskan, membahas, dan melatih mahasiswa mengumpulkan bahan dan menulis semua ragam CW. Oleh karena itu, dipilih ragam yang benar-benar dasar dan menjadi prasyarat menulis ragam yang lain. Artinya, dengan menguasai dan terampil menulis salah satu maka penguasaan dan keterampilan yang sama dapat pula digunakan untuk menulis ragam yang lainnya. Mengapa? Karena sesungguhnya proses kreatif sama saja. Yakni mulai dari tahap invention, sampai dengan tulisan siap-saji, semua penulis mengalami dan harus melalui tahap yang sama.

Unsur pokok dalam tulisan
Akar kata tulisan adalah “tulis”. Kemudian mendapat prefiks ke-an yang berarti: ada huruf (angka dsb.) yang dibuat (digurat) dengan pena (pensil, cat, dsb. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2001: 1219).

Sekurang-kurangnya, terdapat dua unsur dalam tulisan:
- Terdapat pesan (sesuatu) yang hendak dikomunikasikan, atau disampaikan, kepada orang lain.
- Sebagai pelengkap (tulisan), ada kegiatan yang menyertainya, seperti: menggurat, mengukir, menakik, menulis, dan mencetak.

Sejarah creative writing
Menulis kreatif, sebagai sebuah istilah, ditemukan pada abad ke-19 untuk mengekspresikan gagasan bahwa sudah ada praktik menulis, dan kemudian berkembang menjadi penulisan kreatif. Dengan menggunakan hanya “menulis” saja dirasakan istilah tersebut sudah kehilangan makna sehingga kini menulis kreatif identik dengan menulis fiksi atau puisi, sebagai lawan untuk menulis nonfiksi. Yang tidak pernah berubah dalam evolusi makna “menulis” ialah bahwa di dalamnya terkandung kreativitas dalam pengertian utama dari kata “tulisan” yang inventif.

Ralph Waldo Emerson, penulis besar Amerika dan salah satu orang pertama yang menggunakan istilah "penulisan kreatif." Dalam Orasi Phi Beta Kappa tahun 1838, ia menyatakan bahwa "Memang ada penulisan kreatif seperti halnya membaca kreatif." Membaca kreatif berarti tindakan yang dinamis, seorang pembaca yang membaca untuk hidup, membaca dengan keterlibatan penuh. Dengan cara ini, seseorang akan masuk dan merasuk ke dalam seluruh isi buku. Demikian juga menulis kreatif, seseorang menulis dan menghayati isi tulisannya dan akhirnya dapat hidup dari tulisan-tulisan yang dihasilkannya.

Jika ditelusuri ke belakang, creative writing berawal dari tradisi oral dan menggambar pada dinding dan gua-gua yang teknik maupun cara berceritanya bertumpu pada story telling. Pada zaman dahulu, ketika media untuk menulis masih di batu, dinding, daun lontar, dan kulit binatang; menulis kreatif belum dapat seluruhnya diungkapkan melalui tulisan. Namun, cerita dan gambar yang ditulis (visual dan verbal) itu dikisahkan berulang-ulang dalam suatu keluarga untuk mengajarkan moral, etika, perilaku budaya, harapan, dan memberikan hiburan. Ketika kertas dan teknik cetak-mencetak ditemukan, tradisi bercerita secara oral perlahan-lahan bergeser.

Kemudian, datanglah era radio dan televisi. Teknik story telling masih digunakan, meski dikemas lebih singkat sesuai dengan karakter media penyampaiannya. Dan kini, di zaman era digital, story telling pun tetap sama dari segi teknik.

Di Inggris, selama Victorian Era (Masa Ratu Victoria berkuasa dari Juni 1837 hingga wafat pada Januari 1901), tulisan-tulisan kreatif menjadi salah satu faktor hiburan paling populer. Ini merupakan masa ketika penulis baru mulai muncul satu per satu dan menulis dalam gaya yang unik dan baru dalam genre.

Kecenderungan yang kita alami dari sekitar setengah abad yang lalu sampai sekarang di mana penulis baru (biasanya kaum muda amatir) mulai menunjukkan bakat dan mencoba menerbitkan karya-karya mereka, bahkan menerbitkan sendiri (self publisher). Sesuatu yang sebelumnya hanya dilakukan kaum cerdik cendikia, seniman, dan filsuf dan hanya kaum inilah yang terampil menulis cerita. Inilah kecenderungan sastra di mana semua orang dapat menulis praktis untuk segala ragam. Alat yang paling sering digunakan untuk menulis pada waktu itu adalah mesin ketik. Kemudian, menulis kreatif mulai berkembang sehingga karya sastra dan karya jurnalistik bersinggungan dan para pakar mulai membuat definisi ulang dan membuat garis-garis pembeda antarkeduanya.

Setelah itu, datang era komputer. Pada saat itu, media untuk menulis mengganti pena dan kertas dengan keyboard dan monitor, dan orang menulis menggunakan DOS atau yang lebih maju Microsoft Office Word untuk mengetik cerita-cerita mereka.

Kini kita hidup di era kemajuan teknologi yang cepat. Manusia diperkenalkan dengan apa yang dianggap sebagai salah satu penemuan yang paling hebat sepanjang masa: internet. Dengan menggunakan media ini, dunia penulisan kreatif telah mengalami lompatan yang lebih jauh. Hari ini, bukan hanya penulis, bahkan penggemar dapat mempublikasikan karya-karya mereka secara online. Ini membuat menulis pada umumnya, dan khususnya menulis kreatif, menjadi lebih universal. Siapa pun dapat menjadi penulis. Namun, tetap saja terdapat perbedaan antara menulis sebatas hobi (amatir) dan penulis profesional.

Tidak lama kemudian, situs yang menerima kiriman amatir online cerita mulai muncul, situs ini mengumpulkan cerita dari seluruh dunia dan menyimpannya dalam sebuah database online yang dapat diakses dari mana saja di seluruh dunia. Salah satu situs tersebut adalah Writing.com, yang tidak hanya tempat untuk membaca dan menulis, tetapi juga tempat untuk bersosialisasi dan mendiskusikan berbagai hal, tidak hanya sebatas hobi tetapi juga sebagai profesi yang menjanjikan.

Proses kreatif menulis
Sebaiknya dibedakan terminologi antara menulis dan mengarang. Mengapa? Sebab, dilihat dari proses kreatifnya, keduanya berbeda. Menulis ialah proses kreatif menghasilkan tulisan nonfiksi, sedangkan mengarang ialah proses di dalam menghasilkan tulisan fiksi.

Menulis dapat distrategikan, tidak harus menunggu ide datang. Jika tahap invention (menemukan ide atau topik yang hendak ditulis) sudah dilakukan, sementara bahan-bahan sudah siap maka proses menulis sudah dapat dimulai. Sementara mengarang kerap harus menunggu ilham datang karena namanya juga mengarang maka proses penciptaannya jauh lebih rumit dan memakan waktu. Akan tetapi, dilihat dari proses kreatif atau mata rantai penciptaan, baik menulis maupun mengarang sama saja. Proses kreatif menulis dan mengarang hampir sama dengan proses retorika.

Proses kreatif, hingga dihasilkannya sebuah tulisan yang baik, dapat diibaratkan dengan membangun sebuah rumah. Dari mulai membangun fondasi hingga finishing, sebuah rumah melalui tahap-tahap penyelesaian. Ketika sudah jadi, materi atau bahan rumah itu tidak lagi terpisah, melainkan menjadi satu kesatuan yang utuh. Sementara topik tetap fokus, tidak melebar, sebagaimana tampak dalam gambar berikut ini. Gaya selingkung Tempo menyebut kesetiaan pada topik ini sebagai “unting-unting”.

1. Invention (mencari/menemukan)
2. Collection (mengumpulkan)
3. Organization (mengorganisasikan)
4. Drafting (menulis/
membuat draft)
5. Revising (merevisi)
6. Proofreading (memeriksa cetak
coba/pruf)

Perkembangan CW di Indonesia
Creative writing (CW) bagi kalangan tertentu masih merupakan istilah yang baru. Hal ini tidaklah mengherankan sebab di kalangan perguruan tinggi pun silang pendapat mengenai substansi dan ruang lingkupnya pada awal mula menjadi perdebatan hingga akhirnya bersepakat untuk bersepakat. Pada awal mula, penulis besar seperti Allen Tate pun masih gamang dengan istilah CW sampai akhirnya mencapai titik temu ihwal materi kuliah yang harus diajarkan di perguruan tinggi.
Ihwal kegamangannya hingga mengusulkan nama lain untuk CW, Allen Tate menulis hal yang berikut,

“I shall direct my remarks chiefly to the teaching, in the college and the university, of what has become known as Creative Writing. The extend to which this literary activity may be part of the high-school curriculum I do not know. The conditions under which it may be permissible to offer it in college seem to me not to exist in the high school; it is not certain that the college itself meets these conditions. For without a certain maturity in the grammatical disciplines, which I believe the high school abandoned, Creative Writing mat take for moral self-indulgence, even for an ignorant self-esteem, in the adolescent, and writing may later become the verbal equivalent of his kindergarten finger-painting, as a mode of self-expression. When one thinks of a certain child prodigies in the history of literature –Chatterton, Rimbaud, Radiguet—one may forget that most them, like Rimbaud at sixteen was better educated for a literary career than the American college graduate at twenty-two; and he never had a course in Creative Writing.
The scepticism indicated by the foregoing reservations I must now proceed to quality; for the problem of Creative Writing is not simple, or certainly not simple enough to invite total abolition as the solution. Creative Writing is here to stay, at east for a long time.

To find out why the writing of fiction and verse has come to be called “creative” and ascertain when the adjective creative was first so used, would be an enlightening piece of historical research. When I went to Princeton in 1939 to take charge of the writing section of the newly established Creative Arts Program, I asked Dean Christian Gauss if we might change Creative Writing to Imaginative Writing, and he said he feared non –it had been announced as “Creative,” and the change would be confusing. So it would have been; and the name for this activity, as well as the activity itself, is here to stay, however disconcerting it may be for the student to instructor to pretend to be the surrogate of God.
It is my impression, since I have no historical information, that the academic program in creative writing had its modest origin, or had it obscure forerunner, in practical courses in the writing of the Short Story, offered as vocational training by some universities or as a commercial know-how by self-appointed masters who ran adverdisements…..”

Sementara itu, dalam Academic Goals Korean Univesity dijelaskan yang berikut ini,
“Creative writing is considered to be anywriting, fiction or non-fiction, that goes outside the bounds of normal professional, journalistic, academic, and technical forms of literature. Works which fall into this category include most novels and epics, as well as many short stories and poems.

Creative writing ialah terminologi untuk menyebut ragam tulisan apa saja, fiksi maupun non-fiksi, berbagai ragam tulisan di luar yang lazim digolongkan ke dalam tulisan “ profesional”, di luar laporan jurnalistik, karya akademik, dan bentuk-bentuk teknis sastra. Karya-karya yang termasuk dalam kategori ini meliputi sebagian besar novel dan epik, berbagai cerita pendek, dan puisi.

Kurikulum Creative Writing di perguruan tinggi dirancang agar mahasiswa mengembangkan keterampilan dan keahliannya. Melalui aktivitas dan proses menulis berbagai ragam tulisan, mahasiswa menjadi ahli dalam bidang creative writing, baik sebagai praktisi maupun sebagai konsumen (pembaca), sembari mereka secara terus-menerus meningkatkan teknik-teknik penulisan.

Sebagaimana dikesankan oleh Allen Tate, hakikat kreatif memang mengacu pada “pencipta”. Ini benar sekali! Karena itu, Christian Gauss, profesor sastra sekaligus kritikus sastra yang waktu itu Dekan College at Princeton University, bergeming.

Akan tetapi, serta merta harus diberi catatan. Pencipta dalam konteks menulis, bukan bermaksud untuk menyamai Sang Pencipta sebagaimana konsep dan pemahaman agama-agama. Yang hendak diambil ialah metafora dalam proses penciptaan itu, yakni bahwa tulisan haruslah lahir dari kreativitas, daya cipta yang luar biasa, orisinal, lagi pula sarat dengan manfaat sehingga manakala dimunculkan ke luar penuh daya dan mencerahkan.

Semula, Allen bermaksud mengganti istilah “creative” dengan “imaginative” ketika mengajukan pertanyaan pada Christian Gauss. Sebab, menurut hematnya, imaginative “…disconcerting it may be for the student to instructor to pretend to be the surrogate of God.”

Kendati sejak lama menggunakan dan menggugat terminologi creative writing, bukan Allen Tate atau Christian Gauss yang dicatat sebagai orang yang pertama memperkenalkan istilah creative writing, tetapi pencetusnya adalah Ralph Waldo Emerson pada Orasi Phi Beta Kappa tahun 1838 di depan para sarjana Amerika Serikat.

Program studi

Program penulisan kreatif biasanya tersedia untuk para penulis dari tingkat sekolah tinggi hingga program pascasarjana. Secara tradisional, program ini terkait dengan departemen bahasa Inggris di sekolah masing-masing, tapi gagasan ini telah ditentang pada waktu belakangan ini semakin banyak program menulis kreatif berputar dari departemen mereka sendiri.

Kebanyakan pendidikan menulis kreatif untuk mahasiswa di perguruan tinggi adalah Bachelor of Fine Arts (BFA). Beberapa terus mengejar gelar Master of Fine Arts in Creative Writing (MFA), gelar tertinggi di bidang ini. Merupakan sesuatu yang masih langka gelar Ph.D. di bidang creative writing karena lebih banyak penulis mencoba untuk menjembatani kesenjangan antara studi akademis dan nilai-nilai artistik.

Para penulis kreatif biasanya menekankan perhatian baik pada ragam penulisan fiksi maupun puisi dan mereka biasanya mulai dengan cerita pendek atau puisi sederhana. Mereka kemudian membuat jadwal berdasarkan penekanan ini termasuk kelas sastra, pendidikan kelas dan kelas-kelas lokakarya untuk memperkuat keterampilan dan teknik bercerita dan teknik menulis.

Meskipun mereka memiliki program-program studi di bidang film dan teater, naskah film dan penulisan drama telah menjadi lebih populer pada program menulis kreatif, seperti program menulis kreatif berusaha untuk bekerja lebih erat dengan program film dan teater serta program-program bahasa Inggris. Mahasiswa dalam kelas menulis kreatif didorong untuk terlibat dalam penulisan ekstrakurikuler berbasis kegiatan, seperti penerbitan klub, sastra berbasis majalah atau surat kabar, sayembara menulis, menulis koloni atau konvensi, dan kelas-kelas pendidikan diperluas.

Menulis kreatif juga mendapat tempat di luar universitas atau sekolah formal lembaga. Sebagai contoh, penulis Dave Eggers mendirikan kelas 826 inovatif Valencia di San Francisco tempat orang-orang muda menulis dengan penulis profesional. Di Inggris, Arvon Foundation menjalankan sepanjang minggu kursus menulis kreatif di empat rumah-rumah bersejarah.
Di Indonesia, CW masih cukup asing. Baru segelintir kalangan yang mengenal dan memahaminya secara baik dan benar. Bahkan, di kalangan akademis pun istilah dan ruang lingkupnya kerap kabur dan belum seutuhnya dipahami.

Karena belum menjadi Departemen atau Fakultas sendiri maka CW di Indonesia baru sebatas mata kuliah (MK) yang masih umum. Itu pun belum semua Fakultas Ilmu Komunikasi dan Fakultas Seni dan Desain menyedikan ataupun memberikan MK ini. Perguruan tinggi yang sudah menyediakan MK ini pada umumnya mengutamakan topik tertentu, dengan pengandaian bahwa topik yang lain dapat didalami dan dipelajari mahasiswa di luar kegiatan tatap muka.

Sebenarnya, topik-topik perkuliahan CW tidak ada yang sama sekali baru. Ia merupakan perluasan dari ragam penulisan yang telah berkembang pesat sejak tahun 1970-an. Bahkan, boleh dikatakan sebagai lanjutan dari proses kreatif menulis secara lebih luas yang sudah dimulai ketika di bangku sekolah dasar.

Jadi, tidak ada yang sama sekali baru! Hanya karena ilmu berkembang maka pengelompokannya pun menyesuaikan dengan perkembangan. Dan CW kini sudah cukup menjadi cabang ilmu sendiri, sehingga di banyak universitas menjadi fakultas tersendiri dengan gelar yang juga spesial. Dengan gelar yang dikeluarkan Departemen Creative Writing, orang menjadi mafhum kompetensi lulusannya.

Keluaran
Menulis kreatif dianggap oleh beberapa akademisi (terutama di Amerika Serikat) sebagai perpanjangan atau perkembangan dari disiplin ilmu sastra seperti diterapkan di Inggris, meskipun diajarkan di seluruh dunia dalam banyak bahasa. Disiplin bahasa Inggris secara tradisional dilihat sebagai studi kritis terhadap bentuk-bentuk sastra, bukan bentuk-bentuk penciptaan (proses kreatif) sastra. Beberapa akademisi melihat penulisan kreatif sebagai tantangan untuk tradisi ini. Di Inggris dan Australia, serta di Amerika Serikat dan seluruh dunia, menulis kreatif dianggap sebagai disiplin tersendiri, bukan cabang dari disiplin ilmu yang lain.
Sesudah mengikuti kuliah Creative Writing, mahasiswa diharapkan menguasai multikecerdasan, tidak hanya memperoleh keterampilan menulis. Beberapa nilai dasar berikut ini akan diperoleh mahasiswa setelah menyelesaikan perkuliahan CW.
1. Memperkaya pengalaman hidup si pembelajar melalui materi, isi, dan wilayah ilmu creative writing.
2. Mengasah keterampilan menulis karya lain, misalnya menulis karya ilmiah (academic writing).
3. Merangsang pemikiran out-of-the-box dan membantu pembelajar untuk memecahkan masalah secara kreatif.
4. Memupuk dan mengembangkan imaginasi.
5. Mendorong budaya membaca.
6. Mendorong dan merangsang pengembangan diri.
7. Menciptakan masyarakat yang mendukung proses belajar menulis kreatif di luar pendidikan formal.
8. Memberikan makna pada kehidupan si pembelajar.

Rabu, 03 Maret 2010

Dayak Jangkang Berdasarkan Dialek dan Tempat Tinggal

Tahun 1988, di Pontianak, saya sempat bertemu, berdiskusi, dan berbincang-bincang dengan seorang peneliti linguistik dari Universitas Leiden, Nederland.
Waktu itu, ia memperkenalkan diri sebagai Sander Adelaar. Dan post factum 20 tahun kemudian, sebelum berhasil mengunduh hasil penelitiannya berjudul Salako or Badameà. Sketch grammar, texts and lexicon of a Kanayatn dialect in West Borneo saya tetap mengenalnya dengan nama ini.

Ternyata, nama lengkap peneliti yang meraih gelar tertinggi di dunia akademik, Ph.D. karena penelitiannya mengenai penggolongan dan penyelidikan bahasa Dayak Kanayant ini adalah Karl Alexander Adelaar. Tetapi, sebagaimana kata Ernst Hemingway, what is a name? Yang penting, substansinya sama.

Sander Adelaar.

Meski objek penelitian mengenai Dayak Salako, untuk memberikan konteks, Adelaar membuat peta Dayak Kalimantan berdasarkan penggolongan bahasa. Dan Jangkang ada di dalamnya, dalam satu kesatuan dengan Land Dayak.

Objek material maupun objek formal penelitian pria, yang menulis dengan tangan kidal itu, termasuk unik. Betapa tidak! Sander Adelaar belajar bahasa dan budaya Indonesia dan kelompok bahasa Austronesian di Universitas Leiden. Ia juga research fellow bidang Linguistik pada Australian National University dan Humboldt Fellow at Goethe University (Frankfurt) sebelum bergabung dengan University of Melbourne. Risetnya mengenai komparasi dan deskripsi linguistik dengan fokus pada variasi bahasa Melayu di Kalimantan (tempat ia melakukan riset lapangan), Madagaskar dan Taiwan. Ia juga meminati soal tradisi lisan dan sastra tulis tradisional Indonesia.

Yang penting, dan relevan dengan Jangkang, dari hasil penelitian Adelaar ialah kajian dan hasil studi bandingnya tentang Dayak, terutama bab 4 “Borneo as a Cross-Roads for Comparative Austronesian Linguistics”. Menurut Adelaar, betapa pentingnya posisi bahasa Melayu-Polinesia, terutama di Borneo, untuk memahami dan membandingkannya dengan bahasa Austronesian.

Jika tidak ada hasil penelitian seperti dilakukan Adelaar, kita tidak pernah mafhum bahwa terdapat kesamaan dari segi bahasa (juga budaya) yang menyatukan Land Dayak sebagai sebuah subkelompopk etnis Dayak. Atas dasar kesamaan linguistik inilah, Dayak Jangkang menjadi bagian kecil Land Dayak.

Sebagai penutur asing, dapat dipahami mengapa Adelaar memberikan tanda tanya pada lafal bahasa Jangkang. Sebagai catatan awal, orang Jangkang gemar memberi nama lain pada sesuatu/benda. Tidak mudah bagi orang luar Jangkang melafalkan atau memahami sinomim yang dalam banyak kasus hanya dimengerti Dayak Jangkang.

Sinomim itu bisa bentuknya lebih dari dua. Lagi pula, jika ditulis kerap bila dibaca tidak sertus persen sama dengan apa yang (semestinya) dilafalkan. Misalnya, tertulis “Jongkang” lafal yang benar Jongkangk. Jadi, rumus umum bahasa Jangkang jika ada kata berakhiran “ng” cenderung dilafalkan, atau ada kata “k” pada akhirnya.
Dengan demikian, nama-nama kampung di wilayah Kecamatan Jangkang, seperti: Kobang, Empiyang, Tangong, Lalang, dan setiap kata berakhiran “ng” seperti sabong (sabung), komong (kembung), cinong (condong), linong (lindung), dan sebagainya; cenderung dilafalkan dengan menambahkan “k” pada akhir kata.

Adelaar memberikan catatan bahwa bentukan mane?, mandey?, manI? and man ḯ? merupakan adaptasi dari bahasa Melayu mandi atau Melayu- Dayak man(d)i?
Inilah subkelompok bahasa Kalimantan dan hubungannya dengan subkelompok ekso-Kalimantan yang lain. Dari peta persebaran penggolongan subkelompok Dayak dari segi linguistik dapat dilihat betapa etnisitas tidak dapat memisahkan antara Dayak Jangkang dan Dayak Sarawak.

Adelaar coba menyangsikan banyak teori yang menyimpulkan bahwa bahasa Melayu Riau merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Benar demikian, tapi bukan yang arkhais (yang asali). Menurut Adelaar, yang asli justru Melayu Salako yang dalam teks-teks internasional disebut Salako (a Malayic Dayak language). Tentu saja, sesuai dengan kaidah ilmu, antitesis Adelaar masih perlu diverifikasi, seperti juga dia memverifikasi temuan para pakar linguistik sebelumnya.

Contoh perbandingan linguistik bahasa Land Dayak sebagai berikut:
mati membunuh tidur mandi
(Land Dayak)
Bekati’ kabis ŋamis buus mamu?
Lara? kabih, [-ç] ŋamḯh buih mamǘ
Golek kobis ŋkəbis biis mamuh
Nonguh kobis ŋkɔmis bis mamǘh
Pandu kɔbis ŋɔmis biis mane?
Ribun I kobis ŋkobis bihis mandey?
Ribun II kɔbis ŋkɔmis biis mandey?
Jangkang kɔbi? kɔmI? bi? manI?
Lintang k(oɔ)bis ŋkɔmis biis manI?
Aye-aye kubəs ŋkuməs bis manḯ?
Sungkung kabəs nnabəs bə?əs mamuh
Sekayam kɔbis ŋkɔmis bis Mä́mǘh

Karena itu, tali persaudaraan di antara mereka terus terjalin. Bahkan, menjadi semakin erat ketika dibangunnya jalan internasional yang menghubungkan Jangkang-Kembayan-Sarawak dengan pos lintas batas Entekong . Kunjungan muhibah baik atas nama bahasa dan budaya, kekerabatan, maupun agama, sering dilakukan penduduk Sarawak ke Sanggau dan sebaliknya.

Pada zaman dahulu, orang Jangkang sering ke Sarawak menjual karet, cokelat, dan kulit trenggiling atau tenggiling . Mereka berjalan kaki melalui pintu gelap Mongkos. Beberapa tauke Tionghoa beragama Katolik sering mengirimkan makanan kaleng untuk pastor Jangkang, Herman Jozef van Hulten.

Sementara itu, Jangkang juga dikenal dalam penggolongan etnis-etnis dunia. Gordon Raymond G., Jr. (ed.), 2005, misalnya dalam Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas dalam “Djongkang entry” mencatat sebagai berikut,
Djongkang
A language of Indonesia (Kalimantan)
ISO 639-3: djo

Peta persebaran pengguna bahasa di Kalimantan menurut penelitian Sander Adelaar.

Population 45,000 (1981 Wurm and Hattori).
Region Northwest, south of Balai Sebut.
Classification Austronesian, Malayo-Polynesian, Land Dayak



Populasi, atau pemakai, bahasa Djongkang menurut Gordon sebanyak 45.000. Sementara total penduduk kecamatan Jangkang, sebanyak 24.228 . Artinya, bahasa Djongkang juga ditutur oleh penduduk di luar Kecamatan Jangkang. Ini menunjukkan bahwa pengguna bahasa Djongkang cukup banyak.

Wikipedia mencatat bahwa Subetnik Dayak Bidayuh, Sarawak, Malaysia punya hubungan dengan Dayak Jongkang. Dayak Bidayuh menetap sekitar Serian seperti Tebekang, Mongkos, Tebedu hingga Tanjung Amo daerah perbatasan Kalimantan Indonesia yang berdialek Bukar-Sadong. Menilik bunyi dan asal usul katanya, Bidayuh sangat boleh jadi berasal dari “Bi Doih” yang berarti “Orang yang tinggal di darat”, atau “Orang Dayak”.

Peta tempat tinggal berbagai suku (Dayak) di Borneo sampai akhir abad 19.
Sumber: Anton W. Nieuwenhuis, 1994


Keterangan peta:
A 4 Kadayan F 5 Kajang
Punan 5 Murut Ida’an 1 Ngaju 6 Aoheng
1 Bukit 6 Berawan 2 Ot Danum
B D 3 Ma’anyan
Bajau Laut 1 Salako 4 Melawi H
G 1 Kutai
C 1 Kayan 2 Brunei
1 Rungus Dusun E 2 Kenyah 3 Banjarmasin
2 Lun Dayeh 1 Iban 3 Modang 4 Sambas
3 Kelabit 2 Ibanic 4 Maloh 4 Sambas
5 Sukadana



Subkelompok Penutur Dayak Djo dan Persebarannya
Penutur Dayak Djo, sesungguhnya, masih bisa dipilah-pilah lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Dasar pemilahan subkelompok ini adalah kesamaan dialek, pengucapan, dan tempat tinggal.
Atas dasar itu semua, kita dapat membagi Dayak Djo ke dalam 11 subkelompok sebagai berikut.
1. Suku Jangkang
2. Suku Engkarong
3. Suku Ensanong
4. Suku Hulu Tanjung
5. Suku Darok
6. Suku Sum
7. Suku Muduk
8. Suku Selayang
9. Suku Mayau
10. Suku Kopa
11. Campuran suku Jangkang, Engkarong, dan Hulu Tanjung

Subkelompok Suku Jangkang merupakan mayoritas. Umumnya mereka mendiami bagian utara Jangkang Benua, seperti Kobang, Landau, Parus, Tanggung, Engkolai, Benuang, Kawai, Sebao, Tumbuk, Pisang, Rosak, Entawa, Teriang, dan Ketori .
Subkelompok Suku Engkarong mendiami kampung Sekantot, Semombat, Lalang, Uru, Tanjung Bara, Tekorong, Emporas, Balai, dan Riban.

Subkelompok Suku Ensanong mendiami kampung Terati, Parai, Sererek, Pelanduk, Dasan, Endoya, Robia, dan Engguri.

Subkelompok Suku Hulu Tajung mendiami kampung Peruntan, Sape, Dangku Kabalau, Sebuda, Boyok, Sungai Omang, Seribot, Bengap, dan Muara Tingan.

Subkelompok Suku Kembayan mendiami seluruh bagian kecamatan Kembayan dan Noyan.
Subkelompok Suku Darok mendiami kampung Darok, Ginis, dan Bungok.

Subkelompok Suku Sum mendiami kampung Sum, Bantai, Bangau, Majel, Rondam, Muan, Monum, dan Jamu.

Subkelompok Suku Muduk mendiami kampung Mua, Empodis, Tapa, Entayan/Nibuk, dan Nala.
Subkelompok Suku Selayang mendiami kampung Sinu dan Petuo.

Subkelompok Suku Mayau mendiami kampung Kotup, Tebilai, dan sebagian kampung Engkadot.

Subkelompok Suku Kopa mendiami kampung Empiyang, Empoyu, Padek, Sebotuh, Muara Ronai, Tunggul Boyok, Kolo, Norma, Bedigung, dan sebagian kampung Engkadot.

Sedangkan sisanya merupakan campuran dari subkelompok suku Jangkang, Engkarong, dan Hulu Tanjung. Kelompok ini terutama bermukim di Sabang, Tebuas, Sentowa, Semukau, Jambu, Sekampet, Semirau, dan Ensibau.

Peta persebaran suku Dayak Djo.

Kekhasan dan Differensiasi Dialek
Dayak Djo yang pada awal mula berasal Tampun Juah kemudian menurunkan beberapa subkelompok. Perbedaan dan differensiasi paling mencolok di antara subkelompok itu adalah segi dialek.

Perbedaan tersebut tidak selalu positif. Malah, kerap mendatangkan ejekan yang menimbulkan salah paham. Bahkan, subkelompok tertentu, terutama Suku Sum, di-stereotype sebagai suku primitif. Asalkan ada hal yang aneh dan ganjil, atau terjadi sesuatu yang bodoh, disebut “Matut bi Sum” (pantas seperti orang Sum).
Orang asing, atau orang yang baru saja tinggal di wilayah Jangkang, tentu belum peka dan belum terbiasa untuk mengetahui idenditas siapa penutur dialek bahasa Djo. Namun, penutur bahasa Djo dan orang Jangkang sudah mafhum dari mana asal orang yang menuturkan dialek itu. Mereka dapat mengetahui daerah tempat tinggal penutur dari dialeknya.