Senin, 20 September 2010

Manage Your SORROW

Sorrow. Apakah Anda pernah mengalaminya?

Tentu, tiap manusia normal pernah mengalami kesedihan (sorrow). Jika tidak pernah, maka diragukan kenormalannya. Jika bukan cuek bebek, yang bersangkutan miring.

Boleh-boleh saja sorrow. Namun, harus dapat dikendalikan. Sebab jika tidak, sorrow akan membawa Anda ke tubir kehancuran.

Studi-studi terkini menunjukkan bahwa sorrow bukan hanya disebabkan oleh kehilangan atau kematian orang yang dekat yang kita cintai semata.

Ada banyak faktor yang menyebabkan kita sedih. Pengalaman ini (semestinya) semakin membuat kita mengenal dan belajar bagaimana mengelola kesedihan yang apabila dibiarkan terus akan menjadi depresi yang memuncak, sehingga menjerumuskan kita masuk ke dalam apa yang disebut dengan jurang gelap emosional (dark emotional pool). Kita harus dapat menghentikan (mengelola) sorrow jangan sampai menjadi kronis. Jika tidak dapat dikelola maka sorrow dapat menjadi depresi.

Sebagaimana diketahui bahwa “chronic sorrow” adalah terminologi yang diperkenalkan oleh sosiolog Simon Olshanshy untuk melukiskan reaksi yang berkepanjangan dari orang tua yang anaknya mengalami keterbelakangan. Namun, kemudian makna istilah ini diperluas. Orang yang mengisolasi diri dan jatuh ke dalam duka yang mendalam juga disebut sebagai mengalami chronic sorrow.

Tanda-tandanya adalah bahwa orang tersebut menyembunyikan perasaan yang mendalam. Ia ingin keluar dari masalah, namun kerap tidak sanggup. Orang ini merasa tidak dimengerti dan selalu menderita.

Saya ingin sedikit berbagi mengenai apa yang disebut dengan sorrow dan bagaimana kiat-kiat menyiasatiya. Dalam buku Chronic Sorrow, A living Loss (2002), Susan Roos antara lain menyebutkan bahwa kesedihan yang kronis dapat menyeret seseorang kepada depresi klinis.

Seperti studi awal yang dilakukan Simon Olshansky (1962, 1966, 1970) bahwa penyebab kesedihan, terutama yang terjadi pada orang tua, ialah karena ketidakmampuan dan perilaku buruk tertentu pada anak-anaknya.

Meneruskan dan mengembangkan konsep Olshansky, Roos seperti dapat dibaca dalam Chronic Sorrow menempatkan sorrow sebagai gejala yang spesifik. Boleh dikatakan teorinya adalah mid-range theory karena dalam teori ini dibahas masalah- masalah yang timbul dari penyakit kronis yang dialami seseorang, seperti: proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda manajemennya. Teori tersebut sangatlah spesifik, sehingga mudah diaplikasikan dalam praktik keperawatan dan psikologi klinis.

Sebagai contoh, banyak penelitian yang telah dilakukan sebagai aplikasi teori ini terkait dengan penyakit kronis seperti terjadi pada pasien multiple sklerosi, diabetes mellitus pada anak, anemia sickle cell pada anak, epilepsy, down sindrom, spina bifida, dan sebagainya.

Penderitaan, atau duka cita kronis, adalah suatu kondisi kejiwaan yang berkelanjutan sebagai akibat dari suatu kehilangan, dengan karakteristik dapat menyebar dan bisa juga menetap. Gejala berduka berulang pada waktu tertentu dan gejala ini berpotensi progresif.

Studi The Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow (NCRCS) ini meliputi:
a. Seseorang yang hidup dengan kanker (Eakes, 1993), infertility (Eakes et al., 1998), Multiple Sclerosis (Hainsworth, Burke, Lindgren, & Eakes, 1993; Hainsworth, 1994), dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996).
b. Spouse caregivers/ seseorang yang memiliki pasangan hidup dengan penyakit mental kronik (Hainsworth, Busch, Eakes, & Burke, 1995), Multiple Sclerosis (Hainsworth, 1995), dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996).
c. Parent caregivers/ orang tua yang memiliki anak dewasa dengan penyakit mental kronis (Eakes, 1995).

Kehilangan (loss) terjadi akibat dari perbedaan antara suatu “ideal” atau harapan dan situasi nyata atau pengalaman. Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial di mana seseorang atau objek yang dihargai tidak dapat dicapai atau diganti sehingga dirasakan tidak berharga seperti semula.

Peristiwa pencetusnya adalah situasi, keadaan, dan kondisi-kondisi berbeda atau perasaan kehilangan yang berulang (kambuh) atau baru mulai yang memperburuk perasaan berduka. NCRCS membandingkan dan membedakan pencetus pada individu dengan kondisi kronik, family caregivers, pada orang yang kehilangan (Burke, Eakes, & Hainsworh, 1999).

Metode manajemen adalah suatu cara bagaimana individu menerima penderitaan kronis. Bisa secara internal (strategi koping individu) atau eksternal (bantuan tenaga kesehatan atau intervensi orang lain).

Penderitaan kronis tidak akan membuat individu melemah bila efektif dalam mengatur perasaan bisa secara internal maupun ekternal. Strategi manajemen perawatan diri diatur melalui strategi koping internal. NCRCS ditunjuk lebih lanjut untuk mengatur strategi koping internal seperti tindakan, kognitif, interpersonal dan emosional
Mekanisme tindakan koping digunakan untuk semua subjek individu dengan kondisi kronis dan orang yang merawatannya (Eakes , 1993, 1995, Eakes at al., 1993, 1999; Hainsworth et al., 1995; Lindgren, 1996).

Contoh kognitif koping ialah berpikir positif, melakukansesuatu dengan sebaik-baiknya, tidak memaksakan diri bila tidak mampu (Eakes, 1995; Hainsworth, 1994, 1995).

Contoh koping interpersonal adalah pergi memeriksakan diri ke psikiater, masuk dalam suatu kelompok atau group dan berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain (Eakes, 1993; Hainsworth, 1994, 1995).

Contoh strategi emosional ialah menangis atau ekspresi emosi lainnya (Eakes, et al., 1998; Hainsworth, 1995). Adapun manajemen eksternal adalah intervensi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Eakes et al., 1998). Pelayanan kesehatan yang diberikan secara profesional dapat membantu memberikan rasa nyaman bagi mereka, caring dan tenaga profesional kompeten lainnya.

Apa dampak jika sorrow tidak dapat dikendalikan? Yang akan menerima dampaknya bukan hanya orang yang mengalami, tetapi juga orang sekitar, dan terutama anak-anak.

Pada anak-anak, sorrow dapat menghambat kemampuan anak untuk berkembang, dapat menyebabkan regresi, dan merasa takut ditinggalkan dibiarkan kesepian.

Pada remaja dan dewasa muda, kesedihan disebabkan disintegrasi dalam keluarga. Pada orang dewasa tua, sorrow dapat diakibatkan oleh kematian pasangan dan gangguan kesehatan yang semakin menurun.

Sorrow ialah reaksi emosi terhadap kehilangan, biasanya akibat perpisahan atau kehilangan yang dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan, dan pemikiran. Kubler Ross (1969) mengemukakan terdapat lima tahapan pada sorrow, yakni menolak (denial), marah (anger), tawar menawar (bargaining), depresi (depression), dan menerima (acceptance).

Hal-hal yang berpotensi menyebabkan, kemudian menyeret orang masuk ke tubir sorrow sebagaimana dibahas di muka, adalah hal-hal wajar dalam hidup. Tidak dapat dielakkan dan sesuatu yang niscaya. Hanya saja, ada orang yang dapat mengatasi, menerima, dan kemudian segera keluar dari kesedihan.

Sedih adalah sisi mata uang dari gembira. Sebagaimana halnya tidak baik terus-menerus berada dalam suasana euforia karena gembira, demikian pula tidak baik terus-menerus berada dalam suasana duka.

Kelolalah sorrow. Bangkit dan tataplah dunia dengan kacamata optimistik. Lihat bahwa dunia ini tidak hanya selebar daun kelor.

Sabtu, 18 September 2010

Emosi

Emosi telah lama menjadi kajian ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi dan psikologi.

Para pakar ilmu sosial seperti Durkheim, Simmel, dan Weber sudah coba menjelaskan asal usul emosi, relasinya dengan perilaku dan tindak tanduk sosial, pengaruhnya pada pencapaian yang disebut “sukses”, serta sumbangsihnya pada kemaslahatan bersama.

Akan tetapi, hingga hari ini jawaban yang memuaskan untuk semua pihak tampaknya belum juga ditemukan. Semakin dijelaskan, semakin kita merasa bidang kajian “emosi” adalah samudera mahaluas yang tidak mungkin diarungi dalam sekejap.

Karena itu, untuk memahami emosi secara cukup komprehensif, agaknya memerlukan kajian interdisiplin.

Sebelum karya Hochschild terbit pada 1970 hingga dekade 1980-an, kajian emosi dari tinjauan sosiologi sangatlah intens. Meski hari ini banyak pakar tidak selalu sependapat dengan Hochschild yang mendefinisikan emosi, pendapat umum yang berkembang tetap menempatkan emosi dari sisi sosiologi, membangun maknanya dalam konteks sosiohistorikal dan kritis terhadap analisis interaksi sosial.

Menggambarkan perspektif interaksionis simbolik dari khasanah Mills dan Goffman, Hochschild (2003) menyatakan bahwa emosi memunyai fungsi sinyal untuk mengomunikasikan informasi yang menyatakan bahwa kita sedang berada pada relasi dengan situasi tertentu, relasi dengan ekspektasi sosial, diri kita sendiri, dan relasi dengan aktor lain.

Kerja emosi, menurut Hochschild, adalah olahan dari emosi seseorang dalam konteks pribadi, berbeda dengan kerja emosional yang mengolah perasaan dalam konteks publik. Konteks memberikan makna pada perubahan nilai kerja emosional.

Mengendalikan emosi termasuk salah satu kecerdasan. Setidaknya, ini menurut Daniel Goleman. Dalam bukunya yang laris manis, Goleman mengemukakan bahwa orang yang ber-IQ tinggi saja tidak cukup untuk menjamin ia sukses dalam hidup. Manakala seorang yang kadar intelektualnya tinggi, namun emosinya meluap-luap tidak dapat dikendalikan, ia tidak akan sukses (dalam hidup).

Goleman memperkenalkan gagasan baru dengan menjelaskan, mengapa beberapa orang dengan IQ tinggi mengalami kegagalan, sedangkan banyak orang lain dengan tingkat IQ sedang-sedang saja, bahkan rendah, sukses. Menurutnya, gagasan ini memiliki landasan ilmiah.

Emosi mencerminkan kemampuan kita untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan-dorongan hati, sadar diri, bertahan, dan dapat bergaul secara efektif dengan orang lain.

Mengutip beberapa contoh, Goleman menyatakan bahwa sukses kehidupan kerap yang lebih menentukan adalah faktor emosi dibandingkan dengan intelektualitas tinggi. Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan IQ, tidak setiap orang sanggup memaksimalkan daya atau potensi EQ-nya, meskipun sebenarnya mereka memiliki kemampuan dasar itu.

Emosi kerap tercermin dalam bentuk perilaku dan tindak tanduk sehari-hari. Meski muncul ke permukaan, adalah tidak mudah untuk mengukur kecerdasan emosi. Apalagi emosi adalah sesuatu yang abstrak, mudah berubah, dan terkait dengan kecerdasan-kecerdasan yang lainnya; sehingga mengklaim dan mengukur emosi melalui tolok ukur yang tunggal bisa menjadi bias.

Barangkali belum ada pakar yang menyebut dan memperkenalkan istilah “manajemen emosi”. Yang ada adalah bagaimana mengelola emosi dan mengendalikan emosi. Dalam bangun segita yang berikut ini, kita melihat pertautan antara tiga kecerdasan: EQ, AQ, dan IQ.

Manakah dari ketiganya yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain? Dapatkah ketiganya dipisahkan? Apakah sukses ditentukan oleh salah satu dimensi, dengan menafikan dimensi lain?


Sejak kecerdasan intektual diperkenalkan oleh Simon dan Binet melalui pada , sudah berulang kali kecerdasan didefinisi ulang.

Bagaimana sesungguhnya emosi bekerja? Dari perspektif keilmuan, jawaban atas pertanyaan ini masih belum final. Namun, riset dari berbagai dekade terakhir menunjukkan fenomena yang semakin jelas tentang emosi.

Dalam buku Deeper Than Reason: Emotion and Its Role in Literature, Music, and Art (2005) misalnya, Jenefer Robinson menggali lebih dalam lagi berbagai teori mengenai emosi yang berkaitan dengan temuan-temuan psikologi dan neurologi yang kiranya dapat membantu kita menjawab pertanyaan dan menawarkan model untuk memahami emosi.

Model dasar Robinson, dengan menambahkan hasil riset dan analisis dari berbagai sumber, memberikan sumbangan yang sangat bernilai untuk memahami emosi. Menurut Robinson, emosi mulai dengan reaksi usus kepada sesuatu (emotions start with a gut reaction to something).

Emosi yang mendorong ekspresi wajah, membentuk gagasan, kesimpulan, atau sesuatu yang berubah dalam diri kita. Ia menyebut reaksi-reaksi itu sebagai “non-cognitive appraisals” yang kita namakan sebagai reaksi usus (gut reaction). Reaksi itu terjadi secara automatis.

Ada dua jalan bagi otak kita di dalam memperoleh reaksi usus, yakni jalan menanjak dan jalan menurun. Jalan meninggi ialah segala sesuatu yang pernah kita harapkan: kita lihat dan kita dengar (atau merasa, membaui, atau berpikir atau mengingat) sesuatu.

Kita membangun dalam pikiran kita mengenai itu semua, lalu mereaksinya secara emosional. Misalnya, manakala mengendara menuju rumah, kita melihat lampu warna warni menyala di depan kita dan sirene meraung-raung, kita tiba-tiba berpikir bahwa akan ada mobil polisi menghampiri. Kita khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi.

Jalan menurun agak sedikit lain. Masih mulai dengan beberapa informasi sensory, seperti pemandangan atau suara. Ibarat bendera yang diasosiasikan dengan emosi yang sarat dengan emosi dan peristiwa-peristiwa traumatik lainnya. Misalnya, jika seseorang yang pernah mengalami meledaknya tabung gas, yang bersangkutan bila mencium bau gas, tiba-tiba merasa bahwa sesuatu akan terjadi.

Otak kita secepat kilat bekerja, mengirimkan pesan ke emergency systems dan sesegera mungkin syaraf meresponsnya bekerja untuk mengatasi masalah.

Meski reaksi usus itu muncul otomatis dan tiba-tiba, hal itu dapat masuk jalur jalan menanjak sebagai reaksi atas pemikiran.

Misalnya, kita sudah menghabiskan banyak waktu dan investasi untuk sebuah usaha. Tiba-tiba, kita kehilangan aset karena dicurangi karyawan. Kita mengalami reaksi usus, yang membuat kita selanjutnya merasa kapok dan selalu curiga pada hal yang serupa. Takut kalau-kalau kejadian masa lampau terulang lagi. Emosi pada aras bawah dapat masuk jalan menanjak.

Oleh karena itu, emosi adalah sebuah proses, bukan sesuatu yang tidak berubah-ubah. Namun, manakala mengalami reaksi usus, bukan berarti bahwa kita terjebak dalam lingkaran emosi. Sungguhpun demikian, emosi dapat dibangun melalui:
• Kimiawi tubuh (
body chemistry). Emosi akan memacu reaksi fisiologis melalui kimiawi layaknya dopamin (diasosiasikan dengan pleasure), adrenaline (diasosiasikan dengan ketakutan dan kemarahan), seratonin (diasosiasikan dengan serenity), oxytocin (diasosiasikan dengn rasa cinta), cortisol (diasosiasikan dengan stres), dan seterusnya. Kimiawi itu demikian banyaknya yang hendak dilakukannya untuk menciptakan perasaan emosi fisiologis. Semuanya ini saling berlomba untuk mempertahankan emosi apa saja yang ada dalam diri kita.
• Pikiran (kognisi). Sekali kita mulai dengan emosi tertentu, kita akan berpikir mengenai hal itu dan memonitor sekeliling. Misalnya, kita mungkin melihat kilatan lampu biru yang otomatis memberikan rangsangan rsa cemas jangan-jangan itu mobil polisi.
• Bahasa tubuh (body language). Jelaslah bagi kita bahwa kebahagiaan membuat orang tersenyum, sedangkan depresi membuat kita mengkerut. Yang menagumkan ialah bahwa ekspresi, postur, dan mungkin nada suara dapat merangsang kimiawi tubuh yang berhubungan dengan rangsangan emosi. Senyum dapat membuat kita merasa bahagia, sedangkan duduk tegak dapat membantu kita merasa awas dan positif.
• Siap bereaksi (being ready for action). Sudah jamak diketahui bahwa emosi kita cenderung menyiapkan bagaimana tubuh kita bereaksi. Untuk memerhatikan sesuatu dengan saksama atau untuk sigap bergerak dengan cepat. Emosi akan membuat tubuh kita siap bereaksi bahkan sebelum kita dapat merencanakan bagaimana harus bertindak.

Cita rasa emosi kerap muncul dalam bentuk kaget, kekaguman, euforia, kejengkelan, benci, sayang, kebosanan (ennui), kemarahan (fury), dan sebagainya. Negatifkah semuanya itu? Ataukah justru potensi yang jika dikelola merupakan kekuatan tersendiri?

Kesehatan mental dan tubuh sangat bertautan satu sama lain. Mejaga emosi tetap seimbang sangat penting untuk menjaga diri tetap sehat. Entah emosi itu positif entah negative; semuanya memunya potensi untuk memengaruhi kualitas hidup seseorang.

Manakala berhasil mengelola perasaan, Anda mulai menapak satu tangga menuju kesuksesan.

Kita perlu mengelola, sekaligus menyingkirkan, emosi negatif untuk meraih kesehatan mental dan fisik.

Selasa, 14 September 2010

e-book versus p-book

Buku elektonik (e-book) dan buku cetakan (p-book) melengkapi, bukan saling membunuh. Karena sifat keduanya berbeda, menyebabkan masing-masing punya kekurangan dan kelebihan. Sekaligus, punya pangsa pasar yang sama di satu pihak, namun di pihak lain berbeda.

Bagaimana prospek industri buku di era the new media?

Buku elektronik (e-book) pertama diperkenalkan Michael S. Hart pada 1971 dari Proyek Gutenberg. Bentuk e-book pada awalnya ialah prototipe desktop komputer notebook sebagaimana diperkenalkan Dynabook pada 1970-an di PARC yang, seperti dimaklumi, menjadi cikal bakal komputer pribadi. Gagasan yang sama juga dilontarkan Paul Drucker.

Awalnya, e-book ditulis untuk daerah khusus, dengan khalayak yang terbatas, Dimaksudkan untuk dibaca hanya oleh kelompok kecil dan setia. Ruang lingkup e-book termasuk pedoman teknis untuk hardware, teknik manufaktur, dan mata pelajaran pada umumnya.

Seiring perkembangan teknologi komunikasi, pada 1990-an, ketersediaan internet membuat orang gampang mentransfer file elektronik, termasuk e-book. Berbagai format e-book muncul dan berkembang biak, didukung beberapa perusahaan software besar, seperti Adobe dengan format PDF, selain didukung programmer independen dan open source.

Banyak orang dapat mengikuti perubahan format buku secara adaptif. Namun, tidak sedikit yang mengkhususkan diri pada satu format, sehingga mendorong fragmenting pasar e-book makin meningkat. Karena eksklusif dan terbatas penggunanya maka penulis dan pemasar e-book tidak memiliki konsensus mengenai standar kemasan, berikut bagaimana harus memasarkan e-book.

Kendati demikian, e-book terus berkembang dan bahkan membentuk pasar di kalangan penggunanya sendiri. Banyak penerbit e-book menerbitkan buku yang semula segmentasinya terbatas, perlahan-lahan masuk ranah publik.

Pada saat sama, penulis yang naskahnya ditampik penerbit menawarkan karyanya secara online sehingga dapat diketahui oleh orang lain. Tidak resmi (dan kadang-kadang tidak disensor) katalog buku disediakan melalui web, dan situs-situs yang ditujukan untuk marketing e-book mulai menyebarkan informasi tentang e-book untuk konsumsi umum.

Pada 2009, model pemasaran baru e-book berbasis hardware mulai dikembangkan. Namun, tetap saja e-book belum mencapai distribusi global seperti halnya p-book yang merasuk hingga ke desa-desa terpencil sekalipun. Dan bahkan omset penjualannya bisa menembus jutaan eksemplar.

Untuk mendukung promosi dan penjualan e-book, di Amerika Serikat, pada September 2009, Amazon dan Sony PRS-500 mengembangkan perangkat e-reading. Sementara itu, Barnes & Noble, Inc., retailer buku terbesar di AS, terus mengembangkan e-book dan coba membangun jaringan pemasaran di dunia maya.

Tak hendak kalah dalam persaingan, Apple Inc. perangkat multifungsi yang disebut iPad dan mengumumkan perjanjian dengan lima dari enam penerbit terbesar yang memungkinkan Apple mendistribusikan e-book. Namun, banyak penerbit dan penulis belum sepenuhnya didukung konsep penerbitan elektronik, baik dalam promosi, penjualan, administrasi pelanggan dan administrasi keuangan.

Pada Juli 2010, Amazon.com melaporkan penjualan e-books untuk perusahaan Kindle kalah jumlah penjualan buku hardcover untuk pertama kalinya pada kuartal kedua 2010. Dilaporkan bahwa mereka berhasil menjual 140 e-book untuk setiap 100 buku hardcover, termasuk hardcover untuk yang tidak ada edisi digitalnya. Pada bulan Juli jumlah ini meningkat menjadi 180 per 100 e-books.

Data American Association menunjukkan, penerbitan e-book baru sekitar 8,5% dari penjualan buku di Amerika pada pertengahan 2010.

Dengan demikian, di Amerika yang nota bene negara maju yang masyarakatnya melek teknologi (media) dan sudah lama berkomunikasi dan bertransaksi secara digital, keberadaan p-book masih sangat dominan.

Keunggulan dan kekurangan e-book
Keunggulan e-book, antara lain:
- mengklik (membukanya) lebih mudah dibanding p-book
- pembaca dapat sesuka hati menyesuaikan format (memperbesar ukuran font dan style, mengubah orientasi pada perangkat, memodifikasi kontras layar)
- apa yang diinginkan dapat dengan mudah dicari (misalnya, istilah khusus, definisi, bab), sering dengan hanya mengklik pada kata kunci dalam teks
- potensi untuk menambahkan multimedia (grafis, audio, video) dan hyperlink ke informasi lain, termasuk bahan referensi
- pembaca mudah mendapatkan judul hampir seketika melalui internet, termasuk yang backlisted atau out-of-print, dan ribuan yang berada dalam ranah publik
- usai dibaca mudah disimpan
- dapat dibaca dalam gelap.

Adapun kekurangannya:
- tergantung alat (komputer, laptop, jaringan internet)
- cenderung menjadi milik personal
- tidak mudah dibawa ke mana-mana (misalnya ke pantai dan kolam renang)
- melelahkan mata
- kurang prestisius karena tidak dapat dipajang dan dilihat orang.

Prospek p-book
Kebanyakan orang membaca e-book pada komputer pribadi. Namun, beberapa menggunakannya pada ponsel. Hal ini terutama dilakukan pembaca yang ingin mendapatkan informasi langsung di web. Pembaca ini juga disebut e-reader (pembaca elektronik).

Sama seperti kita punya penerbit buku di dunia nyata, kita sekarang memiliki penerbit e-book di World Wide Web (www) di dunia maya. Banyak penulis ingin memiliki versi e-book dari buku-buku mereka untuk dipublikasikan. Namun, ada juga penulis yang menentangnya. Salah satunya J.K. Rowling yang tegas menampik menerbitkan versi elektronik seri Harry Potter.

E-book memunyai pasar yang sangat luas dengan target pengguna yang besar. Inilah sebabnya, mengapa bisnis e-book bergerak pada kecepatan yang sangat luar biasa. Kita dengan mudah menemukan buku-buku elektronik. Melalui Google, mesin pencari, dalam sekejap informasi dan data apa saja dari buku dengan mudah dan cepat kita temukan.

E-book memiliki keuntungan. Misalnya, kita dapat menghemat waktu. Kita tidak perlu repot pergi ke toko, membeli buku atau membuang waktu menunggu kiriman tiba di rumah. Secara keseluruhan, ini proses yang memakan waktu. Karena waktu merupakan faktor sangat penting dalam dunia sekarang, e-book memberi solusi instan bagi manusia postmo.

Selain itu, kita juga dapat menghemat biaya karena tersedia banyak e-book di internet yang gratis. Hal yang tidak kita jumpai di dunia nyata.

Kita dapat dengan mudah mencari topik yang diinginkan di internet dan kemudian dengan mudah mendapatkan banyak e-book ihwal topik serupa. Buku elektronik juga tersedia di ponsel, karena perangkat tersebut telah menggunakan e-book yang lebih luas.

Seorang pengguna bisa mendapatkan informasi melalui e-book dari kantornya langsung di telepon genggamnya. Ini membawa revolusi dalam dunia internet dan komunikasi, sekaligus mengubah perilaku dan pola bisnis –termasuk bisnis buku.

Gejala seperti ini yang oleh Stewart Clegg (1990) disebut sebagai ciri-ciri organisasi postmodernisme. Yakni struktur fleksibel yang mensyaratkan karyawan dengan multiketerampilan yang cakap dan terus-menerus menjadi manusia pembelajar serta datangnya era perusahaan multinasional yang semakin menciutkan peran manusia dan cenderung mereduksi karyawan dengan subtitusi mesin dan alat.

Seperti koin memiliki dua sisi, e-book juga memiliki kelemahan. Misalnya, pengguna membutuhkan komputer pribadi atau ponsel untuk dapat memanfaatkannya. Data tersebut dapat hilang jika format file yang tidak didukung atau diubah dalam komputer pengguna.

Pembajakan adalah aspek yang harus dipikirkan saat berbicara mengenai e-book. E-book sering mendorong pembajakan yang pada gilirannya mengurangi keuntungan dari penerbit buku asli. Ini mungkin salah satu alasan, mengapa penulis seri Harry Potter tidak mendukung e-book.

***