Penerapan sistem penghalamanan (paginasi) sangat penting dalam sebuah naskah. Mengapa? Sebab penghalamanan adalah cermin sistematisasi satuan gagasan ke dalam bagian-bagian sampai detail. Semakin baik dan cermat penulis mensistematisasikan gagasannya maka uraiannya akan semakin mudah dimengerti.
Manakah gagasan yang sejajar, manakah yang lebih penting, dan manakah yang kurang penting, serta manakah menjelaskan yang mana akan tampak dari paginasi.
Lazimnya, terdapat empat sistem penghalamanan:
1. Gabungan angka romawi-arab.
2. Sistem angka dan huruf.
3. Sistem desimal.
4. Sistem lain (gabungan).
Gabungan angka romawi-arab
Contoh:
I. ……………………………..……………………..……….
1. …………………………………………….……….…..
(1) …………………………………………..…….……
(2)…………………………………………..…….…….
(3) ………………………………………………….…..
2. …………………………………………….………..….
3. ……………………………………………….……..….
(1) ……………………………………………….….…
(2) ………………………………………………….….
II. ……………………………………………………………..
1. ………………………………………………………....
2. ………………………………………………………....
III. ……………………………………………………………..
Sistem angka dan huruf
Contoh:
I. ……………………………..………….............................
A. ………...........................………………………….…..
1. …….............................……………………….……
2. …………............................………………….…….
3. ……………..............................……………….…..
B. …………………..........................………………..…..
C. ………………………...........................…………..….
1. ………………….……....................................….…
2. ……………................................……………….….
II. ………………………... ....................……….…………..
A ……………………………………..............................
B ……………………………………..............................
III. ……………………………………….....................….
Sistem desimal
Contoh:
1.1 .………………………..………….………......…….....…
1.2 ……………………………...…………..….………...…..
1.3 …………………………….………….....…………....….
1.4 ........................................................................
1.4.1 ……………………………....….........……....…….
1.4.1.1 ............................................................
1.4.1.2 ............................................................
1.4.2 ………………………………......…...…..….....…..
1.4.3 ............................................................................
1.5 ………………………………..…....……...................….
1.6 ……………………………………..…………...….....…..
1.7 ……………………….…………..……….…...….…....…
1.7.1 ……………………………...……..….....…......…..
1.7.2 ………………………………………….....…......…
1.7.3 ...........................................................................
1.7.4 ...........................................................................
1.7.5 ...........................................................................
1.8 ……………………………………………….…....……..
1.9 ………………………………………………….....……...
1.10 ................................................................................
Khusus untuk penghalamanan menggunakan sistem desimal kerap terjadi kesalahan mendasar. Setelah penomoran angka yang menunjukkan bab, subbab, dan sub subbab tidak diperlukan tanda titik (.). Alasannya penomoran tersebut menunjukkan satu gagasan yang utuh, jika diberikan tanda baca titik maka berarti gagasan sudah selesai atau berhenti sampai di situ dan disambung dengan gagasan yang baru lagi.
Untuk itu, perhatikan contoh penghalamanan pada sistem desimal, misalnya subbab 1.4 (tanpa diakhiri dengan titik), diteruskan dengan sub subbab yakni 1.4.1 (tanpa diakhiri dengan titik), dan karena masih ada pemikiran yang dipecah-pecah lagi menjadi sub dari subbab maka penomorannya menjadi 1.4.1.1 (tanpa diakhiri dengan titik).
Patut diperhatikan kerap terjadi kesalahan umum di dalam penerapan paginasi ini, terutama dalam hal konsistensi memilih sistem. Tidak menjadi persoalan menerapkan salah satu sistem, yang penting tahu alasannya dan konsisten di dalam penerapannya.
Yang lazim memang empat cara paginasi seperti di atas. Namun, kerap juga muncul variasi lain yang sebenarnya out of the box, namun karena sering diterapkan menjadi lazim seperti “sistem lain” di bawah ini. Sistem penomoran seperti ini kadang muncul dalam karya tulis populer dan situs-situs pribadi. Memang sebagai tanda cara paginasi seperti ini enak dilihat, namun sangat sulit untuk diacu.
SISTEM LAIN
Sistem ini tidak umum, namun dalam beberapa kasus, sering ditemukan.
1. Tidak dianjurkan pembedaan subbab, subsubbab, dan subsubsubbab dengan huruf kapital, misal: ANDA, Anda, dan anda.
2. Juga tidak dianjurkan menggunakan poin, misalnya: *, kotak □
Alasannya karena sukar mengacu pada poin yang dimaksudkan. Misalnya, buka bab 3, kotak ke sekian dari bawah (tidak langsung ketemu, mencari dulu dan butuh waktu!)
TATA KRAMA DALAM MENULIS
1. Jujur pada sumber (rujuk ke buku, hasil publikasi, dan pendapat). Kontraproduktif: promosi/iklan bagi sumber yang dikutip.
2. Mengutip yang persis sama: tidak melebihi 10%.
3. Penulis = koki. Meramu dan memasak dari berbagai bahan. Contoh: cap cay. Mengutip sumber juga ibarat membangun rumah. Rumah milik Anda, tapi bahan bangunan bisa mengambil dari mana saja.
4. Sistematika sendiri.
5. Contoh kasus (kalau misalnya sebuah rumusan, atau dalil tak mungkin diubah). Misalnya, angka 8 jadi 4, Ana jadi Anu, Kembang jadi Kambing.
6. Karya intelektual dianggap public domain: 50 tahun.
dari; bab 10 naskah buku How to Avoid Plagiarism (PT Indeks, dalam proses penerbitan)
Kamis, 30 Desember 2010
Mengutip dan Mengolah Sumber
Tidak ada sesuatu yang baru di atas muka bumi (di bawah matahari). Adagium terkenal ini pun berlaku dalam dunia ilmiah, termasuk dunia kepenulisan kreatif.
Tidak ada yang baru, dalam arti segala yang ada di jagat raya ini sudah diberikan Allah sebagai karunia kepada makhluk-Nya. Banyak hal yang belum diketahui manusia, sehingga untuk itu, diperlukan akal budi untuk memahami dan mengenalnya. Lahirlah ilmu pengetahuan dan teknolog sebagai upaya sistematis dan diakletis manusia di dalam upaya mencoba memahami dan menyelami rahasia semesta.
Mengutip dan mengolah sumber agar tidak plagiat mengenal berbagai cara atau gaya. Setidaknya, dikenal lima cara atau gaya dalam mengutip sumber yakni
1) Harvard Citation Style
2) Chicago & Turabian Style
3) MLA Style
4) British Standard (numeric) system
5) Oxford Referencing System
Kelima cara atau gaya mengutip dan mengolah sumber ini berbeda satu sama lain, meski jika titilik dari substansi atau kelengkapan informasi dan data yang disajikan pada hakikatnya sama saja. Oleh karena itu, semestinya tidak ada alasan untuk fanatik atau mengharuskan menggunakan dan menerapkan salah satu gaya.
Yang ada hanyalah kebiasaan atau kekonsistenan di dalam penerapannya. Sering latar belakang pendidikan dan tradisilah yang membuat seseorang menganut salah satu gaya. Akan tetapi, manakala ia bergabung dalam komunitas atau masuk dalam tradisi tertentu hendaknya menyesuaikan dengan gaya yang dianut. Tidak perlu bersikukuh dengan gaya yang sudah pernah diterapkan sebab gaya bukanlah substansi itu sendiri, substansinya ialah kelengkapan data dan informasi yang disajikan.
Ciri-ciri dan contoh masing-masing cara atau gaya dalam mengutip sumber akan dibahas pada bab tersendiri.
KIAT TIDAK PLAGIAT
Plagiat dalam dunia ilmiah tidak dapat dibenarkan. Sebab, plagiat adalah tindakan mengingkari kejujuran. Padahal, kejujuran dalam dunia ilmiah adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar.
Meski demikian, masih saja kita menjumpai bukti, insan akademik melanggar kaidah tadi. Di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Jogja, seorang dosen langsung jatuh pamor dan harganya, gara-gara menjiplak karya ilmiah orang lain, menulis namanya sebagai penemu dan pembuat, padahal sebagian besar karya orang lain. Lagi pula, cara-cara yang ditempuh kurang etis, sehingga berujung pada sanksi sosial dan sanksi pidana.
Tidak berarti plagiat lalu menjadi momok bagi seseorang untuk tidak mengangkat pena sama sekali. Berkaitan dengan dunia tulis-menulis, lebih-lebih menulis ilmiah, bolehkah penulis mengutip sumber luar yang sekiranya mendukung atau membenarkan ide-ide dan hasil temuannya? Boleh sekali, malah sangat dianjurkan. Yang penting, penulis jujur pada sumber. Sumber yang digunakannya sebagai rujukan/referensi, atau bahan yang diolahnya menjadi tulisan, hendaknya disebutkan dengan jujur (bagaimana mengutip sumber, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).
Mengutip tanpa menyebut dengan jujur sumbernya, dapat diseret ke meja hijau dengan dakwaan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sebagai penulis, kita perlu mafhum soal Hak Cipta, sehingga terhindar dari perkara pidana.
Pasal 15 butir a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, menegaskan, “Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.”
Asalkan jujur pada sumber, tidak ada masalah di dalam menulis buku ajar seorang dosen mengutip sumber lain, baik untuk mendukung hasil temuannya, maupun untuk mengembangkan ide-idenya.
MENGAPA DAN BAGAIMANA
MENGUTIP SUMBER?
Namanya saja mengutip maka sebuah kutipan haruslah sesuai dengan aslinya, baik dalam hal tanda baca, ejaan, kata, dan kalimat –kecuali jika ada kata atau kalimat tertentu yang sengaja dihilangkan karena dianggap tidak relevan.
Apabila sebuah kutipan secara gramatikal maupun dari keutuhan gagasan merupakan sebuah kalimat maka suatu kutipan tidak diawali dengan huruf kapital, walaupun aslinya ditulis dengan huruf kapital.
Sebagai contoh (teks aslinya) sebagai berikut.
Get friends to do it for you. It’s easier for others to see our mistakes than it is for us to spot them.
Sebagai penulis, kita ingin mengutip sumber asli karya Jean Marie Stine (1997) ini untuk mendukung pendapat kita bahwa jasa rekan atau kolega penting untuk membantu mengedit naskah dan bahwa kerap orang lain lebih jeli melihat kesalahan daripada penulisnya sendiri. Jika secara gramatikal dan merupakan satu kesatuan gagasan maka huruf G pada “Get” yang dalam naskah alinya kapital, dalam sebuah kutipan menjadi huruf kecil. Misalnya,
Agar hasil tulisan semakin sempurna, Marie Stine (1997) menganjurkan kepada setiap penulis, “get friends to do it for you.“
Bagaimana teknik mengutip sumber?
Lazimnya, jika kutipan hanya terdiri atas satu sampai dengan tiga kalimat saja, kutipan langsung masuk dalam body text (paparan), baru menyebutkan sumbernya dipetik dari mana.
Seorang penulis ingin mencari pembenaran idenya, bahwa naskah buku yang baik itu perlu distrategikan pengadaannya. Untuk itu, industri penerbitan perlu membangun jejaring agar mendapat naskah yang bagus. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan pendapat praktisi sekaligus pakar di bidangnya. Si penulis memutuskan untuk memasukkan pandangan praktisi dan pakar tadi.
Contoh:
Pakar, sekaligus praktisi perbukuan dari Bandung, Bambang Trim (2005) menegaskan bahwa “penerbit perlu bahan baku buku berupa naskah. Tanpa naskah penerbit tidak akan bisa hidup.”
Akan tetapi, jika tidak mengutip persis sumbernya, dan hanya memasukkan intinya saja, bisa demikian.
Buku yang baik perlu distrategikan pengadaannya. Untuk itu, industri penerbitan perlu membangun jejaring agar mendapat naskah yang bagus untuk diterbitkan (Bambang Trim, 2005).
Manakala dirasakan bahwa ide pokok sumber yang dikutip sulit dilacak karena sudah diolah —seperti memasak cap cay atau mendirikan bangunan— maka sumber itu tidak perlu disebut.
Ada juga kutipan dari sumber ukuran huruf atau jenis huruf dibedakan dari bahasan pokok.
Contoh:
Marketing, menurut Kotler dan Armstrong (2006) “in the new sense marketing must be understood of satisfying customer needs. …marketing is a social and managerial process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating and exchanging value with others.”
Terutama dalam karya ilmiah, termasuk buku ajar, kutip-mengutip menjadi hal yang lazim. Namun, banyak akademisi merasa canggung, bahkan ada yang merasa khawatir, apakah di dalam penulisan karya ilmiah dibenarkan mengutip sumber lain? Sejauh mana boleh mengutip, sehingga si pengutip tidak disebut plagiat dan tidak melanggar hukum? Mengapa harus mengutip dan adakah kiat-kiatnya?
Sebagai penulis, kita sebenarnya meramu berbagai bahan menjadi sajian yang tidak saja enak rasanya, tapi juga menarik bentuknya. Kutipan yang terlampau banyak, dapat menyeret seorang penulis pada tuduhan ia hanyalah mengkompilasi, atau malah melakukan plagiat. Sebaliknya, tidak mengutip sama sekali, akan dipertanyakan, apakah seluruh gagasan, informasi, fakta, serta temuan yang dutulisnya benar merupakan gagasan orisinalnya?
Mengutip sumber lazim dilakukan penulis pada setiap karya tulis ilmiah, selain buku. Demi menghindari pelanggaran hak cipta, dan dengan mempertimbangkan etika dalam penulisan karya ilmiah, penulis perlu mengetahui kaidah-kaidah mengutip.
Kapan seorang penulis harus mengutip sumber? Penulis mengutip sumber ketika:
1. Sumber tersebut benar-benar diperlukan untuk mendukung gagasan penulis bahwa sebelum itu pernah ada orang lain yang menyampaikan dan atau melempar gagasan serupa.
2. Membuktikan permasalahan dan persoalan yang Anda sampaikan.
3. Mengritik atau mengamini premis atau temuan orang lain.
4. Membangun argumen/ simpulan Anda sendiri dengan menggunakan premis-premis yang sudah ada sebelumnya.
5. Menggarisbawahi gagasan atau bagian tertentu.
Hal yang perlu dihindari ialah, kutipan yang tidak menambah makna apa-apa dalam bangun tulisan Anda. Jangan sekali-kali mengutip sumber dengan tujuan untuk “memamerkan” bahwa Anda telah membaca sumber itu, padahal tidak relevan dengan topik yang sedang dibahas. Buang jauh kesombongan intelektual seperti itu, sebab Anda akan membangun citra yang kurang baik.
Mengutip sumber langsung memang lazim dan kerap sangat berguna. Namun, namanya mengutip, jangan sekali-kali melakukan kesalahan ketika mengutip. Kutiplah dengan saksama dan seakurat mungkin.
Kalau ternyata terdapat kesalahan dalam teks yang dikutip, penulis dapat memberikan catatan khusus langsung pada teks dengan tanda kurung, lalu diberi catatan ‘sic.’, yakni singkatan dari sicut (Latin) yang berarti : memang demikianlah aslinya (tercetak). Atau, sesuai dengan petunjuk dari Depdiknas-Pusat Bahasa seperti termuat dalam buku Pedoman Umum EYD, berikan tanda siku [ ] mengapit kutipan yang ternyata salah itu.
Contoh teks asli:
Menteri Tenaga Kera di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.
Sebagai penulis, Anda menyaksikan, terdapat kesalahan fatal pada kata ‘Kera’. Seharusnya, Kerja. Jadi, tercetak kurang huruf r. Anda mengutip, namun tak mau konyol dengan melakukan kesalahan serupa. Bagaimana caranya?
1. Cara pertama
Menteri Tenaga Ker[j]a di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.
2. Cara kedua
Menteri Tenaga Kera (sic.) di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.
CARA MENGUTIP
Dalam dunia ilmiah, mengutip karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan orang lain—terutama pakar—tidak diharamkan. Bahkan, untuk sebagian akademisi, kutipan itu sangat vital, asalkan jujur pada sumber.
Apa kompensasi bagi orang yang karya ciptanya dikutip? Kompensasinya ialah, dengan dikutipnya karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan tadi, pencetusnya akan jadi populer dan dikenal. Dengan dikenal, ia akan mendapat efek domino. Ini namanya kontraproduktif, atau win-win solution.
Dalam mengutip, terdapat dua cara yang lazim digunakan yakni:
1) Sistem Harvard.
2) Sistem numerik.
Yang paling disukai dalam penulisan karya ilmiah ialah cara mengutip dengan sistem Harvard. Selain paling umum, sistem mengutip ala Harvard juga gampang, selain memudahkan penulis di dalam menggunakan dan menelusuri kembali sumber atau rujukan.
Sistem Harvard sendiri mengenal dua pola : (1) kutipan yang terintegrasi dalam teks dan (2) rujukan bibliografis.
a. Kutipan yang terintegrasi atau tekstual
Untuk kutipan ini, biasanya halaman sumber dicantumkan, sebab penulis merujuk langsung pada sumber yang dikutip.
Contoh 1:
Ada banyak ragam lead. Masing-masing penulis buku jarang menyepakati jumlahnya, namun mereka umumnya sepakat bahwa lead berfungsi mengantar pembaca memasuki sebuah tulisan. Dengan membaca lead, orang sudah mafhum inti tulisan. Seperti ditegaskan R. Masri Sareb Putra (2006):
Dalam dunia jurnalistik, lead juga disebut sebagai “teras berita”. Pada sebuah rumah, teras selalu berada di bagian depan. Fungsinya sebagai ruang khusus sebelum memasuki ruang utama (inti) (hlm. 58).
Contoh 2:
Di era multimedia, banyak pakar mencemaskan semakin sedikitnya orang menggunakan kertas sebagai media komunikasi. Namun, R. Masri Sareb Putra (2007) melihat sebaliknya. Kertas dan media digital tidak saling meniadakan, justru saling melengkapi. Tidak ada media lain, selain kertas, yang dapat menggantikan proses pendidikan, utamanya belajar-mengajar. Pendidikan hampir selalu berkaitan dengan proses dan kegiatan cetak-mencetak. Karena itu, pertumbuhan media akan dibarenngi pula dengan semakin dihargainya profesi penulis. Bahkan, prospeknya sangat cerah.
Karena pemilik copyright (sumber) telah disebut dan juga tahunnya, maka dua hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, pembaca tentu penasaran, minimal bertanya-tanya, sumber yang dikutip? Apa judul sumber yang dikutip, dalam bentuk publikasi apa, apa penerbitnya?
Kalau sumber yang dikutip berupa koran dan majalah, niscaya jumlah halamannya tidak sampai 58. Jurnal mungkin halamannya sampai 58. Tapi yang paling mungkin adalah buku. Bagaimana mengacu ke sumber? Untuk memudahkan pembaca, penulis perlu mencantumkan sumber yang dukutipnya lengkap dalam Daftar Pustaka. Dengan mencantumkannya dalam Daftar Pustaka, maka pembaca dapat menyelisik sumber yang dikutip, jika memerlukannya.
Bagaimana dengan kutipan pada contoh 2, di mana sumber tidak dicantumkan? Dilihat dari isinya, memang tidak perlu mencantumkan sumber, sebab sesungguhnya itu bukan kutipan teks, namun kutipan opini/gagasan/hasil temuan dari nara sumber. Penulis telah meringkasnya dengan bahasanya sendiri, ia menulis intisari saja dari sumber yang ia petik. Cara mengacu sumber asli, juga sama dengan contoh 1, yakni melacaknya dari Daftar Pustaka. Ternyata, setelah mencari, akhirnya contoh kutipan kedua itu dipetik dari buku Menulis: Meningkatkan dan Menjual Kecerdasan Verbal-Lingustik Anda, penerbit Dioma, 2005, hlm. 115.
Yang sama dari contoh 1 dan 2, kutipan yang terintegrasi perlu dibedakan body text (asli tulisan Anda) dengan kutipan. Agar berbeda, dapat keduanya menggunakan point huruf (font size) yang berbeda, atau dengan jenis huruf (tipologi) yang berbeda.
Selain kedua contoh tersebut, kita masih sering menemukan berbagai variasi lain dari cara mengutip model Harvard. Misalnya,
1. Sebuah riset baru-baru ini (James Pennebaker 2007) menemukan bahwa menulis banyak sekali manfaatnya, antara lain menulis dapat menghilangkan trauma-trauma masa lalu.
2. Parakitri T. Simbolon (2006) mencatat terdapat 16 ragam lead.
3. Studi-studi mutakhir mengenai komunikasi sampai pada kesimpulan, setiap bangsa memiliki persepsi masing-masing terhadap sebuah perilaku atau simbol yang sama (lihat misalnya Carté dan Fox 2006).
4. Dalam studi mengenai efek atau pengaruh penonton Anfield, psikolog bernama Kampret Terbang Tinggi (2007, hlm. 113) menyebut bahwa penonton di stadion Anfield adalah pemain ke-12 pasukan merah Liverpool. Tidak mengherankan, jika bermain di kandang, Liverpool hampir selalu menang. Sebab, mereka berhadapan dengan 11 pemain lawan.
Itu adalah contoh dan sejumlah variasi model kutipan Harvard. Memang masih menyisakan perdebatan, seperti cara mengutip ala Harvard mengurangi kelancaran (dan kenyamanan) membaca.
Oleh karena itu, penulis hendaknya mengurangi jumlah rujukan tekstual yang dipetik. Lagi pula, akan muncul kecurigaan: benarkah penulis membaca seluruh sumber yang dikutip? Bukankah litani yang dikutip itu bukan ihwal yang bermaksud memamerkan atau untuk gagah-gagahan?
Dalam mengutip gaya Harvard, hindari kutipan seperti yang berikut ini.
Tidak ada kesepakatan soal definisi komunikasi (Laswell, 1937; Little John 2005; Rupert Murdoch 1998; Astrid Susanto 2001; Brian Clegg 2001; Jamiludin Ritonga 2005; Wiryono, 2005; Dani Vardiansyah 2005; Lidia Evelina 2006; Masri Sareb Putra 2006; Arifin Harahap 2006; Zaenal Abidin 2006; Emrus Sihombing 2006; Ati Cahayani 2006; Jenni Purba 2006; Jalaludin Rahmat 2006; Berta Sri Eko 2007; Carté dan Fox 2006; Rozikis dan Ambulu 2007; Thomson 2007; Kukuh Prihmanto 2007; Ande-ande Lumut 2007, Djoko Bodo 2007; Lita Mawarni 2007; Dian Utama Purnama et at. 2006, 2007). Dengan ada begitu banyak definisi komunikasi, maka justru pengertian komunikasi jadi simpang siur. Dari kesepakatan para pakar untuk tidak bersepakat soal definisi komunikasi, dapat disimpulkan, upaya membangun komunikasi untuk menyepakai definisi komunikasi mengalami diskomunikasi. Dengan demikian, terjadikah komunikasi ketika membahas definisi komunikasi, sebab dari awal para pakar sudah mengalami diskomunikasi?
b. Kutipan dan cara mengatur rujukan bibliografis
Rujukan berasal dari kata ”rujuk” yang berarti: acuan. Makna kata ini sepadan dengan referensi (to refer = mengacu). Adapun bibliografi berasal dari kat Yunani biblos atau ta biblia (jamak) yang berarti buku dan grafein yang berarti tulisan atau ilmu. Jadi, bibliografi ialah buku yang di dalamnya terkandung tulisan dan atau gambar. Rujukan dalam bentuk tulisan, baik cetak maupun etektronik, dapat ditulis berdasarkan kategori medianya seperti contoh berikut.
1. Mengutip dan mengatur rujukan dari buku
Carté dan Fox (2004) Bridging the Culture Gap: A Practical Guide to International Business Communication, London, Kogan Page.
2. Mengutip dari koran, majalah, jurnal
Vanda Gunawan (2007) “Hati-hati dengan Kambing Guling” Nirmala, edisi Mei, halaman 24.
3. Mengutip dari sumber internet
Abdul Aziz, Tunku (diakaes 10 Mei 2007), Transparency International (Online) http://www.transparency.org (http://transparencymauritius.intnet.mu/cpiwhat2.htm)
Masih menjadi bahan perdebatan, manakah pola (gaya) yang paling benar? Bukan soal benar tidaknya, tapi soal praktis atau kelaziman dan mana yang paling banyak digunakan orang. Umumnya, kalangan akademis menggunakan gaya Harvard, sebab dibandingkan dengan yang dianjurkan Pusat Bahasa, model Harvard masih lebih sederhana dan mudah.
Akan halnya, apakah nama penulis harus dibalik ataukah tidak, masih perlu diperdebatkan. Mengapa umumnya nama penulis luar, terutama Barat, dibalik? Ini karena mereka mengenal nama kecil, nama keluarga, dan nama diri. Di Indonesia, kecuali bangsa tertentu, tidak mengenal seperti ini. Maka, apakah nama mesti dibalik atau tidak dalam tata krama penulisan sumber di Indonesia, sangat tergantung konteks.
Sebagai contoh, inilah cara mengutip bibliografi seperti dianjurkan Depdiknas-Pusat Bahasa.
Partao, Zainal Abidin. 2006. Teknik Lobi dan Diplomasi untuk Insan Public Relations. Jakarta : PT Indeks.
Debat soal ini pernah terjadi pada pada forum ilmiah ketika FKGUI menyelenggarakan teknik penulisan buku ajar tahun 2006. Debat dan adu argumentasi akhirnya sampai pada simpulan, cara mana yang dipilih, tidak persoalan. Yang penting, di dalam mengutip, data yang dibutuhkan pembaca lengkap. Kalau data tidak lengkap, maka menggunakan cara mengutip yang dirasa paling hebat pun jadi tidak banyak faedah. Jika sumber yang dikutip lengkap datanya, maka dengan menggunakan gaya mana pun, kutipan jadi mudah untuk dilacak.
Kata, atau frasa, apa yang dapat digunakan untuk memulai kutipan? Banyak cara dapat digunakan untuk memulai kutipan. Berikut ini frasa yang lazim digunakan mengawali kutipan dalam penulisan karya ilmiah.
Si anu….
Menurut si anu….
Menurut pendapat si anu…
Menurut pandangan si anu…
Seperti di-…. si anu….
Frasa tersebut dapat digunakan secara bervariasi, sehingga tidak membosankan. Lazimnya, setelah frasa, diikuti kata yang berikut ini.
menulis
mencatat
berargumen
menemukan.
menyimpulkan
mengomentari
menegaskan
menyarankan
mengobservasi
memasukkan
menyatakan
mengemukakan
menolak
mengklaim
menyepakati
menunjukkan
mengatakan
menjelaskan
Setiap kata mengandung nuansa sendiri-sendiri, kapan sebaiknya digunakan, bergantung pada konteks. Kalau misalnya pendapat yang dikutip memang dibukukan, namun sebelumnya disampaikan pada prosiding seminar, maka kata “mengatakan” masuk akal. Namun, kalau pendapat dalam bentuk karya cetak, kata “mengatakan” terasa janggal; akan lebih baik jika “menulis” atau “mencatat”.
Di Kanada dan Amerika, koma tidak pernah berada di luar tanda petik. Tanda baca koma (,) selalu merupakan bagian utuh dari kutipan, atau penulis yang dikutip. Sebagai contoh:
"I am a man/ more sinned against than sinning," Lear pronounces in Act 3, Scene 2 (59-60).
Bagaimana di Indonesia? Tampaknya, tidak ada keseragaman untuk itu. Ada penulis yang menempatkan tanda koma (,) seperti cara Kanada dan Amerika, namun ada pula yang menempatkannya setelah tanda petik. Manakah yang baku? Di sini kembali lagi pada pilihan dan kelaziman. Jika ingin dianggap setara negara maju, maka tempuhlah cara penulisan ilmiah seperti mereka juga!
dari BAB 6 naskah buku Kiat Menghindar Plagiat (PT Indeks, dalam proses penerbitan)
Tidak ada yang baru, dalam arti segala yang ada di jagat raya ini sudah diberikan Allah sebagai karunia kepada makhluk-Nya. Banyak hal yang belum diketahui manusia, sehingga untuk itu, diperlukan akal budi untuk memahami dan mengenalnya. Lahirlah ilmu pengetahuan dan teknolog sebagai upaya sistematis dan diakletis manusia di dalam upaya mencoba memahami dan menyelami rahasia semesta.
Mengutip dan mengolah sumber agar tidak plagiat mengenal berbagai cara atau gaya. Setidaknya, dikenal lima cara atau gaya dalam mengutip sumber yakni
1) Harvard Citation Style
2) Chicago & Turabian Style
3) MLA Style
4) British Standard (numeric) system
5) Oxford Referencing System
Kelima cara atau gaya mengutip dan mengolah sumber ini berbeda satu sama lain, meski jika titilik dari substansi atau kelengkapan informasi dan data yang disajikan pada hakikatnya sama saja. Oleh karena itu, semestinya tidak ada alasan untuk fanatik atau mengharuskan menggunakan dan menerapkan salah satu gaya.
Yang ada hanyalah kebiasaan atau kekonsistenan di dalam penerapannya. Sering latar belakang pendidikan dan tradisilah yang membuat seseorang menganut salah satu gaya. Akan tetapi, manakala ia bergabung dalam komunitas atau masuk dalam tradisi tertentu hendaknya menyesuaikan dengan gaya yang dianut. Tidak perlu bersikukuh dengan gaya yang sudah pernah diterapkan sebab gaya bukanlah substansi itu sendiri, substansinya ialah kelengkapan data dan informasi yang disajikan.
Ciri-ciri dan contoh masing-masing cara atau gaya dalam mengutip sumber akan dibahas pada bab tersendiri.
KIAT TIDAK PLAGIAT
Plagiat dalam dunia ilmiah tidak dapat dibenarkan. Sebab, plagiat adalah tindakan mengingkari kejujuran. Padahal, kejujuran dalam dunia ilmiah adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar.
Meski demikian, masih saja kita menjumpai bukti, insan akademik melanggar kaidah tadi. Di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Jogja, seorang dosen langsung jatuh pamor dan harganya, gara-gara menjiplak karya ilmiah orang lain, menulis namanya sebagai penemu dan pembuat, padahal sebagian besar karya orang lain. Lagi pula, cara-cara yang ditempuh kurang etis, sehingga berujung pada sanksi sosial dan sanksi pidana.
Tidak berarti plagiat lalu menjadi momok bagi seseorang untuk tidak mengangkat pena sama sekali. Berkaitan dengan dunia tulis-menulis, lebih-lebih menulis ilmiah, bolehkah penulis mengutip sumber luar yang sekiranya mendukung atau membenarkan ide-ide dan hasil temuannya? Boleh sekali, malah sangat dianjurkan. Yang penting, penulis jujur pada sumber. Sumber yang digunakannya sebagai rujukan/referensi, atau bahan yang diolahnya menjadi tulisan, hendaknya disebutkan dengan jujur (bagaimana mengutip sumber, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).
Mengutip tanpa menyebut dengan jujur sumbernya, dapat diseret ke meja hijau dengan dakwaan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sebagai penulis, kita perlu mafhum soal Hak Cipta, sehingga terhindar dari perkara pidana.
Pasal 15 butir a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, menegaskan, “Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.”
Asalkan jujur pada sumber, tidak ada masalah di dalam menulis buku ajar seorang dosen mengutip sumber lain, baik untuk mendukung hasil temuannya, maupun untuk mengembangkan ide-idenya.
MENGAPA DAN BAGAIMANA
MENGUTIP SUMBER?
Namanya saja mengutip maka sebuah kutipan haruslah sesuai dengan aslinya, baik dalam hal tanda baca, ejaan, kata, dan kalimat –kecuali jika ada kata atau kalimat tertentu yang sengaja dihilangkan karena dianggap tidak relevan.
Apabila sebuah kutipan secara gramatikal maupun dari keutuhan gagasan merupakan sebuah kalimat maka suatu kutipan tidak diawali dengan huruf kapital, walaupun aslinya ditulis dengan huruf kapital.
Sebagai contoh (teks aslinya) sebagai berikut.
Get friends to do it for you. It’s easier for others to see our mistakes than it is for us to spot them.
Sebagai penulis, kita ingin mengutip sumber asli karya Jean Marie Stine (1997) ini untuk mendukung pendapat kita bahwa jasa rekan atau kolega penting untuk membantu mengedit naskah dan bahwa kerap orang lain lebih jeli melihat kesalahan daripada penulisnya sendiri. Jika secara gramatikal dan merupakan satu kesatuan gagasan maka huruf G pada “Get” yang dalam naskah alinya kapital, dalam sebuah kutipan menjadi huruf kecil. Misalnya,
Agar hasil tulisan semakin sempurna, Marie Stine (1997) menganjurkan kepada setiap penulis, “get friends to do it for you.“
Bagaimana teknik mengutip sumber?
Lazimnya, jika kutipan hanya terdiri atas satu sampai dengan tiga kalimat saja, kutipan langsung masuk dalam body text (paparan), baru menyebutkan sumbernya dipetik dari mana.
Seorang penulis ingin mencari pembenaran idenya, bahwa naskah buku yang baik itu perlu distrategikan pengadaannya. Untuk itu, industri penerbitan perlu membangun jejaring agar mendapat naskah yang bagus. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan pendapat praktisi sekaligus pakar di bidangnya. Si penulis memutuskan untuk memasukkan pandangan praktisi dan pakar tadi.
Contoh:
Pakar, sekaligus praktisi perbukuan dari Bandung, Bambang Trim (2005) menegaskan bahwa “penerbit perlu bahan baku buku berupa naskah. Tanpa naskah penerbit tidak akan bisa hidup.”
Akan tetapi, jika tidak mengutip persis sumbernya, dan hanya memasukkan intinya saja, bisa demikian.
Buku yang baik perlu distrategikan pengadaannya. Untuk itu, industri penerbitan perlu membangun jejaring agar mendapat naskah yang bagus untuk diterbitkan (Bambang Trim, 2005).
Manakala dirasakan bahwa ide pokok sumber yang dikutip sulit dilacak karena sudah diolah —seperti memasak cap cay atau mendirikan bangunan— maka sumber itu tidak perlu disebut.
Ada juga kutipan dari sumber ukuran huruf atau jenis huruf dibedakan dari bahasan pokok.
Contoh:
Marketing, menurut Kotler dan Armstrong (2006) “in the new sense marketing must be understood of satisfying customer needs. …marketing is a social and managerial process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating and exchanging value with others.”
Terutama dalam karya ilmiah, termasuk buku ajar, kutip-mengutip menjadi hal yang lazim. Namun, banyak akademisi merasa canggung, bahkan ada yang merasa khawatir, apakah di dalam penulisan karya ilmiah dibenarkan mengutip sumber lain? Sejauh mana boleh mengutip, sehingga si pengutip tidak disebut plagiat dan tidak melanggar hukum? Mengapa harus mengutip dan adakah kiat-kiatnya?
Sebagai penulis, kita sebenarnya meramu berbagai bahan menjadi sajian yang tidak saja enak rasanya, tapi juga menarik bentuknya. Kutipan yang terlampau banyak, dapat menyeret seorang penulis pada tuduhan ia hanyalah mengkompilasi, atau malah melakukan plagiat. Sebaliknya, tidak mengutip sama sekali, akan dipertanyakan, apakah seluruh gagasan, informasi, fakta, serta temuan yang dutulisnya benar merupakan gagasan orisinalnya?
Mengutip sumber lazim dilakukan penulis pada setiap karya tulis ilmiah, selain buku. Demi menghindari pelanggaran hak cipta, dan dengan mempertimbangkan etika dalam penulisan karya ilmiah, penulis perlu mengetahui kaidah-kaidah mengutip.
Kapan seorang penulis harus mengutip sumber? Penulis mengutip sumber ketika:
1. Sumber tersebut benar-benar diperlukan untuk mendukung gagasan penulis bahwa sebelum itu pernah ada orang lain yang menyampaikan dan atau melempar gagasan serupa.
2. Membuktikan permasalahan dan persoalan yang Anda sampaikan.
3. Mengritik atau mengamini premis atau temuan orang lain.
4. Membangun argumen/ simpulan Anda sendiri dengan menggunakan premis-premis yang sudah ada sebelumnya.
5. Menggarisbawahi gagasan atau bagian tertentu.
Hal yang perlu dihindari ialah, kutipan yang tidak menambah makna apa-apa dalam bangun tulisan Anda. Jangan sekali-kali mengutip sumber dengan tujuan untuk “memamerkan” bahwa Anda telah membaca sumber itu, padahal tidak relevan dengan topik yang sedang dibahas. Buang jauh kesombongan intelektual seperti itu, sebab Anda akan membangun citra yang kurang baik.
Mengutip sumber langsung memang lazim dan kerap sangat berguna. Namun, namanya mengutip, jangan sekali-kali melakukan kesalahan ketika mengutip. Kutiplah dengan saksama dan seakurat mungkin.
Kalau ternyata terdapat kesalahan dalam teks yang dikutip, penulis dapat memberikan catatan khusus langsung pada teks dengan tanda kurung, lalu diberi catatan ‘sic.’, yakni singkatan dari sicut (Latin) yang berarti : memang demikianlah aslinya (tercetak). Atau, sesuai dengan petunjuk dari Depdiknas-Pusat Bahasa seperti termuat dalam buku Pedoman Umum EYD, berikan tanda siku [ ] mengapit kutipan yang ternyata salah itu.
Contoh teks asli:
Menteri Tenaga Kera di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.
Sebagai penulis, Anda menyaksikan, terdapat kesalahan fatal pada kata ‘Kera’. Seharusnya, Kerja. Jadi, tercetak kurang huruf r. Anda mengutip, namun tak mau konyol dengan melakukan kesalahan serupa. Bagaimana caranya?
1. Cara pertama
Menteri Tenaga Ker[j]a di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.
2. Cara kedua
Menteri Tenaga Kera (sic.) di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.
CARA MENGUTIP
Dalam dunia ilmiah, mengutip karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan orang lain—terutama pakar—tidak diharamkan. Bahkan, untuk sebagian akademisi, kutipan itu sangat vital, asalkan jujur pada sumber.
Apa kompensasi bagi orang yang karya ciptanya dikutip? Kompensasinya ialah, dengan dikutipnya karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan tadi, pencetusnya akan jadi populer dan dikenal. Dengan dikenal, ia akan mendapat efek domino. Ini namanya kontraproduktif, atau win-win solution.
Dalam mengutip, terdapat dua cara yang lazim digunakan yakni:
1) Sistem Harvard.
2) Sistem numerik.
Yang paling disukai dalam penulisan karya ilmiah ialah cara mengutip dengan sistem Harvard. Selain paling umum, sistem mengutip ala Harvard juga gampang, selain memudahkan penulis di dalam menggunakan dan menelusuri kembali sumber atau rujukan.
Sistem Harvard sendiri mengenal dua pola : (1) kutipan yang terintegrasi dalam teks dan (2) rujukan bibliografis.
a. Kutipan yang terintegrasi atau tekstual
Untuk kutipan ini, biasanya halaman sumber dicantumkan, sebab penulis merujuk langsung pada sumber yang dikutip.
Contoh 1:
Ada banyak ragam lead. Masing-masing penulis buku jarang menyepakati jumlahnya, namun mereka umumnya sepakat bahwa lead berfungsi mengantar pembaca memasuki sebuah tulisan. Dengan membaca lead, orang sudah mafhum inti tulisan. Seperti ditegaskan R. Masri Sareb Putra (2006):
Dalam dunia jurnalistik, lead juga disebut sebagai “teras berita”. Pada sebuah rumah, teras selalu berada di bagian depan. Fungsinya sebagai ruang khusus sebelum memasuki ruang utama (inti) (hlm. 58).
Contoh 2:
Di era multimedia, banyak pakar mencemaskan semakin sedikitnya orang menggunakan kertas sebagai media komunikasi. Namun, R. Masri Sareb Putra (2007) melihat sebaliknya. Kertas dan media digital tidak saling meniadakan, justru saling melengkapi. Tidak ada media lain, selain kertas, yang dapat menggantikan proses pendidikan, utamanya belajar-mengajar. Pendidikan hampir selalu berkaitan dengan proses dan kegiatan cetak-mencetak. Karena itu, pertumbuhan media akan dibarenngi pula dengan semakin dihargainya profesi penulis. Bahkan, prospeknya sangat cerah.
Karena pemilik copyright (sumber) telah disebut dan juga tahunnya, maka dua hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, pembaca tentu penasaran, minimal bertanya-tanya, sumber yang dikutip? Apa judul sumber yang dikutip, dalam bentuk publikasi apa, apa penerbitnya?
Kalau sumber yang dikutip berupa koran dan majalah, niscaya jumlah halamannya tidak sampai 58. Jurnal mungkin halamannya sampai 58. Tapi yang paling mungkin adalah buku. Bagaimana mengacu ke sumber? Untuk memudahkan pembaca, penulis perlu mencantumkan sumber yang dukutipnya lengkap dalam Daftar Pustaka. Dengan mencantumkannya dalam Daftar Pustaka, maka pembaca dapat menyelisik sumber yang dikutip, jika memerlukannya.
Bagaimana dengan kutipan pada contoh 2, di mana sumber tidak dicantumkan? Dilihat dari isinya, memang tidak perlu mencantumkan sumber, sebab sesungguhnya itu bukan kutipan teks, namun kutipan opini/gagasan/hasil temuan dari nara sumber. Penulis telah meringkasnya dengan bahasanya sendiri, ia menulis intisari saja dari sumber yang ia petik. Cara mengacu sumber asli, juga sama dengan contoh 1, yakni melacaknya dari Daftar Pustaka. Ternyata, setelah mencari, akhirnya contoh kutipan kedua itu dipetik dari buku Menulis: Meningkatkan dan Menjual Kecerdasan Verbal-Lingustik Anda, penerbit Dioma, 2005, hlm. 115.
Yang sama dari contoh 1 dan 2, kutipan yang terintegrasi perlu dibedakan body text (asli tulisan Anda) dengan kutipan. Agar berbeda, dapat keduanya menggunakan point huruf (font size) yang berbeda, atau dengan jenis huruf (tipologi) yang berbeda.
Selain kedua contoh tersebut, kita masih sering menemukan berbagai variasi lain dari cara mengutip model Harvard. Misalnya,
1. Sebuah riset baru-baru ini (James Pennebaker 2007) menemukan bahwa menulis banyak sekali manfaatnya, antara lain menulis dapat menghilangkan trauma-trauma masa lalu.
2. Parakitri T. Simbolon (2006) mencatat terdapat 16 ragam lead.
3. Studi-studi mutakhir mengenai komunikasi sampai pada kesimpulan, setiap bangsa memiliki persepsi masing-masing terhadap sebuah perilaku atau simbol yang sama (lihat misalnya Carté dan Fox 2006).
4. Dalam studi mengenai efek atau pengaruh penonton Anfield, psikolog bernama Kampret Terbang Tinggi (2007, hlm. 113) menyebut bahwa penonton di stadion Anfield adalah pemain ke-12 pasukan merah Liverpool. Tidak mengherankan, jika bermain di kandang, Liverpool hampir selalu menang. Sebab, mereka berhadapan dengan 11 pemain lawan.
Itu adalah contoh dan sejumlah variasi model kutipan Harvard. Memang masih menyisakan perdebatan, seperti cara mengutip ala Harvard mengurangi kelancaran (dan kenyamanan) membaca.
Oleh karena itu, penulis hendaknya mengurangi jumlah rujukan tekstual yang dipetik. Lagi pula, akan muncul kecurigaan: benarkah penulis membaca seluruh sumber yang dikutip? Bukankah litani yang dikutip itu bukan ihwal yang bermaksud memamerkan atau untuk gagah-gagahan?
Dalam mengutip gaya Harvard, hindari kutipan seperti yang berikut ini.
Tidak ada kesepakatan soal definisi komunikasi (Laswell, 1937; Little John 2005; Rupert Murdoch 1998; Astrid Susanto 2001; Brian Clegg 2001; Jamiludin Ritonga 2005; Wiryono, 2005; Dani Vardiansyah 2005; Lidia Evelina 2006; Masri Sareb Putra 2006; Arifin Harahap 2006; Zaenal Abidin 2006; Emrus Sihombing 2006; Ati Cahayani 2006; Jenni Purba 2006; Jalaludin Rahmat 2006; Berta Sri Eko 2007; Carté dan Fox 2006; Rozikis dan Ambulu 2007; Thomson 2007; Kukuh Prihmanto 2007; Ande-ande Lumut 2007, Djoko Bodo 2007; Lita Mawarni 2007; Dian Utama Purnama et at. 2006, 2007). Dengan ada begitu banyak definisi komunikasi, maka justru pengertian komunikasi jadi simpang siur. Dari kesepakatan para pakar untuk tidak bersepakat soal definisi komunikasi, dapat disimpulkan, upaya membangun komunikasi untuk menyepakai definisi komunikasi mengalami diskomunikasi. Dengan demikian, terjadikah komunikasi ketika membahas definisi komunikasi, sebab dari awal para pakar sudah mengalami diskomunikasi?
b. Kutipan dan cara mengatur rujukan bibliografis
Rujukan berasal dari kata ”rujuk” yang berarti: acuan. Makna kata ini sepadan dengan referensi (to refer = mengacu). Adapun bibliografi berasal dari kat Yunani biblos atau ta biblia (jamak) yang berarti buku dan grafein yang berarti tulisan atau ilmu. Jadi, bibliografi ialah buku yang di dalamnya terkandung tulisan dan atau gambar. Rujukan dalam bentuk tulisan, baik cetak maupun etektronik, dapat ditulis berdasarkan kategori medianya seperti contoh berikut.
1. Mengutip dan mengatur rujukan dari buku
Carté dan Fox (2004) Bridging the Culture Gap: A Practical Guide to International Business Communication, London, Kogan Page.
2. Mengutip dari koran, majalah, jurnal
Vanda Gunawan (2007) “Hati-hati dengan Kambing Guling” Nirmala, edisi Mei, halaman 24.
3. Mengutip dari sumber internet
Abdul Aziz, Tunku (diakaes 10 Mei 2007), Transparency International (Online) http://www.transparency.org (http://transparencymauritius.intnet.mu/cpiwhat2.htm)
Masih menjadi bahan perdebatan, manakah pola (gaya) yang paling benar? Bukan soal benar tidaknya, tapi soal praktis atau kelaziman dan mana yang paling banyak digunakan orang. Umumnya, kalangan akademis menggunakan gaya Harvard, sebab dibandingkan dengan yang dianjurkan Pusat Bahasa, model Harvard masih lebih sederhana dan mudah.
Akan halnya, apakah nama penulis harus dibalik ataukah tidak, masih perlu diperdebatkan. Mengapa umumnya nama penulis luar, terutama Barat, dibalik? Ini karena mereka mengenal nama kecil, nama keluarga, dan nama diri. Di Indonesia, kecuali bangsa tertentu, tidak mengenal seperti ini. Maka, apakah nama mesti dibalik atau tidak dalam tata krama penulisan sumber di Indonesia, sangat tergantung konteks.
Sebagai contoh, inilah cara mengutip bibliografi seperti dianjurkan Depdiknas-Pusat Bahasa.
Partao, Zainal Abidin. 2006. Teknik Lobi dan Diplomasi untuk Insan Public Relations. Jakarta : PT Indeks.
Debat soal ini pernah terjadi pada pada forum ilmiah ketika FKGUI menyelenggarakan teknik penulisan buku ajar tahun 2006. Debat dan adu argumentasi akhirnya sampai pada simpulan, cara mana yang dipilih, tidak persoalan. Yang penting, di dalam mengutip, data yang dibutuhkan pembaca lengkap. Kalau data tidak lengkap, maka menggunakan cara mengutip yang dirasa paling hebat pun jadi tidak banyak faedah. Jika sumber yang dikutip lengkap datanya, maka dengan menggunakan gaya mana pun, kutipan jadi mudah untuk dilacak.
Kata, atau frasa, apa yang dapat digunakan untuk memulai kutipan? Banyak cara dapat digunakan untuk memulai kutipan. Berikut ini frasa yang lazim digunakan mengawali kutipan dalam penulisan karya ilmiah.
Si anu….
Menurut si anu….
Menurut pendapat si anu…
Menurut pandangan si anu…
Seperti di-…. si anu….
Frasa tersebut dapat digunakan secara bervariasi, sehingga tidak membosankan. Lazimnya, setelah frasa, diikuti kata yang berikut ini.
menulis
mencatat
berargumen
menemukan.
menyimpulkan
mengomentari
menegaskan
menyarankan
mengobservasi
memasukkan
menyatakan
mengemukakan
menolak
mengklaim
menyepakati
menunjukkan
mengatakan
menjelaskan
Setiap kata mengandung nuansa sendiri-sendiri, kapan sebaiknya digunakan, bergantung pada konteks. Kalau misalnya pendapat yang dikutip memang dibukukan, namun sebelumnya disampaikan pada prosiding seminar, maka kata “mengatakan” masuk akal. Namun, kalau pendapat dalam bentuk karya cetak, kata “mengatakan” terasa janggal; akan lebih baik jika “menulis” atau “mencatat”.
Di Kanada dan Amerika, koma tidak pernah berada di luar tanda petik. Tanda baca koma (,) selalu merupakan bagian utuh dari kutipan, atau penulis yang dikutip. Sebagai contoh:
"I am a man/ more sinned against than sinning," Lear pronounces in Act 3, Scene 2 (59-60).
Bagaimana di Indonesia? Tampaknya, tidak ada keseragaman untuk itu. Ada penulis yang menempatkan tanda koma (,) seperti cara Kanada dan Amerika, namun ada pula yang menempatkannya setelah tanda petik. Manakah yang baku? Di sini kembali lagi pada pilihan dan kelaziman. Jika ingin dianggap setara negara maju, maka tempuhlah cara penulisan ilmiah seperti mereka juga!
dari BAB 6 naskah buku Kiat Menghindar Plagiat (PT Indeks, dalam proses penerbitan)
Rabu, 22 Desember 2010
What is Plagiarism?
Wikipedia kurang lengkap mendefinisikan dan menyebutkan jenis serta ruang lingkup plagiarism. Yang diacu sebagai referensi ialah konsep kurang up to date, ketika the new media belum semarak sekarang dan praktik Kopassus (copy paste ubah sedikit sedikit)belum segila saat ini.
Untuk membantu pembaca, berikut saya posting bagian dari buku saya yang sedang dalam proses penerbitan How to Avoid Plagiarism yang diterbitkan PT Indeks.
ARTI KATA
Secara etimologis, plagiat berasal dari kata Inggris plagiarism (1615–25), sebelumnya plagiary (1590–1600). Kata Inggris ini diderivasi dari kata Latin, plagiārius yang berarti: penculik (anak), penjiplak. Kata kerjanya adalah plagio yang berarti (saya) mencuri. Plagiārius sama artinya dengan plagiator.
DEFINISI
Jadi, plagiat adalah: tindakan mencuri (gagasan/karya intelektual) orang lain dan mengklaim atau mengumumkannya sebagai miliknya .
SINONIM
Beberapa nama lain dari plagiat yang kerap muncul, namun memunyai pengertian yang sama yakni
1. Meminjam (borrowing)
2. Pencurian theft)
3. Pelanggaran (infringement)
4. Pembajakan (piracy)
5. Pemalsuan (counterfeiting)
6. Pengambilan untuk diri sendiri atau autoplagiat (appropriation)
7. Mencuri (stealing)
RUANG LINGKUP
Tindak plagiat kerap muncul dalam berbagai versi. Ada yang melakukannya serentak, ada yang sebagian, dan ada yang hanya satu perbuatan mencuri gagasan orang lain berikut ini.
1. Mengambil mentah-mentah karya orang lain dan menyebutnya sebagai karya sendiri.
2. Menulis kembali karya orang lain dan menerbitkannya.
3. Meng-hire atau memakai jasa orang lain untuk menulis suatu karya atau purchasing karya tulis lalu mempublikasikannya dengan nama sendiri.
4. Menggunakan gagasan orang lain mempublikasikannya dengan nama sendiri.
5. Menggunakan kata-kata yang diucapkan orang lain apa adanya dan mempublikasikannya dengan nama sendiri.
6. Melakukan parafrase dan atau meringkas gagasan orang serta kata-kata mempublikasikannya dengan nama sendiri.
7. Menggunakan karya tulis yang didapat dari orang lain kemudian mempublikasikannya dengan nama sendiri.
8. Menggunakan karya tulis yang dibeli dan atau diunduh dari internet dan kemudian mempublikasikannya dengan nama sendiri.
9. Mengopi informasi atau data dari sumber elektronik (web, laman web, sumber elektronik lainnya/database) dan menggunakannya sebagai milik sendiri.
Di negara-negara maju, pada umumnya tindak plagiat dilarang keras dan hampir semua warga mematuhinya. Kalaupun toh ada yang melanggar maka sanksinya cukup berat.
Terutama di kalangan perguruan tinggi, budaya fair atas karya cipta orang lain sangat dijunjung tinggi. Dan tindak plagiat, karena itu, dipandang sebagai suatu yang tercela dan merendahkan harkat dan martabat.
Hampir setiap perguruan tinggi terkemuka membuat pedoman atau etika keilmuan yang isinya antara lain membuat definisi dan membatasi ruang lingkup plagiat. Sebagai contoh, Texas Woman’s University adalam buku Student Handbook-nya tegas tidak mentoleransi tindak plagiat. Menurut buku itu,
“… plagiarism is a serious breach of honesty, and it will not be tolerated to any degree. Plagiarism is unethical. Don't do it. There are serious consequences to plagiarizing including academic suspension, receiving a failing grade for the course, and academic probation.”
BENTUK DAN JENIS PLAGIAT
Plagiat setidaknya muncul dalam empat bentuk yang berikut ini.
1) Plagiat langsung (direct plagiarism). Jenis plagiat ini sangat berat. Mengapa? Karena si plagiator mengopi langsung sumber kata demi kata tanpa menunjukkan bahwa itu merupakan hasil kutipan dan sama sekali tidak menyebutkan siapa penulis atau pemilik karya cipta intelektualnya.
2) Meminjam karya dari orang lain. Sering terjadi seseorang meminjam kertas kerja dari sesama teman, kolega, saudara dan orang lain. Lalu menyalinnya begitu saja tanpa sedikit pun coba menambah apalagi memasukkan gagasannya sendiri. Namanya dicantumkan sebagai pembuat, padahal mengambil dari karya orang lain.
3) Tidak jelas atau salah kutip (vague or incorrect citation). Seorang penulis harus menunjukkan di mana ia mulai mengutip sumber luar dan di mana berakhirnya. Kadang kala penulis mengutip sumber hanya sekali, pembaca mengasumsikan bahwa kalimat atau paragraf sebelumnya telah dilakukan parafrasa. Padahal karya itu sebagian besar mengambil gagasan dari satu sumber. Penulis tidak berusaha menunjukkan rujukan dengan jelas. Semestinya, parafrasa dan ringkasan harus dinyatakan dengan tegas dan sejelas-jelasnya pada awal dengan nama penulis, pada akhir dengan referensi kurung. Penulis selalu harus dengan jelas menunjukkan bila parafrasa, ringkasan, atau kutipan dimulai, berakhir, atau terpotong.
4) Plagiat mosaik (mosaic plagiarism). Ini merupakan bentuk plagiat yang paling sering terjadi. Penulis tidak secara langsung menyebutkan sumbernya. Ia hanya mengubah sedikit kata dan menggantinya dengan kata-katanya sendiri, mengubah beberapa kata dalam kalimat (reworks a paragraph) dengan cara kata-katanya sendiri tanpa menyebutkan kredit si penulis asli. Kalimat dan paragraf bukan dalam bentuk kutipan, namun apabila dicermati dengan saksama maka sangat mirip dengan sumbernya.
Untuk membantu pembaca, berikut saya posting bagian dari buku saya yang sedang dalam proses penerbitan How to Avoid Plagiarism yang diterbitkan PT Indeks.
ARTI KATA
Secara etimologis, plagiat berasal dari kata Inggris plagiarism (1615–25), sebelumnya plagiary (1590–1600). Kata Inggris ini diderivasi dari kata Latin, plagiārius yang berarti: penculik (anak), penjiplak. Kata kerjanya adalah plagio yang berarti (saya) mencuri. Plagiārius sama artinya dengan plagiator.
DEFINISI
Jadi, plagiat adalah: tindakan mencuri (gagasan/karya intelektual) orang lain dan mengklaim atau mengumumkannya sebagai miliknya .
SINONIM
Beberapa nama lain dari plagiat yang kerap muncul, namun memunyai pengertian yang sama yakni
1. Meminjam (borrowing)
2. Pencurian theft)
3. Pelanggaran (infringement)
4. Pembajakan (piracy)
5. Pemalsuan (counterfeiting)
6. Pengambilan untuk diri sendiri atau autoplagiat (appropriation)
7. Mencuri (stealing)
RUANG LINGKUP
Tindak plagiat kerap muncul dalam berbagai versi. Ada yang melakukannya serentak, ada yang sebagian, dan ada yang hanya satu perbuatan mencuri gagasan orang lain berikut ini.
1. Mengambil mentah-mentah karya orang lain dan menyebutnya sebagai karya sendiri.
2. Menulis kembali karya orang lain dan menerbitkannya.
3. Meng-hire atau memakai jasa orang lain untuk menulis suatu karya atau purchasing karya tulis lalu mempublikasikannya dengan nama sendiri.
4. Menggunakan gagasan orang lain mempublikasikannya dengan nama sendiri.
5. Menggunakan kata-kata yang diucapkan orang lain apa adanya dan mempublikasikannya dengan nama sendiri.
6. Melakukan parafrase dan atau meringkas gagasan orang serta kata-kata mempublikasikannya dengan nama sendiri.
7. Menggunakan karya tulis yang didapat dari orang lain kemudian mempublikasikannya dengan nama sendiri.
8. Menggunakan karya tulis yang dibeli dan atau diunduh dari internet dan kemudian mempublikasikannya dengan nama sendiri.
9. Mengopi informasi atau data dari sumber elektronik (web, laman web, sumber elektronik lainnya/database) dan menggunakannya sebagai milik sendiri.
Di negara-negara maju, pada umumnya tindak plagiat dilarang keras dan hampir semua warga mematuhinya. Kalaupun toh ada yang melanggar maka sanksinya cukup berat.
Terutama di kalangan perguruan tinggi, budaya fair atas karya cipta orang lain sangat dijunjung tinggi. Dan tindak plagiat, karena itu, dipandang sebagai suatu yang tercela dan merendahkan harkat dan martabat.
Hampir setiap perguruan tinggi terkemuka membuat pedoman atau etika keilmuan yang isinya antara lain membuat definisi dan membatasi ruang lingkup plagiat. Sebagai contoh, Texas Woman’s University adalam buku Student Handbook-nya tegas tidak mentoleransi tindak plagiat. Menurut buku itu,
“… plagiarism is a serious breach of honesty, and it will not be tolerated to any degree. Plagiarism is unethical. Don't do it. There are serious consequences to plagiarizing including academic suspension, receiving a failing grade for the course, and academic probation.”
BENTUK DAN JENIS PLAGIAT
Plagiat setidaknya muncul dalam empat bentuk yang berikut ini.
1) Plagiat langsung (direct plagiarism). Jenis plagiat ini sangat berat. Mengapa? Karena si plagiator mengopi langsung sumber kata demi kata tanpa menunjukkan bahwa itu merupakan hasil kutipan dan sama sekali tidak menyebutkan siapa penulis atau pemilik karya cipta intelektualnya.
2) Meminjam karya dari orang lain. Sering terjadi seseorang meminjam kertas kerja dari sesama teman, kolega, saudara dan orang lain. Lalu menyalinnya begitu saja tanpa sedikit pun coba menambah apalagi memasukkan gagasannya sendiri. Namanya dicantumkan sebagai pembuat, padahal mengambil dari karya orang lain.
3) Tidak jelas atau salah kutip (vague or incorrect citation). Seorang penulis harus menunjukkan di mana ia mulai mengutip sumber luar dan di mana berakhirnya. Kadang kala penulis mengutip sumber hanya sekali, pembaca mengasumsikan bahwa kalimat atau paragraf sebelumnya telah dilakukan parafrasa. Padahal karya itu sebagian besar mengambil gagasan dari satu sumber. Penulis tidak berusaha menunjukkan rujukan dengan jelas. Semestinya, parafrasa dan ringkasan harus dinyatakan dengan tegas dan sejelas-jelasnya pada awal dengan nama penulis, pada akhir dengan referensi kurung. Penulis selalu harus dengan jelas menunjukkan bila parafrasa, ringkasan, atau kutipan dimulai, berakhir, atau terpotong.
4) Plagiat mosaik (mosaic plagiarism). Ini merupakan bentuk plagiat yang paling sering terjadi. Penulis tidak secara langsung menyebutkan sumbernya. Ia hanya mengubah sedikit kata dan menggantinya dengan kata-katanya sendiri, mengubah beberapa kata dalam kalimat (reworks a paragraph) dengan cara kata-katanya sendiri tanpa menyebutkan kredit si penulis asli. Kalimat dan paragraf bukan dalam bentuk kutipan, namun apabila dicermati dengan saksama maka sangat mirip dengan sumbernya.
Selasa, 21 Desember 2010
greek alphabet
Sabtu, 18 Desember 2010
Dua Ekstrem dalam Menulis
Dalam menulis, dikenal juga mitos. Apakah yang dimaksudkan dengan mitos? Mitos ialah sikap mengkeramatkan atau menganggap sesuatu sebagai benar tanpa berusaha untuk mengkritisinya (bdk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 749).
Banyak sekali mitos seputar menulis. Selalu ada saja alasan bagi orang yang sebenarnya “malas” untuk mengangkat pena dan duduk manis di depan komputer. Kadangkala, alasan yang dilontarkan terasa dibuat-buat. Misalnya:
- tidak punya waktu
- sibuk
- capek
- banyak hal urgen yang perlu ditangani
- banyak urusan keluarga
- banyak urusan kantor
- lagi gak semangat
- lagi bete
- ide lagi buntu
- tidak punya komputer
- tidak punya uang untuk membeli alat tulis
- puas-puasin mau tidur
- mau jalan-jalan ke mal
- takut dituduh plagiat
- takut dicemooh
- dan sejumlah alasan lain.
Jika ingin menjadi penulis profesional dan produktif, hendaknya mitos di atas dibuang jauh dan dienyahkan dari kepala. Bila tidak, selamanya akan menghantui dan menjadikan seseorang mempersepsikan diri sebagai “tidak ada bakat menulis”. Padahal, sebagaimana dimaklumi, menulis bukanlah bakat, melainkan keterampilan yang dapat diasah dan dipelajari dengan tekun.
Ingatlah pepatah yang mengatakan, “You are what you think” (sesuatu akan terjadi seperti yang Anda pikirkan). Apabila Anda berpikir bahwa Anda bisa menulis, maka Anda akan menjadi penulis yang andal. Sebaliknya, jika Anda berpikir bahwa Anda tidak dapat menulis, selamanya Anda tidak prnah menjadi seorang penulis.
Dalam hidup, kita senantiasa berjumpa dengan dua kutub atau ekstrem yang berlawanan satu sama lain. Misalnya, siang dan malam, terang dan gelap, basah dan kering, hitam dan putih, baik dan buruk, dan sebagainya.
Ekstrem kadang menyeret kita ke dalam tindakan untuk melakukan sesuatu dengan sangat bersemangat dan sama sekali tidak bergairah melakukan sesuatu. Kecenderungan seperti ini dapat terjadi dalam dunia tulis-menulis.
Ada orang yang terlalu bersemangat menulis, sehingga apa saja ingin ditulisnya. Ia mengambil sumber dari mana saja tanpa diolah sedemikian rupa sesuai dengan etika kepenulisan pada umumnya, tidak jujur menyebutkan sumber, dan memetik khasanah di luar gagasan orisinalnya lebih dari 10%. Sebaliknya, ada juga orang yang karena takut dianggap plagiat, tidak berani menulis apalagi mempublikasikan karyanya.
Dua ektrem di atas, harus sama-sama dihindari dalam menulis. Main hantam krama dan tidak menaati etika menulis, akan menyeret seseorang ke dalam tuduhan dan tindak plagiat. Sekali nama tercemar, selamanya tidak ada yang percaya. Reputasi sebagai penulis benar-benar hancur, manakala seseorang tidak jujur dengan sumber dan melakukan tindak plagiat.
Sementara takut menulis dan mempublikasikan karya tulis karena terlalu berhati-hati dan takut dituduh plagiat, akan mengerdilkan seseorang. Ia tidak pernah akan dikenal luas karena gagasan-gagasannya tidak pernah tersebar secara luas dan dinikmati oleh umum.
Kedua ektrem di atas, bukan tidak dapat dijembatani. Caranya, dengan tetap berhati-hati dan jujur menyebutkan sumber, sembari terus-menerus mendalami referensi dan memerkaya informasi dari luar. Terus-menerus melakukan invensi, sambil tetap kreatif melakukan modifikasi, menambah, mengurangi, memberikan penjelasan, serta menjelaskan dengan contoh.
Tidak perlu takut dituduh plagiat, namun tetap berhati-hati dan jujur pada sumber, adalah sintesis yang pas untuk kedua ekstrem di atas.
Sejujurnya, gagasan orisinal seorang penulis dalam suatu wacana (dapat wacana pendek dan dapat pula wacana panjang) sering kadarnya tidak sebanyak referensi yang dikutipnya. Bahkan, sebuah tulisan sering cukup hanya memaparkan data saja. Data adalah something given, data ada di mana-mana. Supaya punya makna, data harus dikumpulkan, dikategorikan, dan ditafsirkan.
Boleh dikatakan bahwa data ialah level terendah dari ilmu pengetahuan. Level yang kedua ialah informasi. Sementara level yang ketiga ialah knowledge.
Dalam proses kreatif menulis, entah karya populer, ilmiah-poluler, dan ilmiah; ketiga level di atas kerap jelas-tegas, namun sering juga merupakan kombinasi. Laporan berita oleh wartawan misalnya, lazimnya berada pada level pertama, yakni penulis berusaha menghidangkan data apa adanya. Dengan menghidangkan data apa adanya, sebenarnya seseorang sudah mengatakan sesuatu, sebab simpulan lazimnya diturunkan dari premis (data) sebelumnya.
Dengan menghidangkan data, seseorang mengatakan sesuatu dengan cara “tidak mengatakan”, dia menunjukkan (show), tidak tell (mengatakan).
Dengan kata lain, “Data is the lowest level of abstraction”. Data ialah level paling rendah dari abstraksi, data menunjukkan realitas. Inilah titik tolak positivisme bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari pengalaman dan data (Mikael Dua, 2007). Agaknya, di dalam menulis, seseorang mau tidak mau setuju dengan dan dapat menerapkan pandangan positivisme.
Karena data something given maka kerap di sinilah banyak penulis tergelincir jatuh dalam plagiarisme. Padahal, jika saja tahu bagaimana “bermain-main” dengan data, niscaya tindak plagiat dapat dihindari. Data yang tersebar di mana-mana adalah milik umum, siapa saja dapat memanfaatkannya, asal sesuai dengan etika dan norma kepenulisan.
Level yang pertama dalam abstraksi atau dalam kegiatan ilmiah ialah mengumpulkan dan menyajikan data. Sebagai contoh, permainan scrabble. Dalam permainan scrabble, pemain menyusun kata sepanjang mungkin dengan nilai setinggi mungkin asalkan kata tersebut mempunyai makna. Kata dibentuk dari huruf-huruf yang sudah tersedia (given).
Sebagai something given, satu huruf (datum) tidak punya makna jika tidak diberi makna dengan dan bersama dengan data lain. Dengan demikian, kegiatan mengumpulkan, mengambil, dan menyajikan data sebenarnya sudah memberikan makna pada sesuatu; sekaligus merepresentasikan pengalaman. Kata dan kalimat yang disusun menjadi bermakna adalah penafsiran sekaligus abstraksi atas pengalaman.
Sepatah kata “dingin” misalnya, dibentuk dari huruf “d i n g i n” yang sebelum diambil, dikumpulkan, dan dibentuk menjadi kata yang bermakna maka keenam huruf-huruf tersebut tersebar dalam khasanah permainan scrabble.
sumber gambar:http://www.publicola.net/wp-content/uploads/scrabble-tiles.jpg
Huruf adalah something given. Ketika belum diambil, dikumpulkan, dan diberi makna; huruf-huruf tadi tidak punya makna. Setelah dibentuk dan disajikan, barulah bermakna sekaligus merupakan hasil abstraksi dari pengertian dan pengalaman yang menunjukkan mengenai realitas (suhu).
Pada level yang berikutnya, data dapat diolah menjadi informasi. Agar data menjadi informasi, maka data tersebut haruslah diinterpretasi dan diberikan makna. Misalnya, Gunung Merapi secara umum merupakan “data”. Sebuah buku manual mengenai karakteristik geologis Gunung Merapi dapat disebut sebagai “informasi”. Lalu sebuah buku yang berisi informasi praktis bagaimana sebaiknya secara aman mendaki dan mencapai Gunung Merapi adalah knowledge (pengetahuan).
Dalam proses kreatif menulis, seseorang akan mulai dengan gagasan orisinal. Gagasan orisinal ini merupakan tesis yang dikembangkan dengan mengacu dan menambah dari tesis yang sudah ada. Penulis yang karyanya diacu, juga melakukan hal yang sama dengan kita.
Ada ungkapan bijak, “there is nothing new under the sun” (tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari). Tahukah Anda bahwa penulis hebat sekalipun di dalam menulis juga mengutip dari sumber lain? Bedanya, mereka mengutip temuan, pendapat, dan karya orang lain secara tepat dan jujur dengan pada sumber sesuai dengan etika dan kaidah penulisan.
Para penulis ulung selalu menghindari dua hal ekstrem: terlalu berani dan terlalu takut mengutip sumber luar untuk mendukung gagasan orisinalnya.
Jika ditelisik, inilah asal muasal mengapa terjadi tindak plagiat. Seseorang main hantam krama, mengambil sumber luar, dan terlalu berani mengklaim sebagai hasil karyanya.
Tanpa bermaksud untuk mendakwa seluruh kasus plagiarisme didasari niat jahat dan tidak jujur, ada pula tindak plagiat terjadi akibat ketidaktahuan bagaimana seharusnnya mengutip dan memanfaatkan sumber luar.
Sementara orang yang tidak pernah menghasilkan dan mempublikasikan karyanya, kerap berawal dari ketakutan dianggap plagiat dan ketidaktahuan bagaimana etika dan tata krama dunia penulisan.
Banyak sekali mitos seputar menulis. Selalu ada saja alasan bagi orang yang sebenarnya “malas” untuk mengangkat pena dan duduk manis di depan komputer. Kadangkala, alasan yang dilontarkan terasa dibuat-buat. Misalnya:
- tidak punya waktu
- sibuk
- capek
- banyak hal urgen yang perlu ditangani
- banyak urusan keluarga
- banyak urusan kantor
- lagi gak semangat
- lagi bete
- ide lagi buntu
- tidak punya komputer
- tidak punya uang untuk membeli alat tulis
- puas-puasin mau tidur
- mau jalan-jalan ke mal
- takut dituduh plagiat
- takut dicemooh
- dan sejumlah alasan lain.
Jika ingin menjadi penulis profesional dan produktif, hendaknya mitos di atas dibuang jauh dan dienyahkan dari kepala. Bila tidak, selamanya akan menghantui dan menjadikan seseorang mempersepsikan diri sebagai “tidak ada bakat menulis”. Padahal, sebagaimana dimaklumi, menulis bukanlah bakat, melainkan keterampilan yang dapat diasah dan dipelajari dengan tekun.
Ingatlah pepatah yang mengatakan, “You are what you think” (sesuatu akan terjadi seperti yang Anda pikirkan). Apabila Anda berpikir bahwa Anda bisa menulis, maka Anda akan menjadi penulis yang andal. Sebaliknya, jika Anda berpikir bahwa Anda tidak dapat menulis, selamanya Anda tidak prnah menjadi seorang penulis.
Dalam hidup, kita senantiasa berjumpa dengan dua kutub atau ekstrem yang berlawanan satu sama lain. Misalnya, siang dan malam, terang dan gelap, basah dan kering, hitam dan putih, baik dan buruk, dan sebagainya.
Ekstrem kadang menyeret kita ke dalam tindakan untuk melakukan sesuatu dengan sangat bersemangat dan sama sekali tidak bergairah melakukan sesuatu. Kecenderungan seperti ini dapat terjadi dalam dunia tulis-menulis.
Ada orang yang terlalu bersemangat menulis, sehingga apa saja ingin ditulisnya. Ia mengambil sumber dari mana saja tanpa diolah sedemikian rupa sesuai dengan etika kepenulisan pada umumnya, tidak jujur menyebutkan sumber, dan memetik khasanah di luar gagasan orisinalnya lebih dari 10%. Sebaliknya, ada juga orang yang karena takut dianggap plagiat, tidak berani menulis apalagi mempublikasikan karyanya.
Dua ektrem di atas, harus sama-sama dihindari dalam menulis. Main hantam krama dan tidak menaati etika menulis, akan menyeret seseorang ke dalam tuduhan dan tindak plagiat. Sekali nama tercemar, selamanya tidak ada yang percaya. Reputasi sebagai penulis benar-benar hancur, manakala seseorang tidak jujur dengan sumber dan melakukan tindak plagiat.
Sementara takut menulis dan mempublikasikan karya tulis karena terlalu berhati-hati dan takut dituduh plagiat, akan mengerdilkan seseorang. Ia tidak pernah akan dikenal luas karena gagasan-gagasannya tidak pernah tersebar secara luas dan dinikmati oleh umum.
Kedua ektrem di atas, bukan tidak dapat dijembatani. Caranya, dengan tetap berhati-hati dan jujur menyebutkan sumber, sembari terus-menerus mendalami referensi dan memerkaya informasi dari luar. Terus-menerus melakukan invensi, sambil tetap kreatif melakukan modifikasi, menambah, mengurangi, memberikan penjelasan, serta menjelaskan dengan contoh.
Tidak perlu takut dituduh plagiat, namun tetap berhati-hati dan jujur pada sumber, adalah sintesis yang pas untuk kedua ekstrem di atas.
Sejujurnya, gagasan orisinal seorang penulis dalam suatu wacana (dapat wacana pendek dan dapat pula wacana panjang) sering kadarnya tidak sebanyak referensi yang dikutipnya. Bahkan, sebuah tulisan sering cukup hanya memaparkan data saja. Data adalah something given, data ada di mana-mana. Supaya punya makna, data harus dikumpulkan, dikategorikan, dan ditafsirkan.
Boleh dikatakan bahwa data ialah level terendah dari ilmu pengetahuan. Level yang kedua ialah informasi. Sementara level yang ketiga ialah knowledge.
Dalam proses kreatif menulis, entah karya populer, ilmiah-poluler, dan ilmiah; ketiga level di atas kerap jelas-tegas, namun sering juga merupakan kombinasi. Laporan berita oleh wartawan misalnya, lazimnya berada pada level pertama, yakni penulis berusaha menghidangkan data apa adanya. Dengan menghidangkan data apa adanya, sebenarnya seseorang sudah mengatakan sesuatu, sebab simpulan lazimnya diturunkan dari premis (data) sebelumnya.
Dengan menghidangkan data, seseorang mengatakan sesuatu dengan cara “tidak mengatakan”, dia menunjukkan (show), tidak tell (mengatakan).
Dengan kata lain, “Data is the lowest level of abstraction”. Data ialah level paling rendah dari abstraksi, data menunjukkan realitas. Inilah titik tolak positivisme bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari pengalaman dan data (Mikael Dua, 2007). Agaknya, di dalam menulis, seseorang mau tidak mau setuju dengan dan dapat menerapkan pandangan positivisme.
Karena data something given maka kerap di sinilah banyak penulis tergelincir jatuh dalam plagiarisme. Padahal, jika saja tahu bagaimana “bermain-main” dengan data, niscaya tindak plagiat dapat dihindari. Data yang tersebar di mana-mana adalah milik umum, siapa saja dapat memanfaatkannya, asal sesuai dengan etika dan norma kepenulisan.
Level yang pertama dalam abstraksi atau dalam kegiatan ilmiah ialah mengumpulkan dan menyajikan data. Sebagai contoh, permainan scrabble. Dalam permainan scrabble, pemain menyusun kata sepanjang mungkin dengan nilai setinggi mungkin asalkan kata tersebut mempunyai makna. Kata dibentuk dari huruf-huruf yang sudah tersedia (given).
Sebagai something given, satu huruf (datum) tidak punya makna jika tidak diberi makna dengan dan bersama dengan data lain. Dengan demikian, kegiatan mengumpulkan, mengambil, dan menyajikan data sebenarnya sudah memberikan makna pada sesuatu; sekaligus merepresentasikan pengalaman. Kata dan kalimat yang disusun menjadi bermakna adalah penafsiran sekaligus abstraksi atas pengalaman.
Sepatah kata “dingin” misalnya, dibentuk dari huruf “d i n g i n” yang sebelum diambil, dikumpulkan, dan dibentuk menjadi kata yang bermakna maka keenam huruf-huruf tersebut tersebar dalam khasanah permainan scrabble.
sumber gambar:http://www.publicola.net/wp-content/uploads/scrabble-tiles.jpg
Huruf adalah something given. Ketika belum diambil, dikumpulkan, dan diberi makna; huruf-huruf tadi tidak punya makna. Setelah dibentuk dan disajikan, barulah bermakna sekaligus merupakan hasil abstraksi dari pengertian dan pengalaman yang menunjukkan mengenai realitas (suhu).
Pada level yang berikutnya, data dapat diolah menjadi informasi. Agar data menjadi informasi, maka data tersebut haruslah diinterpretasi dan diberikan makna. Misalnya, Gunung Merapi secara umum merupakan “data”. Sebuah buku manual mengenai karakteristik geologis Gunung Merapi dapat disebut sebagai “informasi”. Lalu sebuah buku yang berisi informasi praktis bagaimana sebaiknya secara aman mendaki dan mencapai Gunung Merapi adalah knowledge (pengetahuan).
Dalam proses kreatif menulis, seseorang akan mulai dengan gagasan orisinal. Gagasan orisinal ini merupakan tesis yang dikembangkan dengan mengacu dan menambah dari tesis yang sudah ada. Penulis yang karyanya diacu, juga melakukan hal yang sama dengan kita.
Ada ungkapan bijak, “there is nothing new under the sun” (tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari). Tahukah Anda bahwa penulis hebat sekalipun di dalam menulis juga mengutip dari sumber lain? Bedanya, mereka mengutip temuan, pendapat, dan karya orang lain secara tepat dan jujur dengan pada sumber sesuai dengan etika dan kaidah penulisan.
Para penulis ulung selalu menghindari dua hal ekstrem: terlalu berani dan terlalu takut mengutip sumber luar untuk mendukung gagasan orisinalnya.
Jika ditelisik, inilah asal muasal mengapa terjadi tindak plagiat. Seseorang main hantam krama, mengambil sumber luar, dan terlalu berani mengklaim sebagai hasil karyanya.
Tanpa bermaksud untuk mendakwa seluruh kasus plagiarisme didasari niat jahat dan tidak jujur, ada pula tindak plagiat terjadi akibat ketidaktahuan bagaimana seharusnnya mengutip dan memanfaatkan sumber luar.
Sementara orang yang tidak pernah menghasilkan dan mempublikasikan karyanya, kerap berawal dari ketakutan dianggap plagiat dan ketidaktahuan bagaimana etika dan tata krama dunia penulisan.
Rabu, 15 Desember 2010
60 Management Gems
Permata adalah nama umum untuk menyebut batu mulia. Sementara berlian salah satu di antara batu mulia berwarna indah itu. Karena ada kemiripan, sama-sama multifacet dan indah, tidaklah mengherankan jika pujangga tersohor berkebangsaan Inggris, Daniel Defoe mengibaratkan jiwa manusia bagai permata. Ia pun berujar, “The soul is placed in the body like rough diamond, and must be polished, or the luster of it will never appear.”
Karena sejak dini menyukai dan mendalami berlian, Susanto lalu terbisa menerapkan terminologi khas dunia perhiasan, khususnya berlian, dalam dunia manajemen. Misalnya, manusia dalam perusahaan diibaratkannya sebagai berlian yang perlu selalu dipoles agar memunculkan kekuatan dan potensinya.
Tentu saja, hal yang seperti ini tidak ditemukan pada konsultan manajemen lain. Pilihan kata konsultan biasa kerap diformulasikan semata-mata tertuju pada ranah akal, kurang menyentuh hati. Tidak demikian Susanto. Dengan racikan indah dan berguna –yang dalam istilahnya substance and style-- ia memandang manusia dalam perusahaan dengan mata hati berlian.
Dalam dunia manajemen, sumber daya manusia kerap disebut human capital resources. Artinya, manusia dimuliakan di atas sumber daya lain. Khazanah berlian pun demikian. Ada ungkapan, “Intan berlian jangan dipijakkan.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa suatu yang berharga jangan direndahkan. Semua orang tahu bahwa berlian ialah benda berharga. Akan tetapi, hanya sedikit yang mafhum melambangkan apakah intan yang diasah baik-baik, hingga indah kemilau cahayanya ini?
Berlian bernilai investasi tinggi. Selain itu, berlian pun mudah dibawa-bawa dan bisa diperjualbelikan di berbagai negara. Namun, tak semua berlian layak dikoleksi. Bagaimana cara memilihnya?
Menurut Susanto, yang juga seorang gemologist, yang mendasari berlian berharga mahal adalah tergantung dari 5-C yaitu, Carat (karat), Cutting (potongan), Clarity (kejernihan), Color (warna), dan Certificate (sertifikat). "Namun, yang lebih menonjol untuk membeli berlian hanya empat C, yakni besar kecilnya karat, banyaknya potongan, kejernihannya, dan warnanya yang putih,” jelasnya.
Menyadari pentingnya kedudukan dan fungsi buku, Susanto menjunjung tinggi buku. Buku pertama yang menandai hari ulang tahunnya ke-49 pada 09-09-1999 berjudul The Corporate Doctor: Biografi Profesional DR. A.B. Susanto.
Yang menarik, meski berbentuk biografi, isi buku tidak melulu mengenai pribadi Susanto. Ini menarik, sebab lazimnya sebuah biografi mengisahkan riwayat hidup dan perjalanan seseorang. Bahkan, kerap lebih menonjolkan aspek-aspek tertentu ketimbang cukup proporsional menyajikan fakta dan data apa adanya. Dalam biografi orang cenderung menonjolkan kisahnya sendiri (his story) ketimbang sejarah (history) yang dapat mengajarkan kebenaran dan menuntun orang pada kebaijkan.
Memasuki usia emas 50 tahun, Susanto pun menerbitkan buku berjudul 50 Tahun Simfoni Kehidupan DR. A.B. Susanto. Tradisi menandai hari jadi dengan buku masih berlanjut ketika Susanto memasuki usia ke-59, yang pada September 2009 kembali menerbitkan dan meluncurkan buku berjudul Dulce et Utile: Biografi Profesional DR. A.B. Susanto, The Corporate Doctor.
Tentu saja, menerbitkan dan meluncurkan buku pada peringatan tertentu adalah sesuatu yang baik. Tradisi yang di luar negeri sudah sangat lazim, namun di negeri kita para tokoh anutan yang berhasil di bidangnya atau para pebisnis jarang membukukan kisah sukses dan pengalaman mereka agar dapat dipetik dan menginspirasikan orang lain.
Sebagai contoh, pendiri dan pemilik Wal-Mart, Sam Walton berbagi success story mengenai bisnis ritel. Para pesebakbola berbagi pengetahuan, pengalaman, dan opini mereka kepada khalayak. Bill Clinton juga menulis biografi, sementara para artis top dunia juga menulis dan meluncurkan biografinya agar pengalaman dan perjuangan mereka mencapai peak dalam hidup dapat dipetik, diterapkan, dan menginspirasi banyak orang.
Memetik khasanah dan metafora berlian, buku ini ditulis. Didorong semangat untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada khalayak, coba dihidangkan 60 tulisan dalam buku ini. Bukan saja untuk menandai Susanto memasuki usia ke-60, boleh dikatakan bahwa terbitnya buku ini merupakan suatu upaya untuk mendokumentasikan pengetahuan yang mengkristal melalui pengalaman. Sebab, pengalaman dan pengetahuan yang tidak ditulis dan tidak didokumentasikan, akan berlalu ditelan waktu. Dengan demikian, penulisan dan penerbitan buku ini by design.
Dalam hal ini, kami teringat betapa ribuan tahun lalu upaya seperti ini sebenarnya sudah dilakukan. Para filsuf di tanah Yunani sudah biasa mengabadikan pemikiran-pemikiran, refleksi, pengetahuan, pengalaman, pengamatan, dan ajaran mereka.
***
SEPANJANG garis hidup dan selama karier kepenulisan kami, maka inilah buku paling tebal yang pernah kami hasilkan. Susanto, sejak buku perdana terbit tahun 1997, sudah menulis dan menerbitkan lebih dari 40 judul buku. Salah satu yang tebal adalah Family Business, 532 halaman. Sementara Masri, sejak buku perdananya terbit tahun 1987 (novel) juga baru kali ini juga menulis buku yang tebal.
Menulis buku tebal adalah sesuatu yang lain, sedangkan menulis buku yang berbobot hal yang lain lagi. Kami berusaha menghidangkan yang buku tebal dan berbobot sekaligus. Ditilik dari segi kreativitas dan produktivitas, maka inilah salah satu puncak prestasi kami dalam menulis.
Meski ide-idenya sudah lama kami didiskusikan, secara resmi proyek penulisan buku ini berjalan efektif praktis enam bulan berselang.
Yang menarik, proses penulisannya berlangsung begitu spontan dan demikian cepat. Kendati ide pokok atau gagasan orisinal buku ini datang dari Susanto, Masri mengembangkannya, dan kemudian memberikan sentuhan akhir sehingga bukan saja berguna tetapi juga enak dibaca. Kerja sama penulisan buku ini sekaligus membuktikan hipotesis kami bahwa kerja sama dalam tim yang anggotanya kecil, bahkan hanya dua, sangat efektif dan efisien.
Kami yakin bahwa buku bukanlah pertama-tama dilihat dari bentuknya, yakni kertas yang ditulisi kata-kata dan kalimat, ditintai, dicetak, dijilid rapi, didistribusikan, sampai ke tangan konsumen, lalu dibaca. Lebih dari itu, sebuah buku yang baik ialah yang terdiri atas gagasan-gagasan yang orisinal, menantang, mengajak orang berefleksi, memberikan inspirasi, mencerahkan, membimbing, memberitahu, dan menuntun ke jalan yang benar.
Buku yang baik ialah yang idenya utuh, tidak tumpang tindih, sistematis, saling berkorelasi satu sama lain dan memang sengaja ditulis dalam bentuk buku. Jadi, sebuah buku yang komplet ialah yang substansi dan style-nya menyatu. Isi dan format bentuknya isi-mengisi, yang satu tidak dapat menafikan dan meniadakan yang lain. Kumpulan berbagai tulisan yang tercecer-cecer, tidak saling korehen, apalagi di dalamnya tidak ada satu kesatuan gagasan yang utuh dan sistematis, bukanlah sebuah buku yang baik.
Mengacu pada definisi di atas maka dapat dikatakan bahwa buku ini benar-benar buku karena sengaja ditulis untuk diterbitkan sebagai buku, bukan merupakan artikel lepas-lepas. Big picture-nya sudah sangat jelas.
Positioning-nya ditetapkan sebagai pengayaan, sumber inspirasi, sekaligus sumber hikmat kebijaksanaan bagi para pebisnis, eksekutif, manajer, serta siapa pun yang menginginkan hidupnya lebih berkualitas dari hari ke hari. Pada hemat kami, pada aras tertentu, seseorang tidak lagi memerlukan sesuatu yang sifatnya sebatas keterampilan dan how to, namun yang dicari adalah sumber inspirasi. Sehingga dari sana dapat digali dan dikembangkan sesuatu yang inovatif untuk membangun dan mengembangkan organisasi atau sumber daya manusia di tempat kerja dan di tempat lain sejauh diperlukan.
Dalam konteks corpus buku ini secara keseluruhan, personal story tadi dapat dilihat sebagai pendekatan induktif dalam suatu pendekatan ilmiah. Yakni metode pemikiran yang berangkat dari kaidah-kaidah atau pengalaman-pengalaman yang khusus untuk menentukan hukum yang umum.
Dengan kalimat yang bersahaja dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman keseharian yang dikisahkan setiap mengawali tulisan ialah dimensi empiris yang menyiapkan hukum yang umum.
Apa keuntungan membaca buku ini? Keuntungannya banyak, namun perkenankan kami menyarikannya tiga saja.
Pertama, jika peristiwa atau pengalaman yang kami paparkan dalam buku ini pada akhirnya bermuara pada sebuah hukum, maka sejatinya pembaca sudah memotong kurva belajar sekian tahun. Pengalaman jatuh bangun perusahaan-perusahaan, atau organisasi yang pernah kami tangani, dari berbagai tingkat dengan banyak variannya, dapat langsung dipetik hikmahnya.
Kedua, pembaca tidak perlu mengeluarkan biaya trial and error, suatu cost yang kadang sangat mahal jika dibandingkan dengan biaya kuliah di perguruan tinggi. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Anda tidak perlu mengalami hal-hal yang luar biasa, sesuatu yang bisa saja membuat shock, bahkan membuat Anda jatuh. Dengan membaca dan mencerap buku ini, Anda belajar melalui pengalaman orang lain.
Ketiga, dengan membaca, Anda memahami. Dengan memahami, Anda terinspirasi. Seseorang yang cerdas, tidak perlu memelajari sesuatu hingga detail. Kadang, ia kurang begitu suka dengan hal-hal yang teknis.
Namun, ia cukup diberikan inspirasi. Diberikan seberkas cahaya bernama inspirasi, dan melalui berkas cahaya itu, ia dapat mengembangkan gagasan inti menjadi sebuah corpus pengetahuan yang dapat diaplikasikan. Pengalaman kami di dalam kemitraan dan bekerja sama dengan para manajer, eksekutif, bahkan owner perusahaan; kadang yang mereka paling butuhkan justru inspirasi, metode baru, dan juga filosofi.
***
BUKU yang baik emphasis-nya haruslah terpancar melalui apa yang disebut contested material atau materi yang dipamerkan di mana gagasan utama harus lebih banyak mendapatkan porsi pembahasan.
Adapun gagasan-gagasan pendukung atau tambahan mendapatkan porsi pembahasan yang lebih sedikit. Akan tetapi, sebagai sebuah buku, kesemua isi harus saling menyangga, mendukung satu sama lain, gagasannya utuh, tidak tumpang tindih, mengalir, metodis, koheren, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, buku tersebut sudah memenuhi syarat-syarat ilmiah.
Itulah yang tampak dalam buku ini, di mana Bab 1 yang membahas leadership yang merupakan contested material terdiri atas 13 tulisan.
Selanjutnya, terbanyak kedua adalah bab 3 tentang Philosophy in Life, yakni 10 tulisan. Inilah main idea buku. Ini pula materi yang dipergelarkan ke hadapan pembaca. Itu pula menu utama sajian gizi buku ini, meski bab-bab lain dijaga tetap relevan dengan keseluruhan tema sesuai dengan judulnya.
Setiap bab terkandung menu gizinya sendiri. Oleh karena itu, membaca buku ini tidak harus dimulai dari urut kacang, bab satu. Ibarat hidangan pada pesta prasmanan di mana disediakan sembilan menu, pembaca boleh membaca mulai dari bab lain lebih dulu. Karena setiap bab selalu kembali ke gagasan utama dan tetap berpegang teguh pada unting-unting, maka buku ini mulai dibaca dari mana saja tidak menjadi perkara.
Manakala usai membacanya, Anda memeroleh inspirasi, tercerahkan, dan menemukan gagasan-gagasan baru maka buku ini sudah mencapai tujuannya.
Jakarta, 15 Desember 2010
Senin, 13 Desember 2010
e-book vs p-book
Buku elektonik (e-book) dan buku cetakan (p-book) melengkapi, bukan saling membunuh. Karena sifat keduanya berbeda, menyebabkan masing-masing punya kekurangan dan kelebihan. Sekaligus, punya pangsa pasar yang sama di satu pihak, namun di pihak lain berbeda. Bagaimana prospek industri buku di era the new media?
Buku elektronik (e-book) pertama diperkenalkan Michael S. Hart pada 1971 dari Proyek Gutenberg. Bentuk e-book pada awalnya adalah prototipe desktop untuk komputer notebook sebagaimana diperkenalkan Dynabook pada 1970-an di PARC yang, seperti dimaklumi, menjadi cikal bakal komputer pribadi. Gagasan yang sama dilontarkan Paul Drucker.
Awal e-book pada umumnya ditulis untuk daerah khusus dengan khalayak yang terbatas, Dimaksudkan untuk dibaca hanya oleh kelompok-kelompok kecil dan setia. Ruang lingkup e-book ini termasuk pedoman teknis untuk hardware, teknik manufaktur, dan mata pelajaran pada umumnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, pada 1990-an, ketersediaan internet membuat orang gampang mentransfer file elektronik, termasuk e-book.
Banyak format e-book muncul dan berkembang biak, didukung beberapa perusahaan software besar, seperti Adobe dengan format PDF, selain didukung programmer independen dan open source.
Banyak orang mengikuti beberapa format buku dengan adaptif. Namun, tidak sedikit mereka yang mengkhususkan diri dalam satu format, dan dengan demikian fragmenting pasar e-book akan lebih meningkat. Karena eksklusif dan terbatas penggunanya maka penulis dan pemasar e-book tidak memiliki konsensus mengenai standar untuk kemasan dan cara-cara bagaimana harus menjual e-book.
Kendati demikian, e-book terus berkembang dan membentuk pasar di kalangan penggunanya sendiri. Banyak penerbit e-book menerbitkan buku-buku yang semula segmentasinya terbatas mulai memasuki ranah publik.
Pada saat yang sama, penulis yang naskahnya ditampik oleh penerbit menawarkan karya-karya mereka secara online sehingga karya mereka dapat diketahui oleh orang lain. Tidak resmi (dan kadang-kadang tidak disensor) katalog buku disediakan melalui web, dan situs-situs yang ditujukan untuk marketing e-book mulai menyebarkan informasi tentang e-book untuk umum.
Pada 2009, model pemasaran baru untuk e-book dikembangkan dan berbasis hardware. Namun, tetap saja e-book belum mencapai distribusi global. Di Amerika Serikat, pada September 2009, Amazon Kindle model dan Sony PRS-500 mengembangkan perangkat e-reading. Pada Maret 2010, dilaporkan bahwa Barnes & mencapai lebih dari capaian Kindle.
Pada 27 Januari 2010, Apple, Inc meluncurkan perangkat multi-fungsi yang disebut iPad dan mengumumkan perjanjian dengan lima dari enam penerbit terbesar yang memungkinkan Apple untuk mendistribusikan e-book. Namun, banyak penerbit dan penulis tidak didukung konsep penerbitan elektronik, baik dalam promosi, penjualan, administrasi pelanggan dan administrasi keuangan.
Pada Juli 2010, Amazon.com melaporkan penjualan e-books untuk perusahaan milik Kindle kalah jumlah penjualan buku hardcover untuk pertama kalinya pada kuartal kedua 2010, mengatakan menjual 140 e-book untuk setiap buku 100 hardcover, termasuk hardcovers untuk yang tidak ada edisi digitalnya.
Pada bulan Juli jumlah ini meningkat menjadi 180 per 100 e-books Kindle hardcovers Paperback penjualan buku masih jauh lebih besar daripada baik hardcover atau e-book; American Association Penerbitan e-book diperkirakan mewakili 8,5% dari penjualan pada pertengahan tahun 2010.
Keunggulan dan kekurangan e-book
Ada beberapa keunggulan e-book, di antaranya adalah:
- mengklik (membukanya) lebih mudah dibanding p-book
- pembaca dapat sesuka hati menyesuaikan format (memperbesar ukuran font dan style, mengubah orientasi pada perangkat, memodifikasi kontras layar)
- apa yang diinginkan dapat dengan mudah dicari (khusus istilah, definisi, bab), sering dengan hanya mengklik pada kata kunci dalam teks
- potensi untuk menambahkan multimedia (grafis, audio, video) dan hyperlink ke informasi lain, termasuk bahan referensi Anda sendiri
- pembaca bisa mendapatkan judul hampir seketika melalui internet, termasuk yang backlisted atau out-of-print, dan ribuan yang berada dalam ranah publik
- habis dibaca mudah disimpan
- dapat dibaca dalam gelap
Sementara kekurangannya ialah:
- tergantung dengan alat (komputer, laptop, jaringan internet)
- cenderung menjadi milik personal
- tidak mudah dibawa ke mana-mana (misalnya ke pantai dan kolam renang)
- melelahkan mata
- kurang prestisius
Prospek p-book
Secara umum, orang membaca e-book pada komputer pribadi. Beberapa orang juga menggunakannya pada ponsel mereka. Hal ini terutama dimaksudkan untuk pembaca yang ingin mendapatkan informasi langsung di web. Pembaca ini juga disebut e-reader (pembaca elektronik).
Sebelumnya, e-book yang ditulis untuk kalangan yang spesifik dan dibatasi hanya untuk beberapa mata pelajaran. Dengan ekspansi World Wide Web (WWW) dan kepadatan di antara para pengguna, e-book muncul sebagai sumber utama pengetahuan dan jawaban atas banyak pertanyaan. E-book umumnya tersedia dalam format PDF yang kompatibel dengan semua komputer di seluruh dunia.
Sama seperti kita dulu punya penerbit buku di dunia nyata, kita sekarang memiliki penerbit e-book di World Wide Web. Banyak penulis ingin memiliki versi e-book dari buku-buku mereka untuk diterbitkan. Namun, ada ada juga penulis yang menentangnya. Salah satunya adalah J.K. Rowling yang dengan tegas menampik menerbitkan versi elektronik seri Harry Potter.
E-book mempunyai pasar yang sangat luas dan target pengguna yang besar. Inilah sebabnya mengapa bisnis e-book meningkat pada kecepatan yang sangat cepat. Kita dapat dengan mudah menemukan sebagian besar buku-buku elektronik. Jika tersedia di internet melalui Google, mesin pencari umum digunakan, paling gampang menemukan jawaban yang diinginkan.
E-book memiliki keuntungan karena yang telah mendapatkan begitu banyak popularitas. Pertama dan terpenting, pengguna menghemat waktu.
Ini menyelamatkan kita tidak perlu lagi ke toko, membeli buku atau membuang-buang waktu pengiriman tiba di rumah. Secara keseluruhan, ini adalah proses yang memakan waktu.
Dan karena waktu merupakan faktor yang sangat penting dalam dunia sekarang ini, e-book memberikan solusi instan untuk persoalan kita menyangkut waktu dan tempat. Selain itu, biaya juga murah dimana ada jutaan e-book tersedia secara Cuma-Cuma di internet. Kemudahan yang tentu saja tidak bias kita nikmati di masa-masa lampau.
Kita dapat dengan mudah mencari topik yang kita ingin tahu tentang apa saja di internet dan kemudian dengan mudah mendapatkan banyak e-book tentang topik yang kita suka. Apalagi data apa saja sekarang juga tersedia di ponsel, karena perangkat tersebut telah menggunakan e-book yang lebih luas. S
eorang pengguna bisa mendapatkan informasi melalui e-bookdari kantornya langsung pada di telepon genggamnya. Ini telah membawa sebuah revolusi dalam dunia internet dan komunikasi.
Sama seperti koin memiliki dua sisi, e-book juga memiliki kelemahan tertentu. Data atau informasi yang ingin didapat menuntut tersedianya komputer pribadi atau ponsel. Data tersebut dapat hilang jika format file yang tidak didukung atau diubah dalam pembaca komputer.
Pembajakan adalah satu lagi aspek yang harus dipikirkan saat berbicara mengenai. E-book sering mendorong pembajakan dan akhirnya mengurangi keuntungan dari penerbit buku asli. Ini mungkin salah satu alasan mengapa penulis seri Harry Potter tidak mendukung pencetakan e-book yang sama.
Ada banyak klub e-book dan situs yang dapat ditemukan di internet. Klub-klub ini dan situs web memenuhi hampir semua topik yang berbeda di dunia mulai dari olahraga, politik, hiburan, sejarah, masakan, psikologi dan banyak topik lain.
***
Buku elektronik (e-book) pertama diperkenalkan Michael S. Hart pada 1971 dari Proyek Gutenberg. Bentuk e-book pada awalnya adalah prototipe desktop untuk komputer notebook sebagaimana diperkenalkan Dynabook pada 1970-an di PARC yang, seperti dimaklumi, menjadi cikal bakal komputer pribadi. Gagasan yang sama dilontarkan Paul Drucker.
Awal e-book pada umumnya ditulis untuk daerah khusus dengan khalayak yang terbatas, Dimaksudkan untuk dibaca hanya oleh kelompok-kelompok kecil dan setia. Ruang lingkup e-book ini termasuk pedoman teknis untuk hardware, teknik manufaktur, dan mata pelajaran pada umumnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, pada 1990-an, ketersediaan internet membuat orang gampang mentransfer file elektronik, termasuk e-book.
Banyak format e-book muncul dan berkembang biak, didukung beberapa perusahaan software besar, seperti Adobe dengan format PDF, selain didukung programmer independen dan open source.
Banyak orang mengikuti beberapa format buku dengan adaptif. Namun, tidak sedikit mereka yang mengkhususkan diri dalam satu format, dan dengan demikian fragmenting pasar e-book akan lebih meningkat. Karena eksklusif dan terbatas penggunanya maka penulis dan pemasar e-book tidak memiliki konsensus mengenai standar untuk kemasan dan cara-cara bagaimana harus menjual e-book.
Kendati demikian, e-book terus berkembang dan membentuk pasar di kalangan penggunanya sendiri. Banyak penerbit e-book menerbitkan buku-buku yang semula segmentasinya terbatas mulai memasuki ranah publik.
Pada saat yang sama, penulis yang naskahnya ditampik oleh penerbit menawarkan karya-karya mereka secara online sehingga karya mereka dapat diketahui oleh orang lain. Tidak resmi (dan kadang-kadang tidak disensor) katalog buku disediakan melalui web, dan situs-situs yang ditujukan untuk marketing e-book mulai menyebarkan informasi tentang e-book untuk umum.
Pada 2009, model pemasaran baru untuk e-book dikembangkan dan berbasis hardware. Namun, tetap saja e-book belum mencapai distribusi global. Di Amerika Serikat, pada September 2009, Amazon Kindle model dan Sony PRS-500 mengembangkan perangkat e-reading. Pada Maret 2010, dilaporkan bahwa Barnes & mencapai lebih dari capaian Kindle.
Pada 27 Januari 2010, Apple, Inc meluncurkan perangkat multi-fungsi yang disebut iPad dan mengumumkan perjanjian dengan lima dari enam penerbit terbesar yang memungkinkan Apple untuk mendistribusikan e-book. Namun, banyak penerbit dan penulis tidak didukung konsep penerbitan elektronik, baik dalam promosi, penjualan, administrasi pelanggan dan administrasi keuangan.
Pada Juli 2010, Amazon.com melaporkan penjualan e-books untuk perusahaan milik Kindle kalah jumlah penjualan buku hardcover untuk pertama kalinya pada kuartal kedua 2010, mengatakan menjual 140 e-book untuk setiap buku 100 hardcover, termasuk hardcovers untuk yang tidak ada edisi digitalnya.
Pada bulan Juli jumlah ini meningkat menjadi 180 per 100 e-books Kindle hardcovers Paperback penjualan buku masih jauh lebih besar daripada baik hardcover atau e-book; American Association Penerbitan e-book diperkirakan mewakili 8,5% dari penjualan pada pertengahan tahun 2010.
Keunggulan dan kekurangan e-book
Ada beberapa keunggulan e-book, di antaranya adalah:
- mengklik (membukanya) lebih mudah dibanding p-book
- pembaca dapat sesuka hati menyesuaikan format (memperbesar ukuran font dan style, mengubah orientasi pada perangkat, memodifikasi kontras layar)
- apa yang diinginkan dapat dengan mudah dicari (khusus istilah, definisi, bab), sering dengan hanya mengklik pada kata kunci dalam teks
- potensi untuk menambahkan multimedia (grafis, audio, video) dan hyperlink ke informasi lain, termasuk bahan referensi Anda sendiri
- pembaca bisa mendapatkan judul hampir seketika melalui internet, termasuk yang backlisted atau out-of-print, dan ribuan yang berada dalam ranah publik
- habis dibaca mudah disimpan
- dapat dibaca dalam gelap
Sementara kekurangannya ialah:
- tergantung dengan alat (komputer, laptop, jaringan internet)
- cenderung menjadi milik personal
- tidak mudah dibawa ke mana-mana (misalnya ke pantai dan kolam renang)
- melelahkan mata
- kurang prestisius
Prospek p-book
Secara umum, orang membaca e-book pada komputer pribadi. Beberapa orang juga menggunakannya pada ponsel mereka. Hal ini terutama dimaksudkan untuk pembaca yang ingin mendapatkan informasi langsung di web. Pembaca ini juga disebut e-reader (pembaca elektronik).
Sebelumnya, e-book yang ditulis untuk kalangan yang spesifik dan dibatasi hanya untuk beberapa mata pelajaran. Dengan ekspansi World Wide Web (WWW) dan kepadatan di antara para pengguna, e-book muncul sebagai sumber utama pengetahuan dan jawaban atas banyak pertanyaan. E-book umumnya tersedia dalam format PDF yang kompatibel dengan semua komputer di seluruh dunia.
Sama seperti kita dulu punya penerbit buku di dunia nyata, kita sekarang memiliki penerbit e-book di World Wide Web. Banyak penulis ingin memiliki versi e-book dari buku-buku mereka untuk diterbitkan. Namun, ada ada juga penulis yang menentangnya. Salah satunya adalah J.K. Rowling yang dengan tegas menampik menerbitkan versi elektronik seri Harry Potter.
E-book mempunyai pasar yang sangat luas dan target pengguna yang besar. Inilah sebabnya mengapa bisnis e-book meningkat pada kecepatan yang sangat cepat. Kita dapat dengan mudah menemukan sebagian besar buku-buku elektronik. Jika tersedia di internet melalui Google, mesin pencari umum digunakan, paling gampang menemukan jawaban yang diinginkan.
E-book memiliki keuntungan karena yang telah mendapatkan begitu banyak popularitas. Pertama dan terpenting, pengguna menghemat waktu.
Ini menyelamatkan kita tidak perlu lagi ke toko, membeli buku atau membuang-buang waktu pengiriman tiba di rumah. Secara keseluruhan, ini adalah proses yang memakan waktu.
Dan karena waktu merupakan faktor yang sangat penting dalam dunia sekarang ini, e-book memberikan solusi instan untuk persoalan kita menyangkut waktu dan tempat. Selain itu, biaya juga murah dimana ada jutaan e-book tersedia secara Cuma-Cuma di internet. Kemudahan yang tentu saja tidak bias kita nikmati di masa-masa lampau.
Kita dapat dengan mudah mencari topik yang kita ingin tahu tentang apa saja di internet dan kemudian dengan mudah mendapatkan banyak e-book tentang topik yang kita suka. Apalagi data apa saja sekarang juga tersedia di ponsel, karena perangkat tersebut telah menggunakan e-book yang lebih luas. S
eorang pengguna bisa mendapatkan informasi melalui e-bookdari kantornya langsung pada di telepon genggamnya. Ini telah membawa sebuah revolusi dalam dunia internet dan komunikasi.
Sama seperti koin memiliki dua sisi, e-book juga memiliki kelemahan tertentu. Data atau informasi yang ingin didapat menuntut tersedianya komputer pribadi atau ponsel. Data tersebut dapat hilang jika format file yang tidak didukung atau diubah dalam pembaca komputer.
Pembajakan adalah satu lagi aspek yang harus dipikirkan saat berbicara mengenai. E-book sering mendorong pembajakan dan akhirnya mengurangi keuntungan dari penerbit buku asli. Ini mungkin salah satu alasan mengapa penulis seri Harry Potter tidak mendukung pencetakan e-book yang sama.
Ada banyak klub e-book dan situs yang dapat ditemukan di internet. Klub-klub ini dan situs web memenuhi hampir semua topik yang berbeda di dunia mulai dari olahraga, politik, hiburan, sejarah, masakan, psikologi dan banyak topik lain.
***
Jumat, 10 Desember 2010
Jurnalistik Sastrawi dan Perkembangannya di Indonesia
A. Latar Belakang
The new journalism, atau jurnalistik sastrawi (bukan jurnalisme sastrawi, sebab tidak pernah dua kata sifat menjadi satu, dan ini salah kaprah!) kini kembali jadi perbincangan hangat. Terutama setelah Molly Blair (2006) merilis disertasinya Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education, yang membahas mengenai unsur-unsur atau apa yang membentuk senyawa journalism . Separuh menggugat, Blair menyebut contoh apa jenis tulisan yang mengandung jurnalistik dan mana yang tidak. Lebih lanjut, ia memaparkan secara detail posisi jurnalistik sastrawi dalam konfigurasi media hari ini.
Selanjutnya, Cindy Royal and Dr. James Tankard dalam “The Convergence of Literary Journalism and the World Wide Web: The Case of Blackhawk Down” menjelaskan bahwa “The concept of Literary Journalism is one that has sparked much debate.
In contrast to standard reportage, which is characterized by objectivity, direct language, and the inverted pyramid style, literary journalism seeks to communicate facts through narrative storytelling and literary techniques. The concept itself has been described with a variety of terms, including new journalism, creative nonfiction, intimate journalism or literary nonfiction. The
phrase "New Journalism" was popularized in a book of that title by Tom Wolfe. He cited the works of talented feature writers of the day — Gay Talese, Jimmy Breslin, Truman Capote, Hunter S. Thompson, Joan Didion, Norman Mailer — as well as examples of his own writing. He also pointed out writers throughout history that had written in a style that would be commensurate with that of literary journalism, including Stephen Crane, George Orwell, Charles Dickens, and John Hersey. Wolfe's own description of this style is that "it just might be possible to write journalism that would…read like a novel." But, he adds, its power over fiction writing is "the simple fact that the reader knows all this actually happened.”6 What the literary journalist tries to do is to convey a deeper truth than the mere presentation of facts can accomplish. Fiction writers can enjoy the license to create, to make things fit, to apply just the appropriate symbol to
convey meaning. Literary journalists must work within the boundaries of dialogue and scenarios that they have either witnessed or had conveyed to them by witnesses or documentation of such events!”
B. Tinjauan Pustaka
Aminuddin, Drs., MPd. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Atmowiloto, Arswendo. 2004. Mengarang Itu Gampang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Blair, Molly. 2006. Putting the storytelling back into stories: Creative Non-fiction in tertiary journalism education.
Bonneff, Marcel. Komik Indonesia. 1998. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Capaldi, Nicholas. 1987. The Arts of Deception: An Introduction to Critical Thinking. Prometheus Books.
Connery, Thomas B., ed. 1992. A Sourcebook of American Literary Journalism. New York: Greenwood Press.
Creme, Phyllis dan Mary R. Lea. 2003. Writing at University. England: Open University Press.
Friedlander/ Lee. 2008. Feature Writing for Newspapers and Magazines. USA: Pearson.
Eneste, Pamusuk. 1986. Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gunung Agung.
Gil Jr., Generoso J. 1993. Wartawan Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hernowo (editor). 2004. Quantum Writing. Bandung: Penerbit MLC.
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV. Rajawali.
Hersey, John. 1946. Hiroshima.
Hollowell, J. 1977. Fact & fiction: the new journalism and the nonfiction novel. University of North Carolina Press.
Holtz, Herman, 1992. How to Start and Run a Writing & Editing Business. 1992. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Humes, Edward. 2007. “A Brief Introduction to Narrative Nonfiction”.
Itule, Bruce and Douglas Anderson. 2003. News Writing and Reporting for Today's Media. MCGraw Hill International.
Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. 2007. The Elements of Journalism. Random House Inc.
Kump, Peter. 1999. Break-Through Rapid Reading. New York: Prentice Hall Press.
MacDougall, Curtis. 1972. Interpretative Reporting (Six Edition). New York: The Macmillan.
Mohamad, Goenawan. 1996. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta: Isai-Yayasan Alumni Tempo.
Prent, K. CM,dkk. 1969. Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra Sareb, R. Masri dan Yenni Hardididjaja. 2007. How to Write and Market a Novel: Panduan bagi Novelis, Pendidik, dan Industri Penerbitan. Bandung: Kolbu.
Putra Sareb, R. Masri. 2008. 101 Hari Menulis & Menerbitkan Novel. Jakarta: Sangkan Paran Media.
-----------------------------. 2006. Teknik Menulis Berita dan Feature. Jakarta: PT Indeks.
-----------------------------. 2008. 101 Writing Businesses You Can Start from Home. Surabaya: Brilliant Book.
-----------------------------. 2009. Literary Journalism (Jurnalistik Sastrawi). Jakarta: Salemba Empat.
Rae, Leslie. 2005. Using Presentation: The Art of Training and Development (terj.) 2005. Jakarta: Gramedia Direct Selling.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.
------------------------------. 2000. Leksikon Susastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soules, Marshall. 2004. “Feature Writing”
Simbolon, Parakitri T. 1997. Vademekum Wartawan: Reportase Dasar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Smith, Dianne, MJE. “Feature Writing”. Texas: Alief Hastings High SchoolHouston.
Stine, Jean Marie. 1997. Writing Successful Sefl-Help & How to Book. New York: John Willey & Sons, Inc.
Stoltz, Paul G. 1997. Adversity Quotient. New York: John Wiley &
Sims, Norman, ed. 1990. Literary Journalism in the Twentieth Century. New York: Oxford University Press.
The Bangkok Post (Internet version). 2000. “Teaching Feature Stories”.
Underwood, Dough, 2008. Journalism and the Novel: Truth and Fiction, 1700-2000. Cambridge.
Winterowd, W. Ross. 1990. The Rhetoric of the "Other" Literature. Illinois: Southern Illinois University.
Manuskrip
Swingley, Sheryl. “Hot 100” News Writing Tips.
Sumber internet
www.nieman.harvard.edu/narrative
http://members.tripod.com/dscorpio/images/literary_elements.ppt
Cindy Royal and Dr. James “The Convergence of Literary Journalism and the World Wide Web: The Case of Blackhawk Down Tankard” http://www.cindyroyal.com/bhd.pdf
C. Nama Lain Literary Journalism
Setidaknya, terdapat 15 nama lain untuk literary journalism .
1) The new journalism
2) Narrative journalism
3) Journalistic narrative
4) Narrative nonfiction writing
5) Literary of fact
6) Factual fiction
7) Documentary narrative
8) Reporting and story telling
9) Romantic reporting
10) Feature stories (Bangkok Post)
11) The literature of actuality
12) Literary nonfiction
13) Jurnalistik sastrawi
14) Jurnalisme sastra
15) Faksi (Fakta yang ditulis dengan elemen dan kadiah fiksi)
Apa pun nama yang diberikan pada literary journalism, yang kadang dipertukarkan, yang pasti substansinya sama saja. Yakni fakta, data, informasi, dan wawancara yang dikumpulkan dan ditulis dengan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra. Atau kebenaran yang dikemas dengan menyentuh hati dan emosi pembaca seperti dikemukakan Connery ,
”Whether it’s called ”narrative journalism”, ”new journalism”, ”literary journalism”, or ”journalistic narrative”, the type of writing definied by these terms is blend of reporting and storytelling. Although this offshoot of traditional journalism does not employ the pure objectively that is often associated with the profession, narrative journalism upholds integrity and profesionalism, as its writers, astute to human experience, paint pictures and emotions with words. The narrative journalist is necessarily wrapped up in social realism, and is ”in fact, a Romantic Reporter, who assumes that reality is to be found by focusing on internal, rahter than external, human processes and movements; that feelings and emotions are more essential to understanding human life than ideas.” (Connery, 17).
Khusus untuk istilah Indonesia, tidak dianjurkan menggunakan ”jurnalisme sastrawi” sebagaimana dipakai oleh kalangan tertentu. Mengapa? Karena ditilik dari kaidah bahasa (hukum menerangkan dan diterangkan) terjadi salah kaprah di dalam pengadaptasian literary journalism. Akhiran –ism dalam Inggris tidak harus diterjemahkan isme, yang berarti: paham, atau aliran. Namun, kerap juga menunjukkan kata benda. Tidak pernah ada dua kata sama-sama kata sifat (menerangkan).
Dengan demikian, jurnalime sastrawi salah kaprah sebab berarti aliran jurnalistik yang bersifat atau berkaidah sastra. Istilah yang dianjurkan adalah jurnalistik sastrawi atau jurnalisme sastra.
D. Ruang Lingkup Jurnalistik dan Sastra
Ketika membahas ide awal dan proses kelahiran acta diurna, ruang lingkup serta kegiatan jurnalistik, sudah disinggung syarat-syarat jurnalistik . Bahwa di dalam kegiatan reportase terkandung pengertian yang luas, mencakup proses pencarian dan pengumpulan berita, teknik menulis atau melaporkan, mengedit dan menerbitkan berita, serta kewajiban pasca terbit.
Dilihat dari menu sajian, atau content, biasanya sebuah media membagi menunya ke dalam dua bagian besar: Fiksi dan Nonfiksi. Dua bagian besar ini masih dipecah-pecah lagi ke dalam rubrik (dari kata Latin ruber = merah yang kemudian mengalami evolusi makna dan diartikan sebagai pita merah, penyekat, atau book mark yang memisahkan ragam tulisan satu dengan yang lain.
Di manakah tempat literary journalism dalam konfigurasi ragam tulisan dan menu sebuah media? Dahulu, orang menamakannya dengan ”feature” yang diartikan sebagai tulisan/ karangan khas (Goenawan Mohammad, 1996) sebagai bahan atau unsur pelengkap dari berita.
Seiring dengan berjalannya waktu, sesuai perkembangan teknologi dan konteks sosial masyarakat, feature mengalami evolusi makna. Ia bukan lagi sekadar imbuhan atau pelangkap, melainkan bagian utuh dari menu utama itu sendiri. Kini sudah tidak ada lagi dikotomi atau garis-tegas antara berita dan feature. Terutama dalam sajian media terkini di mana banyak berita dijadikan atau disajikan dalam bentuk feature, sebagaimana ditegaskan Bruce Itule & Douglas Anderson (2003) dalam News Writing and Reporting for Today's Media.
”There is no firm line between a news story and feature, particulary in contemporary media when many news stories are ”featurized”. For instance, the result of an Olympic competition may be hard news: ”Canadian driver Anne Montmogny Montminy claimed her second medal in synchronized diving today.” A featurized story might begin: ”As a girl jumping off a log into the strean running behind her house, Anne Monmigny never dreamed she would leap into the spotlight of Olympic diving competitio.” One approach emphasizes the facts of the event, while the feature displaces the facts to accomodate the human interest of the story. Most news broadcast or publications combine the two to reach a wider audience.”
Jelaslah bahwa media hari ini tidak lagi berpandangan seperti dulu yang menganggap dan memosisikan feature sebagai imbuhan, atau menu suplemen. Baik hard news maupun soft news sama-sama diperlukan media siar mapun media cetak untuk menjangkau khalayak yang lebih luas lagi.
Selanjutnya, Bruce dkk. mencatat bahwa media hari ini mengumpulkan dan menentukan menu yang disajikan dengan mempertimbangkan dan berpedoman pada tujuh aspek yang berikut ini.
1) timeliness (aktualitas menu yang terikat oleh waktu)
2) proximity (kedekatan dengan pembaca)
3) consequence (daya terpa atau pengaruh menu itu)
4) the perceived interest of the audience (sejauh mana menu itu menarik minat khalayak)
5) competition (punya daya saing dengan media lain)
6) editorial goals (tujuan atau kebijakan editorial)
7) influence of advertisers (apakah menu yang disajikan relevan dengan target bidik sehingga menarik minat pengiklan untuk menjangkau sasaran).
Lazimnya, feature dibagi ke dalam lima macam.
1) Personality profiles. Profil pribadi yang ditulis untuk membawa pembaca lebih dekat dan mengenal secara pribadi dalam dan luar berita. Wawancara dan pengamatan, seperti halnya creative writing, digunakan sedemikian rupa untuk menggambarkan lukisan yang hidup tentang seorang tokoh.
2) Human interest stories. Yakni kisahan yang menyangkut atau menggelitik nurani kemanusiaan yang ditulis untuk menunjukkan suatu pokok secara detail atau sisi praktisnya, emosional, dan nilai hiburannya.
3) Tred stories. Sebuah kisah yang sedang nge-trend tentang seseorang (misalnya bintang pop, atau artis yang sedang skandal) yang punya dampak pada masyarakat. Jenis ini sangat menarik karena orang ingin membaca atau mendengar sesuatu ihwal isu terkini yang menarik.
4) In-depth stories. Sajian yang disuguhkan pada pembaca setelah mengalami proses riset dan wawancara, in-depth stories yang memuaskan keingintahuan pembaca dan dapat mengobati rasa penasaran mereka.
5) Backgrounders. Kerap juga disebut analysis piec (analisis berita) yang memberikan bingkai, latar, serta memberikan proyeksi tentang masa depan. Tulisan feature jenis ini membawa pembaca memasuki masa datang, menjelaskan bagaimana keadaan negeri kemudian hari, organisasi, seorang tokoh diangkat menjadi fenomena sosial pada zamannya.
Sementara itu, Molly Blair dalam kajian terkininya menempatkan feature dan literary journalism sebagai tiang penyangga yang bersama-sama membangun Creative Writing. Meskipun banyak kesamaan, ditinjau dari gaya publikasinya, keduanya berbeda (lihat diagram). Dengan kata lain, ciri pembeda antara jurnalistik konvensional dan jurnalistik sastra terletak pada struktur dinamikanya .
E. Komprehensi dan Karakteristik Jurnalistik Sastrawi
Oleh karena menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastra dalam penulisannya maka genre tulisan naratif nonfiksi ini disebut the literature of fact atau fakta yang ditulis secara sastrawi. Istilah lain ialah fakta yang ditulis dengan kaidah dan elemen-elemen fiksi (disingkat: faksi). Ada pula pakar yang menyebutnya the literature of reality (Barbara Laounsberry, 1996).
Dalam faksi, seorang jurnalis mengandalkan reportase lanjut, menggunakan rekap publik dan catatan historis, dokumen yang sah, buku harian, catatan pribadi, dan publikasi resmi lainnya, database, dan Web sites. Jurnalistik sastrawi yang efektif mencelikkan pembaca, memberikan pencerahan, menyibak wawasan serta meningkatkan kualitas hidup mereka sehari-hari. Dengan demikian, pembaca diperkaya bukan saja oleh informasi yang lengkap dan akurat, tetapi mereka juga mafhum lingkungan, dunia luar, institusi, dan aneka peristiwa.
Karena itu, jurnalistik sastrawi dituntut untuk:
a) Kredibel (akurat dalam merangkai dan menyajikan fakta, patuh pada etika). Jurnalis melakukan observasi.
b) Mengandung nilai artistik (kualitas sastra)
Di dalamnya sekaligus juga terkandung metafor nilai artistik:
a) Karya jurnalistik sastra merupakan jendela dan cermin sekaligus (both a window and a mirror).
b) Jendela: Menyibak bagi pembaca pandangan unik tentang dunia, jalan hidup, dan subkultur
c) Cermin: memberikan pada pembaca hikmah dan pengalaman-pengalaman hidup yang dapat menjadi bahan refleksi pada situasi hidup yang nyata (kondisi kemanusiaan).
Faktor pembeda model jurnalistik tradisional dan Literary Journalism tampak pada:
a) Konstruksi model jurnalistik tradisional didasarkan pada fakta.
b) Konstruksi literary journalism didasarkan pada cita rasa sastra (benar terjadi, rekreatif/anekdot).
Adapun cita rasa sastra terasa pada senyawa naratif dramatik yang mengandung tujuan, komplikasi, atau konflik. Ada awal, tengah, dan akhir dan punya struktur (misalnya, komplikasi, pengembangan, sudut pandang, resolusi).
Sementara teknik penulisannya memerhatikan:
a) Cita rasa sastra (dramatic narrative)
b) Karakterisasi (kedalaman psikologis)
c) Deskripsi (sensory/status details)
d) Dialog (versus kutipan)
e) Point of View (versus “objective” stance)
f) Metafor/Simile
g) Gaya sastra (irony, symbolism, flash back, foreshadowing)
Seorang jurnalis sastrawi semata-mata menulis berdasarkan fakta. Menghindari opini, namun menguji pengamatannya dan berbagai informasi melalui riset, dan selalu melakukan rek dan ricek. Ia juga selalu dituntut menggunakan referensi yang akurat dan tepercaya (check ability).
Jadi, tulisan kreatif nonfiksi mempunyai berbagai sinonim yang kerap dipertukarkan. Meski demikian, apa pun sebutannya, yang jelas genre ini menggunakan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra dalam penulisannya (a type of writing which uses literary skills in the writing of nonfiction).
Jurnalistik sastrawi merupakan bagian dari tulisan non-fiksi kreatif. Jika non-fiksi kreatif menggambarkan genre dari suatu tulisan, maka “jurnalistik” melukiskan bukan semata-mata genre tulisan, namun juga karya fotografi dan editorial, sebagaimana ditegaskan Blair (2006: 21),
“The term ‘creative non-fiction’ describes a genre of writing, but the term ‘journalism’ describes a genre which includes not only writing, but also the work of photographers and editors. Perhaps for this reason, ‘journalism’ is a concept that even the journalism community struggles to define adequately.”
Karena merupakan hibrida dari sastra dan jurnalistik, sebenarnya karya sastra menjadi inspirasi bagi para pelopor aliran baru jurnalistik ini untuk mengemas factum menjadi laporan jurnalistik yang tidak membosankan. Sudah sejak lama, bahkan ketika zaman Yunani kuna dan kekaisaran Romawi, sudah disadari bahwa karya sastra –meski fiktif— dapat menjadi sarana pendidikan.
Diagram
Dinamika struktur jurnalistik sastrawi dan persilangan antara jurnalistik dan sastra
Molly Blair, 2006: 143.
Dalam konteks itu, syair-syair Homeros dijadikan bahan pengajaran untuk mendidik warga Yunani (Hellas). Kaum terpelajar, cerdik cendikia, serta putra dan putri bangsawan diajarkan seni sastra terutama puisi (ars poetica) dan seni tulis (ars scribendi). Karya sastra selain menghibur, juga mencerahkan dan mengasah kehalusan jiwa. Di dalam karya sastra terkandung banyak hikmat kebijaksanaan, pesan-pesan moral yang nilainya tiada tara. Oleh sebab itu, hingga kini sastra diajarkan di sekolah-sekolah formal.
Berikut ini karya literary journalism terpilih dari daftar Top 100 abad ke-20 jurnalistik terbaik Amerika oleh sebuah panel ahli yang diselenggarakan New York University School of Journalism.
Tabel
Karya jurnalistik sastrawi terbaik dunia abad 20
No. Jurnalis Karya Jurnalistik Sastrawi Tahun
1. John Hersey Hiroshima 1946
18. Tom Wolfe The Electric Kool-Aid Acid Test 1968
19. Norman Mailer The Armies of the Night 1968
36. Joseph Mitchell Up in the Old Hotel and Other Stories 1992
43. Gay Talese Fame and Obscurity 1970
48. Tom Wolfe The Right Stuff 1979
54. John McPhee The John McPhee Reader 1976
Para peraih karya jurnalistik terbaik dunia abad 20 tersebut adalah jurnalis sekaligus penulis cerita yang ulung. Mereka juga esais yang rajin membaca. Dengan membaca, jurnalis menemukan gaya dan kaya dengan variasi diksi. Merekalah yang memelopori kelahiran jurnalistik sastrawi, semangat dan ruh yang sama juga menginspirasi kelahiran jurnalistik sastrawi di Indonesia yang juga dipelopori oleh jurnalis-sastrawan.
F. Jurnalistik Sastrawi menurut Para Pakar
Banyak pakar coba mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan ”jurnalistik sastrawi”.
1) Menurut W. Ross Winterowd, seorang penulis andal. “Narrative journalism uses the novellist’s techniques and the reporter’s meticulousness and energy to create a more penetrating view of reality.”
2) DeNeen L. Brown dari The Washington Post menegaskan bahwa literary journalism bertumpu pada kebenaran, namun harus dibungkus dengan indah. “A lead should enter your subject’s thoughts and establish an “intimate relationship” with the reader. You’re really saying: sit down and listen to me.”
3) Cynthia Gorney, dekan University of California mencatat, “You have to know five times as much as you’re ever going to use in the story. The only really essential quality of the writer is crazed curiosity. You should be passionately interested in everything.”
4) Mark Kramer, empat tahun seusai menjelaskan idenya mengenai literary journalism dalam Quill, menulis artikel untuk Neiman Reports mengenai kembalinya jurnalisme naratif pada surat kabar. Memang tidak jelas-tegas ia menggunakan terminologi ‘literary journalism’ dalam artikel itu, namun genre penulisan jelas digambarkan. Tulisan naratif, sebagaimana didefinisikan Kramer “… has a much wider application than literary journalism, as it enables writers to take what they like from the well of creative techniques and apply them to their work as they see fit. There is not the prescriptive formula that the piece must be a work of tireless immersion in the subject, or the assumption that it will be a lengthy piece of prose.”
Kramer (2000, pp.2,3) menyarankan bahwa perkawinan antara tulisan kreatif dan jurnalistik mengggunakan teknik bercerita (storytelling techniques) yang dapat digunakan pada hampir semua news story.
5) Professor Mark Massé dalam Introduction to Literary Journalism dengan mengutip pendapat Truman Capote, pengarang In Cold Blood mencatat bahwa literary journalism ”… combined the power of truth and the drama of story.”
6) Molly Blair dalam Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education menjelaskan bahwa jurnalistik sastrawi adalah genre dari creative non-fiction. Ragam tulisan fakta yang dikemas menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastrawi.
7) Truman Capote, pengarang In Cold Blood menyebut bahwa jurnalistik sastrawi ialah “a serious new art form that combined the power of truth and the drama of story.”
8) Sebuah situs resmi penulisan kreatif Lit Pot Press, Inc. mencatat, “Creative nonfiction is urgent, complex, intelligent, and written in a strong and distinctive voice, immersing and transporting the reader. It can come in many forms, including, but not limited to:
~ literary memoir
~ essay
~ satire and parody
~ literary diaries
~ literary journalism.
…1,000 to 4,000 words in length.”
9) Wikipedia
“Creative nonfiction (sometimes known as literary nonfiction) is a type of writing which uses literary skills in the writing of nonfiction. A work of creative nonfiction, if well-written, is factually true and artistically elegant. Creative nonfiction contrasts with other nonfiction, such as technical writing or journalism, which should also contain accurate information, but is not primarily written in service to its craft.”
G. Jurnalistik Sastrawi di Indonesia
Kendati di Indonesia baru populer dekade 1990-an, sebenarnya sejak kelahirannya pada 1970-an majalah Tempo sudah mempraktikkan jurnalistik sastrawi. Teknik reportase, ramuan menulis, manajemen, hingga distribusi Tempo yang khas itu merupakan hasil racikan sendiri. Seperti dipaparkan Goenawan Mohamad, Tempo ketika berdiri merupakan satu-satunya media (cetak) yang menulis laporan dengan teknik bercerita. Kemudian hari, banyak media mengikuti, seakan-akan cara dan teknik penulisan berkisah itu merupakan pakem dan telah lama ada. Padahal, Tempo menemukannya sendiri dengan jatuh bangun dan coba-coba.
Tentang hal itu, Goenawan menulis, “Sebelum ada Tempo, hanya ada dua jenis penulisan dalam koran dan majalah di Indonesia: berita yang lempang (straight news) seperti di koran, atau artikel, seperti “kolom”. Tempo lahir dengan menyajikan cara penulisan yang berbeda sama sekali –yang sekarang jadi pola di penulisan jurnalistik Indonesia (dan sering tidak pada tempatnya dipakai): bagaimana menyusun sebuah berita tentang sebuah kejadian sebagai sebuah cerita pendek.” (Seandainya Saya Wartawan Tempo, 1997: 4).
Mengapa Tempo begitu mudah memulai dan mengadopsi “jurnalistik-baru” ini? Agaknya, itu karena para awak Tempo (jurnalis, fotografer, hingga jajaran pimpinannya) banyak yang juga sastrawan.
Otomatis, mereka merangkai dan menulis fakta terpengaruh gaya sastra juga, menggunakan teknik serta cermat menerapkan elemen-elemen sastra dalam penulisan dan laporan jurnalistik mereka. Sebagai contoh, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Eka Budianta, Fikri Jufri, Lelila Chudori, dan Bondan Winarno. Ditambah kolumnis yang juga sastrawan seperti Ehma Ainun Najib, Parakitri T. Simbolon, Christianto Wibisono, Jakob Sumardjo, Korrie Layun Rampan, dan Taufik Ismail.
Masih ada jurnalis-sastrawan yang pada awal kemunculan jurnalistik sastrawi dekade 80-an, turut ambil bagian secara aktif memberikan warna pada jurnalistik sastrawi khas Indonesia.
Sebagai contoh, Remy Sylado yang bekerja sebagai redaktur majalah Aktuil, Korrie Layun Rampan di majalah Sarinah, Marianne Katoppo yang bekerja di PSH Grup, Julius Siyaranamual yang bekerja di Harian Surya, Titie Said yang bekerja pada majalah Kartini, Yudhistira ANM Massardi yang bekerja pada beberapa majalah mingguan umum, Seno Gumira Ajidarma bekerja di Jakarta-Jakarta, dan Veven Wardhana yang bekerja di tabloid Citra.
Tradisi jurnalistik sastrawi para pelopor itu, diteruskan generasi berikut, yang juga jurnalis-sastrawan. Para jurnalis-sastrawan itu sukses, terbukti dari penghargaan tingkat nasional maupun internasional yang mereka raih.
Akan tetapi, lepas dari pengakuan itu, karya-karya mereka sanggup “menyihir” pembaca dan menjadi tulisan yang kehadirannya senantiasa ditunggu-tunggu. Sebagai contoh, Ahmadun Y. Herfanda yang bekerja di Republika, Ayu Utami di Matra dan beberapa majalah lain, dan Fira Basuki yang bekerja di majalah Cosmopolitan.
Fira Basuki, Ahmadun Y. Herfanda, dan Ayu Utami: jurnalis-sastrawan yang turut mewarnai dan menyosialisasikan jurnalistik sastrawi.Selanjutnya, para awak jurnal Pantau juga gencar menyosialiasikan jurnalistik sastrawi, dengan memberikan pelatihan bagi sejumlah jurnalis baik pada tataran lokal maupun nasional.
Baru akhir-akhir ini, perguruan tinggi turut aktif ambil bagian di dalam pengembangan dan inseminasi jurnalistik sastrawi, namun belum secara holistik sebagai sebuah kajian ilmu seperti di luar negeri .
Hal ini tampak dari beberapa buku dan substansi materi perkuliahan yang masih berpandangan lama, menganggap bahwa jurnalistik sastra, atau feature, ialah “pelengkap” dari hard news.
Padahal, hakikat jurnalistik sastra tidaklah demikian, ia substansi dengan genre yang memunyai tempat dan daya pikat tersendiri dalam konfigurasi jurnalistik modern. Bahkan, karena daya pikatnya, jurnalistik sastra dapat bersaing dengan berita-berita keras dan kecepatan media elektronik di dalam men-deliver informasi kepada khalayak.
Para jurnalis-sastrawan dan sastrawan-penulis itu, sadar atau tidak, telah membawa warna, nuansa, dan gaya baru jurnalistik yang di Inggris, Amerika, dan Australia memang sudah lama dipraktikkan sebagaimana dicatat Blair (op.cit.: 22)
“The first major example of the crossover between the literary and the journalistic occurred in 1846 when the London Daily News was published with Charles Dickens as founding editor. In Australia, in the mid 1860s, newspapers included in their weekly publications serialised novels and other literary reading matter (Morrison, 1993, p.64). In the late 1880s The Bulletin began to publish regularly the works of writers such as Henry Lawson and Banjo Patterson (Australian Government Department of Communications p.1). In 1923 the weekly news magazine Time was launched in America, followed in 1925 by the New Yorker and in 1933 by Life, Sport Illustrated and Fortune (Stephens, 1997, p.xxi). In Australia, what would become the world’s highest circulating magazine per capita, Australian Women’s Weekly, also emerged in 1933. While this publication is well known today as a monthly magazine, the Weekly was in newspaper format at its inception ("History: The Australian Women's Weekly", 2004, p.1).
Apabila dibandingkan dengan Amerika, Inggris, dan Australia yang sudah lebih dulu mempraktikkan jurnalistik sastrawi, kondisi di Indonesia juga kurang lebih sama. Hibrida antara jurnalistik dan sastra pada era 1970-an juga muncul melalui majalah Tempo dan majalah bulanan Intisari dan Trubus. Gaya penulisan, elemen-elemen, maupun struktur jurnalistik di majalah-majalah tersebut mengandung dan menerapkan teknik penulisan sastra.
Mengapa terjadi hibrida jurnalistik dan sastra pada media yang disebutkan di atas? Jawabannya tentu karena ideologi dan pengaruh dari warna kepenulisan yang dibawakan oleh para sastrawan yang bekerja di media tersebut.
H. Penutup
Jurnalistik sastrawi di Amerika dipelopori jurnalis-sastrawan atau sastrawan-jurnalis, demikian pula halnya di Indonesia. Dimulai Tempo dan Pantau, aliran jurnalistik yang berkisah ini kini hampir dapat ditemukan hampir pada media cetak Indonesia –khususnya majalah berita mingguan dan harian edisi hari Minggu.
Para jurnalis Indonesia perlu terus mengembangkan dan meningkatkan karya jurnalistik sastrawi yang bermutu tinggi. Mengapa? Sebab genre jurnalistik ini bukan lagi sekadar imbuhan, atau menu tambahan, dalam sebuah media cetak, melainkan juga merupakan menu utama itu sendiri. Bahkan, dapat dikatakan faktor diferensiasi, sebab fakta yang ditulis dengan kaidah dan elemen-elemen sastra (literary of fact) ini tidak dapat disajikan oleh media mana pun, kecuali media cetak.
The new journalism, atau jurnalistik sastrawi (bukan jurnalisme sastrawi, sebab tidak pernah dua kata sifat menjadi satu, dan ini salah kaprah!) kini kembali jadi perbincangan hangat. Terutama setelah Molly Blair (2006) merilis disertasinya Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education, yang membahas mengenai unsur-unsur atau apa yang membentuk senyawa journalism . Separuh menggugat, Blair menyebut contoh apa jenis tulisan yang mengandung jurnalistik dan mana yang tidak. Lebih lanjut, ia memaparkan secara detail posisi jurnalistik sastrawi dalam konfigurasi media hari ini.
Selanjutnya, Cindy Royal and Dr. James Tankard dalam “The Convergence of Literary Journalism and the World Wide Web: The Case of Blackhawk Down” menjelaskan bahwa “The concept of Literary Journalism is one that has sparked much debate.
In contrast to standard reportage, which is characterized by objectivity, direct language, and the inverted pyramid style, literary journalism seeks to communicate facts through narrative storytelling and literary techniques. The concept itself has been described with a variety of terms, including new journalism, creative nonfiction, intimate journalism or literary nonfiction. The
phrase "New Journalism" was popularized in a book of that title by Tom Wolfe. He cited the works of talented feature writers of the day — Gay Talese, Jimmy Breslin, Truman Capote, Hunter S. Thompson, Joan Didion, Norman Mailer — as well as examples of his own writing. He also pointed out writers throughout history that had written in a style that would be commensurate with that of literary journalism, including Stephen Crane, George Orwell, Charles Dickens, and John Hersey. Wolfe's own description of this style is that "it just might be possible to write journalism that would…read like a novel." But, he adds, its power over fiction writing is "the simple fact that the reader knows all this actually happened.”6 What the literary journalist tries to do is to convey a deeper truth than the mere presentation of facts can accomplish. Fiction writers can enjoy the license to create, to make things fit, to apply just the appropriate symbol to
convey meaning. Literary journalists must work within the boundaries of dialogue and scenarios that they have either witnessed or had conveyed to them by witnesses or documentation of such events!”
B. Tinjauan Pustaka
Aminuddin, Drs., MPd. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Atmowiloto, Arswendo. 2004. Mengarang Itu Gampang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Blair, Molly. 2006. Putting the storytelling back into stories: Creative Non-fiction in tertiary journalism education.
Bonneff, Marcel. Komik Indonesia. 1998. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Capaldi, Nicholas. 1987. The Arts of Deception: An Introduction to Critical Thinking. Prometheus Books.
Connery, Thomas B., ed. 1992. A Sourcebook of American Literary Journalism. New York: Greenwood Press.
Creme, Phyllis dan Mary R. Lea. 2003. Writing at University. England: Open University Press.
Friedlander/ Lee. 2008. Feature Writing for Newspapers and Magazines. USA: Pearson.
Eneste, Pamusuk. 1986. Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gunung Agung.
Gil Jr., Generoso J. 1993. Wartawan Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hernowo (editor). 2004. Quantum Writing. Bandung: Penerbit MLC.
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV. Rajawali.
Hersey, John. 1946. Hiroshima.
Hollowell, J. 1977. Fact & fiction: the new journalism and the nonfiction novel. University of North Carolina Press.
Holtz, Herman, 1992. How to Start and Run a Writing & Editing Business. 1992. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Humes, Edward. 2007. “A Brief Introduction to Narrative Nonfiction”.
Itule, Bruce and Douglas Anderson. 2003. News Writing and Reporting for Today's Media. MCGraw Hill International.
Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. 2007. The Elements of Journalism. Random House Inc.
Kump, Peter. 1999. Break-Through Rapid Reading. New York: Prentice Hall Press.
MacDougall, Curtis. 1972. Interpretative Reporting (Six Edition). New York: The Macmillan.
Mohamad, Goenawan. 1996. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta: Isai-Yayasan Alumni Tempo.
Prent, K. CM,dkk. 1969. Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra Sareb, R. Masri dan Yenni Hardididjaja. 2007. How to Write and Market a Novel: Panduan bagi Novelis, Pendidik, dan Industri Penerbitan. Bandung: Kolbu.
Putra Sareb, R. Masri. 2008. 101 Hari Menulis & Menerbitkan Novel. Jakarta: Sangkan Paran Media.
-----------------------------. 2006. Teknik Menulis Berita dan Feature. Jakarta: PT Indeks.
-----------------------------. 2008. 101 Writing Businesses You Can Start from Home. Surabaya: Brilliant Book.
-----------------------------. 2009. Literary Journalism (Jurnalistik Sastrawi). Jakarta: Salemba Empat.
Rae, Leslie. 2005. Using Presentation: The Art of Training and Development (terj.) 2005. Jakarta: Gramedia Direct Selling.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.
------------------------------. 2000. Leksikon Susastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soules, Marshall. 2004. “Feature Writing”
Simbolon, Parakitri T. 1997. Vademekum Wartawan: Reportase Dasar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Smith, Dianne, MJE. “Feature Writing”. Texas: Alief Hastings High SchoolHouston.
Stine, Jean Marie. 1997. Writing Successful Sefl-Help & How to Book. New York: John Willey & Sons, Inc.
Stoltz, Paul G. 1997. Adversity Quotient. New York: John Wiley &
Sims, Norman, ed. 1990. Literary Journalism in the Twentieth Century. New York: Oxford University Press.
The Bangkok Post (Internet version). 2000. “Teaching Feature Stories”.
Underwood, Dough, 2008. Journalism and the Novel: Truth and Fiction, 1700-2000. Cambridge.
Winterowd, W. Ross. 1990. The Rhetoric of the "Other" Literature. Illinois: Southern Illinois University.
Manuskrip
Swingley, Sheryl. “Hot 100” News Writing Tips.
Sumber internet
www.nieman.harvard.edu/narrative
http://members.tripod.com/dscorpio/images/literary_elements.ppt
Cindy Royal and Dr. James “The Convergence of Literary Journalism and the World Wide Web: The Case of Blackhawk Down Tankard” http://www.cindyroyal.com/bhd.pdf
C. Nama Lain Literary Journalism
Setidaknya, terdapat 15 nama lain untuk literary journalism .
1) The new journalism
2) Narrative journalism
3) Journalistic narrative
4) Narrative nonfiction writing
5) Literary of fact
6) Factual fiction
7) Documentary narrative
8) Reporting and story telling
9) Romantic reporting
10) Feature stories (Bangkok Post)
11) The literature of actuality
12) Literary nonfiction
13) Jurnalistik sastrawi
14) Jurnalisme sastra
15) Faksi (Fakta yang ditulis dengan elemen dan kadiah fiksi)
Apa pun nama yang diberikan pada literary journalism, yang kadang dipertukarkan, yang pasti substansinya sama saja. Yakni fakta, data, informasi, dan wawancara yang dikumpulkan dan ditulis dengan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra. Atau kebenaran yang dikemas dengan menyentuh hati dan emosi pembaca seperti dikemukakan Connery ,
”Whether it’s called ”narrative journalism”, ”new journalism”, ”literary journalism”, or ”journalistic narrative”, the type of writing definied by these terms is blend of reporting and storytelling. Although this offshoot of traditional journalism does not employ the pure objectively that is often associated with the profession, narrative journalism upholds integrity and profesionalism, as its writers, astute to human experience, paint pictures and emotions with words. The narrative journalist is necessarily wrapped up in social realism, and is ”in fact, a Romantic Reporter, who assumes that reality is to be found by focusing on internal, rahter than external, human processes and movements; that feelings and emotions are more essential to understanding human life than ideas.” (Connery, 17).
Khusus untuk istilah Indonesia, tidak dianjurkan menggunakan ”jurnalisme sastrawi” sebagaimana dipakai oleh kalangan tertentu. Mengapa? Karena ditilik dari kaidah bahasa (hukum menerangkan dan diterangkan) terjadi salah kaprah di dalam pengadaptasian literary journalism. Akhiran –ism dalam Inggris tidak harus diterjemahkan isme, yang berarti: paham, atau aliran. Namun, kerap juga menunjukkan kata benda. Tidak pernah ada dua kata sama-sama kata sifat (menerangkan).
Dengan demikian, jurnalime sastrawi salah kaprah sebab berarti aliran jurnalistik yang bersifat atau berkaidah sastra. Istilah yang dianjurkan adalah jurnalistik sastrawi atau jurnalisme sastra.
D. Ruang Lingkup Jurnalistik dan Sastra
Ketika membahas ide awal dan proses kelahiran acta diurna, ruang lingkup serta kegiatan jurnalistik, sudah disinggung syarat-syarat jurnalistik . Bahwa di dalam kegiatan reportase terkandung pengertian yang luas, mencakup proses pencarian dan pengumpulan berita, teknik menulis atau melaporkan, mengedit dan menerbitkan berita, serta kewajiban pasca terbit.
Dilihat dari menu sajian, atau content, biasanya sebuah media membagi menunya ke dalam dua bagian besar: Fiksi dan Nonfiksi. Dua bagian besar ini masih dipecah-pecah lagi ke dalam rubrik (dari kata Latin ruber = merah yang kemudian mengalami evolusi makna dan diartikan sebagai pita merah, penyekat, atau book mark yang memisahkan ragam tulisan satu dengan yang lain.
Di manakah tempat literary journalism dalam konfigurasi ragam tulisan dan menu sebuah media? Dahulu, orang menamakannya dengan ”feature” yang diartikan sebagai tulisan/ karangan khas (Goenawan Mohammad, 1996) sebagai bahan atau unsur pelengkap dari berita.
Seiring dengan berjalannya waktu, sesuai perkembangan teknologi dan konteks sosial masyarakat, feature mengalami evolusi makna. Ia bukan lagi sekadar imbuhan atau pelangkap, melainkan bagian utuh dari menu utama itu sendiri. Kini sudah tidak ada lagi dikotomi atau garis-tegas antara berita dan feature. Terutama dalam sajian media terkini di mana banyak berita dijadikan atau disajikan dalam bentuk feature, sebagaimana ditegaskan Bruce Itule & Douglas Anderson (2003) dalam News Writing and Reporting for Today's Media.
”There is no firm line between a news story and feature, particulary in contemporary media when many news stories are ”featurized”. For instance, the result of an Olympic competition may be hard news: ”Canadian driver Anne Montmogny Montminy claimed her second medal in synchronized diving today.” A featurized story might begin: ”As a girl jumping off a log into the strean running behind her house, Anne Monmigny never dreamed she would leap into the spotlight of Olympic diving competitio.” One approach emphasizes the facts of the event, while the feature displaces the facts to accomodate the human interest of the story. Most news broadcast or publications combine the two to reach a wider audience.”
Jelaslah bahwa media hari ini tidak lagi berpandangan seperti dulu yang menganggap dan memosisikan feature sebagai imbuhan, atau menu suplemen. Baik hard news maupun soft news sama-sama diperlukan media siar mapun media cetak untuk menjangkau khalayak yang lebih luas lagi.
Selanjutnya, Bruce dkk. mencatat bahwa media hari ini mengumpulkan dan menentukan menu yang disajikan dengan mempertimbangkan dan berpedoman pada tujuh aspek yang berikut ini.
1) timeliness (aktualitas menu yang terikat oleh waktu)
2) proximity (kedekatan dengan pembaca)
3) consequence (daya terpa atau pengaruh menu itu)
4) the perceived interest of the audience (sejauh mana menu itu menarik minat khalayak)
5) competition (punya daya saing dengan media lain)
6) editorial goals (tujuan atau kebijakan editorial)
7) influence of advertisers (apakah menu yang disajikan relevan dengan target bidik sehingga menarik minat pengiklan untuk menjangkau sasaran).
Lazimnya, feature dibagi ke dalam lima macam.
1) Personality profiles. Profil pribadi yang ditulis untuk membawa pembaca lebih dekat dan mengenal secara pribadi dalam dan luar berita. Wawancara dan pengamatan, seperti halnya creative writing, digunakan sedemikian rupa untuk menggambarkan lukisan yang hidup tentang seorang tokoh.
2) Human interest stories. Yakni kisahan yang menyangkut atau menggelitik nurani kemanusiaan yang ditulis untuk menunjukkan suatu pokok secara detail atau sisi praktisnya, emosional, dan nilai hiburannya.
3) Tred stories. Sebuah kisah yang sedang nge-trend tentang seseorang (misalnya bintang pop, atau artis yang sedang skandal) yang punya dampak pada masyarakat. Jenis ini sangat menarik karena orang ingin membaca atau mendengar sesuatu ihwal isu terkini yang menarik.
4) In-depth stories. Sajian yang disuguhkan pada pembaca setelah mengalami proses riset dan wawancara, in-depth stories yang memuaskan keingintahuan pembaca dan dapat mengobati rasa penasaran mereka.
5) Backgrounders. Kerap juga disebut analysis piec (analisis berita) yang memberikan bingkai, latar, serta memberikan proyeksi tentang masa depan. Tulisan feature jenis ini membawa pembaca memasuki masa datang, menjelaskan bagaimana keadaan negeri kemudian hari, organisasi, seorang tokoh diangkat menjadi fenomena sosial pada zamannya.
Sementara itu, Molly Blair dalam kajian terkininya menempatkan feature dan literary journalism sebagai tiang penyangga yang bersama-sama membangun Creative Writing. Meskipun banyak kesamaan, ditinjau dari gaya publikasinya, keduanya berbeda (lihat diagram). Dengan kata lain, ciri pembeda antara jurnalistik konvensional dan jurnalistik sastra terletak pada struktur dinamikanya .
E. Komprehensi dan Karakteristik Jurnalistik Sastrawi
Oleh karena menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastra dalam penulisannya maka genre tulisan naratif nonfiksi ini disebut the literature of fact atau fakta yang ditulis secara sastrawi. Istilah lain ialah fakta yang ditulis dengan kaidah dan elemen-elemen fiksi (disingkat: faksi). Ada pula pakar yang menyebutnya the literature of reality (Barbara Laounsberry, 1996).
Dalam faksi, seorang jurnalis mengandalkan reportase lanjut, menggunakan rekap publik dan catatan historis, dokumen yang sah, buku harian, catatan pribadi, dan publikasi resmi lainnya, database, dan Web sites. Jurnalistik sastrawi yang efektif mencelikkan pembaca, memberikan pencerahan, menyibak wawasan serta meningkatkan kualitas hidup mereka sehari-hari. Dengan demikian, pembaca diperkaya bukan saja oleh informasi yang lengkap dan akurat, tetapi mereka juga mafhum lingkungan, dunia luar, institusi, dan aneka peristiwa.
Karena itu, jurnalistik sastrawi dituntut untuk:
a) Kredibel (akurat dalam merangkai dan menyajikan fakta, patuh pada etika). Jurnalis melakukan observasi.
b) Mengandung nilai artistik (kualitas sastra)
Di dalamnya sekaligus juga terkandung metafor nilai artistik:
a) Karya jurnalistik sastra merupakan jendela dan cermin sekaligus (both a window and a mirror).
b) Jendela: Menyibak bagi pembaca pandangan unik tentang dunia, jalan hidup, dan subkultur
c) Cermin: memberikan pada pembaca hikmah dan pengalaman-pengalaman hidup yang dapat menjadi bahan refleksi pada situasi hidup yang nyata (kondisi kemanusiaan).
Faktor pembeda model jurnalistik tradisional dan Literary Journalism tampak pada:
a) Konstruksi model jurnalistik tradisional didasarkan pada fakta.
b) Konstruksi literary journalism didasarkan pada cita rasa sastra (benar terjadi, rekreatif/anekdot).
Adapun cita rasa sastra terasa pada senyawa naratif dramatik yang mengandung tujuan, komplikasi, atau konflik. Ada awal, tengah, dan akhir dan punya struktur (misalnya, komplikasi, pengembangan, sudut pandang, resolusi).
Sementara teknik penulisannya memerhatikan:
a) Cita rasa sastra (dramatic narrative)
b) Karakterisasi (kedalaman psikologis)
c) Deskripsi (sensory/status details)
d) Dialog (versus kutipan)
e) Point of View (versus “objective” stance)
f) Metafor/Simile
g) Gaya sastra (irony, symbolism, flash back, foreshadowing)
Seorang jurnalis sastrawi semata-mata menulis berdasarkan fakta. Menghindari opini, namun menguji pengamatannya dan berbagai informasi melalui riset, dan selalu melakukan rek dan ricek. Ia juga selalu dituntut menggunakan referensi yang akurat dan tepercaya (check ability).
Jadi, tulisan kreatif nonfiksi mempunyai berbagai sinonim yang kerap dipertukarkan. Meski demikian, apa pun sebutannya, yang jelas genre ini menggunakan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra dalam penulisannya (a type of writing which uses literary skills in the writing of nonfiction).
Jurnalistik sastrawi merupakan bagian dari tulisan non-fiksi kreatif. Jika non-fiksi kreatif menggambarkan genre dari suatu tulisan, maka “jurnalistik” melukiskan bukan semata-mata genre tulisan, namun juga karya fotografi dan editorial, sebagaimana ditegaskan Blair (2006: 21),
“The term ‘creative non-fiction’ describes a genre of writing, but the term ‘journalism’ describes a genre which includes not only writing, but also the work of photographers and editors. Perhaps for this reason, ‘journalism’ is a concept that even the journalism community struggles to define adequately.”
Karena merupakan hibrida dari sastra dan jurnalistik, sebenarnya karya sastra menjadi inspirasi bagi para pelopor aliran baru jurnalistik ini untuk mengemas factum menjadi laporan jurnalistik yang tidak membosankan. Sudah sejak lama, bahkan ketika zaman Yunani kuna dan kekaisaran Romawi, sudah disadari bahwa karya sastra –meski fiktif— dapat menjadi sarana pendidikan.
Diagram
Dinamika struktur jurnalistik sastrawi dan persilangan antara jurnalistik dan sastra
Molly Blair, 2006: 143.
Dalam konteks itu, syair-syair Homeros dijadikan bahan pengajaran untuk mendidik warga Yunani (Hellas). Kaum terpelajar, cerdik cendikia, serta putra dan putri bangsawan diajarkan seni sastra terutama puisi (ars poetica) dan seni tulis (ars scribendi). Karya sastra selain menghibur, juga mencerahkan dan mengasah kehalusan jiwa. Di dalam karya sastra terkandung banyak hikmat kebijaksanaan, pesan-pesan moral yang nilainya tiada tara. Oleh sebab itu, hingga kini sastra diajarkan di sekolah-sekolah formal.
Berikut ini karya literary journalism terpilih dari daftar Top 100 abad ke-20 jurnalistik terbaik Amerika oleh sebuah panel ahli yang diselenggarakan New York University School of Journalism.
Tabel
Karya jurnalistik sastrawi terbaik dunia abad 20
No. Jurnalis Karya Jurnalistik Sastrawi Tahun
1. John Hersey Hiroshima 1946
18. Tom Wolfe The Electric Kool-Aid Acid Test 1968
19. Norman Mailer The Armies of the Night 1968
36. Joseph Mitchell Up in the Old Hotel and Other Stories 1992
43. Gay Talese Fame and Obscurity 1970
48. Tom Wolfe The Right Stuff 1979
54. John McPhee The John McPhee Reader 1976
Para peraih karya jurnalistik terbaik dunia abad 20 tersebut adalah jurnalis sekaligus penulis cerita yang ulung. Mereka juga esais yang rajin membaca. Dengan membaca, jurnalis menemukan gaya dan kaya dengan variasi diksi. Merekalah yang memelopori kelahiran jurnalistik sastrawi, semangat dan ruh yang sama juga menginspirasi kelahiran jurnalistik sastrawi di Indonesia yang juga dipelopori oleh jurnalis-sastrawan.
F. Jurnalistik Sastrawi menurut Para Pakar
Banyak pakar coba mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan ”jurnalistik sastrawi”.
1) Menurut W. Ross Winterowd, seorang penulis andal. “Narrative journalism uses the novellist’s techniques and the reporter’s meticulousness and energy to create a more penetrating view of reality.”
2) DeNeen L. Brown dari The Washington Post menegaskan bahwa literary journalism bertumpu pada kebenaran, namun harus dibungkus dengan indah. “A lead should enter your subject’s thoughts and establish an “intimate relationship” with the reader. You’re really saying: sit down and listen to me.”
3) Cynthia Gorney, dekan University of California mencatat, “You have to know five times as much as you’re ever going to use in the story. The only really essential quality of the writer is crazed curiosity. You should be passionately interested in everything.”
4) Mark Kramer, empat tahun seusai menjelaskan idenya mengenai literary journalism dalam Quill, menulis artikel untuk Neiman Reports mengenai kembalinya jurnalisme naratif pada surat kabar. Memang tidak jelas-tegas ia menggunakan terminologi ‘literary journalism’ dalam artikel itu, namun genre penulisan jelas digambarkan. Tulisan naratif, sebagaimana didefinisikan Kramer “… has a much wider application than literary journalism, as it enables writers to take what they like from the well of creative techniques and apply them to their work as they see fit. There is not the prescriptive formula that the piece must be a work of tireless immersion in the subject, or the assumption that it will be a lengthy piece of prose.”
Kramer (2000, pp.2,3) menyarankan bahwa perkawinan antara tulisan kreatif dan jurnalistik mengggunakan teknik bercerita (storytelling techniques) yang dapat digunakan pada hampir semua news story.
5) Professor Mark Massé dalam Introduction to Literary Journalism dengan mengutip pendapat Truman Capote, pengarang In Cold Blood mencatat bahwa literary journalism ”… combined the power of truth and the drama of story.”
6) Molly Blair dalam Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education menjelaskan bahwa jurnalistik sastrawi adalah genre dari creative non-fiction. Ragam tulisan fakta yang dikemas menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastrawi.
7) Truman Capote, pengarang In Cold Blood menyebut bahwa jurnalistik sastrawi ialah “a serious new art form that combined the power of truth and the drama of story.”
8) Sebuah situs resmi penulisan kreatif Lit Pot Press, Inc. mencatat, “Creative nonfiction is urgent, complex, intelligent, and written in a strong and distinctive voice, immersing and transporting the reader. It can come in many forms, including, but not limited to:
~ literary memoir
~ essay
~ satire and parody
~ literary diaries
~ literary journalism.
…1,000 to 4,000 words in length.”
9) Wikipedia
“Creative nonfiction (sometimes known as literary nonfiction) is a type of writing which uses literary skills in the writing of nonfiction. A work of creative nonfiction, if well-written, is factually true and artistically elegant. Creative nonfiction contrasts with other nonfiction, such as technical writing or journalism, which should also contain accurate information, but is not primarily written in service to its craft.”
G. Jurnalistik Sastrawi di Indonesia
Kendati di Indonesia baru populer dekade 1990-an, sebenarnya sejak kelahirannya pada 1970-an majalah Tempo sudah mempraktikkan jurnalistik sastrawi. Teknik reportase, ramuan menulis, manajemen, hingga distribusi Tempo yang khas itu merupakan hasil racikan sendiri. Seperti dipaparkan Goenawan Mohamad, Tempo ketika berdiri merupakan satu-satunya media (cetak) yang menulis laporan dengan teknik bercerita. Kemudian hari, banyak media mengikuti, seakan-akan cara dan teknik penulisan berkisah itu merupakan pakem dan telah lama ada. Padahal, Tempo menemukannya sendiri dengan jatuh bangun dan coba-coba.
Tentang hal itu, Goenawan menulis, “Sebelum ada Tempo, hanya ada dua jenis penulisan dalam koran dan majalah di Indonesia: berita yang lempang (straight news) seperti di koran, atau artikel, seperti “kolom”. Tempo lahir dengan menyajikan cara penulisan yang berbeda sama sekali –yang sekarang jadi pola di penulisan jurnalistik Indonesia (dan sering tidak pada tempatnya dipakai): bagaimana menyusun sebuah berita tentang sebuah kejadian sebagai sebuah cerita pendek.” (Seandainya Saya Wartawan Tempo, 1997: 4).
Mengapa Tempo begitu mudah memulai dan mengadopsi “jurnalistik-baru” ini? Agaknya, itu karena para awak Tempo (jurnalis, fotografer, hingga jajaran pimpinannya) banyak yang juga sastrawan.
Otomatis, mereka merangkai dan menulis fakta terpengaruh gaya sastra juga, menggunakan teknik serta cermat menerapkan elemen-elemen sastra dalam penulisan dan laporan jurnalistik mereka. Sebagai contoh, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Eka Budianta, Fikri Jufri, Lelila Chudori, dan Bondan Winarno. Ditambah kolumnis yang juga sastrawan seperti Ehma Ainun Najib, Parakitri T. Simbolon, Christianto Wibisono, Jakob Sumardjo, Korrie Layun Rampan, dan Taufik Ismail.
Masih ada jurnalis-sastrawan yang pada awal kemunculan jurnalistik sastrawi dekade 80-an, turut ambil bagian secara aktif memberikan warna pada jurnalistik sastrawi khas Indonesia.
Sebagai contoh, Remy Sylado yang bekerja sebagai redaktur majalah Aktuil, Korrie Layun Rampan di majalah Sarinah, Marianne Katoppo yang bekerja di PSH Grup, Julius Siyaranamual yang bekerja di Harian Surya, Titie Said yang bekerja pada majalah Kartini, Yudhistira ANM Massardi yang bekerja pada beberapa majalah mingguan umum, Seno Gumira Ajidarma bekerja di Jakarta-Jakarta, dan Veven Wardhana yang bekerja di tabloid Citra.
Tradisi jurnalistik sastrawi para pelopor itu, diteruskan generasi berikut, yang juga jurnalis-sastrawan. Para jurnalis-sastrawan itu sukses, terbukti dari penghargaan tingkat nasional maupun internasional yang mereka raih.
Akan tetapi, lepas dari pengakuan itu, karya-karya mereka sanggup “menyihir” pembaca dan menjadi tulisan yang kehadirannya senantiasa ditunggu-tunggu. Sebagai contoh, Ahmadun Y. Herfanda yang bekerja di Republika, Ayu Utami di Matra dan beberapa majalah lain, dan Fira Basuki yang bekerja di majalah Cosmopolitan.
Fira Basuki, Ahmadun Y. Herfanda, dan Ayu Utami: jurnalis-sastrawan yang turut mewarnai dan menyosialisasikan jurnalistik sastrawi.Selanjutnya, para awak jurnal Pantau juga gencar menyosialiasikan jurnalistik sastrawi, dengan memberikan pelatihan bagi sejumlah jurnalis baik pada tataran lokal maupun nasional.
Baru akhir-akhir ini, perguruan tinggi turut aktif ambil bagian di dalam pengembangan dan inseminasi jurnalistik sastrawi, namun belum secara holistik sebagai sebuah kajian ilmu seperti di luar negeri .
Hal ini tampak dari beberapa buku dan substansi materi perkuliahan yang masih berpandangan lama, menganggap bahwa jurnalistik sastra, atau feature, ialah “pelengkap” dari hard news.
Padahal, hakikat jurnalistik sastra tidaklah demikian, ia substansi dengan genre yang memunyai tempat dan daya pikat tersendiri dalam konfigurasi jurnalistik modern. Bahkan, karena daya pikatnya, jurnalistik sastra dapat bersaing dengan berita-berita keras dan kecepatan media elektronik di dalam men-deliver informasi kepada khalayak.
Para jurnalis-sastrawan dan sastrawan-penulis itu, sadar atau tidak, telah membawa warna, nuansa, dan gaya baru jurnalistik yang di Inggris, Amerika, dan Australia memang sudah lama dipraktikkan sebagaimana dicatat Blair (op.cit.: 22)
“The first major example of the crossover between the literary and the journalistic occurred in 1846 when the London Daily News was published with Charles Dickens as founding editor. In Australia, in the mid 1860s, newspapers included in their weekly publications serialised novels and other literary reading matter (Morrison, 1993, p.64). In the late 1880s The Bulletin began to publish regularly the works of writers such as Henry Lawson and Banjo Patterson (Australian Government Department of Communications p.1). In 1923 the weekly news magazine Time was launched in America, followed in 1925 by the New Yorker and in 1933 by Life, Sport Illustrated and Fortune (Stephens, 1997, p.xxi). In Australia, what would become the world’s highest circulating magazine per capita, Australian Women’s Weekly, also emerged in 1933. While this publication is well known today as a monthly magazine, the Weekly was in newspaper format at its inception ("History: The Australian Women's Weekly", 2004, p.1).
Apabila dibandingkan dengan Amerika, Inggris, dan Australia yang sudah lebih dulu mempraktikkan jurnalistik sastrawi, kondisi di Indonesia juga kurang lebih sama. Hibrida antara jurnalistik dan sastra pada era 1970-an juga muncul melalui majalah Tempo dan majalah bulanan Intisari dan Trubus. Gaya penulisan, elemen-elemen, maupun struktur jurnalistik di majalah-majalah tersebut mengandung dan menerapkan teknik penulisan sastra.
Mengapa terjadi hibrida jurnalistik dan sastra pada media yang disebutkan di atas? Jawabannya tentu karena ideologi dan pengaruh dari warna kepenulisan yang dibawakan oleh para sastrawan yang bekerja di media tersebut.
H. Penutup
Jurnalistik sastrawi di Amerika dipelopori jurnalis-sastrawan atau sastrawan-jurnalis, demikian pula halnya di Indonesia. Dimulai Tempo dan Pantau, aliran jurnalistik yang berkisah ini kini hampir dapat ditemukan hampir pada media cetak Indonesia –khususnya majalah berita mingguan dan harian edisi hari Minggu.
Para jurnalis Indonesia perlu terus mengembangkan dan meningkatkan karya jurnalistik sastrawi yang bermutu tinggi. Mengapa? Sebab genre jurnalistik ini bukan lagi sekadar imbuhan, atau menu tambahan, dalam sebuah media cetak, melainkan juga merupakan menu utama itu sendiri. Bahkan, dapat dikatakan faktor diferensiasi, sebab fakta yang ditulis dengan kaidah dan elemen-elemen sastra (literary of fact) ini tidak dapat disajikan oleh media mana pun, kecuali media cetak.
Variabel-Variabel yang Menentukan Readability Suatu Wacana
Potonglah sebuah laporan berita surat kabar. Lalu berikan pada pembaca yang tingkat pendidikannya sama. Pembaca yang satu tinggal di Jakarta, sedangkan yang lain tinggal di sebuah pelosok negeri ini. Tentu pemahaman pembaca akan wacana tersebut akan berbeda satu sama lain.
Pembaca yang tinggal di Jakarta merasa mudah memahaminya, sementara pembaca yang tinggal di pelosok tadi merasa sukar memahaminya.
Mengapa terjadi perbedaan di kalangan pembaca memahami wacana yang sama? Inilah yang menjadi perdebatan yang sengit dari dulu sebelum ditemukannya rumusan bagaimana mengukur dan memformulasikan keterbacaan (readability) sebuah wacana oleh Robert Gunning.
Ditemukannya formula untuk mengukur keterbacaan suatu wacana yang dikenal dengan nama “The Gunning's Fog Index” atau “Fog Readability Formula” atau “Fog Index” ini mengalami proses yang panjang dan tidak datang dengan sendirinya. Gunning mengamati bahwa banyak siswa sekolah menengah yang tidak terampil atau tidak mahir memnaca. Penyebabnya terletak pada wacana atau bacaan yang sukar untuk dimengerti. Banyak wacana yang tidak ditulis secara baik dengan memerhatikan tingkat keterbacaan yang mudah dimengerti target pembaca.
Menurut hasil observasi Gunning, banyak surat kabar dan majalah penuh dengan “fog” atau kabut tebal sehingga menghalangi pikiran atau mata pembaca untuk memahami wacana tersebut.
Faktor penghalang atau kabut tersebut berupa “big words”, yakni kata-kata yang sukar, tidak populer, bersuku kata lebih dari tiga, serta menggunakan kalimat majemuk dan terdiri atas lebih dari delapan kata per kalimat.
Berdasarkan hasil obvervasinya, Gunning menyadari bahwa jika sebuah wacana dipenuhi kabut maka readability-nya akan sukar. Ini yang mendorongnya melakukan riset tentang readability di tempat kerjanya.
Pada 1944, Gunning mendirikan lembaga yang secara khusus didedikasikan untuk mengukur dan menemukan formula keterbacaan suatu wacana. Ia melakukan studi dan membantu lebih dari 60 surat kabar ternama dan majalah di Amerika, juga membantu jurnalis, editor, dan para penulis agar tulisan mereka dipahami pembaca.
Merupakan suatu keniscayaan bahwa keterbacaan suatu wacana ditentukan oleh banyak variabel. Variabel-variabel yang dimaksudkan adalah:
1) Tingkat pendidikan pembaca sehingga berkorelasi dengan kosa kata yang (harus) dikuasainya.
2) Luasnya wawasan atau pengetahuan seorang pembaca.
3) Tempat tinggal dan pergaulan pembaca.
4) Kemampuan seseorang memahami sebuah teks dan mengingatnya.
5) Diksi, atau pilihan kata, asing oleh penulis yang melampaui batas standar kemampuan pembaca.
6) Suku kata yang lebih dari tiga atau lebih dan banyaknya jumlah kata-kata sukar (big words) yang digunakan.
7) Kalimat dalam sebuah wacana yang panjang (lebih dari 7 kata per kalimat). Kalimat yang panjang akan menyulitkan pembaca untuk menghubungkan antara subjek, predikat, objek, dan keterangan. Dengan demikian, otomatis menyulitkan pemahaman sebab pembaca tidak dapat segera menangkap gagasan intinya.
Variabel-variabel di atas merupakan faktor-faktor yang menentukan keterbacaan sebuah wacana. Manakala seorang penulis (jurnalis) di dalam menulis laporan mengabaikan faktor-faktor tersebut di atas, dan menulis tidak didasarkan pada latar belakang audience, dapat dipastikan bahwa tingkat keterbacaan tulisannya sukar dimengerti. Kesulitan ini pada gilirannya mengaburkan pemahaman pembaca akan sebuah wacana, sehingga sebuah wacana yang sukar dipahami dikategorikan sebagai tinggi tingkat “Fog Index”-nya.
Orientasi pada pemahaman yang mudah oleh pembaca akan sebuah teks (laporan jurnalis) inilah yang mendorong Robert Gunning mencari dan akhirnya menemukan suatu formula/ teknik bagaimana menulis dengan jelas. Menurut Gunning, sebuah tulisan yang jelas berawal dari gagasan (fakta dan data) yang jelas pula.
Yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa gagasan yang jelas harus ditulis dengan kata-kata yang jelas dalam sebuah kalimat yang jelas pula. Menggunakan kata yang populer, mudah dimengerti, kata yang akrab dekat dengan dunia pembaca, struktur kalimat tidak panjang dan tidak rumit.
Selain diksi atau pilihan kata yang dekat dengan pembaca, suku kata juga perlu diperhatikan, yakni gunakan kata yang terlampau banyak bersuku lebih dari tiga karena akan dihitung sebagai kata yang sukar (big words). Tidak dihitung sebagai big words adalah nama orang dan nama tempat.
Sebelum Robert Gunning menemukan rumusan bagaimana mengukur keterbacaan sebuah wacana pada 1952, dapat dikatakan tidak ada kesepakatan di dalam menetapkan keterbacaan sebuah wacana. Sebuah wacana oleh orang tertentu dikatakan mudah dimengerti, sementara oleh orang lain dikatakan sukar untuk dimengerti.
Terjadi perdebatan menyangkut pemahaman akan sebuah wacana. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan oleh berbagai variabel sehingga terjadi perbedaan pemahaman seorang dengan orang lain akan sebuah wacana, padahal tingkat pendidikan mereka sama.
Terdapat banyak pustaka yang membahas mengenai readability (keterbacaan) suatu wacana. Tentu saja, peneliti memilih pustaka yang tepat dan cocok yang mendukung proses, metode, dan hasil penelitian ini. Berikut ini pustaka yang menjadi acuan utama dalam penelitian ini:
1) The Technique of Clear Writing oleh Gunning, R. McGraw-Hill International Book Co; New York, NY 1952.
2) The Measurement of Readability oleh George Roger Klare, Iowa State University Press, 1963.
3) Wikipedia.
4) http://simbon.madpage.com/Fog/fog.cgi
5) http://www.online-utility.org/english/readability_test_and_improve.jsp
6) http://www.readabilityformulas.com/gunning-fog-readability-formula.php
Referensi di atas dengan tegas menyebutkan bahwa suatu wacana dapat diukur keterbacaannya dengan menggunakan alat ukur yang disebut dengan “Fog Index”.
Perlu diberikan catatan bahwa terdapat banyak alat ukur keterbacaan suatu wacana selain Fog Index. Namun, peneliti tidak mengacu kepada formula atau alat ukur yang lain dengan tiga pertimbangan:
Pertama, formula Fog Index orisinal dan merupakan rumusan pertama yang ditemukan untuk mengukur keterbacaan suatu wacana.
Kedua, Fog Index umum digunakan.
Ketiga, formula Fog Index mudah.
Keempat, kendatipun pada awal mula ditemukan Fog Index untuk mengukur keterbacaan wacana dalam bahasa Inggris, formula ini dapat diterapkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Kelima, skala angkanya tidak banyak dan tidak rumit.
Pembaca yang tinggal di Jakarta merasa mudah memahaminya, sementara pembaca yang tinggal di pelosok tadi merasa sukar memahaminya.
Mengapa terjadi perbedaan di kalangan pembaca memahami wacana yang sama? Inilah yang menjadi perdebatan yang sengit dari dulu sebelum ditemukannya rumusan bagaimana mengukur dan memformulasikan keterbacaan (readability) sebuah wacana oleh Robert Gunning.
Ditemukannya formula untuk mengukur keterbacaan suatu wacana yang dikenal dengan nama “The Gunning's Fog Index” atau “Fog Readability Formula” atau “Fog Index” ini mengalami proses yang panjang dan tidak datang dengan sendirinya. Gunning mengamati bahwa banyak siswa sekolah menengah yang tidak terampil atau tidak mahir memnaca. Penyebabnya terletak pada wacana atau bacaan yang sukar untuk dimengerti. Banyak wacana yang tidak ditulis secara baik dengan memerhatikan tingkat keterbacaan yang mudah dimengerti target pembaca.
Menurut hasil observasi Gunning, banyak surat kabar dan majalah penuh dengan “fog” atau kabut tebal sehingga menghalangi pikiran atau mata pembaca untuk memahami wacana tersebut.
Faktor penghalang atau kabut tersebut berupa “big words”, yakni kata-kata yang sukar, tidak populer, bersuku kata lebih dari tiga, serta menggunakan kalimat majemuk dan terdiri atas lebih dari delapan kata per kalimat.
Berdasarkan hasil obvervasinya, Gunning menyadari bahwa jika sebuah wacana dipenuhi kabut maka readability-nya akan sukar. Ini yang mendorongnya melakukan riset tentang readability di tempat kerjanya.
Pada 1944, Gunning mendirikan lembaga yang secara khusus didedikasikan untuk mengukur dan menemukan formula keterbacaan suatu wacana. Ia melakukan studi dan membantu lebih dari 60 surat kabar ternama dan majalah di Amerika, juga membantu jurnalis, editor, dan para penulis agar tulisan mereka dipahami pembaca.
Merupakan suatu keniscayaan bahwa keterbacaan suatu wacana ditentukan oleh banyak variabel. Variabel-variabel yang dimaksudkan adalah:
1) Tingkat pendidikan pembaca sehingga berkorelasi dengan kosa kata yang (harus) dikuasainya.
2) Luasnya wawasan atau pengetahuan seorang pembaca.
3) Tempat tinggal dan pergaulan pembaca.
4) Kemampuan seseorang memahami sebuah teks dan mengingatnya.
5) Diksi, atau pilihan kata, asing oleh penulis yang melampaui batas standar kemampuan pembaca.
6) Suku kata yang lebih dari tiga atau lebih dan banyaknya jumlah kata-kata sukar (big words) yang digunakan.
7) Kalimat dalam sebuah wacana yang panjang (lebih dari 7 kata per kalimat). Kalimat yang panjang akan menyulitkan pembaca untuk menghubungkan antara subjek, predikat, objek, dan keterangan. Dengan demikian, otomatis menyulitkan pemahaman sebab pembaca tidak dapat segera menangkap gagasan intinya.
Variabel-variabel di atas merupakan faktor-faktor yang menentukan keterbacaan sebuah wacana. Manakala seorang penulis (jurnalis) di dalam menulis laporan mengabaikan faktor-faktor tersebut di atas, dan menulis tidak didasarkan pada latar belakang audience, dapat dipastikan bahwa tingkat keterbacaan tulisannya sukar dimengerti. Kesulitan ini pada gilirannya mengaburkan pemahaman pembaca akan sebuah wacana, sehingga sebuah wacana yang sukar dipahami dikategorikan sebagai tinggi tingkat “Fog Index”-nya.
Orientasi pada pemahaman yang mudah oleh pembaca akan sebuah teks (laporan jurnalis) inilah yang mendorong Robert Gunning mencari dan akhirnya menemukan suatu formula/ teknik bagaimana menulis dengan jelas. Menurut Gunning, sebuah tulisan yang jelas berawal dari gagasan (fakta dan data) yang jelas pula.
Yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa gagasan yang jelas harus ditulis dengan kata-kata yang jelas dalam sebuah kalimat yang jelas pula. Menggunakan kata yang populer, mudah dimengerti, kata yang akrab dekat dengan dunia pembaca, struktur kalimat tidak panjang dan tidak rumit.
Selain diksi atau pilihan kata yang dekat dengan pembaca, suku kata juga perlu diperhatikan, yakni gunakan kata yang terlampau banyak bersuku lebih dari tiga karena akan dihitung sebagai kata yang sukar (big words). Tidak dihitung sebagai big words adalah nama orang dan nama tempat.
Sebelum Robert Gunning menemukan rumusan bagaimana mengukur keterbacaan sebuah wacana pada 1952, dapat dikatakan tidak ada kesepakatan di dalam menetapkan keterbacaan sebuah wacana. Sebuah wacana oleh orang tertentu dikatakan mudah dimengerti, sementara oleh orang lain dikatakan sukar untuk dimengerti.
Terjadi perdebatan menyangkut pemahaman akan sebuah wacana. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan oleh berbagai variabel sehingga terjadi perbedaan pemahaman seorang dengan orang lain akan sebuah wacana, padahal tingkat pendidikan mereka sama.
Terdapat banyak pustaka yang membahas mengenai readability (keterbacaan) suatu wacana. Tentu saja, peneliti memilih pustaka yang tepat dan cocok yang mendukung proses, metode, dan hasil penelitian ini. Berikut ini pustaka yang menjadi acuan utama dalam penelitian ini:
1) The Technique of Clear Writing oleh Gunning, R. McGraw-Hill International Book Co; New York, NY 1952.
2) The Measurement of Readability oleh George Roger Klare, Iowa State University Press, 1963.
3) Wikipedia.
4) http://simbon.madpage.com/Fog/fog.cgi
5) http://www.online-utility.org/english/readability_test_and_improve.jsp
6) http://www.readabilityformulas.com/gunning-fog-readability-formula.php
Referensi di atas dengan tegas menyebutkan bahwa suatu wacana dapat diukur keterbacaannya dengan menggunakan alat ukur yang disebut dengan “Fog Index”.
Perlu diberikan catatan bahwa terdapat banyak alat ukur keterbacaan suatu wacana selain Fog Index. Namun, peneliti tidak mengacu kepada formula atau alat ukur yang lain dengan tiga pertimbangan:
Pertama, formula Fog Index orisinal dan merupakan rumusan pertama yang ditemukan untuk mengukur keterbacaan suatu wacana.
Kedua, Fog Index umum digunakan.
Ketiga, formula Fog Index mudah.
Keempat, kendatipun pada awal mula ditemukan Fog Index untuk mengukur keterbacaan wacana dalam bahasa Inggris, formula ini dapat diterapkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Kelima, skala angkanya tidak banyak dan tidak rumit.
Langganan:
Postingan (Atom)