Senin, 06 Juli 2009

Pasak Bumi: Tanaman Penambah Tenaga Pria dari Bumi Borneo

Pasak bumi, di Kalbar, kini menjadi komoditas yang diperdagangkan di mana-mana. Diyakini sebagai tanaman yang dapat meningkatkan keperkasaan pria. Sulit didapat, hanya orang yang bertuah dan punya nyali. Kalau sudah ketemu, mencabutnya harus membelakangi pohon. Anehnya, untuk mendapatkan pasak bumi, kita harus taat dan kuat pada pantangan tertentu.

Pasak bumi. Ya, apa yang terlintas di benak Anda tatkala medengar kata itu?

Tak syak lagi, menyebut “pasak bumi”, ingatan kita langsung tertumbuk pada obat perkasa pria dari bumi Khatulistiwa. Orang Malaysia menyebutnya “tongkat ali”. Sedangkan nama latinnya eurycoma longifolia.

Asosiasi seperti itu tak salah. Informasi tentang khasiat tanaman khas pulau Borneo (Kalimantan) itu bukan sekadar isapan jempol. Tak percaya? Simak deskripsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Depdiknas, Balai Pustaka, 2001: 832) ”pasak bumi = tumbuhan hutan (di Kalimantan) yang akarnya dapat dijadikan obat penambah tenaga.

Benarkah pasak bumi menambah tenaga, khususnya menambah keperkasaan kaum pria? Mitoskah itu? Ataukah, sebuah kenyataan?

Pertanyaan itulah yang mengusik hati saya untuk segera menyelisik ihwal pasak bumi.

Maka, sekalian pulang kampung di Kecamatan Jangkang, Kab. Sanggau (perbatasan Sarawak-Malaysia), belum lama ini, saya sempatkan mencari dan menginderai sendiri tanaman langka ini. Maklum, sejak SMA saya meninggalkan tanah kelahiran untuk mengais rezeki di tanah Jawa. Sama seperti orang lain, saya sering mendengar pasak bumi. Namun, sekali pun saya tak pernah melihat, apalagi menyentuhnya.

Seiring modernisasi dan pembangunan menjamah Kalimantan, pasak bumi kian sulit ditemukan. Dari ibu kota provinsi Kalbar, Pontianak, tanaman langka ini baru dapat kita temukan hampir 450 km. Jauh masuk pedalaman, di daerah perbatasan dengan Sarawak, Malaysia.

Terdorong hasrat ingin tahu, dari Jakarta saya sudah membuat rencana matang. Agar tidak lupa, dari awal keberangkatan, saya mengagendakan satu hari khusus untuk melakukan eksplorasi. Meski Dr. Anton W. Nieuwenhuis, ahli botani dari Belanda, pernah melakukan perjalanan trans-Kalimantan tahun 1894 untuk menyeleidiki keanegaragaman flora dan fauna, pasak bumi luput dari perhatian dan catatannya.

Rasa ingin tahu yang menggebu mulai terobati, begitu suatu pagi Fidel dan Midin –dua pemuda Jangkang—menyanggupi menemani saya langsung ke lokasi.

“Mau dapat tanaman itu kan?” tanya kedua pemuda sebelum berangkat.

“Ya,” jawab saya. “Kenapa rupanya?” saya balik bertanya, heran.

“Ada pantangannya,” terang mereka.

“Pantang? Pantang apa?” tanya saya. Meski terlahir sebagai putra Borneo, hingga usia kepala empat sekarang, saya sama sekali tidak tahu pantang seputar bagaimana mendapat pasak bumi.

Mereka lalu menjelaskan. Ada dua pantangan. Pertama, sebelum dan selama mencari pasak bumi, jangan mengeluarkan kata-kata yang kotor dan jorok. Kedua, kalau sudah ketemu, mencabut pasak bumi harus membelakangi pohon, tidak boleh menghadap langsung.

Seperti apakah sesungguhnya pasak bumi? Apa khasiatnya, sehingga banyak orang penasaran dan ingin mencoba tanaman khas Kalimantan itu?

Tanaman langka ini sebenarnya tumbuh di rerimbunan pohon lain. Tumbuh dan kembangnya tidak berkelompok. Jarang ditemukan berdekatan, sering tumbuh satu satu. Kalau tidak awas, tanaman ini sulit untuk dikenali. Tidak setiap orang punya nyali menemukannya, untung-untungan.

Batang pohon pasak bumi sebenarnya kecil. Yang sudah berkhasiat mulai dari sebesar jempol jari. Ada yang sampai sebesar betis, namun paling besar sepaha orang dewasa. Walau sebesar jempol jari, jangan dikira gampang mencabut tanaman ini. Sukar sekali! Akarnya sangat dalam, jauh menancap ke bumi. Bahkan, kalau tidak tahu cara mencabutnya, kita bisa gagal total mendapatkan tanaman itu.

Berjalan kaki sekitar satu jam dari Jangkang, kami sampai pada sebuah bukit. Tidak begitu perawan, namun hutannya masih lestari. Ada air terjun setinggi 12 meter mengalir bebas.

Di lembah bukit, hawa sejuk segar. Bebatuan halus terhampar di sepanjang sungai “Itu”. Sungai tersebut memang bernama “Itu” (Konon, berasal dari pertanyaan seorang misionaris Belanda, “Apa nama sungai itu?” Lalu dijawab penduduk yang tidak paham bahasa Indonesia, “Itu nama sungai itu!”)

Di kaki Sungai Itu itulah, kami menemukan pasak bumi. Midin yang lebih dulu menemukan. “Au… kita bertuah!” serunya.

Dan kami pun segera mengerubunginya. Diliputi rasa sukacita, kami segera mencabut pasak bumi. Tentu saja, dengan tidak lupa akan pantangan yang tadi tadi diingatkan sebelum berangkat: mencabut pasak bumi tidak boleh menghadap langsung, tapi harus membelakangi pohon.

Maka, segera Fidel dan Midin mencabutnya. Meski caranya sudah benar, dua orang mencabut sebatang pasak bumi sebesar ibu jari tidaklah gampang. Diputar kiri kanan. Digoyang. Berkali-kali. “Satu, dua, tiga…..” sesudah berkali-kali mencoba, baru berhasil. Setelah sebatang pohon kecil yang menancap dalam perut bumi berhasil dikeluarkan, tampak Fidel dan Midin puas.

Meski setelah itu, keduanya terduduk lemas dengan napas tersengal.Karena akar batangnya jauh nancap masuk ke permukaan bumi, maka tanaman khas Kalimantan ini dinamakan “pasak bumi”. Kata Fidel dan Midin, “Batang pasak bumi adalah simbol laki-laki. Tajam, panjang, nancap jauh masuk ke dalam. Ibarat alat vital pria, batang pohon itu sekali nancap, sulit untuk ditarik kembali!”

Penjelasan yang masuk akal. Bukankah tancapan yang kokoh itu adalah simbol keperkasaan? Di sanalah bertemu kebenaran deskripsi dalam kamus, dengan mitos seputar pasak bumi.

Selain menambah tenaga, pasak bumi juga diyakini berkhasiat menyembuhkan banyak penyakit. Misalnya, sakit malaria dan muntaber. Kalau dalam keadaan genting, dan air panas tidak tersedia, penderita cukup menggigit akar pasak bumi. Kalau di alam mulut sudah terasa pahit, maka langsung saja dikonsumsi sebagai obat.

Usai dicabut, akar pohon pasak bumi lalu dicuci. Baru dijemur dan dikeringkan. Setelah kering, akar pasak bumi siap untuk dikonsumsi. Bisa diiris halus, lalu disedu dengan air hangat, masukkkan ke dalam gelas, baru siap diminum.

Kalau tidak mau repot-repot meracik sendiri dari akar langsung, pasak bumi pun tersedia dalam bentuk gelas atau piala. Ukurannya sama dengan gelas biasa. Gelas akar pasak bumi ini banyak dijual di pasar-pasar. Juga tersedia di pusat kerajinan tradisional Dayak Kalbar, di sepanjang jalan Pattimura, Pontianak.

Gelas pasak bumi tinggal dituangkan saja air hangat. Setelah beberapa menit, akan menghasilkan warna kuning. Khasiatnya baru terasa beberapa jam kemudian. Entah sugesti, ataukah karena mengandung khasiat, badan terasa segar dan ringan setelah menenggak minuman itu.

Di Pontianak, saya membeli beberapa gelas pasak bumi sebagai oleh-oleh untuk teman-teman kantor di Jakarta. Saya hadiahi satu kepada teman pria usia lima puluhan tahun. Setelah ia meminum pasak bumi, saya memberanikan diri bertanya padanya tentang khasiat tanaman khas Kalimantan itu.

Dia tidak menjawab, hanya memberi isyarat. “Hm… Begini!” katanya sembari mengacungkan jempol.

Entah mitos atau bukan. Yang jelas, pasak bumi, tanaman khas Kalimantan, kini sudah jadi komoditas.

Jangan dilihat harganya yang mahal (secangkir gelas pasak bumi di Pontianak Rp30.000,00). Namun, lihatlah khasiatnya. Secangkir pasak bumi, terbukti sanggup meningkatkan gairah dan keperkasaan. ***