Sabtu, 27 November 2010

Faktor Sosekbud yang Mendorong Kebebasan Media di Indonesia

Pemerintah (Orde Baru) sejak membredel majalah Tempo, Editor, dan Detik pada 1994 sudah mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat. Agenda perlawanan yang dilancarkan media, berkembang menjadi agenda perlawanan rakyat.

Pressure ini sedemikian kuat, sehingga pada akhirnya Pemerintah kewalahan. Politik media semakin meningkat, ketika bersamaan dengan pembredelan itu, muncul media alternatif yang tidak kalah pedas dan tajamnya mengritik Pemerintah.

Sementara tekanan itu bertubi-tubi, gugatan media massa atas Pemerintah berlangsung dan didukung tokoh nasional. Sebut saja sebagai contoh Adnan Buyung Nasution, hakim Benyamin Mangkoedilaga yang memenangkan kasus Tempo di tingkat pengadilan tinggi, dan dukungan Amien Rais baik melalui pernyataan dan komentarnya di media atas kebebasan media. Tokoh nasional ini berkolaborasi dengan dengan media, membuat tekanan politik sedemikian rupa pada Pemerintah.

Lalu menyatu dengan perjuangan dan kekuatan mahasiswa yang memperjuangkan kebebasan dalam segala macam bentuk, termasuk kebebasan menyatakan pendapat, sehingga menjadi kekuatan massa rakyat.

Di mana pun di muka bumi ini, tidak pernah ada kekuatan Pemerintahan yang kuasa menahan kekuatan massa rakyat, contoh: kekuatan rakyat melawan diktator Filipina Marcos, kekuatan rakyat melawan komunisme Uni Sovyet, dan sebagainya.

Kebencian yang lama terpendam karena kebebasan mereka dikungkung dan hasrat untuk hidup merdeka, mendorong sejumlah kekuatan massa bersatu, lalu kekuatan tersebut mndorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.

Regulasi dan kontrol pemerintah atas media massa dicabut. Puncaknya, ketika Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan sebagai simbol kontrol Pemerintah atas media massa. Di negara yang komunis dan negara yang Pemerintahannya dominan, ada Politboro. Ketika Departemen Penerangan dibubarkan, maka itulah puncak dari kekuatan politik yang merupakan perjuangan lama dari akar rumput dan kekuatan-kekuatan massa.

Itulah faktor-faktor politik yang mengondisikan atau yang menyebabkan terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.

Kebebasan media massa terjadi hampir bersamaan waktunya dengan krisis moneter yang menerpa bangsa di Indonesia pada 2007. Sebagaimana yang diketahui bahwa krisis moneter menyebabkan Pemerintah Indonesia harus meminta pihak luar, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF), untuk membantu mengatasi krisis.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan campur tangan IMF pada krisis ekonomi nasional? Yang dilakukan IMF sebenarnya sesuatu yang sangat sederhana: memberikan kucuran dana secara ketengan untuk sekadar membantu persediaan devisa Indonesia (Oppusunggu, 1999: 85).

Namun, kompensasi dan akibatnya luar biasa: Indonesia sepenuhnya tergantung pada pihak lain, dan pihak yang memberikan bantuan punya agenda tertentu sebagai kompensasinya. Hal ini ditandai dengan penandatanganan letter of intent (LOI) pada 15 Januari 1998 di Jl. Cendana oleh Presiden Soeharto di depan Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus (Pabottingi, op.cit., hal. 25).

Menurut guru besar Universitas Indonesia yang juga pakar ilmu keuangan, Prof. Dr. Anwar Nasution, 50 butir kesepakatan dengan IMF tersebut adalah GBHN kita di masa depan (Kompas, 20 Oktober 1998).

Dan benar saja, masuknya dana bantuan IMF serta merta membuka pintu bagi masuknya investor asing ke Indonesia. Beriringan dengan itu pula banyak pemodal asing menanamkan investasinya di Indonesia, bahkan ada yang menguasai sektor tertentu perekonomian nasional. Dengan kata lain, Indonesia mulai membuka diri bagi pasar bebas dan ekonomi pasar terjadi di sana di mana ekonomi kapitalisme mulai bekerja.

Bagi media massa, efeknya jelas terasa. Lisensi atau imprint media massa yang terbit dan berbasis di luar negeri dapat dengan mudah masuk Indonesia. Sebagai contoh, ada edisi Indonesia majalah Play Boy dan Readers’ Digest; sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali. Dan bersamaan dengan itu di gerai-gerai toko, terminal, dan stasiun dapat ditemukan majalah, tabloid, dan surat kabar asing.

Adanya edisi Indonesia media asing tersebut dan masuknya majalah, tabloid, dan surat kabar asing turut meramaikan persaingan komoditas dan kepemilikan kapital. Paham liberalisme dan pasar bebas tidak dapat terhindarkan lagi praktiknya di Indonesia. Di tengah-tengah banyaknya pilihan media, masyarakat akan menentukan manakah media yang berguna dan memuaskannya.

Hal ini sesuai dengan teori dalam ilmu komunikasi yakni “Uses and Gratification” (Katz) bahwa media yang tidak menyajikan menu sebagaimana yang dibutuhkan audience dan tidak dapat memuaskan mereka, maka kematian media tersebut hanyalah persoalan waktu (Tjipta Lesmana, 2010).

Masuknya pemodal asing dan dijual-bebasnya sejumlah produk media asing di Indonesia memaksa pemodal dalam negeri dan media nasional turut meningkatkan kualitas dan semakin berorientasi pada pasar (pelanggan). Terjadi persaingan bebas. Itulah sejumlah faktor ekonomi yang mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.

Perlu kiranya jika disepakati lebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan “sosial-budaya”. “Sosial” secara etimologis berasal dari kata Latin “socius” yang berarti: teman, sahabat, kawan . Kemudian, istilah ini diperluas menjadi “masyarakat” atau “berkenaan dengan masyarakat”.

Sementara itu, budaya menurut Edward B. Taylor (1889) adalah “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” Dengan demikian, sosial budaya ialah cara hidup dan cara berada suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia.

Pasca Reformasi, masyarakat Indonesia masuk ke dalam sebuah peradaban baru. Budaya membaca belum menjadi habit, sementara perkembangan teknologi media dan komunikasi sedemikian cepat. Hal ini menyebabkan terjadi kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota. Masyarakat kota lebih melek media, sementara masyarakat pedesaan masih belum banyak berubah; mereka masih banyak hidup secara komunal dengan media tradisional.

Akan tetapi, perlahan namun pasti teknologi komunikasi pun menjangkau sampai penjuru pelosok tanah air. Siaran radio dan TV juga dapat ditangkap sampai pelosok. Jangkauan media massa sudah nirbatas, di mana-mana masyarakat dapat mengakses informasi dan media massa.

Interaksi sosial yang terjadi sudah tidak lagi sebatas komunal di lingkungan terbatas seperti dulu, kini orang menjadi warga dunia, sebab teknologi komunikasi membuat dunia ini menjadi sebuah big village. Inilah yang oleh ekonom sekaligus pengamat sosial Kenichi Ohmae (2008) disebut sebagai “akhir dari negara-bangsa” (the end of the nation state).

Dalam dunia yang nirbatas tersebut, orang bebas berinteraksi dan berkomunikasi kapan pun, dengan siapa pun, dan di mana pun melalui jaringan teknologi komunikasi. Orang juga bebas memilih dan menentukan media yang ingin diaksesnya.

Di sini kita melihat terjadi perubahan struktur sosial dan interaksi sosial di mana informasi dan komunikasi dihubungkan oleh sebuah jaringan sosial yang sama sekali lain dibandingkan yang sebelumnya yang kita kenal dengan istilah “masyarakat komunal” yang struktur sosial dan pola komunikasinya masih tradisional dan mengandalkan pola komunikasi tatap muka (Koentjarningrat, 1974).

Pada gilirannya, perubahan struktur sosial dan interaksi sosial ini mendorong kebebasan media massa. Terdapat korelasi positif antara masyarakat-media sebab media sebagai sarana komunikasi massa tidak pernah terjadi dalam ruang hampa (Tjipta Lesmana, 2010).

Media ada karena adanya masyarakat. Sebaliknya apa yang disajikan dan ditampilkan oleh media merupakan cerminan realitas sosial masyarakat dan hal inilah yang oleh Peter L. Berger dan Luckmann (1976) disebut sebagai “Social Construction of Reality”.

Teori “Social Construction of Reality” ini dengan jitu menjelaskan bahwa faktor sosial-budaya mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.

Kebebasan Media di Indonesia Pascareformasi

Kebebasan media di Indonesia dewasa ini, tidak terlepas dari sejarah. Kebebasan tersebut tidaklah datang tiba-tiba, melainkan sudah jauh-jauh hari dikondisikan, bahkan diperjuangkan masyarakat, terutama kalangan pers.

Sebelum sampai pada kebebasan media massa dewasa ini, baiklah kiranya jika sedikit diungkit kembali sejarah media massa pada zaman Pemerintahan Orde Baru.

Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto diktator dan cukup represif, terutama era 1980-1997. Tiga masalah utama yang tidak boleh disentuh media massa pada waktu itu, yakni:

Pertama, sepak terjang bisnis keluarga Cendana,

Kedua, Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu pilar kekuatan Orba, dan

Ketiga, Militer dengan segala sepak terjang bisnisnya.

Mengapa ketiga hal tersebut tidak boleh disentuh dan dikritik oleh media massa? Karena menyentuh dan mengritik ketiganya sama saja dengan menyerang dan mengritik Pemerintah.

Sebagai contoh, pada 9 Oktober 1986 Pemerintah, melalui Departemen Penerangan membatalkan SIUPP koran sore Sinar Harapan. Setahun berikutnya, 29 Juni 1987, giliran harian Prioritas, yang menjadi korban. Kemudian, tiga media dicabut SIUPP-nya pada 1994 yakni majalah Tempo, Editor, dan Detik.

Bukannya tidak ada perlawanan dari masyarakat atas pemberangusan media massa tersebut, terutama oleh tokoh pers.

Goenawan Mohamad (1990) misalnya, didukung sejumlah tokoh nasional dan terutama kalangan pers menggugat Pemerintah ke pengadilan. Gugatan ini cukup memberikan efek kejut pada pemerintah, terbukti agenda media massa waktu itu menjadi agenda publik dan akhirnya menjadi agenda pemerintah.

Akan tetapi, pemerintah tetap bergeming. Suara-suara kritis serta merta dibungkam. Media massa “tiarap” untuk sementara menghentikan kritikan, sembari menunggu kesempatan untuk kembali melaksanakan fungsi kontrol sosialnya.

Pemerintahan Orde Baru dari 1995-1997 semakin diktator. Siapa yang berani mengritik, dibungkam. Media pun demikian, media yang kritis, dengan cara apa pun, dibungkam Pemerintah. Buku-buku yang berbau kritikan dan dinilai menjelek-jelekkan Pemerintah dan bertentangan dengan ideologinya, juga dilarang beredar.

Ketika media resmi ditekan, muncul media alternatif. Tahun 1997-1998 banyak media alternatif, muncul Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menganggap bahwa Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah tidak independen lagi, karena disusupi orang-orang Pemerintah dan keputusannya tidak berpihak pada media (Togi Simanjuntak, 1998).

Para pekerja media dan masyarakat tidak putus asa, mereka terus melawan Pemerintah yang diktator dan berusaha mebebaskan diri dari penguasa. Mereka terus berusaha mencari alternatif, hal ini tampak dari buku Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997). Apa yang tidak disajikan media massa, ditampung dalam karya sastra.

Jadi, sebenarnya, media massa tidak pernah benar-benar bisa dimatikan oleh Pemerintah Orde Baru.

Memasuki era Reformasi yang dipelopori gerakan mahasiswa (Mochtar Pabottingi, 1998) yang puncaknya adalah pendudukan oleh massa mahasiswa gedung DPR/MPR 18-19 Mei 1998 sebagai simbol kekuasaan rakyat, menolak Pemerintahan Soeharto yang dinilai sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Tidak kuasa membendung kekuatan dan pressure rakyat maka pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden RI.

Pada zaman Orde Baru, media massa Indonesia ditilik dari teori Hubungan Media Massa dengan Pemerintah menganut sistem: totoriter (Amir Santoso, 2010). Mengapa demikian? Argumennya adalah:
1) Pihak yang menerbitkan media massa mendapat izin Pemerintah.
2) Media massa dikontrol pemerintah.
3) Kepemilikan media massa: Pemerintah atau Swasta yang mendapat izin pemerintah.
4) Tujuan media yang dikontrol Pemerintah adalah mengembangkan kebijakan dan mengabdi kepada (kepentingan) Pemerintah.
5) Ciri khas media tersebut adalah sebagai sarana efektif kebijakan Pemerintah, walau ada yang tidak dimiliki oleh pemerintah (swasta).

Akan tetapi, sejak 21 Mei 1998 yang menandai berakhirnya Pemerintahan diktatorial Soeharto, berembus angin kebebasan. Sejak itu, terjadi semacam euforia. Rakyat Indonesia terbebas dari kungkungan dalam segala bentuk.

Media massa pun tumbuh bagai jamur di musim hujan. Jika pada zaman Orde Baru diperlukan surat izin terbit (SIT) dan kemudian Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sejak Reformasi izin tersebut sudah tidak ada lagi.

Media massa tumbuh subur sejak Orde Baru tumbang seiring dengan datangnya era kebebasan secara lebih luas dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun, tidak semua media massa bisa hidup karena alam kebebasan menuntut persaingan sesuai dengan mekanisme pasar. Banyak yang tumbuh, akhirnya mati. Yang kuat, dialah yang menang.

Pada era Reformasi, model hubungan media massa dengan Pemerintah adalah gabungan atau hibrida dari model Liberal dan Tanggung jawab Sosial. Liberal, karena media massa bebas dari regulasi dan sensor Pemerintah. Tanggung jawab sosial karena media massa sejak Reformasi hingga kini dicirikan dengan: kebebasan pers, praktisi jurnalistik, dibimbing Kode Etik (profesi), memberikan informasi, menghibur, menjual, mengangkat konflik ke forum diskusi, dan sebagainya.

Liberal dalam arti bahwa meski media massa Indonesia sudah tidak diatur regulasi dan sensor Pemerintah, tapi tetap bertanggung jawab dan dikontrol oleh pendapat masyarakat (public opinion); tindakan konsumen (consumer actions), dibimbing Etika Profesi, dan tidak boleh melanggar hak-hak pribadi yang diakui hukum, dan melanggar kepentingan vital masyarakat. Apabila hal ini terjadi, maka media massa berurusan dengan pengadilan dan diselesaikan lewat jalur hukum (delik pers).

Ada banyak contoh, seperti kasus Tempo dengan Tomy Winata atau kasus Risang Bima Wijaya, Mantan Pemimpin Umum dan Wartawan Harian Radar Yogya yang dianggap bertanggung jawab atas publikasi yang pemberitaan mengenai kasus pelecehan seksual oleh Dr. H. Soemadi M Wonohito (Direktur Utama Harian Kedaulatan Rakyat) terhadap karyawannya.

Media massa di Indonesia benar-benar bebas dari campur tangan dan kontrol Pemerintah ketika Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan sebagai simbol kontrol Pemerintah atas media massa.

Dari ciri-ciri hubungan media massa dengan Pemerintah dan contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa: sejak era Reformasi hingga saat ini media massa di Indonesia berada dalam model Liberal dan Tanggung Jawab Sosial. Bebas, dalam arti bukan-tanpa batas, namun bebas yang bertanggung jawab, bebas yang dibimbing kode profesi dan tidak merugikan pihak mana pun.

Jumat, 26 November 2010

Effective Corporate Communication dan Budaya Organisasi

Agenda komunikasi corporate communication (corcom) sangat bergantung pada bagaimana suatu organisasi menempatkan posisi dan fungsi corcom. Kita akan melihat bagaimana posisi dan fungsi corcom dalam konfigurasi sebuah organisasi.

Corporate communication dalam organisasi
Apa agenda komunikasi corcom yang pokok? Agenda corcom yang pokok ialah: membangun reputasi (to build reputation).

Hal ini dengan gamblang ditegaskan oleh para pakar bahwa “Corporate communication helps an organization to create distinctive and appealing images with its stakeholder groups, build a strong corporate brand, and develop reputation capital (Dowling 1994; van Riel, 1995; Fombrun, 1996). To achieve those ends, all forms of communication must be orchestrated into a coherent whole (van Riel, 1992; Bronn, 2002), and success criteria developed that enable measuring the effects of the organization's communication on its reputation and value (Fombrun and van Riel, 2004).

Magdalena Wenas (2010) menggambarkan secara lebih terperinci fungsi dan tugas corcom dalam organisasi. Bahwa corcom sangat berbeda dengan sekadar public relations, bukan pula bagian dari tugas dan fungsi marketing. Lebih dari itu, corcom sangat strategis.

Lapangan tugas dan fungsi corcom berada dalam sebuah irisan di antara fungsi dan tugas marketing dan public relations, dengan main job sebagai berikut.
1) Image assessment (asesmen pencitraan)
2) Customer satisfaction (kepuasan pelanggan)
3) Corporate reputation (reputasi korporat)
4) Media strategy (strategi media)
5) Corporate advertising (iklan korporat)
6) Employee attitude (perilaku karyawan)


External communication
Selain berfungsi dan berperan membangun serta menjalin komunikasi ke dalam organisasi, corcom juga melaksanakan fungsi dan tugas yang sama ke luar. Corcom membangun dan memelihara hubungan positif dengan media (media relations) seperti dengan televisi, cetak, web, dan sebagainya. Hal ini mencakup, namun tidak terbatas pada, penyusunan dan penyebaran siaran pers, menyelenggarakan konferensi pers dan pertemuan dengan para profesional media dan mengorganisir aktivitas untuk media sebagai kelompok.

Kini fungsi dan tugas public relations sudah semakin kompleks, seiring dengan semakin kompleksnya persoalan dan yang dihadapi suatu organisasi. Pada era sebelumnya, suatu organisasi tidak terlampau dituntut untuk memperhatikan aspek-aspek di luar organisasi itu sendiri.

Zaman sekarang berbeda. Kita kini hidup dalam sebuah big village bernama globalisasi sehingga suatu organisasi mau tidak mau dituntut mempunyai kemampuan adaptif untuk merespons setiap dinamika yang terjadi di luar organisasi dan terutama di lingkungan organisasi tersebut.

Salah satu ciri kemampuan adaptif suatu organisasi menghadapi dinamika di luar tadi ialah mereposisi kembali peran dan fungsi public relations sehingga dapat semaksimal mungkin memberikan manfaat bagi organisasi.

Komunikasi ke dalam maupun ke luar organisasi dengan demikian tidak lagi something given, dilakukan asal-asalan tanpa perencanaan dan tanpa terintegrasi satu sama lain.

Sebaliknya, komunikasi ke dalam maupun ke luar organisasi haruslah direncanakan sedemikian rupa, sehingga terintegrasi dalam setiap gerak langkah dan dinamika seluruh anggota organisasi sehingga pada gilirannya setiap apa pun yang dilakukan mencerminkan budaya organisasi (corporate culture) yang dihayati oleh setiap anggota organisasi.

Inilah yang oleh Henry Fayol (1949) yang disebut sebagai prinsip administratif atau prinsip manajemen yang dipandangnya sebagai sangat esensial untuk menciptakan organisasi efektif.

Dengan demikian, corporate communication berada dalam satu kesatuan komando (unity of command) dari CEO atau pemimpin puncak organisasi. Fungsi dan tugas corporate communication tidak lapas dari mata rantai organisasi. Sebaliknya, seperti ditegaskan Fayol (op. cit.) fungsi dan tugas corporate communication sangat strategis, karena itu, peran dan fungsinya dalam organisasi lebih karena adanya pembagian tugas (division of work).

Sebuah korporasi, sebagaimana halnya semua struktur dalam hidup kemasyarakatan, dibangun atas dasar ide atau gagasan. Keberlangsungan, pertumbuhan, dan sukses suatu korporasi bergantung pada seberapa sensitif tindakan para eksekutifnya merespons perubahan sosial, ekonomi, dan iklim politik.

Corporate communications, yang di dalamnya terdapat advertising and public relations, menjadi alat yang ampuh bagi pihak manajemen untuk membawa korporasi korporasi bergerak maju untuk mencapai sukses dan sanggup mengatasi setiap persoalan yang dihadapi pada zaman yang serba turblen dan tidak menentu ini.

Kini kita memasuki era baru. Memang masih terdapat perusahaan-perusahaan keluarga (Susanto, dkk., 2007). Namun, lebih banyak perusahaan-perusahaan nasional dan transnasional seiring semakin terbukanya pasar dan kecenderungan globalisasi yang nirbatas. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang go public di mana suatu korporasi tidak lagi dimiliki segelintir orang tertentu, tetapi dimiliki oleh publik.

Dengan demikian, pola manajemen dan pertanggungjabannya pun menuntut sesuatu yang berbeda. Tanggung jawab sosial pun berbeda, selain tentu saja pola komunikasi yang harus dibangun baik ke dalam maupun keluar korporasi agar tetap berada dalam koridor dan payung yang terintegrasi dengan tujuan korporasi. Semua itu difasilitasi oleh corporate communications.

Persoalannya ialah: bagaimana corporate communications bekerja dengan efektif dalam sebuah organisasi atau korporat? Di sinilah letak benang merahnya yakni bahwa corporate communications harus ditempatkan ke dalam posisi yang strategis dalam organisasi, bukan hanya menjadi bagian pelengkap atau embel-embel dari sebuah organisasi, akan tetapi corporate communications justru berdiri dan bertindak di depan. CEO atau top manajemen suatu organisasi by design perlu sejak dini menjadikan corporate communications sebagai bagian integral organisasinya sebab pekerjaan yang dilakukannya sangat vital bagi organisasi tersebut.

Pada saat terjadi krisis, corporate communications akan mengatasinya dan pada saat tidak ada krisis corporate communications akan membawa suatu organisasi menuju kepada tujuan organisasi.

Jadi, tidak cukup komunikasi ke dalam dan keluar hanya dilakukan public rerlations (PR), mengingat PR merupakan salah satu saja dari fungsi corporate communications. Tugas dan fungsi corporate communications jauh lebih strategis dan fundamental dari sekadar menjalankan fungsi dan tugas PR.

Kapankah budaya organisasi menampakkan diri? Menurut Weick, sebuah organisasi adalah sistem yang hidup (living sistem). Sebuah sistem tidak pernah berdiri sendiri, sistem yang di bawah selalu dipengaruhi sistem yang di atasnya. Misalnya, perilaku seorang invidivu mencerminkan perilaku organisasi yang bersangkutan karena perilaku individu ini terjadi sebagai proses atau akibat interaksi sosial.

Dalam konteks ini, teori konstruksi realitas sosial atau The Social Construction of Reality (Berger dan Luckmann, 1966) dapat menjelaskan fenomena bagaimana individu dalam organisasi memberikan makna terhadap realitas tidak dapat terlepas dari konteks sosial karena makna terjadi dalam sebuah interaksi sosial.

Dalam konteks konstruksi realitas sosial inilah budaya suatu organisasi menampakkan dirinya. Studi-studi sampai pada satu simpulan bahwa budaya organisasi akan menampakkan dirinya terutama pada saat-saat kritis tertentu. Wilkins (1983) misalnya, mencatat terdapat tiga tahap di mana budaya suatu organisasi tampak ke permukaan.

Tiga tahap
Pertama, ketika karyawan berubah peran sesudah terjadi perpindahan penugasan atau promosi jabatan.

Kedua, ketika konflik subkultur atau ketika menetapkan karakter stereotip satu sama lain.

Ketiga, ketika koalisi yang dominan membuat dan melaksanakan keputusan penting mengenai arah dan gaya perusahaan/organisasi. Karyawan baru tersebut akan berusaha menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Ia bertanya dan belajar pada senior atau pada rekan lain.

Dalam proses ”menjadi” anggota organisasi tersebut, new comer berusaha menjadi bagian integral dari budaya organisasi tersebut. Proses akulturasi berlangsung di sana. Karyawan baru biasanya bertanya mengenai banyak hal seputar kebiasaan dan budaya organisasi, karyawan lama biasanya menceritakan sejarah organisasi dan menjelaskan seperti apakah ”perilaku” yang patut ditiru dan dilakukan. Akan tetapi, apa yang dikisahkan dan dikatakan senior pada pendatang baru suatu organisasi kadang ideal. Pendatang baru menyerap semua informasi yang diterimanya dan ia akan belajar banyak dari apa yang ia lihat dan ia dengar dan dari pengalaman yang mereka dapatkan. Wilkins kemudian mencatat bahwa ”An organization’s corporate culture, then, is very discernible when new employees are induced into it.”

Wilkins juga mengidentifikasi bahwa perilaku top management sebagai indikator yang ketiga dari budaya organisasi. Ini karena decision makers mengontrol banyak hal strategis, seperti promosi dan rewards, mengatur dan mengalokasikan semua anggaran dan dana; mereka dalam posisi untuk menentukan dan mengarahkan sistem nilai organisasi kepada karyawan, terutama kepada karyawan baru.

Manakala karyawan baru masuk suatu organisasi atau bila terjadi mutasi maka karyawan tersebut sangat reseptif untuk mempelajari segala sesuatu yang menyangkut aturan, kebiasaan, serta perilaku anggota suatu organisasi.

Pilar hard dan soft dari organisasi
Terdapat banyak cara untuk memvisualisasikan konsep dari budaya organisasi. Salah stau konsep yang populer ialah model bawang bombai (onion model). Jika kita memotong pada bagian tengah maka akan tampak banyak layer. Sebuah budaya organisasi secara visual dapat direpresentasikan dengan cara ini. (

Apabila kita perhatikan dengan saksama sebuah organisasi maka sebenarnya banyak elemen-elemen dalam suatu organisasi yang tidak tampak di permukaan.

Oleh karena itu, kita mengenal berbagai macam simbol budaya (misalnya saja apabila kita berkantor di lantai bawah atau lantai atas sebuah gedung kita melihat betapa besarnya kantor kita), artifak (misalnya komputer), dan model-model perilaku (misalnya bagaimana dan di mana orang berinteraksi dan bagaimana cara dan perilaku mereka dalam pertemuan formal dan informal).

Yang kurang tampak, meski sebenarnya sama pentingnya, ialah aspek-aspek budaya yang tidak tampak seperti norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi dasar (basic assumptions) dari anggota organisasi tersebut.

Itulah sebabnya, cara lain untuk mengkonseptualisasikan budaya suatu organisasi ialah terminologi sisi “hard” dan “soft” sebagaimana tampak dalam gambar 4.2 ini. Ternyata, sebuah organisasi disangga oleh dua pilar penting yakni aspek sosial dan psikologis, seperti: story, simbol, ritual) dan oleh beberapa elemen konkret seperti struktur kekuasaan (power structures), struktur hierarkial dan sistem kontrol (misalnya financial, sistem reward dan sebagainya).


Mengelola budaya organisasi
Kelompok pragmatis memandang dan meyakini bahwa budaya dalam organisasi sangat penting karena budaya adalah kunci bagi terjadinya produktivitas dan profitabilitas dan bahwa budaya suatu organisasi dapat dibentuk untuk kemudian diselaraskan dengan tujuan perusahaan.

Ouchi (1981) yakin bahwa budaya organisasi dapat dikelola secara stratejik. Studi ekstensifnya pada perusahaan-perusahaan di Amerika membuatnya sampai pada keyakinan bahwa organisasi-organisasi di Amerika cenderung menerapkan budaya “authoritarian” di mana keputusan-keputusan dibuat oleh hierarki puncak organisasi.

Ouchi menyebut organisasi seperti ini dengan Tipe A. Studi yang sama dilakukannya di Jepang di mana Ouchi mendapatkan kenyataan yang berlainan bahwa perusahaan-perusahaan di Jepang biasanya memberikan peran pada level-level organisasi untuk mengambil keputusan dan suasana demokrasi terasa di dalamnya. Ouchi lalu menyebut organisasi yang berbudaya seperti ini Tipe J.

Yang menarik adalah bahwa Ouchi melukiskan partisipasi aktif karyawan sebagai kunci penting bagi keberhasilan suatu organisasi dan mengembangan formula langkah demi langkah untuk mengubah organisasi Tipe A menjadi Tipe Z (perusahaan Amerika dengan karakteristik tipe J).

Sementara itu, Siehl (1985) menganalisis bagaimana budaya suatu organisasi berubah manakala pendirinya pensiun dan organisasi tersebut digantikan oleh CEO yang baru yang latar belakangnya agar berbeda dengan dengan organisasi yang baru dimasukinya. Siehl menyarankan bahwa pada saat transisi maka ekspresi dari nilai-nilai budaya bisa saja dikelola. Pendapat Siehl diperteguh oleh Dean dan Kennedy (1982), Martin et. al. (1985) juga meyakini budaya perusahaan dapat diubah.


Budaya organisasi abstrak, namun berada pada sentral karena tercermin pada nilai yang dinyatakan dalam sikap dan perilaku anggotanya. Hal ini diperteguh Susanto dkk. (2008: 2) yang menyebutkan bahwa budaya organisasi merupakan perangkat organisasi yang dianggap abstrak, namun semakin hari semakin dirasakan betapa signifikan pengaruhnya terhadap kinerja organisasi. Studi Kotter dan Heskett juga mendukung hal ini yang menggolongkan budaya organisasi ke dalam tiga kategori yakni
1) budaya yang kuat (strong culture),
2) budaya yang adaktif (adaptive culture), dan
3) budaya yang berkinerja rendah (low performance culture).

Susanto kemudian menyimpulkan bahwa budaya organisasi ialah nilai-nilai yang dianut serta cara bertindak organisasi berikut para anggotanya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pihak luar.

Sebuah budaya yang kuat adalah salah satu yang dimiliki oleh anggota organisasi yaitu budaya di mana sebagian besar karyawan dalam organisasi menunjukkan konsensus terhadap nilai-nilai perusahaan. Semakin kuat budaya perusahaan, semakin besar pula kemungkinan untuk mempengaruhi cara berpikir dan bertindak karyawan. Misalnya, nilai-nilai budaya yang menekankan layanan pelanggan akan mengarah kepada layanan pelanggan berkualitas tinggi jika ada kesepakatan di kalangan karyawan mengenai pentingnya nilai yang terkait dengan pelayanan pelanggan.

Penting disadari bahwa budaya yang kuat dapat dapat menjadi asset yang sangat berharga bagi organisasi, tergantung pada nilai seperti apakah yang ingin dibagi. Sebagai contoh, sebuah perusahaan dengan budaya yang sangat berorientasi pada hasil.

Jika ini cocok dengan sistem nilai lingkungan organisasi, perusahaan dapat melakukan dengan baik dan mengungguli kompetitornya. Jelas bahwa budaya yang kuat ini merupakan aset dengan catatan bahwa anggota berperilaku etis. Namun, hasil yang berorientasi pada budaya yang kuat dicederai oleh perilaku yang tidak etis dan obsesi dengan indikator kinerja kuantitatif dapat merusak efektivitas organisasi.

Salah satu kekurangan dari budaya yang kuat adalah sulit untuk mengubahnya. Dalam organisasi yang nilai-nilai tertentu secara luas dianut bersama, jika organisasi memutuskan untuk mengadopsi nilai-nilai yang berbeda, cenderung menafikan nilai-nilai lama yang sebenarnya baik dan masih relevan dan belajar yang baru akan menjadi tantangan karena karyawan perlu untuk mengadopsi cara baru berpikir, bersikap, dan menanggapi ke acara penting.

Sebagai contoh, Home Depot memiliki budaya, desentralisasi otonom di mana banyak keputusan bisnis yang dibuat menggunakan "firasat" sementara mengabaikan data yang tersedia. Ketika Robert Nardelli menjadi CEO perusahaan pada tahun 2000, ia memutuskan untuk mengubah budaya yang dimulai dengan pengambilan banyak keputusan yang sebelumnya tersisa untuk toko individu.

Inisiatif ini mendapat perlawanan besar, dan banyak karyawan keluar selama tahun pertama Nardelli memimpin organisasi itu. Meskipun berhasil menggandakan hasil penjualan perusahaan, perubahan yang ia buat banyak menuai mendapat kritik dan kecaman. Tidak tahan, dia meninggalkan perusahaan ini pada Januari 2007. Contoh lain mengenai budaya yang kuat yakni Walt Disney yang menciptakan budaya yang kuat di perusahaan tersebut yang telah berkembang sejak didirikan pada tahun 1923.
***
(artikel ini adalah inti paper saya bertajuk "Effective Corporate Communication dan Budaya Organisasi)", tidak dipublikasikan seluruhnya, termasuk diagram dan gambar-gambar.

Menoleh Penerbitan Buku "Tempo Doeloe"

Oleh: R. Masri Sareb Putra

Tidak semua hal yang dilakukan Belanda di Nusantara jelek. Upaya Belanda melakukan alih teknologi percetakan di Jalan Prapatan (dekat gereja Anglikan di Jakarta sekarang), misalnya, pantas dipuji. Lalu jasa pemerintah kolonial memajukan budaya tulis-baca-cetak di Nusantara juga sungguh luar biasa. Belandalah yang merintis berdirinya Balai Pustaka.

Yang menakjubkan adalah bagaimana Belanda membangun jaringan dan komunitas pecinta dan pembeli buku. Tidak lama setelah kemerdekaan Indonesia, masa kejayaan penerbitan buku ditorehkan. Terbitan perdana buku bisa menembus tiras 50 ribu -- rekor yang saat ini sulit untuk dicapai, bahkan oleh penerbit besar sekalipun.

Rasanya, dibanding tempo dulu, kini dunia penerbitan buku mengalami kemunduran. Ada apa dengan dunia penerbitan buku Indonesia? Mengapa terbitan perdana sebuah buku jarang menembus angka tiga ribu? Daya belikah faktor penyebabnya? Tidak! Lihat saja di mal dan pusat perbelanjaan. Banyak orang punya uang, tapi mereka tidak membeli buku. Faktor melek huruf? Tidak juga! Lihat saja negara berkembang, seperti India dan Thailand. Buta huruf di sana cukup banyak, tapi masyarakatnya suka membaca dan banyak yang membeli buku. Kalau begitu, apanya yang salah?

Penelitian yang pernah dilakukan LPPM menunjuk, faktor penyebabnya adalah perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang tidak kondusif. Selain pengaruh budaya lisan yang masih kental, kebiasaan orang berduit di Indonesia bukan membaca dan membeli buku, tapi menonton televisi.

Jasa Kompeni

Haruslah diakui, Kompeni sangat "berjasa" memelekhurufkan bangsa kita. Kompeni juga "berjasa" mengangkat pujangga-pujangga Nusantara muncul ke permukaan. Tak syak lagi, Balai Pustaka (Volklectuur) yang berdiri tahun 1917 adalah penerbit yang banyak melahirkan pujangga (dan penulis) lokal. Antara tahun 1917-1942, Balai Pustaka menerbitkan sekitar 2.000 judul buku. Tahun 1930, Balai Pustaka menjual 300.000 kopi buku (Eduard Kimman, 1981: 89). Tahun 1920-an, boleh dibilang mulai bangkitnya pujangga Nusantara, antara lain dengan terbitnya karya-karya berikut:

1.

Nur Sutan Iskandar dengan "Apa Dajaku karena Aku Perempuan" (Indonesisische Drukkerij, 1922) dan "Tjinta jang Membawa Maut" (Balai Pustaka, 1926).
2.

Sutan Takdir Alisjahbana dengan "Lajar Terkembang" (Balai Pustaka, 1926).
3.

Armijn Pane dengan "Belenggu" (Pustaka Rakjat, 1940).
4.

Hamka dengan "Tenggelamnja Kapal van der Wijck" dan "Merantau ke Deli" (1939).
5.

Idrus dengan "Surabaja" (Merdeka Press, 1947).
6.

Pramoedya Ananta Toer dengan "Krandji Bekasi Djatuh" (1947), Keluarga Gerilja (Pembangunan, 1950), "Di Tepi Kali Bekasi" (Gapura, 1951).
7.

Mochtar Lubis dengan "Tidak Ada Hari Esok" (Gapura, 1950), "Djalan Tak Ada Udjung" (1952), "Sendja di Djakarta" (1963).
8.

Nugroho Notosusanto dengan "Hudjan Kepagian" (1958).
9.

Ajip Rosidi dengan "Perdjalanan Penganten" (1958).
10.

Motinggo Boesje dengan "Nasihat untuk Anak-anak" (1963).
11.

Chairil Anwar dengan "Deru Tjampur Debu dan Kerikil Tadjam jang Terampas dan jang Putus".

Di samping penerbit yang dikembangkan Kompeni, penerbit asli Indonesia mula-mula berkembang di Sumatera, seperti misalnya Limbago Minangkabau, Drukkerij Merapi (Bukittinggi), dan Almoenir (Padang).

Percetakan dan penerbit lokal mencetak dan menjual cerita-cerita lokal pula, seperti seri "Lukisan Poejangga", "Pergaulan", dan "Dunia Pengalaman". Setelah itu, berkembang produksi roman picisan di seluruh kota Sumatera. Baru kemudian, tahun 1917, mendapat saingan dari Jakarta dengan tampilnya Balai Pustaka.

Tidak lama berselang setelah merdeka, 1947, tampil penerbit Pembangunan -- kerja sama antara Belanda dengan segelintir tokoh intelektual Indonesia. Tahun 1950, penerbit Pembangunan mempekerjakan 70 karyawan, 4 di antaranya orang Belanda.

Sebagai penerbit, Pembangunan boleh dibilang sukses besar, dengan produksi yang cukup fantastis. Pembangunan menerbitkan karya-karya: Ir. Soekarno berjudul "Sarinah", edisi kedua, sebanyak 50.000 eksemplar (1951); Hatta dengan judul "Koperasi" (1954); Chairil Anwar dengan "Deru Tjampur Debu" (1949). Antara tahun 1949-1956, diterbitkan 50-70 judul buku. Penerbit Pembangunan menjadi market leader penerbit buku, dengan meraup 50% pasar saat itu.

Djambatan pada 1953 menjadi penerbit yang agresif, dengan Roeswita Pamuntjak sebagai tokoh penting. Saat itu, Djambatan yang berkantor di Jalan Kramat Raya mempekerjakan 30 karyawan. Struktur organisasi penerbitan sudah mengenal adanya pembagian tugas yang jelas antara redaksi dan pemasaran. Jumlah produksi per tahun antara 150-200 judul, dengan tiras antara 3.000-7.500 eksemplar.

Tahun 1953, Masagung (Tjio Wie Tay) dan rekannya Adisuria (The Kie Hoat) mendirikan N.V. Gunung Agung. Hingga 1964, Gunung Agung menolak menjadi anggota asosiasi penerbit Indonesia. Gunung Agung mengkhususkan pada penerbitan biografi, yang dicetak antara 3.000 -- 5.000 eksemplar. Sepanjang sejarahnya, biografi Soekarno yang paling laris, terjual 150.000 eksemplar.

Memasuki dekade 1970-an, dunia penerbitan (dan percetakan) memulai babak baru, dengan lahirnya Percetakan dan Penerbit PT Gramedia. Mula-mula Gramedia menerbitkan buku terjemahan, lalu menerbitkan kamus-kamus. Kemudian, Gramedia membukukan cerita bersambung yang dimuat harian Kompas, seperti "Karmila" karya Marga T. yang hingga kini mengalami cetak ulang lebih dari 20 kali.

Di tahun 1970-an itu pula, banyak lahir penerbit baru. Apalagi suasana sangat kondusif, dengan diproyekkannya sejumlah buku bacaan oleh pemerintah, yang dikenal dengan Proyek Inpres Bacaan.

Di era 1970-an, ketika televisi, radio, dan film mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat, pengaruh media elektronik dianggap sebagai biang mengapa orang malas membaca. Dekade 1980, 1990, hingga memasuki milenium baru, pengaruh televisi tetap yang paling pokok disebut-sebut sebagai faktor yang memengaruhi budaya baca masyarakat.

Meskipun media cetak, termasuk buku, lebih dulu hadir sebagai produk budaya, pengaruh media elektronik merasuk kehidupan umat manusia tanpa dapat dibendung. Gejala umum menunjukkan, dalam konfigurasi perilaku konsumen terhadap media, maka buku menduduki posisi paling bawah. Hierarki kebutuhan masyarakat terhadap media adalah sebagai berikut: (1) televisi; (2) radio; (3) surat kabar; (4) majalah; (5) buku.

Televisi itu "rakus", demikian kata para pakar. Hal itu karena kehadiran televisi serta-merta memengaruhi pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Semakin ke bawah, semakin sedikit pula konsumen media.

Dan buku? Dari zaman kolonial sampai kini terus-menerus dihadapkan pada masalah klasik: segmen yang sangat kecil, dengan Jawa (plus Madura) dan Sumatera sebagai pasar utama.

Eduard Kimman mencatat, pada zaman kemerdekaan di tahun 1930-an, menurut sensus 1930, terdapat 14,8 penduduk melek huruf di Nusantara. Meski demikian, budaya membaca sangat tinggi waktu itu. Pulau Jawa dan Madura tercatat paling banyak jumlah taman bacaannya yang diprakarsai oleh Balai Pustaka.

Sebagai contoh, tahun 1925 terdapat 2.200 taman pustaka yang buku-bukunya diterbitkan dalam berbahasa Melayu. Selain itu, terdapat 400 perpustakaan serupa yang tidak diprakarsai Balai Pustaka, yang menyediakan buku.

ltu berarti, di tahun 1925, terdapat 2.600 perpustakaan, dan data buku yang dipinjam sekitar 1,9 juta setahun. Tahun 1930 meningkat menjadi 3.000 perpustakaan, dengan peminjam per tahun 2,7 buku. ltulah cikal-bakal masyarakat perbukuan, yang terus berkembang hingga kini.

Di Amerika Serikat, setiap bulan November dirayakan Book Week (pekan buku). Di Indonesia, Hari Buku Nasional diperingati setiap tanggal 17 Mei. Peringatan tersebut ditetapkan dalam Kongres Persatuan Toko Buku Indonesia (PTBI) yang diadakan pada Juni 1958.

Dalam suasana memperingati Hari Buku Nasional, sebagai bagian dari mata rantai penerbitan buku, sekaligus insan perbukuan, kita patut berhenti sejenak, berefleksi, dan bertanya: mengapa kita mengalami kemunduran?

Minggu, 21 November 2010

Mit Sein

Heidegger adalah salah satu tokoh filsafat fenomenologi. Sebagaimana kita mafhum, fenomenologi secara etimologis dari kata Yunani phenomenon yang berarti: gejala atau sesuatu yang tampak. Asumsi dasar: segala sesuatu selalu menampakkan diri begitu saja.

Ilmu sosial tidak menyentuh universalisme, seperti halnya ilmu alam, tapi singularisme. Misalnya, kita bahas masyarakat Batak, Flores, Dayak, tidak bisa sama dengan membicarakan masyarakat lainnya, sebab ada aspek singularisnya.

Ciri khas realitas sosial: changes (perubahan). Oleh karena itu, dalam ilmu sosial, kita mengenal apa yang dinamakan dengan “unpredicted consequences”.

Memahami unpredicted consequences ini penting sebab ada masalah, apakah peneliti dalam ilmu sosial bebas terhadap masyarakat yang diteliti? Tidak! Ada hukum bahwa mereka semua tertnaman dalam realitas sosial. Dalam teori fenomenologi, teori ini yang hendak dijelaskan. Sebab dalam ilmu sosial peneliti terlibat, menyatu dengan objek yang ditelitinya (masyarakat), ia embeded dengan masyarakat.

Yang penting dari Heidegger: konsep being. Bahwa being tidak bisa dipahami. Ini adalah persoalan sejarah bahwa kita tidak pernah mengerti mengenai being sebab being adalah konsep yang universal.

Jika kita menggunakan metode melihat sebuah sisi pada realitas maka kita tidak pernah benar-benar melihat seluruh realitas. Oleh karena itu, ada begitu banyak ilmu untuk menjelaskan realitas. Dan being bisa dijelaskan dengan metode fenomenologi  metode penelitian, bukan hanya pemikiran filsafat saja. Jadi, inti fenomenologi adalah berangkat dari motto supaya orang back to the things their selves, yakni melihat benda sebagai apa adanya.

Ada dua prinsip utama dalam fenomenologi:
1) Subjektivisme ilmiah (Thomas Kuhn) yakni perspektif untuk mengerti realitas.
2) Objektivisme ilmiah, ini yang dipakai oleh metode ilmu-ilmu alam. Setiap pernyataan ilmiah harus disertai dengan pembuktian, tidak hanya pendapat seperti yang ada dalam pikiran subjektivisme.

Di sini fenomenologi tampil, teori ini mengatakan bahwa tidak perlu bukti, tetapi realitas harus menampakkan diri.

Jadi, back to data, apa yang saya alami tentang data. Inilah fenomenologi yang sesungguhnya di mana kita sebagai subjek bertemu dan menyatu (embeded) dengan data yang merupakan fenomena realitas.

Pengalaman, dengan demikian, mengandung muatan interpretasi. Tugas orang yang menggunakan fenomenologi: melihat hakikat di dalam realitas itu. Setiap fenomena ada yang tersembunyi, terselubung, karena itu haruslah ada intensionalitas untuk coba memahaminya. Memahami eidos (hakikat) dari realitas adalah inti dari fenomenologi.

Temuan Heidegger yang paling penting: fenomenologi punya dimensi waktu: historis tentang realitas. Kita pernah bisa memahami makna jika tidak membicarakan juga aspek waktu yang menyertainya. Waktu sangat menentukan. Makin panjang waktu, akan makin kaya. Ini keunggulan Heidegger.

Apa yang dipikirkan Heidegger tentang das sein (being)?
1) Setiap das sein selalu punya karakter waktu. Heidegger menolak sosiologis yang terlalu struktural. Ia melihat bahwa inti dari waktu adalah masa depan. Manusia adalah makhluk yang menuju ke kematian. Seakan-akan kematian adalah kesempurnaan. (Kebalikan dari Hannah Arendt bahwa yang penting adalah masa lalu).
2) Bahwa das sein itu ada bersama yang lain, ada dalam sebuah dunia, ia tidak pernah otonom, selalu ada dalam konteks kebersamaan sehingga ada bersama mit sein: ada dalam konteks dunia maupun dalam konteks masyarakat.

Apa konsekuensinya?

Pengalaman kita tidak pernah dimiliki sendiri (personal), tetapi selalu memiliki horizon. Misalnya, saya tidak merasa puas dengan kinerja Presiden SBY, pengalaman ini punya horizon, punya pengalaman kolektif.

Jadi, apa yang saya alami, dialami pula oleh orang lain inilah mit sein, bahwa pengalaman saya ada dalam konteks masyarakat dan konteks dunia, pengalaman saya ada bersama yang lain.

Heidegger mengajarkan: tidak ada pengalaman yang soliter.

Das sein meski punya struktur waktu, dimensi komunal, ada yang menarik di sana ialah bahwa das senin itu eksistensial. Dalam arti bahwa ada suasana tertentu yang khas, yang hanya dialami oleh orang tertentu. Kecemasan misalnya, adalah pengalaman eksistensial.

Lalu, apa sumbangan fenomenologi bagi ilmu2 sosial?

Pertama, ilmu sosial pada hakikatnya adalah analisis das sein. Bagi fenomenologi, dalam ilmu2 sosial yang penting bukan lagi terletak pada penjelasannya, explanation, tetapi pada orientasinya (understanding) masyarakat. Dalam konteks ilmu komunikasi, yang penting bagi kita bukan terletak pada bagaimana menjelaskan suatu fenomena, tetapi pada makna.

Kedua, fenomenologi membuat kita mengerti dengan baik bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh korespondensi dengan fakta, tetapi dengan ilmu sosial. Kebenaran tidak lebih dari sebuah usaha untuk membuka selubung (aletheia), bukan menjelaskan.

Mit sein ini yang barangkali perlu kita cermati, terutama jika kita bicara soal keindonesiaan. Indonesia ini milik kita semua. Kita ada dalam konteks. Ada bersama ada ada yang lain...

Kamis, 11 November 2010

Artikel

Periode 1990-2000, artikel-artikellah yang mengepulkan asap dapur saya. Sebulan, 5-12 artikel saya dimuat di berbagai media. Namun, tahun 2000 hingga kini, saya memutuskan gak lagi nulis artikel. "Gak ada tantangan, dan nulis artikel begitu mudah," kata batin saya waktu itu. Maka saya pun memutuskan fokus menulis buku.

Sekadar sharing, buku 60 Management Gems: Applying Management Wisdom in Life (Gramedia Pustaka Utama, September 2010) adalah buku saya bersama A.B. Susanto. Saya duduk manis menulis selama 3 bulan, hasilnya sama dengan saya menulis 60 artikel. Jika artikel kita ditentukan oleh redaktur opini, kadang sebel, karena kriterianya gak jelas. KKN banget. Redaktur opini sering punya selera sendiri, sementara rambu-rambu persyaratan yang ditulis di media hanyalah sekadar basa basi.

Berdasarkan pengalaman telah menulis dan menerbitkan lebih dari 4.000 artikel sejak 1984, inilah tips bagaimana menulis artikel.
***
Sebelum masuk pembahasan lebih detail tentang bagaimana menulis artikel, alangkah baik jika pada bagian pembukaan ini dipahami lebih dahulu tujuan menulis pada umumnya. Apakah tujuan menulis? Seluruh tujuan menulis ialah mengomunikasikan secara jelas dan lengkap gagasan atau pemikiran penulis.

Ketika dan usai membaca tulisan yang baik, kita kerap tersentuh dan terkesan. Untuk beberapa saat sanggup mengingat seluruh gagasan yang ditulis. Mengapa?

Kita tersentuh karena penulis terampil memilih kata-kata untuk mengungkapkan gagasannya. Kita sanggup mengingatnya karena penulis pandai menyentuh emosi dengan diksi (pilihan kata) yang terarah pada emosi. Demikianlah, setiap tulisan yang baik akan meninggalkan kesan pada pembaca.

Etimologi dan Pengertian Artikel
Asal usul, atau etimologi, artikel dapat ditelusuri dari kamus Latin-Indonesia (K. Prent, C.M., dkk. 1969: 68) yang menjelaskan etimologi “artikel” sebagai berikut, “articulus yang berarti bagian atau pasal.” Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 66) menjelaskan “artikel” demikian, “karya tulis lengkap, misalnya laporan berita atau esai dalam majalah, surat kabar, dan sebagainya.”

Dari pengertian kamus di atas, dapat disimpulkan bahwa artikel ialah bagian atau pasal dari sebuah wacana (tulisan) yang panjang. Dengan kata lain, artikel ialah tulisan prosa pendek, umumnya berkisar antara 700-1.200 kata.

Sebagai karya tulis pendek yang lengkap, artikel merupakan ragam tulisan nonfiksi yang terdiri atas pembukaan, isi, dan bagian penutup. Ide, atau topik, yang disampaikan dalam artikel –meskipun dikatakan “lengkap”, tidak dimaksudkan ditulis secara detail seperti halnya sebuah tesis. Kelengkapan artikel bukan ditakar dari detailnya, namun dari struktur dan keutuhan gagasan yang disampaikan.


Teknik Menulis Artikel

Sebagaimana halnya menulis ragam tulisan lain, menulis artikel pun tidak sekali jadi. Dalam menulis artikel, dibutuhkan proses kreatif yang tentu saja tidak sama pada setiap penulis.

Ada penulis yang sangat lancar menuangkan gagasannya ke dalam tulisan untuk satu topik. Namun, untuk topik yang lain, barangkali dibutuhkan waktu dan energi esktra. Cepat tidaknya menyelesaikan sebuah artikel kerap bergantung pada topik, mood, penguasaan masalah, dan suasana ketika menulis artikel tersebut.

Adakah rumus yang manjur bagaimana menulis sebuah artikel agar dapat dimuat surat kabar, tabloid, dan majalah? Bagaimana kiat menulis artikel yang selain menarik, juga enak dibaca dan meninggalkan kesan yang mendalam pada pembaca?
Rumusan yang dimaksudkan memang ada! Inilah rumusan yang berlaku secara umum.
- Pemilihan tema yang aktual
- Topik menarik perhatian sebagian besar pembaca
- disajikan dengan bahasa yang mudah dimengerti (populer)
- Gagasan disusun secara terstruktur, mengalir, dan jelas disertai contoh konkret
- Penyajian tidak bertele-tele
- Panjang artikel 700-1.200 kata
- Gaya penulisan padat dan bernas
- Tulisan jelas dari segi logika dan bahasa (clear thinking dan clear writing)
- Siap-saji. Artikel yang dikirimkan tidak merepotkan editor untuk mengedit dan mengolahnya kembali, kecuali Anda benar-benar seorang pakar
- Meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca

Akan tetapi, rumusan umum di atas dapat saja tidak berlaku, manakala seorang penulis merupakan penulis pemula. Yang sering terjadi adalah subjektivitas redaktur opini dari media yang dikirimi naskah.

Jika pengirim naskah dikenal secara pribadi, atau jika saja naskah itu merupakan naskah “titipan” maka kemungkinan besar akan dimuat. Meski demikian, ada juga redaktur opini yang cukup objektif. Asalkan sebuah naskah memenuhi syarat dan kaidah yang dipersyaratkan maka naskah tersebut akan dimuat.

Banyaknya media semakin memberikan ruang bagi penulis artikel. Yang kerap terjadi adalah naskah sama yang ditampik suatu media, lalu dikirimi ke media lain yang sesuai dan dimuat. Berdasarkan pengalaman faktual maka rumusan yang “tidak umum” sebuah artikel sebagai berikut.
- Mintalah syarat-syarat atau kriteria pemuatan naskah dari suatu media
- Tanyakan topik atau tema apa yang mereka kehendaki
- Mintalah gaya selingkung (in house style)-nya
- Berkenalanlah dengan pengasuh rubrik secara personal



Isi (content)


Apa yang dimaksudkan dengan isi atau konten artikel?
Bukan hanya untuk artikel, konten adalah bahan pokok atau esensi dari setiap tulisan. Konten adalah blok bangunan dasar dari setiap tulisan. Sebuah tulisan tanpa isi, tidak akan ada orang yang sudi membacanya. Isi menjadi alasan utama orang membaca buku, jurnal, majalah, surat kabar, browsing web, atau mengunduh blog dan face book.

Nilai dari suatu tulisan pada umumnya, atau situs didasarkan pada isi. Jadi, manakala isinya baik, baik pula nilai yang dirasakan pembaca dari suatu medium. Namun, tidak mudah menghasilkan isi sebuah tulisan yang dianggap berharga oleh banyak orang. Khusus artikel, salah satu cara membuatnya bernilai ialah dengan meramunya sedemikian rupa sehingga isinya:
- informatif
- menarik
- memecahkan masalah
- menjawab pertanyaan
- dan ditulis dengan baik

Seorang penulis artikel harus menulis topik yang menarik sehingga memancing sebanyak mungkin orang membacanya. Topik harus aktual (dari kata latin actu yang berarti: mengandung unsur kekinian, kebaruan, hangat) dan menggunakan kata yang populer (dari kata latin populus) yang berarti: menggunakan kata yang akrab dengan segmen pembacanya.

Jangan menulis artikel terlampau panjang. Redaktur tidak punya banyak waktu untuk memotongnya atau menulisnya ulang. Sering terjadi, tema artikel menarik, namun karena terlalu kepanjangan, dan redaktur tidak ada waktu untuk menulisnya ulang sehingga tidak dimuat. Sesuaikan panjang artikel dengan space yang tersedia, hal ini dapat dilihat dari ketentuan dan tata aturan yang sudah digariskan. Namun, biasanya panjang sebuah artikel berkisar antara 700 dan 1.200 kata.

Artikel yang dimuat di suatu media adalah hasil dari sebuah proses kreatif. Tiap penulis memunyai proses kreatifnya masing-masing. Penulis sekaliber Arswendo Atmowiloto, William Chang, Christianto Wibisono, dan Goenawan Mohamad misalnya, mungkin sudah tidak memerlukan lagi mind map ketika menulis artikel. Mereka sudah mafhum bagaimana membagi space untuk menuangkan sebuah gagasan. Namun, untuk pembelajar, apalagi pemula, perlu mengikuti langkah-langkah yang berikut ini untuk menghasilkan artikel yang berdaya guna dan berhasil guna.

1. Tentukan topik artikel Anda
Ketika hendak menulis, yang pertama kali ditentukan bukan judul. Seorang penulis perlu memutuskan topik apa yang ingin ditulis. Apakah akan menulis topik tentang pendidikan, sosial, politik, real estat, gaya hidup, olah raga, seni, budaya, e-commerce? Setelah mendapatan gagasan pokok, selanjutnya penulis perlu memusatkan perhatian pada masalah yang lebih spesifik. Ada beberapa cara untuk melakukan ini. Salah satunya ialah membuat peta pikiran.

Peta pikiran adalah diagram yang digunakan untuk membantu penulis mengembangkan dan mengklasifikasikan ide, bagaimana menyusunnya, dan menatanya sehingga dihasilkan sebuah tulisan yang fokus, tidak melebar.

Dalam dunia penulisan, kerap pula disebut diagram sarang laba-laba (spider diagram) sebab gagasan pokok selalu berada di tengah-tengah persis seperti laba-laba yang senantiasa berada di tengah-tengah sarangnya. Adapun jaringannya adalah cabang-cabang gagasan pokok. Mana gagasan yang relevan dikembangkan dan disatukan, sedangkan yang tidak relevan dibuang, atau dijadikan tulisan yang lain lagi.

2. Lakukan riset (kecil) pasar untuk topik yang telah Anda pilih
Setelah menentukan topik, lakukan riset pasar-sasaran Anda untuk menentukan topik yang spesifik untuk artikel Anda. Apa kira-kira pertanyaan yang akan muncul di benak pembaca dan mereka ingin ketahui jawabannya? Atau apa masalah spesifik yang mereka alami yang dapat Anda bantu pecahkan? Lakukan pencarian secara online di bidang yang Anda minati dan lihat apa yang menarik bagi minat pembaca? Anda dapat juga mencari informasi baik di forum dan blog apa yang sedang trend dan melihat apa yang sedang dibahas di sana. Apa topik minggu, bahkan hari itu, yang sedang mencuat ke permukaan? Lalu, Anda ingin membahasnnya dari sudut pandang mana? Cara termudah membuat orang menemukan artikel yang berharga adalah dengan menjawab pertanyaan yang benar-benar nyata ditanyakan dan ingin diketahui pembaca.

3. Temukan kata kunci yang digunakan oleh segmen dari pasar sasaran Anda
Langkah ini penting karena menjaga Anda tetap membidik target pasar dan senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Anda ingin menggunakan kata kunci tersebut dalam artikel Anda.

4. Brainstorming (dadarkan) topik untuk artikel Anda
Setelah memiliki informasi dari langkah-langkah sebelumnya, bertukar pikiran dengan sahabat dan andai taulan tentang topik artikel Anda kerap penting juga. Jika dirasa cukup, Anda dapat mulai menulis. Proses ini penting karena akan membantu mengalirkan kreativitas. Hanya mulai menulis sekumpulan kata dan frasa yang berhubungan dengan beberapa orang yang mengalami masalah, atau pertanyaan-pertanyaan mereka minta.

5. Tulis kesimpulan artikel
Ini tentu bukan sesuatu yang sukar karena Anda tinggal menyarikan apa yang baru saja Anda tulis. Penutup artikel yang baik akan meninggalkan kesan tertentu pada pembaca. Dapat dengan satu simpulan yang menyentak. Bisa pula dengan pertanyaan yang menggugat. Misalnya, “Bukankah kita juga bagian dari masyarakat yang demikian?”

6. Mulai menulis
Sekarang Anda memiliki topik, judul, gagasan, dan struktur dari artikel Anda. Anda dapat mulai menulis.

7. Tulis pengenalan artikel
Sekali Anda telah menulis seluruh badan artikel, selanjutnya akan mudah untuk menulis pengantar. Ingat, artikel dasar dimulai dengan mengatakan kepada pembaca apa yang Anda akan beritahu mereka. Huruf, kata, kalimat, dan paragraf pertama yang Anda tulis tidak harus “mati” demikian, yang tidak boleh diganggu gugat dan diubah-ubah lagi.

8. Buat judul
Setelah menulis artikel yang dianggap memenuhi target pasar, buat judul artikel yang efektif. Banyak orang menyangka judul harus dibuat lebih dulu sebelum mulai menulis. Tidak! Judul justru dibuat paling belakangan, sesudah tulisan jadi. Usahakan membuat judul yang memancing perhatian pembaca dan menarik mereka untuk meneruskan dan tetap berkanjang membaca artikel Anda.

9. Mengoreksi artikel
Setelah menulis, lakukan koreksi kembali. Periksa ejaan, tata bahasa, aliran gagasan, cek apakah khalayak sasaran sudah disapa atau belum. Jika memungkinkan, mintalah orang lain untuk membaca artikel Anda. Orang ketiga biasanya jauh lebih jeli mengamati kekurangcermatan atau kesalahan daripada penulisnya sendiri. Terimalah kritik yang membangun. Jadikan masukan itu penambah gizi bagi tulisan Anda!

10. Langkahkan kaki menjauh dari artikel
Jangan lihat artikel Anda setidaknya selama satu hari. Melangkah pergi dan lakukan sesuatu yang lain.

11. Membaca kembali artikel dan mengoreksinya lagi
Anda akan merasakan sesuatu yang lain ketika membaca artikel setelah beberapa waktu istirahat. Mengapa? Karena Anda sudah mengambil jarak. Ibaratnya, Anda kini berada di atas helikopter dan melihat ke bawah, dan kini menjadi terang semuanya. Anda dengan mudah membuat perubahan yang diperlukan dan kemudian siap menyelesaikannya. Jika masih belum merasa puas, ulangi lagi langkah 9 dan 10.

12. Sebelum memposting artikel, sebaiknya Anda menulis pengantar yang simpatik
Pengantar berisi penjelasan yang simpatik dan meyakinkan mengenai urgensi dan nilai suatu artikel sehingga redaktur benar-benar yakin bahwa artikel yang Anda kirimkan layak dimuat. Jangan lupa sertakan nomor telepon yang mudah dihubungi dan nomor rekening untuk memudahkan bagian adimistrasi mengirimkan honorarium. Sekarang saatnya membuat kotak sumber daya Anda. Kotak sumber daya adalah tempat Anda ingin mengarahkan pembaca untuk panggilan tertentu agar segera bertindak, seperti mendaftar ke mailing list tersebut, menelepon Anda, mengirimkan saran dan komentar ke situs web Anda, atau membeli produk atau jasa. Struktur yang baik untuk kotak sumber daya adalah menyatakan suatu masalah dan apa yang harus mereka lakukan untuk menghindarinya. Jika Anda memiliki cukup ruang, akan sangat membantu untuk meninggalkan kepercayaan tentang siapa Anda dan mengapa mereka harus mendengarkan Anda. Jika tidak memungkinkan melakukan yang lain, cukup di akhir artikel mencantumkan alamat surat elektronik Anda.

13. Biarkan dunia tahu artikel yang Anda tulis. Anda dapat menemukan tempat untuk mempromosikan artikel Anda

Mengembangkan dan Menuangkan Gagasan?
Setiap wacana berawal dari sepatah kata. Tulisan yang panjangnya ratusan ribu, puluhan ribu, seribu, dan seratus diawali dari sepatah kata. Masalahnya, dari mana mulai menulis? Inilah yang kerap menimpa penulis pemula sehingga sudah berjam-jam di depan layar komputer tulisan tidak jadi-jadi juga.

Ketika mengalami apa yang disebut writer’s block atau gagasan mampet dan kehabisan ide, teori bisa jadi dari kandas dalam praktik semacam ini. Jika demikian, apakah teori menulis tidak perlu? Tetap perlu sebagai landasan teoretis agar sebuah tulisan diakui umum dan sesuai dengan pakem yang diakui.

Teori itu harus sama dan sebangun dalam hasil akhir tulisan berupa naskah clean copy (siap saji atau siap di-posting). Namun, dalam proses kreatifnya tentu saja tidak harus mulai menulis dari awal, tengah, dan akhir sesuai dengan teori Gustav Freytag. Dapat saja penulis mulai menulis dari hal yang ia sukai. Penulis bebas mulai menulis dari mana. Kebebasan untuk mulai menulis ini disebut juga free writing. Namun, setelah diedit dan disempurnakan, tulisan bebas tersebut tidak bebas dalam bentuk , tetapi harus sesuai dengan kaidah dan teori menulis.

Perlu diberi catatan, tidak setiap orang dapat menulis sekali jadi. Pengalaman menunjukkan bahwa penulis profesioal menyelesaikan menulis sebuah artikel dalam tempo tiga jam. Artinya, artikel yang ditulis itu sempurna, mulai dari pemilihan topik, gagasan yang dituangkan cerdas dan bernas, penempatan dan penggunaan pungtuasi benar dan tepat, menarik, dan memenuhi standar kualifikasi media papan atas. Bahkan, proses kreatif satu tulisan dengan tulisan lain berbeda. Kerap tulisan yang dihayati dan disukai membutuhkan waktu relatif singkat untuk merampungkannya. Namun, untuk topik tertentu, kadang membutuhkan waktu lebih lama.

Bagaimana dengan penulis pemula? Sebelum menulis, penulis pemula sebaiknya membuat peta pikiran (mind mapping) lebih dahulu. Peta pikiran ini diperlukan bukan saja agar tulisan (gagasan) tidak melebar ke mana-mana, tetapi juga untuk memandu penulis akan mengarah ke mana, selain sebagai pedoman untuk mengetahui seberapa banyak porsi yang diberikan pada awal, tengah, dan akhir tulisan. Jangan sampai, karena keenakan menulis bebas, pada hasil akhir tulisan porsi awal (pengantar) jauh lebih banyak dibandingkan dengan isi. Ini tidak proporsional!

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa terdapat tahap-tahapan dalam menulis, mulai dari mencari ide (invention) hingga tahapan memeriksa kembali cetak coba (proofreading). Normatif itulah tahapan menulis yang harus dilalui. Namun, proses kreatif setiap tulisan tidak harus berjalan linear seperti itu, kecuali tahap pertama (invention) adalah wajib. Mengapa? Sebab tanpa diawali dari menemukan ide, tidak mungkin untuk mulai menulis.

Jika ide atau topik sudah ditemukan, bagaimana mengembangkannya? Menulislah dengan bebas. Jangan hiraukan urutan logis, kesalahan spelling, tanda baca, ejaan, akurasi nama orang dan nama tempat.

Jangan sekali-kali bertindak sebagai penulis dan sebagai editor pada waktu yang sama. Mengapa? Karena tulisan Anda tidak pernah rampung. Misalnya, ketika rasa ingin tahu untuk mengecek apakah kata “cek” jika mendapat awal me menjadi mencek atau mengecek? Anda akan membuka kamus, tidak ketemu. Membuka tesaurus, tidak juga bersua jawaban. Lalu Anda bertanya pada munsyi di Pusat Bahasa dan yang bersangkutan baru masuk bekerja esok hari. Apakah harus menunggu semalam baru melanjutkan menulis? Tidak! Beri catatan, atau

tanda, pada kata atau istilah yang Anda kurang yakin benar. Biarkan gagasan mengalir seiring dengan mood Anda, jangan pernah dibendung oleh rintangan yang tidak seharusnya menjadi hambatan. Ubah hambatan menjadi peluang!

Dari mana mulai menulis? Pada galibnya, menulis sama dengan berbicara. Menulis ialah berbicara di atas kertas atau berbicara melalui tulisan. Karena itu, setiap orang yang dapat berbicara, pasti dapat menlis. Uniknya, bahkan orang bisu pun dapat menulis.

Karena itu, mulailah menulis sebagaimana Anda mulai berbicara! Bahkan, menulis lebih mudah daripada berbicara. Mengapa? Sebab ketika berbicara, sekali diucapkan, kata-kata akan berlalu . Apa yang telah diucapkan tidak ada kesempatan memperbaiki dan menariknya kembali. Berbeda dengan menulis. Jika salah, kesempatan memperbaikinya terbuka lebar.

Mulailah menulis dari sepatah kata yang menjadi gagasan pokok, main idea atau central idea-nya. Salah satu medode untuk mengembangkan dan mengurutkan gagasan dimulai dengan menuliskan semua gagasan ke tulisan dengan sama sekali tidak peduli akan urutannya. Inilah tahap awal menulis, yakni menulis bebas dengan mementingkan aliran gagasan terlebih dahulu dan menafikan untuk sementara hal-hal lain yang bukan-gagasan. Mengapa gagasan ini penting? Sebab sebuah tulisan yang paling pokok adalah gagasan atau isinya.

Keberhasilan seorang penulis bergantung pada kecerdasannya menuangkan seluruh gagasan briliannya ke dalam tulisan. Dilengkapi dengan data dan informasi maka gagasan itu biarkan saja mengalir.
Untuk membantu mengalirkan gagasan, sebaiknya dibuat Lembar Gagasan seperti contoh yang berikut ini.


Lembar Gagasan (Orisinal)


1. Pada suatu acara bedah buku MCG, sempat terjadi insiden adu fisik yang melibatkan Aditjondro dan Ramadhan Pohan. Pohan menuding buku Aditjondro sarat fitnah, tidak ilmiah. Sebaliknya, Aditjondro bergeming dengan mengatakan, buktikan jika memang keliru!
2. Buku yang ditulis George Junus Aditjondro ini menjadi pemicu dan buah bibir yang dibicarakan secara nasional.
3. Pihak yang merasa dirugikan oleh data yang dibeberkan Aditjondro murka. Kebetulan, mereka masuk koloni, atau setidaknya dekat, dengan Cikeas. Cikeas adalah simbol RI-1 (Susilo Bambang Yudhoyono) dan trahnya.
4. Buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) terbit dan segera meyebar reaksi pro dan kontra.
5. Bagaimana menilai mana pihak yang benar dan mana yang salah? Pemberitaan media harus dilihat bagaimana media membingkai berita itu dan apa ideologi di baliknya.
6. Lepas dari pro-kontra, MCG menjadi pelatuk bagi kita untuk belajar berdemokrasi.


Itulah lembar gagasan. Seperti yang dapat dilihat, gagasan itu terlampau umum, masih terdapat kesalahan di dalam penulisan huruf, belum runtut logikanya. Setelah dicermati dengan saksama, alurnya belum urut.

Karena itu, ada gagasan yang harus ditukar tempat. Tahap selanjutnya, merevisi gagasan dan mengurutkannya. Menyesuaikan aliran gagasan dengan apa yang sedang dipikirkan khalayak saat itu (the mind of consumer) dengan menaruh gagasan yang memicu dan menyentak (inciting force).

Public Sphere dan Media serta Keberadaannya di Indonesia

Nicolas Garnham dalam “The Media and Public Sphere” (Routledge, 2004: 359) menyatakan bahwa teori public sphere (PS) dikembangkan dari konsep Jürgen Habermas, salah satu tokoh Sekolah Frankfurt.

Ia antara lain mencatat, “..as articulated in particular Habermas argued that, just as the participatory democracy of the Athenian agora depended upon the material base of slavery, …. “

Sementara itu, dalam buku Studies in Ethnometdhology (Blackwell Publishing Ltd., Oxford, 2003), Harold Garfinkel membahas PS, dengan mengacu pada konsep Habermas juga dan mencatat "by the public sphere" we mean first of all a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed.”

Jadi, PS dilihat sebagai bagian dari praktik demokrasi, di mana tiap-tiap warga bebas menyatakan pendapatnya –melalui media apa pun, termasuk media cetak dan elektronika.

Dahulu, kebebasan menyatakan pendapat ini pada zaman Yunani kuno dilakukan di alun-alun. Alun-alun adalah ruang publik waktu itu, terutama di kota Athena. Sesuai dengan perkembangan zaman, ruang publik di Yunani dan di Eropa pada umumnya merambah dan meluas di kafe-kafe.

Tradisi menyatakan pendapat sebagai bentuk demokrasi ini terutama subur di Eropa dan Amerika. Di ruang-ruang publik, terutama kedai-kedai kopi dan kafe, ramai orang berdiksusi. Bebas. Mereka dapat menyatakan pendapat mengenai apa pun juga yang menyangkut kehidupan bersama (publik). Orang bebas menyatakan pendapat tanpa rasa takut dan tanpa dibatasi pihak mana pun, termasuk penguasa, pihak keamanan, dan atasan.
***

Pada zaman Orde Baru, tidak ada ruang publik baik di tempat terbuka dan di tempat umum. Semua takut karena dibungkam dan diancam. Namun, begitu reformasi (1997), ruang publik terbuka. Orang mulai berani bicara, entah di ruang terbuka, entah di media.

Wimar Witoelar dikenal pada zaman Reformasi dengan talk show-nya di stasiun radio dan TV. Radio republik Indonesia (RRI) PRO2 FM dikenal dengan public sphere-nya yang kritis (waktu reformasi), yang benar-benar tidak memilih narasumber untuk menyatakan pendapat.

Kini ada beberapa stasiun TV dan radio yang menyediakan PS, namun kadang sudah direkayasa (ditentukan siapa narasumbernya). Beberapa memang memberi kesempatan langsung kepada masyarakat untuk berkomentar ata suatu topik tertentu (dengan menelepon). Beberapa stasiun radio menyebutnya “talk show interaktif”.

Media cetak juga juga menyediakan PS, antara lain lewat rubrik “Pembaca Menulis/Surat Pembaca” atau rubrik “Opini”. PS juga tercermin dalam kedai-kedai kopi dan kafe-kafe, serta acara-acara talkshow.

Di kafe-kafe, termasuk di kafe Plaza Semanggi, Kemang, di sudut-sudut kota Jakarta, PS juga tumbuh subur. Topik pembicaraan cukup luas, mulai dari masalah politik, ekonomi,sosial, kesra, dan kebudayaan pada umumnya.

Yang agak berbeda dengan pengamatan Habermas yang dahulu melihat bahwa peserta diskusi terbuka di kafe-kafe pada umumnya kaum pria, kini kaum wanita juga banyak. Akan tetapi, ditinjau dari kelas sosial mereka sama: kelas menengah ke atas. Jadi, public sphere bukan sekadar diskusi dan merupakan ungkapan demokrasi, akan tetapi juga menjadi sebuah life style.

Dengan demikian, sesungguhnya PS di Indonesia saat ini masih ada sebagai ungkapan demokrasi dan representasi gaya hidup kelas menengah. Namun, ada warna sendiri sesuai dengan zamannya.