Sabtu, 27 Juni 2009

Jeruk Pontianak Itu... di Tebas

Orang lebih mengenal jeruk manis itu sebagai “jeruk pontianak”. Tapi, begitu Anda menginjakkan kaki di bumi khatulistiwa, jangan coba-coba mengatakannya demikian. Mengapa? Karena Anda hanya akan jadi bahan tertawaan.

Asal tahu saja, tak sebatang pohon pun jeruk ditanam di “kota hantu” itu. Kebun jeruk pontianak yang terkenal itu terletak di kecamatan Tebas, Kab. Sambas.

Maka ada teka teki berkadar intelektual tiggi, "Jeruk ditebas (mestinya di penulisannya dipisah, tapi ketika dilafalkan tidak berbeda)kok malah tumbuh subur. Mengapa?"

Namun seribu sayang, salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) Kalbar itu kini tinggal legenda. Sejak lima tahun lalu, lahan-lahan kebun jeruk kering dan kemudian jadi mati. Tak jelas benar penyebabnya.

Tapi kabar kabur mengatakan, hancurnya komoditas kebanggan masyarakat Sambas itu disbabkan pupuk KCL yang dikembalikan ke Indonesia oleh salah satu negara pengimpor karena tidak sesuai dengan standar mutu. Ini tentu saja alasan politis.

Namun, menurut Aseng (31 tahun), salah seorang petani jeruk di Tebas, penyebabnya adalah soal tata niaga. Seperti banyak orang mafhum, putra salah seorang penguasa negeri ini pernah “mengobok-obok” tata niaga jeruk pontianak.

Sebelumnya, tata niaga jeruk berjalan sesuai dengan mekanisme pasar: Harga berjalan seiring hukum permintaan dan penawaran. Tapi setelah anak mantan penguasa itu masuk, semuanya jadi amburadul.

Tata niaga yang seakan-akan dari luar tampak menguntungkan petani, dalam praktek sesungguhnya adalah monopoli. Itulah akal-akalan anak mantan penguasa bekerja sama dengan (oknum?) Pemda Kalbar, melalui konsorsium Badan Koordinator Tata Niaga Jeruk (BKPTJ).

Akibat tata niaga itu jelas. Petani jeruk tercekik. Karena profit margin yang sangat kecil, mereka tak mampu lagi menyisihkan sebagian keuntungan untuk maintenance (perawatan) kebun jeruknya.

Tanaman jeruk yang tumbuh subur di sepanjang jalan raya Singkawang-Pemangkat-Tebas-Sambas, jadi terlantar. Tak ada lagi pos biaya untuk pembersihan, perawatan, pemupukan, penyemprotan hama. Maka, dalam sekejap, tanaman jeruk itu pun ludes.

Lalu benarkah penyebab hancurnya tanaman jeruk pontianak disebabkan pupuk KCL dan hama? Mungkin tidak.

Dari kisah Aseng tadi dengan sangat gamblang disimpulkan, teta niaga adalah biang kerok hancurnya jeruk pontianak. Terlanjur kesal dengan tata niaga yang merugikan mereka, para petani lantas membiarkan tanaman jeruk mati.

Tadinya, sentra jeruk di Tebas merupakan etalase sukses pertanian Kalbar. Bayangkan, dari 24 ribu hektar kebun jeruk di Kalbar, 90% ada di Tebas. Areal kebun jeruk seluas sekitar 20 hektar ini melibatkan sekitar 25 ribu petani.

Mereka terlibat sebagai buruh, tukang kebun, penjual jasa angkutan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kebun jeruk di Tebas melibatkan mayoritas penduduk Kab. Sambas yang berjumlah sekitar 850 ribu pekerja. Artinya, banyak petani jeruk itu adalah etnis Cina.

Ketika jeruk masih berjaya, kemakmuran tampak di mana-mana. Antena parabola berjajar di rumah-rumah penduduk. Begitu pun, TV berwarna merupakan milik wajib setiap keluarga. Banyak di antara petani bahkan mampu menyisihkan penghasilan untuk membeli sepeda motor dan mobil.

Demikian pula, kesibukan warga seperti tak pernah berhenti. Aktivitas selama 24 jam ada-ada saja. Mulai dari memetik, mensortir, mengemas, hingga mengangkut jeruk ke koperasi.

Biasanya, jeruk disortir kedalam tiga jenis: A, B, dan C bergantung besar kecilnya. Usai disortir, jeruk itu siap dikirim ke Jakarta.

Jeruk pontianak kini tinggal nama. Kalaupun masih ada, mutunya sudah sangat jauh menurun. Kurang manis, dan kecil-kecil. Hampir tak dapat ditemukan lagi jeruk Tebas dengan kualitas A. Paling-paling kualitas C saja yang masih dapat kita temukan. Di kebun, harganya sudah Rp 3000 perkilo. Padahal dulu, cuma rp1500 saja.

Hancurnya kebun jeruk Tebas bukan tak meminta biaya sosial. Kerusuhan rasial Sanggau Ledo 29 Desember 1996, yang dikenal dengan Kerusuhan Sambas, salah satu pemicunya ditengarai adalah kerawanan sosial daerah itu akibat masalah pengangguran. Coba kalau semuanya serba sibuk, dan makmur, tentu kerusuhan tak akan menjalardan masif demikian cepat seperti itu.

Masa keemasan jeruk kini telah berlalu. Mantan Bupati Sambas, Tarya Ariyanto mengakui, jeruk kini bukan lagi primadona. Hal ini tercermin dari retribusi jeruk yang “hanya” Rp750 juta. Padahal, di masa jayanya, retribusi bisa mencapai rp1,6 miliar.

Apa rencana Aseng setelah masa jeruk berlalu? Seperti kebanyakan keturunan Cina yang lain, Aseng tampak selalu optimis menatap hari depan. “Kami akan menggarap sawah dan menanam padi,” ujar Aseng tak putus asa.

Banting stir seperti itu, agaknya sudah mulai dilakukan. Di sepanjang jalan antara Singkawang dan Sambas, sejauh mata memandang yang tampak hanyalah hamparan hijau padi dan kebun kelapa. Bisa jadi, elegi aseng soal jeruk, segera berubah jadi simponi.

Tak di mana pun, warga keturunan Cina memang selalu ulet. Mereka memiliki kemampuan adaptif sangat tingi. Dapat mengubah tantangan jadi peluang. Dalam istilah Paul Stoltz, mereka memiiki Adversity Quotient AQ) tinggi karena sanggup turning obstacles into opportunities.

Jujur harus diakui, kita perlu banyak belajar dari mereka!

Jumat, 26 Juni 2009

Sambas = Tiga Suku

Saya pernah datang ke pameran lukisan di Jakarta. Sebuah pagelaran seni lukis, menampilkan lukisan bernuansa khas Kalimantan Barat. Sebanyak 40 lukisan bernuansa etnik Dayak, Melayu, dan Cina dipamerkan di Galeri Mini, Pusat Kebudayaan Jepang.

Sebagaimana diketahui, Dayak, Melayu, dan Cina adalah suku mayoritas Kalbar. Dari ketiga suku itulah dibentuk kata "Sambas" yang berarti: tiga suku (sam = tiga, bas = suku).

Orang luar kerap bingung, mengapa ketiga suku itu bisa akur. Tapi saya tidak. Saya mafhum, jauh sebelum Indonesia merdeka, ketiga suku sudah bersepakat. Akan saling menyokong kalau ada perlu. Bila salah satu suku diserang pihak luar, suku lain wajib membantu.

Maka tak heran, dalam Kerusuhan Sambas, casus belli memang berawal dari pertikaian pribadi Melayu-Madura. Tapi kemudian jadi massif dan melibatkan suku lain. Ada sejarahnya. Ketiga suku telah sepakat bersekutu sejak zaman kolonial.


Kembali ke laptop, eh topik, atau unting-unting tulisan. Selama sepuluh hari, empat perupa asal Kalbar menggelar lukisannya. Mereka adalah Kurniawan, Zulkiflie MS, Jayus, dan Sahih. Dengan tema “Nuansa Goresan Kalimantan Barat”, keempat pelukis mencoba mengangkat warna lokal Kalbar. Lewat lukisan, mereka berusaha menampilkan tidak saja suasana dan gaya hidup masyarakatnya, tetapi juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi khatulistiwa.

Lewat lukisan-lukisan itu, para pelukis pun hendak mengangkat citra dan mengharumkan nama daerah asal mereka. Meski yang tampak menonjol adalah warna lokal, para pelukis mampu menampilkan keberagaman corak dalam lukisan. Keempat-empatnya menggunakan cat minyak di dalam menuangkan kreasi mereka; meski satu di antara mereka, Jayus, yang selain menggunakan cat minyak, juga menggunakan mixed media.

Ditilik dari objek dan corak goresan, para keempat pelukis dapat digolongkan ke dalam pelukis naturalis. Ini terlihat nyata dalam pilihan tema yang menekankan kekayaan alam, seperti flora dan fauna. Sebagian lagi, menonjolkan kehidupan sosial masyarakat setempat.

Itulah sebabnya, kendatipun para pelukis dari segi usia boleh dikatakan masih muda, hasil lukisan mereka telah menunjukkan kematangan dalam berkesenian. Biasanya, anak-anak muda tak mampu keluar dari dunianya. Lebih sering anak-anak muda mengabadikan diri dan dunianya, jarang memilih tema di luar itu.

Walaupun lukisan-lukisan yang dipamerkan menonjolkan warna lokal, akan tetapi keberagaman tetap menjadi kekuatan utama. Masing-masing pelukis mencoba mengekspresikan warna lokal melalui goresan kanvasnya. Mereka mengeksplorasi warna lokal sesuai dengan resepsi masing-masing, sesuai dengan pengamatan mereka terhadap alam, sosial, budaya, serta warna lokal.

Tak mengherankan, kalau kemudian lukisan-lukisan itu masuk dalam tema besar yang mereka ciptakan. Karena sebuah lukisan adalah juga suatu komunikasi, para seniman menjalin komunikasi dengan masyarakat seni. Itulah sebabnya, selain masyarakat pencinta seni, yang datang menyaksikan pameran lukisan anak-anak muda itu kebanyakan adalah warga Kalimantan Barat yang menetap di Jakarta dan sekitarnya.

Warna lokal dengan sudut pandang mistik coba diangkat pelukis Sahih. Ia mewakili etnik Kalbar, yang melalui sudut pandang magis menonjolkan tema-tema Topeng I, Roh II, Dua Kekuatan, dan Kebiadaban.

Sebagai manusia, Sahih tampak tak bisa lepas dari interes pribadi. Lukisan-lukisan seniman kelahiran Pontianak 3 November 1967 ini mengolah komposisi warna dan bentuk. Tak ada kesan lain, kecuali mistik, dari pengunjung atas karya Sahih ini.

Melalui goresan kuas pendek, Sahih membuat petak-petak kecil seperti yang terdapat dalam bilik bambu. Teknik ini tidak dilakukan pada seluruh bidang kanvas, tetapi hanya pada bagian tertentu saja. Dengan begitu, pelukis menciptakan postur polesan.

Meski cenderung ke aliran abstrak (karena mistik), Sahih tetap berhasil menampilkan pola dekoratif. Hal ini tampak dalam lukisan berjudul Adu Gasing. Setiap kali usai panen padi, masyarakat Dayak mengadakan permainan adu gasing. Dalam bahasa Dayak, permainan itu disebut “bapangka gasingk”.

Lain lagi dengan Kurniawan. Pelukis muda kelahiran Pontianak pada 30 Mei 1978 ini memperlihatkan eksplorasi garis dan arsiran. Berbagai macam garis, mulai dari garis lurus, garis lengkung, dan garis horisontal menjadi sumber kreatifnya di dalam melukis. Dengan bantuan media berupa cat minyak, objek yang dipilih Kurniawan memunculkan kesan yang dinamis. Arsiran yang halus dan tipis mampu menambah kekuatan ekspresi. Objek pilihannya pada fauna khas Kalbar, seperti: Kucing, Burung Madu, Kucing Hitam, dan Burung Enggang (hornbill).

Sayangnya, teknik artistik yang ekspresif dan indah pada objek fauna, kurang begitu berhasil dalam objek manusia. Hal ini terlihat pada lukisan wajah seorang gadis Dayak di bawah judul “Tersenyum”. Lukisan terkesan kurang wajar, lantaran Kurniawan di dalam mengabadikan objek itu cenderung memilih gaya realisme.

Masih dengan tema alam Kalbar, perupa Zulkiflie MS menghadirkan sejumlah lukisan. Objek-objek yang dipilih umumnya menarik, dan termasyhur. Ikan Arwana (--Latin) sering muncul dalam lukisannya. Salah satu lukisan paling impresif adalah lukisan berjudul Dinamika Arwana dan Pesona Arwana. Seniman muda kelahiran Pontianak ini tahu benar, arwana adalah salah satu fauna dari Kalbar yang akhir-akhir ini naik daun. Ikan ini banyak dipelihara di akuarium, harganya jutaan rupiah. Dahulu, ikan yang bergerombol di muara sungai pada musim bertelur ini, dibuat ikan asin. Saya sering memakannya. Ibu saya paling suka memasaknya dicampur daun ubi tumbuk. Lezat sekali! Nama setempat arwana adalah ikan silok.

Selain mengabadikan kekayaan fauna, Zulkiflie juga menampilkan kekayaan budaya masyarakat setempat (Cina). Hal ini tampak dalam lukisan-lukisannya berjudul Barongsai, Pesta Naga, dan Tradisi Meriam Karbit.

Di dalam menggarap objek, Zulkiflie menonjolkan segi teknis dengan mengandalkan komposisi warna. Lukisannya penuh dengan dinamika. Ia tampak melakukan pencarian yang dalam dan sangat panjang. Karena itu, lukisannya jadi penuh pesona, seperti tampak dalam dinamika objek lukisan ikan arwana.

“Alam, budaya, dan masyarakat Kalbar merupakan sumber inspirasi saya yang tak pernah kering,” aku Zulkiflie.

Lukisan berjudul Dinamika Arwana I yang dibuatnya tahun 1996, menampilkan dinamika ikan itu. Arwana dikenal dinamis, tak pernah bisa diam. Selalu saja bergerak, matanya lincah mengarah ke arah mangsa. Arwana selalu dalam posisi siap menerkam sesuatu yang disangka makanan. Bahkan, jemari tangan pun siap diterkamnya. Objek ini diabadikan pelukis melalui lukisan realistis, dengan warna yang detil, dikombinasi siluet dengan perspektif.

Sedangkan pada lukisan di atas kanvas berjudul Barongsai yang dibuat tahun 2000, Zulkiflie memperlihatkan sisi lain dari melukis. Sapuan tangannya di atas kanvas kali ini liar dan lebih bebas. Justru dengan begitu, karya ini lantas terkesan ekspresif. Warna saling beradu, namun tetap dalam kesan yang rapi dan teratur.

Sementara pelukis lain, Jayus Agustono, tampil dengan lukisan abstrak. Sebagian besar lukisannya menggunakan mixed media. Jayus tampil dengan warna khas sosial.

Masih panjang jalan yang dilalui keempat pelukis muda Kalbar di dalam meniti karier sebagai pelukis. Ini pertama kali mereka menggelar pameran di Jakarta, mungkin suatu saat kelak mereka bakal melanglang buana. Asalkan tetap menekankan warna lokal, keempat pelukis niscaya akan tetap mendapat tempat di hati pencinta seni, khususnya seni lukis, karena memiliki identitas.

Seni merupakan keindahan lahiriah, sekaligus representasi jiwa dan ide seniman. Ia adalah karya artistik yang tidak berdiri sendiri. Sebagai manifestasi lahiriah, yang tampak memang hanya lukisan. Namun, sejatinya ada gagasan besar di sana yang hendak diungkapkan....

Senin, 22 Juni 2009

Kenaifan dan Ketidakfairan Ujian Nasional

Ujian Nasional (UN) jadi salah satu masalah nasional. Boro-boro Depdiknas mengatasi salah satu masalah dan menjadi problem of solution, malah jadi masalah itu sendiri (part of problem). Tulisan ini pernah dimuat Suara Pembaruan, saya tampilkan kembali di blog ini. Semoga bermanfaat!
Salam
R Masri Sareb Putra


Hasil Ujian Nasional (UN) baru saja diumumkan. Sayang, Depdiknas terkesan cuci
tangan. Departemen yang mengurusi pendidikan nasional itu menunjuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang bertanggung jawab atas pelaksanaan maupun pengumuman hasil UN. Dalam hal ini, alih-alih mengurai benang kusut pendidikan nasional, Depdiknas justru menjadi part of problem pendidikan itu sendiri!

Bayangkan! Jatuh banyak korban UN karena berbagai faktor yang sebenarnya bukan datang dari siswa. Jika menggunakan takaran kecerdasan mengatasi hambatan Paul Stoltz (Adversity Quotient), hambatan bukan datang dari subjek, melainkan faktor luar yang tidak bisa dikendalikan. Fear factor justru Pemerintah sendiri dan siswa tetaplah cerdas dengan skor AQ tetap tinggi.

Faktanya, angka ketidaklulusan UN 2008 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Muncul pertanyaan, mengapa demikian? Apakah murid semakin goblok? Guru yang tidak becus mengajar? Kriteria kelulusan yang tidak sahih? Materi yang diuji tidak sama dengan yang substansi materi diberikan/diajarkan? Ataukah kegagalan siswa karena cara membuat soal yang tidak mencerminkan perolehan siswa? Pertanyaan pertama dan kedua tentu tidak perlu dijawab, karena tidak mungkin. Akal sehat mengatakan, semakin hari semakin pintar anak-anak bangsa.

Yang menarik justru jawaban penyebab tingginya angka ketidaklulusan karena kriteria kelulusan yang tidak sahih, materi yang diuji tidak sama dengan yang diberikan/diajarkan di sekolah selama 3 tahun, cara membuat soal yang tidak mencerminkan perolehan siswa.

Soal dan Logika Bahasa

Soal UN Bahasa Indonesia (BI) menjebak siswa. Akibatnya, banyak tidak lulus. Jika diperhatikan, banyak susbtansi materi BI di SMP dan SMA dan soal tidak saling terkait. Memelajari soal BI, kita dapat menyimpulkan, tanpa diajarkan susbtansi materi di kelas pun, siswa yang cerdas dapat mengerjakan soal UN dengan baik. Asalkan, logika dan cara berpikirnya tepat dan lurus.

Soal UN BI tidak demikian. Tidak menjamin siswa yang sudah menguasai substansi materi memeroleh nilai maksimal. Tidak juga menjamin siswa yang logika dan cara berpikirnya tepat dan lurus dapat mengerjakannya dengan maksimal. Penyebabnya, soal yang ambigu dan naif. Tidak disusun berdasarkan logika yang lurus dan tepat, tetapi cenderung menafikan prinsip-prinsip logika formal di dalam bernalar dan mencapai simpulan.

Ironis! Banyak siswa tidak lulus UN BI. Sungguh tidak masuk akal. Nilai Bahasa Inggris jauh lebih tinggi di- bandingkan dengan BI, padahal penguasaan atau komprehensi adalah sebaliknya. Sebagai contoh inilah soal soal UN BI SMP tahun 2006.

Meskipun hanya meraih satu emas dalam Olimpiade Fisika Internasional XXXV di Pohang, Korea Selatan, 14-22 Juli 2004, Indonesia tidak perlu berkecil hati. Emas persembahan Yudistira Virgus itu menempatkan Indonesia se- bagai salah satu negara yang disegani dalam perkembangan ilmu Fisika.

1. Gagasan besar pokok paragraf tersebut adalah ........
A. mahalnya harga sekeping medali emas B. Indonesia disegani dalam perkembangan ilmu Fisika C. keberhasilan Indonesia dalam Olimpiade Fisika Internasional D. Yudistira Virgus mempersembahkan satu medali emas.
Pada era global, sumber daya manusia (SDM) handal merupakan kebutuhan yang mendasar. Usaha untuk mendapatkan SDM andal dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya melalui penataran, pelatihan, kursus, lokakarya, seminar, atau kegiatan sejenis. Cara yang paling efektif untuk menghasilkan SDM andal adalah melalui jalur pendidikan. Dengan mengikuti pendidikan tertentu, seseorang dapat belajar berdasarkan kurikulum yang terprogram dan hari efektif yang pasti.
2. Simpulan tersirat dari paragraf tersebut adalah ........
A.Pada era global, setiap negara membutuhkan SDM yang andal sebagai kebutuhan mendasar. B. Jalur pendidikan dianggap lebih efektif untuk menghasilkan SDM handal. C. SDM yang andal dapat diupayakan melalui berbagai cara antara lain cara pendidikan dan pelatihan. D. SDM yang handal menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap negara baik negara maju maupun berkembang.

Simpulan, dalam logika, adalah penarikan dari premis-remis sebelumnya, ada premis major dan premis minor. Perhatikan, pada contoh 1 dan 2, tidak jelas mana premis major dan premis minor. Yang lebih konyol, soal itu tidak memerhatikan syarat-syarat penarikan simpulan yang valid dan benar. Bangun silogisme dalam logika formal sama sekali tidak diindahkan!

Apa gagasan pokok dari wacana 1 dan 2, bisa multitafsir. Seharusnya, bukan demikian cara menyusul soal yang baik dan benar. Berangkatlah dari term AEIO, dengan kuantitas dan kualitasnya, lalu sampai pada distribusi yang diakhiri dengan preposisi. Misalnya, preposisi A adalah afirmatif universal dengan contoh "Semua burung makhluk bersayap". Preposisi E adalah universal negatif dengan contoh, "Tidak ada burung yang tanpa sayap". Preposisi I adalah partikular afirmatif dengan contoh, "Beberapa burung berwarna hitam". Sedangkan preposisi O adalah partikular negatif dengan contoh, "Beberapa burung tidak berwarna hitam."

Pada contoh soal UN BI di atas, kaidah-kaidah logika diterjang dan tidak diindahkan. Penyusun soal agaknya cukup puas hanya mengambil dari wacana yang sudah tercetak dalam media, tanpa mau bersusah payah mengolahnya kembali.

Dalam creative writing, yang juga menekankan dan mengasah kecerdasan/keterampilan berpikir (thinking skill), diajarkan bahwa cara mudah menemukan central idea/main idea atau gagasan pokok suatu wacana ialah dengan melihat subjek, predikat, objek, dan keterangan suatu kalimat. Gagasan pokok lazimnya terletak pada kalimat pertama, meski kadang pada kalimat bukan-pertama.

Soal UN BI tidak demikian. Kita tidak menemukan adanya kalimat yang dirangkai sesuai kaidah logika. Yang paling fatal, tidak jelas hubungan logis antarkalimat. Tidak jelas mana kalimat yang "mendukung" (support), "membuktikan" (prove), atau "menyediakan bukti untuk" (provide evidence for) yang bersama-sama membangun (ke-) simpulan (conclusion).

Seharusnya, dalam soal pemahaman seperti UN BI, kombinasi antara kalimat atau klausa atau pernyataan dalam satu kesatuan yang jelas. Kombinasi yang utuh dari itu semua di- sebut argumen. Argumen adalah sebuah kelompok dalam pernyataan (kalimat-kalimat/ klausa-klausa) baik dengan menggunakan kalimat panjang ataukah dengan suatu kelompok kalimat gramatikal yang berbeda, sehingga satu atau lebih pernyataan disebut "mendukung" (support), "membuktikan" (prove), atau "menyediakan bukti untuk" (provide evidence for) pernyataan yang lain lagi.

Soal UN yang baik ialah yang sesuai dengan, atau menguji perolehan siswa, akan susbtansi materi yang telah diajarkan. Sedangkan soal UN yang benar ialah yang penyusunannya sesuai dengan tujuan pengukuran dan memenuhi kaidah formal logika yang memerhatikan bangun silogisme yang sahih. Misalnya, jika A adalah B, dan B adalah C, maka A sama dengan C. Dalam rumusan ini B lenyap, yang tinggal hanyalah A dan C. Faktanya adalah A dan C berelasi sebagai simpulan (konklusi) dengan jalan deduksi. Secara simbolik, silogisme ini dapat digambarkan sebagai berikut:
A adalah B, B adalah C, Karena itu, A adalah C
Semua hewan bersayap dan berbulu dapat terbang (A). Tekukur adalah hewan bersayap dan berbulu (B). Simpulan: Tekukur dapat terbang (A = C)

Dalam bangun silogisme ini, tampak bahwa silogisme sekaligus valid, sekaligus benar. Mengapa? Ini karena syarat-syarat penarikan simpulan sudah terpenuhi, premis major dan minor benar; sehingga dihasilkan simpulan yang benar. Simpulan juga benar, apabila hewan lainnya menggantikan posisi tekukur. Namun, menjadi tidak benar -meskipun secara logika valid- apabila burung onta yang menggantikan posisi hewan lainnya. Meski ciri-cirinya benar bahwa burung onta "hewan bersayap dan berbulu", namun burung onta tidak dapat terbang. Jadi, generalisasi tetap mengandung pengecualian!

Sayang, wacana yang dipakai sebagai contoh soal UN BI tidak demikian. Banyak sudah keluhan dan masukan dilayangkan pada Pemerintah, namun respons yang positif dan nyata belum menyentuh susbtansi. UN terbukti sudah menelan banyak korban.

Penulis adalah pengampu Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan Dasar-Dasar Logika di Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.

Rabu, 17 Juni 2009

Who Stole the Dayak Land?

Judul tulisan saya kali ini --mungkin-- provokatif. Namun, ini sebuah fakta. Terlahir sebagai putra asli Dayak Bi Doih (bukan Bidayuh seperti selama ini ditulis pakar etnologi dan penulis asing) saya coba meluruskan sejarah. Terutama pendekatan, konsep, data, sudut pandang, dan foto2 kuna yang sering memanipulasi etnis Dayak. Buku saya dengan judul di atas sedang dalam proses penerbitan. Orang Dayak sebagai pewaris pulau Borneo di era borderless seperti saat ini, jangan sampai termarjinalisasi oleh kepentingan ekonomi dan VOC wajah baru. Saya mengamati, kecamatan Jangkang dan Noyan yang menurut Pemda Sanggau merupakan "hutan lindung" mulai dirambah para meneer pengusaha kelapa sawit dan akasia dari Jakarta. Nah,siapa sudi, atau penerbit mana berminat, menerbitkan buku ini?

Ini cuplikan kecil chapter buku saya mengenai Berladang yang menunjukkan kearifan lokal (tradisional) suku Dayak. Judulnya terinspirasi oleh buku Burke hedges, Who Stole the American Dream?
Tulisan ini boleh dipetik, asalkan dengan jelas menyebutkan sumbernya.
----------------------------------------------------------------------------------

Ladang dan Kearifan Tradisional Suku Dayak
(Poya Nyak Bopugongk, Adat Nyak Bolinongk)

Oleh: R. Masri Sareb Putra*)


Abstrak:
Orang Dayak mereguk sejuta nikmat dari berladang, sebuah proses dan teknik tradisional kultivasi padi di lahan kering. Berladang, bagi orang Dayak, ternyata bukan hanya pernik-pernik kultivasi padi semata, tetapi juga ada sisi ritualnya dan menjadi titik awal dari siklus gawai. Sayang, gara-gara membakar lahan perladangan, agar didapat tanah bakar dan humus yang subur, sering orang Dayak dituduh merusak lingkungan. Padahal, sejak dahulu kala mereka arif bijaksana mengelola alam dan lingkungan. Yang merusak alam dan lingkungan Kalimantan bukan cara dan proses berladang ala orang Dayak, melainkan tindak perusak HPH dan oknum pelaku illegal logging.

Kata kunci:
Ladang, budaya, kearifan tradisional, padi, gawai, pantun.


1. Pengantar
Ladang adalah tumpuan hidup semua orang, terutama orang Dayak. Kita dapat membuat litani panjang betapa ladang sangat vital dan menjadi kata kunci dalam kehidupan umat manusia. Misalnya: ladang padi, ladang gandum, ladang jagung, ladang tebu, dan ladang minyak. Bahkan, kerap pula kantor, atau pekerjaan, disebut sebagai ladang karena dari sana akan dituai hasil.

“Ampus ka huma boh!” begitu kita sering mendengar, jika suatu pagi bertemu kerabat. Jelas, maksudnya bukan ke huma dalam pengertian ladang sebagai lahan kultivasi padi. Namun, ungkapan itu bisa diartikan pergi ke kantor atau ke pekerjaan tetap.

Itu adalah sisi positif, atau makna, ladang sesungguhnya. Yakni, lahan tempat manusia mengais rezeki dan menabur harapan untuk hidup. Akan tetapi ladang, suatu ketika, dapat juga berkonotasi negatif. Misalnya, ladang pembantaian (killing field). Pada zaman Nazi, atau saat di negeri kita tahun 1960-an, ramai-ramainya mengganyang anggota dan orang yang dianggap antek-antek PKI, ladang menjadi kata yang menyeramkan. Bukan hidup yang ditemui di ladang, justru sebaliknya.

2. Ladang dan Siklus Perladangan Kembali Orang Dayak
Orang Dayak yang arif-bijaksana, tidak pernah sekali pun menajiskan kata “ladang”. Bahkan, ladang dianggap keramat oleh orang Dayak sebab ladang terbukti mampu menjadi sumber penghidupan bagi mereka. Karena itu, dari mulai melihat-lihat lahan yang akan dijadikan ladang (ngabas poya), hingga usai panen (gawai panen), selalu ada upacara yang berkaitan dengan ladang.

Tidak syak lagi, melihat siklus pesta yang ada hubungannya dengan ladang, dapat disimpulkan bahwa orang Dayak memiliki penghormatan khusus pada ladang (tanah) sebagai mata rantai kebersatuan dengan alam semesta. Ini juga bukti bahwa orang Dayak amat memerhatikan keharmonisan hubungan dengan Yang di Atas dan dengan seluruh alam. Jadi, menghormati dan menghargai ladang, sama saja dengan menghormati dan menghargai Si Pemberi dan Asal Mula Kehidupan.

Melihat proses dan cara orang Dayak berladang, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang merusak hutan Kalimantan bukan orang Dayak, tapi para pengusaha HPH dan perkebunan skala besar. Bagaimana mungkin orang Dayak merusak hutan, jika hutan menjadi bagian hidup dan sumber penghidupan? Orang Dayak baru akan meladangi kembali areal lahan jika sudah cukup umur, yakni setelah diladangi 15-20 tahun lalu ketika lahan semula sudah cukup humus dan pepohonan sudah besar-besar. Filosofi di balik siklus perladangan ini ialah untuk tetap menjaga keseimbangan alam, yakni tetap terjaganya persentase yang harmonis antara hutan dan lahan garapan. Dengan demikian, bencana alam yang ditimbulkan dari disharmoni alam dan makhluk penghuninya dapat dieliminir. Di sinilah letak kerarifan tradisional suku Dayak, khususnya dalam perladangan yang meski meladangi atau menggarap lahan tetap menjaga dan memeliharanya seturut dengan hukum alam pula.

Keharmonisan penduduk Kalimantan dengan alam, termasuk proses dan cara berladang, hingga tahun 1980-an masih dapat dijaga dan dipelihara. Akan tetapi, sejak pengusaha kayu dan perkebunan datang, ditambah ulah penambang emas dan batu, banyak lahan di bumi khatulistiwa menjadi tandus dan gersang.


Menugal (menanam padi di ladang) dan ladang yang baru saja dibakar. (Hedda Morrison)

Menurut hasil pengamatan David Jenkins, sebuah keluarga Dayak meladangi areal rata-rata 16 hektar per tahun dengan hasil per hektar kurang lebih 900 kilogram padi (Jenkins: 1978). Di zaman dahulu kala, orang Dayak yang kaya (dan berada) diukur bukan dari perhiasan emas, intan, dan permata, namun ditakar dari seberapa banyak padi yang tersimpan di lumbung. Orang Dayak yang kaya hari ini makan nasi yang disimpan di lumbung dua atau tiga tahu yang lalu. Makan nasi yang diambil dari lumbung hasil panen tahun ini, tidak dianggap berada, hanya pas-pasan.

Di balik pemujaan akan sikap dan gaya hidup makan nasi hasil panen tahun-tahun sebelumnya, tersimpan filosofi yang sangat dalam. Karena zaman dahulu nenek moyang belum terbiasa menabung di bank atau CU, maka orang menyimpan padi (harta benda) di lumbung. Lumbung padi dianggap sebagai bank atau savings. Karena itu, orang Dayak yang kaya akan mempunyai banyak lumbung padi yang isinya penuh, identik sekarang dengan orang yang punya banyak simpanan di bank. Satu lagi kita melihat kerarifan tradisional suku Dayak dari pemujaan menyimpan padi di lumbung, yakni bahwa sebenarnya mereka sudah berpikir jauh ke depan mengenai persiapan pangan.

Ladang bagi orang Dayak tidak hanya berfungsi sebagai lahan yang akan memberikan hasil utama padi yang nasinya sangat enak dan beraroma harum. Lebih dari itu, ladang juga punya sisi-sisi lain, yang tidak ditemukan pada lahan basah. Sebagai contoh, dari ngabas poya, bakal lahan ladang sudah memberi kenikmatan tersendiri. Waktu menjengguk lahan yang akan diladangi, orang Dayak mulai menetapkan tempat (ada yang menamakannya kerancak) yang nantinya dijadikan dangau atau pondok. Kalau sudah dibakar, areal dangau dijadikan probini (tempat menyimpan bibit padi) dan nanti dari sinilah asal bibit padi yang akan ditanam waktu menugal.

Ladang sebagai lahan kering kultivasi padi memberikan penghidupan dan kenyamanan yang tiada tara –hal yang tidak bisa didapat dari bercocok tanam di lahan basah. Waktu nebas misalnya, areal ladang menyediakan aneka bahan makanan dan minuman. Ada umbut ransa, enau, atau aping yang enak dijadikan sayur. Ladang juga menyediakan aneka jamur, baik jamur yang tumbuh di tanah maupun yang menggantung di pohon mati. Ada aneka sayuran rebung dan pakis. Pakis hutan, biasanya berwarna merah kehijauan dan kalau dimasak, dicampur ampas tape pulut (rampang) enak bukan main.

Bahkan, waktu orang Dayak menebas huma, orang sering mendapat binatang, seperti ular, kelelawar, burung, tupai, tikus hutan, atau landak yang dagingnya sangat lezat disantap. Semua itu adalah mata rantai kenikmatan yang didapat dalam proses perladangan.

Itu sebabnya, kita harus memberikan catatan khusus mengenai tradisi berladang orang Dayak. Sejak nenek moyang, sampai dewasa, orang Dayak terbiasa makan nasi huma. Mereka tahu, huma sudah memberikan penghidupan. Karena itu, tidak mungkin orang Dayak merusak lahan karena akan ditanami kembali.


3. Ladang Tidak Merusak Lingkungan
Karena proses dan tata cara berladang arif-bijaksana yang memerhatikan hukum alam diturunkan dari generasi ke generasi, maka setiap orang Dayak wajib menjaga dan memeliharanya. Siapa saja yang berladang tidak sesuai dengan adat, akan kena adat. Itu sebabnya, ada ungkapan Dayak Sanggau yang sangat dalam maknanya, “Poya nyak bopugongk, adat nyak bolinongk” (alam untuk berlindung/bertumpu, adat untuk berpegangan). Tindak melanggar adat, akan dikucilkan dari komunal dan dianggap bukan-Dayak lagi.

Lalu, siapa perusak hutan dan penggundul hutan Kalimantan? Tentu saja, bukan penduduk setempat (indigenous people) yang menggantungkan seluruh kehidupannya pada lingkungan dan alam Kalimantan, tetapi para pendatang dan orang kota! Sebagai contoh, yang menggondol izin HPH dan pemilik perkebunan di Kalimantan adalah kaum pendatang dan orang kota. “Orang kota” yang dimaksudkan ialah pengusaha dari Pontianak dan Jakarta, sedangkan kaum pendatang ialah siapa saja yang perilaku dan cara hidupnya merusak alam sebagai sumber dan tumpuan penghidupan.

Yang terasa tidak adil ialah adanya selentingan yang mengatakan bahwa orang Dayak dan penduduk setempat adalah penyebab kebakaran hutan dan gundulnya bumi khatulistiwa. Malangnya, kebakaran hutan dan kepulan asap justru terjadi bulan Juli-Oktober, berertepatan dengan siklus alam (musim panas) sebagai saat yang tepat bagi orang Dayak membakar ladang.

Padahal, ratusan tahun lamanya orang Dayak membakar ladang, dan tidak pernah menimbulkan masalah. Sebab, kearifan mengajarkan, batas ladang harus dibuat tegas, agar api tidak bisa melalap lahan di sampingnya. Kalau api dari membakar ladang sampai menyapu lahan tetangga, si empunya ladang akan membayar adat! Ada hukum adatnya khusus untuk itu.

Agaknya, karena itu, Musyawarah Adat Dayak tidak pernah lelah mengampanyekan, perusak hutan Kalimantan bukan penduduk asli. Mustahil mereka mau menggorok leher sendiri, sebab ladang adalah tumpuan hidup utama. Lagi pula, mereka hidup dan tinggal di situ. Lama orang Dayak didakwa kasus kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan. Sampai-sampai, beberapa tokoh perlu mendukung dan menyekolahkan orang Dayak yang potensial untuk studi di bidang hukum lingkungan.

Meski demikian, asumsi bahwa orang Dayak arif bijaksana dalam hal kultivasi padi dengan cara berladang, bukan hanya sepihak. Antropolog dan peneliti Barat jauh hari sudah memberi kesaksian dan mencatatnya. Dalam literatur-literatur berbahasa Inggris, ladang disebut “staff of life” (tumpuan hidup) orang Dayak. Seperti dicatat ilmuwan dan antropolog barat, Hedda Morrison dalam bukunya yang terbit tahun 1957, Sarawak.
“Padi, the staff of life,” tulis Hedda sembari menambahkan bahwa padi yang ditanam itu tumbuh di ladang-ladang orang Dayak. Orang Dayak pun dipujinya sebagai manusia yang berbudi pekerti luhur lagi arif dan bijaksana. “It is wasteful method of cultivation. When old jungle is felled the same land will produce good padi for two or three consecutive seasons but the burns destroy all protective vegetation. Heavy rains soon remove the topsoil and the fertility of the land is quickly reduced.”
Hedda sama sekali tidak melihat cara berladang orang Dayak merusak lingkungan, atau mengganggu ekosistem. “If farming can be carried on over a cycle of about 15 years between cuts, the fertility of the soil can be maintained fairly satisfactory. But as the population increase so does the pressure on the land and the cycle may fall to ten, eight or even five years (Hedda, 1957: 45).



Tradisi berladang, kini hanya dilakoni orang Dayak di tempat tertentu. Di mana, lahan masih tersedia dan situasi memungkinkan. Bulan Juni-Juli, saatnya ngabas poya dan menebas. Inilah mula dari sebuah siklus upacara gawai.

4. Ladang dalam Larik-larik Pantun
Buah pantun mengandung kearifan dan filosofi yang sangat dalam. Mengapa? Karena buah pantun merupakan kristalisasi dari proses hidup dan budaya yang sudah berlangsung lama dan dimeteraikan dalam larik-larik sederhana yang mudah diingat. Demikian yang kita saksikan dalam buah-buah pantun orang Dayak yang melukiskan cara hidup (modus vivendi) dan cara berada (modus essendi) masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian, buah pantun dapat dikatakan sebagai “kata kunci”, gagasan pokok (central idea), atau hakikat yang dimunculkan keluar, yang merujuk pada budaya yang dihidupi suatu masyarakat. Manakala buah pantun itu sering muncul, tercerminkan di dalamnya central idea yang apabila diselisik banyak di dalamnya termuat terminologi “ladang”.

Dalam pantun, ada sampiran, dan juga, ada isi. Namun, antara kedua sampiran dan isi harus selalu ada korelasi: yang satu, tidak boleh menyangkal yang lain. Rangkaian pantun orang Dayak mirip silogisme, jalan berpikir (metode) logika untuk menarik kesimpulan dan olah pikir ilmiah yang dikembangkan Aristoteles abad ke-4 sM.
Karena itu, di dalam pantun, sebenarnya terkandung kearifan tradisional. Selain, tentu saja, tergambar di dalamnya proses kreatif dan alur pikir yang sahih dan valid. Kalau alur pikir dalam pantun runtut, maka pemikiran di dalamnya mengandung nilai, yakni nilai kebenaran.

Selain alam pikiran, dari larik pantun, juga dapat ditelusuri sisi sosiologis suatu masyarakat di mana pantun itu hidup dan diperkembangkan. Pantun melukiskan tidak saja suasana, juga struktur sosial, komunikasi, serta kehalusan budi pekerti.
Orang yang lama tidak bertemu (berpandang), misalnya, tentu ingin mengungkapkan sesuatu. Jika lama tidak bertemu, pasti banyak hal yang ingin diungkapkan. Tetapi, kerap isi hati tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu, diam adalah bentuk komunikasi juga, yakni komunikasi nonverbal. Saling pandang, dan itu, sudah cukup mengomunikasikan banyak hal, seperti larik pantun berikut.

Sudah lama tidak ke ladang
Sekarang ini ke ladang lagi
Sudah lama tidak berpandang
Sekarang ini berpandang lagi

Kalau rindu menggebu, dan lama tidak bertemu, bagaimana diungkapkan? Tidak masalah. Orang Dayak punya cara mengungkapkannya lewat pantun.

Sudah lama tidak ke huma
Batang tebu sudah meninggi
Sudah lama tidak berjumpa
Rasa rindu setengah mati

Bagaimana mengungkapkan rindu yang mendendam, sedang orang yang dirindu jauh di seberang? Ketika siaran radio belum merambah hutan Borneo, dan masyarakat adat masih primitif, maka bulan adalah media bertemu. “Oh bulan, sampaikan rinduku!” begitu seseorang yang dimabuk cinta biasa meminta. Biar, pada saat sama, rembulan mengirim pesan rindu pada sang kekasih, agar terasa getar-getar asmara juga. Kalau sekarang, cukup kirim pesan SMS, tidak perlu memandang bulan!

Tapi, seperti sudah diuraikan, pantun adalah cermin budaya suatu masyarakat. Maka, buah-buah pantun jangan pernah punah dari orang Dayak. Kebiasaan berpantun harus terus dipertahankan dan dilestarikan. Sebab, selain mengandung dimensi hiburan, pantun juga mengasah olah pikir. Telusurilah larik pantun pra-dekade 1990-an, berikut ini yang mengusung ‘ladang’ sebagai sampiran.

Sungai keruh, pancur pun keruh
Samalah kita mandi di ladang
Adik jauh, abang pun jauh
Sama kita mabuk kepayang

Waktu adalah pemisah paling tidak disukai, terutama jika rindu yang menggebu, belum cukup terobati. Tapi, waktu jualah yang membuat semburat harapan untuk, suatu waktu, bertemu lagi. Maka ladang kembali diangkat jadi sampiran pantun, kalau hendak berpisah, dan esok berharap dapat berjumpa lagi. Dan orang Dayak pun akan mendendangkan pantun berikut:

Kalau ada sumur di ladang
Boleh kita menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Boleh kita berjumpa lagi

Orang Dayak benar-benar kreatif. Sepatah kata ”ladang”, bisa menjadi sumber inspirasi melahirkan pantun. Larik pantun dengan gagasan pokok “ladang” sekaligus membuktikan bahwa ladang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan orang Dayak.


5. Gawai sebagai Mahkota Berladang
Para antropolog Barat dan peneliti Barat seperti Edwin Gomes (1911) Seventeen Years Among The Sea Dyaks of Borneo dan Ivor Evans, Among Primitive Peoples in Borneo (1922) dalam studinya pernah menautkan hubungan sebab-akibat berladang dan gawai. Mereka mencatat, “This harvest festival (gawai –penulis), gives thanks to the gods and spirits for the bounty of the land. With centuries of tradition behind it, this native ritual involves communication with the spirit world, ancestral worship and feasting with friends and family of the whole community.”

Gawai Dayak, pertama-tama, adalah ungkapan syukur pada “yang di atas”. Dahulu kala, karena masih animis, orang Dayak percaya pada dewa-dewa dan roh-roh. Baru setelah para padri Kapusin masuk tanah Borneo yang masih perawan pada 1905, orang Dayak mengenal Yesus. Tatkala masih animis, orang Dayak menyebut Tuhan sebagai Jubata atau Penompa. Penompa adalah terminologi yang mengacu pada Dia yang telah menjadikan langit dan bumi (menempa = menjadikan).

Lantaran penjadi muka bumi, Jubata, atau Penompa, mesti diberi hati (sesaji). Akhirnya, Ia diberi perhatian dengan pujian, upacara, dan juga pesta. Itulah makna ungkapan di atas, “...for the bounty of the land”. Tidak syak lagi bahwa gawai adalah ungkapan syukur atas tanah dan hasil bumi (karunia) yang telah dilimpahkan Jubata/Penompa.

Sukar diurut dari mana, yang jelas, sejak generasi Dayak pertama ada, pesta gawai sudah ada. Tidak cuma upacara ritual, gawai pun punya sisi penyembahan, sekaligus bentuk komunikasi sosial.

Pada waktu gawai, orang menari kondan dan menyanyi sesuka hati. Saling berbalas pantun, lengkap dengan sampiran dan isi. Dalam berkondan terpancar suka, sekaligus mengandung dimensi pendidikan. Tidak sembarang orang terampil berpantun. Berpantun menuntut tingkat intelektualitas yang tinggi. Bagaimana mungkin pikiran diajak cepat berputar membalas pantun, bila otak tidak encer berdalih? Macam mana bisa menggunakan kata dan kalimat yang memikat, kalau pikiran tidak sehat? Simak contoh pantun berikut ini.
Kami takut pasang bendera
Pasang bendera setengah tiang
Kami takut kawin tentara
Udah kawin ditinggal pulang
Itu adalah contoh pantun yang kerap didaras oleh wanita-wanita Dayak, tahun 1970-1980-an, tatkala ABRI sedang gencar-gencarnya masuk desa. Waktu itu, ramai para tentara mengawini wanita Dayak seenaknya sebagai pelepas dahaga di medan laga. Selepas menunaikan tugas di Tanah Dayak, para tentara meninggalkan pulang wanita Dayak yang malang. Lahirlah buah pantun di atas. Jadi, pantun juga bisa diselisik sejarah dan maknanya. Seperti halnya syair Homeros dan mitologi Yunani mirip dengan pantun dan mitos orang Dayak, indah dan sarat nuansa pendidikan budi pekerti. Bahkan, zaman Yunani kuna, syair (pantun) dijadikan bahan pengajaran mendidik warga Yunani (Hellas).

Pantun dan kearifan tradisional orang Dayak pada akhirnya mengantar kita menarik tali simpul: pasti banyak orang Dayak pintar. Hanya saja, saat ini belum banyak yang muncul ke permukaan. Benihnya sudah ada. Mereka arif bijaksana, terbukti dari mata rantai budaya yang beberapa di antaranya masih hidup hingga hari ini.

Karena itu, mana kini tradisi kondan, berbalas pantun, dan beligo? Disimpan di kotak pandora mana, cerita dan mitos-mitos? Di mana pula tradisi nyidok (pria dan wanita berdekat-dekatan dalam ruang terbuka sebagai awal mencari jodoh)? Di mana pula kebiasan bapangka gasing? (adu gasing) untuk menguji siapa menang dan siapa kalah dengan filosofi berlatih lapang dada? Ya, di mana semua itu? Padahal, mata rantai budaya Dayak itu dahulu kala didapat pada siklus pertanian (dari ngabas poya lahan perladangan hingga usai panen). Kita merasa dahaga kembali pada suasana harmonis dengan alam dan Tuhan. Kita pun rindu kebersamaan dan persaudaraan. Dan kita suka pada keindahan, seperti terekspresi dari tari kondan dan berbalas pantun yang pada zaman dahulu kala dimainkan pada masa siklus perladangan.

Satu dari banyak mata rantai budaya kultivasi padi orang Dayak yang kini masih tersisa ialah pesta gawai (farming feast). Tidak ada masalah jika Dayak Kanayant melangsungkan gawai (Naik Dango) pada 27 April, Dayak Sanggau dan Kapuas Hulu pada 20 Mei, atau Dayak Iban, Bidayuh, dan Ulu di Sarawak-Malaysia pada setiap 1 dan 2 Juni. Yang penting, gawai bermuara pada satu: ungkapan syukur dan penyataan secara lahirah kebersatuan dengan alam semesta.

Sembari menenggak tuak, betabas daging babi dan ayam, ditingkahi cakap senda gurau dan saling menyorongkan buluh ajan (sobangkangk), orang Dayak di hari gawai riang gembira. Lupalah mereka pada kesulitan hidup yang menghimpit. Sejenak mereka larut pada nikmat ragawi.

Akan tetapi, justru di situlah orang Dayak menemukan makna spiritual gawai: boleh mengecap setitik kemuliaan surgawi dari dimensi ragawi tadi. Secercah, dan hanya secercah. Untuk nantinya, di pengujung usia, ada upacara lain lagi. Tiwah namanya di Kalimantan Timur. Upacara terakhir, mengantar jasad manusia kembali pada Sang Khalik.

6. Penutup: Quo Vadis Kebudayaan Dayak?
Sebelum menjawab pertanyaan, “Quo Vadis Kebudayaan Dayak?” (Ke Mana Arah Kebudayaan Dayak?”) perlu disamakan terlebih dahulu apakah yang dimaksudkan dengan ”kebudayaan”. Secara leksikal, kebudayaan mengandung dua pengertian:
(1) hasil kegiatan dan penciptaan (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat;
(2) keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 170).
Sistem (budaya) berladang berpindah-pindah yang dilakukan suku Dayak tradisional tidak merusak alam dan lingkungan hidup, sebab lahan yang sama baru diladangi kembali setelah mencapai siklus 15-20 tahun. Ladang bagi orang Dayak merupakan kata kunci yang vital dalam mata rantai hidup dan budaya, karena itu, banyak upacara ritual dan kebudayaan berhubungan dengan ladang. Dari mulai melihat-lihat bakal lahan yang dijadikan ladang hingga mengantar masuk padi (hasil panenan) ke lumbung, semuanya diawali dan ditandai dengan pesta.
Memang banyak mata rantai ritual dan budaya berladang yang hilang dan tidak dapat dijumpai hari ini. Budaya Dayak, termasuk berladang, hanya mengalami transformasi dan aktualisasi, namun sebenarnya hakikatnya sama saja.
Dengan demikian, pertanyaan ”Quo Vadis Kebudayaan Dayak?” menjadi vital dan aktual, terutama karena akhir-akhir ini, perubahan dunia terus terjadi. Dan di tengah-tengah arus perubahan itu, orang Dayak dan kebudayaannya perlu senantiasa bertransformasi tanpa harus kehilangan identitas dan esensi seperti halnya berladang.
Akan dibawa ke mana kebudayaan Dayak, bergantung masyarakat Dayak itu sendiri. Mau dan sanggupkah orang Dayak, baik sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok, bertransformasi di tengah-tengah arus perubahan zaman tanpa kehilangan identitas dan esensi?
DAFTAR PUSTAKA
Evans, H.N. Ivor. 1922. Among Primitive Peoples in Borneo. London: Seeley-Service & C.O. Limited.
Departemen Pendidikan Nasional – Balai Pustaka. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Djuweng, Spetanus dan Wolas Krenak (editor). 1993. Manusia ayak: Orang Kecl yang Terperangkap Modernisasi. Pontianak: IDRD.
Morrison, Hedda. 1957. Sarawak. Singapore-Kuala Lumpur-Hong Kong: Federal Publications.
Schadee, M.C. 1979. Kepercayaan Suku Dayak di Tanah Landak dan Tayan. Jakarta: Yayasan Idayu.
Jenkins, David. ”Far Eastern Economic Review”, June 1978.

Tanda-tanda Negara Kleptokrasi

Catatan: artikel ini dimuat Suara Pembaruan, 2009-01-15

Makin korup suatu negara makin banyak pula undang-undang (corruptissima republica plurimae leges). Demikian pepatah mengingatkan. Indonesia telah menggenapi kebenaran pepatah ini. Semakin banyak undang-undang ditelurkan wakil rakyat kita makin banyak pula korupsi melanda negeri ini.

Jika itu terus terjadi, pada gilirannya negara kita dipimpin para pencuri. Inilah yang disebut kleptokrasi. Perkara yang sudah diingatkan Machiavelli pada 1505, “apabila partai pelopor, baik dibentuk oleh rakyat, tentara atau kaum ningrat, yang dianggap paling ulung dalam membela martabat dan kepentingan bangsa, sudah menjadi bobrok dan melakukan korupsi, maka kita hanya akan tinggal mengikuti lelucon badut mereka sambil mengusap-usap dada. Sebab, kejujuran dan kebajikan sudah terancam bahaya fatal” (Machiavelli dalam The Prince).

Yang mencengangkan, kinerja DPR diukur dari seberapa banyak undang-undang yang ditelurkan selama masa bakti. Ini agak mengherankan, sebab mengedepankan kuantitas daripada kualitas. Lebih mengenaskan lagi, banyak undang-undang tidak berpihak pada rakyat. Ini terbukti dari banyaknya protes yang disampaikan rakyat, mulai dari undang-undang kependidikan, pornografi, UU Mahkamah Agung, hingga BHP.

Seperti kita mafhum, dua fraksi di DPR yakni PDI Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera, melakukan walkout saat RUU Pornografi disahkan. Kedua fraksi ini menyatakan tidak bertanggung jawab atas disahkannya RUUP menjadi UUP. Alasannya sangat masuk akal: non-prosedural dan cacat secara substansi. Banyak undang-undang disahkan DPR, sebagai lembaga, dengan cara ini. Itulah sebabnya, ICW melaporkan Ketua DPR ke BK DPR terkait proses pengesahan undang-undang.

Yang terkesan konyol ialah DPR, yang berdasarkan teori Trias Politika, memang bertugas mengkonsep dan memproduksi undang-undang, tidak melakukan kajian mendalam. Lembaga negara yang berasal dari dan ada untuk rakyat itu telah menafikan amanat hati nurani rakyat dalam proses pembuatan undang-undang.

DPR bukanlah wakil rakyat manakala produk dan tindakannya tidak mencerminkan hati nurani rakyat. Dan ini bisa diselisik dari produk dan tindakannya. Angkat saja contoh kasus UUP dan sejumlah tindakan DPR, baik individual anggota maupun secara kolegial dan institusional, di mana banyak yang tidak mencerminkan realitas rakyat yang diwakilinya.

Dengan kata lain, produk dan keluaran DPR kurang berkorelasi dengan rakyat. Tindakan dan produk DPR belum mencerminkan cara berada (modus essendi) dan cara hidup (modus vivendi) masyarakat Indonesia yang plural.

Integritas

Yang memicu kontroversi pengesahan UUP bukan saja substansinya yang “bodoh dan konyol”, tetapi juga karena para pembuat undang-undang itu tengah dipertanyakan integritasnya oleh rakyat baik sebagai individu, kolektif, maupun institusional. Yang menarik, disahkanya UUP koinsidental dengan merebaknya kasus aliran dana dari Bank Indonesia ke DPR yang melibatkan lembaga secara keseluruhan.

Kalau diungkit ke belakang, banyak tindak disintegritas yang dilakukan DPR sebagai lembaga. Dari skandal seks, menerima suap, malas bekerja (tidak masuk kantor dan absen dalam rapat-rapat) , hingga memanipulasi rakyat. Semua itu adalah bentuk korupsi. Sebab, per definisi, korupsi bukan sekadar tindakan lahiriah yang tampak seperti mengambil kekayaan (harta benda) pihak lain. Lebih dari itu, korupsi juga menyangkut kurang/minimnya integritas seseorang/institusi .

Sebagai contoh, dalam sejarah peradaban umat manusia, Socrates pernah dijatuhi hukuman mati dengan cara menenggak racun. Ini gara-gara sang filsuf dituduh mengkorupsi (merugikan) masa depan kaum muda zamannya lantaran ajarannya yang radikal dan rasional. Socrates didakwa menghancurkan masa depan kaum muda, karena memprovokasi mereka berani kritis dan vokal kepada penguasa saat itu.

Selain itu, “menghancurkan masa depan banyak orang”, korupsi juga termasuk tindakan melakukan pembayaran ilegal/penyuapan. Berbicara tidak jujur juga adalah bentuk korupsi.

Dalam kondisi demikian, wajar jika rakyat mempertanyakan integritas DPR yang melahirkan produk undang-undang. Dan benarlah ungkapan corruptissima republica plurimae leges. Yang menggelikan, kinerja DPR kerap diukur dari seberapa banyak udang-undang yang telah dilahirkan. Padahal, yang benar, kinerja DPR ditakar dari seberapa dewan yang terhormat itu, baik sebagai pribadi maupun institusi, telah menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi serta mewakili rakyat.

Benar bahwa tugas DPR secara teoretis melahirkan undang-undang. Namun, seberapa berkualitas undang-undang yang dilahirkan? Bukankah undang-undang yang berkualitas ialah yang mencerminkan modus vivendi dan modus essendi suatu masyarakat? Jika ini ukurannya, seberapa banyak undang-undang yang dilahirkan DPR berkualitas? Bukankah banyak sudah bukti penolakan rakyat atas RUU, sebelum ini, baik dengan cara demo maupun dengan cara menyampaikan pendapat secara tertulis?

Apakah DPR merespons dan mengakomodasi hati nurani rakyat? Tidak! Sekali lagi, DPR terjebak pada kriteria kinerja yang bersifat dangkal dan lahiriah: seberapa banyak melahirkan undang-undang.

Perilaku

Menurut Transparency International, korupsi ialah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya orang yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari perspektif hukum, korupsi mencakup unsur-unsur perbuatan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi juga bentuk korupsi. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga tindakan korupsi. Selain itu, terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain.

Misalnya, memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggar a negara), menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggar a negara). Korupsi, atau korupsi politis, dalam arti yang luas ialah tindakan penyalahgunaan jabatan resmi bagi keuntungan pribadi.

Harus diakui, semua bentuk pemerintahan rentan korupsi. Tetapi, titik puncak korupsi terparah ialah kleptokrasi, yakni pemerintahan di tangan para pencuri. Tandanya adalah kepura-puraan dan tindakan munafik para pejabat negara. Permukaan lahiriah mereka tampak baik dan jujur, padahal dalamnya busuk. Inilah puncak korupsi dan kita sudah sampai pada titik ini!

Intensitas dan frekuensi korupsi bukan terletak pada aturan (undang-undang) , tapi pada cara hidup dan cara berada suatu masyarakat. Sebagai contoh, Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss adalah negara yang intensitas dan frekuensi korupsinya paling rendah menurut Transparency International.

Sebaliknya, menurut survei persepsi korupsi, 13 negara terkorup di dunia (menurut abjad) ialah Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina.

Kleptokrasi tengah melanda kalangan wakil rakyat. Di depan publik melakukan tindakan korupsi. Per definisi, itulah sesungguhnya tindakan pornografi: telanjang di depan umum. Dari kata Yunani “porno” telanjang/terbuka dan “grafein” (gambar/tulisan) .

Jadi, telanjang/terbuka bukan di depan umum, bukanlah tindakan pornografi. Para pembuat UUP agaknya kurang paham substansi pornografi, namun mereka justru melakukannya secara terbuka. Inilah kepura-puraan, kleptokrasi.

*) Penulis adalah Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta

http://www.suarapembaruan.com/index.php

Selasa, 16 Juni 2009

Dosen Menulislah Sekarang Juga

Catatan:
Ini salah satu resensi buku saya, dimuat Tribune Borneo.Jika ada universitas/institut/sekolah tinggi yang ingin mengundang saya berbagi soal menulis akademik (academic writing) silakan kontak. Sebagai informasi, Institut Teknologi Surabaya, Sekolah Tinggi Hukum Militer, dan Akademi Sekretari Tarakanita Jakarta sudah. Juga univ. lain di Jakarta.

Oleh: Stefanus Akim

Judul Buku: How to Write: Your Own Text Book
Penulis : R. Masri Sareb Putra
Penerbit : Kolbu
Cetakan pertama : Juli 2007
Halaman : xvi + 192; 13,0 x 19,0 cm
_________________________________

Dosen menulis buku? Mengapa tidak bahkan sudah menjadi keharusan. Di Indonesia mungkin belum lumrah jika tenaga edukatif membuat buku ajar. Di negara-negara barat kondisinya terbalik. Justru dosen yang tidak menulis kemampuannya dipertanyakan.

“Para dosen, menulislah sekarang juga!” si pengarang – R. Masri Sareb Putra – mengawali tulisannya dengan judul yang sangat provokatif. Kata-kata itu seakan menusuk langsung di sanubari. Ia ingin membangkitkan semangat rekan-rekannya sesama dosen untuk mulai membuat buku ajar. Masri meyakini buku adalah salah satu sarana pendidikan yang sangat ampuh. Dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar di pendidikan tinggi, dan agar belajar-mengajar mencapai sasaran yang diinginkan, para dosen dituntut untuk sanggup menuangkan gagasan dan bahan pengajarannya ke dalam tulisan.

Lewat buku ini, pengarang yang juga dosen full time di Fakultas Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta serta di jurusan Hubungan Masyarakat di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Esa Unggul, ingin berbagi pengalaman dengan rekan-rekannya.

Menurut Masri, untuk memulai menulis yang terpenting adalah jangan ada rasa takut dan enggan. Waktu dan kesibukan jangan dijadikan kambing hitam untuk tidak mulai menulis.

Di bagi dalam empat bagian (bab) besar, buku ini mengulas sangat lengkap tentang kepenulisan buku ajar. Ini dimaklumi sebab teknik yang ada dalam buku ini sudah diujicobakan pada ratusan dosen di berbagai perguruan tinggi. Termasuklah kepada para peserta workshop penulisan buku ajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Universitas Pelita Harapan, Universitas Mercu Buana, Universitas
Tarumaanegara, Universitas Al Azhar Indonesia, Akademi Sekretaris Tarakanita Kalimalang dan dosen Universitas Esa Unggul.

Masri sudah menulis 37 buah buku, artikel dan feature. Sejak tahun 1984, pria kelahiran Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat ini sudah menghasilkan 2.809 judul artikel. Sebuah karya luar biasa dan membuktikan dirinya penulis yang sangat produktif.

***

Buku ini juga memaparkan cerahnya pasar buku ajar di perguruan tinggi, motivasi, manfaat dan hambatan menulis, bagaimana membuat buku ajar yang powerful, serta membangun hubungan yang baik antara penerbit dan penulis.

Pengalamannya sebagai mantan Promotion Manager PT. Grasindo (1994-1996) dan Managing Editor PT. Indeks (2005-2006) sangat mempengaruhi bab empat tentang hubungan penulis dan penerbit (hal 131 dan seterusnya). Penulis seperti menceritakan sendiri bagaimana dinamika di ruang redaksi, teknik atau kiat agar karya penulis dilirik divisi redaksi dan selanjutnya bagian pemasaran setuju mencetak buku tersebut.

Dua bab pertama, penulis banyak memotivasi dosen-dosen calon penulis buku ajar agar mulai berkarya. Diawali gambaran prospek buku ajar, ragam buku untuk perguruan tinggi. Kemudian motivasi, manfaat dan hambatan menulis. Selanjutnya juga dibahas hal-hal teknis penulisan dan informasi-informasi bermanfaat lainnya. Termasuklah bagaimana gambaran materi yang bisa diraih para penulis.

Secara umum meskipun halamannya tidak terlalu tebal, namun buku yang ditulis penulis yang menyebut dirinya “baru” menulis 32 buku ini enak dibaca. Struktur penulisan khas model bahan ilmiah untuk kalangan kampus, namun bahasanya renyah untuk dikunyah. Bagi penulis yang sudah mahir buku ini tak terkesan menggurui, bagi yang pemula ia tetap santun.

Verba volant, scripta manet – apa yang diucapkan akan berlalu, tapi yang ditulis abadi selamanya.*

*Edisi Cetak Borneo Tribune 3 Februari 2007

Kamis, 11 Juni 2009

Gaji Guru di Indonesia dan Negara Lain

Catatan: Artikel ini dapat diunduh di http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=1436

R. Masri Sareb Putra

UNESCO menetapkan Hari Guru Sedunia pada 5 Oktober 1994 untuk
merayakan dan memperingati penandatanganan Rekomendasi yang Menyangkut
Status Guru pada 5 Oktober 1966. Hari Guru Sedunia juga ditandai
dengan "Recommendation Concerning the Status of Higher Education
Teaching Personnel" yang diadopsi pada 1997.

Taiwan juga merayakan Hari Guru, bahkan dinyatakan sebagai hari libur
nasional. Di Brasil dan Cile, Hari Guru diperingati pada 15 Oktober,
sementara di India dirayakan pada 5 September, sekaligus hari itu
untuk mengenang pemikir dan presiden Dr Radhakrishnan.

Hari Guru dirayakan pada 23 September di Brunei Darussalam. Di Turki,
Hari Guru diperingati pada 24 November sejak 1928. Cyprus juga
merayakannya. Di Malaysia dan Kolumbia, Hari Guru dirayakan pada 16
Mei. Hari Guru dinyatakan juga sebagai hari libur sekolah secara
serentak di Singapura pada setiap 1 September.

Sementara di Indonesia, Hari Guru diperingati pada 25 November.
Penetapannnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 78 Tahun 1994
(78/1994) Tanggal: 24 November 1994 dan berlaku sejak tanggal
penetapan, 24 November 1994. Namun, tidak seperti di Singapura, Hari
Guru di Indonesia sesuai dengan diktum pertama Keppres, bukan
merupakan hari libur nasional.

Yang menarik, negara memandang guru sebagai pilar penting dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, terutama dalam proses dan upaya
pembangunan sumber daya manusia. Hal ini dapat dilihat dalam
pertimbangan dan dasar keppres yang menetapkan Hari Guru. Sayang,
dalam praktiknya, kadang jauh panggang dari api. Guru kerap dinafikan
negara, terutama menyangkut kesejahteraan (gaji)!

Namun, sungguhkah gaji atau kesejahteraan, yang menjadi hambatan utama
mengapa guru tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik? Benarkah
uang adalah persoalan pokok, mengapa guru enggan mendedikasikan diri
secara total pada profesinya

Sebagian memang benar, gaji, kesejahteraan, atau "vitamin D" (duit)
yang menjadi alasan mengapa guru tidak dapat konsentrasi dan
berdedikasi secara total pada profesinya. Namun, sebagian tentu tidak.
Ke dalam bilangan yang bukan itulah dapat dimasukkan guru yang bekerja
di lembaga pendidikan yang digaji di atas rata-rata, yang memiliki
keterampilan lain, selain mengajar di kelas, dan guru yang betul-betul
menjadikan guru sebagai profesi bukan karena dibayar, melainkan
lebih-lebih karena panggilan (passion) dan menjadi guru karena
pilihan, bukan paksaan.

Menyadari umumnya kesejahteraan guru belum setara dengan profesi basah
lainnya, banyak guru memperoleh pemberian dan hadiah dari murid dan
orangtua di luar gaji tetap mereka. Hal ini dianggap lumrah, dan bukan
merupakan sogokan, mengingat jasa dan peran guru yang dianggap sangat
penting dalam proses pencerdasan dan pendidikan manusia-manusia muda.

Namun, profesi guru umumnya di negara-negara maju sangat dijunjung
tinggi dan dihargai. Hal ini tampak dari gaji yang mereka terima,
pencapaian profesi, persaingan, serta standardisasi yang ditetapkan.
Menjadi guru, sama dengan menjadi pegawai di berbagai instansi
terkemuka; sehingga tidak ada yang memandang remeh profesi guru di
negara maju.


Fantastis

Di Inggris, gaji guru -dilihat dan dibandingkan dengan mata uang
rupiah- sangatlah fantastis. Gaji guru TK, SD, sekolah menengah pada
Mei 2004 berada pada rentang US$ 41.400 to US$ 45.920 dan khusus untuk
guru TK US$ 20.980. Jika dikurs-kan, maka setahun guru TK di Inggris
memperoleh gaji sekitar Rp 190 juta, dan gaji guru SD dan sekolah
menengah bahkan dua kali lipatnya.

Di Republik Iralandia, gaji guru sangat bergantung pada senioritas
(misalnya memegang jabatan sebagai kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, atau pembantu kepala sekolah), pengalaman, dan juga
kualifikasi. Gaji tambahan juga diberikan jika guru mengajar
menggunakan bahasa Irlandia. Gaji pokok waktu mulai mengajar 31.028,
akan naik secara bertahap hingga 57.403 untuk guru yang sudah mengajar
selama 25 tahun. Gaji kepala sekolah yang berpengalaman, dengan
beberapa kualifikasi (misalnya MA, H.Dip, dan sebagainya) bahkan bisa
mencapai 90.000.

Di Amerika Serikat, guru digaji berdasarkan tingkat pendidikan. Mulai
dari bawah dan makin lama makin naik, gaji bergantung pada pengalaman.
Gaji sangat bervariasi, bergantung pada tingkat perekonomian negara
bagian dan pengalaman mengajar, serta tingkatan pendidikan.

Gaji rata-rata (median salary) untuk semua pendidikan dasar dan
menengah adalah US$ 46.000 pada 2004, sedangkan untuk guru yang
berpendidikan bachelor digaji US$ 32.000. Akan tetapi, gaji rata-rata
guru di pendidikan prasekolah lebih rendah dibandingkan dengan jenjang
pendidikan lanjut, yakni US$ 21.000 pada 2004. Sementara gaji guru
pada pendidikan menengah atas pada 2007 berkisar antara US$ 35.000 di
Dakota Selatan hingga US $ 71.000 di New York, dengan rata-rata gaji
nasional guru US$ 52.000.

Selain gaji, guru pun diikat dalam kontrak beberapa jaminan sosial dan
asuransi. Persatuan Guru Amerika yang melakukan survei mengenai gaji
guru di Amerika antara 2004-2005 mencatat bahwa rata-rata gaji guru di
Amerika US$ 47.602.

Rata-rata gaji guru paraprofesional sekitar US$ 20,000.00 per tahun.
Gaji itu akan menjadi kecil, apabila seseorang tidak ditunjang
pendidikan yang memadai dan pengalaman yang cukup. Meski demikian,
setiap tahun gaji guru mengalami kenaikan yang konstan. Setiap lima
tahun, seorang guru memperoleh kenaikan gaji sesudah memperbarui
Parapro-sertifikasi.

Amerika, yang dalam banyak hal menjadi tempat banyak orang berpaling,
dalam hal gaji guru tidak dapat menjadi acuan sama sekali. Ini karena
pemerintah dan masyarakat negeri Paman Sam itu menempatkan guru di
bawah profesi lain.

Menurut penelitian internasional terbaru (Jodi Wilgoren: 2001), guru
di AS memiliki pendapatan yang lebih kecil dari pendapatan nasional
dibandingkan guru di negara industri lain, namun mereka lebih banyak
menghabiskan waktu di depan kelas.


Di Indonesia

Bagaimana dengan gaji guru di Indonesia? Tentu saja, sangat
bervariasi, bergantung pada di mana guru ditempatkan dan ia bekerja
sebagai pegawai negeri sipil (PNS), ataukah pegawai swasta. Sebagai
PNS pun masih sangat bervariasi, bergantung pada tingkat kemampuan
pemerintah daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) setempat dikaitkan
dengan upah minimum regional setempat. Sementara gaji guru di sekolah
swasta sangat bervariasi, bergantung pada kemampuan yayasan pengelola
sekolah yang bersangkutan.

Yang jelas, gaji guru di Indonesia umumnya di atas rata-rata upah
minimum regional (UMR). Itu berarti, martabat guru di negeri kita
masih mendapat tempat. Peran guru diakui sangat penting, tidak sekadar
mengajar, tetapi juga mendidik dan mengembangkan kepribadian siswa.
Oleh karena itu, meskipun profesi guru belum secemerlang profesi
"basah" lainnya, tetap saja orang menghargainya dan menaruh hormat
atas apa yang dikerjakan guru.


Penulis adalah mantan guru SMA di Malang. Kini dosen tetap Universitas
Multi media Nusantara, Jakarta

Rabu, 10 Juni 2009

The Willingness to Change

nota:
Ulasan buku ini pernah dimuat Kompas. Saya menganjurkan buku ini dibaca karena cukup mencerahkan.

Pada Mulanya adalah Hasrat

Judul buku: Hasrat untuk Berubah (The Willingness to Change)
Penulis: Soemarno Soedarsono dan Ariobimo Nusantara
Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Jakarta, Desember 2005
Tebal: xiv+178 halaman

Apa yang ditulis dalam buku ini merupakan kristalisasi pengalaman dan pemikiran penulis sejak muda yang diangkatnya ke tataran satu tingkat di atas empiris mendekati filosofis. Karena itu, tepat sekali subjudul buku ini, Jati Diri: Refleksi Empiris. Pada subjudul ini justru kita menemukan kekuatan kajian filosofis penulis. Untuk seterusnya, pertanyaan itu dijunjung ke tataran yang lebih luas dan dalam: siapa sesungguhnya bangsaku, bagaimana kepribadiannya, bisakah karakternya berubah dan diubah? Dan sederet pertanyaan lain yang menggugat, yang kesemuanya merupakan awal permulaan berfilsafat. Bukankah pertanyaan, atau keheranan, adalah awal mula berfilsafat?

Seperti diakuinya, “…saya mencoba berpikir sebaliknya. Pengalaman hidup saya justru banyak saya tampilkan apa adanya, tak terkecuali pengalaman hidup yang seharusnya tidak saya ungkit-ungkit lagi. …saya hanya berniat menyajikan semacam referensi yang bersifat refleksi empiris, memanfaatkan pengalaman hidup saya sebagai ’laboratorium hidup’” (hal vi). Yang menjadi kerisauan pria kelahiran 7 Agustus 1930 ini bukan dirinya sendiri. Ia sudah berhasil keluar dari ego-nya, mengatasi persoalan diri sendiri. Ia risau terhadap bangsanya sendiri, yang menurutnya “tidak pernah mau belajar dari pengalaman”.

Sebenarnya, banyak pengalaman getir maupun manis dialami bangsa Indonesia. Mulai zaman kolonial, pendudukan Jepang, kemerdekaan, hingga era Reformasi. Dari penggalan sejarah bangsa dengan rentang abad itu, adakah sesuatu yang berubah pada orang dan bangsa Indonesia? Dalam arti, berubah ke arah pendulum positif?

Jawabannya tentu saja ada, tetapi tentu tidak selalu ke poros positif. Mental, atau menurut istilah penulis karakter, bangsa ini masih saja seperti dulu: mental kuli, mental orang upahan, dan mental tempe. Sebaliknya, sebagian lagi mewarisi mental kolonial, londo ireng (belanda hitam), yang justru menjajah bangsa sendiri. Dan penjajahan itu jauh lebih sadis dan menyengsarakan dibandingkan dengan penjajahan oleh Belanda maupun Jepang.

Menyaksikan itu semua, hati Soemarno tergerak. Sebagai jenderal dan pendidik, ia ingin berbuat sesuatu. Ia yang melihat “dari atas helikopter” kondisi dan nasib bangsanya lalu bertanya-tanya. Apa penyebab utama Indonesia terus-menerus terpuruk? Mengapa demikian? Bagaimana mengatasinya? Pengajuan pertanyaan seperti itu, untuk mendapatkan jawaban yang tepat dan hakiki, adalah usaha filosofis. Ia pun melakukan refleksi, dan itu adalah kegiatan filsafat.

Setelah bergumul sekian puluh tahun, akhirnya Soemarno sampai pada kesimpulan: karakter bangsa ini perlu dibangun! Perlu diformat ulang. Bangsa ini harus punya identitas. Harus ada kepribadian yang kokoh, yang kuat dasarnya, agar sehebat apa pun tsunami yang mengguncangnya, ia tetap kokoh berdiri sebagai bangsa.

Karakter bangsa Indonesia inilah yang menurut Soemarno belum cukup kokoh fondasinya sehingga rentan terhadap serangan-serangan, baik dari dalam maupun dari luar. Ketika diserang, mental dan tenaga kita sebagai bangsa tidak cukup kuat menahannya. Mental kita lemah. Kita perlu membangunnya kembali agar berubah ke arah yang positif. Dan hasrat untuk berubah ke arah yang positif itu adalah the willingness to change.

Menurut penulis, titik pijak perubahan dimulai dengan hal yang sederhana, “mengenali diri sendiri” (Bab 1). Mengenal diri sendiri tampak sepele, tetapi sebenarnya sangat dalam maknanya. Para filsuf Yunani, yang kini pemikirannya diadopsi dunia anatomi dan kedokteran, misalnya, bahkan menganjurkan agar kita selalu mengenal diri sendiri. Peringatan untuk mengenal diri sendiri bahkan dipatenkan dalam sebuah gerbang depan kuil di sebuah kota Yunani, gnothe seauton—kenalilah dirimu!

Sebagai contoh tidak mengenal diri sendiri, yang kemudian berakibat pada rusaknya karakter bangsa, ialah kita menyangka kita terdiri atas satu golongan saja. Kita tidak mengakui bangsa ini plural. Ini jelas wujud dari tidak mengenal diri sendiri.

Jangankan sampai pada tataran membangun mentalitas dan karakter bangsa, mengenal diri sendiri (sebagai bangsa) saja kita belum. Jadi, langkah dan usaha kita masih jauh. Namun, semua itu tentu dimulai dari hasrat. Hasrat yang terus membara akan menjadi kata-kata. Kata-kata yang sering dan berkali-kali diucapkan akan menjadi kebiasaan (habit) . Kebiasaan akan menjadi karakter yang sulit untuk diubah. Itulah lingkaran perubahan. Dan lingkaran itu dapat kita temukan dalam buku ini.

Selain mencerahkan, buku ini juga membuat kita mafhum tentang bagaimana cara berubah. Hal yang dianjurkan agar bisa berubah pun sangat sederhana dan mudah dilakukan: mulai dari alif, dari hasrat atau kehendak (bukan desire) untuk berubah. Jadi, berubahlah ke arah yang positif.