Kamis, 31 Desember 2009

Gus Dur dan Rekonsiliasi Nasional

Pengantar

Saya pribadi cukup mengenal Gus (sapaan akrab kalangan pesantren untuk "abang") Dur (singkatan Abdurrahman). Tahun 1998, ketika melakukan data gathering untuk buku Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa, saya sempat ke rumahnya, di Ciganjur.

"Siapa itu yang di luar?" tanyanya pada asisten pribadinya.

"Orang Gramedia, Gus. Sudah janji, mau wawancara."

"Suruh langsung masuk!" kata Gus Dur, tanpa basa basi.

Saya pun menginjakkan kaki di rumah cucu pendiri NU itu. Ketika itu, Gus tengah membidani kelahiran partai NU, Partai Kebangkitan Bangsa.

Dua partai lahir dari rahim NU saat itu. Ibarat ayam, yang keluar dua: satu telur dan lainnya taik. "Lha, PKB itu telur," kata Gus Dur, membuat kami terkekeh-kekeh.....

Di awal berdiri, saya sangat dekat dengan para petinggi PKB, termasuk ketua umumnya, Matori Abdul Djalil. Oleh teman-teman, saya disebut aspiran NU, sekaligus simpatisan nahdliyin. Benar! Itu karena saya mengagumi filosofi NU, terutama ukhuwah atau dengan kata latin fraternity (persaudaraan sejati).

Kini, sang pejuang persaudaraan telah kembali ke khittah (bukan 1926, tapi Sang Khalik), asal mula segala yang hidup. Setelah kelelahan dalam rangkaian perjalanan ke Jombang, 30 Desember pukul 18.45, Gus Dur menutup mata selamanya.

Mengenang beliau, saya memposting tulisan ini. Khusus menyoroti sepak terjang dan perjuangan Gus Dur tanpa lelah melakukan rekonsiliasi nasional.

Semoga sidang pembaca terinspirasi dan tercerahkan!

***

Dengan apatah Gus Dur dapat diibaratkan?

Mungkin paling pas dengan sebuah buku tertutup. Yang sampul depan-belakangnya tersingkap. Lalu, tergeletak dan telanjang bulat di depan kita. Namun, musykil untuk membaca, apalagi memahami seluruh isinya.

Selalu ada-ada saja ide baru yang dilemparkannya. Dan, ide itu kerap menyentak. Tak ada badai tak ada hujan, serta merta ia minta maaf pada para korban G30S/PKI yang “diganyang dan dipinggirkan” Orde Baru, Gus Dur berniat mencabut TAP MPRS No. 25 Tahun 1966, yang melarang paham Marxisme dan komunisme diajarkan dan disebarkan di bumi Indonesia.

Ketika melempar ide itu, pasti Gus Dur sedang tidak bercanda. Sebagai bekas ketua PBNU, sekaligus warga nahdliyin, Gus Dur merasakan betul akibat label “komunis dan PKI”.

Karuan saja, cap ciptaan penguasa Orde Baru itu serta merta menjadi stigma politik. Siapa yang tak sealiran dan berseberangan dengan Orba, langsung digasak. Sebab menentang pemerintah adalah tindakan makar. Dan perbuatan makar cuma dilakukan PKI.

Gus Dur mafhum, dendam-dendam politik yang terkubur dan tak muncul ke permukaan selama ini, hingga sekarang masih kental. Bagai angin, wujud dendam itu tak kasat mata. Namun, bisa dirasa keberadaannya.

Contohnya, begitu mudah emosi massa dibakar dan demikian gampang orang melakukan tindak anarki. Kalau benih dendam tidak ada, mustahil kerusuhan demikian mudah disulut, dan akhirnya, meletus. Tak jarang, eskalasi kerusuhan meluas. Dan kita tak tahu biang penyebabnya, kecuali: dendam kesumat politik.

Dendam politik tak akan ada ujungnya, jika salah satu tak memaafkan. Balas membalas tidak akan mencapai kata akhir, jika salah satu pihak tak mengalah. Dalam konteks itulah, Gus Dur bertekad mencabut TAP MPRS No. XXV/1966. Sebab, TAP tersebut, ketika dibuat, sarat dengan muatan-muatan politis. Baik pertimbangan politik luar negeri, maupun luar negeri.

Konteks lahirnya TAP MPRS
Munculnya TAP MPRS XXV/1966 tak lepas dari konteks. Ketika itu, dunia dibelah dalam dua blok: Timur dan Barat. Blok Timur, dipimpin Uni Sovyet yang berhaluan komunis. Sementara, blok Barat dipimpin Amerika Serikat.

Dalam banyak hal, termasuk mencari pengaruh luarnegeri, kedua blok saling bersaing. Sering persaingan itu sedemikian tajam, sehingga bentrokan-bentrokan baik ideologi maupun fisik, tak bisa dihindari.

Kebetulan, awal tahun 1960-an, Indonesia merupakan salah satu negara di mana komunis tumbuh subur. Amerika tentu saja khawatir, sebagai salah satu negara kawasan Asia yang berpengaruh, jangan-jangan Indonesia berkawan dengan blok Timur. Maka tak ada jalan lain, kecuali menggempur para pentolan politik yang ada di tubuh PKI, sebelum akhirnya partai politik itu menyusahkan Amerika.

Akan tetapi, mengapa PKI gagal di Indonesia? Jawabnya mungkin tidak bisa hitam putih. Banyak studi dan teori yang mencoba menjelaskan hal itu. Satu di antaranya, studi DR. Olle Tornquist dari Universitas Uppsala, Swedia.

Menurutnya, Aidit cs telah keliru di dalam menerapkan teori Marx di Indonesia. Pisau analisa sosial yang dilakukan PKI waktu itu, kurang tajam. PKI terlampau yakin, massa rakyat (proletar) sudah 90% mendukungnya. Studi Tornquist tentang kegagalan komunis di Indonesia terhimpun dalam buku Dilemmas of Third World Communism, The Destruction of the PKI in Indonesia.

Sementara Kathhy Kadane, wartawati States News Service yang mendapat akses langsung dari perpustakaan Lyndon F. Johnson, berdasarkaan hasil korespondensi Kedubes AS dan CIA di Jakarta dengan Washington tahun 1963-1968 mengatakan, tak bisa dimungkiri CIA merupakan salah satu actor intellectual G30S/PKI. CIA sengaja menggunakan momentum isyu Dewan Jendral yang dikeluarkan PKI. Tujuannya menyudutkan PKI sendiri. Dan, dengan itu, berharap rivalitas Timur-Barat segera dapat dimenangkan Amerika.

Maka, demikian studi yang disebutkan di atas, bersekutulah CIA dengan Angkatan Darat dalam upaya menyingkirkan PKI. Dengan begitu, menjadi teranglah. Bahwa AD yang dimaksudkan sebagai “our local army friend” dalam sebuah dokumen rahasia yang dikeluarkan CIA tersebut.

Eksistensi komunis di Indonesia tahun 1960-an, cukup untuk membuat panik kubu Barat. Saat itu, PKI tercatat sebagai partai tertua di Asia. Tatkala HUT ke-45 PKI di Jakarta yang digelar pada 1965, ditaksir anggota PKI sebanyak 3 juta. Dengan jumlah ini, partai PKI mencatatkan diri sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia. Belum termasuk Barisan Tani Indonesia (BTI) yang dibina PKI, dengan anggota tak kurang dari tujuh juta.

Mengapa Marx dan komunis ditampik?
Karl Marx, dedengkot komunis itu, telah lama tiada. Ia meninggal pada 17 Maret 1883. Tak banyak, hanya sebelas orang saja waktu itu yang hadir pada upacara pemakamannya. Jasad penulis buku terkenal Das Kapital itu dibaringkan di pemakaman High Gate, di kota London.

Seorang dari sebelas hadirin yang turut hadir pada pemakaman Marx adalah Friederich Engel, muridnya. Berdua, guru-murid itu telah menyusun Manifesto Komunis. Yang menarik, dalam eulogi (pidato mengantar kematian) Karl Marx, Engel berkata, “Nama, pemikiran, dan karya Anda tak akan mati selamanya!”

Bisa jadi, waktu itu kata-kata Engel terasa berlebihan. Namun kemudian terbukti hampir semua pentolan politik dan tokoh dunia terkemuka pada abad 20 dipengaruhi Marx. Sebut saja Stalin, Lenin, Mao Zedong, Fidel Castro, dan Che Guevara, diakui atau tidak, telah menyerap paham Marx –dan mereka mengaku sebagai penganut Marxisme. Tak pelak, separuh umat manusia di bumi ini mengakui Marx sebagai penuntun dan inspirator.

Menakjubkan, pria Yahudi berjambang lebat kelahiran 5 Mei 1818 itu berhasil mempengaruhi ratusan juta umat manusia, termasuk manusia Indonesia. Apa sebenarnya pesona yang ditebar Marx di balik ajaran-ajarannya? Mengapa ideologi Marxisme-komunisme menarik?

Barangkali jawabnya karena Marx menjadi part of solution banyak orang saat itu. Pada waktu Marx hidup, banyak negara terkungkung dalam sistem politik-ideologi yang totaliter. Penguasa berbuat dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Bersamaan dengan itu, agama sebagai jalan umat manusia menuju Tuhan dijadikan alat atau legitimator penguasa. Padahal, semestinya fungsi agama tidak demikian. Sebaliknya, agama justru berfungsi sebagai pembebas dan mengingatkan penguasa untuk selalu berada di jalan yang benar (profetis).

Sebagai seorang yang tumbuh dari bawah, dari akar rumput Marx (hingga ajalnya Marx tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas), kecewa. Ia melihat terjadi penghisapan manusia oleh manusia lain. Kaum buruh menuntut kenaikan upah. Pertentangan kelas terjadi di mana-mana, seakan tak ada hentinya.

Biang dari semua itu, tentu saja, ketidakadilan sosial. Kelas yang dip[erlakukan paling tidak adil itu adalah rakyat jelata. Itulah sebabnya, Marx menginginkan adanya suatu masyarakat tanpa kelas. Ia ingin supaya rakyat jelata atau kaum proletar (dari kata proles = rakyat) terbebas dari kungkungan penguasa, ibarat membentur tembok.

Marx mengamati, manusia tetap menjadi penindas (tyrant) bagi sesamanya. Dan karena penindasan terus berlanjut, maka Allah perlu dinyatakan tiada. Adagium “Allah telah mati,” yang datang filsut Nietze, diberi makna sosial oleh Marx.

Bila ditelusuri dengan rasio dan kepala dingin, sebenarnya sangat menarik ide Marxis, dengan manifesto komunisnya itu. Dalam bangun negara komunis, Marx memimpikan masyarakat sosialis yang egaliter melalui transformasi sosial secara radikal (sampai akarnya)-revolusioner. Itu sebabnya, ide itu sangat menarik terutama bagi mereka yang tak sabar pada perubahan sosial dan pada masyarakat yang gelisah.

Tak mengherankan, di tahun awal kemerdekaan hingga dekade 1960-an, ide-ide Marx yang disemaikan di Indonesia boleh dikatakan tumbuh subur. Presiden Soekarno dalam diplomasi luar negerinya, banyak berteman dengan pemimpin negara-negara blok Timur (komunis), termasuk menjalin hubungan baik dengan RRC. Ia bahkan mendirikan poros Jakarta-Peking.

Soekarno adalah seorang revolusioner. Ia ingin bangsanya segera bangkit, sejajar dengan bangsa maju yang lain. Di dalam upaya mewujudkan gagasannya, Soekarno memandang mungkin hanya PKI-lah yang bisa mendukung impiannya. Institusi tentara pasti tidak bisa mendukung, karena tentara itu antirevolusioner.

Sebagaimana sering diakuinya, Soekarno bukan seorang Marxis, bukan pula komunis. Dalam bayangannya, PKI cumalah “teman” yang bisa diajak berjalan bersama menuju Indonesia yang rakyatnya kuat dan merdeka. Istilah sekarang, menuju civil society. Salahkah gagasan Soekarno itu? Kalau toh salah, mungkin karena ia merangkul PKI.

Kalau ada yang harus dipersalahkan, apa yang mesti dikutuk dari Marxis, komunis, maupun PKI? Karena komunis menolak eksistensi Tuhan? Tidak, komunis –sebagaimana dinyatakan Marx—tetap mengakui adanya Allah, tetapi karena tetap terjadi tirani, maka Allah perlu dinyatakan mati. Allah akan hidup, dalam konsep Marxisme-komunisme, jika tirani sudah tidak ada lagi. Bukankah kita semua bercita-cita melawan tirani?

Komunis di Indonesia wajib dienyahkan karena PKI berkali-kali memberontak? Tunggu dulu, banyak versi soal itu. Persepsi masyakarat yang sudah kadung buruk soal komunis, yang sejak zaman Belanda dianggap sering membuat onar, bukankah itu sengaja dihembuskan dan dibangun pihak lawan? Apakah di balik perusakan nama PKI itu tidak ada campur tangan kubu lain yang berseberangan, misalnya pemuda Marhaen, PNI, atau Ansor dari NU yang juga menyiagakan diri? Istilah “komunistofobi” mungkin cukup untuk menjelaskan, bahwa sebenarnya telah terjadi saling curiga antarkelompok pada saat itu.

Masih adakah alasan lain untuk melenyapkan PKI? Karena pelaku perstiwa makar, G30S/PKI? Seperti sudah dikatakan, studi-studi ilmiah masih membuka kemungkinan lain -–selain pelaku tunggal PKI—dalam peristiwa berdarah itu.

Karena itu, dilihat dari analisis dan kacamata politik, label “komunis” dan “PKI” sebenarnya stigma yang dibuat penguasa untuk menghabiskan lawan politiknya. Terlalu banyak contoh untuk itu. Di masa Orba misalnya, jutaan orang dibantai gara-gara dicap PKI.

Kini Gus Dur hendak menghilangkan stigma politik itu. Dengan mencabut TAP MPRS XXV/1966, berarti selesai pula legitimasi untuk membantai lawan politik secara sewenang-wenang.

Gus Dur tak ingin mengulang pengalaman pahit masa lalu. Ia yakin seyakin-yakinnya. Stigma politik merupakan rintangan utama yang menghalangi rekonsiliasi nasional negeri ini.

Selamat jalan, penggiat demokrasi dan pendekar rekonsiliasi nasional. Upahmu besar di surga!
***

Senin, 28 Desember 2009

2010, Tahun Rahmat Tuhan

dari Suara Pembaruan, 2009-12-28

R Masri Sareb Putra

Tiap tahun, sebenarnya, tahun rahmat Tuhan. Entah mengapa, rahmat (gratia) itu tidak senantiasa tercurah dari langit. Tahun 2009, misalnya, yang datang dari langit justru hujan deras, bukan hujan berkat. Hujan deras itu lama-lama jadi air bah, menenggelamkan serta meluluhlantakkan sejumlah tempat dan menyengsarakan sejumlah penduduk.

Banyak penderitaan dialami penduduk negeri ini sepanjang 2009. Mulai dari tragedi Situ Gintung (Tangerang), tanah longsor, gempa bumi di sejumlah tempat dan yang terbesar di Sumatera Barat, tabrakan beruntun, kecelakaan pesawat terbang, hingga tewasnya empat karyawan pembersih sampah di gorong-gorong sepanjang 20 meter di Jatinegara (Jakarta Timur).

Tahun penuh rahmatkah namanya jika nyaris sepanjang tahun 2009 negeri kita tak putus dirundung malang?

Bencana beruntun bukan ini yang pertama dialami umat manusia. Berabad lampau, tragedi itu sudah terjadi. Frustrasi karena bencana yang beruntun, maka tahun 1300 oleh Gereja dimaklumkan sebagai "Tahun Rahmat Tuhan". Ini mirip tolak bala, namun niatan itu harus disertai dengan tindakan nyata. Saat itu, di Eropa sedang musim gugur. Musim gugur bukanlah waktu yang menyenangkan seperti musim semi. Bagi mereka yang tak kuat, bibir bisa pecah-pecah. Itu sebabnya, orang jadi segan ke luar rumah. Selain tidak nyaman, pemandangan di luar sama sekali tidak menarik. Tanah kering-kerontang. Pohon dan bunga-bunga berguguran.

Tak peduli cuaca, Paus Bonifasius VIII keluar meninggalkan San Lorenzo, kapel pribadinya, Paus menuruni tangga. Diiringi para kardinal dan sejumlah uskup, Paus berjalan menuju pilar pertama basilika St. Yohanes Lateran. Dengan suara lantang, Paus Bonifasius VIII mengumumkan yubileum, atau tahun rahmat pertama pada 1300. Hampir bersamaan waktunya dengan Khubilai Khan, Kaisar Cina, masuk bumi Nusantara pada saat itu.

Musim gugur adalah simbol kepedihan dan kesulitan. Setelah itu ganti datang musim semi. Suatu masa yang dinanti-nanti, karena amat menyenangkan. Tanah subur kembali diguyur hujan. Ranting pohon yang meranggas ganti jadi hijau. Bunga-bunga bermunculan, segar kembali.

Itulah harapan di balik pengumuman tahun rahmat dari Basilika Yohanes Lateran. Pengumuman yang menandai sebuah awal dari sejarah pertobatan umat manusia. Dikatakan awal, karena praktis tiga belas abad lamanya umat terkungkung oleh dosa asal. Ajaran Gereja sebelum itu, misalnya, tegas mengatakan, pada hakikatnya manusia adalah pendosa. Akibat dosa bawaan tersebut, tak mungkin manusia bisa selamat tanpa bantuan dan uluran tangan dari Tuhan.

Jalan pikiran ini pula yang kemudian mengilhami salah satu sekte dalam gereja yang meyakini bahwa hanya rahmat Tuhan sajalah (sola gratia) yang menyelamatkan manusia. Tanpa kemauan dari Allah, manusia tidak mungkin diselamatkan. Maka hanya kemurahan Allah sajalah yang menyelamatkan.

Catatan hitam dalam sejarah umat manusia, khususnya Gereja, membuat Paus Bonifasius VIII tergerak untuk menurunkan berkat. Diyakini, rahmat memang datang dari Allah. Sebagai penerus takhta Petrus sekaligus kepala Gereja yang ditunjuk Yesus, Paus hanyalah sarana. Karena itu, tangannya "dipinjam" Kristus untuk meneruskan berkat dan rahmat-Nya kepada umat manusia. Maka jadilah 1300 dimaklumkan sebagai tahun rahmat Tuhan. Inilah awal tradisi Gereja merayakan tahun yubileum agung setiap rentang waktu 25 tahun.


Pertobatan Total

Yubileum pertama tidak cuma upacara sakral biasa. Di balik pemakluman tahun rahmat itu, terkandung makna simbolis-teologis yang dalam: manusia berdamai dengan Allah. Manusia menjadi anak-anak Allah. Manusia kembali ke citranya yang semula. Agar rahmat Allah mengucur, manusia harus menghampakan diri. Itulah makna pertobatan total (metanioa).

Perubahan radikal itu mulai dari Basilika Lateran. Semula, Basilika Lateran adalah wilayah milik keluarga bangsawan dan kaya raya bernama Laterani. Pada masa pemerintahan Konstantin Agung, wilayah ini dihibahkan jadi milik Gereja. Selama zaman pertengahan, hingga istana terbakar habis pada 1308, istana ini menjadi tempat kediaman Paus. Istana yang rata dengan tanah itu dibangun kembali pada 1585-1589.

Waktu terus bergulir. Dalam hitungan manusia, tujuh abad sudah terentang dari yubileum pertama hingga yubileum tahun ini. Tapi, bagi Tuhan tak ada bedanya. Seperti dilukiskan pemazmur, "Bagi Allah, seribu tahun sama dengan hari ini dan hari ini sama dengan seribu tahun."

Maka rahmat yang mengalir atas kita semua, pada tahun 2010, sama seperti tujuh abad lalu. Allah yang sama, yang mengalirkan rahmat dan berkat melalui tangan manusia pula, makhluk ciptaan-Nya.

Allah tak pernah berhenti mencintai makhluk-Nya. Seperti dulu pun, Allah masih tetap total mencintai manusia. Manusialah yang sering ingkar dan takabur. Ramhat Allah senantiasa mengalir, dengan syarat manusia harus metanioa. Melakukan pertobatan total, berbalik secara radikal kembali ke jalan Tuhan.


Penulis adalah lulusan STFT Widiasasana, Malang, kini Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta

Minggu, 27 Desember 2009

Eagles, Not chickens

In a country either nowhere ....

A chicken farmer in the barn behind his house. He also maintains a small chicken found in the woods. He mixed it with chicken companion. Although similar, this little chicken looks strange among the other chicken.

Although strange, this chick had no problem living among the animals and the winged fellow feathered birds in one cage. But he is still a chicken for hanging out everyday and act like a chicken, too. He tried to eat chicken. Learning paw with its claws. Learning crowed. And in an instant, he could.

The same is also little chickens others. Never know if the outside was so vast and free. Too much food is far more delicious than that presented in the cage. He did not know that there is blue sky above the roof. He had never felt the warmth of sunlight for never penetrate into the stable stall.

Until one day, a sage arrived. He said to the farmer, "Hey, the little that was not chicken. He is an eagle. "

So the farmer replied, "Uh, uh, no, no, no, my friend. It was chicken. Only behaved like a chicken. "

The wise man was asked politely, "Excuse me, Would the little you give me?"

"For what?"

"I back him to the habitat. He'll be a creature in the chicken, because he's a hawk."

And the farmer gives the tiny person knowledgeable in that.

The wise then took the baby chicks that looked strange was. He brought up the hill, waited until the sun rises. Then, put the weird chick in the direction of the sun and say, "Hey eagle, fly to the sky!"

Chicks was surprised. Immediately spread her wings. Spread. Then fly as high as high. Through the blue sky into the distance.

Similarly, God says to us, "You all are not chickens. You're an eagle. Spread your wings, eagle, fly!"

And God wants us to awaken ourselves, stretch and flap our wings. Then fly and soar, to grow as a person who is confident, good, and beautiful. Rise to compassion, gentle, more concerned with living creature.

Risen so what God wants: eagles, not chickens. Dig potential, develop talents. That is our responsibility as human beings.

Rabu, 23 Desember 2009

Wisata Sejarah ke Museum Mulawarman


Sumber gambar:
http://www.indofamily.net/travel/index.php?option=com_content&task=view&id=352&Itemid=30

Liburan panjang hendak ke mana?

Daripada luntang lantung tak tentu tuju, mending melakukan wisata. Bukan sembarang wisata, tapi wisata sejarah. Salah satu objek yang penting dikunjungi, ialah Museum Mulawarman, di Kutai, Kaltim.

Tempat ini bernilai ditilik dari sisi historis. Bukan saja menjadi tonggak penting peradaban Nusantara, situs bersejarah ini juga bicara banyak lewat prasasti "Batu Yupa"-nya. Banyak bercerita tentang peradaban dan pergaulan nusantara masa lampau, Batu Yupa juga berkisah tentang hubungan agama-negara.

Saya sendiri sudah wisata ke tempat ini. Sewa taksi dari Samarinda, saya sengaja datang ke Kutai Kartanegara.

Di tengah jalan, berhenti sejenak. Makan nasi kampung, dihidang sate dan rendang daging payau (rusa). Nasi merah yang mengepul hangat manambah nikmat makan siang itu. Sembari mata terpanah ke tepi Sungai Mahakam, menyaksikan klutuk berdentum melayari sungai yang saat itu tengah muntah mengalirkan air bah berkubik-kubik lewat kiham-kiham di hulu sungai...

***
Menyebut Tenggarong, ingatan langsung tertuju pada kerajaan Kutai. Sebuah kota legenda dan bersejarah, terletak di tepi sungai Mahakam. Di masa lalu, kota ini sangat populer.

Setelah nusantara merdeka, bekas kerajaan Kutai masuk wilayah Kalimantan Timur. Kini menjadi salah satu tujuan wisata bagi para turis, terutama turis asing. Turis yang datang ke Kaltim merasa belum lengkap jika tidak pergi ke Tenggarong, karena hanya di tempat inilah bisa ditelusuri sejarah Kaltim.

Sejarah Kaltim yang bisa disimak di sini tak hanya sebatas seabad atau dua abad lalu. Lebih dari itu, pengunjung bisa menelusuri kejayaan kerajaan nusantara lebih dari 15 abad silam.

Dalam sejarah peradaban nusantara, kerajaan Kutai menjadi sangat penting, terutama dikaitkan dengan pengenalan aksara di nusantara. Sumber tertulis mengenai nusantara yang paling tua berasal dari kerajaan Kutai, berupa empat batu bertulis.

Kebetulan, keempat batu itu ditemukan di tepi sungai Mahakam, Muara Kaman, Kutai.
Catatan, sekaligus tonggak sejarah kerajaan Kutai, dimeteraikan dalam sebuah prasasti batu. Diperkirakan, prasasti ini dari abad ke-5 yang disebut “batu yupa”, beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta.

Itu menunjukkan, peradaban India telah menjadi mahkota pranata sosial dan politik di nusantara saat itu. Tulisan pada batu prasasti ini menyebutkan tentang pembawaan korban emas, sapi, biji wijen oleh Raja Mulawarman.

Prasasti menjadi sangat penting nilai historisnya karena salah satu di antaranya mengandung keterangan yang menyebutkan bagaimana hubungan antara agama dan negara pada saat itu.

“Pangeran yang mashur Kundungga punya anak yang terkenal bernama Aswawarman, sang pendiri wangsa. Salah satu yang hebat dari putra Aswawarman adalah raja Mulawarman, yang telah mempersembahkan banyak emas, sehingga untuk mengenangnya didirikanlah batu persembahan ini oleh para pemuka dari yang lahir dua kali (brahmana).”

Karena bernilai historis tinggi, museum ini banyak dikunjungi turis mancanegara. Mereka umumnya mengagumi benda-benda purbakala, atau miniatur, yang ada di museum.

Misalnya saja, artefak-artefak yang dapat menggambarkan kehidupan masyarakat suku Dayak, singgasana raja, sampai pada maket mahkota sultan Kutai. Mahkota yang kini tersimpan di sini merupakan maket mahkota asli yang terbuat dari emas seberat 7 kilogram (kini disimpan di museum nasional, Jakarta). Dulu, mahkota ini digunakan sebagai kelengkapan dalam penobatan sultan Kutai Kartanegara.

Hal lain yang menarik, di dalam museum juga dipamerkan berbagai jenis busana daerah. Ada busana khas bermotif Dayak, ada pula motif Melayu.

Museum yang dibangun pada 1930 oleh Belanda ini dibuka setiap hari dari pukul 8 pagi hingga 14.00. Khusus hari Jumat dibuka sampai pukul 11 siang. Karcis masuk ke museum hanya Rp 1000.

Bagaimana mencapai museum?
Dari ibukota provinsi Kaltim, Samarinda, Tenggarong dapat ditempuh melalui jalan darat. Jarak perjalanan sepanjang 39 kilometer, memakan waktu antara 1,5-2 jam perjalanan, melintas hutan-hutan dan padang batu bara.

Yang terasa unik, di kiri dan kanan jalan --jika musim kemarau— kita menyaksikan kepulan asap. Asap itu berasal dari batubara yang masih aktif di dalam tanah. Tambang batu bara ini ada di sekujur perut bumi Borneo, utamanya sepanjang Bukit Suharto.

Bila ke Tenggarong mengambil jalan darat, Anda akan melihat banyak pemandangan eksotis. Banyak warung menawarkan menu makanan khas Kalimantan. Yang istimewa adalah daging payau (rusa), entah disate atau dimasak rendang, disuguhkan bersama nasi ladang tegalan.

Tiba di Tenggarong, Anda berhentilah sejenak di tepian sungai Mahakam. Bila musim hujan, aliran sungainya cukup deras. Berhati-hatilah bagi Anda yang tidak bisa berenang, sebab arus air bisa saja membahayakan.

Paling indah pemandangan sekitar dilihat ketika senjakala (sunset), atau tatkala pagi hari. Sinar mentari yang lembut menyentuh permukaan air, membuat cahaya kilau kemilau.

Tidak hanya di masa lalu, kini pun sungai Mahakam masih menjadi urat nadi yang sangat vital bagi masyakarat setempat. Sungai ini boleh disebut multi fungsi: sebagai sumber air minum, untuk mandi, untuk mencuci, bahkan sekalian berfungsi untuk wc.

Fungsi yang tak kalah pentingnya, sungai ini menjadi sarana lalu lintas yang penting bagi masyarakat. Asal tahu saja, melalui sungai inilah dialirkan melalui rakit-rakit kayu Samarinda yang terkenal itu.

Tiap saat, kapal motor (ketinting) selalu melintasi sungai Mahakam. Dari Samarinda, melalui Long Bangun, perjalanan dapat ditempuh dalam waktu tiga hari, sepanjang kurang lebih 523 kilometer.

Di kiri dan kanan sungai, kita bisa menyaksikan rumah-rumah tradisional: terbuat dari bahan kayu semua. Rumah tradisional suku Dayak (lamin) dapat dijumpai hampir di mana saja. Tetapi yang paling istimewa tentu lamin yang ada di desa Mancong.
***

NB.
Boleh mengutip feature ini, asalkan menyebutkan sumbernya.

Selasa, 22 Desember 2009

101 Hari Menulis & Menerbitkan Novel



Tiap kali, usai membaca sebuah novel, Anda berkata dalam hati,“Saya pun dapat menulis buku seperti ini”.

Anda benar. Saya yakin, semua orang memiliki sekurang-kurangnya satu novel dalam pikiran atau dalam hatinya.

Novelis Toni Morrison menunjukkan caranya, “Jika buku yang Anda ingin baca belum ditulis, maka Anda harus menulisnya”.

Saya senang sekali. Banyak orang menulis surat elektronik yang menyatakan, mereka terbantu dengan buku saya 101 HARI MENULIS DAN MENERBITKAN NOVEL. Bahkan, suatu hari saya kaget bukan main.

Ada calon novelis, berpendidikan S-2, yang menyerahkan amplop pada saya. Isinya, ending (penutup) novelnya nanti. Ia ingin menguji, sesuai anjuran saya di buku itu halaman 86, hari ke-21. Ini sepadan dengan nasihat Katherine Anne Porter, "Jika saya tidak tahu akhir sebuah kisah, saya tak sudi menulis!'

Sederhana saja. Calon novelis tadi mulai menulis berangkat dari kisah yang dialaminya sendiri. Benar, tiap orang potensial jadi penulis. Ini nasihat novelis besar, Toni Morrison.

Tahu siapa Toni Morrison? Dia penulis novel andal, peraih berbagai penghargaan tertinggi di bidang penulisan dan sastra. Pernah meraih penghargaan Pulitzer Prize pada 1988, lalu hadiah nobel sastra (1993). Novelnya yang terkenal, antara lain: The Bluest Eye (1970), Sula (1974), Song of Solomon (1977).


ToniMorrison

http://www.pinkmonkey.com/booknotes/monkeynotes/FreeCliffNotesToniMorrison.jpg

Menulis sebuah buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Meski demikian, setiap hari ada saja buku yang diterbitkan.

Menurut Books in Print tahun 1996, buku yang diterbitkan berjumlah 1,3 juta. Buku-buku yang dipublikasikan di Amerika tahun 1996 berkisar 140.000. Di Indonesia, satu hari terbit tidak kurang dari 30 buku. Jadi, kenapa Anda harus menunggu?

Saya yakin, jika Anda dapat menulis dalam bahasa Inggris yang sederhana (demikian- Ernest Hemingway- menulis), adalah pertanda bahwa dunia mengitarimu, dan keinginan menulis sebuah novel yang mudah dijual, sungguhkah Anda mau? Bukan sekedar mau, tetapi Anda lakukan.

Saya tidak yakin seseorang dapat menjadi penulis dengan mengikuti workshop, membaca berbagai literatur, termasuk membaca buku ini. Meski demikian, memahami menulis novel, terutama teknik bercerita (story telling) sangat penting. Setidaknya, kurva belajar Anda menjadi pendek. Anda dapat menghemat waktu. Sebab buku ini menunjukkan arah yang tepat dan membantu Anda untuk menulis novel hanya dalam 100 hari, bahkan kurang.

Ini pekerjaan. Saya telah melakukannya beberapa kali. Saya tahu apa artinya memeras waktu satu atau dua jam sehari untuk menulis. Menulis novel bukan hal yang gampang, apa lagi Anda tergolong orang yang sibuk dalam pekerjaan, keluarga, dan tanggungjawab lainnya, tetapi hal ini sangat-sangat mungkin.

Kenyataannya, kebanyakan penulis, telah melakukan pekerjaan rangkap sementara itu mereka masih menulis novel. Maka ketika menjual buku Anda yang pertama, boleh jadi posisi Anda merasa lepas dari pekerjaan rutin dan mencurahkan sisa hari hidup Anda untuk menulis seutuhnya.

Benar, Anda punya pekerjaan, rutinitas, dan keluarga. Namun, hal ini bukan alasan untuk menghentikan langkah para penulis besar masa lampau. Penyair Wallace Stevens adalah wakil ketua sebuah perkumpulan Asuransi dan seorang ahli dalam bidang Marketing. T.S. Eliot adalah seorang Banker yang muda. William Carlos William seorang dokter anak-anak. Robert Frost ahli peternakan unggas. Hart Crane pembungkus gula-gula pada perusahaan ayahnya, kemudian ia menjadi penulis iklan. Stephen Crane adalah seorang wartawan perang. Marianne Moore bekerja pada perpustakaan umum di New York. James Dickey bekerja untuk agen iklan. Archibald MacLeish direktur kantor fakta dan kenyataan dan ilmu hitung selama perang dunia II.

Di negeri kita, banyak novelis juga sibuk. Bahkan, tidak sedikit yang multitasking. Ayu Utami dan Fira Basuki adalah jurnalis. Mira W. dan Marga T. dokter. Naning Pranoto dosen. Yennie Hardiwidjaya, selain ibu rumah tangga, juga penulis skenario.

Lalu, apa yang menyebabkan mereka tetap dapat produktif menulis? Jawabnya ada tiga: Pertama, kemauan.
Kedua, kemauan.
Ketiga, kemauan.

Apa yang dibuat oleh seorang penulis? Barangkali ada satu peristiwa khusus, satu hal akan cepat terjadi dalam hidup dan membentuk pengertian yang indah dan kesadaran bagi penulis.

Sebagai contoh Jose Saramago, seorang penulis Portugis yang pertama menerima hadiah Nobel Sastra. Ayahnya seorang petani dan ibunya buta huruf. Di rumahnya, tidak ada buku, hampir 40 tahun pindah dari pekerja logam ke pelayan umum pada suatu penerbitan Surat Kabar. Ia sudah berumur 60 tahun sebelum diterima di sebuah rumah yang bertetangga dengan Baltasar dan Blimunda.

Sebagai seorang anak, waktu liburan dihabiskannnya bersama kakek-neneknya di sebuah desa bernama Azinhaga. Ketika ayahnya menderita stroke dan harus dibawa ke Lisbon untuk perawatan Saramago mengingatkan: “ia pergi ke tanah airnya, di mana banyak pepohonan, pohon ara, pohon zaitun, dan ia akan kehilangan satu persatu termasuk pohon-pohon dan menangis seraya berkata selamat tinggal pada mereka, sebab ia tahu mereka tak akan pernah kembali. Melihat dan mengalami semuanya ini apakah hal ini tidak menggugah hidupmu?” kata Saramango. Jika tidak, pungkasnya,“kamu tidak punya perasaan”.

Mulai dengan perasaan murni. Kembali ke prosa.

Senin, 21 Desember 2009

Asal Mula Danau Belida (folklor)

Catatan:
Dua folklor karya saya yang digali dari perut bumi Kalbar Anggrek Hitam untuk Domia dan Asal Mula Danau Belida sudah saya daftarkan ke Direktur Jenderal HKI melalui Direktur Hak Cipta.
***

Sebuah danau yang indah di wilayah kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Airnya jernih. Banyak ikan di dalamnya. Danau itu berada di antara ujung Timur Laut Pegunungan Muller-Schwaner dan Pegunungan Kapuas Hulu.

Tiap pagi jika berjalan menyusuri tepian danau, permukaannya akan memantulkan indahnya panorama pagi. Siapa saja dapat bercermin di permukaannya yang bening dan tenang. Sementara di atas pepohonan yang tumbuh subur di tepi danau, burung-burung berkicau dengan merdunya.

Ada satu hal yang unik. Di siang bolong, tatkala mentari memantulkan hawa yang paling panas sekalipun, air danau tetap sejuk dan segar. Ketika matahari tidak nampak, kawanan burung terbang meninggalkan danau itu. Mereka enggan menangkap ikan-ikan kecil. Mereka khawatir kawanan ikan belida akan menyambarnya. Pada musim bertelur biasanya ikan belida ganas.

Masyarakat di sekitar danau itu percaya, zaman dahulu yang ada hanyalah musim kemarau dan debu. Orang selalu merasa haus. Karena rasa haus itu pula, seorang laki-lakinya mencari air. Namun yang mereka temui hanya batu. Tanpa sengaja mereka memindahkan batu itu.

Astaga! Di bawah batu itu terdapat sumber air. Lalu mereka mendirikan gubuk dan menetap di situ. Waktu terus berlalu. Anak laki-laki bernama Gumantar itu telah menjadi pemuda tampan dan gagah.

Diam-diam, dewa air juga menetap di sumber air tempat Gumantar dan sang Ibu tinggal. Dewa air memiliki putri yang cantik. Rambutnya panjang terurai. Ketika berjumpa, Gumantar dan Putri Dewa Air saling jatuh hati.

Suatu hari, Gumantar dan Putri Dewa Air berjalan menuju sumber air. Mereka bercakap-cakap tentang indahnya impian hari esok. Namun sayang, ketika meninggalkan mata air itu mereka lupa menutupinya dengan batu. Akibatnya, air pun meluap. Bahkan sampai menjadi air bah. Dan membentuk sebuah danau besar.

Suatu hari datanglah raksasa ingin minum air itu. Raksasa yang datang mempunyai tiga belas kepala. Bila berhasil menangkap manusia, ia akan membenamkannya ke danau itu. Setelah tenggelam, ia akan memakannya sekaligus meminum air danau.

Ujar Gumantar, “Lihatlah, manis! Tak seorang pun sanggup menghentikan perbuatan raksasa itu. Ia akan meminum air danau ini hingga kering. Manusia akan kehausan. Aku harus menghentikan perbuatan raksasa itu!”

Putri Dewa Air cemas. Ia tak ingin kekasihnya kalah dalam pertanrungan dengan raksasa. Maka ia menutupi kepala sang kekasih dengan rambutnya yang panjang dan lebat.

Terjadilah pertempuran dahsyat. Gumantar memukul raksasa dengan sekuat tenaga. Setelah pertarungan yang melelahkan, akhirnya Gumantar berhasil mengalahkan raksasa. Tak lama setelah itu air bah kembali mengalir ke danau.

Sementara Gumantar berkelahi melawan raksasa, ibunya tertidur pulas. Ketika terbangun, ia tidak melihat apa-apa. Di sekitarnya hanya ada air yang meluap. Ia berjalan hilir mudik mencari Gumantar.

Menyadari usahanya sia-sia, sang ibu menyeburkan diri ke dalam danau. Ia menyelam ke dasarnya hingga menemukan sumber air. Ibu itu menutup sumber air dengan sebongkah batu. Air pun berhenti mengalir. Namun akhirnya ibu itu mati lemas karena terlalu lama berada di dalam air.

Sementara itu Putri Dewa Air dan Gumantar mencari sang Ibu. Mereka tak pernah berhasil menjumpainya lagi. Sebagai kenangan sang Ibu, mereka menamakan danau itu ‘Danau Belida’.

Konon, itu sebabnya, hingga hari ini punggung ikan Belida bengkok. Mirip punggung perempuan tua.

Sabtu, 19 Desember 2009

The Death of Economic

Di tengah gonjang ganjing perekonomian dunia, yang berimpak pada krisis di negeri kita,baik kiranya menoleh ke masa sepuluh tahun lalu. Prof. Juwono Sudarsono bahkan menyebut situasi politik dalam negeri saat ini mirip tahun 1959.


Sudut pandang artikel ini adalah tesis Paul Ormerod, bahwa ilmu ekonomi telah mati. Tak dapat menjelaskan fakta lagi, sebab begitu banyak dirasuki interest dan faktor nonekonomi, misalnya perilaku pelaku ekonomi-politik yang destruktif dan cenderung korup.


Sumber gambar:http://www.volterra.co.uk/images/ormerod.jpg

Ketika mimpi buruk berupa krisis moneter benar-benar jadi nyata di tengah-tengah kita, tak satu pun ekonom sanggup memberi penjelasan yang memuaskan.

Ini membuktikan, ilmu ekonomi telah mati dan gagal meramalkan fenomena ekonomis. Faktor apa yang memicu krisis moneter? Langkah apa yang harus ditempuh, dan solusi apa yang tepat agar segera keluar dari kemelut ekonomi?

Seharusnya, sebagai sebuah ilmu yang memiliki sistem, metodologi, serta koherensi, ilmu ekonomi sanggup menjawab dan dapat menjelaskan semua itu.

Nyatanya, pertanyaan itu tetap tak bersua jawaban.
Paling banter, kita mendengar penjelasan begini: Bahwa krisis moneter yang akhir-akhir ini melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia, bukan semata-mata persoalan ekonomi. Banyak faktor terkait turut menyulut krisis itu, termasuk di dalamnya unsur emosional masyarakat, dipertajam oleh gejolak politik, serta gaya hidup oknum pejabat yang hedonisme menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Semua faktor itu melulu diteropong dari kacamata matematis, sehingga timbul rumusan ''apabila begitu maka akan begini''.

Celakanya, para ekonom ortodoks terjerumus dalam keyakinannya sendiri, bahwa segala fenomena ekonomi hanya dapat dijelaskan dengan teori ekonomi. Di dalam membuat ramalan dan proyeksinya, para ekonom menempatkan ekonomi sebagai ilmu yang otonom, berdiri sendiri. Seakan-akan ilmu ekonomi itu mutlak dan eksak, terbukti dari berhasilnya para ekonom mengadaptasi rumus-rumus matematis untuk ilmu ekonomi.

Berbarengan dengan itu, para ekonom berhasil membangun kepercayaan kelompok. Salah satu pendapat yang berhasil dibangun, ialah rumusan yang mengatakan bahwa harga ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Jika permintaan meningkat sementara persediaan sedikit, harga akan naik.

Apakah betul demikian? Agaknya, itulah pertanyaan yang menyelimuti pikiran Paul Ormerod, ekonom terpandang di London dan Manchester. Demikian pula keyakinan bahwa perdagangan bebas menguntungkan semua pihak, perlu dikaji ulang keabsahannya.

Mati
Tahun 1994, di London terbit buku berjudul The Death of Economics buah renungan falsafah dan ilmiah karya Ormerod. Terbitnya buku ini segera mengundang kontroversi. Para ekonom, terutama ekonom ortodoks, mencaci maki buku itu. Akan tetapi, kaum awam menyanjung-nyanjungnya. Yang digasak habis-habisan oleh Ormerod sebenarnya adalah ekonom ortodoks. Perlu dicamkan, terdapat perbedaan antara ekonom ortodoks dengan ekonom klasik. Di manakah bedanya?

Ekonom klasik seperti Adam Smith, Thomas Malthus, David Richardo, dan Karl Marx membangun teori dari masalah faktual, misalnya dari kenyataan pada abad XVII-XIX di mana pertumbuhan ekonomi amat dramatis.

''Kajian mereka bersumber pada soal nyata yang penting, yaitu kecemasan dalam masyarakat jangan-jangan pertumbuhan itu berhenti. Oleh sebab itu mereka berupaya menjelaskan bagaimana pertumbuhan itu bisa terjadi, dan bagaimana mempertahankannya''. (halaman 33).

Tidak demikian para ekonom ortodoks, mereka membangun teori lepas dari dunia nyata. ''Ekonom ortodoks membangun teori beranak-pinak berdasarkan matematika. Teori mereka bukan untuk diuji terhadap masalah yang mendesak, melainkan untuk dibela dan dipertahankan sebagai doktrin. Itulah inti krisis ilmu ekonomi ortodoks!'' (halaman 72).

Karena itu, terutama di Amerika Serikat, akhir-akhir ini muncul pandangan baru terhadap ilmu ekonomi. Minat mahasiswa untuk mempelajari ilmu ekonomi yang mencapai puncak pada tahun 1980, mulai surut. Setidaknya, di Harvard, kini ilmu politik (pemerintahan) telah mengalahkan ilmu ekonomi sebagai mata kuliah favorit. Semakin banyak pakar ekonomi yang mempertanyakan keabsahan dalil-dalil ekonomi. Ironisnya, pendekatan, metode, dan teknik baru yang mereka kembangkan justru semakin menyingkap tabir bahwa ilmu ekonomi ortodoks betul-betul rapuh!


Memahami Kemelut Ekonomi

Penyadur buku ini tampak sangat menguasai masalah, sehingga pembaca diperkaya dengan perbandingan-perbandingan serta ilustrasi dari buku dan pakar yang lain. Dilengkapi dengan gambar dan visualisasi, terasa persoalan ekonomi yang pelik menjadi ringan dan mudah dipahami. Di sini letak kekuatan buku ini!

Contohnya, ketika menjelaskan (dan kemudian menunjukkan titik kelemahan) competitive equilibrium (halaman 174-183), penyadur tidak menggunakan rumus yang membuat dahi mengkerut. Tetapi memanfaatkan visualisasi menarik (hal. 181). Di sana, secara jelas digambarkan salah satu rumus equilibrium. Di pojok kanan bawah, dijelaskan titik lemahnya. Bahwa rumusan itu berlaku dengan banyak pengandaian. Jika salah satu pengandaian tidak sahih, maka gugurlah rumus itu!

Di saat perekonomian kita dilanda krisis seperti saat ini, buku ini terasa banyak membantu mengungkap berbagai hal yang terasa misterius. Dan jawabannya sungguh terbalik dan menyentak.

Bayangkan saja! Kucuran bantuan dari dana moneter internasional (IMF) yang dianggap ampuh membantu krisis moneter di berbagai negara Asia seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, justru menjadi sandungan dan tak memperbaiki situasi. ''Dalam praktik para ekonom ortodoks di IMF dan Bank Dunia justru sibuk menaikkan gaji mereka sebesar 38 persen'' (halaman 14).

Kalau di Inggris dan Amerika buku ini memicu kontroversi, bukan tak mungkin di negeri kita pun sadurannya bakal menyentak. Minimal menggugah kesadaran kita bahwa kini krisis ekonomi di Tanah Air bukan melulu disebabkan faktor ekonomis, melainkan multidimensional dan kompleks.***
[Suara Pembaruan. 24 Desember 1997, hlm.16]

Jumat, 18 Desember 2009

Flamboyan Kembali Berbunga



Bulan Desember adalah musim flamboyan berbunga. Pesonanya luar biasa, sehingga jadi inspirasi saya membuat judul novel tahun 1987.

Senin, 14 Desember 2009

Jakob Oetama, Viola Ojong , dan Saya


Jakob Oetama dan P.K. Ojong adalah pendiri Kompas Gramedia. Dwitunggal tokoh pers itu dikenal sebagai intelektual, sekaligus tokoh nasional.

Kesempatan emas saya bertemu beliau, sempat bincang-bincang ketika Pak Jakob, sebagai pendiri, berkunjung ke Universitas Multimedia Nusantara. Beliau mengatakan, media (khususnya media cetak) hari ini mengalami tantangan luar biasa. Bukan saja dari sisi content karena berjejalnya informasi di mana setiap orang senantiasa di-push informasi apa saja melalui multimedia, namun juga dari sisi ekonomi dan tuntutan zaman.

"Siapa yang tidak adaptif dan tidak mau berubah, akan mati. Exchange or die," begitu papar beliau.

Pada peresmian kampus UMN, 2 Desember 2009, saya berkesempatan bergambar bersama beliau. Didamping Viola Ojong, cucu pendiri KG yang lain P.K. Ojong, yang kini kuliah di UMN mengambil jursan komunikasi, kami bergambar di lobi UMN, depan lift rektorat.

Peresmian kampus UMN oleh Mendiknas, prof. Dr. Muhammad Nuh.

Agar terlihat ciri kenusantaraannya, Viola saat itu salah satu dari 15 pasang mahasiswa yang mengenakan busana daerah, dalam rangka menyambut kedatangan Mendiknas, Muhamad Nuh. Busana yang dikenakan Viola menuansakan warna oriental.

"Ini cucu Ojong, sohib Bapak yang bersama-sama mendirikan Intisari dan Kompas," saya perkenalkan Viola pada Pak Jakob.

"Wah, hebat juga cucu pendiri KG sekolah di sini," ujar Jakob.

"Y. Bahkan cucu Bapak juga dari Jogja ada di sini," sahut saya.

Dan kami pun ngobrol tentang masa lalu. Tentang visi misi Kompas Gramedia. Dan ihwal cita-cita para founding fahters mengenai pembangunan manusia Indonesia.

Dream comes true. Mimpi kini jadi nyata. Cita-cita para pendiri KG untuk terjun langsung dalam dunia pendidikan, kini kesampaian.

Pak Jakob siang hari 2/12-2009, usai makan siang, tampil di podium. Di atas panggung yang dicancang dengan memadukan modernitas dan budaya lokal hasil kreasi Dyandra itu, Pak Jakob memukau hadirin dengan orasi ilmiahnya. Mengangkat tema "The Rise and the Fall of the Media Industry in Indonesia", Jakob menyihir hadirin yang memenuhi function hall UMN.

Jakob memang salah satu orator ulung. Teknik retorikanya menarik. Repetisi, tekanan suara, lemah lembut, dan penguasaan pangggungnya luar biasa.
Mendiknas didampingi Rektor UMN, Prof. Yohanes Surya, mengunjungi stand pameran karya sivitas akademika UMN.

Usai orasi, Pak Jakob mendampingi Mendiknas Mumahad Nuh meresmikan kampus UMN. Ditandai dengan penabuhan gong dan penandatanganan prasasti. Rektor UMN, Prof. Yohanes Surya dan ketua Yayasan, Ir. Teddy Suarianto pun turut larut dalam kegembiraan saat itu.

Seluruh sivitas akademika UMN, mahasiswa dan dosen, begitu haru. Betapa tidak! Sesudah tiap tahun pindah kampus, mula-mula Wisma BNI 46, lalu Plaza Summarecon, kini UMN menempati kampus baru. Di atas tanah seluas 8,5 hektar, dengan desain berkonsep green campus, universitas yang berlokasi di Scientia Garden ini siap menjadi kawah candradimuka mendidik manusia berkarakter baik dan unggul, terutama di bidang penguasaan ICT. Lantaran sudah tiga kali pindah kampus, maka sivitas akademika yang mengalaminya menyebut sudah "Tri-G" (tiga gedung).
Warna nusantara, busana daerah, ciri Univesitas Multimedia Nusantara. Local content, global vision!

Viva professores! Viva academia! Viva Jakob Oetama. Viva Kompas-Gramedia!

Minggu, 13 Desember 2009

Jurnalistik Sastra (Literary Journalism) dan Perkembangannya di Indonesia


Fira Basuki, salah satu pendukung jurnalistik sastrawi ketika menjadi dosen tamu mata kuliah yang saya ampu di Fak. Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.

The new journalism, atau jurnalistik sastrawi (bukan jurnalisme sastrawi, sebab tidak pernah dua kata sifat menjadi satu, dan ini salah kaprah!) kini kembali jadi perbincangan hangat. Terutama setelah Molly Blair (2006) merilis disertasinya Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education, yang membahas mengenai unsur-unsur atau apa yang membentuk senyawa journalism.

Separuh menggugat, Blair menyebut contoh apa jenis tulisan yang mengandung jurnalistik dan mana yang tidak. Lebih lanjut, ia memaparkan secara detail posisi jurnalistik sastrawi dalam konfigurasi media hari ini.

Tulisan ini merupakan akhir dari Bagian pertama buku saya "Jurnalatik Sastrawi" yang dalam minggu ini siap dirilis oleh Penerbit Salemba Empat.

***

Kendati di Indonesia baru populer dekade 1990-an, sebenarnya sejak kelahirannya pada 1970-an majalah Tempo sudah mempraktikkan jurnalistik sastrawi.

Teknik reportase, ramuan menulis, manajemen, hingga distribusi Tempo yang khas itu merupakan hasil racikan sendiri. Seperti dipaparkan Goenawan Mohamad, Tempo ketika berdiri merupakan satu-satunya media (cetak) yang menulis laporan dengan teknik bercerita.

Kemudian hari, banyak media mengikuti, seakan-akan cara dan teknik penulisan berkisah itu merupakan pakem dan telah lama ada. Padahal, Tempo menemukannya sendiri dengan jatuh bangun dan coba-coba.

Tentang hal itu, Goenawan menulis, “Sebelum ada Tempo, hanya ada dua jenis penulisan dalam koran dan majalah di Indonesia: berita yang lempang (straight news) seperti di koran, atau artikel, seperti “kolom”. Tempo lahir dengan menyajikan cara penulisan yang berbeda sama sekali –yang sekarang jadi pola di penulisan jurnalistik Indonesia (dan sering tidak pada tempatnya dipakai): bagaimana menyusun sebuah berita tentang sebuah kejadian sebagai sebuah cerita pendek.” (Seandainya Saya Wartawan Tempo, 1997: 4).

Mengapa Tempo begitu mudah memulai dan mengadopsi “jurnalistik-baru” ini? Agaknya, itu karena para awak Tempo (jurnalis, fotografer, hingga jajaran pimpinannya) banyak yang juga sastrawan.

Otomatis, mereka merangkai dan menulis fakta terpengaruh gaya sastra juga, menggunakan teknik serta cermat menerapkan elemen-elemen sastra dalam penulisan dan laporan jurnalistik mereka. Sebagai contoh, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Eka Budianta, Fikri Jufri, Lelila Chudori, dan Bondan Winarno. Ditambah kolumnis yang juga sastrawan seperti Ehma Ainun Najib, Parakitri T. Simbolon, Christianto Wibisono, Jakob Sumardjo, Korrie Layun Rampan, dan Taufik Ismail.

Masih ada jurnalis-sastrawan yang pada awal kemunculan jurnalistik sastrawi dekade 80-an, turut ambil bagian secara aktif memberikan warna pada jurnalistik sastrawi khas Indonesia.

Sebagai contoh, Remy Sylado yang bekerja sebagai redaktur majalah Aktuil, Korrie Layun Rampan di majalah Sarinah, Marianne Katoppo yang bekerja di PSH Grup, Julius Siyaranamual yang bekerja di Harian Surya, Titie Said yang bekerja pada majalah Kartini, Yudhistira ANM Massardi yang bekerja pada beberapa majalah mingguan umum, Seno Gumira Ajidarma bekerja di Jakarta-Jakarta, dan Veven Wardhana yang bekerja di tabloid Citra.

Tradisi jurnalistik sastrawi para pelopor itu, diteruskan generasi berikut, yang juga jurnalis-sastrawan. Para jurnalis-sastrawan itu sukses, terbukti dari penghargaan tingkat nasional maupun internasional yang mereka raih.

Namun, lepas dari pengakuan itu, karya-karya mereka sanggup “menyihir” pembaca dan menjadi tulisan yang kehadirannya senantiasa ditunggu-tunggu. Sebagai contoh, Ahmadun Y. Herfanda yang bekerja di Republika, Ayu Utami di Matra dan beberapa majalah lain, dan Fira Basuki yang bekerja di majalah Cosmopolitan.

Fira Basuki, Ahmadun Y. Herfanda, dan Ayu Utami: jurnalis-sastrawan yang turut mewarnai dan menyosialisasikan jurnalistik sastrawi.Selanjutnya, para awak jurnal Pantau juga gencar menyosialiasikan jurnalistik sastrawi, dengan memberikan pelatihan bagi sejumlah jurnalis baik pada tataran lokal maupun nasional.

Baru akhir-akhir ini, perguruan tinggi turut aktif ambil bagian di dalam pengembangan dan inseminasi jurnalistik sastrawi, namun belum secara holistik sebagai sebuah kajian ilmu seperti di luar negeri.

Hal ini tampak dari beberapa buku dan substansi materi perkuliahan yang masih berpandangan lama, menganggap bahwa jurnalistik sastra, atau feature, ialah “pelengkap” dari hard news.

Padahal, hakikat jurnalistik sastra tidaklah demikian, ia substansi dengan genre yang memunyai tempat dan daya pikat tersendiri dalam konfigurasi jurnalistik modern. Bahkan, karena daya pikatnya, jurnalistik sastra dapat bersaing dengan berita-berita keras dan kecepatan media elektronik di dalam men-deliver informasi kepada khalayak.

Para jurnalis-sastrawan dan sastrawan-penulis itu, sadar atau tidak, telah membawa warna, nuansa, dan gaya baru jurnalistik yang di Inggris, Amerika, dan Australia memang sudah lama dipraktikkan. Sebagaimana dicatat Blair (op.cit.: 22)

The first major example of the crossover between the literary and the journalistic occurred in 1846 when the London Daily News was published with Charles Dickens as founding editor. In Australia, in the mid 1860s, newspapers included in their weekly publications serialised novels and other literary reading matter (Morrison, 1993, p.64). In the late 1880s The Bulletin began to publish regularly the works of writers such as Henry Lawson and Banjo Patterson (Australian Government Department of Communications p.1). In 1923 the weekly news magazine Time was launched in America, followed in 1925 by the New Yorker and in 1933 by Life, Sport Illustrated and Fortune (Stephens, 1997, p.xxi). In Australia, what would become the world’s highest circulating magazine per capita, Australian Women’s Weekly, also emerged in 1933. While this publication is well known today as a monthly magazine, the Weekly was in newspaper format at its inception ("History: The Australian Women's Weekly", 2004, p.1).

Apabila dibandingkan dengan Amerika, Inggris, dan Australia yang sudah lebih dulu mempraktikkan jurnalistik sastrawi, kondisi di Indonesia juga kurang lebih sama. Persilangan antara jurnalistik dan sastra pada era 1970-an juga muncul melalui majalah Tempo dan majalah bulanan Intisari dan Trubus. Gaya penulisan, elemen-elemen, maupun struktur jurnalistik di majalah-majalah tersebut mengandung dan menerapkan teknik penulisan sastra.

Mengapa terjadi persilangan jurnalistik dan sastra pada media yang disebutkan di atas? Jawabannya tentu karena ideologi dan pengaruh dari warna kepenulisan yang dibawakan oleh para sastrawan yang bekerja di media tersebut.

Sastra, Jurnalistik, dan Masyarakat
Jurnalistik sastra dan elemen-elemenya, akan terasa mudah dimengerti, apabila membaca lebih dulu karya sastra-karya sastra bermutu yang berkonteks sosial budaya.
Itu sebabnya, mahasiswa ditugaskan membaca karya sastra bermutu.

Selain untuk memerkaya wawasan dan pengalaman batin, juga melalui bacaan seseorang menemukan gaya dan dapat memetik teknik dan trik penulis lain merangkai fakta menjadi karya jurnalistik. Dengan mengemulasi bacaan-bacaan bermutu, seseorang memeroleh sesuatu yang bermutu pula.

Di sini menjadi genap apa yang dikatakan Lord Bryon, “A drop of ink may make a million think.” Jika diterjemahkan ke situasi kondisi sekarang, kata-kata bijak itu berarti: bacaan bermutu memberi sejuta inspirasi.

Pendidikan jurnalistik sebaiknya didesain sedemikian rupa, sehingga memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat. Dengan menguasai keterampilan menulis genre tulisan non-fiksi kreatif, yang dasar keilmuan dan keterampilannya ialah sastra, seorang jurnalis memunyai masa depan yang cerah.

Sesuai dengan sembilan elemen jurnalistik Bill Kovach dan Tom Rosentiel, yang menegaskan bahwa kerja jurnalistik terhubung dengan warga, maka sejak dini pendidikan calon jurnalis di perguruan tinggi diarahkan pada (kebutuhan) masyarakat...

Wordsmart dan redefinisi kecerdasan

ISTILAH “kecerdasan”, akhir-akhir ini, muncul dalam banyak disiplin ilmu. Bukan hanya dalam psikologi dan pendidikan istilah tersebut dikenal, juga pada disiplin yang lain. Apa yang dimaksudkan dengan “kecerdasan”? Masih samakah pengertian kecerdasan dengan yang pertama kali dipopulerkan Simon dan Binet, yakni kecerdasan intelektual (IQ)?

Redefinisi Kecerdasan: Bukan Hanya IQ
Apakah kecerdasan itu? Sampai hari ini, masih banyak orang beranggapan bahwa kecerdasan sebatas takaran intelektual saja (IQ).

Seakan-akan, tamatlah riwayat dan suramlah masa depan orang yang ber-IQ jongkok. Padahal, kenyataan sehari-hari tidak demikian. Ada orang yang tingkat IQ-nya biasa-biasa saja, namun sukses dalam hidup. Sebaliknya, ada orang yang sangat cerdas, namun gagal. Ini membuktikan, hanya mengandalkan kecerdasan IQ saja tidaklah cukup untuk hidup.

Theodore Simon dan Alfred Binet adalah tokoh yang mula-mula memperkenalkan kecerdasan intelektual melalui karya Binet Test or Scale, yakni skala verbal individual yang dikembangkan pada tahun 1905. Skala angka Tes Simon-Binet dirancang untuk memperkirakan dan mengukur kemampuan intelektual relatif dari anak-anak Prancis. Namun, pada 1916, Binet Test direvisi dengan nama Standard Binet Scale yang dicocokkan dengan standar Amerika. Direvisi lagi pada tahun 1937 dan 1960.

Multiple intelligences menurut Howard Gardner


Sumber: http://www.itiadventure.com/multiple_intelligences_handout.jpg

Binet memperkenalkan pula konsep tentang kemampuan rata-rata, khususnya anak-anak pada usia kronologis tertentu. Temuan ini kemudian dikenal dengan istilah Intelligence Quotient (IQ). Simon memasukkan konsep Jean Piaget guna melengkapi tes membaca yang dilakukan Binet atas anak-anak Parisia. Inilah studi yang menjadi titik awal bagi penelitian pakar selanjutnya tentang kecerdasan.

Howard Gardner, profesor ilmu pendidikan pada Harvard University, misalnya. Ia satu dari banyak pakar yang memperluas pengertian kecerdasan dengan menunjukkan adanya tujuh bentuk kecerdasan: linguistik, kinestetik, spasial, logikal-matematikal, musikal, interpersonal, dan intrapersonal. Kemudian, ia menambahkan satu lagi, yakni kecerdasan naturalis.

Dalam kenyataan sehari-hari, kemampuan dan perolehan manusia tidak selalu sama. Ada yang berkemampuan luar biasa, ada yang di atas rata-rata, ada yang biasa-biasa saja, dan ada di bawah rata-rata. Para tokoh ilmu psikologilah yang menemukan bahwa hal itu dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan manusia yang beraneka ragam. Dan tingkat kecerdasan itu dapat diukur dengan alat ukur tertentu, sehingga menghasilkan rentang kecerdasan.

Skor yang dicapai seseorang dari sebuah tes intelegensi didasarkan atas sejumlah persoalan yang dapat dipecahkannya secara tepat. Itulah yang diukur dalam tes IQ. Kuosien (takaran) intelegensi merupakan usia mental dibagi dengan usia kronologis.
Dalam upaya mengkalkulasi usia mental, ditetapkan sebuah norma usia dengan jalan melakukan tes sejumlah besar anak-anak berbagai usia.

Usia mental tersebut merupakan pengukuran tingkat intelegensi seorang individu pada saat testing dilaksanakan. Sebagai contoh, skor rata-rata seorang anak berusia 10 tahun merupakan norma usia 10 tahun.

Pada tingkatan manakah skor IQ seseorang yang memiliki word smart? Ternyata, levelnya sangat tinggi. Ia sejajar dengan profesi pengacara, eksekutif, dan editor. Tingkatan IQ orang yang menguasai word smart 125 hingga 132, satu di antara 20 orang.

Dalam perkembangan selanjutnya, kecerdasan seseorang tidaklah sebatas diukur dari kadar intelegensinya (intelektual) saja. Daniel Goleman menemukan dimensi kecerdasan lain, yakni kecerdasan emosional, yang disebut dengan Emotional Intelligence (AQ).

Dalam bukunya yang laris Emotional Intelligence, Goleman mendefinisikan kembali kecerdasan. Ia menjelaskan mengapa orang dengan IQ tinggi tidak selalu sukses dalam hidup. Sementara orang yang ber-IQ biasa-biasa saja justru, karena menyadari kekurangannya, memunyai daya juang dan dorongan untuk berhasil.

Sejalan dengan perkembangan ilmu, terutama psikologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya, kecerdasan dalam dimensi lain juga ditemukan. Pada tahun 1997, Paul Stoltz memperkenalkan Adversity Quotient atau kecerdasan untuk mengatasi hambatan.

Dikemukakan, seseorang yang semata-mata cerdas secara intelegensia tanpa juga cerdas di bidang lain –khususnya emosional dan daya juang—tidak cukup menjamin menjadi orang yang sukses. Yang menarik, dalam karya itu Stoltz membeberkan contoh konkret pribadi-pribadi yang pintar, namun menjadi gagal atau bahkan menjadi penjahat karena tidak ditopang oleh dimensi kecerdasan yang lain.

AQ pada intinya dapat disarikan dalam tiga bentuk. Pertama, AQ ialah sebuah kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan seluruh segi dari sukses.

Kedua, AQ ialah ukuran bagaimana kita merespons hambatan-hambatan.

Ketiga, AQ ialah perangkat yang memiliki dasar ilmiah untuk meningkatkan respons atas hambatan-hambatan dalam hidup. Teori mengenai kecerdasan untuk mengatasi hambatan yang memulai dengan mendefinisikan kata “sukses” ini dibangun atas banyak riset para cendekiawan dan lebih dari 500 studi di seantero dunia. Ditarik dari tiga ilmu utama: psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neuropsikologi.

Setelah AQ,, muncul lagi kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence (SI). Dimensi ini meyakini tesis bahwa pada hakikatnya manusia tidak semata-mata badaniah, tapi juga rohaniah. Dimensi rohaniah itu adalah spiritual. Agar manusia menjadi seimbang, ia perlu mengembangkan dimensi spiritual tersebut agar ia “terarah” pada Sang Spirit Sejati, asal mula manusia berada dan asal mula segala yang ada (being).

Multikecerdasan
Kecerdasan, sebagaimana telah dijelaskan di depan, tidak hanya IQ. Masih banyak dimensi lain, yang menunjang atau diperlukan, untuk sukses. Seiring dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka IQ tidak semata-mata dikaitkan dengan tingkat intelektualitas seseorang. Karena itu, kecerdasan lalu mengalami evolusi makna.

Namun, apakah kecerdasan itu? Kecerdasan, menurut teori Howard Gardner yang ditemukan dan dikembangkan pada 1983, ialah "The ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture."

Jadi, kecerdasan ialah kemampuan seseorang untuk mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban.

Dalam konteks keterampilan olah kata, seseorang yang memunyai kecerdasan di bidang word smart akan dapat mengatasi persoalan-persoalan seputar dunia penulisan.

Dengan kecerdasannya, yang bersangkutan dapat menyelesaikan soal-soal ujian, mengerjakan paper, skripsi, tesis, disertasi, pekerjaan kantor yang ada hubungannya dengan penulisan seperti copy writing, editing naskah, menulis skenario, menulis artikel, cerita, buku, dan sebagainya. Selain itu, sesuai dengan redefinisi kecerdasan oleh Gardner, seseorang yang memiliki word smart juga berpotensi menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban.

Tes IQ, menurut Gardner, perlu didefinisi ulang. Mengapa? Karena tes IQ tidak dapat mengukur tingkatan atau nilai dari kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu. Multiple intelligences yang dapat mengukur tingkatan atau nilai kemampuan seseorang, termasuk kemampuannya di bidang olah kata.

Oleh karena itu, Gardner memperkenalkan tujuh (kemudian menambahkan satu lagi, menjadi delapan) macam kecerdasan:
• Linguistic intelligence (word smart):
• Logical-mathematical intelligence (number/reasoning smart)
• Spatial intelligence (picture smart)
• Bodily-Kinesthetic intelligence (body smart)
• Musical intelligence (music smart)
• Interpersonal intelligence (people smart)
• Intrapersonal intelligence (self smart)
• Naturalist intelligence (nature smart)

Profesor ilmu pendidikan Harvard University itu, selanjutnya menyarankan agar ditambahkan lagi beberapa dimensi kecerdasan yakni naturalist, spiritual, dan eksistential. Sebab, menurutnya, setiap orang memunyai kecerdasan itu, meski dalam takaran yang berbeda-beda. Orang yang berkanjang berlatih dan mengusahakannya akan terampil.

Sebaliknya, yang tidak berlatih dan mudah menyerah tidak pernah akan keluar potensinya. Meski berpotensi, atau memunyai bibit kecerdasan, jika tidak dikembangkan dan dilatih, maka potensi tersebut tidak pernah menjadi kenyataan.

Selasa, 08 Desember 2009

Trik dan Tips Membaca Cepat

Pengantar
Kemampuan membaca rata-rata orang Indonesia adalah 150 kata per menit (KPM). Ada yang kemampuan membacanya luar biasa, mencapai 1.500-2.000 KPM. Misalnya, Soekarno, Adam Malik, para dosen, utamanya kandidat doktor yang memang diwajibkan harus mampu membaca cepat.

Untuk membantu pembaca, saya menerjemahkan Bab 21 buku Peter Kump Break Through Rapid Reading

Membaca dan mendengarkan adalah dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi pasif. Sedangkan menulis dan berbicara adalah hal yang lain lagi. Salah satu kunci dari membaca cepat dan efektif ialah belajar aktif ketika sedang membaca.

Kenyataannya, kita sudah diajarkan membaca dengan cara “reseptif” (mau menerima), dengan sederhana dapat melahap bahan bacaan dan memetik manfaat apa yang disajikan, dalam banyak hal kita pasif. Banyak dari kegiatan membaca cepat ialah belajar bagaimana jadi lebih agresif di dalam pendekatan Anda.


Pratinjau (advance organizer) adalah istilah yang tepat untuk proses yang coba mengorganisasikan sesuatu sebelum Anda membaca. Maksud dari kegiatan ini ialah meningkatkan pemahaman dan ingatan atas informasi yang akan Anda baca. Istilah yang umum dari advance organizer ialah “pratinjau” dan beberapa orang menyebutnya overview atau survei.

Alasan pratinjau dapat membantu pemahaman mudah dipahami. Jika berkendaraan masuk suatu kota yang belum pernah dikunjungi, Anda akan lebih mudah jika melihat peta dan tahu akan ke mana.

Jika Anda memilih jalan dan tahu mana yang dilalui, Anda akan berjalan perlahan-lahan, mungkin mengeluarkan peta, dan membuat keputusan. Di dalam membaca pun demikian, jika Anda tahu apa yang akan dibahas, maka akan lebih mudah untuk membacanya cepat dan memeroleh pemahaman yang baik.

Bekerja dengan pratinjau membantu sekali. Jika melakukan pratinjau dan kemudian membaca wacana, Anda membaca kembali lebih dari satu kali. Anda beranggapan bahwa seseorang yang membaca dua kali pasti paham lebih baik jika hanya membacanya sekali. Tentu saja, hal ini sangat berguna bagi pembaca cepat, yang dapat membaca seluruh bahan dua kali atau lebih cepat dibanding pembaca lambat.

Harus diingat bahwa proses membaca ganda ialah bagian integral dari bagaimana seorang pembaca cepat memeroleh pemahaman yang baik dibandingkan dengan pembaca lambat.

Meski membaca kembali bahan bacaan lebih dari sekali punya keuntungan tersendiri, apa yang Anda lakukan ketika membaca juga sangat penting. Anda tidak menganggap remeh membaca kembali sesuatu dua kali. Seperti namanya, Anda harus mencoba mengorganisasikan bahan dan semakin baik melakukannya, semakin cepat pula Andadapat membaca bahannya.

DARI SELURUH KE BAGIAN
Ketika pertama kali melihat peta sebelum bepergian, Anda memerhatikan seluruh perjalanan. Ketika sedang mengendara, Anda secara detail mengukur jalan raya. Mungkin Anda melihat peta kota itu dan benar-benar melihat jalan raya yang akan dilalui. Lalu, manakala mulai mengendara, Anda akan melihat lebih banyak lagi. Dan Anda akan dapat menghubungkannya dengan mudah ke seluruh rute yang Anda lalui: Anda akan tahu di mana satu bagian berkaitan dngan keseluruhan.

Ketika membaca, Anda harus mencoba melakukan hal yang sama. Anda melihat keseluruhan, coba menemukan ke mana Anda pergi dan apa yang akan didapat dari bahan bacaan, kemudian baru mulai perjalanan dan menemukan semua bagian-bagiannya.

Biasanya, jika Anda dapat melihat keseluruhannya pertama kali, maka dapat mengetahui bagian-bagiannya. Dengan demikian, Anda dapat mengembangkan pemahaman yang baik akan apa saja yang Anda lihat. Jelaslah mengapa Anda memroleh pemahaman yang baik: pertama, Anda membaca bahan lebih dari satu kali; dan kedua, Anda coba mengorganisasikannya dengan cara yang sedang ditempuh.

MENEMUKAN “PETA” PENULIS
Jika sudah paham bahwa menggunakan pratinjau dapat membantu pemahaman yang baik, Anda tentu ingin mengetahui bagaimana cara melakukannya. Sayangnya, penulis tikdak menyediakan “peta” yang nyata pada buku mereka.

Namun, sering mereka memberikan pada pembaca banyak petunjuk yang dapat digunakan untuk memulai perjalanan. Bahkan, jika penulis tidak memberikan petunjuk pun, Anda tetap bisa memahaminya dengan melakukan pratinjau atas bahan bacaan itu. Kadang menuntut adanya usaha, namun tidak sukar menjadi terampil dalam soal itu. Dan manakala dapat melakukannya dengan mudah, Anda akan merasakan betapa besar manfaatnya di dalam membaca.

BUKU YANG SULIT SERING SANGAT MUDAH
Buku yang dikira sulit justru sering dibuatkan “peta”-nya seperti sering ditemukan dalam buku teks.

Umumnya, buku teks diorganisasikan sedemikian rupa untuk membantu pembaca. Jalan “utama” dinyatakan dalam tanda yang disebut dengan subhead atau dicetak tebal (bold). Sering subhead masih ada lagi anak subhead-nya. Hal ini menunjukkan adanya anak “jalan”. Bab pada buku teks dapat diorganisasikan menggunakan contoh yang berikut ini yang mengilustrasikan pembagian ide tanpa menyertakan teks yang sesungguhnya.

KEHIDUPAN DI KOTA JAKARTA Judul Bab
KOTA MEMBUAT SEGALANYA BERUBAH Subhead
Tingkat Kriminal Lebih Rendah dari yang Diperkirakan Subhead Kedua
Beberapa Wilayah Aman Dibanding yang Lain Subhead Kedua

LEBIH MUDAH TINGGAL DARIPADA BERKUNJUNG Subhead
Kehidupan Turis Bisa Jadi Ribut Subhead Kedua
Wilayah Pemukiman yang Berbeda Subhead Kedua
Layanan Kota Membuat Hidup Lebih Nyaman Subhead Kedua
Angkutan Umum Mengurangi Mobil Pribadi Subhead Ketiga

ANEKA KEUNGGULAN SOSIAL DAN BUDAYA Subhead
Bertebaran Teater dan Gedung Bioskop Subhead Kedua
Alun-Alun Kini Sangat Berguna Subhead Kedua
Musik, Pendidikan, Pergaulan Sosial Subhead Kedua
Olahraga dan Rekreasi Subhead Kedua


Pada contoh ini, Anda hanya membaca semua suhead. Anda memeroleh ide yang baik dari mana penulis “mulai” dan mengetahui apa yang akan dibaca.

MELAKUKAN PRATINJAU KARYA NONFIKSI
Maksud“pratinjau”, yang merupakan lankah pertama dari proses membaca ganda, ialah untuk mengorganisasikan segala sesuatunya lebih dini. Jika sudah diberikan “peta” sebagaimana ilustrasi di atas, maka Anda siap mengambil langkah yang berikut --menemukan banyak hal dari bahan bacaan. Sungguh mudah melakukannya dan memang demikianlah pengalaman yang sudah-sudah. Sebagaimana yang sudah Anda pelajari pada Bab Sebelas mengenai bentuk karya nonfiksi, infomasi kunci berusaha mengelabui pembaca pada awal dan akhir dari karya itu.

Di dalam pratinjau nonfiksi, hal pertama yang perlu dilakukan ialah melihat secara keseluruhan bagaimana organisasi karya itu (dipecah dalam berbagai bagian). Kemudian, menemukan apa gagasan pokok dengan skimming awal dan akhir dari bagian yang lebih besar.

Untuk melakukan skim bagian nonfiksi dengan efektif, baca secara linear beberapa paragraf awal bab itu dan carilah apa yang akan dibicarakan pengarang pada bab itu. Jangan lupa menghubungkannya dengan judul bab. Barulah hal itu menerangkan ide pokok dari bab yang bersangkutan. Maksud karya nonfiksi ialah senantiasa mengomunikasikan sesuatu dan judul bab menjadi bagian penting bagi penulis mengomunikasikan idenya.

Sesudah melengkapi ini semua, Anda boleh menentukan dua pilihan. Anda dapat melompat (ya melompat!) pada akhir bab dan mencari paragraf rangkuman. Bisa paragraf terakhir atau beberapa paragraf sebelum akhir bacaan. Kata-kata sinyal selalu membantu Anda, kata seperti “pendeknya,” “jadi,” “karena itu,” “sebagaimana Anda ketahui,” dan “singkat kata.” Kadangkala tidak ditemukan paragraf rangkuman, namun Anda masih dapat memahami apa yang penulis bicarakan.

Jika terdapat pembagian ide subhead ke bagian lain, Anda dapat melatih pilihan yang kedua. Anda dapat membaca seluruh bab, membaca awal dan akhir dari bagian besar bab yang bersangkutan. Ini akan memberikan pencerahan bagaimana penulis mengembangkan idenya.

Sesudah mengorganisasikan pilihan lebih dini, melalui teknik pratinjau ini, Anda siap membaca.

Mengatasi “Writer’s Block”

Novelis, sebagaimana lazimnya penulis ragam tulisan lain, kerap mengalami kebuntuan. Tidak tahu harus berbuat apa. Oret-oretan yang sudah dimulai, tidak maju-maju. Ide mampat. Mengurutkan dari awal lagi, terasa enggan dan bosan. Jika sampai pada titik ini, buru-buru disimpulkan, “Ah, saya gak bakat jadi novelis!”

Anda putus asa. Daripada memusingkan, kertas yang sudah ada cerita, disobek-sobek. Lalu jadi penghuni tong sampah. Memang, tidak mudah mengatasi apa yang sering disebut dengan ”Writer’s Block”, rintangan yang sering mengambat penulis.

Tidak mudah keluar dari rintangan itu. Namun, rintangan itu bukan tidak dapat dilintasi. Inilah tips, bagaimana mengatasi rintangan menulis, jika suatu ketika Anda mengalaminya.
 Berjalan sejenak. Hirup udara segar di luar. Tataplah sekeliling. Layangkan pandang ke hal-hal yang indah dan menyegarkan. Tautkan hati pada ihwal yang bisa membuat Anda gembira. Lepaskan ketegangan yang Anda alami. Dengan menghirup udara baru, ide Anda muncul lagi. Namun, jangan berjalan terlampau jauh. Sebab, jika ada ide baru yang muncul, Anda bisa segera menuliskannya.
 Baca buku tentang topik yang sedang Anda tulis. Lihat daftar isinya. Tidak harus dibaca semua, cukup ambil poin yang pokok saja. Hal ini akan semakin menajamkan topik yang sedang Anda garap. Sering copy the master jauh lebih baik, ketimbang Anda membaca buku penuntun yang berisi teknik dan teori yang sulit diaplikasi.
 Dengar nasihat atau masukan dari seseorang yang Anda minta untuk mengritik karya Anda. Orang luar sering lebih jeli melihat dan tajam di dalam memberi masukan. Dengarkan. Namun, tetap pusatkan pada apa yang akan Anda kerjakan.
 Buatlah daftar ide yang hendak Anda tulis. Begitu Anda mulai mencatatnya, maka ide yang satu akan melahirkan ide sekuel lainnya. Kejar-mengejar. Masukkan ide itu ke dalam diagram sarang laba-laba (spider map). Anda akan dengan mudah mendeskripsikannya ke dalam kata, kalimat, sampai jadi alinea.
 Jelajahi internet. Dengan menjejajahi internet dan mencari topik yang sesuai dengan apa yang hendak Anda tulis, maka ide baru bermunculan. Suatu situs akan membimbing Anda ke suatu ide baru. Kemampuan untuk menyintesekan berbagai hal akan membuat kisah Anda jadi menarik, sekaligus tajam.

Tujuh belas tips berikut ini dapat membantu Anda menyelesaikan novel. Meski ada ungkapan bahwa novel yang luar biasa tidak pernah tamat.
1. Sebagai penulis, agar tetap bisa produktif, Anda hendaknya jangan masuk ke dalam ihwal teknis seperti mengecek akurasi ejaan, tanda baca, dan salah ketik. Sayang tenaga, pikiran, dan talenta Anda dihabiskan untuk hal yang membosankan, kerja mekanis untuk menyelesaikan proof reading. Pekerjaan ini serahkan saja pada copy editor yang memang ahli di bidangnya untuk menangani karya Anda jika sudah disetujui Penerbit. Biasanya, penerbit memunyai apa yang disebut “gaya selingkung” (in house style), atau syarat-syarat penerimaan naskah. Pelajari dengan saksama! Tapi, asalkan naskah Anda baik dan idenya brilian, besar kemungkinannya akan diterima.
2. Pernahkah terbayangkan bahwa catatan harian (diary) Anda dapat menjadi novel yang luar biasa? Tambahi, bumbui, poles dengan sentuhan imaginasi. Novel Anne Frank sebagai contoh. Atau novel Dealova yang semula merupakan catatan harian penulisnya.

Catatan harian bisa menjadi titik awal membuat novel. Novel yang didasarkan catatan harian disebut epistolary novel.

3. Jika Anda menemui kesulitan mendapat karakter yang kuat untuk novel Anda, mengapa tidak melayang pandang ke sekitar? Lihatlah sekeliling. Baiklah! Anda menyaksikan seorang gadis yang jutek. Dan Anda terobsesi dengan gaya dan perikehidupannya. Bagi orang awam, ini biasa-biasa saja. Namun, di tangan seorang Yennie Hardiwidjaja, karakter itu bisa berkembang jadi novel. Ia kembangkan karakter gadis itu menjadi tokoh protagonis, “Miss Jutek”.
4. Bilamana Anda mendasarkan karakter novel pada teman, sahabat, dan handai taulan, jangan panik. Mereka akan senang membaca novel Anda, sebab melihat itu seakan kaca benggala. Yang menampilkan samar-samar wajah dan karakter mereka. Tidak persis sama, namun penuh dengan parodi dan sindiran yang samar-samar.
5. Gabungkan berbagai genre novel yang pernah Anda baca untuk menghasilkan novel yang luar biasa dan kreatif. Kisah cinta adalah hal biasa, namun mengapa tidak Anda mulai dengan sci-fi/cerita khas Indonesia atau warna lokal/atau kisah cinta dengan setting masa penjajahan Belanda seperti karya Remy Sylado?
6. Camkan bahwa tidak seorang pun ingin mengalami hal yang tidak menyenangkan dalam hidup ini. Karena itu, tulislah ihwal yang menyenangkan saja. Sedapat mungkin tutup novel Anda dengan happy end. Minimal akhir-terbuka (open end), biar pembaca yang meneruskan akhir ceritanya.
7. Senantiasa awali menulis novel dengan alur (plot) yang sudah Anda tetapkan. Plot akan menuntun Anda menghasilkan novel yang bermutu dan menarik. Lebih baik menulis secara teratur, daripada menulis asal digerakkan oleh emosi sesaat atau dorongan seketika. Waktu akan terbuang percuma untuk hal yang tidak perlu.
8. Jangan melakukan submit karya Anda sebelum tamat. Melakukan submit karya Anda, hanya akan merusak jiwa dan menghancurkan willpower yang sudah tertanam sejak awal. Orang jenius seperti Anda, tidak memerlukan kritik yang menghancurkan. Tidak banyak faedahnya mendengar kritikan yang negatif.
9. Buku dan referensi adalah teman setia penulis. Semua ini jadi sumber inspirasi, meneguhkan, dan membuat Anda semkin pe-de. Usai membaca, jemari Anda ditanggung lancar dan lincah menari-nari di atas tuts-tuts komputer. Tidak ada penulis hebat yang tidak suka membaca. Membaca akan melancarkan peredaran darah dan mengisi inspirasi yang sudah prnah dituangkan.
10. Senantiasa benamkan diri Anda dalam hidup nyata. Letakkan PC atau laptop Anda dalam sebuah ruang yang hening dan nyaman di rumah Anda, jauh dari bunyi gaduh dan kebisingan suara pesawat televisi. Tebar jala bagi datangnya inspirasi. Segera tuangkan ke dalam tulisan semua itu.
11. Dalam hidup, kita senang hal yang bervariasi, silih berganti. Jika Anda menggunakan komputer, atau laptop untuk menulis, pastikan untuk mengubungkannya dengan jaringan internet. Ada laptop yang tidak harus menggunakan kabel, hal ini sangat praktis dan memudahkan Anda. Dengan terhubung pada jaringan internet, Anda dapat mengecek akurasi, menambah referensi, dan memberikan inspirasi yang tiada henti.
12. Sebelum menulis novel, baiklah jika Anda merencanakan serial novel Anda. Ini penting, sebab novel perdana yang berhasil, akan menyeret naskah berikutnya menjadi berhasil pula. Ini yang dilakukan J.K. Rowling, sehingga Harry Potter sampai sekuel ketujuh, tetap laris manis. Ayu Utami juga melakukan hal sama, di mana penulis modis nan manis ini menjadikan Saman sebagai fragmen novel perdananya, Laila tak Mampir di New York. Ini adalah taktik marketing. Banyak orang penasaran dan menunggu kisahan berikutnya. Tatkala terbit Larung, pembaca masih memunyai memori menghubungkannya dengan novel sebelumnya.
13. Senantiasa pusatkan novel Anda pada siapa target audience yang ingin disasarkan?
14. Inilah kiat mudah, bagaimana Anda mengatasi hambatan dalam menulis, hal yang menyebabkan Anda mengalami writer's block: Marahi diri sendiri! Kepal kedua tangan dengan geram. Remas-remas rambut Anda (jika Anda memang masih memunyai rambut). Jika botak? Anda bisa mengertakkan gigi, lalu keplak meja. Berseru dengan suara lantang, seperti "Ya Allah, aku ini penulis dungu!", "Aku ingin menaklukkan dunia seperti Gajahmada!", dengan kata-kata: "Dasar bengal! Saya gagal dan gagal lagi! Saya tak pernah bisa jadi novelis hebat!" Jika ini tidak membantu Anda memutus kebuntuan, baca novel kesayangan Anda. Sekali lagi, baca! Anda sudah membaca Harry Potter? Atau novel dalam negeri, seperti: Badai Pasti Berlalu, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Kerudung Merah Kirmizi, Ali Topan Anak Jalanan, Dari Lembah ke Coolibah, Puspa Indah Taman Hati, Kugapai Cintamu, Bungenfil di Tengah Karang. Novel tersebut, selain bermutu, juga indah. Dengan membaca novel bermutu, Anda pun dapat menulis novel bermutu. Camkan kebenaran kata-kata Aristoteles yang diucapkan 23 abad silam bahwa kedigdayaan bukan tindakan, tapi hanya suatu kebiasaan. Kejeniusan seorang novelis dimulai dari kebiasaan (membaca bacaan bermutu). “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.”
15. Berjanji pada diri sendiri. Sekali mulai menulis satu halaman novel, Anda tidak akan mundur dan tidak akan mengubahnya. Ini penting, sebab jika tidak, otak Anda akan terus saja mbulet, dan novel Anda tidak akan pernah selesai. Ingat kisah Lebai Malang yang peragu dan terlampau banyak pikir, akhirnya tidak mengerjakan apa-apa sampai pesta usai. Anda tentu tidak ingin menjadi Lebai Malang, tapi Lebai Untung.
16. Selalu cek, apakah alur novel Anda seperti rancangan semula. Hal ini perlu, untuk menghindari novel yang Anda baca persis seperti yang Anda tulis. Kalau sangat sangat sulit menghindar, karena otak dan hati Anda sudah terbuai novel yang Anda baca, setidaknya usahakan berbeda. Nama, setting, alur, dan konflik adalah pilar yang mudah diganti. Ganti saja! Tidak ada yang suka pada novelis yang melakukan plagiat. Alih-alih menuai hasil, tindak plagiat akan membuat Anda terjerembab dan hancur.
17. Jika mood menulis novel tidak terbendung, dan Anda ternyata sudah menulis lebih dari 150 halaman kuarto spasi ganda, berpikirlah menjadikannya beberapa buku. Buku seperti benang layang-layang, semakin panjang, semakin bagus. Dari Lembah ke Coolibah adalah trilogi. Harry Potter bahkan sampai tujuh jilid. Kalau ada ide baru muncul tatkala Anda menulis novel perdana, jadikan sebagai buku kedua. Dan seterusnya. Membaginya pun harus cerdas: potong ketika cerita akan naik ke puncak.

Sabtu, 28 November 2009

Buku Masa Depan

Era peperless (nirkertas) segera tiba. Ia ada bukan cuma dalam wacana. Era itu telah ditandai munculnya buku elektronik (e-book).

Dan kini, mulai dikembangkan teknologi komunikasi baru, tiga dimensi (3-D). Yakni isi buku plus animasi yang diberi nama augmented reality.

Secara harfiah, augmented reality berarti: realitas yang ditambahkan. Ditambahkan apanya? Ditambahkan detail dan imaginasinya. Sehingga data yang diperoleh lebih kaya dan lebih menarik dibanding buku cetak biasa.

Bukunya sendiri muncul dalam bentuk audio-visual. Menembus dimensi ruang dan waktu. Misalnya, mata telanjang bisa melihat hingga ke dalam-dalam (interior) sebuah bangunan --sebuah media (buku) yang melampaui apa yang bisa disajikan buku cetak biasa.

Maka selalu ada saja ide dan cara menjadikan buku lebih menarik dan lebih hidup. Ini membuktikan, teknologi komunikasi, sebagaimana diramalkan para pakar (Gutkind, Molly Blair), bukan saja mengubah perilaku hidup manusia. Tapi juga budaya dan cara hidup. Bahkan, mengubah pula pola ekonomi dan bisnis, termasuk cara-cara manusia berkomunikasi.

Augmented Reality adalah salah satu teknologi yang akan ditampilkan. Yakni teknologi masa depan yang menggabungkan dunia realitas dan dunia maya dalam waktu real time atau secara langsung.

Sebenarnya, teknologi ini sudah dimulai dan diberi nama Augmented Reality sejak tahun 1990, dimulai dengan coding system, seperti barcode, dan lain-lain.

Sering kali Augmented Reality disebut juga sebagai Mix Reality. Artinya, apa yang dilihat oleh mata kita secara langsung belum tentu yang semuanya ‘real’. Banyak elemen maya yang sudah ditambahkan, sehingga orang akan sulit membedakan mana yang asli atau bukan.

Semua informasi yang ditampilkan dalam bentuk komputer grafis, 3 Dimensi, Audio Video Visual yang dapat muncul di mana saja dan kapan saja untuk dinikmati secara langsung oleh mata kita melalui perangkat digital seperti komputer ataupun handphone.

Buku masa depan, salah satu bentuk visual augmented reality ini akan diperkenalkan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada grand launching, sekaligus dies natalisnya ke-3, 2 Desember 2009 di kampus UMN, Scientia Garden, Gading Serpong, Tangerang.

Sang profesor, yang juga pakar fisika itu, memeragakan buku yang hidup. Dalam buku terlihat burung bisa terbang dan bernyanyi. Inilah buku “masa depan”. Prof. Yohanes Surya, Ph.D. rektor UMN, akan membawakannya lewat presentasi beliau yang dihadiri Mendiknas, Prof.Dr. M. Nuh.

Dengan demikian, augmented reality menyajikan informasi jauh lebih banyak dan detail daripada apa yang dapat ditangkap mata manusia secara langsung. Sebuah perkembangan teknologi komunikasi dengan aplikasi awal pada sistem barcode yang menampilkan realita melampaui apa yang bisa disajikan media dengan platform cetak.

Augmented Reality berkembang dengan pesat mulai tahun 2007 hingga saat ini. Muncul dalam banyak bentuk entah gambar, entah wajah orang, sudah dapat dimasukkan dunia maya tanpa perlu coding system lagi.

Prof. Yohanes Surya, rektor UMN, akan memeragakan augmented reality itu. Sebuah teknologi yang pasti menginspirasi mahasiswa jurusan arsitektur, interior, Desain Komunikasi Visual, dan komunikasi dalam membuat tugas mereka.

Baik proses maupun input buku ini semakin menggeliatkan industri kreatif. Sebab, pembuatan buku jenis ini melibatkan banyak pihak, dengan menggabungkan berbagai disiplin ilmu. Inilah yang disebut konvergensi ilmu dan media, karena melibatkan pakar komunikasi dan kreatif yang menyediakan isi (content), pakar komunikasi visual yang menyediakan dan merancang animasinya, dan pakar teknologi komunikasi (IT) yang menyiapkan alat (tools).

Di situ kita dapat melihat dari selembar brosur, atau buku, bisa timbul animasi sebuah bangunan lengkap dengan interiornya. Tentunya ini akan sangat membantu mahasiswa dalam bidang arsitektur maupun interior. Kita dapat melihat secara jelas desain bangunan lengkap dengan interior di dalamnya.

Kemudian di bidang media telekomunikasi. Kebetulan, UMN merupakan unit usaha Kompas Gramedia. Sehingga teknologi masa depan ini juga bisa digunakan oleh pengelola dan pelaku industri media cetak, seperti koran.

Sebagai contoh, akan ditampilkan animasi 3-D yang dapat dinikmati secara langsung keluar dari sebuah iklan koran. Sungguh ini merupakan teknologi yang akan membantu media cetak untuk bisa berinteraksi dengan para pembacanya bukan saja lebih komunikatif, tapi juga dengan menarik.

Bukan hanya pada koran. Teknologi ini bisa diterapkan pula pada proses kreatif dan pembuatan sebuah buku cerita. Teknologi ini tentunya bisa membantu dan meningkatkan minat anak-anak untuk membaca. Mereka bukan saja memeroleh pengetahuan dari bahan bacaan, tetapi juga memeroleh hiburan. Sebuah teknologi komunikasi baru, yang melampaui media kertas.

Dengan augmented reality, buku bacaan jadi lebih hidup. Ilustrasinya pun bisa bergerak dan berbunyi. Teknologi ini juga bisa diaplikasikan ke dalam packaging sebuah produk, utamanya industri kreatif.

Boleh dikatakan, augmented reality merupakan sebuah inovasi luar biasa, yang bisa meningkatkan penjualan sebuah produk.

Kamis, 26 November 2009

Kahlil Gibran, A Fine Artist yang Menginspirasi Nusantara


Kahlil Gibran was not only one of the world's greatest poets, but he was also a fine artist.

Although Gibran died 78 years ago, his spirit is still alive nowadays, especially in Indonesia. A dozen of his books were translated into Indonesia. No doubt Gibran has inspired many people.


Pengantar
Kahlil “The Broken Wings” Gibran telah 78 tahun lalu menutup mata untuk selamanya. Meski demikian, karya-karyanya hingga kini tetap hidup. Meski sebagian terjemahan-terjemahannya terbilang “payah”, toh karya-karya Gibran laku keras sebagai komoditas. Hal ini terbukti dari cetak ulang yang berulang kali.

Yang menarik, ada beberapa judul yang sama dialihbahasakan dari pemegang hak cipta yang berbeda, toh tetap laku terjual. Ini membuktikan bahwa di Nusantara, Gibran mempunyai banyak penggemar. Bahkan, boleh dikatakan telah menginspirasi banyak orang, utamanya di bidang seni dan filsafat.

Banyak orang mengenal Gibran sebagai penyair hebat. Tentu saja, ini tidak keliru. Namun, sejatinya Gibran punya multitalenta di bidang seni. Ia juga seorang pematung, pelukis, dan filsuf. Karena itu, ia dibaiat sebagai seniman ulung (fine art).

Karya Gibran yang fenomenal dan universal telah banyak menjadi objek riset dan penelitian. Sebagai contoh, lihat karya Suheil Bushrui dan Joe Jenkins berjudul Kahlil Gibran: Man and Poet (One World, 1998) setebal 372 halaman. Studi itu salah satu yang komprehensif yang coba merekonstruksi manusia Gibran dan proses kreatif kepenyairannya.

Tulisan ini jauh dari sebuah riset dalam arti demikian. Sekadar membeberkan fenomena, mengapa karya dan pribadi pujangga besar lintas agama dan bangsa yang wafat pada 10 April 1931 itu demikian menginspirasi Nusantara? Sekaligus me-review sejumlah karyanya dalam edisi Indonesia.

Latar Belakang
Jumat, 10 April 1931 di St. Vincent’s Hospital, New York, merupakan hari “pembebasan” bagi Kahlil Gibran. Pembebasan, karena ia telah lama ditawan oleh rasa sakit berkepanjangan. “Si Api Biru Sejati” telah menjemputnya menemui ajal.
Tim medis yang merawatnya dalam sebuah autopsi mencatat bahwa Gibran mengidap, “cirrhosis of the liver with incipient tuberculosis in one of the lungs”.

Itulah rupanya biang dari penyakit yang kemudian mengantar Gibran beristirahat selama-lamanya. Ia pergi ke alam baka, sebuah tempat yang ia siapkan untuk kelak bertemu dan bersatu selamanya dengan May Ziadah, wanita pujaan hatinya sebagaimana sering diucapkannya dalam korespondensi.

Siapa di antara kita yang tak mengenal Gibran? Tak pelak, dialah salah satu sastrawan terhebat dari dunia Timur yang lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove, tepi Wadi Qadisha di kota Bisharri, Lebanon.

Ibunya bernama Kamileh, seorang janda, ketika ia menikah dengan pria bernama Kahlil Gibran. Suami Kamileh yang pertama adalah Hanna Abd-es-Salaam Rahmeh –dengan siapa Kamileh mendapat anak bernama Boutros —yang berusia enam tahun tatkala Gibran lahir.

Pada usia 12 tahun, Gibran beremigrasi bersama ibu, kakak tiri, dan dua adik perempuannya ke Amerika Serikat. Mula-mula mereka menetap di Boston, selanjutnya di New York.

Meksi demikian, sebagaimana halnya orang Lebanon, Gibran tetap memelihara kecintaan pada daerah bergunung-gunung tempat kelahirannya. Gibran tetap mengambil makanan intelektual dan emosional dari alam dan suasana pedesaan serta tradisi kebudayaan tanah kelahirannya.

Oleh karena itu, meskipun orang-orang terpelajar telah menemukan pengaruh filsuf Jerman, Nietzche dan pengaruh para simbolis Prancis, serta pengaruh pelukis-penyair Inggris William Blake dalam tulisannya; alam Lebanon dan pengaruh mistik Timur tidak pernah benar-benar bisa lekang dari karyanya.

Pentahapan Karya Gibran
Secara garis besar, karier sastra Gibran dapat dibagi dalam tiga tahap. Saya menganut pentahapan karya-karya Gibran, sebagaimana sebelumnya telah dilakukan Suheil Bushrui dan Salma Haffar Al-Kuzbari dalam Gibran: Love Letters (One World, 1999, hal. xiv-xvii).

Tahap pertama, dimulai pada 1905, tahun terbit karya perdananya dalam bahasa Arab, hingga tahun 1918. Pada tahap pertama ini Gibran hanya menulis dalam bahasa Arab. Tahun-tahun awal, Gibran menerbitkan al-Musiqah (Music), ‘Ara’is al-Muruj (Nymphs of the Valley), al-Arwah al Mutamarriadah (Spirit Rebellious), al-Ajnihah ‘l-Mutakassirah (The Broken Wings), Dam’ah wa’Ibtisamah (A Tear and A Smile).

Pada tahap kedua karyanya, antara tahun 1918-1931, Gibran menghasilkan buku al-Mawakib (The Procession), al-‘Asawif (The Tempest) dan al-Badayi’wa’l-Tarayif (Beautiful and Rare Sayings). Akan tetapi, karyanya yang menonjol agaknya yang terbit tahun 1923 berjudul The Prophet dan Jesus the Son of Man (1928).

Dalam karya inilah tampak kenangan Gibran akan Kidung Salomo dan Mazmur, dengan gaung kuat pengaruh Kitab Nabi Yesaya dan Kitab Daniel serta perumpamaan-perumpamaan Yesus.
Adapun tahap ketiga, setelah kematiannya 1931. Gibran meninggalkan dua buah karya yang boleh dikatakan belum rampung sepenuhnya, yakni Wanderer (1932) dan Garden of Prophet (1933).

Namun, oleh para pengamat, dua karya ini disebut-sebut bukan murni karya Gibran. Sebab, keduanya ternyata telah dilengkapi dan dipublikasi oleh Barbara Young, penyair wanita Amerika, yang mengklaim “to have been Gibran’s companion during the last seven years of his life.”

Gibran dan Karyanya di Indonesia
Pengalaman hidup yang dijalaninya, membuat Gibran memandang kehidupan ini tampak suram. Gambaran semacam inilah yang kita tangkap dari sebagian besar karyanya yang berbentuk prosa.

Hal ini nyata dalam bentuk cacophony, bunyi yang menuansakan kesedihan, sebagaimana juga tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Kebalikan dari euphony yang menuansakan kegembiraan di mana vokal lebih dominan. Kita tidak menemukan sebaliknya, cacophony sebagai lawan kata euphony dalam karya Gibran. Yaitu bunyi yang menuansakan keterpurukan, kesedihan, keterasingan dalam hidup dan alienasi.

Bunyi dimaksud kerap muncul dalam konsonan yang berada pada akhir kata. Dapat berupa bunyi bilabial, seperti kerap dijumpai pada puisi-pusi Chairil Anwar dan pada beberapa puisi Joko Pinurbo. Misalnya, seru-menderu, angin lalu, malam buta, mengental pada puisi “Selamat Tinggal” Chairil Anwar (Derai-derai Cemara, 1999: 28).

Gambaran suram juga tampak dalam lukisan-lukisannya, salah satu yang paling mencolok adalah Sorrow ((Dukacita) dan Let me go (Biarkan Kupergi).

Boleh dikatakan, hampir semua karya tersebut kental dengan nuansa mistik dan mencerminkan penghayatan yang dalam tentang dunia spritual. Sang Nabi adalah karya prosa yang dinilai banyak pengamat sebagai master-piece Gibran. Prosa yang diterbitkan tahun 1923 itu kini telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa, termasuk bahasa Indonesia tentunya.

Sang Nabi (The Prophet) adalah masterpiece karya Gibran.

Sang Nabi terdiri atas 28 prosa lirik yang saling berkaitan. Tema yang diusung buku tersebut adalah cinta, kebebasan, doa, dan kematian. Keabadian cinta tanpa harus memiliki merupakan ekspresi diri pribadinya dengan May Ziadah. Hubungan cinta Yesus dengan para wanita, di antaranya Maria Magdalena, menjadi inspirasi bagi Gibran untuk selanjutnya melahirkan Jesus, the Son of Man. Inilah, antara lain penggalan karyanya:

To Mary Magdalene, Jesus had beauty, strength, gentleness:
His mouth was like the heart of pomegranate, and the shadows in His eyes wee deep
And He was gentle, like a man mindful of his own strength.
In my dreams I beheld the Kings of earth standing in awe in His presence.


Gibran begitu mendambakan kebebasan dan cinta. Ironisnya, yang ia dambakan justru tak pernah kesampaian. Di balik pencariannya, sebenarnya Gibran tak dapat menyembunyikan diri sebagai sosok yang putus asa. Lihatlah misalnya, The Broken Wings yang sangat terkenal. The Broken Wings adalah kembaran Romeo-Juliet dalam tutur gaya dan karakteristik Gibran yang berdimensi ketimuran.

Penting mengetahui pengalaman dan suasana hati ketika The Broken Wings ditulis. Tahun 1899, selama liburan musim panas di Bisharri, Gibran merasa galau lantaran sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Karena tak kesampaian, ia frustrasi dan kecewa. Pada musim gugur, ia kembali ke Boston melewati Paris. Pengalaman itulah yang kemudian ia tulis dalam The Broken Wings.

Dalam novel tersebut, Gibran bercerita tentang eksistensi manusia di tengah dunia yang sarat dengan keindahan dan cinta, lantas ternoda oleh sebongkah ketamakan dan kepedihan yang menyakitkan.

Banyak orang yakin, lewat novel tadi, Gibran tengah mengisahkan tentang kegagalan cintanya sendiri --dengan Salma, puteri Faris Karama-- yang mengakibatkan dirinya tetap membujang sampai akhir hayatnya.

Agaknya, diperlukan daya imaginasi yang kuat untuk menangkap “pesan” yang dituliskan Gibran dalam karyanya. Dalam setiap karyanya, Gibran menyodorkan sebuah realita yang dilihatnya lewat bahasa batin. Dan lewat bahasa ini juga, tentunya, karya agungnya hanya bisa dinikmati oleh pembaca.

Tema-tema yang disajikan Gibran dalam setiap bukunya sangat universal. Universalitas tema ini merupakan pengaruh pribadinya sendiri yang universal. Sepanjang garis hidupnya, Gibran tinggal dan menjalani hidup dalam komunitas yang berbeda dan heterogen.

Setelah tinggal di Boston selama tiga tahun misalnya, dia kembali ke Lebanon untuk belajar bahasa Arab (1897-1898). Selanjutnya, Gibran memperdalam masalah seni di Prancis (1908-1910), tepatnya di Paris, bersama dengan August Rodin.

Bakat Gibran belum terasah betul sampai dia ditemukan oleh F. Holland Day, seorang fotografer yang kemudian menjadi tutor dalam bidang seni dan sastra. Di kota seni itu juga, konon Gibran jatuh cinta dan kandas. Suasana hatinya ini digambarkannya dalam novel The Broken Wings.

Untuk mengubur kepedihannya, tahun 1912 Gibran kembali ke Amerika, dan menetap di New York City. Di kota inilah kemampuan dirinya di bidang seni terelaborasi. Gibran menetap di New York City, menghabiskan hari-hari muramnya, sambil berkarya, sampai sang maut datang menjemputnya.

Karena tema yang universal, maka penikmat sastra, di mana pun ia berada, dapat memahami nilai yang terkandung dalam karya Gibran.

Oleh karena itu, di Indonesia, tidak mengherankan jika puluhan buku alih bahasa karya Gibran kini masih gampang ditemui di gerai dan toko-toko buku. Buku-buku itu terjejer di rak-rak, atau bagian depan kaunter toko buku sebagai buku terbitan baru. Bahkan, cukup banyak yang cetak ulang.

Dengan mudah kita menemukan buku Lagu Gelombang, Taman Sang Nabi, Orang-Orang Tercinta, Surat-Surat Cinta pada May Zaidah, Sang Kekasih, Sang Musafir, Sang Nabi, Sang Pralambang, Air Mata dan Senyuman, Panggung Fana, Saya-SayapPatah, Cinta Keindahan Kesunyian, Kelopak-Kelopak Jiwa, Lazarus dan Kekasihnya, Pasir dan Buih, Lebanon: Legenda dan Air Mata, serta buku-buku lainnya.

Grasindo pun tak mau kalah, tampil dengan desain menawan, dilengkapi cover cukup mewah. Yang agak istimewa ialah biografi lengkap dan terbaru Gibran, Kahlil Gibran: Man and Poet karya Suheil Bushrui dan Joe Jenkins. Ini merupakan studi terlengkap dan terdalam oleh pakar yang dilakukan dua tokoh terkemuka Kahlil Gibran Research and Studies Project.

Sementara yang lain ialah Love Letters, berisi surat-surat cinta antara Gibran dan May Ziadah yang mengalami cetak ulang lebih dari dua kali.

Sementara itu, kita juga menyaksikan karya Gibran diterbitkan oleh Fajar Pustaka Baru, Yayasan Bentang Budaya, Dunia Pustaka Jaya. Tetapi jangan ditanya hasil alih bahasanya. Rata-rata, karena penerjemah kurang paham benar latar, suasana, serta konteks lahirnya karya-karya Gibran; hasilnya boleh dikatakan parah.

Dalam Yesus Sang Anak Manusia misalnya, banyak ditemukan kesalahan mendasar –dan kesalahan itu tidak dapat dimaafkan. Sebagai contoh, pantheon yang dalam bahasa Yunani yang berarti: banyak allah (pan = banyak, theon = allah) diterjemahkan sebagai” dewa pan” (hal 238).

Kekonyolan lainnya terletak pada alih bahasa nama-nama tokoh dalam Injil, seperti Yakob Anak Zabadi (maksudnya, Jakobus putra Zebedeus). Atau pada halaman 82 “Saul dari Tarsus” yang maksudnya pasti bukan Raja Saul dalam Perjanjian Lama, tetapi Saulus, nama Paulus sebelum bertobat.

Meski tergolong parah, alih bahasa itu boleh disebut “buruk-buruk papan jati”. Banyaknya buku karya Gibran yang diterbitkan di Indonesia menunjukkan animo masyarakat terhadap karya-karya Gibran cukup tinggi.

Sebagai bukti kecil atas asumsi tadi dapat dilihat pada data komputer yang tersedia di toko buku Gramedia di Jakarta. Di sana, tercatat stok buku Cinta Keindahan dan Kesunyian telah habis terjual. Sementara buku Yesus Sang Anak Manusia, mengalami cetak ulang kedua.

Penutup
Gibran memang telah tiada. Tapi karya-karyanya tetap abadi. The Broken Wings itu akan terus mengepakkan sayapnya. Tidak saja di Amerika dan dunia Timur Tengah, tapi juga di bumi Indonesia. Jasadnya telah lama tiada, namun pribadi dan karya-karyanya terus menginspirasi manusia di segala ruang dan di sepanjang zaman, termasuk Indonesia.

Menjadi pertanyaan: apa yang menyebabkan Gibran dan karya-karyanya abadi, tidak lekang ditelan zaman dan hampa di dalam segala ruang?

Melihat main idea karya-karyanya, serta dari pengamatan terhadap pemikiran dan permenungannya, dapat disimpulkan hal itu karena ia mengangkat tema yang universal, yang sangat dekat dan dialami sehari-hari, apa adanya, seperti: kesepian, kesendirian, ketakutan, cinta, benci, harapan, keputusasaan, kebebasan, kemerdekaan, juga alienasi.

Di sini menjadi tepat pendapat Horatius, pujangga Romawi kuna, bahwa karya seni yang baik ialah yang mengandung unsur dulce (indah) dan berguna (utile). Karya-karya Gibran indah dan berguna. Karena itu, universal dan abadi.


Untuk mengunduh gambar, silakan kunjungi:
http://www.susanneangst.com/poetry/gibran/art/