Selasa, 27 Juli 2010

Kejujuran sebagai kebaikan tertinggi

Saya sedang menempuh studi lanjut Magister Komunikasi pada Program Pascasarjana Universitas Pelita Harapan dan mengambil konsentrasi Media Studies (Kajian Media). Saya ingin berbagi dengan pembaca topik yang pernah saya dalami lewat paper maupun bacaan. Ini salah satu di antaranya.
***

Komunikasi ialah proses menciptakan dan membangun saling pengertian dengan orang lain. Sebenarnya, yang paling pokok dalam komunikasi bukan pertama-tama terletak pada prosesnya, tetapi pada isi (content)-nya. Penting tidaknya isi komunikasi sangat bergantung pada enkoder-dekoder, selain suasana dan konteks pada saat itu.

Dalam (ber-)komunikasi, kejujuran merupakan kebaikan tertinggi (summum bonum). Berkata dan menyampaikan informasi dengan jujur adalah kebaikan tertinggi itu sendiri.

Kejujuran dalam berkomunikasi diukur dengan pengungkapan fakta apa adanya. Manakala fakta yang diungkapkan benar, sesuai dengan kenyataan, maka secara etika komunikasi bisa dikatakan sudah jujur dan kebenaran sudah terpenuhi. Kebenaran yang dimaksudkan ialah kebenaran korespondensial, yakni kesesuaian antara pernyataan-pernyataan yang disampaikan dengan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya terjadi .

Nilai atau kadar kejujuran dalam komunikasi, dengan demikian, dapat ditakar dari seberapa berkorespondensinya pernyataan yang disampaikan dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Bagi umumnya bangsa Barat, mereka akan terus terang berkata dan menyampaikan isi hati dan pikiran apa adanya. Kejujuran bagi mereka adalah menyampaikan apa adanya, baik fakta maupun informasi. Sebaliknya, bagi bangsa Timur, berkata apa adanya dianggap kurang ajar, tidak sopan, dan berkata jujur dapat menyakiti hati orang lain.

Apakah nilai kejujuran di sini berbeda? Nilainya sendiri tidak, kejujuran tetap dijunjung tinggi. Hanya saja, kultur yang berbeda. Selain itu, cara mengatakannya lain. Jika dalam bangsa Barat, komunikasi terjadi secara lugas, apa adanya, blak-blakan. Sebaliknya, pada bangsa Timur isi dalam komunikasi pada umumnya dibugkus dalam metafora, simbol, bahkan kerap paradoks. Untuk mengerti isi atau pesan sesungguhnya maka bahasa dan simbol-simbol ini harus ditafsirkan lagi.

Communications skills di tempat kerja
Keterampilan berkomunikasi, sesuai dengan redefinisi kecerdasan, semestiya diarahkan untuk memecahkan dan menjawab setiap persoalan. Bahkan, dapat menjadi nilai tambah tersendiri dalam segala bidang dan di setiap tempat, termasuk di tempat kerja.
Seseorang yang terampil berkomunikasi, berpeluang unggul dibandingkan orang lain.
Akan tetapi, di era yang penuh dengan persaingat saat ini, menurut The National Skills Task Force di Inggris, keterampilan berkomunikasi saja tidak cukup agar sukses di tempat kerja.

Masih diperlukan sejumlah keterampilan lain lagi, yakni beberapa keterampilan yang disebut sebagai keterampilan generik (generic skills). Keterampilan (ber-)komunikasi masih ditempatkan pada nomor satu, namun seseorang harus pula menguasai keterampilan yang lain.
1. Literacy Skills: keterampilan membaca maupun menulis, membuat catatan, memo, tanda tangan, surat-menyurat, membuat dokumen pendek dan panjang.
2. Physical Skills: kemampuan menjaga kebugaran fisik dan atau stamina.
3. Number Skills: keterampilan menambah, mengurangi, membagi, memahami desimal atau cakap dalam menghitung, dan / atau menguasai matematika dan statistika.
4. Technical ‘Know-How’: cakap mengunakan dan mengoperasikan alat atau mesin, menguasai produk dan layanan, terampil menggunakan tangan.
5. High-level Communication: menguasai keterampilan komunikasi top-down, termasuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, memerintahkan, menyelenggarakan pelatihan atau mengajar orang, membuat pidato atau presentasi dan menulis laporan panjang. Keterampilan ini juga terkait dengan pentingnya menganalisis masalah yang kompleks secara mendalam.
6. Planning: merencanakan kegiatan, mengatur waktu, dan berpikir ke depan.
7. Client Communication: menjual produk atasu jasa, konseling atau peduli pada pelanggan atau klien.
8. Horizontal Communication: bekerja dalam tim atau kelompok, mendengarkan kolega dengan sabar dan penuh simpati.
9. Problem-Solving: mendeteksi, mendiagnosis, menganalisis, dan memecahkan masalah.
10. Checking Skills: keterampilan mengamati dan mencatat hal-hal yang penting untuk perbaikan dan peningkatan.

Kesuksesan seseorang di tempat kerja bergantung pada sejauh mana ia dapat mengelola informasi. Masalahnya, bukan terletak pada seberapa banyak informasi yang dikomunikasikan, namun pada bagaimana membuat makna dari informasi itu, kemudian men-sharing maknanya.

Komunikasi ialah upaya berbagi informasi. Masalahnya, bagaimana caranya kita menciptakan makna? Caranya ialah mengubah informasi menjadi gagasan. Gagasan ialah apa yang kita katakan dan kita tulis. Ketika berkata, atau menulis, kita membuat kalimat.

Gagasan, dengan demikian, ialah pemikiran yang diekspresikan ke dalam kalimat.
Gagasan atau ide sangat penting dalam (ber-)komunikasi. Gagasan ialah mata uang dari komunikasi.

Seperti halnya mata uang, gagasan bisa dinyatakan dalam denominasi besar atau kecil. Ada gagasan besar, ada pula gagasan kecil. Seperti mata uang, gagasan punya nilai dan nilai itu dapat saja berubah. Satu gagasan dapat sangat berharga, sementara gagasan lainnya merosot nilainya.

Sabtu, 24 Juli 2010

The Flying Geese

26 Juli 2010 menjadi hari istimewa buat saya. Mengapa? Pada hari itu, saya reborn. Saya kembali duduk menjadi mahasiswa program magister komunikasi Universitas Pelita Harapan, yang berkampus di Plaza Semanggi, Jakarta. Ketua Program, Prof. Tjipta Lesmana adalah guru saya nantinya.

Saya berharap, Pak Tjip layaknya pemimpin dalam formasi "The Flying Geese" yang menarik maju para mahasiswa mencapai kemenangan (victory), yakni academic excellent, sama seperti dia.

***
Saya tak akan berkisah ihwal studi lanjut itu. Saya hanya berbagi mengenai flying geese. Tahun 1990-an, saya kerap mengikuti seminar internasional di CSIS. Pak Hadi (Hadisusastro) dan Bu Mary (Mari Elka Pangestu) kala itu sangat berpengaruh. Seingat saya, memperingati Pang Lay Kim, Bu Mary menjadi pembicara kunci. Lalu salah satu ekonom Jepang tampil waktu itu sebagai narasumber. Seringat saya, Kenichi Ohmae.

Pada saat itulah, saya mafhum istilah flying geese, dari Pak Hadi.

***

Istilah “flying geese” pertama muncul dari ekonom Jepang, Kaname Akamatsu pada era 1930-an dalam tulisannya yang dimuat di media Jepang, dan selanjutnya dipresentasikan dalam dunia akademik sesudah Perang Dunia II pada 1961 dan 1962 di Inggris.

Khasanah ini pun serta merta diadopsi dunia ekonomi karena sangat menarik dan dapat menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu kawasan --suatu model yang di kemudian haru dapat menjelaskan ihwal integrasi ekonomi kawasan dan pasar bersama yang sokong-menyokong.

Apakah model angsa terbang atau The Flying Geese (FG)? Model ini coba menjelaskan industrialisasi ekonomi yang terlambat dari dari tiga aspek.

Pertama, intra-industri: yakni pengembangan produk dalam suatu negara berkembang dengan satu industri yang tumbuh lebih dari tiga seri kurva, misalnya impor (M), produksi (P), dan ekspor (E).

Kedua, inter-industri: sekuensial kinerja dan pengembangan industri di negara berkembang tertentu, dengan industri yang terdiversifikasi dan upgrade dari barang-barang modal dan atau dari produk sederhana ke yang lebih canggih.

Ketiga, aspek Internasional: relokasi industri proses berikutnya dari lanjutan untuk negara-negara berkembang selama proses terakhir untuk mengejar ketertinggalannya.

Konsep Kaname Akamatsu ini kemudian dikembangkan dan semakin disempurnakan oleh ekonom Jepang, Saburo Okita (1914-1993). Mantan menteri luar negeri Jepang era 1980-an ini memberikan kontribusi besar karena memperkenalkan model FG ke masyarakat dunia, termasuk ke dunia politik dan bisnis.

Dengan demikian, kawasan-kawasan transmisi dari industrialisasi FG didorong perkembangannya oleh proses ketertinggalan melalui diversifikasi atau rasionalisasi sektor industri. Hal ini menjadi sangat terkenal dan menjadi motor dan mofdel pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia.

Lebih jelas dan sistematis, Dr. Saburo Okita mempresentasikan model Flying Geese pada “The 4th Pacific Economic Cooperation Council Conference di Seoul, 1985”. Yang menarik, ia memaparkan secara terperinci –yang kemudian memesona peserta konferensi sehingga menerima konsepnya sebagai sebuah model—ialah penggambarannya tentang pertumbuhan ekonomi kawasan mengikuti formasi angsa terbang.

Inilah model pertumbuhan ekonomi angsa terbang di Asia yang di dalamnya dapat kita lihat formasi sektor-sektor industri. Jepang sebagai pemimpin dalam formasi angsa terbang ini “menarik maju” sesama negara kawasan Asia, utamanya negara industri baru (NIEs) dan ASEAN. Sebagaimana tampak dalam gambar, kawanan angsa terbang membentuk V dan memang mereka sedang terbang, bergerak ke pencapaian tertentu.

Terbukti bahwa ekonomi negara industri baru di Asia tumbuh secara akseleratif, sebagai contoh Taiwan, Korea, dan Singapura. Percepatan laju pertumbuhan ekonomi kawasan ini menarik negara-negara di kawasan Asia Tenggara, sehingga Malysia, Thailand, Filipina, dan juga Indonesia.

Kibasan sayap Jepang dan NIES secara aeoridinamis menarik kawanan angsa di kawasan Asia, sehingga laju pertumbuhan ekonominya pun mengikuti sang pemimpin dalam formasi victory. Berikut ini struktur transformasi di kawasan Asia dalam formasi angsa terbang sebagaimana diperkenalkan Saburo Okita.

Karena terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bangsa-bangsa Asia, di mana sumber daya alam, budaya, agama, dan warisan sejarah saling memberikan kontribusi yang nyata dengan Jepang sebagai yang terdepan. Dengan demikian maka pola integrasi ekonomi pada model Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) lantas dilihat sebagai “keluar dari kotak” karena terdiri atas negara-negara yang boleh dikatakan tingkatan ekonominya kurang lebih sama. Namun, justru inilah keragaman model teori ekonomi dan pembangunan karena setiap teori atau model memunyai kekhasannya masing-masing dan dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan fenomena yang ada.

Jumat, 23 Juli 2010

LIFE and LOVE

Apakah yang paling berharga di dunia ini? Anda dapat membuat litani panjang, lalu menyarikannya menjadi, misalnya, sepuluh. Dari sepuluh menjadi hanya lima. Dan dari lima diperas lagi menjadi hanya dua. Dari sekian banyak hal, atau sesuatu, yang dianggap berharga dalam hidup ini, apakah Anda menyarikan dua hal saja sama seperti saya, yakni life dan love (kehidupan dan cinta)?

John Powel, penulis kenamaan yang banyak menelurkan tulisan-tulisan seputar masalah kebijaksanaan dalam hidup dalam The Secret of Staying Love menulis demikian, “I am convinced that man was meant to live at peace within himself, filled with a deep joy. I am convinced that there should be going on in the heart of every man not a funeral but a celebration of life and love” (halaman 10).

Selebrasi cinta dan kehidupan penting karena tanpa cinta maka kehidupan tidak punya makna dan berjalan tanpa tujuan. Cinta memungkinkan kita berbuat lebih banyak daripada yang bisa kita capai tanpa kekuatannya.

Sering kita menghabiskan sebagian besar waktu mengurus kebutuhan fisik. Setiap hari, kita memastikan tubuh kita makan, bersih, berpakaian, berolah raga, dan beristirahat. Kita juga melakukan rangsangan intelektual dan menempatkan hiburan sebagai prioritas untuk memuaskan diri. Namun, kita kerap mengabaikan kebutuhan yang paling penting, yakni cinta kasih.

Ciri orang yang tinggal dalam cinta (stay in love) ialah menjadikan cinta sebagai kebutuhan emosional yang kuat sebagai keinginan untuk mencintai orang lain dan sesama makhluk. Karena itu, kebutuhan untuk mencintai dan peduli terhadap sesama perlu ditanam dan ditumbuhkembangkan dalam diri kita secara biologis.

Kebutuhan emosional ini yang memungkinkan orang tua untuk rela meninggalkan kebiasaan tidur, makanan, dan kesenangan lain saat membesarkan anak-anak mereka. Kebutuhan ini memungkinkan orang untuk mengambil risiko untuk menyelamatkan orang lain dari bencana alam dan ancaman terhadap manusia lain. Kebutuhan emosional cinta mendorong orang-orang seperti Bunda Teresa, Lady Diana, Paus Yohanes Paulus II dan para pekerja karitatis dan kemanusiaan melakukan sesuatu tanpa pamrih demi sesama manusia tanpa menghitung untung dan rugi.

Mengasihi orang lain akan memungkinkan kita untuk menempatkan kebutuhan dan keinginan orang lain sama seperti kita. Kita akan bekerja lebih keras dan tidak mengenal waktu, kadang-kadang mungkin kita benci pada pekerjaan tersebut, tetapi toh dilakukan demi orang yang kita cintai. Kita akan memahami kondisi orang lain dan sudi mengurus dan merawatnya untuk orang yang kita cintai, entah masih muda entah sudah tua.

Cinta berarti menyayangi, berbagi, memberikan diri, dan pada urutan yang berikutnya baru harta. Kita tidak melukai, membahayakan, atau menyebabkan rasa sakit pada orang yang kita cintai. Sebaliknya, kita berusaha untuk meringankan penderitaan mereka.

Melakukan sesuatu atas dasar cinta, jauh dari keinginan untuk menguasai dan membuat orang lain terikat dan berutang budi, melainkan tentang keinginan orang untuk menjadikan yang bersangkutan bahagia. Cinta sejati bukan didasarkan atas keinginan untuk memiliki atau mengendalikan orang lain; sebaliknya dilandasi oleh keinginan untuk membebaskan mereka.

“Cinta sejati itu memberi,” kata William Arthur Dunkerley. John Oxenham, nama pena penulis dan penyair ini, menggambarkan cinta secara indah, “Love ever gives. Forgives outlives. And ever stands with open hands. And while it lives, it gives. For this is love's prerogatives -- to give, and give, and give.”

Orang yang menjalani hidup berkualitas dan bermakna menjalani hidup lebih hidup. Orang ini juga menatap dan melihat segala hal dengan tatapan kasih. Seakan-akan yang dilihatnya ialah pantulan wajahnya sendiri. Oleh karena itu, kematian bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup. Akan tetapi, kehilangan terbesar dalam hidup, seperti dikatakan Norman Cousins ialah “Segala sesuatu yang mati dalam diri kita ketika kita hidup (Death is not the greatest loss in life. The greatest loss is what dies inside us while we live.” Sesuatu yang mati itu adalah cinta. Ketika cinta hidup, hidup pulalah kehidupan kita. Sebaliknya, ketika cinta mati dalam diri kita maka akan kita menjadi orang yang kehilangan besar.

Boleh dikatakan bahwa cinta ibarat minyak yang memungkinkan roda kehidupan terus berputar. Apabila kita mengasihi orang lain maka kita akan melihat di luar diri kita sendiri, yakni sesuatu yang ada di luar kebutuhan kita dan keinginan kita. Kita mengorbankan waktu, energi, keinginan, dan bahkan kadang-kadang diri kita sendiri karena cinta. Kita lebih sering berkorban demi cinta kepada orang yang kita kenal, namun kerap juga memberikan cinta kepada orang yang tidak kita kenal.

Cinta menjadikan orang pahlawan setiap hari di setiap tempat di dunia ini. Seperti ditegaskan Thomas Kempis, "Cinta bukan suatu beban, orang yang menyinta tidak merasakannya sebagai masalah, upaya yang dilakukan atas nama cinta melebihi kekuatannya. Oleh karena itu, cinta dapat melakukan segala sesuatu, menyelesaikan banyak masalah, dan menjamin orang yang dicintai merasakan efeknya dan memancarkan pula cinta itu kepada orang lain di sekitar."

Definisi utama cinta bukan tentang merasa baik, melainkan berbuat baik. Sebuah contoh dari cinta ialah tindakan Bunda Teresa yang bekerja begitu lama dan begitu keras atas nama cinta. Jika membuka mata maka kita akan melihat bahwa cinta ada di sekitar, sehingga tidak perlu jauh-jauh mencari cinta. Dalam konteks ini, Robert Louis Stevenson berkata, "Inti cinta adalah kebaikan."

Cinta penting, karena tanpa cinta, kehidupan tidak punya makna dan tanpa arah. Seperti dikatakan Frank Tebbets, "Hidup tanpa cinta seperti tumpukan abu di atas tungku kosong yang apinya mati, tawa terhenti dan memadamkan bara." Cinta memungkinkan kita untuk lebih hangat dan lebih hidup dan menjadi pendorong untuk berbuat lebih banyak daripada yang bisa kita capai jika tidak dilandasi kekuatan cinta.

Di antara sekian banyak ungkapan atau quotes tentang cinta, agaknya Thomas a Kempis yang paling mengesankan. Di bawah judul “On Love”, Kempis menulis demikian,

Love is a mighty power,
a great and complete good.
Love alone lightens every burden, and makes rough places smooth.
It bears every hardship as though it were nothing, and renders
all bitterness sweet and acceptable.

Nothing is sweeter than love,
Nothing stronger,
Nothing higher,
Nothing wider,
Nothing more pleasant,
Nothing fuller or better in heaven or earth; for love is born of God.

Love flies, runs and leaps for joy.
It is free and unrestrained.
Love knows no limits, but ardently transcends all bounds.
Love feels no burden, takes no account of toil,
attempts things beyond its strength.

Love sees nothing as impossible,
for it feels able to achieve all things.
It is strange and effective,
while those who lack love faint and fail.

Love is not fickle and sentimental,
nor is it intent on vanities.
Like a living flame and a burning torch,
it surges upward and surely surmounts every obstacle.

Sabtu, 17 Juli 2010

Hold Infinity in the palm of your hand

Seorang jenderal pada 2005 menulis buku berjudul The Willingness to Change. Soemarno Soedarsono, penulis buku tadi, menyimpulkan bahwa perubahan diawali dengan mengubah diri sendiri. Mula-mula ada hasrat yang kuat untuk berubah. Setelah itu, perubahan akan menggelinding bagai bola salju. Makin lama makin cepat dan besar, lalu menerpa dan memengaruhi orang sekitar.

Saya setuju dengan tesis Soemarno, tetapi ingin menambahkan sesuatu. Untuk itu, izinkan saya meminjam puisi termasyhur gubahan pujangga kenamaan, William Blake (1757 - 1827). Larik yang menurut saya bukan saja indah, tetapi juga sarat dengan muatan filosofis. Bernas, sekaligus cerdas.

To see a world in a Grain of Sand,
And a Heaven in a Wild Flower,
Hold Infinity in the palm of your hand,
And eternity in an hour.

Untuk melihat dunia di antara butir pasir,
Dan surga di sela-sela bunga liar,
Genggam sesuatu yang nirbatas pada telapak tangan Anda,
Dan keabadian dalam waktu satu jam.


Saya ingin mengajak Anda merenungkan kalimat yang menyangkut garis tangan, “Genggam sesuatu yang nirbatas pada telapak tangan Anda (the palm of your hand).” Ternyata, garis tangan (0) kita ketika menggenggam menyimpan potensi yang nirbatas (hold infinity). Artinya, jika saja potensi yang nirbatas itu digali, dikembangkan, dan diarahkan, maka sudah cukup sebagai bekal dan pegangan hidup. Masalahnya, banyak orang kurang menggali dan memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.

Jika potensi itu sudah sepenuhnya diberdayakan, maka niscaya Anda akan “see a world in a Grain of Sand, and a Heaven in a Wild Flower.” Akan halnya garis tangan yang di luar cukup melengkapi dan sebagai cadangan energi untuk mengarungi bahtera kehidupan.

Jadikan sebagai kapal sekoci atau sampan ketika bahtera Anda oleng lalu karam tenggelam untuk tetap bertahan, mengapung, dan bermain-main di atas samudera kehidupan.

The Iceberg Theory: Gunung Seribu Janji

Seperti fenomena gunung es, manusia pun memunyai sisi-sisi gelap tertentu yang tidak muncul ke permukaan. Namun, suatu saat akan tampak manakala gunung es kita meleleh.

Fenomenon puncak gunung es tidak saja memunculkan banyak metafora, akan tetapi juga teori. Sebagaimana diketahui bahwa “The Iceberg Theory” (juga populer dengan "theory of omission") ialah terminologi untuk menggambarkan gaya tulisan penulis Amerika, Ernest Hemingway (1899-1961). Hemingway amat populer karena mahakaryanya yang universal dan populis berjudul The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, dan The Old Man and the Sea.

Menurut Hemingway, manakala seseorang menulis menguasai topik yang ditulisnya maka pembaca akan memahami, lalu mengapresiasi tulisannya. Akan tetapi, manakala penulis tidak jelas menyebut (omission) atau menulis sesuatu sehingga kurang “nyambung”, maka ia memberikan kesempatan kepada pembaca untuk meneruskan cerita itu dalam perspektif mereka sendiri. Jeda ini memberikan kesempatan pada pembaca untuk berpikir mengenai alternatif dan setting cerita yang mungkin dibangun.

The Iceberg Theory kemudian dikembangkan dalam berbagai bidang, termasuk di bidang bisnis dan manajemen. Pada 2005, Stephen G. Haines dari Centre for Strategic Management mengembangkan konsep “The Iceberg Theory of Change”, suatu pendekatan sistem berpikir yang dapat meningkatkan kapasitas keunggulan bersaing dalam dunia bisnsis.

Bagaimana konsep itu? Sebenarnya, cukup sederhana. Gambarnya adalah sebuah prisma segitiga. Segitiga yang ada di depan, kita sebut sebagai yang pertama, di tengah adalah segitga yang kedua, dan yang paling kiri adalah segitiga yang ketiga.

Pada segitiga pertama terdapat tiga lapisan, paling puncak (peak) adalah lapisan 1 di mana terdapat gunung es karena letaknya di atas permukaan laut. Puncak ini disebut sebagai isi (content), yakni bagian yang paling tampak dan kasat mata. Untuk meraih keunggulan kompetitif di dunia bisnis, bagian ini memberikan kontribusi 13%.

Pada lapisan yang kedua terdapat apa yang disebut sebagai “proses” yang kata kuncinya adalah “how”. Bagian ini berada di bawah permukaan laut, tidak tampak.

Sementara lapisan ketiga ialah struktur (framework) yang terdapat di dalam kedalaman dasar laut. Struktur ini disangga oleh kultur dan komitmen. Sistem berpikir ada dalam lapisan ini.

Dua lapisan segitita pertama gunung es di bawah permukaan laut ini bersama-sama dengan segitga kedua (resources) dan segitiga ketiga (competences) memberikan sumbangan yang sangat besar untuk meraih keunggulan kompetitif di dunia bisnis, yakni 87%.

Apa hikmat puncak gunung es bagi kita? Banyak sekali. Yang pertama, tentu saja, jangan pernah menilai atau menghahimi orang berdasarkan apa yang tampak di permukaan. Mengapa? Seperti gunung es, permukaan hanyalah apa yang tampak secara fisik, tidak mencerminkan isi dan struktur yang ada di dalam. Sebagaimana dikemukakan Stephen G. Haines bahwa apa yang tampak di atas permukaan baru menggambarkan sebagian kecil (13%) dari isi dan luas gunung es yang sesungguhnya.

Di pihak lain, apa yang ada di bawah permukaan (laut) justru isi dan luasnya lebih besar, yakni 85%. Meski tidak tampak secara fisik, bagian yang terdiri atas dua lapisan ini kontribusinya sangat besar. Proses dan kultur ada di lapisan ini, karena itu, puncak gunung es sebenarnya adalah akumulasi dari bagian yang tidak tampak ini.

Jika judul tulisan ini mengajak pembaca memahami misteri gunung es, artinya kita coba melihat puncak misteri. Di ketinggian pula, biasanya orang menyadari bahwa dia “bukan siapa-siapa”. Setelah bersusah payah mengerahkan tenaga dan pikiran meraih puncak, pendaki menyadari bahwa apa yang diraihnya memerlukan tekad dan mental baja. Hanya orang yang mengalami bahwa mencapai sesuatu tidak mudah akan menghargai pencapaiannya dan memahami para pendaki yang mencoba, namun belum berhasil mencapai puncak.

Indonesia menurut Global Peace Index

Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu, kini tingkat kedamaian dapat diukur dengan alat ukur tertentu. Kita mengenalnya dengan nama Global Peace Index (GPI).

Apakah GPI? GPI ialah suatu usaha untuk mengukur posisi relatif dari bangsa dan kedamaian di suatu kawasan. Ini adalah produk dari Institute for Economics and Peace (Lembaga Ekonomi dan Perdamaian) yang dikembangkan dalam konsultasi dengan sebuah panel pakar internasional dari lembaga perdamaian perdamaian dan think tank dengan data yang dikumpulkan dan disusun oleh Economist Intelligence Unit.

Daftar negara yang meraih predikat “damai”, diluncurkan pertama kali pada Mei 2007. Selanjutnya, dirilis lagi pada Mei 2008 dan pada tanggal 2 Juni 2009. Dan baru-baru ini, diluncurkan pada 10 Juni 2010 yang diklaim sebagai studi pertama untuk peringkat negara di seluruh dunia sesuai dengan kedamaian yang telah diusahakan dan senyatanya terjadi yang dapat diukur dengan indeks tertentu di negara itu.

Alhasil, terdapat peringkat 149 negara (naik dari 121 pada tahun 2007). Penelitian ini adalah buah dari gagasan pengusaha Australia, Steve Killelea dan didukung oleh individu yang amat peduli pada perdamaian dunia, seperti Kofi Annan, Dalai Lama, Uskup Agung Desmond Tutu, mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, Muhammad Yunus, ekonom Jeffrey Sachs, mantan presiden Irlandia Mary Robinson, dan mantan Presiden AS, Jimmy Carter.

Faktor-faktor yang diteliti meliputi faktor internal, seperti tingkat kekerasan dan kejahatan dalam negeri dan faktor-faktor dalam hubungan eksternal suatu negara seperti pengeluaran budget militer dan perang (24 indikator).

Negara yang dikategorikan “damai”, memeroleh nilai indeks lebih rendah. Negara paling damai yang dirilis tiap tahun dimasukkan dalam zona hijau, GPI negara ini di bawah indeks 1,7. Adapun negara-negara yang GPI-nya di atas 1,7 dimasukkan ke dalam zona merah, karena kedamaian di negara itu masih perlu untuk diperjuangkan dan ditingkatkan lagi.

Kelak,jika perjuangannya membuahkan hasil, dan ke-24 indikator berkorelasi positif dengan keadaan damai yang senyatanya, suatu negara dapat masuk zona hijau. Dengan demikian, otomatis mendapatkan predikat sebagai negara yang “damai” di dunia.
Pengamatan dilakukan antara tahun 2007-2010 berdasarkan 24 indikator, termasuk pengerahan dan penggunaan kekuatan militer dalam suatu negara, hingga tingkatan kriminilaitas dan tindakan terorisme.

Di antara negara-negara dunia maka New Zealand menduduki ranking tertinggi negara yang damai. Disusul Islandia, Jepang, Austria, Norwegia, Irlandia, Denmark, Luxemburg, Finlandia, dan Swedia. Terdapat 30 negara yang berada dalam zona hijau (yang GPI-nya di bawah 1,7).

Dari 149 negara yang dicatat GPI-nya berdasarkan hasil penelitian maka Irak menduduki posisi buncit, disusul Somalia (148), Afganistan (147), Sudan (146), dan Pakistan (145). Sedangkan Israel, negeri yang selalu bertikai dengan Palestina sejak puluhan tahun, berada di posisi GPI ke-144. Mengamati situasi dan kondisi negara tersebut, di mana kedamaian masih jauh dari harapan, maka rasa-rasanya rilis oleh GPI layak dipercaya keabsahannya dari sisi ilmiah karena memang terukur dan berkorelasi.

Yang menarik, di manakah posisi Indonesia? Meski dibekap oleh berbagai praktik kerusuhan, sikap anarki segelintir warga, militerisme, premanisme, serta tindak terorisme, masih “beruntung” bahwa Indonesia berada di urutan ke-67. Namun, jangan dulu bangga. Nilai rapor kita masih merah. Masih perlu banyak upaya untuk menjunjung Indonesia menjadi sebuah negeri yang damai, masuk ke zona hijau.

Pada 2007, GPI kita adalah 2.111 (peringkat 78). Merangkak naik menjadi 1.853 pada 2009. Lalu cukup berfluktuasi lagi menjadi 1.946 pada 2010. Bandingkan Irak yang berada di posisi ke-149 (2010) dengan GPI 3.406. Melihat indeks tersebut, rasanya masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan untuk mendongkrak kenaikan peringkat dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang masuk zona hijau.

Damai: mulai dari diri sendiri
Dalam buku Living Values (2001) yang penerbitannya diprakarsai oleh Brahma Kumaris, sebuah organisasi religius bekerja sama dengan Unesco, Diane Tillman, dkk. mencatat bahwa dari 12 nilai universal maka peace (kedamaian) termasuk salah satu di antaranya. Nilai yang sangat penting sebagai prasyarat terciptanya dunia yang lebih baik dan lebih adil ini diakui sesuatu yang tidak mudah diusahakan, namun bukan berarti tidak mungkin.

Bagaimana caranya? Mulailah melakukan sesuatu dari yang paling kecil dan sederhana: berdamai dengan diri sendiri. Yakni berusaha menerima, memaafkan, mengerti, tidak melakukan balas dendam, dan membawa sikap kelemahlembutan dalam setiap kesempatan dan dalam setiap saat. Kemudian, membawanya ke lingkungan sekitar. Baru ke level yang jauh lebih luas.

Akan tetapi, manakala kedamaian dalam sendiri sendiri masihlah sebuah wacana yang “jauh panggang dari api”, bagaimana mungkin mengusahakan dan menciptakan kedamaian di aras global?

Jadi, just do it! Meski kecil sekali pun dan dianggap remeh oleh banyak orang. Omong kosong bicara dan menyuarakan damai, manakala kita tidak mulai dari hal yang kecil, dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan kantor.

Jumat, 09 Juli 2010

The Secret of "Déjà vu"

Pertama kali terminologi déjà vu diperkenalkan oleh periset di bidang fisika berkebangsaan Prancis, Émile Boirac (1851–1917) dalam bukunya L'Avenir des Sciences Psychiques (Masa Depan Ilmu Fisika) yang diperluas dari esai yang ditulisnya ketika masih menjadi mahasiswa.

Pengalaman déjà vu biasanya disertai dengan perasaan akan adanya kedekatan atau keakraban sekaligus keangkeran, keanehan, dan keasingan yang oleh Sigmund Freud disebut uncanny (luar biasa). Pengalaman sebelumnya paling sering dikaitkan dengan mimpi, meski dalam beberapa kasus hal tersebut meneguhkan perasaan bahwa itu benar-benar terjadi pada masa lampau.

Sejak penggalan tahun pertama abad 20, déjà vu menjadi bidang penelitian psikologi dan neurofisiologis. Dari sisi ilmiah, penjelasan yang paling mungkin déjà vu bukan pertama-tama ihwal prekognisi (precognition) atau nubuat (prophecy), namun juga anomali memori, memberi kesan pengalaman masa lampau yang dipanggil kembali (recalled).

Penjelasan ini didukung oleh fakta adanya perasaan dari ingatan pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Namun, ihwal kapan, di mana, dan bagaimana pengalaman terjadi sebelumnya, sukar untuk dipastikan. Demikian juga, seiring berjalannya waktu, seseorang dapat menunjukkan ingatan kuat pada peristiwa atau keadaan ketika mengalami déjà vu.

Lebih spesifik, bisa saja déjà vu merupakan akibat dari tumpang tindihnya saraf yang bertanggung jawab untuk memori jangka pendek (peristiwa yang dianggap sebagai masa sekarang) dan saraf yang bertanggung jawab untuk memori jangka panjang (peristiwa yang dianggap sebagai masa lampau). Peristiwa akan disimpan ke dalam memori pada alam bawah sadar otak, meski telah menerima informasi dan mengolahnya.

Teori lain mengenai déjà vu yang sedang dieksplorasi adalah pandangan. Teori ini menunjukkan bahwa satu mata dapat merekam apa yang dilihat secara fraksional lebih cepat sekian milidetik dari mata yang lain. Penglihatan ini menciptakan ingatan "yang kuat" akan sensasi pada adegan yang "sama" yang kemudian dilihat oleh mata satunya.
Para pakar memang sudah coba menjelaskan déjà vu, namun hingga hari ini rasanya masihlah sebuah pulau misteri yang belum terpecahkan. Pendekatan psikologi barangkali dapat sedikit mengungkap fenomenon ini.

Menurut dr. Naek L. Tobing, pakar di bidang sexology dari negeri sendiri, yang pada hemat kami cukup menjelaskan fenomenon ini dari sisi psikologi terapan, “Manusia cenderung mengulangi hal-hal yang indah dan menyenangkan dan cenderung menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.”

Ke dalam bingkai kecenderungan umum, bahkan sifat naluriah dasar manusia inilah kita menempatkan déjà vu sehingga lebih mudah untuk dipahami. Hal-hal yang indah dan menyenangkan tidak selalu dalam arti harfiah, sebab recall masa lampau dapat pula kita artikan sebagai proses memanggil kembali pengalaman (dan pengetahuan) masa lalu yang ada dalam memori kita untuk tujuan tertentu, misalnya untuk mengisi soal-soal ujian dan menjawab berbagai pertanyaan.

Déjà vu, diakui atau tidak, bahkan kerap kita munculkan dengan sengaja. Pernahkah Anda menyadari, manakala sedang ngobrol, diskusi, atau rapat jika membahas topik tertentu yang ada kaitannya dengan kisah sukses atau terkait dengan cita rasa dan sikap-sikap heroik tertentu, kita cenderung memunculkan dan me-recall pengalaman kita sendiri? Seakan-akan experiences kita mengenai segala sesuatu yang indah, menyenangkan, dan yang hebat-hebat hadir kembali di sini, pada saat ini. Dengan bangga kita menceritakan sesuatu yang pernah kita alami, entah sekadar pamer, entah benar-benar tulus untuk membantu mengatasi masalah dan memberikan kontribusi bagi siapa saja agar tampak bahwa kita hebat.

Sebenarnya, déjà vu bukan hanya ingatan akan pengalaman masa lampau yang datang secara spontan. Ia juga bukan semata-mata monumen atau lambang yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa masa lalu yang pernah kita alami. Lebih dari itu, déjà vu kerap sengaja kita munculkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari harta karun, perbendaharan, sekaligus inheritance kita yang sangat bernilai.

Akan tetapi, jujur harus dikatakan bahwa kerap juga déjà vu muncul dalam suatu konotasi yang agak negatif. Pernah mengamati orang yang terkena stroke yang tidak terlampau berat atau orang yang bagian kepalanya terkena benturan?

Orang yang bersangkutan biasanya akan kehilangan sebagian kesadaran akan masa lalu (long-term memory) perbendaharaan ingatan yang tersimpan dalam memori otaknya sedikit mengalami gangguan seperti komputer yang error karena terjatuh atau diserang virus berbahaya. Penyimpanan file-file dan dokumen tidak lagi rapi, satu dokumen tercampur dengan yang lain, atau bahkan ada yang rusak, sehingga yang muncul bukan yang sebenarnya. Akibatnya, yang dapat dipanggil kembali hanya sebagian saja. Itu pun sudah tidak lagi utuh.

Nah, orang yang yang terkena stroke atau orang yang bagian kepalanya terkena benturan dapat mengalami hambatan untuk pemanggilan kembali memori –seperti komputer yang pernah jatuh dan terserang virus tadi. Saya pernah punya pengalaman seperti ini ketika salah satu orang tua dekat mengalami stroke lumayan berat. Sebagimana kita ketahui bahwa stroke mengakibatkan sebagian syaraf manusia malafungsi. Syaraf bekerja tidak sebagaimana biasanya.

Kembali ke cerita ihwal stroke tadi. Pada detik-detik awal terkena, orang yang mengalaminya tidak dapat berbicara sama sekali. Baru selang beberapa jam kemudian, gerakan mulutnya yang masih bergetar sudah dapat ditangkap kata-kata yang diucapkan. Namun, kesadarannya belum pulih seratus persen. Yang bersangkutan bertanya, “Saya di mana dan apa yang terjadi pada saya?” Daya ingatnya terbatas, hanya tahu masa kini (short-term memory).

Ternyata, rekaman pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam memori perlu waktu untuk pulih kembali. Untuk memulihkannya, perlu waktu dan juga kesabaran. Harus dipancing dengan pertanyaan, baru rekaman masa lalu dapat muncul kembali dan déjà vu adalah salah satu teknik terbaik yang secara efektif dapat memanggil kembali memori yang hilang. Barangkali kondisi seperti ini yang disebut sebagai anomali yang terjadi akibat kurang berfungsinya saraf. Namun, jika memori itu dipancing dan ditata lagi dengan teknik recall, dapat kembali seperti sediakala.

Jika kita punya pengalaman hidup dan bergaul dengan orang tua yang usianya di atas usia 70 tahun ke atas, maka hukum umum yang berlaku ialah bahwa mereka selalu senang berbicara atau mengisahkan pengalaman masa lalu. Sangat jarang topik pembicaraan mengenai masa kini, apalagi tentang masa lampau. Kata kuncinya adalah “saya dulu”, “bukan begitu, kami dulu” “yang benar seperti pernah saya alami”, “wah, saya dulu lebih dari itu”, “itu belum seberapa, waktu saya muda lebih lagi”, dan sebagainya.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan orang tua yang demikian hidup dalam dunia berisi pengalaman-pengalaman masa lalu? Apakah ia hidup di antara dua dunia? Nyatakah dunianya?

Mungkinkah itu fatamorgana terbalik, ibarat memandang cermin di depan, tapi yang dilihat ialah yang ada di belakang, yakni kejadian-kejadian atau pengalaman masa lalu?
Itulah sebagian dari misteri déjà vu. Nyata dialami, tapi masih belum dapat untuk dijelaskan sepenuhnya.

Kamis, 08 Juli 2010

Intuisi sebagai Langkah menuju Pengetahuan (The Plato's Five Stages of Knowing)

Apakah yang dimaksudkan dengan intuisi? Intuisi ialah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati (KBBI).

Sementara Stanford Encyclopedia of Philosophy mencatat, “Intuition is a form of rational insight. Intellectually grasping a proposition, we just "see" it to be true in such a way as to form a true, warranted belief in it. Deduction is a process in which we derive conclusions from intuited premises through valid arguments, ones in which the conclusion must be true if the premises are true. We intuit, for example, that the number three is prime and that it is greater than two. We then deduce from this knowledge that there is a prime number greater than two. Intuition and deduction thus provide us with knowledge a priori, which is to say knowledge gained independently of sense experience.”

Sementara itu, pecatur World Champion, Vladimir Kramnik mengatakan, “Intuition is the immediate awareness of the position, but this is difficult to explain logically. Intuition in a sense depends on knowledge; the more you accumulate, the better your intuition becomes.”

Intuisi adalah kesadaran yang muncul seketika, yang mengatur bagaimana seseorang bertindak. Namun, sukar menejelaskannya secara logis. Semakin kita melatih menggunakannya, intuisi akan semakin baik bekerja.

Intuisi yang terhubung dengan mata batin merupakan mekanisme dari pengetahuan yang muncul dari dalam atau pengetahuan instingtif yang kadang kita tidak tahu dari mana datangnya. Namun, kita mengakui bahwa intuisi dalam banyak hal berperan penting.
Intuisi diperlukan untuk membangun strtategi jangka panjang, membina hubungan, dan ketika harus melakukan tindakan sesegera mungkin tanpa harus berpikir panjang.

Intuisi kadang jauh lebih berperan dalam banyak hal dibandingkan dengan logika. Dapat dikatakan bahwa intuisi membuka saluran bagi alam semesta. Perasaan yang mendorong intuisi jauh lebih besar dayanya dibandingkan dengan otak manusia: intuisi melihat sesuatu atau kesempatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan akal budi. Itu sebabnya, intuisi kerap pula disebut “mata batin”, mekanisme atau pengetahuan instingtif yang tidak memerlukan adanya proses berpikir dan persyaratan-persyaratan pelanaran logis.

Filsuf Aristoteles, dan kemudian para pemikir setelahnya, menyebut bahwa intuisi merupakan sumber alternatif dari pengetahuan, tingkat kesadaran, dan suara batin (inner voice). Kita semua mengalami mekanisme tersebut dalam berbagai tingkatan, demikian pula bagaimana mengembangkan intuisi dan menggunakannya secara baik dan benar.

Itulah sebabnya, Plato (murid Socrates yang mengembangkan pemikiran filsuf sebelumnya) menyebut bahwa salah satu dari lima tahap mencapai pengetahuan adalah intuisi.

Dalam kahasanah filsafat, intuisi kerap dipersamakan dengan deduksi .
Banyak pemikir besar, dari Immanuel Kant hingga Carl Jung menekankan pentingnya intuisi dan dampak yang besar tersebut pada kehidupan pribadi dan profesional. Mereka mendefinisikan intuisi sebagai “a priori” (mendahului) pengetahuan, dan sebagai alat penting dan sangat diperlukan bagi kita sebagai manusia.

Menurut Jung, intuisi ialah salah satu dari empat fungsi utama pikiran manusia bersama dengan sensasi, pikiran, dan perasaan. Dengan menyeimbangkan semua fungsi dalam diri kita, kita memiliki kemampuan untuk memaksimalkan potensi kita. Dia menulis: "I regard intuition as a basic psychological function that mediates perception in an unconscious way. Intuition enables us to divine the possibilities of a situation......"

Intuisi juga merupakan sarana ekspresi diri yang kreatif, terutama dalam dunia seni, musik, dan sastra. Intuisi tidak terbatas hanya pada seni kreatif. Banyak orang yang telah mencapai sukses luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, bisnis dan kewirausahaan, meraih keuntungan karena kemampuannya dalam membuat keputusan yang benar dengan mengikuti kata hati, intuisi, dan perasaan.

Intuisi juga dikaitkan ekspresi diri secara kreatif, khususnya di dunia seni, musik, dan sastra. Intuisi tidak dibatasi oleh seni kreatif. Banyak pencapaian di bidang ilmu dan teknologi, bisnis dan wirausaha, atau hal-hal positif lainnya berawal dari intuisi.

Boleh dikatakan bahwa intuisi menghubungkan seseorang ke alam bawah sadar. Intuisilah yang menghubungkan alam bawah sadar dengan alam sadar kita. Karenanya, kita dapat mendahului kekuatan kreatif, kebijaksanaan, dan pengertian. Semua ini melampaui pengalaman nyata atau akal budi manusia.

Bagaimana mengasah dan mengembangkan intuisi? Berikut ini langkah-langkahnya.
• Tenangkan pikiran dan mendengarkan. Luangkan waktu setiap hari untuk mengalami keheningan. Praktik menenangkan pikiran Anda dengan menggunakan apa pun yang bernapas atau teknik meditasi yang Anda inginkan. Lepaskan kebiasaan untuk berpikir, menganalisis dan mencoba untuk tahu segalanya. Terbuka dan dengarkan. Biarkan pikiran Anda berkelana dan terbuka untuk menjaring ide-ide dan solusi yang datang pada Anda. Ketika mendengarkan intuisi, hubungkan diri Anda dengan pengetahuan yang lebih besar. Biasanya, berkomunikasi melalui simbol, perasaan, dan emosi jauh lebih efektif dan efisien.
• Belajar memercayai firasat dan perasaan halus. Jika ada firasat buruk akan terjadi sesuatu, ikutilah. Apa yang mungkin baik untuk sesorang bisa jadi salah bagi Anda. Pernahkah Anda merasa tidak enak melakukan, atau tidak melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas? Mendengarkan perasaan halus dan memercayai firasat mungkin membantu Anda menghindari kecelakaan lalu lintas atau membuat Anda berada pada tempat yang tepat dan waktu untuk mendapatkan pekerjaan besar, atau pertemuan dengan seseorang. Intuisi Anda adalah panduan batin Anda. Karena itu, belajar untuk mempercayainya. Pada awalnya, percaya mungkin agak menakutkan, tetapi memberikan kesempatan untuk berkembang.
• Sadar dan memerhatikan. Untuk meningkatkan kemampuan intuitif, Anda harus memerhatikan apa yang terjadi di sekitar. Semakin banyak data dan informasi yang Anda serap dari lingkungan, pikiran bawah sadar Anda semakin bekerja dan memberikan sumbangsih untuk membuat keputusan penting. Manakala intuisi Anda menangkap informasi yang dikumpulkan oleh pikiran sadar, semakin Anda menemukan solusi terbaik. Demikian juga pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari pengalaman memberikan sumbangsih bagi penyelesaian masalah. Ingat bahwa informasi yang muncul dari pikiran bawah-sadar berkomunikasi dengan pikiran-sadar melalui intuisi Anda.
Jenis intuisi yang lain memunculkan dirinya dalam kilatan pemikiran atau secuil pengetahuan bawah sadar. Kuncinya ialah memberi perhatian. Semakin Anda memberi perhatian, semakin Anda mengalami intuisi. Manakala Anda tidak pernah mengenal intuisi dan kemudian masuk dalam lingkaran berikutnya yang tidak menyenangkan, Anda akan menyadari perasaan seperti apakah yang dialami. Untuk mencegah hal itu terjadi maka yakinlah untuk tetap memberikan perhatian pada petunjuk dan tanda yang Anda terima.
• Mengaktifkan bawah sadar ketika tidur. Sebelum pergi tidur di malam hari, refleksikan pertanyaan dan masalah yang tidak dapat Anda temukan solusinya pada siang hari. Pikirkan dan eksplorasi berbagai kemungkinan. Hal ini akan memicu imajinasi Anda dan menempatkan bawah sadar Anda untuk bekerja dan akan memberikan solusi kreatif saat Anda tidur. Siapkan pen dan kertas sehingga begitu bangun dari tidur dan terjaga di malam hari, Anda siap menuangkan solusi kreatif itu untuk segera diimplementasikan.
Terdapat lima keuntungan jika Anda mengembangkan, dan kemudian membiarkan intuisi bekerja.

Pertama, mengurangi stres dengan mengidentifikasi dan menangani masalah secara lebih efektif.

Kedua, mengeluarkan kreativitas dan imajinasi.

Ketiga, berhubungan dengan bawah sadar Anda, dan karena itu, membantu Anda menemukan kebenaran tersembunyi tentang diri Anda dan situasi dalam hidup. Dengan berhubungan dengan intuisi, Anda mencegah penumpukan emosi dan pemikiran yang negatif.

Keempat, mengintegrasikan fungsi otak kiri dan otak kanan. Ini akan memberikan Anda perspektif yang lebih lengkap tentang isu-isu.

Kelima, membantu pengembangan diri lebih baik dan membantu membuat keputusan yang lebih integratif. Pada gilirannya, intuisi akan meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan emosional.

Sesudah memahami apa yang dimaksudkan dengan intuisi dan logika, menurut Anda bagaimana hubungan keduanya? Apakah keduanya saling meniadakan atau saling melengkapi? Bertentangan atau merpersyaratkan?

Boleh dikatakan bahwa intuisi ibarat telur dan ayam. Intuisi bekerja lebih dulu mengikuti dorongan yang muncul dari dalam. Sulit untuk dijelaskan secara nalar, namun ada semacam keyakinan kuat yang muncul dari dalam yang membimbing seseorang bertindak atau melakukan sesuatu. Setelah mengikuti apa kata intuisi, ternyata benar. Intuisi baru bisa dibuktikan benar setelah dilakukan atau setelah terjadi. Jadi, pembuktiannya setelah segala sesuatu terjadi (post factum).

Sebaliknya, logika dapat menjelaskan sesuatu secara runtut dan nalar. Ada argumen-argumen logis yang mendasarinya. Ada pembuktian-pembuktian, mulai dari aras empiris hingga aras logis. Dengan kata lain, logika adalah jalan nalar membuktikan kebenaran.
Menurut hemat kami, intuisi dan nalar bukanlah vis a vis dalam arti harfiah. Keduanya datang dari kutub yang berbeda dan entitas yang sama sekali berlainan, sehingga tidak dapat dipertentangkan. Keduanya diperlukan bergantung pada situasi pada situasi dan kondisi.

Dengan kata yang agak ilmiah, intuisi ialah pengetahuan yang bersifat a priori, sedangkan nalar atau pembuktiannya adalah a posteriori. Yang pertama adalah pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman (non-empiris), sedangkan yang kedua berdasarkan pengalaman (empiris).

Dengan bahasa awam, intuisi ialah dorongan dari dalam diri yang begitu kuat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Orang yang mengalaminya sulit menjelaskan dorongan tersebut. Pokoknya, percaya bahwa hal itu baik dan benar. Namun, orang lain sukar untuk mengerti, apalagi memercayainya. Baru setelah terjadi, dan terbukti benar, orang percaya bahwa intuisi tersebut benar adanya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya sudah mempraktikkan kapan keputusan dan tingkah laku didorong intuisi dan kapan didasarkan pada pengalaman (logika). Namun, kita mungkin kurang menyadarinya.

Semoga tulisan ini memberikan suluh yang dapat menerangi Anda menelisik lebih dalam soal intuisi. Sebuah dorongan batin yang bukan saja perlu diasah, tetapi juga sangat mutlak dikembangkan untuk meningkatkan sukses pribadi dan sukses dalam bisnis.