Minggu, 27 Februari 2011

Video on Demand:Interaktif Sekaligus Memanjakan

Video on Demand (VOD). Istilah, atau makhluk apakah gerangan? Nama lainnya ialah Audio Video on Demand (AVOD). Menurut Lambert M. Surhone, Miriam T. Timpledon, dan Susan F. Makrseken (2010), VOD atau AVOD ialah

systems which allow users to select and watch/listen to video or audio content on demand.Television VOD systems either stream content through a set-top box, allowing viewing in real time, or download it to a device such as a computer, digital video recorder (also called a personal video recorder) or portable media player for viewing at any time. The majority of cable- and telco-based television providers offer both VOD streaming, such as pay-per-view, whereby a user buys or selects a movie or television program and it begins to play on the television set almost instantaneously, or downloading to a DVR rented from the provider, for viewing in the future. Internet television, using the Internet, is an increasingly popular form of video on demand.

Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang komunikasi, kini orang tidak lagi pasif saja menerima menu dari suatu stasiun penyiaran atau stasiun hiburan. Kini orang dapat memilih sendiri apa yang dingin ditontonnya sesuai dengan yang diinginkan. Kehadiran video-on-demand (disingkat VOD) adalah sistem televisi interaktif yang memfasilitasi khalayak untuk memilih sendiri atau mengontrol program video dan klip yang ingin ditonton.

***

Seperti layaknya video rental, pelanggan dapat memilih program atau tontonan dalam VOD. Pilihan program dapat berupa judul film, serial TV, acara realitas, video streaming, dan program lainnya. Bukan hanya menonton, khalayak pun dapat menyimpan serta mengunduh program apa saja yang mereka inginkan. Untuk menontonnya, khalayak dapat menggunakan set-top box dari video yang sudah diunduh, atau menggunakan komputer, ponsel, dan alat-alat komunikasi elektronik lainnya yang berkemampuan mengakses konten audio dan visual. Bahkan, sebagian VOD memberikan pelayanan dengan sistem pembayaran per tayangan pay-per-view.

Sistem VOD menurut Chang dkk. (Chang, 1997) semakin memanjakan orang. Salah satu hal yang ingin bisa dicapai dari industri komunikasi adalah memberikan kontrol yang penuh terhadap para penggunanya.

Inilah konsep awal VOD, dan melalui konsep ini, pengguna akan memiliki kebebasan penuh untuk memilih apa yang ingin ia tonton. Semuanya berjalan secara interaktif dan menggunakan tombol serta perintah yang sederhana. Bisa pause, rewind, fast forward, atau apapun yang kita inginkan. Melalui VOD juga akan terbuka peluang untuk menyimpan apa yang kita lihat. VOD menjanjikan kepuasan yang sifatnya lebih personal.

Kepentingan personal seseorang lebih diutamakan dibandingkan kemauan orang banyak. Dengan kata lain, VOD adalah sebuah konsep di mana sistem pertelevisian yang sudah bersifat sangat interaktif dengan fasilitas pemilihan content dari sebuah acara televisi. Content yang dimaksudkan dapat berupa film, serial, potongan berita, atau apapun yang kita inginkan. Semua tinggal sebut, pesan, dan bayar; dan kita pun dapat menikmatinya.

Hal yang perlu ditanyakan ialah “Mengapa sistem seperti VOD ini berpeluang besar berkembang?” Seperti ditegaskan oleh Fridler (1997) bahwa manusia koevolusi dan koeksistensi dengan teknologi komunikasi. Konsep kebebasan memilih dan menentukan yang coba ditawarkan VOD benar-benar merupakan sebuah nilai positif yang diinginkan setiap orang. VOD adalah solusi untuk pemirsa yang merasakan bahwa selama ini mereka dikekang oleh media dan harus menerima menu apa saja yang disajikan sebuah media.

VOD hadir menawarkan “kebebasan memilih” dan melepaskan seseorang dari “keharusan” untuk menonton apa yang tidak disukainya. Dalam VOD, sistem seleksi oleh pasar dan hukum permintaan dan penawaran benar-benar terjadi.

Menarik untuk merunut sejarahnya, kapankah VOD komersial pertama kali muncul. VOD pertama kali muncul di Hong Kong pada 1990 dalam bentuknya yang masih sederhana. Pada saat itu harga Video CD jauh lebih murah, sehingga perkembangannya pun tersendat-sendat.

Meski demikian, sebenarnya konsep VOD telah ada sebelumnya. Sudah ada perusahan cable yang menyediakan pilihan bagi para pemirsanya. Konsep seperti ini membawa pengertian baru bahwa konsumen bisa mendapatkan apa yang disebut “The Entertainment-Information Merger”, yakni penggabungan antara hiburan dan informasi dalam satu paket saja saja. Penggabungan berbagai alat dan fungsi dalam satu medium inilah konsep pokok dari multimedia (Hariyanto Widjaya, 2007).

Penggabungan (multimedia) seperti ini terus dan terus berkembang dan kini kita dapat menikmatinya melalui berbagai teknologi yang berkembang saat ini. Teknologi komunikasi dapat berupa satelit, kabel, ataupun telepon. Sektor yang lain juga ada yang menggabungkan diri dengan konsep VOD ini misalnya computer software.

Melihat kecenderungan semakin banyak orang menggunakan dan terhubung dengan computer software, maka dapat diramalkan bahwa VOD akan terus berkembang. Sebagai contoh, di Inggris pada 1998 sudah muncul perusahaan yang meluncurkan VOD. Nama perusahaannya adalah Kingston.

Efek dominonya adalah bahwa VOD terus berkembang ke seluruh Eropa. Menurut European Audiovisual Observatory, hingga tahun 2006 tercatat 142 VOD berbayar yang beroperasi di Eropa. Di Amerika, VOD berawal dari Hawaii oleh Oecanin Cable pada Januari 2000. Dalam waktu singkat, kini VOD sudah dapat dinikmati oleh penduduk di seluruh negara bagian di Amerika.

Sebagaimana diketetahui bahwa Amerika adalah model dari media culture (Lichter, dkk., 167-168, Douglas Kellner, 2002). Seperti halnya media analog, media digital yang berkembang di Amerika juga berhembus kencang ke berbagai negara.

VOD yang menjadi trend di Amerika, dengan cepat dan masif berkembang ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai perusahaan dari seluruh penjuru dunia sudah menawarkan fasilitas ini. Konsepnya adalah bahwa semua menawarkan video untuk diunduh. Bisa dengan menyewa atau dengan membeli. Semuanya tergantung pada pilihan konsumen.

Dari segi content, VOD semakin bervariasi. Dari segi harga juga terjadi perkembangan yang cukup signifikan. Harga yang murah dan bahkan gratis sudah bisa didapat oleh konsumen. Terutama dari stasiun televisi yang membagi-bagikan programnya. VOD bahkan berkembang sedemikian jauh, kini sudah melahirkan “anak baru”. Misalnya, Near Video On Demand (NVOD).

NVOD dijalankan oleh televisi berbasis kabel dan satellit. Sistem ini memungkinkan seseorang melakukan pay-per-view program yang dikeluarkan oleh multiple-broadcasters. Kelahiran anak baru VOD ini semakin membuat konsumen tidak lagi terikat oleh waktu untuk menikmati acara yang ia inginkan.

Selanjutnya, anak VOD yang lain adalah Push Video On Demand (PVOD). PVOD sebenarnya lebih merupakan duplikasi yang kurang sempurna dari konsep utama VOD itu sendiri. Mengapa demikian? Hal itu karena pada dasarnya PVOD menawarkan hal yang sama dengan VOD, tetapi justru dengan lebih banyak kekurangan. Sebagai contoh, dari sisi memory. Program yang bisa kita unduh hanya bertahan seminggu karena keterbatasan memory ini. Interaktif juga agak kurang terjadi pada PVOD.

Masih ada satu lagi yang menjadi pengembangan VOD, yakni apa yang disebut dengan “Manufacturing on Demand” (MOD) yang dikenal juga dengan DVD on Demand. Bentuknya bisa berupa DVD karena konsumen bisa memiliki perangkat keras dari apa yang ia inginkan. MOD menjadi pilihan bagi perusahaan pembuat film atau serial televisi yang memiliki sesuatu yang diprediksi tidak akan begitu laku di pasaran. Tetapi jika ada copy digitalnya, perusahaan pembuatan film tetap bisa menjualnya kepada orang yang menginginkannya saja.
***
Sebagai negara berkembang yang masyarakatnya belum seluruhnya melek media, konsep VOD di Indonesia saat ini belum terlalu berkembang.

Jangankan turunannya, konsep dasarnya sekalipun masih belum banyak yang tahu dan memanfaatkan. Akan tetapi, tanda-tanda penggunaan VOD sudah tampak. Misalnya, ada sebuah situs www.e-dukasi.net yang menawarkan VOD untuk materi yang dapat dipelajari. Bentuk dan tampilannya masih sederhana, tapi sangat boleh jadi bahwa ini merupakan titik awal berkembangnya VOD di negeri kita.

Kemungkinan berkembangnya teknologi VOD di Indonesia tetap ada, tetapi dibutuhkan sebuah breakthrogh dari salah satu perusahaan untuk memopulerkan VOD seperti yang dilakukan Astro dengan Liga Inggrisnya pada kasus Pay TV. Selain untuk sarana edukasi, belum banyak VOD yang beredar di Indonesia saat ini. Hal ini lagi-lagi kembali ke persoalan melek media.

Akan tetapi, melihat konsep VOD yang mengusung sesuatu yang sejak dulu diinginkan manusia yakni “kebebasan” maka VOD suatu ketika akan berkembang di negeri kita seiring dengan evolusi dan eksistensi manusianya. Di alam demokrasi, kebebasan menjadi keniscayaan dan masyarakat Indonesia tengah mengarah ke sana.

Sesuai dengan teori mediamorfosis, tinggal persoalan waktu, suatu ketika VOD juga akan booming di negeri ini.

Daftar Pustaka
Chang, Shih-fu (ed.). (1997). Video on Demand System. Massachusett: Kluwer Academic Publishers.
Fidler, Roger. 1997. Mediamorphosis: Undestanding New Media. California: Pine Forge Press.
Kellner, Douglas. (1995). Media Culture. Culturaf Studies,Identitv, and Politics Between the Uodern and thePostmodern. London and New York: Routledge.
Lichter, S. Robert, Stanley Rothman, dan Linda S. Lichter (1990). The Media Elit. New York: Communication Arts Book.
Surhone, M., Miriam T. Timpledon, dan Susan F. Makrseken. (2010). Video on Demand. VDM Verlag Dr. Mueller AG & Co. Kg.
Widjaya, Hariyanto. (2007). “Konsep Dasar Multimedia”, sebuah paparan di Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.
www.e-dukasi.net

Sabtu, 26 Februari 2011

Ngayau: Konstruksi Realitas Sosial Masyarakat Dayak Primitif

Citra primitif dan peyoratif orang Dayak berasal dari ulah para pelancong Barat yang menginjakkan kaki di bumi Borneo sejak pengujung abad ke-18 untuk mencari “nilai berita” dan menjual keunikannya.

Sanders (1993) melihat bahwa laporan-laporan para pelancong Barat ini luar biasa pengaruhnya. Citra sebagai suku bangsa yang primitif melekat kuat dalam benak dunia luar. Sanders menunjuk sejumlah penulis, seperti: Belcher, Keppel, Hugh Low, dan Frank Marrat turut membangun dan menyebarluaskan citra orang Dayak sebagai suku bangsa yang primitif, pemburu kepala manusia, hidup tidak sehat karena tinggal di rumah panjang, tidak berpendidikan, dijajah oleh sultan-sultan Melayu, serta tertinggal dari segi perekonomian.

Karya Bock, The Headhunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris (1881) salah satu buku yang secara luas mencitrakan dan menyebarluaskan Dayak sebagai pemburu kepala manusia. Kemudian, Miller pada 1946 melalui Black Borneo semakin mengukuhkan citra Dayak sebagai pengayau. Menurutnya, praktik memburu kepala manusia hanya bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supranatural yang oleh orang Dayak kekuatan tersebut diyakini berada dalam otak (kepala) manusia (Miller, 1946: 121).

Selanjutnya, McKinley (1976: 95, 124) berusaha memahami ngayau lewat semiotika, dalam hal ini struktur dan makna ritual yang berkaitan dengan praktik pengayauan.

Freeman (1979: 234) yang meneliti praktik ngayau di kalangan Dayak Iban mencatat bahwa ritual paling penting dalam upacara perburuan kepala manusia ialah pada saat ngelampang, yakni memotongnya menjadi bagian-bagian kecil. Upacara ritual ini merupakan representasi atau kenangan akan Singalang Burong, dewa perang orang Dayak, yang melakukan hal yang sama dahulu kala. Dengan memotong-motong kepala menjadi bagian kecil, akan mengalirkan benih-benih kehidupan yang apabila ditaburkan nantinya akan tumbuh menjadi sosok manusia.

Pengarung samudera ternama, George Windsor bahkan secara simbolis menggambarkan orang Dayak pada awal abad 18 sebagai “manusia liar”. Hal ini dengan jelas dapat dilihat bagaimana Windsor di dalam mengurutkan prioritas siapa yang harus dikunjunginya setelah berlabuh, kemudian mendarat. Setelah mengunjungi residen kompeni Belanda di Sambas dan sekitarnya, ia kemudian sowan ke istana Sultan Sambas, baru “...interview with some wild Dyaks” (Windsor, 1837: 181-199).

Menurut teori simbolik interaksionisme, urutan kunjungan ini menunjukkan bahwa orang Dayak dipandang sebelah mata, bahkan dianggap belum beradab dengan menyebutnya sebagai "manusia liar". Padahal, orang Dayak baik-baik saja, tidak mengancam atau berusaha untuk membunuhnya. Kisah mengenai percobaan pembunuhan dirinya justru dikisahkan Windsor pada bagian sebelumnya, ketika ia mencceritakan seorang nelayan di pantai pulau Jawa coba mengakhiri nyawanya di atas kapal.

Pertemuan Dayak se-Borneo Raya di desa Huron Anoi, Kahayan Ulu, Kalteng 1894 yang diprakarsai kompeni Belanda sepakat mengakhiri praktik ngayau. Sejarah mencatat bahwa Dayak bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara yang melakukan praktik headhunting, tapi suku lain, di salah satau pulau besar selain Kalimantan.

Citra suku bangsa pengayau oleh penulis asing haruslah diubah. Selain sudah lama tidak ada lagi praktik ngayau, hal ihwal tentang Dayak harus ditulis orang Dayak sendiri. Mengapa? Karena mereka yang paling paham sejarahnya dan tahu bagaimana cara menulisnya dengan benar. Sebagai contoh, betapa banyak ketidakakuratan penulis asing di dalam menulis tentang Dayak yang hingga kini salah kaprah.

Buku saya yang berikutnya Ngayau: Konstruksi Realitas Sosial Masyarakat Dayak Primitif.

Rabu, 23 Februari 2011

Linguistic Relativism and the Sapir-Whorf Hypothesis: Contoh Kasus Indonesia

Berbicara mengenai “Sapir-Whorf hypothesis”, tidak dapat lepas dari konteks bahasa sebagai simbol atau lambang untuk menyampaikan gagasan atau pemikiran. Namun, apakah yang dimaksudkan dengan simbol?

Merriam-Webster Dictionary mendefinisikan simbol sebagai “something that stands for or suggests something else by reason of relationship, association, convention, or accidental resemblance; especially : a visible sign of something invisible.”

Makna leksikal tentang simbol di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bruner dkk. bahwa terdapat dua posisi ektrem dari hubungan antara bahasa dan gagasan yang lazim dilukiskan dengan “mould theories” (teori cetakan) dan “cloak theories'' (teori jubah).

Teori Cetakan berasumsi bahwa bahasa adalah “a mould in terms of which thought categories are cast“ (Bruner et al. 1956, hal. 11.). Bahasa dalam teori ini dipandang sebagai representasi, atau cetakan, dari pemikiran si penuturnya. Sementara Teori Jubah berasumsi bahwa bahasa ialah bungkusan atau baju yang menutupi isi yang sebenarnya, yakni pemikiran si penuturnya (language is a cloak conforming to the customary categories of thought of its speakers).

Doktrin bahwa bahasa adalah “bungkusan dari pikiran” sangat fundamental dalam teori sastra Neo-Klasik, tetapi ditolak oleh aliran Romantis. Ada juga pandangan yang terkait (terutama kaum Behavioris) yang meyakini bahwa bahasa dan pikiran adalah identik. Menurut teori itu, pemikiran adalah sepenuhnya linguistik: tidak ada “pikiran non-verbal”, tidak ada kesenjangan antara pikiran dan bahasa. Pikiran dipandang sebagai sepenuhnya ditentukan oleh bahasa.

***
Sapir-Whorf thesis muncul sebagai teori yang menyatakan bahwa bahasa sesungguhnya relatif. Artinya, bahasa berelasi atau tidak dapat dilepaskan dari si penutur bahasa itu sendiri. Dalam konteks relasi antara gagasan dan bahasa inilah muncul “The Sapir-Whorf thesis”, yang mengacu kepada penemunya, yakni pakar linguistik Amerika Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf.

Hipotesis kedua pakar linguistik ini menyatakan bahwa bahasa berelasi dengan si penuturnya. Oleh karena itu, makna suatu objek ditentukan oleh bagaimana objek tersebut dibahasakan. Menurut Sapir (1929), manusia tidaklah hidup sendirian di dunia ini, tidak juga sendirian dalam sebuah aktivitas sosial, tetapi terutama manusia hidup dalam bahasa tertentu yang menjadi media ekspresinya.

Human beings do not live in the objective world alone, nor alone in the world of social activity as ordinarily understood, but are very much at the mercy of the particular language which has become the medium of expression for their society. It is quite an illusion to imagine that one adjusts to reality essentially without the use of language and that language is merely an incidental means of solving specific problems of communication or reflection. The fact of the matter is that the 'real world' is to a large extent unconsciously built upon the language habits of the group. No two languages are ever sufficiently similar to be considered as representing the same social reality. The worlds in which different societies live are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached... We see and hear and otherwise experience very largely as we do because the language habits of our community predispose certain choices of interpretation. (Sapir 1958 [1929], p. 69)

Pemikiran Sapir pada 1930 dikembangkan oleh muridnya Whorf yang menyatakan bahwa:

We dissect nature along lines laid down by our native languages. The categories and types that we isolate from the world of phenomena we do not find there because they stare every observer in the face; on the contrary, the world is presented in a kaleidoscopic flux of impressions which has to be organized by our minds - and this means largely by the linguistic systems in our minds. We cut nature up, organize it into concepts, and ascribe significances as we do, largely because we are parties to an agreement to organize it in this way - an agreement that holds throughout our speech community and is codified in the patterns of our language. The agreement is, of course, an implicit and unstated one, but its terms are absolutely obligatory; we cannot talk at all except by subscribing to the organization and classification of data which the agreement decrees. (Whorf 1940, pp. 213-14; his emphasis)

Whorf mengamati fenomena bahwa bahasa yang ditutur oleh Native American merepresentasikan pandangan akan realitas bahwa terdapat perbedaan mendasar. Misalnya, bahasa Hopi tidaklah membuat perbedaan antara kata benda dan kata kerja.

Oleh karena itu, orang yang menutur bahasa Hopi menggambarkan dunia sebagai suatu proses yang terus berlangsung. Sementara dalam bahasa Inggris dan Indonesia, kita menggunakan kata benda untuk menyatakan sesuatu yang konstan, Hopi memandang hal itu sebagai kata kerja yang senantiasa berubah-ubah (Adler dan Proctor II, 2011: 198).

Dalam versi yang ekstrem “hipotesis Sapir-Whorf” dapat digambarkan sebagai adanya dua prinsip yang berkaitan. Menurut kaum determinisme, pemikiran kita ditentukan oleh bahasa. Sementara menurut kaum relativisme, orang yang menuturkan bahasa yang berbeda melihat dan berpikir tentang dunia yang berbeda pula.

Sebagai contoh, dalam bahasa, Dayak dan bahasa Madura menyebut gagasan tentang “manusia” secara berbeda. Dayak Jangkang menyebut manusia “ntoyant” (otak yang dapat berbicara), sedangkan Madura menyebut manusia “wong”.

Lebih jelas lagi soal relativisme linguistik dan hipotesis Sapir-Whorf adalah kata Madura "nyare kasap" (mencari penghasilan agar dapur bias mengepul/berasap) dan cara mencari penghasilan "kar-ngarkar nyolpe'" (mengais-ngais seperti ayam, kemudian dimakan). Dayak Jangkang membahasakan “mencari penghasilan” dengan ngogao pongidop (mencari penghidupan), sedangkan caranya mencari penghasilan dengan bokayoh bokokas (berkayuh dan mengais-ngais). Contoh ini dengan jelas menunjuk relasi antara bahasa sebagai dan pikiran (gagasan). Gagasan yang berelasi dengan bahasa ini mempengaruhi perilaku dan kebiasaan (habit).

Atas dasar ini, Whorfian berpandangan bahwa terjemahan satu bahasa ke bahasa lain berpotensi menimbulkan masalah --untuk tidak mengatakannya mustahil. Akan tetapi, hipotesis Sapir-Whorf dapat membantu bagaimana cara kita melihat dunia yang dipengaruhi oleh jenis bahasa yang kita gunakan. Dalam konteks ini, penekanan diberikan pada konteks sosial penggunaan bahasa daripada murni pertimbangan linguistik.

Memang kemudian muncul polemik pro dan kontra Hipotesis Sapir-Whorf. Cukup banyak yang mendukung teori bahwa bahasa adalah “jaket” dari gagasan. Setiap pengaruh linguistik dianggap terkait tidak terutama dalam struktur sistemik formal bahasa yang dalam istilah de Saussure disebut langue (Chandler, 2002 ), tetapi berelasi dengan konvensi budaya dan gaya individu menggunakan bahasa itu sendiri. Makna suatu objek tidaklah berada dalam teks, tetapi muncul dalam interpretasinya, dan interpretasi dibentuk oleh konteks sosial budaya (Berger dan Luckmann, (1966).

***
Relativisme bahasa adalah relasi antara bahasa dan (gagasan) si penutur. Hipotesis Sapir-Whorf ini, setelah diuji melalui contoh kasus bahasa Madura dan bahasa Dayak Jangkang ternyata terbukti benar. Bahwa terdapat relasi antara bahasa dan gagasan si penutur. Dalam dan lewat bahasa dapat dikonstruk gagasan si penuturnya sebagaimana nyata dalam struktur bahasa Hopi dan Dayak Jangkang.

Oleh karena itu, bahasa satu kelompok penutur akan berbeda maknanya dalam kelompok penutur yang lain.

Daftar Pustaka
Adler, Ronald B. dan Russell F. Proctor II. Looking Out/ Looking In. Canada: Wadsworth.
Bruner, J. S., J. S. Goodnow & G. A. Austin.[1956] 1962. A Study of Thinking. New York: Wiley.
Chandler, Daniel. 2002. Semiotics: The Basics. London: Routledge.
Whorf, B. L. (1940): 'Science and Linguistics', Technology Review 42(6): 229-31, 247-8. Also in B. L. Whorf (1956): Language, Thought and Reality (ed. J. B. Carroll). Cambridge, MA: MIT Press.
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/short/whorf.html diunduh 23/02.
http://www.docstoc.com/docs/27142937/Berger-and-Luckman-The-Social-Construction-of-Reality-A, diunduh 23/02.

Selasa, 22 Februari 2011

Shattered Glass sebagai Cermin Budaya Media Massa




Chuck berang pada Steve setelah yakin bahwa cara-cara mendapatkan berita dan sumber berita tidak valid.


Suatu media tanpa karakter (karakter yang baik) tidak akan bertahan lama. Akan tetapi, karakter tadi dibentuk tidak dalam hitungan detik, akan tetapi memakan waktu lama. Habit adalah sekumpulan kebiasaan yang dilakukan dan diteruskan secara turun-temurun (Aristoteles dalam Excelence, 2010). Salah satu cara di dalam memelihara dan meneruskan kultur tadi ialah lewat power structures (struktur kekuasaan).


Copyright©1999, 2000 Holistic Management Pty. Ltd.

Apa yang diangkat dalam film Shattered Glass, sebenarnya adalah cerminan dari kultur The New Republic sebagai sebuah institusi media. Sebagaimana halnya institusi, ia punya kultur sendiri. Menurut E.B. Tylor (1889), budaya ialah “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.”

Dalam kasus Steve (wartawan), ia meliput (misalnya ketika pertemuan akbar para hacker) tidak mencerminkan budaya The New Republic.

Sekilas, editor lamanya Mike seakan tidak peduli bagaimana cara Mike mendapat berita, bahkan cenderung mendukung. Karena itu, pemilik media menggantinya dengan Chuck. Editor baru ini sangat peduli pada sumber dan akurasi narasumber. Karena itu,ia melakukan cross check–atau istilah teknisnya check ability. Mula-mula Steve menolak, lama-kelamaan tidak kuasa, lalu di sana ketahuan dia berpura-pura. Catatannya jurnalistiknya ada, nama narasumber ada, nomor telepon juga ada, namun sulit untuk dibuktikan.

“Aku bukan kriminal mengapa, dipecat?” tanya Steve ketika suatu saat Chuck memecatnya. Rekan-rekannya berpikir, dengan memecat Steve berarti Chuck memecat orang yang setia pada Mike. Ini relitas, sebab di media ada klik-klik. Tapi editor baru (Chuck) bergeming dan mengatakan, “Ia member kita fiksi, ini tidak bida dipertahankan.”

Sikap Chuck sangatlah bijak. Media harus bermula dari fakta dan membangun kepercayaan publik. Kode etik jurnalistik harus ditegakkan.

Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik dengan tegas menyebutkan cara-cara memperoleh sumber berita, “Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat utnuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita.”

Sementara cara dan sikap Stve perlu untuk tidak diteladani. Kultur media haruslah dibangun dari hal yang paling dasar: kebenaran dan fakta, selain good character.

Daftar Pustaka

Edward B. Taylor, Primitive Culture 1 (3d ed. 1889).
Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia Hasil Kongres XII.

Minggu, 20 Februari 2011

Tanah Adat: The Dayak Dilemma (1)

Suku Dayak sebenarnya tidak ada. Yang ada ialah suku Ot Danum, Benuaq, Apo Kayan, Taman, Menyuke, Jangkang, RibutT, dan sebagainya. Ini karena kebiasaan suku asli Kalimantan Raya menamakan suatu kaum menggunakan nama sungai.

Lalu, dari mana istilah "Dayak" muncul? Istilah Dayak muncul dari luar, terutama semenjak kompeni Belanda datang ke Borneo dan mengobok-obok penduduk salah satu pulau terbesar di dunia itu. Tidak percaya? Orang Belanda menamakan koloni yang gemar tinggal di udik atau daratan itu dengan binenlander, atau dalam literatur Inggris disebut dengan "upperside" sebagai lawan kaum Melayu yang suka tinggal di pesisir "riverside". Di Jawa, ada istilah "sak ndayak" untuk menyebut sekelompok orang (banyak).

Dengan demikian, "Dayak" adalah nama koloni untuk menyebut penduduk asli Kalimantan Raya. Di masa zaman raja-raja Melayu berkuasa, para koloni yang tinggal di darat itu termarjinalkan. Ini karena penguasa sungai dan pesisir adalah kaum Melayu (Senganan). Praktis, penguasaan perdagangan dan transportasi ada di tangan bangsa Melayu. Terutama di Kalimantan Barat, sungai sebagai sarana transportasi dan jalur perniagaan sangat vital. Ini terjadi hingga pengujung 1980-an, tatkala sungai-sungai masih menjadi urat nadi dan sumber penghidupan di Kalimantan.

Kondisi mulai berubah sejak jalan darat, terutama trans-Kalimantan dibuka. Sungai sudah tidak lagi vital. Masyarakat Melayu mulai menyadari bahwa kini daratan yang menjadi vital. Mereka tidak punya banyak kepemilikan tanah. Blessing in disguise, kaum Dayak praktis menguasai tanah di Kalimantan. Bahkan, sejak lama, mereka menetapkan tanah adat, tanah ulayat.

Kini banyak pengusaha dari kota mencaplok tanah kaum Dayak. Pola kepemilikan tanah ini menjadi dilema. Akankah tetap menjadi hak kaum Dayak ataukah akan dibagi-bagi?
***

The Dayak Dilemma


Tahun 1970, 11 tahun sejak dibaiat jadi menteri nomor satu di Malaysia, Mahathir Mohamad menerbitkan buku kontroversial, The Malay Dilemma.


Isi buku tersebut sebagai berikut.


1. Introduction
2. What Went Wrong?
3. The Influence of Heredity and Environment on the Malay Race
4. The Malay Economic Dilemma
5. The Meaning of Racial Equality
6. The Bases of National Unity
7. Rehabilitation of the Malays and the Malay Dilemma
8. The Malay Problem
9. Code of Ethics and Value Systems of the Malays
10. Communal Politics and Parties
11. Malaysia and Singapore

Terinspirasi "Soekarno kecil" itu, saya pun ingin menulis buku bertajuk The Dayak Dilemma.

Sabtu, 19 Februari 2011

Narrowcasting atau Broadcasting? Tidak Persoalan, yang Penting Jumlah Viewerships

Baiklah kiranya terlebih dahulu dipahami arti leksikal apa yang dimaksudkan dengan narrowcastig dan broadcasting sebelum masuk ke dalam pembahasan lebih lanjut.

Menurut kamus online Merriam-Webster Dictionary, narrowcastig ialah “radio or television transmission aimed at a narrowly defined area or audience (as paying subscribers).” Adapun broadcasting ialah “to scatter or sow (as seed) over a broad area, to make widely known, to transmit or make public by means of radio or television.”

Narrowcasting adalah istilah yang digunakan untuk semua komunikasi seperti sinyal radio atau televisi yang hanya terbatas bagi orang yang berlangganan atau dinyatakan dilarang disiarkan. Sementara broadcasting ditransmisikan kepada masyarakat umum, tersedia untuk setiap penerima dengan kemampuan untuk menangkap sinyal.

Adapun narrowcasting diarahkan kepada khalayak tertentu melalui peralatan kepemilikan dan enkripsi, atau dengan cara diskriminatif lainnya (Donald P. Cushman dan Dudley D. Cahn, 1985).

Donald P. Cushman dan Dudley D. Cahn selanjutnya menjelaskan bahwa TV kabel merupakan contoh yang paling umum dari narrowcasting. Sinyal yang dienkripsi hanya dapat dilihat di TV dengan terlebih dahulu menjalankan descrambler yang disediakan oleh perusahaan kabel dengan biaya berlangganan per bulan.

Contoh lain dari narrowcasting adalah radio satelit. Radio satelit merupakan radio komersial bebas yang membutuhkan receiver atau tuner yang di Indonesia kini sudah menjadi gaya hidup (Masduki, 2004: 64). Radio satelit juga merupakan layanan berlangganan yang berbayar, namun narrowcasting tidaklah selalu melibatkan adanya biaya sebagaimana ditegaskan Cushman dan Cahn.

Cable and LPTV along with videodiscs and electronic news bases have resulted in “narrowcasting,” defined as the targetting of information and enternainment to predefined audiences, according to Video Buyer’s Review, Summer 1982. Narrowcasting is the electronic version of selective malilings and subscription-only magazines (Cushman dan Cahn, 1985: 151).

Menurut teori informasi (Young, 1971) bahwa orientasi kepada publik merupakan suatu keniscayaan bagi suatu media, sehingga komunikasi massa cenderung akan bergerak dari semula broadcasting menuju ke narrowcasting (Cushman dan Cahn, 1985: 152).

Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa jaringan Internet merupakan broadcasting dan narrowcasting sekaligus. Situs web yang terbuka untuk setiap pengunjung tanpa registrasi atau berlangganan pada dasarnya adalah broadcasting. Website atau subnet yang memerlukan sandi, pendaftaran, atau beberapa bentuk keanggotaan adalah contoh dari narrowcasting. Milis adalah contoh lain dari narrowcasting, demikian pula podcast yang pada umumnya diarahkan kepada segmen khalayak yang sangat spesifik. Dengan beberapa pengecualian, mailing list, podcast, dan situs web centric-berlangganan adalah layanan narrowcasting yang pada umumnya bebas.

Oleh karena narrowcasting diarahkan pada pool yang terbatas, hal ini terkait dengan target dan pemasaran niche. Narrowcasting juga menemukan aplikasi yang berguna di mal-mal, bandara, dan fasilitas umum lainnya yang pengunjungnya dapat menggunakan layar sentuh untuk mencari jadwal penerbangan, mencari dan menemukan lokasi toko, restoran atau mendapatkan informasi lainnya.

Kadang-kadang narrowcasting disebut sebagai interaktif, jenis narrowcasting seperti ini dapat mengurangi kebutuhan akan tenaga layanan pelanggan. Pengguna secara interaktif dapat melakukan sendiri sentuhan melalui media untuk mendapatkan informasi yang ingin dicari tanpa bantuan pihak penyedia.

Di luar negeri, jaringan televisi CBS, NBC dan ABC pada mulanya berusaha untuk menarik orang sebanyak mungkin dengan program siaran bervariasi sepanjang 50 detik, 60 detik, dan 70 detik. Kini jaringan kabel TV yang lebih baru mengkhususkan diri pada narrowcasting. MTV aslinya hanya saluran musik, sementara CNN memproduksi berita saja. Home and Garden merupakan saluran Sejarah, Sci-Fi, ESPN adalah siaran olahraga, serta saluran Animal merupakan contoh utama dari perubahan mendasar dari broadcasting ke narrowcasting pada jaringan televisi kabel.

Sementara jaringan siaran asli terus menawarkan berbagai program, narrowcasting semakin mendapat tempat dan menemukan perannya sendiri. Program yang menarik bagi segmen penonton yang sama sering ditawarkan bolak balik pada jaringan utama. Dalam alur pikir seperti itu kita melihat bahwa pada malam minggu suatu siaran mungkin akan didominasi oleh sajian drama, rubrik hukum; sedangkan malam berikutnya mungkin akan didominasi oleh show anak muda atau komedi situasi.

Muncul keraguan akankah narrowcasting akan terus berkembang berhadapan dengan broadcasting mengingat narrowcasting membutuhkan banyak investasi untuk menyiarkan pesan. Ada kecenderungan anak muda menggunakan kafe internet dan website gratis untuk menjelajah dunia, atau publik pada ceruk anak-anak muda tersebut. Dengan demikian, ada kecenderungan raksasa media sekaligus memiliki baik broadcasting maupun narrowcasting untuk mengisi niche tertentu untuk meraup viewerships sebanyak-banyaknya.

Di Indonesia, broadcasting dan narrowcasting sedikit unik. Izin siaran diberikan kepada perseorangan, bukan kepada lembaga. Inilah yang menjadi perseteruan antara pemilik izin siaran TPI (Siti Hardiyanti Rukmana) dan MNCTV (Hary Tanoesoedi). Hingga kini keduanya masih dalam sengketa, sebab pengambilalihan TPI oleh MNCTV tidak otomatis dianggap mengambil alih izin siaran (broadcasting) sekaligus.

Ada kencenderungan bahwa pemilik media ingin menguasai broadcasting dan narrowcasting sekaligus (Tempo, Volume 36, 2007). Meski demikian, para pemilik dan pengelola tidak menganggap broadcasting dan narrowcasting sebagai dilema, yang penting adalah jumlah pemirsanya (Jakarta Post, 04/06/2002). MetroTV misalnya, tampil menjadi CNN Indonesia yang menawarkan pilihan pada pemirsa dengan berita-berita yang update, sajian-sajiannya senantiasa hangat. Oleh karena itu, banyak pemirsa yang berharap bahwa MetroTV akan mengatur kecenderungan narrowcasting pada program televisi dibandingkan dengan broadcasting yang teratur.

Adapun RCTI berfungsi sebagai stasiun hiburan umum dan MetroTV untuk berita, GlobalTV dicerukkan untuk memberikan layanan untuk pemirsa 15-29 tahun, para pejabat mengatakan. Ketiga saluran tersebut diharapkan dapat meraup jumlah 32-34 persen pemirsa televisi.

“So, broadcasting or narrowcasting doesn't really matter. What matters is the total viewerships”, demikian seperti ditulis the Jakarta Post. Dilihat dari ceruk pasar, apa yang dikatakan oleh para pemilik dan pengelola media (TV) di atas benar adanya. Yang penting adalah jumlah viewerships, bukan terletak pada apakah broadcasting atau narrowcasting.

Mengapa yang terpenting adalah viewerships? Alasannya adalah bahwa jumlah viewerships akan menentukan para pemasang iklan. Sesuai dengan teori CPM (cost per mille), para pemasang iklan akan melihat seberapa besar viewerships suatu media –dalam hal ini radio atau televisi, baik broadcasting maupun narrowcasting. Para pemasang iklan cenderung memasang iklan yang jumlah viewerships besar karena berasumsi bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menjangkau dan menerpa khalayak yang jumlahnya besar akan lebih murah dibandingkan dengan khalayak yang jumlahnya sedikit.

Dari perspektif viewerships dan pemasang iklan, kurang relevan membahas broadcasting vis-à-vis narrowcasting. Yang terpenting ialah bahwa berapa jumlah viewerships-nya dan bagaimana membidik ceruk pasar secara berhasil guna dan tepat guna.



Daftar Pustaka
Cushman, Donald P. dan Dudley D. Cahn. (1985). Communication in Interpersonal Relationships. New York : State University of New York Press.
Masduki. (2004). Menjadi Broadcaster Terkenal. Yogyakarta: LKiS.
Young, John Frederick. (1971). Information Theory. Michigan: Wiley Interscience
Tempo, Volume 36, 2007.
The Jakarta Post, 4 Juni 2002.
Online:
Kamus online Merriam-Webster Dictionary
http://www.wisegeek.com/what-is-narrowcasting.htm

Rabu, 16 Februari 2011

top 9 di TB Gramed Manado


TOP50 Buku Tatausaha Juni 2010
1 TEORI KOMUNIKASI STEPHEN LITTLEJOHN, FOSS
2 TEORI KOMUNIKASI PERSEFEKTIF RAGAM&APLIKASI SYAIFUL ROCHIM
3 TEKNIK MAHIR BERPIDATO ED.BARU HVS ADI NUGROHO
4 CARA MUDAH MEMBUAT SURAT PERJANJIAN/KONTRAK+CD YUNIRMAN RIJAN
5 ANEKA SURAT SEKRETARIS&BISNIS INDONESIA ED.REVISI 3 LAMUDDIN FINOZA
6 RETORIKA:TERAMPIL BERPIDATO BERDISKUSI BERARGUMENTASI DORI WUWUR HENDRIKUS
7 TERAMPIL MENULIS SURAT RESMI BAHASA INDONESIA SOEDJITO
8 MENULIS SURAT DINAS LENGKAP YOCE ALIAH DKK
9 TEKNIK MENULIS BERITA&FEATURE MASRI SAREB PUTRA
10 SOSIOLOGI KOMUNIKASI:TEORI PARADIGMA&DISKURSUS BURHAN BUNGIN
11 ILMU KOMUNIKASI: TEORI & PRAKTIK MARHAENI FAJAR
12 KOMPETENSI SEKRETARIS PROFESIONAL IGNATIUS WURSANTO
13 CARA MUDA MENULIS BUKU DENGAN METODE 12 PAS DODI MAWARDI
14 PENUNTUN PRAKTIS SURAT MENYURAT DINAS RESMI BAHASA INDONESIA SUPRAPTO
15 60 CONTOH PERJANJIAN KONTRAK +CD BURHANUDIN ALI SDB
16 SUKSES MENULIS PROPOSAL SKRIPSI TESIS&DISERTASI DEWI ROSEEHA
17 DRAF LENGKAP SURAT PERJANJIAN (SURAT KONTRAK) PLUS CD GAMAL KAMANDOKO
18 101 DRAF SURAT PERJANJIAN+CD RINI PAMUNGKASIH
19 PROPOSAL PROYEK KUNJANA RAHARDI
20 PANDUAN PINTAR MEMBUAT SURAT LAMARAN&CV AGUS SUGIARTO
21 ILMU PERPUSTAKAAN & KODE ETIK PUSTAKAWAN WIJI SUWARNO
22 TIPS & CARA MENYUSUN SKRIPSI TESIS DISERTASI TIM SHIRA MEDIA
23 MENULIS KARYA ILMIAH RAMELI AGAM
24 PANDUAN LENGKAP MEMBUAT SURAT2 KUASA +CD FRANS SATRIYO WICAKSONO
25 DESAIN PROPOSAL PENELITIAN AKUNTANSI DAN KEUANGAN SUPRAMONO
26 SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA SANRI INU KENCANA SYAFIIE
27 NGEMSI ? SIAPA TAKUT YATIE ASFAN LUBIS
28 MERAIH PASSIVE INCOME DARI MENULIS AHMAD BAHAR
29 PUBLIC SPEAKING&TEKNIK PRESENTASI HIDAJAT
30 SURAT MENYURAT SERBAGUNA PAND KORESPDS BHS IND(HVS) OTONG SETIAWAN
31 PROFESIONALISASI DAN ETIKA PROFESI GURU SUDARWAN DANIM
32 PANDUAN LENGKAP BERBICARA DI DEPAN UMUM JAMES
33 PENUNTUN PERKULIAHAN BAHASA INDONESIA DAENG NURJAMAL MPD
34 BUSINESS LETTERS SURAT SURAT BISNIS HENDRAWAN PRASETYA
35 PENGANTAR ILMU KOMUNIKASI ED REVISI HAFIED CANGARA
36 101 DRAF SURAT BISNIS (LENGKAP,TEPAT,EFEKTIF) WORO VIDYA AYUNINGTYAS
37 HANDBOOK OF PUBLIC SPEAKING A.G.MEARS
38 3 JAM MAHIR BERPIDATO SEPERTI SBY AULIA RAHMAT
39 CERDIK CERDAS SKRIPSI:SIASAT LANGKAH SUKSES MENYUSUN ISKANDAR ZULKARNAIN
40 MENULIS KARYA ILMIAH:ARTIKEL SKRIPSI... ETTY INDRIATI /2001
41 BUKAN PIDATO BIASA PRAKTIK PUBLIC SPEAKING PUTRI PANDAN WANGI
42 SURAT MENYURAT DINAS R. KUNJANA RAHARDI,M. HUM
43 SURAT MENYURAT BHS INDONESIA SUPRAPTO
44 RETORIKA PRAKTIS TEKNIK&SENI BERPIDATO GENTASRI ANWAR
45 SURAT LAMARAN KERJA HARIWIJAYA
46 TEKNIK MAHIR BERPIDATO ED. BARU CD ADI NUGROHO
47 PANDUAN LENGKAP MENGURUS SURAT-SURAT PENTING MUHAMMAD RIDWAN
48 RAHASIA MEMBANGUN ARGUMENTASI ILMIAH PADDY O TOOLE
49 PARAGRAPH WRITING BOOK 2 OTONG SETIAWAN DJ
50 JURNALIS DIBURU MEDIA MASSA AKHI ABDURAHMAN

Reading to improve the quality of life
Posted by Gabriel Laia at Thursday, July 22, 2010 0 comments Links to this post
Labels: TOP 50 2010

Senin, 14 Februari 2011

Creative Writing

Buku dasar-dasar menulis kreatif, dari sisi akademik, masihlah langka di Indonesia --untuk tidak mengatakan "tidak ada". Satu dua buku yang beredar, kurang mengeksplorasi sejarah, konsep, definisi, ruang lingkup, diferensia, serta kekhasan tulisan kreatif dengan tulisan lain.

Buku ini hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Utamanya kalangan akademik yang kerap gamang dengan konsep dasar dan ruang lingkup creative writing (CW).

Karena itu, bahasan dimulai dengan sejarah CW yang diawali Ralp Waldo Emerson, konsep dasar retorika Aristoteles yang menjadi cikal bakal teknik menulis kreatif yang disempurkan Gustav Freytag, hingga kurikulum perguruan tinggi tentang CW. Bahkan, di luar negeri, CW menjadi fakultas tersendiri dan mengeluarkan gelar MFA (Master in Fine Arts).

Perguruan tinggi di Indonesia masih langka mengajarkan CW sebgai mata ajar sendiri. Hanya beberapa, misalnya Universitas Multimedia Nusantara yang memberikan kredit (2-1) untuk mata kuliah ini. Hasilnya, sudah 4 novel karya mahasiswa UMN diterbitkan penerbit nasional. Mahasiswa jadi mafhum bahwa menulis dapat dijadikan profesi, bukan sekadar hobi.

Ke depan,keterampilan menulis kreatif sangat dibutuhkan. Masa depannya sangat cerah. Media boleh saja bermorfosis, namun yang tetap adalah: content. Karena itu, dalam media muncul istilah "content is the king".

Perguruan tinggi, terutama Fakultas Komunikasi dan Fakultas Seni dan Desain, ketinggalan kereta jika tidak menyelenggarakan mata kuliah Creative Writing.
***

Jurnalistik Sastrawi dan Perkembangannya di Indonesia



Setidaknya ada 14 nama atau alias untuk terminologi ini. The new journalism yang pada awal mula terinspirasi dari karya John Hersey, Hiroshima (1946)berkembang di Amerika Serikat. Tahun 1970-an, Tempo yang dipelopori Goenawan Mohamad menerapkan teknik reportase dengan gaya berkisah.

Fakta yang oleh media di Indonesia saat itu ditulis secara lempang, oleh Tempo ditulis dan disajikan dengan gaya bertutur. Tak heran, dalam Seandainya Saya Wartawan Tempo, GM mengklaim Tempolah pelopor jurnalistik sastrawi di Indonesia.

Mengapa Tempo enak dibaca dan perlu? Reportese berturur jawabannya. Buku ini panduan lengkap bagi wartawan, mahasiswa, dosen, penulis lepas, pengelola media untuk memahami asal usul, sejarah, ruang lingkup, dan perkembangan jurnalistik sastrawi di Indonesia.

Mengacu ke ranah akademik, dengan memerhatikan hasil studi Molly Blair (2006), diimbuh dengan kosep-konsep dasar jurnalistik sastrawi oleh Connery, serta menelusuri karya-karya jurnalistik pemenang hadiah Pulitzer, buku ini pertama di Indonesia yang mengupas ihwal jurnalistik sastrawi: sejarah, teori, know how, hingga contohnya.

Dalam buku ini juga dibeberkan alasan, mengapa penulis tidak menggunakan istilah "jurnalisme sastrawi", tetapi jurnalistik sastra.

Jumat, 11 Februari 2011

Teori Komunikasi (dalam) Organisasi

PENGANTAR

Joan, Henry, dan Frank tidak sepakat bagaimana sebuah organisasi harus dijalankan. Mereka setuju bahwa sistem MCF perlu diubah, namun di antara mereka tidak ada kesepakatan seperti apa gerangan perubahan harus dilakukan. Masing-masing mempunyai pandangan pribadi yang berbeda satu sama lain. Bagaimana menjelaskan fenomenon tersebut?
Artikel ini memperkenalkan tiga perspektif penting dalam mempelajari komunikasi organisasi: pendekatan Fungsional, pendekatan yang berpusatkan pada Makna, dan Perspektif yang tampak. Dalam bab ini diidentifikasi dan dilukiskan teori organisasi utama dan mengevaluasi implikasi komunikasinya melalui ketiga pendekatan tersebut. Kita juga akan melihat bagaimana para periset melukiskan cara-cara di mana seharusnya organisasi bekerja, apa jenis asumsi yang ditetapkan pada organisasi, dan apa arti deskripsi dan asumsi bagi komunikasi organisasi.
Kita akan melihat bagaimana empat perspektif utama atau pandangan mengenai pemikiran organisasi:
1) Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan (Scientific Management),
2) Perilaku Manusia (Human Behaviour),
3) Teori Perspektif Integrasi, dan
4) Postmodern, Kritis, dan teori Perspektif Feminis.

The Scientific Management School
The Scientific Management School dengan sangat baik dideskripsikan oleh Frederick Taylor dalam karya klasiknya yang berjudul Principles of Scientific Management (1913). Dalam karya tersebut, Taylor berusaha untuk meyakinkan pembaca bahwa inefisiensi yang terjadi dalam banyak organisasi disebabkan oleh tidak berjalannya manajemen secara sistematik dan bahwa “manajemen terbaik ialah ilmu pengetahuan sejati, yang berada pada jalur hukum yang jelas, aturan-aturan, prinsip-prinsip sebagai fondasinya.” Fondasi ini, dalam perspektif Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, berada pada jalur “ilmiah” yang menentukan organisasi yang dicirikan oleh perkembangan yang berkesinambungan atas dasar pembagian kerja yang efisien dan terarah.
Tiga pakar –Frederick Taylor, Henri Fayol dan Max Weber— yang secara luas bertanggung jawab mengembangkan konsep-konsep penting dari pendekatan Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Ketiganya menulis dan hidup selama periode dari pertengahan abad ke-19 hingga Perang Dunia I. Pendekatan Taylor, Fayol, dan Max Weber digunakan untuk mendeskripsikan perspektif Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan (Scientific Management Perspective).

Teori utama Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan
Prinsip-prinsip Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan: Frederick Taylor (1856-1915)
Frederick Taylor sering disebut-sebut sebagai bapak Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Ia mempunyai pengalaman kerja yang luas (sebagai karyawan biasa hingga menjadi kepala urusan permesinan) membuatnya jeli di dalam mengamati dan kemudian melihat bangun suatu Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan yang terdiri atas:
1) seleksi karyawan secara hati-hati,
2) melakukan training dan mengarahkan karyawan dengan metoda ilmiah,
3) pembagian kerja yang seimbang antara manajemen dan karyawan, dan
4) menemukan metoda ilmiah untuk pekerjaan dan tugas-tugas.

Teori Taylor memusatkan perhatian pada organisasi yang berpusatkan pada desain organisasional, training karyawan untuk mencapai efisiensi, rantai komando, dan pembagian kerja yang jelas. Perspektif didasarkan pada asumsi bahwa kerja dan organisasi dapat dirancang dan dikembangkan secara rasional dan ilmiah. Adapun mengenai teknik untuk menentukan efisiensi produksi dilakukan melalui pengamatan kerja dan ukuran-ukuran waktu; digunakan untuk mengembangkan standar kerja yang dapat diukur untuk mencapai efisiensi.
Taylor percaya bahwa Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan hanya dapat dilaksanakan sepenuhnya dengan mendefinisikan secara jelas rantai komando dan pembagian kerja yang sangat spesifik. Konsep Taylor ini sangat berpengaruh pada awal tahun 1900 dan mempengaruhi bagaimana suatu organisasi harus didesain, bagaimana standar kinerja harus ditetapkan, dan bagaimana hari ini efisiensi kerja diukur.

Prinsip-prinsip Manajemen: Henry Fayol (1841-1925)
Henry Fayol disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali mencoba melukiskan prinsip-prinsip penting dari manajemen untuk organisasi dan bagaimana menjalankan bisnis. Latar belakang Fayol ialah seorang mining engineer, kemudian menjadi managing director dari Comambault, sebuah perusahaan pertambangan. Ia sukses dalam bidang kepemimpinan dan sebagai seorang industrialis, sehingga berusaha untuk memengaruhi pemerintah Prancis untuk menerapkan ide-idenya mengenai prinsip-prinsip administrasi. Paper awalnya ihwal teori umum administratif menjadi teks yang sangat berpengaruh yakni General and Industrial Management yang pertama kali terbit pada 1916.
Dalam General and Industrial Management (1949), Fayol mengusulkan 14 prinsip administratif atau manajemen yang dipandangnya sebagai sangat esensial untuk menciptakan organisasi efektif yakni:
1) pembagian tugas (division of work),
2) otoritas (authority),
3) disiplin (discipline),
4) kesatuan komando (unity of command),
5) kesatuan arah (unity of direction),
6) subordinasi dari ketertarikan pribadi ke ketertarikan umum (subordination of individual interest to the general interest),
7) remunerasi (remuneration),
8) sentralisasi (centralization),
9) rantai scalar/ lini otoritas (scalar chain),
10) tata tertib (order),
11) kesetaraan (equity),
12) stabilitas dari masa jabatan personil (stability of tenure of personnel),
13) inisiatif (initiative), dan
14) semangat tim (esprit de corps).

Yang tidak kalah penting selain 14 prinsip di atas, menurut Fayol, ialah adanya lima aktivitas mendasar dari manajemen, yakni:
1) perencanaan (planning),
2) organisasi (organizing)
3) komando (commanding)
4) koordinasi (coordinating), dan
5) kontrol (controlling).

Menurut Fayol, kelima aktivitas di atas saling mendukung satu sama lain agar terciptanya sebuah organisasi yang efektif. Meski tulisan Fayol terbit tahun 1900, prinsip-prinsip administrasi dan aktivitas manajemen yang digagasnya masih menyita perhatian para pakar dan masih berpengaruh dalam kerja organisasi hingga hari ini.

Prinsip Birokrasi: Max Weber (1864-1920)
Max Weber adalah seorang ahli sosiologi berkebangsaan Jerman. Ia sering disebut sebagai bapak dari birokrasi. Menurut Weber, model birokrasi bagi organisasi haruslah didasarkan atas relasi otoritas yang berpusat pada depersonasiasi dan kompetensi tugas.
Weber (1947) mengidentifikasi terdapat tiga tipe otoritas:
1) kharismatik,
2) tradisional, dan
3) birokratik

Otoritas kharismatik didasarkan pada karakter spesifik dari seseorang yang menggunakan otoritas. Atribut pribadi dari seseorang menginspirasikan orang lain untuk mengikutinya. Otoritas kharismatik ini bersifat nonstruktural dan tidak dapat ditransfer ke orang lain, karena itu, disebut “kharismatik”.
Otoritas tradisional, menurut Weber, diasosiasikan dengan kebiasaan dan adat istiadat suatu kelompok atau masyarakat. Otoritas ini dapat berlangsung dari satu orang ke orang lain atas dasar adat dan tradisi dan bukan atas dasar kemampuan atau kompetensi di dalam menjalankan suatu tugas tertentu. Sebuah perusahaan keluarga misalnya, secara tradisional berlangsung dari generasi ke generasi daripada terjadi atas dasar kemampuan seseorang yang ingin memimpin organisasi tersebut. Orang luar (di luar keluarga) bukanlah anggota dari keluarga tersebut.
Weber percaya bahwa otoritas birokratik adalah perwujudan dari sebuah organisasi yang ideal. Mengapa demikian? Karena otoritas birokratik adalah cerminan dari hukum, regulasi, dan prosedur yang membuat otoritas menjadi “legal-rasional” dan bukan didasarkan pada kharisma pribadi atau tradisi. Inilah birokrasi yang ideal karena para pemimpin birokratik diseleksi sesuai dengan hukum dan aturan yang dirancang untuk mempromosikan orang yang paling kompeten untuk melaksanakan tugas di organisasi tersebut. Nepotisme dan like and dislike tidak berlaku dalam otoritas ini.


IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI TEORI MANAJEMEN
BERBASIS ILMU PENGETAHUAN
Dari sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, komunikasi adalah alat (tool) dari manajemen yang didesain untuk memfasilitasi penuntasan (pelaksanaan) tugas sekaligus juga untuk menjalankan salah stau dari banyak variabel organisasional. Aktivitas komunikasi lebih dikhususkan lagi, demikian pula halnya dengan tugas-tugas dan pekerjaan. Lebih dari itu, komunikasi dituntut untuk melatih karyawan dan memberikan instruksi harian sesuai dengan bidang pekerjaan. Aktivitas komunikasi dapat dibuat formal, dan komunikasi interpersonal dari sifat sosial atau personal menjadi lebih sedikit, khususnya di antara sesama karyawan. Jarang terjadi komunikasi yang bersifat horizontal.
Baik Taylor, Fayol, maupun Weber berpandangan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang rasional dan fungsi komunikasi adalah untuk mereduksi ketidakpastian akan ekspektasi tugas-tugas berikut ukuran-ukurannya. Dengan demikian, aktivitas komunikasi suatu organisasi dibangun dan diimplementasikan oleh manajemen sebagai refleksi alamiah dari perencanaan (planning), organisasi (organizing), komando (commanding), koordinasi (coordinating), dan tanggung jawab kontrol (controlling responsibilities).
Pendekatan fungsional terhadap komunikasi organisasi dapat digunakan untuk melukiskan implikasi komunikasi dari sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Secara khusus, Taylor, Fayol, dan Weber memandang bahwa komunikasi organisasi sebagai fungsi untuk mengorganisasikan kinerja tugas dan untuk memperjelas aturan dan regulasi.
Dalam konteks struktur pesan, para penggagas teori Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan menggambarkan pesan sebagai aliran yang lewat melalui jalur rantai komando utama yang mengarah ke bawah. Mereka juga berpandangan bahwa pembuatan keputusan (decision making) sebagai variabel organisasi. Mereka tidak memimpikan bahwa pengambilan keputusan sebagai proses yang terus berlangsung dan itu tidak lebih dari sebuah proses komunikasi. Variabel pengambilan-keputusan ialah kontrol manajemen, dengan premis (asumsi) dasar bagi semua keputusan penggunaan efisiensi dari sumber daya manusia dan sumber daya barang guna mencapai tujuan. Manajemen bertanggung jawab atas identifikasi organisasi dan kekuasaan digunakan untuk mengarahkan organisasi.



TEORI MANAJEMEN BERBASIS ILMU PENGETAHUAN
DALAM ORGANISASI KONTEMPORER
Dengan mencermati kapan terbitnya karya-karya Taylor, Fayol, dan Weber, kita berusaha untuk meyakini bahwa sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan sudah ketinggalan zaman dan barangkali sudah kurang relevan lagi untuk memahami organisasi pada masa sekarang. Tanggal memang dapat menyesatkan. Ambil contoh Davis Instrument Company. Davis dapat digambarkan memiliki pembagian kerja yang sedang berada dalam proses perubahan karena diperkenalkannya sistem baru MCF. Perubahan ini dengan sendirinya menuntut instruksi tugas yang luas dan seleksi yang hati-hati dari para karyawan “terbaik” untuk mengisi lowongan pekerjaan baru. Davis menganggap bahwa tanggung jawab manajemen untuk menentukan bagaimana sistem itu diimplementasikan. Selanjutnya, Joan memaparkan mengenai perspektif manajemen berbasis ilmu pengetahuan ketika ia mengajukan argumen bahwa Pam dan supervisornya akan memutuskan tugas dan pekerjaan tanpa masukan dari karyawan. Ia yakin bahwa para manajer dapat bertanggung jawab untuk tugas yang dirancang dan untuk menstrukturisasikan tim guna mencapai efisiensi yang maksimum. Proposal Joan ini apabila dicermati dengan saksama merepresentasikan pandangan-pandangan para penggagas dan penemu teori Manajemen berbasis Ilmu pengetahuan.
Kini bahkan pemerintahan daerah, negara, dan organisasi nasional diorganisasikan dengan prinsip-prinsip sekolah Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Bukan hanya organisasi yang mempunyai hierarki dan rantai komando yang menerapkannya, tetapi juga alih kekuasaan diatur dengan menggunakan peraturan dan regulasi seperti yang digagas oleh Weber.


SEKOLAH HUMAN BEHAVIOR
Sekolah Human Behavior (The Human Behavior school) ialah teori organisasi yang berpusat pada interaksi antarindividu, motivasi mereka, dan pengaruhnya terhadap peristiwa-pristiwa dalam organisasi.
Perspektif human behavior beranggapan bahwa kerja dituntaskan melalui orang dan berpusat pada kerja sama, partisipasi, kepuasan, dan keterampilan interpersonal. Para penggagas teori yang mewakili pandangan ini memandang bahwa desain organisasi dan fungsinya sebagai cerminan dari asumsi dasar mengenai perilaku manusia (human behavior). Karya Mary Parker Follet, Elton Mayo, Douglas McGregor, dan Rensis Likert digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik penting dari pendekatan Human Behavior pada suatu organisasi.

Teori Utama dari Human Behavior
Prinsip-prinsip Koordinasi: Mary Parker Follet (1868-1933)
Mary Parker Follet ialah tokoh menonjol pada zamannya yang memaklumkan bahwa organisasi yang produktif haruslah peduli pada keinginan-keinginan dan motivasi-motivasi pribadi dan kelompok. Ia bukanlah seorang pebisnis, namun sangat tertarik pada organisasi yang berorientasi pada keuntungan (profit-making organization). Parker sangat dikenal luas karena prinsip-prinsipnya yang tidak dapat dibantah mengenai organisasi yang didasarkan atas fondasi yang mantap dan yang dibangun di atas dasar perkembangan kesejahteraan manusia. Parker juga menyebutkan bahwa konflik sebagai sesuatu yang berpotensi membangun dan melukiskan tanggung jawab kolektif dan integrasi sebagai sesuatu yang memberikan sumbangsih bagi kejayaan bisnis.

Pengaruh Hawthorne: Elton Mayo (1880-1949)
Elton Mayo (1945) tidak pernah berpikir akan dicatat sebagai orang yang mula-mula meletakkan dasar bagi pandangan Human Behavior. Ia seorang profesor berpengaruh di Harvard yang memperluas cakrawala pandangan dari karya Frederick Taylor. Ketika studi Hawthorne dimulai, ia sedang bereksperimen mengenai alterasi kondisi kerja fisik untuk meningkatkan produktivitas.
Mayo dan kawan-kawan sampai pada pemahaman bahwa pengaruh yang luar biasa dan yang tidak diketahui sebelumnya dalam setting eksperimental menjadi pusat perhatian para periset terhadap para karyawan. Perhatian tersebut mendorong norma suatu kelompok yang menekankan produktivitas tidak peduli bagaimanakah lingkungan fisik berubah. Efek inilah yang kemudian dikenal dengan Hawthorne effect. Sebagai hasil dari riset Hawthorne, produksi tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya keluaran dari pekerjaan formal dan desain organisasi.

Teori X dan Teori Y: Douglas McGregor (1906-1964)
Douglas McGregor dalam karyanya yang terkenal berjudul The Human Side of Enterprise (1960), memaparkan teorinya Theory X-Theory Y (Teori X dan Teori Y). Konsep teori ini sebagai jalan untuk membedakan antara Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan perspektif Human Behavior.
Dengan Teori X dan Teori Y, McGregor menggambarkan asumsi manajemen terhadap karyawan. Teori X mencirikan bahwa asumsi-asumsi diletakkan pada teori Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, sedangkan Teori Y diasosiasikan dengan asumsi mengenai perspektif Human Behavior. Pada teori X manajer beranggapan bahwa karyawan yang tidak menyukai pekerjaan dan menolak tanggung jawab, sedangkan teori Y manajer meyakini bahwa karyawan dapat mengatur dan mengontrol diri sendiri seperti tampak pada gambar yang berikut ini.


Teori X dan Teori Y dari Douglas McGregor
====================================================================
ASUMSI-ASUMSI TEORI X ASUMSI-ASUMSI TEORI X

1. Orang tidak menyukai pekerjaan dan akan menolak pekerjaan jika mungkin.
2. Karyawan tidak ambisius dan lebih suka diarahkan/dipimpin.
3. Karyawan menolak tanggung jawab dan tidak peduli dengan kebutuhan organisasi.
4. Karyawan harus diarahkan dan diancam dengan hukuman agar mencapai produktivitas organisasi.
5. Karyawan tidak begitu pintar dan mampu terhadap kreativitas organisasi.
6. Organisasi kesulitan di dalam menggunakan sumber daya manusia.
1. Orang berpandangan bahwa pekerjaan adalah alamiah seperti halnya bermain.
2. Karyawan ambisius dan lebih suka mengarahkan/memimpin diri sendiri.
3. Karyawan mencari tanggung jawab dan merasa dihargai melalui pencapaian-pencapaian mereka.
4. Karyawan memotivasi diri-sendiri dan memerlukan sedikit sekali supervisi langsung.
5. Karyawan kreatif dan mampu terhadap kreativitas organisasi.
6. Organisasi kesulitan di dalam menggunakan sumber daya manusia.


Manajemen Partisipatif: Rensis Likert (1903-1981)
Sebagai profesor sosiologi dan psikologi dan direktur Institute of Social Research pada University of Michigan, Rensis Likert memimpin riset intensif untuk menentukan bagaimana manajemen dapat dibedakan antara organisasi yang sukses dan organisasi yang kurang sukses. Dalam karya klasiknya berjudul New Pattern of Management (1961), teorinya mengenai manajemen partisipatif yang didasarkan atas perbandingan antara kelompok kerja yang produktif dan kelompok kerja yang kurang produktif.
Dalam buku yang disebutkan di atas, Likert membangun sebuah teori (manajemen partisipatif) yang menolak banyak asumsi yang sudah dibangun Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Teori Likert ialah manajemen yang berpusat pada karyawan (employeed-centered management) yang didasarkan pada kelompok-kelompok fungsional efektif yang terhubung bersama dengan seluruh struktur organisasi. Proses manajemen haruslah bergantung pada partisipasi kelompok di mana anggota pribadi lebur dalam kelompok seperti tampak dalam gambar yang berikut ini.







IMPLIKASI-IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI TEORI HUMAN BEHAVIOR
Komunikasi efektif ialah landasan bagi perspektif Human Behavior. Manajemen perlu percaya pada karyawan, sebaliknya karyawan harus merasa bebas untuk berdiskusi untuk menunjukkan kepedulian yang terkait dengan supervisor mereka. Kelompok sejawat bukan saja perlu diidentifikasi, tetapi juga dipandang sebagai pengaruh positif yang sangat potensial untuk mencapai produktivitas. Para penggagas teori human behavior mengenali baik jaringan komunikasi formal maupun informal membawa tugas dan pesan-pesan sosial yang mendukung. Interaksi antarsemua level diharapkan semakin luas dan semakin bersahabat, diiringi dengan kerja sama yang substansial dari seluruh organisasi. Dari perspektif human behavior, komunikasi sangat vital di dalam penggunaan sumber daya manusia dan dalam pembuatan kebijakan dalam suatu organisasi.
Manakala kita menggunakan pendekatan Fungsional untuk melukiskan implikasi komunikasi dari sudut pandang Human Behavior maka kita akan melihat peran yang lebih kompleks bagi komunikasi daripada yang dibayangkan oleh para penggagas teori Manajemen Berbasis Ilmu Pengetahuan. Seperti pada Manajemen Berbasis Ilmu Pengetahuan, komunikasi dipandang sebagai penampilan dari fungsi organisasi yang menyediakan instruksi tugas, informasi, peraturan, dan regulasi. Tidak sebagaimana Manajemen Berbasis Ilmu Pengetahuan, fungsi hubungan dari komunikasi organisasi dipertimbangkan dengan nyata. Mayo dan Likert secara khusus mengakui bahwa pentingnya rekan sejawat dan bagaimana interaksi sejawat memberikan kontribusi pada integrasi dalam organisasi. Likert yakin bahwa hubungan suportif dibangun melalui komunikasi efektif sangatlah penting bagi tercapainya produktivitas suatu organisasi. Pada akhirnya, fungsi perubahan dari komunikasi merupakan tanggung jawab setiap orang. Para periset Human Behavior yakin bahwa karyawan pada semua level akan mampu ambil bagian dalam pengambilan keputusan dan mampu menciptakan arah baru dalam organisasi.
Perspektif Human Behavior memusatkan perhatian lebih pada partisipasi karyawan dan kepuasan dibandingkan teori Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Namun, sedikit memberikan perhatian pada kepentingan kekuasaan dan bagaimana komunikasi menegakkan organisasi, pengambilan keputusan, dan pengaruh.


TEORI HUMAN BEHAVIOR PADA ORGANISASI MASA KINI
Kebanyakan organisasi kontemporer bukan hanya menerapkan gagasan-gagasan yang dikembangkan dari Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, tetapi juga banyak yang dibangun dari para pencetus teori Human Behavior. Sebagai contoh adalah Davis Instrument Company yang dibangun di atas struktur prinsip-prinsip Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Banyak organisasi masa kini mirip dengan Davis yang menggabungkan antara Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan gagasan tentang Human Behavior.


SEKOLAH PERSPEKTIF YANG TERINTEGRASI
Perspektif yang terintegrasi ialah teori yang mencoba menjelaskan bagaimana orang, teknologi, dan lingkungan terintegrasi untuk mempengaruhi perilaku tujuan-langsung. Teori ini muncul karena Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior gagal untuk mengintegrasikan struktur organisasi, teknologi, dan manusia dengan lingkungan yang lebih luas tempat organisasi itu berada.
Para penggagas teori ini berusaha menerangkan bagaimana manusia, teknologi, dan lingkungan terintegrasi untuk mempengaruhi semua yang terjadi dalam organisasi. Para pencetus teori ini ialah Herbert Simon, Eric Trist, Kenneth Bamforth, Joan Woodward, Paul Lawrence, Jay Lorsch, Daniel Katz, Robert Kahn, Gareth Morgan, Margaret Wheatley, dan Peter Senge (pendekatan lingkungan dan proses), Terrence Deal, Allen Kennedy, William Ouchi, Thomas Peters, Robert Waterman, Edgar Schein, dan Karl Weick (pendekatan kultural).

Teori Utama Perspektif yang Terintegrasi: Proses dan Pendekatan Lingkungan
Proses dan Pendekatan Lingkungan untuk teori organisasi berupaya melukiskan betapa kompleksnya proses seperti pengambilan keputusan mempengaruhi operasi internal organisasi dan dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Para periset menggunakan perspektif tersebut untuk mencari penjelasan bagaimana sistem teknik dan manusia berinteraksi dengan lingkungan yang jauh lebih luas tempat organisasi tersebut beroperasi. Dalam pencariannya, mereka mencoba asumsi dasar dari sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior.

Pendekatan Pengambilan Keputusan: Herbert Simon (1916- )
Herbert Simon (1947) menawarkan deskripsi dari organisasi yang berbeda dengan Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior. Simon (1957) memproklamirkan bahwa perilaku organisasi (organizational behavior) merupakan sebuah jaringan yang kompleks dari keputusan dengan proses pengambilan keputusan mempengaruhi perilaku dari seluruh organisasi. Simon berpandangan bahwa pendekatan pengambilan keputusan sebagai proses yang penting dalam organisasi.

Integrasi Sosioteknikal: Eric L. Trist (1909-1993) dan Kenneth W. Bamforth
Konsep integrasi sosioteknikal didasarkan atas dua asumsi, yang pertama dideskripsikan oleh Eric L. Trist dan mahasiswanya Kenneth Bamforth (1951) sebagai hasil dari kerja sama dengan British coal-minning operation. Teori ini berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan psiko-sosial manusia dan tujuan organisasi. Produksi organisasi dioptimalkan melalui sosial optimistik dan sistem teknik.

Teori Kontingensi: Joan Woodward (1916-1971), Paul Lawrence (1922- ), dan Jay Lorsh (1932- )
Teori kontingensi menolak “satu cara terbaik” (one best way) seperti yang dianjurkan para pencetus teori Manajemen berbasis Ilmu pengetahuan untuk mengorganisasikan dan mendukung pandangan bahwa tidak ada kekhususan dalam membuat resep yang cocok untuk semua organisasi. Misalnya, bagaimana organisasi harus beradaptasi pada lingkungan yang berubah dan kebutuhan-kebutuhan individual dan lingkungan di tempat organisasi itu beroperasi. Intinya, kontingensi ialah teori yang memandang bahwa mantapnya operasi internal organisasi adalah kontingen atau tergantung pada kebutuhan lingkungan eksternal dan kebutuhan individu.

Pendekatan Sistem: Daniel Katz (1903-1998) dan Robert Kahn (1918 - )
Teori ini dekat dengan teori kontingensi. Melukiskan bahwa organisasi sebagai terdiri atas subsistem yang menerima sumber daya manusia dan sumber daya material, proses sumber dan material, dan menghasilkan produk jadi ke lingkungan yang lebih luas lagi.
Katz dan Kahn berpendapat bahwa kebanyakan organisasi formal dijalankan dengan lima subsistem dasar: subsistem produktif yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, subsistem suportif yang terkait dengan relasi dan diperlukan dukungan material, subsistem pemeliharaan untuk mengintegrasikan manusia ke dalam peran fungsional, subsistem adaptif yang diarahkan untuk berubah, serta subsistem manajerial untuk koordinasi dan kontrol bagi berbagai subsistem.

Pendekatan Sistem Baru –Flux, Transformasi, Quantum Physic, Self-Organizing Sistem, dan Teori Chaos: Gareth Morgan (1943 - ) dan Margareth Wheatley (1944 - )

Teori sistem sebagaimana digambarkan oleh Katz dan Kahn mendapatkan transformasi yang mau tidak mau perlu dipikirkan kembali terutama mengenai ciri-ciri dasar sistem dan hubungan sistem dengan lingkungan. Gareth Morgan (1977) dalam buku pentingnya Images of Organizations menjelaskan, “... pendekatan-pendekatan tradisional bagi teori organisasi sudah didominasi oleh gagasan bahwa perubahan berasal dalam lingkungan.... Perubahan dalam lingkungan dipandang sebagai mewakili tantangan-tantangan yang harus direspons oleh organisasi. (hal. 253).
Untuk membantu transformasi dalam sistem berpikir, Wheatley (1992) menggunakan khasanah dari quantum physics, sistem yang mengatur-diri sendiri (self-organizing system), dan teori chaos untuk memaparkan pandangan mengenai teori sistem dengan kemungkinan-kemungkinan baru untuk hubungan-hubungan dan perubahan.

Organisasi Pembelajar: Peter Senge dan Gareth Morgan
Organisasi pembelajar (learning organization) ialah organisasi yang terus-menerus belajar melalui proses yang terus berlangsung dari perubahan informasi dan lingkungannya. Riset awal mengenai organisasi pembelajar dipengaruhi oleh para pencetus teori-informasi di bawah payung apa yang kini kita namakan “cybernetics”. Cybernetics kemudian membawa ke suatu teori komunikasi dan pembelajaran yang menekankan pada empat kunci pokok:
1) sistem haruslah memiliki kemampuan untuk merasakan,
2) sistem haruslah dapat menghubungkan informasi ini ke norma-norma operasi yang kemudian membimbing sistem perilaku,
3) sistem haruslah dapat mendeteksi deviasi secara signifikan dari norma-norma itu, dan
4) sistem haruslah dapat memulai aksi yang benar manakala perbedaan-perbedan ditemukan.

Pembelajaran yang menggunakan keempat prinsip dasar tersebut disebut “putaran-tunggal pembelajaran” (single-loop learning). Istilah ini untuk menggambarkan mengenai perbedaan antara proses pembelajaran dan proses pembelajaran untuk belajar.
Senge kemudian memperkenalkan lima “komponen teknologi” baru yang disebutnya sebagai konvergensi yang secara gradual untuk memperbarui organisasi pembejalar, yakni:
1) sistem berpikir (system thinking),
2) penguasaan pribadi (personal mastery),
3) model mental (mental models),
4) membangun visi bersama (building shared vision), dan
5) tim pembelajar (team learning).

Teori Perspektif yang Terintegrasi: Pendekatan Kultural
Pendekatan kultural ialah teori yang melukiskan bagaimana anggota organisasi secara kolektif menginterpretasikan dunia organisasi sekitar mereka. Hasil interpretasi ini digunakan untuk menjawab atau merumuskan sesuatu yang dianggap penting yang terjadi dalam suatu organisasi. Pendekatan-pendekatan dari teori ini mencoba menejelaskan perilaku organisasi dalam konteks pengaruhnya atas kebudayaan yang terjadi baik di lingkungan internal maupun di lingkungan eksternal serta dampaknya bagi organisasi.Teori kebudayaan adalah imbuhan baru dari pendekatan Teori Perspektif yang Terintegrasi (Integrated Perspective). Dapat disebutkan tokoh-tokoh teori ini adalah Deal, Kennedy, Ouchi, Peters, dan Waterman. Mereka membangun pendekatan perspektif bagaimana suatu kebudayaan mempengaruhi efektivitas sebuah organisasi. Dari sejumlah pencetus teori tersebut maka Schein dan Weick membangun teori yang berorientasikan perspektif.

Elemen-elemen Kebudayaan: Terrence Deal (1939 - ) dan Allen Kennedy (1943- )
Terrence Deal dan Allen Kennedy dalam buku mereka berjudul Coprorate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life (1982) menemukan terdapat lima elemen dasar dari budaya organisasi yakni:
1) lingkungan bisnis (business environment),
2) nilai (values),
3) kepahlawanan (heroes),
4) ritus dan ritual (rites and ritual), dan
5) jaringan kebudayaan (cultural network).

Inti teori ini: budaya yang kuat memberikan kontribusi untuk mengatur organisasi. Masing-masing elemen di atas memberikan kontribusi untuk mengatur perilaku, dan menurut Deal dan Kennedy (1982), “membantu karyawan melakukan pekerjaan mereka dengan baik.”

Teori Z: William Ouchi (1943 - )
Teori William Ouchi (1981) boleh dikatakan lebih populer di antara pendekatan-pendekatan kultural pada zamannya. Sebagaimana McGregor dengan Teori Y dan Teori Y, Ouchi memperkenalkan teori Z di mana organisasi harus beradaptasi dengan elemen-elemen kunci dari kebudayaan di tempat organisasi itu beroperasi.
Teori yang diturunkan dari perbandingan antara organisasi di Jepang (tipe J) dan Amerika (tipe A) ini berasumsi bahwa kebudayaan sebagai Teori X dan Teori Y berasumsi mengenai pribadi-pribadi. Teori organisasi Z mempertahankan prestasi individu sebagai model, tapi memberikan cita rasa yang terus-menerus dari masyarakat, tidak seperti umumnya organisasi di Amerika.

In Search of Excellence: Thomas Peters (1942 - ) dan Robert Waterman (1936 - )
Thomas Peters dan Robert Waterman dalam buku mereka In Search of Excellence (Mencari Keunggulan) melaporkan hasil studi mereka mengenai 62 perwakilan industri yang sukses di Amerika. Ditengarai bahwa sukses industri tersebut karena mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitar.
Peters dan Waterman kemudian mengidentifikasi terdapat delapan tema-tema kebudayaan yang hampir selalu mencirikan keluarbiasaan (excellent) dan karena itu dapat menjadi perusahaan yang inovatif yakni:
1) bias untuk tindakan (a bias for action). Jika perusahaan mendapat masalah, perusahaan tersebut akan segera bertindak,
2) dekat dengan pelanggan (close to customer),
3) otonomi dan wirausaha (autonomy and entrepreneurship),
4) produktivitas melalui manusia (productivity through levels),
5) siap menolong dan dorongan nilai (hands-on and value-driven),
6) tetap bertahan pada bisnis yang dikuasai (stick to the knitting),
7) sederhana dalam bentuk, ramping dalam staf (simple form, lean staff), dan
8) sama-sama longgar dan ketat dalam hal sentralisasi dan desentralisasi (simultaneous loose-tight properties).
Otonomi dan wirausaha pada semua level sedapat mungkin didorong untuk tumbuh. Pengambilan keputusan kadang desentralisasi, demikian pula nilai dasar harus didukung dan dipusatkan.

Formasi Organisasi Kebudayaan: Edgar Schein
Edgar Schein (1985b) mendefinisikan kebudayaan organisasi sebagai “a pattern of basic assumptions –invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration—that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and fell in relation to those problems.”
Dalam upaya mendukung definisi di atas, Schein memaparkan sebuah model kebudayaan dengan tiga level yang berbeda:
1) artifak dan kreasi (artifacts and creation),
2) nilai (values), dan
3) asumsi dasar (basic assumtions).

Artifak dan kreasi serta nilai ialah level yang paling kasat mata dalam kebudayaan, yang terdiri atas lingkungan sosial dan fisik yang diciptakan oleh anggota organisasi. Sementara asumsi dasar ialah inti (core) dari apa yang pribadi-pribadi yakini sebagai benar mengenai dunia dan bagaimana keyakinan tersebut bekerja. Bentuk asumsi dasar ini seputar hubungan manusia dengan alam, sifat-sifat realitas dan kebenaran, hukum alam kehidupan manusia, hukum aktivitas manusia, dan pola hubungan antarmanusia.

Model Sensemaking: Karl Weick (1936 - )
Karya Karl Weick (1995) adalah contoh yang baik untuk apa yang kita maksudkan dengan perspektif yang terintegrasi. Bab 3 bukunya menunjukkan pandangannya mengenai ditetapkannya organisasi membawa cita rasa "sistem" yang khas. Dalam konteks ini, pola cita rasa (model sensemaking) ditempatkan pada bagian perspektif budaya karena fokusnya berada pada titik persimpangan antara interpretasi simultan dan tindakan. Weick menghubungkan antara organisasi dan proses-proses sense-making dan menulis demikian, “Both organizations and sensemaking processes are cut from the same cloth. To organize is to impose order, counteract deviations, simplify, and connect, and the same holds true when people try to make sense.” (hal. 120).
Weick (1995, 61-62) mengidentifikasi tujuh karakter dan menyediakan resep untuk memahami setiap karakteristik:
1) didasarkan pada konstruksi identitas (grounded in identity construction),
2) retrospektif (retrospective),
3) memerhatikan lingkungan sekitar (enactive of sensible environment),
4) sosial (social),
5) terus berlangsung (ongoing),
6) difokuskan pada dan oleh isyarat utama (focused on and by extracted cues), dan
7) didorong akal budi daripada akurasi (driven by plausibility rahter than accuracy).


IMPLIKASI-IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI
TEORI PERSPEKTIF YANG TERINTEGRASI
Teori-teori perspektif yang terintegrasi (Integrated Perspective theories) menunjukkan beragam implikasi bagi komunikasi organisasi. Semua pencetus teori sistem menggambarkan organisasi dengan kebutuhan yang berubah-ubah dan lingkungam, meskipun deskripsi mengenai relasi terhadap lingkungan sangat bervariasi. Dengan demikian, komunikasi efektif bukan hanya terhubung pada apa yang terjadi dalam suatu organisasi, melainkan juga pada bagaimana suatu organisasi berkomunikasi dengan lingkungan, dalam hal ini dengan pelanggan dan komunitas sekitarnya.
Manakala kita melihat bagaimana implikasi komunikasi terhadap teori perspektif yang terintegrasi maka memang tidak bisa tidak kita harus melihat lagi gambaran yang berbeda dari pendekatan Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior. Selain itu, penolakan atas konsep “one best way” harus kita perhatikan pula. Tidak syak lagi bahwa komunikasi mengisi organisasi, hubungan, dan fungsi-fungsi perubahan, dan pada akhirnya keseimbangan antar fungsi-fungsi tersebut bergantung pada kebutuhan khas dari organisasi yang didasarkan atas tujuan-tujuan dan lingkungan.
Pendekatan budaya atas organisasi diyakini sebagai sebuah kekuatan yang efektif di dalam membangun komunikasi. Identifikasi organisasi dan sosialisasi sangat penting untuk membangun budaya organisasi yang kokoh sama pentingnya dengan pelaksanaan tanggung jawab manajerial.
Pada akhirnya, harus diberi catatan bahwa teori-teori Perspektif yang Terintegrasi tidaklah secara umum mempertimbangkan komunikasi sebagai suatu proses konstitutif (constitutive processs), akan tetapi lebih memotret komunikasi sebagai suatu proses simbolik (symbolic process) yang memungkinkan kita melakukan rekonstruksi untuk saling berbagi realitas.
TEORI PERSPEKTIF YANG TERINTEGRASI
DALAM ORGANISASI MASA KINI

Dengan sederet nama kontribusi dari para pencetus teori seperti Simon, Lawrence, Lorsch, Katz, Kahn, Trist, dan Bamforth, kita berbicara mengenai pentingnya lingkungan eksternal dan mulai untuk lebih menggabungkan pemikiran dari Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan pendekatan Human Bevavior. Juga, dengan memasukkan pendekatan budaya sebagaimana diajukan oleh para penggagas teori Perspektif yang Terintegrasi, komunikasi dilukiskan sebagai suatu proses dan lewat proses itu kita berbagi realitas yang dihasilkan dan melalui nilai, identifikasi, dan tindakan-tindakan sosial.
Itu merupakan sejumlah contoh betapa pentingnya sebuah organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternalnya. Sebuah perusahaan mobil yang besar di Amerika pada 1950-1960 kehilangan posisi pasar kompetitifnya. Diperkenalkannya pc (personal computers) ke pasar rumahan membuat sejumlah besar perusahaan berebut untuk memperkenalkan produk baru dan terbaik mereka hanya demi mengejar pangsa pasar (market share).
Perusahaan-perusahaan masa kini mulai berpaling dan peduli pada kebudayaan dan lingkungan sekitar. Bahkan, tidak sedikit di antaranya dengan tegas mempublikasikan pernyataan visi dan misinya yang mencerminkan nilai organisasi dengan memperhatikan aspek kebudayaan.
Promosi, pencapaian-pencapaian, serta kegiatan perusahaan mulai diarahkan ke lingkungan eksternal organisasi, dengan memperhatikan publik tradisional sekaligus publik futuristik seperti sekolah dan bank-bank. Pendekatan Perspektif yang Terintegrasi dapat dilihat pada kembalinya perubahan pola manufaktur Davis Instrument Company. Diperkenalkannya sistem MCF merupakan jawaban atas tekanan pasar untuk tetap menjaga biaya yang kompetitif.


POSTMODERN, KRITIKAL, DAN PERSPEKTIF FEMINIS
Kita sudah banyak membahas berbagai teori organisasi di muka, namun hanya sedikit perhatian diberikan pada power (kekuasaan) sebagai dominasi atau tantangan dari hierarki tradisional dan sistem patriarkal atas otoritas.
Karena itu, muncul teori yang memusatkan perhatian pada power (kekuasaan) sebagai dominasi atau tantangan dari hierarki tradisional dan sistem patriarkal atas otoritas yang disebut sebagai “Postmodern Critical Perspective” (PCP). Apa yang dimaksudkan dengan PCP? PCP ialah teori yang memusatkan perhatian pada kekuasaan dan dominasi dan pada tantangan-tantangan hierarki, birokrasi, dan kontrol manajemen” (Theories that focus on power and domination and on challenges to hierarchy, bureaucracy, and management control).

Perspektif Postmodern: Stewart Clegg (1947 - )
Stewart Clegg (1990) dalam karyanya Modern Organization membangun konsep dari para filsuf Perancis seperti Jean-Francois Lyotard (1984) dan Jean Baudrillard (1983) yang menggambarkan bahwa kondisi postmodern sebagai sangat teratur (highly ordered), terspesialisasi oleh teknologi, dipengaruhi oleh media massa, dan menuntut presisi, kecepatan, fleksibilitas, dan mempunyai kemampuan adaptif terhadap kinerja individual.
Clegg berpendapat bahwa postmodernisme menolak konsep-konsep itu (Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan) ketika ia menyebutkan ciri-ciri organisasi postmodernisme sebagai struktur fleksibel yang memerlukan karyawan dengan multiketerampilan yang cakap dan terus-menerus menjadi manusia pembelajar.

Teori Kritis: Jurgen Habermas (1929 - )
Yang dimaksudkan dengan teori kritis ialah istilah yang menyangkut: kritik atas masyarakat, organisasi, dan konstruksi masyarakat. Dengan menelusuri akar dari karya Karl Marx dan yang lain, teori kritis kini mengambil tema sentral atas isu kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan (power and power abuse) dalam organisasi dan masyarakat secara keseluruhan. Kini teori kritis lebih menekankan pada bagaimana mencari cara-cara untuk menghasilkan partisipasi yang lebih murni dan tata suasana yang lebih demokratis.
Jurgen Habermas menolak konsep ilmu pengetahuan rasional sebagai dasar dari pengetahuan yang valid di mana direkonstruksi kapitalisme yang sewenang-wenang. Habermas menyebut penggunaan teori Kritis untuk menyusun kembali (reconstitute) pemikiran dan rasionalitas sebagai proses bagi perubahan sosial yang positif. Menurut Habermas, proses komunikatif adalah basis bagi perubahan membawa gagasan dari proses konstitutif, secara harfiah merupakan fondasi bagi semua organisasi, pengaruh, dan pengambilan keputusan.

Komentar atas Teori Kritis dan Postmodernisme: Mats Alvesson (1956 - ), dan Stanley Deetz (1948 - ), Martin Kilduff (1949- ) dan Ajay Mehra (1968 - ) dan Gareth Morgan
Mats Alvesson, Stanley Deetz, Martin Kilduff, Ajay Mehra, dan Gareth Morgan memberikan komentar untuk mengidentifikasi konsep-konsep kunci dan hubungan antar litratur dan postmodernisme dan teori Kritis.
Alvesson dan Deetz (1996) mencatat bahwa kelahiran teori Kritis dan postmodernisme sebagai respons atas kondisi sosial. Masyarakat sekarang yang sangat kompleks mempunyai banyak kapasitas positif, namun sekaligus juga menjadi bentuk-bentuk yang berbahaya dari dominasi.
Kilduff dan Mehra (1997) menggambarkan perspektif postmodernisme sebagai memperjuangkan posisi teoretis yang berbeda sementara di pihak lain banyak mendorong tantangan-tantangan yang berkelanjutan dari asumsi yang diletakkan dari bagaimana kita memandang organisasi dan kehidupan organiasi. Mereka menganjurkan agar postmodernisme memandang “kebenaran” sebagai problematik dan lebih memusatkan pada bagaimana individu merekonstruksi dunia sosial mereka dan bagaimana konstruksi ini mengambil tempat dalam ciri-ciri kepastian dari kebenaran.
Morgan (1977), menggunakan organisasi sebagai metafor dominasi, menggambarkan apa yang disebut sebagai buruk rupa (ugly face) dari dominasi. Secara khusus, Morgan mengemukakan contoh-contoh bagaimana organisasi memperkokoh struktur kelas (misalnya kelas manajemen dan kelas pekerja) yang menyediakan bentuk-bentuk kontrol terhadap kerja, perilaku, dan bahkan keberlangsungan dari pekerjaan. Buah dominasi ini tampak dalam bahaya kerja, ancaman penyakit, kecelakaan kerja, serta pekerja anak di bawah umur.
Morgan dan kawan-kawan juga berpendapat bahwa perekonomian dunia makin didominasi oleh organisasi multinasional daripada oleh pemerintah atau oleh aliansi nasional. Teori kritis memandang bahwa organisasi multinasional sebagai biang utama doninasi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Teori Organisasi Feminis: Marta Calảs (1942 - ) dan Linda Smircich
Marta Calảs dan Smircich (1992) membantu memperluas isu-isu nyata yang didiskusikan oleh para pencetus teori kritis melalui penerapan mereka terhadap pendekatan-pendekatan feminis ke dalam studi kritis atas suatu organisasi. Keduanya memusatkan perhatian pada studi gender sebagai salah satu dari banyak variabel penting pada studi manajemen dan organisasi ke asumsi dasar pada aras riset organisasi.
Perspektif Feminis ialah: teori yang mengkritik asumsi-asumsi gender dari organisasi modern dan terpanggil untuk mengakui dan menghargai banyaknya suara dan perspektif. Perspektif ini juga ingin mensejajarkan pria-wanita, tidak lagi pria didentifikasikian sebagai manusia yang rasional sedangkan wanita adalah pembantu (suami) dan pengasuh (anak) di rumah.
Calảs dan Smircich (1996) mengidentifikasi terdapat tujuh pendekatan untuk teori Feminis:
1) liberal,
2) radikal,
3) psikoanalisis,
4) Marxist,
5) sosialis,
6) poststrukturalis/postmodern, dan
7) dunia ketiga/ postkolonial.



IMPLIKASI-IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI POSTMODERNISME, KRITIS,
DAN PERSPEKTIF FEMINIS
Postmodern, Kritis, dan pendekatan Feminis yang didiskusikan di muka berpusat pada komunikasi organisasi untuk memahami hubungan organisasi dan konstruksi dari hubungan sosial yang lebih luas. Makna yang berpusat pada pendekatan komunikasi organisasi direfleksikan oleh Postmodern, Kritis, dan pendekatan Feminis tentang kekuasaan, aturan komunikasi, dan organisasi berupaya untuk mengelola kebudayaan dan sosialisasi. Pendekatan emerging-perspective ke komunikasi organisasi lebih dekat diasosiasikan dengan teori Postmodern dan Perspektif Kritis. Emerging-perspective melukiskan komunikasi sebagai proses konstitutif, suatu gambaran yang dekat dan selaras dengan konsep Habermas dan pakar yang lain.
Bersama dengan Perspektif Feminis, Emerging-perspective juga menguji cara-cara di mana kekuasaan (power) disalahgunakan serta suara-suara yang dominan meminggirkan wanita dan kaum lemah.
Teori Postmodern dan Perspektif Kritis serta Emerging-perspective mengusulkan nilai dari tingginya tingkat partisipasi dan demokrasi di antara para pekerja yang berpusat pada nilai dari semua suara-suara (aspirasi) yang ada dalam suatu organisasi.


POSTMODERN, KRITIS, DAN PERSPEKTIF FEMINIS
DALAM ORGANISASI MASA KINI
Tingkatan organisasi –tidak termasuk level hierarkial dan manajer— adalah fakta yang demikian nyata dalam kebanyakan organisasi yang mengatur-diri (self-managing) dan tim yang berkinerja tinggi menggantikan gagasan tradisional dari supervisi atau pengawasan. Postmodern dan Perspektif Kritis menggambarkan perubahan itu dengan istilah power shifts (perubahan kekuasaan), saling bergantung satu sama lain, dan peningkatan kebutuhan untuk fleksibilitas dan adaptasi sebagaimana dikontraskan dengan spesialisasi pekerjaan dan berbagi soal makna.
Organisasi hari ini dan organisasi esok akan dipenuhi oleh karyawan yang semakin beragam. Pelanggan dan pasar beragam dan semakin khusus. Adaptasi, fleksibilitas, dan perubahan akan semakin sering terjadi. Untuk itu, organisasi harus secara teratur menerapkan pendekatan-pendekatan yang membutuhkan peningkatan dan mengubah keterampilan-keterampilan dari tenaga kerja. Hierarki mendapat tantangannya, sementara isu feminis makin merebak. Pasar global dan internasionalisasi perusahaan, serta perubahan tenaga kerja adalah keniscayaan yang menjadi bukti kuat adanya postmodern dan munculnya tantangan-tantangan kritis yang harus dijawab oleh sebuah organisasi.
Persoalan yang dihadapi The Davis Instrument Company dapat dipandang sebagai pendekatan Postmodern dan pendekatan Kritis. Davis perlu berubah. Relasi lama sudah tidak lagi bekerja secara efektif seperti di masa lampau. Untuk memahami kasus Davis, dituntut adanya pemikiran mengenai asumsi-asumsi yang mendorong Davis membuat keputusan. Selain itu, pertimbangan dapat diberikan, apakah mengabaikan suara-suara karyawan, atau sebaliknya, mendengar manajer dan supervisor.
***

Selasa, 08 Februari 2011

Memulai dan Mengelola Majalah Sekolah



Judul Buku: Memulai & Mengelola Majalah Sekolah
(Mempraktikkan Kompetensi Bahasa Indonesia)
Penulis : R. Masri Sareb Putra
Penerbit : Indeks, Jakarta.
Cetakan I : 2008
Tebal : 162 halaman
Peresensi : Fauziah*)

Jurnalistik adalah salah satu wujud yang dilahirkan dari kecerdasan kebahasaan (Word smart). Istilah ini telah menjamur disetiap kalangan, para siswa dan remaja mulai mengandrungi bentuk word smart yang satu ini. Jurnalistik merupakan dunia baru bagi mereka yang mengagungi kompetensi linguistik. Gerbang awal untuk menjelajahi alam ilmiah dengan cara menulis.

Namun, tak banyak pula yang masih ragu-ragu untuk terjun kedunia tulis-menulis. Maindset tentang bakatlah yang menetukan segalanya bukanlah hal yang benar dan musti di ubah. Keterampilan menulis bisa dipelajari oleh setiap orang. Bakat tidak akan ada artinya jika tidak didukung dengan adanya kemauan dan usaha. Menurut penelitian, dalam dunia tulis-menulis, bakat hanyalah 5%, selebihnya ditentukan oleh kemauan untuk berlatih, dan keyakinan untuk bisa.

Salah satu cara untuk menggali kemampuan jurnalistik dan mengasah kompetensi linguistik adalah menuangkan dalam bentuk produk tulisan. Para siswa menuangkannya dalam berbagai bentuk. Dari majalah dinding (mading), buletin sekolah, hingga majalah sekolah.

Melalui majalah sekolah, siswa dapat menghasilkan berbagai kreasi. Banyak hal yang akan didapat siswa mengenai kemampuan jurnalistik. Mempraktikkan wawancara, melakukan liputan, menulis karya-karya sastra sederhana seperti cerpen, puisi, cerber dan sebagainya, serta membuat ilustrasi dan cerita bergambar. Majalah sekolah dapat menjadi langkah awal untuk menggali dan mengasah potensi siswa yang mempunyai kecerdasan kebahasaan (word smart).

R. Masri Sareb Putra telah menyiapkan ramuan mujarab bagi pelaku jurnalistik, khusunya dalam ruang lingkup sekolah. Tips dan trik-trik jitu untuk mengelolah majalah sekolah telah tertuang dalam buku yang berjudul “Memulai Dan Mengelolah Majalah Sekolah: Mempraktikkan Kompetensi Bahasa Indonesia”.

Mengingat masih minimnya panduan lengkap mengenai manajerial majalah sekolah yang membahas dari A-Z bagaimana mengelolah majalah sekolah, mulai dari ide kosong hingga menjadi majalah dan sampai ketangan pembaca, maka buku karangan alumnus STFTWS (Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widia Sasana) Malang ini, wajib dijadikan salah satu referensi dalam pengolahan majalah sekolah. Buku ini merupakan panduan (how to book) pertama yang membantu, sekaligus menuntun berlatih bekerja tim pada sebuah media untuk tujuan bersama.

Karya penulis kelahiran Malaysia ini diharapkan menjadi sumbangsih nyata, sekaligus berguna bagi para siswa SMP-SMU. Terutama siswa yang aktif dalam proses membidani kelahiran majalah sekolah.
Selain itu, bagi siswa yang tidak terlibat dalam pengelolaan majalah sekolah, buku ini dapat membantu untuk memahami pelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia karena dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana memahami wacana dan teknik menulis ragam tulisan seperti yang dituntut dalam kurikulum.

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menguatkan ketentuan dalam KBK (Kurikilum Berbasis Komepetensi) yang menegaskan bahwa salah satu kompetensi umum Bahasa Indonesia ialah agar siswa mampu menulis berbagai jenis karangan. Guru pembimbing majalah sekolah, Guru BP, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, serta pengajar ekstrakulikuler jurnalistik pun wajib mendalami buku ini.

Kelengkapan dan kejelasan buku terbitan Indeks ini tidak diragukan lagi. Cakupan pembahasannya sangat luas. Mulai dari penjelasan tentang majalah sekolah dan kopetansi bahasa indonesia, berlatih kepemimpinan yang profesional, pers dan jurnalistik, pemahaman rubrik dan trik mengelolahnya, hingga pemasaran dan distribusinya. Bahkan, dijelaskan pula bagaimana para siswa mendapatkan dana untuk penerbitan majalah tersebut. Dari buku ini juga, pembaca dapat mengetahui bagaimana menyunting naskah.

Di setiap pembahasannya penulis menyertakan contoh konkrit, seperti resensi, tulisan feature, dan sebagainya. Penggunaan bahasa dalam penjelasannya pun luwes dan mudah dipahami oleh siapa pun, Sehingga memudahkan para pembaca dalam pemahaman dan dapat langsung mempraktikkannya. Nah, tunggu apa lagi? Segeralah membaca dan wujudkan majalah sekolah yang terbaik!


*) Fauziah,
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UIN Malang & Aktif di Unit Aktivitas Perss Mahasiswa (UAPM) INOVASI UIN Malang.

Minggu, 06 Februari 2011

Climbing the Iceberg Top

Sebuah gunung es ialah potongan besar es dari air tawar yang patah dari gletser salju atau es terbentuk rak yang mengambang pada permukaan air yang terbuka. Air ini selanjutnya dapat menjadi beku menjadi kumpulan es.

Kemungkinan lain ialah kumpulan air ini bergerak dan tumpah di dasar laut pada air dangkal, menyebabkan es mengalir (juga dikenal sebagai ice gouging) atau menjadi pulau es.

Seperti diketahui bahwa kata "iceberg" merupakan terjemahan dari kata Belanda ijsberg yang secara harfiah berarti gunung es, dari isbjerg dalam bahasa Denmark, Jerman eisberg, Saxon Rendah iesbarg, dan Swedia/ Norwegia isberg. Semua bangsa yang mengenal empat musim tentu mafhum gunung es dan langsung paham akan metafora yang lahir dari fenomenon alam ini.

Apakah Anda pernah melihat gunung es? Yang menarik ialah bahwa apa yang tampak di permukaan, bukan seperti apa yang ada di bawahnya. Sebuah gunung es mengapung di atas air, tetapi es yang berada di bawah permukaan bisa saja cukup mendalam, namun tidak diketahui seberapa besar dan bagaimana sebenarnya kondisi yang ada di bawah permukaannya.

Kerap apa yang tampak di luar, dan apa yang ada di dalam, atau yang ada di permukaan tidak sama sehingga istilah “iceberg” atau gunung es dipakai untuk melukiskan fenomena serupa. Begitu pula dengan manusia.

Manusia, pada hakikatnya, sama dengan gunung es: apa yang tampak di permukaan, tidak sama dengan apa yang ada di dalam. Manusia, sebagaimana bahasan-bahasan sebelumnya, menyimpan “sisi gelap tertentu” yang hanya dirinya sendiri yang mengetahui, namun orang lain tidak mengetahuinya.

Saya tidak akan mengulang lagi membahas apa yang disebut dengan “Johari Windows”, yakni Jendela Johari seseorang yang tersembunyi bagi orang lain jika sisi yang tersembunyi itu tidak dibukakan jendelannya.

Hanya sekadar mengingatkan kembali bahwa pada aras ilmu komunikasi, Johari Windows digambarkan dalam bentuk empat jendela, yakni yang terbuka (open), jendela yang buta (blind), jendela yang tersembunyi (hidden), dan jendela yang tidak diketahui (unknown). Jendela yang tersembunyi dan tidak diketahui orang lain, jika suatu saat terbuka dan orang lain dapat memandang ke dalam, itulah yang dinamakan puncak gunung es. Manakala puncak gunung es meleleh, maka akan tampak isi dan strukturnya. Tampak pula dasarnya yang rapuh.

Ketika satu temuan pada dari seseorang, sekelompok orang, atau suatu organiasi mulai tersingkap satu demi satu dan orang lain kaget karena selama ini tidak mengetahui dan tidak percaya sesuatu yang tersembunyi, maka akan keluarlah ungkapan, “Bagaikan gunung es”. Artinya, ketika sebuah fakta kecil ditemukan, atau muncul ke permukaan, tentu masih ada lebih banyak lagi fakta yang lain di dalam gunung es tersebut yang terselubung. Tentu saja, kadang merupakan hipotesis yang masih perlu untuk dibuktikan lagi.

Gunung es juga mirip dengan kehidupan manusia. Sering kepribadian seseorang hanya tampak di permukaan saja. Kepribadian seseorang seperti gunung es di lautan yang dapat dilihat oleh setiap kapal yang lewat baik di malam hari maupun di siang hari. Puncak gunung es ialah sesuatu yang kita lihat pertama.

Gunung es yang tampak berada di atas air adalah permukaan luar dari kepribadian seseorang.

Kita semua sama seperti gunung es bagi orang lain. Jiga puncak gunung es mencair, orang baru tahu yang ada di bawahnya. Sadari bahwa kita seperti gunung es. Suatu saat akan terkena sinar matahari dan meleleleh. Tidak selalu kita tetap berada di kedalaman laut yang gelap.

Namun, kita bisa mengambil risiko. Kita dapat membuka diri dan menunjukkan pada orang lain agar mereka melihat apa yang ada di bawah permukaan yang tampak. Atau, kita bisa juga membuka diri pada orang lain agar mereka pun melihat melampaui permukaan. Yang penting, apakah kita mau mengungkapkan apa yang di bawah permukaan atau tidak?

Apa sebenarnya yang paling penting, sesuatu yang tampak di permukaan, ataukah isi yang ada di dalam? Seperti dikatakan di muka, puncak gunung es adalah fenomena. Artinya, apa yang ada di kedalaman diri kita begitu banyak, namun orang lain tidak selalu melihatnya. Atau jika pun melihatnya maka yang tampak hanyalah permukaan saja. Kedalaman jiwa kita adalah diri kita yang sejati, bukan apa yang mengapung dan tampak di permukaan.

Diri kita yang mengapung di permukaan ialah sesuatu yang artifisial, yang dapat berubah sewaktu-waktu. Namun, yang membuat kita benar-benar hidup adalah hati kita, jiwa kita, mimpi kita. Dan yang paling pokok ialah keinginan dan hasrat agar apa yang kita cita-citakan harus tercapai.
Seperti fenomena gunung es, manusia pun memunyai sisi-sisi gelap tertentu yang tidak muncul ke permukaan. Namun, suatu saat akan tampak manakala gunung es kita meleleh.

Fenomenon puncak gunung es bukan saja memunculkan banyak metafora, akan tetapi juga teori. Sebagaimana diketahui bahwa “The Iceberg Theory” (juga populer dengan "theory of omission") ialah terminologi untuk menggambarkan gaya tulisan penulis Amerika, Ernest Hemingway (1899-1961). Hemingway amat populer karena mahakaryanya yang universal dan populis berjudul The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, dan The Old Man and the Sea.

Menurut Hemingway, manakala seseorang menulis menguasai topik yang ditulisnya maka pembaca akan memahami, lalu mengapresiasi tulisannya. Akan tetapi, manakala penulis tidak jelas menyebut (omission) atau menulis sesuatu sehingga kurang “nyambung”, maka ia memberikan kesempatan kepada pembaca untuk meneruskan cerita itu dalam perspektif mereka sendiri. Jeda ini memberikan kesempatan pada pembaca untuk berpikir mengenai alternatif dan setting cerita yang mungkin dibangun.

The Iceberg Theory kemudian dikembangkan dalam berbagai bidang, termasuk di bidang bisnis dan manajemen. Pada 2005, Stephen G. Haines dari Centre for Strategic Management mengembangkan konsep “The Iceberg Theory of Change”, suatu pendekatan sistem berpikir yang dapat meningkatkan kapasitas keunggulan bersaing dalam dunia bisnsis.

Bagaimana konsep itu? Sebenarnya, cukup sederhana. Gambarnya ialah sebuah prisma segitiga. Segitiga yang ada di depan, kita sebut sebagai yang pertama, di tengah adalah segitga yang kedua, dan yang paling kiri adalah segitiga yang ketiga.

Pada segitiga pertama terdapat tiga lapisan, paling puncak (peak) adalah lapisan 1 di mana terdapat gunung es karena letaknya di atas permukaan laut. Puncak ini disebut sebagai isi (content), yakni bagian yang paling tampak dan kasat mata. Untuk meraih keunggulan kompetitif di dunia bisnis, bagian ini memberikan kontribusi 13%.

Pada lapisan yang kedua terdapat apa yang disebut sebagai “proses” yang kata kuncinya adalah “how”. Bagian ini berada di bawah permukaan laut, tidak tampak.

Sementara lapisan ketiga ialah struktur (framework) yang terdapat di dalam kedalaman dasar laut. Struktur ini disangga oleh kultur dan komitmen. Sistem berpikir ada dalam lapisan ini.

Dua lapisan segitita pertama gunung es di bawah permukaan laut ini bersama-sama dengan segitga kedua (resources) dan segitiga ketiga (competences) memberikan sumbangan yang sangat besar untuk meraih keunggulan kompetitif di dunia bisnis, yakni 87%.

Apa hikmat puncak gunung es bagi kita? Banyak sekali. Yang pertama, tentu saja, jangan pernah menilai atau menghakimi orang berdasarkan apa yang tampak di permukaan. Mengapa? Seperti gunung es, permukaan hanyalah apa yang tampak secara fisik, tidak mencerminkan isi dan struktur yang ada di dalam.

Sebagaimana dikemukakan Stephen G. Haines bahwa apa yang tampak di atas permukaan baru menggambarkan sebagian kecil (13%) dari isi dan luas gunung es yang sesungguhnya.

Di pihak lain, apa yang ada di bawah permukaan (laut) justru isi dan luasnya lebih besar, yakni 85%. Meski tidak tampak secara fisik, bagian yang terdiri atas dua lapisan ini kontribusinya sangat besar.

Proses dan kultur ada di lapisan ini, karena itu, puncak gunung es sebenarnya adalah akumulasi dari bagian yang tidak tampak ini.
Jika judul tulisan ini mengajak pembaca untuk mendaki peak gunung es maksudnya tentu tidak harfiah.

Di ketinggian, kita baru dapat mengukur seberapa tinggi sebuah gunung. Di ketinggian pula, biasanya orang menyadari bahwa dia “bukan siapa-siapa”.

Setelah bersusah payah mengerahkan tenaga dan pikiran meraih puncak, pendaki menyadari bahwa apa yang diraihnya memerlukan tekad dan mental baja. Hanya orang yang mengalami bahwa mencapai sesuatu tidak mudah akan menghargai pencapaiannya dan memahami para pendaki yang mencoba, namun belum berhasil mencapai puncak.

Mencapai puncak gunung es tidak mudah. Namun, jika sudah berada di puncak, akan menjadi jelas bangun struktur dan isinya.

Kita perlu mengetahui apa isi dan bangun struktur gunung es agar dapat mengambil keputusan tepat dan menetapkan langkah yang mantap. Dengan demikian, pendekatan lebih holistik karena tidak mendasarkannya hanya semata-mata pada fenomena yang hanya mencuat di permukaan.