Selasa, 06 September 2011

Pantangan-Pantangan dalam NGAYAU

Pada zaman primitif, dalam upaya mempertahankan wilayah dan melestarikan klan yang masih sedikit, diciptakan mitos. Salah satunya, mitos mengenai adanya kekuatan dalam kepala manusia. Juga kisah ihwal adanya pembersihan lewat darah musuh. Hal ini terutama terjadi di suku bangsa primitif.

Demikian pula, dahulu kala, nenek moyang kita yakin akan mitos itu. Jangkang bermusuhan dengan Ribunt. Tersebutlah seorang hero dari Jangkang, namanya Macan Gaingk. Ia sakti. Lihai berperang. Namun, tewas karena melanggar sirok somah.

Syahdan, ini terjadi awal abad 18. Sudah melihat ada sirok somah sebelum memasuki kampung, ia nekad juga mengayau. Ia diperingatkan oleh musuh bahwa musuh sudah menyerah dengan memberi tanda sirok somah, namun Mancan Gaingk tidak peduli.

“Mengapa kalian menyerang kami? Tidakkah mata kalian melihat sebelum masuk kampung ada sirok somah?” tanya pemimpin Ribunt.

“Kami tidak peduli. Sebentar lagi gawai. Kami memerlukan kepala musuh untuk taja notongk,” jawab Macan Gaingk.

“Minta ampun, macan! Kami pantang ngayau dua tiga hari ini. Di kampung kami baru saja tiga ibu melahirkan dalam waktu yang berdekatan. Kalian sebaiknya ngayau ke kampung lain saja!”

“Mana kami peduli. Kami sudah ke sini,” jawab Macan Gaingk dengan garang. Ia menghunus mandau. Lalu merangsek masuk pelataran rumah panjang musuh.

“Ah… mak mok nyen, tulah boh oh omo macan!” (Jika nekad juga ngayau, kamu akan tulah, macan!)

“Mae longk koh tulah. Koto maeh eh!” (Mana saya mau tulah. Rasakan seranganku!) Macan Gaingk kesetanan. “Kih sani neh onya dek mora boranak seh?” (Mana ibu-ibu yang baru saja melahirkan?) Macan Gaingk melanggar sumpah dan aturan ngayau. Ia nekad. Korban pertama yang jatuh di tangannya justru ibu-ibu yang baru melahirkan, pantangan yang sebenarnya harus dipatuhi dalam ngayau.

Tidak mudah menaklukkan Macan Gaingk, meski ia kena sumpah dan tulah. Banyak korban jatuh di tangannya. Karena dikeroyok, Macan Gaingk lalu didesak keluar kampung, ke sebatang pohon besar. Di situ ia masih menjatuhkan banyak korban karena di belakangnya terlindung baner (akar pohon yang lebar).

Akhirnya, dahi Mancan Gaing tertembus tombak musuh yang mata tombaknya terbuat dari tulang manusia. Sebelum menyerah kalah, Macan Gaingk memerintahkan anak buahnya pulang ke Jangkang, membawa hasil kayauan untuk keperluan notongk pada gawai yang tidak lama lagi diadakan.

Dalam peristiwa Macan Gaingk melanggar sirok somah di daerah Ribunt ini, dihikayatkan sudah ngayau bersamanya Macan Luar (Kek Gila) dan Macan Natos.
Kedua macan ini tampil mengganti Macan Gaingk. Namun, yang paling menonjol adalah Macan Luar, ia kerap diminta Raja Kerajaan Sanggau menaklukkan raja-raja bawahan yang tidak mau patuh. Kisah epos tentang Macan Luar ialah ketika ia membantu Raja Paku (gelar raja Sanggau waktu itu) menaklukkan raja kerajaan Tayan. Atas jasanya ini, Macan Luar diberi gelar “Macan Muara Tayant Songkuangk Tajor” dan dihadiahkan 12 buah gong.

Nantinya, setelah pikun, kenangan akan mabuk kemenangan ketika berhasil menaklukkan raja kerajaan Tayan ini tetap tersimpan dalam memori Macan Luar. Ia makan sirih. Ketika sedang membuat sirih, lewat anak-anak, ia seolah-olah menembak, “Pou! Pou!” pada anak-anak.

Kata anak-anak, “Gila kali kakek itu.”

“Bukan gila! Hanya menirukan bunyi, begitulah musuh menembak kami waktu menaklukkan Tayan dahulu kala.”

Sejak itu, Macan Luar digelari “Kek Gila.”
***