Rabu, 16 Juni 2010

Just Start

Saya punya usaha kecil-kecilan. Writing business. Selalu ada order, meski tidak distrategikan betul. Dulu, merambah usaha ini terasa musykil. Namun, seiring berkembangnya industri kreatif, bisnis ini menjanjikan.

Adakah rumusan yang jitu, agar sebuah usaha sukses? Di buku 101 Writing Businesses You Can Start from Home saya sudah menjelaskan terdapat 101 peluang. Hanya saja, kerap orang takut untuk memulai.

Sebenarnya,takut mulai usaha ini bukan hanya pada bidang tulisan. Bidang lain pun, kerap orang merasa gamang.

Kita memang kerap terjebak pada “mitos”, misalnya agar suatu usaha sukses, maka terlebih dahulu harus dibuat rencana usaha (business plan) yang terperinci dan feasible. Sebelumnya, dilakukan lebih dahulu studi kelayakan lengkap dengan analisis yang akurat. Termasuk kesiapan dan keandalan sumber daya manusianya, kecukupan modal, sampai berapa lama usaha benar-benar mampu menghidupi diri sendiri. Jika semua itu sudah dilakukan, maka bolehlah mulai suatu usaha.

Langkah-langkah seperti itu tidak salah, bahkan merupakan suatu keniscayaan. Bahkan, sangat dianjurkan para pakar bisnis dan manajemen. Text book juga mencatanya demikian.

Akan tetapi, saya agak keluar dari kotak pemikiran banyak orang. Judul tulisan ini tegas menggambarkan bagaimana pemikiran saya. Bahwa suatu usaha tidak harus mulai ketika semuanya sudah siap.

Ada kalanya kita mulai lebih dulu saja (start). Lalu, seiring dengan bergulirnya waktu, usaha kita pun bergulir (roll) juga. Tinggal kita sempurnakan yang kurang dan yang coba mengupayakan perbaikan yang belum baik. Pada saatnya nanti, ketika segalanya siap, didukung sumber daya yang siap pula, baru kita percepat (accelerate).

Membuka suatu usaha yang penting mulai lebih dulu, kini semakin diamini banyak pakar. Renee dan Don Martin, misalnya dalam The Risk Takers: 16 Women and Men Who Built Great Businesses Share Their Entrepreneurial Strategies For Success (Vanguard Press, 2010), dalam salah satu tips menggarisbawahi pentingnya mulai usaha: Just Start!

Namun, segera ditambahkan bahwa bukan tidak ada risiko di dalamnya. Pengusaha sejati ialah yang tahu dan siap menghadapi risiko. Karena itu, berdasarkan pengalaman dan kisah sukses 16 entrepreneur di Amerika Serikat, Renee dan Don Martin mencatat bahwa orang-orang yang sukses dalam usaha tersebut adalah pengambil risiko (risk takers).

Just Start
Jika Anda punya gagasan tentang suatu bisnsis baru, yakin dan pede saja lagi bahwa Anda akan sukses di dalamnya. Yang tak kalah penting, dorong diri sendiri dengan berbagai cara untuk mencapainya. Lalu jangan takut pada risiko apa pun yang akan menghadang.

Jangan cemas akan hari depan. Sebab apa yang Anda cemaskan tidak selalu terjadi. Justru Anda harus bisa mengubah kecemasan menjadi kesuksesan. Jangan bimbang. Kadang usaha perlu dimulai dulu. Ketika berjalan, peluang masuk jala usaha kita. Namun, jika tidak pernah memulai, kapan peluang kita tangkap? Ayunkan langkah pertama Anda dalam usaha. Just get started.

Senin, 14 Juni 2010

Blunder: c'est la vie

Drama kehidupan juga merebak ke lapangan sepak bola. Pada pertandingan pembuka babak penyisihan grup C Piala Dunia 2010, Afrika Selatan, drama itu dipentaskan di Stadion Royal Bafokeng13 Juni 2010. Berhadapan kesebelasan Inggris melawan Amerika Serikat. Semua orang berharap, bahkan sebagian besar, yakin bahwa Inggris akan memetik angka penuh. Pasukan red cross asuhan Fabio Capello sudah menjebol gawang lawan menit ke-4 melalui tendangan Steven Gerard.

Pendukung Inggris pun bersukacita. Drama sepertinya akan berujung pada happy ending. Namun, apa yang kemudian terjadi? Blunder itu tiba-tiba datang menghancurkan mimpi. Gelandang Amerika Serikat, Clint Dempsey, melepaskan tendangan.

Bola yang meluncur sebenarnya perlahan saja. Tidak liar, apalagi keras. Tendangan gelandang Fulham itu mendatar, menyusur tanah. Kiper Inggris, Green bergerak menghalau. Ia coba menahan laju bola dengan kedua tangannya. Tapi sial, ia sedikit terjengkang. Alih-alih memeluk bola, si kulit bundar malah bersarang masuk gawang sendiri. Blunder itu pun terjadi!

“Kiper sontoloyo. Dungu sekali!” umpat suporter. Tak satu pun yang membela Green, semua orang menyalahkannya.

Apa kata Green? Dengan datar ia berucap, “Kadangkala orang bisa melakukan kesalahan. Itulah hidup.” C'est la vie.

Sengaja atau tidak. Dikehendaki atau tidak. Seperti pemain Green, dalam hidup ini, kerap kita membuat blunder. Bahkan blunder yang sebenarnya kita sendiri tidak menginginkannya, tapi toh terjadi juga. Kita sudah berupaya sekuat tenaga menghalau segala sesuatu yang mengancam reputasi dan hidup kita, namun suatu ketika tak berdaya menahan lajunya bencana.

Hans Christian Anderson mengatakan,“Just living is not enough. One must have sunshine, freedom, and a little flower.”

Adalah naïf jika kita hanya menerima kenyataan pahit dalam hidup ini. Kita harus mengubah hambatan menjadi peluang. Tidak semata-mata nrimo, tapi berusaha untuk keluar dari hambatan yang merintangi.

Seperti dikatakan Anderson, tidak cukup hanya menjalani hidup yang serba kelam. Kita harus melihat di balik kelam ada sinar matahari. Di balik jeruji besi yang mengungkung, lilitan nasib, dan simpul hereditas, ada kebebasan. Dan di antara daun-daun yang berguguran, ada sekuntum bunga.

Maka menyanyilah bersama grup musik legendaris, ABBA.
Sing c'est la vie
Tu pleures ou tu ris
Tu n'as pas choisi
Tout?a c'est la vie....

Bernyanyilah tentang hidup
Kau tertawa atau menangis
Anda tidak memilih
Semuanya? Apakah hidup itu....

Minggu, 13 Juni 2010

Santa Lusia dan Lux

Suatu ketika, saya sedang berada di Italia. Negeri ini dikaruniai bukan saja keindahan, tapi juga kenyamanan. Di antara negara-negara di Eropa, Italia adalah tempat yang bertaburan objek wisata bersejarah. Tinggal memilih ke mana kaki akan melangkah. Ada colosseum, Forum Romanum, Capitol, Via Appia, Basilika Santo Petrus, dan Fontana di Trevi. Semuanya menarik untuk dikunjungi.

Penuh kenyamanan, karena Italia termasuk negeri yang berhawa dan bercuaca lebih bersahabat dibanding negeri-negeri Eropa lainnya. Jika musim panas, hawanya tidak begitu menggerahkan. Sebaliknya, jika musim dingin, cuaca tidak begitu menggetarkan rahang karena dingin yang menusuk hingga sum-sum tulang. Tak mengherankan, Italia hampir tiap musim tumpah ruah oleh turis mancanegara, termasuk dari negara sesama Eropa.

Di sebuah sudut jalan, samping sebuah bangunan tua. Mata saya terpanah, kagum oleh suatu pemandangan eksotik. Iring-iringan orang berjajar rapi. Gadis-gadis di depan berbaris, sembari di tangan mereka membawa lilin-lilin yang bernyala.

Hati saya bersukacita. Turut larut dalam kegembiraan mereka. Tua-muda, pria-wanita, anak kecil maupun orang dewasa, serempak bernyanyi:

Sul mare luccia l'astro d'argento,
Placida è l'onda, prospero è il vento
Venite all'agile barchetta mia...
Santa Lucia! Santa Lucia!

Con questo zeffiro, così soave
Oh! Com'è bello star su la nave!
Su passaggieri, venite via!
Santa Lucia! Santa Lucia!

In fra le tende bandir la cena
In una sera così serena!
Chi non domanda, chi non desia?
Santa Lucia! Santa Lucia!

Mare sì placido, vento sì caro
Scordar fa i triboli al marinaro,
E va gridando con allegria,
Santa Lucia! Santa Lucia!

O dolce Napoli, o suol beato,
Ove sorridere volle il creato
Tu sei l'impero dell'armonia!
Santa Lucia! Santa Lucia!

Or che tardate? Bella è la sera,
Spira un'auretta fresca e leggera,
Venite all'agile barchetta mia
Santa Lucia! Santa Lucia!

Santa Lucia! Santa Lucia!
Santa Lucia! Santa Lucia!


Jujur, saya tidak mengerti arti lagu itu. Hanya bisa menangkap sepatah dua: laut, bintang perak, gelombang yang tenang, sejahtera, angin, dan perahu saya. Namun, bila memahami legenda seputar Santa Lusia, semuanya terungkap dengan jelas. Bahwa di balik kematian ada kehidupan (baru).

Di balik keputusasaan, ada secercah harapan. Di saat kelaparan, orang yang memohon doa minta dikenyangkan, dikabulkan Tuhan. Senang dan susah silih berganti. Hanya orang tawakal yang sanggup mengucap syukur. Dan penduduk Italia salah satu orang tawakal yang jumlahnya tidak banyak itu. Saya begitu kagum dan sangat terkesan pada mereka.

Legenda
Tidak bisa ungkapan syukur orang Italia lepas dari hagiografi Santa Lusia. Pesta Santa Lusia atau Saint Lucy's Day (kadang-kadang Lusia saja) adalah hari raya Gereja yang didedikasikan untuk St. Lusia yang diperingati tiap tanggal 13 Desember. Perayaannya tidak hanya terkenal di Swedia, tetapi Italia, juga di Norwegia, Denmark, Islandia, Latvia, Estonia, Finlandia, Malta, Italia, Bosnia, Bavaria, Kroasia dan Slovakia, Amerika Serikat.

Di Italia perayaannya sangat unik, sering berpusat sekitar gereja.
Dalam perayaan tradisional, Santa Lusia datang sebagai wanita muda dengan lampu dan permen. Prosesi dipimpin oleh seorang gadis mengenakan mahkota lilin (atau lampu). Sementara di tempat lain dalam prosesi hanya memegang lilin masing-masing.

Santa Lusia adalah pelindung kota Syracuse (Sisilia), tempat dia dilahirkan. Perayaan puncaknya berlangsung pada tanggal 13 Desember dan pada bulan Mei. Santa Lusia juga populer di kalangan anak-anak di beberapa daerah Timur-Utara Italia, yaitu Trentino, Lombardia Timur (Bergamo, Brescia, Cremona dan Mantova), beberapa bagian dari Veneto, (Verona), beberapa bagian dari Emilia-Romagna, (Piacenza, Parma, dan Reggio Emilia), dan Friuli.

Santa Lusia dikisahkan datang ke tempat itu membawa hadiah untuk anak-anak yang baik, sedangkan bagi anak-anak yang bandel ia datang membwa batubara. Anak-anak diminta untuk meninggalkan beberapa makanan untuk Lusia (sandwich, atau apa pun yang tersedia saat itu) dan untuk keledai yang membantu dia membawa hadiah (tepung, gula, atau garam). Tapi mereka tidak harus melihat Santa Lusia memberikan hadiah. Sebab Santa Lusia akan melempar abu ke mata mereka, membutakan mereka sementara.

Sebagaimana legenda, syahdan di negara bagian Syracuse, di pulau Sisilia, seorang anak dengan nama Lusia lahir pada tahun 283 dalam sebuah keluarga kaya Sisilia. Ketika tumbuh besar, dia memilih untuk hidup seperti Santa Agatha, orang suci yang sangat dihormati di kota tetangga. Ingin hidup menyerupai Santa Agatha, Lusia bersumpah untuk tetap menjadi perawan dan memberikan barang miliknya kepada orang miskin yang membutuhkannya.

Lusia secara harfiah berarti cahaya (lux). Namun, bukan merek sabun yang diiklankan oleh salah satu artis terpopuler negeri ini....

Senin, 07 Juni 2010

Put out into deep water

Suatu ketika, sejumlah nelayan sedang menangkap ikan. Bukan di kolam susu, namun di laut sungguhan. Mereka menangkap ikan dengan perahu. Semalaman mereka menebarkan kail dan jala. Namun, hasil tangkapan mereka tidak seperti yang diinginkan.

Kesal karena tidak berhasil, para nelayan pun menambatkan perahu di tepi pantai. Mereka uring-uringan. Rasa penat dan putus asa tergurat pada wajah-wajah mereka. Ketika tiba-tiba datang menghampiri seorang bijak dan bertanya,

“Hai, para nelayan. Mengapa kamu berhenti menangkap ikan?”

Para nelayan serta merta bangun dari perahu yang sedang ditambatkan. Mereka kaget. Tidak menyangka jika sepagi itu ada orang yang memerhatikan. Setelah mengucek-ucek mata, lalu dengan gagap mereka menjawab, “Kami kesal sekali. Semalaman menangkap ikan, namun sia-sia.”

“Mengapa kamu semua putus asa? Bangkitlah! Bertolaklah ke air yang lebih dalam lagi. Tebarkanlah jalamu, niscaya kamu akan mendapatkan ikan besar-besar.”

Penuh kepercayaan, para nelayan mengikuti kata-kata orang bijak yang tak dikenal itu. Perahu mereka pun bertolak ke air yang lebih dalam lagi. Pelayaran ke sana memang penuh tantangan. Berbeda dengan angin pantai yang kadang berembus semilir dan memanjakan, ombak di laut besar bergulung-gulung. Jika tidak terampil mengendalikan perahu, bisa-bisa tenggelam.

Tiba di kedalaman laut, para nelayan pun menuruti apa yang disarankan. Mereka menebar jala. Setelah membiarkannya cukup lama, mereka menghela jala itu ke perahu. Astaga! Jala mereka penuh dengan ikan besar-besar, sehingga mereka nyaris tidak kuat lagi untuk menariknya. Saking besar dan banyaknya ikan, jala mereka hampir koyak.

Kakap vs teri
Bagi kalangan tertentu, tamsil “duc in altum” tentu bukan sesuatu yang asing lagi. Dalam bahasa Inggris, istilah itu menjadi “put out into deep water”. Dalam Indonesia, dapat diterjemahkan menjadi “bertolaklah ke air yang lebih dalam lagi”.

Tamsil itu lahir tidak terlepas dari konteks. Penangkap ikan atau nelayan mafhum bahwa jika mengail atau menjala di tepi laut, maka yang didapat adalah ikan teri saja. Kecil, banyak tulangnya. Dilihat dari tangkapan, jumlahnya memang banyak, tapi merepotkan. Pasti ikan kecil-kecil itu kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan ikan besar.

Ikan besar, terutama ikan kakap, habitatnya tidak di tepi laut yang dangkal. Namun, hidup di laut yang dalam. Karena itu, kita mengenal istilah “kakap” untuk menggambarkan sesuatu atau hal yang besar, sedangkan untuk hal atau sesuatu yang kecil kita menyebutnya “teri”. Misalnya, untuk melukiskan sesuatu yang kecil kita menyebutnya “kelas teri”. Sebaliknya, untuk melukiskan ihwal yang besar kita menyebutnya “kelas kakap”.

Dalam konteks teri-kakap itulah tamsil “duc in altum” muncul. Berpikir dan bertindak kecil, risikonya memang kecil juga. Namun, hasilnya tangkapan adalah ikan teri yang kecil-kecil. Tidak mungkin mendapatkan kakap di tepi pantai.

Tantangannya memang jauh lebih kecil, di tepi pantai angin cenderung lebih bersahabat, bahkan cenderung semilir dan meninabobokkan. Karena itu, setelah semalaman menebar jala, para nelayan kelelahan, lalu tertidur pulas di perahu. Mereka dininabobokkan dalam buaian semilir angin pantai. Lupa bahwa masih ada kewajiban yang mesti ditunaikan: membawa pulang hasil tangkapan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Sebaliknya, bertolak ke air yang dalam mengandung risiko yang juga jauh lebih besar. Haluan perahu lebih sulit dikendalikan ketika badai menerpa. Bahaya perahu disapu ombak yang ganas sewaktu-waktu siap mengancam. Ketika tantangan dan risiko ini di satu pihak harus diatasi, sementara di pihak yang lain harus berhasil menangkap ikan, maka keberhasilan akan ditentukan setidaknya oleh tiga hal.

Pertama, keterampilan berlayar dan mengendalikan perahu. Jika tidak, kesalahan sedikit pun di laut lepas akan fatal dan tangkapan akan sia-sia belaka. Alih-alih mendapat kakap, bisa-bisa perahu tenggelam, dan para nelayan terseret oleh arus air laut yang ganas.

Kedua, penjala ikan yang cakap menebar jala dalam kondisi perahu oleng dan laut yang dalam. Diharapkan penjala lentur, dapat berpijak di lantasan yang goyah, namun lemparan jalanya harus bisa presisi tepat ke arah permukaan air yang ada ikannya. Si pelempar jala harus punya kemampuan adaptatif dan mempunyai intuisi dan visi di mana kira-kira jala harus ditebar.

Ketiga, adanya pembagian tugas yang jelas antara tukang perahu dan penjala, bahkan sejak rencana digulirkan. Semua harus terampil di bidangnya masing-masing.

Berpikir besar = hasilnya besar
Kita kerap menjumpai ada orang yang sulit dan orang yang kurang berani bertolak ke air yang lebih dalam. Sebagian orang mungkin merasa sudah cukup apabila dapat menangkap ikan teri. Lalu puas dengan hasil tangkapan itu. Sebagian lagi sudah berusaha, namun karena kurang berani bertolak ke air yang lebih dalam karena takut menghadapi risikonya, tidak mendapatkan apa-apa. Lalu tidur dalam buaian angin pantai dalam kehampaan.

Untunglah, ada orang arif bijaksana yang mencelikkan mata. Potensi mereka untuk meraih capaian sebenarnya ada. Di laut yang dalam, yang penuh ombak dan badai itu, banyak ikan kakapnya. Dan mereka menuruti apa kata sang bijak.

Apa hikmat yang bisa dipetik dari tamsil teri-kakap? Berpikir dan mengerahkan tenaga sekecil mungkin, hasilnya juga akan kecil. Risiko diterpa angin topan memang tidak ada. Seseorang bahkan cenderung dibuai oleh angin pantai. Tertidur. Lalu, lupa akan tugas dan tanggung jawabnya. Sebaliknya, jika bertolak ke air yang lebih dalam, akan menghadapi tantangan dan risiko yang jauh lebih besar. Namun, jika berhasil mengatasinya, akan mendapatkan ikan yang besar pula.

Jauhari windows
Dalam kehidupan sehari-hari, kita memerlukan bantuan orang lain untuk mencelikkan mata hati kita. Kita kadang tidak melihat sesuatu yang ada dalam diri kita, entah itu potensi, entah itu kekurangan.

Celah itu sama sekali tertutup dan tidak tampak buat kita, namun orang lain melihatnya. Ada daun jendela kita yang terbuka lebar bagi orang lain di mana lewat jendela itu orang dapat melihat diri kita. Namanya “Jauhari Windows”.

Orang bijak yang menyuruh nelayan bertolak ke air yang dalam, melihat dari Jendela Jauhari. Bahwa di sana ada potensi luar biasa, yang sama sekali tidak tampak sebelumnya.

Minggu, 06 Juni 2010

How to get people to take action?

To get people to take action, appeal to their emotions and things they care about.

Kalimat sarat hikmat ini meluncur dari Doug Hattaway, president dan CEO Hattaway Communications.

Dalam kehidupan sehari-hari, betapa sulit meminta orang lain bertindak melakukan sesuatu yang diinginkan. Di rumah, di tempat kerja, di lingkungan masyarakat, tidak mudah menyuruh orang melakukan sesuatu.

Dalam suatu organisasi, baik organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, maupun organisasi bisnis, selalu ada “orang kunci”. Orang kunci ini mewarnai dan memengaruhi orang lain. Pengaruh yang diberikan tidak selalu positif. Bahkan, kadang juga negatif.

Pengaruh muncul dari sikap atau kebiasaan meniru. Interaksi yang intens antarmanusia dalam berkomunikasi memengaruhi emosi. Emosi menimbulkan reaksi. Jika banyak orang berada dalam tataran dan letupan emosi yang sama maka akan mendatangkan reaksi atau tindakan sosial.

Pengalaman menunjukkan, tindakan sosial tidak selalu positif. Kembali ke masa-masa awal reformasi di negeri kita, tahun 1998. Betapa segelintir orang yang disebut “provokator” berhasil membakar emosi massa sehingga dalam waktu sekejap, seperti dikomandoi dan diatur dengan rapi, massa mengamuk. Kemudian, merusak sentra-sentra bisnis, fasilitas umum, rumah penduduk. Tanpa merasa bersalah, sekelompok massa yang sedang terbakar emosinya itu menyerang secara brutal orang di sekitar.

Jadilah provokator yang baik. Jangan ke yang negatif. Bukankah pada galibnya, kata provokator itu netral. Dari kata "provoke", menyemangati, memengaruhi.

Orang dengan mudah dipengaruhi, manakala kita dapat menarik emosinya. Lalu, peduli dengan apa yang menjadi masalahnya.

Sabtu, 05 Juni 2010

Work hard vs work smart

Bagaimana daya saing Indonesia di kancah global? Laporan World Economic Forum menunjukkan bahwa daya saing rata-rata manusia Indonesia masih rendah. Penyebabnya ialah masih segelintir manusia Indonesia yang menggunakan akal budinya dalam bekerja, sehingga di banyak perusahaan dan institusi proses kerja dan hasil kerja belumlah sangkil dan mangkus.


Kecerdasan dan daya saing sangat berkorelasi, sebagaimana juga kemiskinan berkorelasi dengan masyarakat literasi (melek huruf). Bukti-bukti menunjukkan bahwa di mana suatu negara tinggi buta hurufnya, yang mengindikasikan masyarakat itu belum cerdas, maka daya saingnya juga rendah atau angka kemiskinan juga tinggi di negara tersebut.

Di pihak lain, negara maju dan negara indutri-baru sangat tinggi daya saingnya dibanding negara lain. Mengapa bisa demikian? Tidak lain karena negara maju dan negara indutri-baru tingkat buta hurufnya rendah atau masyarakatnya terpelajar (cerdas). Orang yang bekerja dengan mengerahkan seluruh kemampuan otak, hasilnya akan maksimal daripada orang yang bekerja secara mekanis, kurang menggunakan akal budi, tidak kreatif, dan tidak inovatif.

Perbedaan orang cerdas dan orang yang kurang cerdas terletak pada cara dan hasilnya. Orang yang cerdas tahu bagaimana cara bekerja dan bagaimana cara mencapai tujuan. Dengan demikian, orang cerdas bekerja secara efektif dan efisien. Selain menghasilkan lebih banyak dan lebih cepat daripada orang lain, orang yang bekerja dengan cerdas juga menggunakan waktu untuk mencapai hasil jauh lebih sedikit. Waktu selebihnya dapat digunakan untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu yang lain lagi. Dengan kata lain, orang cerdas not just work hard, work smart (bukan hanya bekerja keras, tetapi juga bekerja dengan cerdas).

Masalahnya, bagaimana menghasilkan manusia yang cerdas? Sebagaimana yang didefinisikan ulang oleh Gardner, kecerdasan ialah kemampuan seseorang untuk mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban (the ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture”.

Tidak dapat tidak, cara menghasilkan manusia cerdas ialah melalui pendidikan dan latihan. Selain melalui pendidikan formal, mencerdaskan manusia juga dapat dilakukan melalui pelatihan dan pergaulan sehari-hari dalam masyarakat.

Sebagaimana dikatakan Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara bahwa “Sekolah adalah setiap tempat dan guru adalah semua orang” maka untuk mendidik manusia cerdas diperlukan tempat yang kondusif dan masyarakat yang kondusif pula.

Masalahnya, bagaimana menciptakan tempat yang kondusif dan masyarakat yang kondusif seperti di negara maju dan negara industri-baru? Dapat saja menempuh cara lain, namun upaya pencerdasan masyarakat dapat dimulai dari segelintir orang yang memiliki komitmen dan kepedulian yang tinggi pada kemajuan dan peradaban masyarakat. Orang-orang cerdas selalu ada dalam delapan pranata sosial berikut ini, yakni pranata sosial:
- yang bertujuan memenuhi kehidupan kekerabatan (domestic institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencarian hidup, memproduksi, menimbun, dan mendistribusi harta benda (economic institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi manusia yang berguna (educational institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam sekelilingnya (scientific institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya dan untuk rekreasi (aesthetic and recreational institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib (religious institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur hidup berkelompok dan bernegara (political institutions), dan
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengurus kebutuhan jasmaniah (somatic institutions).

Orang-orang cerdas dalam kedelapan pranata sosial tersebut dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Mereka seperti pemimpin dalam formasi angsa terbang (flying geese ) yang membawa maju masyarakatnya mencapai tujuan. Dengan demikian, manusia cerdas harus dididik secara terencana dan holistik dengan melibatkan dan menggerakkan orang-orang cerdas yang ada dalam setiap pranata sosial.

Manakala manusia-manusia cerdas di setiap pranata sosial sudah ditemukan, selanjutnya perlu dilakukan gerakan sosial secara terintegralistik yang mengarah ke peningkatan daya saing nasional. Dalam konteks tulisan ini, daya saing yang dimaksudkan ialah kemampuan suatu negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya.

Mengacu pada Global Competitiveness Report, laporan tahunan World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia), terdapat sembilan indikator daya saing yang mempengaruhi tingkat kemampuan suatu negara menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya, yakni:
1) institusi publik dan swasta,
2) infrastruktur,
3) makroekonomi,
4) kesehatan dan pendidikan dasar,
5) pendidikan tinggi dan pelatihan,
6) efisiensi pasar,
7) kesiapan teknologi,
8) business sophistication, dan
9) inovasi.
Di mana posisi Indonesia dalam konteks persaingan global saat ini? Data Global Competitiveness Report menunjukkan data yang berikut ini:
- Tahun 2006-2007, daya saing Indonesia di kancah global berada pada peringkat ke-50.
- Tahun 2007-2008, daya saing Indonesia di kancah global berada pada peringkat ke-54.
- Tahun 2008-2009, daya saing Indonesia di kancah global berada pada peringkat ke-55.

Yang mengejutkan dari data itu, Indonesia masih kalah peringkat dibandingkan dengan sesama negara Asean bahkan dengan India. Artinya, daya saing kita masih lemah. Lalu semakin ke depan, peringkat daya saing Indonesia di kancah global semakin melorot.

Apa sebabnya? Penyebabnya adalah Indonesia negara yang luas dengan penduduk yang besar sehingga cara mengelola dan cara mencerdaskan masyarakatnya tidak mudah dan perlu waktu. Secara kuantitas angka buta huruf memang turun, namun pesaing kita semakin cepat memacu pertumbuhan dan daya saingnya. Akibatnya, peringkat daya saing global kita makin merosot. Daya saing global kita tumbuh secara deret hitung, sedangkan daya saing pesaing tumbuh secara deret ukur. Karena itu, dibutuhkan gerakan nasional untuk meningkatkan daya saing.

Sembilan indikator yang dijadikan basis bagi pemeringkatan daya saing di kancah global yang dirilis Global Competitiveness Report juga mengindikasikan bahwa negara maju dan negara industri- baru yang masyarakatnya mayoritas cerdas, peringkat daya saing globalnya juga tinggi.

Secara intelegensia, banyak penduduk Indonesia cerdas. Lihat saja prestasi akademik mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri. Bukan saja mereka sanggup bersaing di kancah internasional, tetapi juga banyak di antaranya mengungguli rekan-rekan mahasiswa. Rata-rata penduduk Indonesia adalah pekerja keras. Namun, baru segelintir yang bekerja dengan cerdas dan produktif. Not just work hard, work smart!