Kamis, 29 Oktober 2009

Rumah Kontrakan (cerpen)

Kulirik Irine, istriku. Ia tidur pulas. Sementara aku setitik pun belum dihinggapi rasa kantuk.

Perlahan aku bangkit. Kusingkap daun jendela rumah. Membuat cahya rembulan malam itu sempat menjenguk.

Terdorong hasrat ingin meniru penyair Tiongkok kuna, kuambil sebatang pena dan carik kertas. Ingin kualihkan kemilau kekuningan bola awan malam itu ke dalam bahasa puisi. Tetapi tidak! Lantaran malam kian merangkak. Sedang pikiranku menerawang ke masa sepuluh tahun lalu.

Cintaku yang pertama dan terakhir pada Irine adalah keindahan sukma termurni. Walau mungkin cinta pertama itu seakan cuma suatu kebetulan saja.

Kami pertama bertemu pada sebuah sarasehan sastra di Solo. Aku datang sebagai munsyi, sedang Irine panitia pelaksana. Tak dinyana, pertemuan pertama itu berlanjut. Kami surat-suratan. Akhirnya, surat biasa berujung pada cinta. Sampai akhirnya, aku dan Irine bersanding dalam pelaminan.

Barangkali cinta telah membutakan mata hati Irine ketika itu. Gara-gara menyukai puisi dan cerpen-cerpenku, ia lebih memilih menikah denganku ketimbang Bambang, si calon dokter.
***
Aku tersentak, ketika seseorang menepuk bahuku. Aku kini tengah bertatap muka dengan kenalan lama. Dia dulu penyair terkenal kota Solo. Namun yang segera menyadari bahwa profesi sebagai penyair tak bias kaya, maka Budiman memilih jadi kontraktor.

Hampir saja aku lupa siapa dia. Dia adalah Tuan Budiman. Anaknya pernah kubantu masukkan ke SMA tempatku mengajar tiga tahun silam. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Anak itu diterima. Malahan jadi bintang pelajar sehingga dikirim memperdalam pendidikan di Kanada, dengan maksud setelah lulus akan mengajar kembali di SMA asalnya.

“Ini sekadar ungkapan terima kasih kami pada bapak.” Aku masih terngiang kata-kata Tuan Budi sambil menyodorkan selembar amplop putih berisi uang ketika mengetahui bahwa anaknya berhasil kubantu masuk SMA.

“Aha, Tuan Budiman. Ambil saja kembali. Kan semestinya orang hidup saling menolong.” Aku menolaknya secara halus.

Agak kecewa juga kulihat Budiman. Itu terpancar dari raut mukanya. Namun, ia semakin mendesakku sudi menerimanya. Kutolak dengan cara yang sama. Maka tak urung amplop tadi dimasukkannya ke dalam saku celanaku.
Percakapan tadi terjadi tiga tahun lalu. Kini Tuan Budiman benar-benar hadir di depan mataku.

“Kudengar masa kontrakan rumahmu beberapa hari lagi akan habis,” katanya.

“E… eh, benar tuan,”sahutku.

“Nah, kebetulan. Sebulan lalu aku membeli sebuah rumah baru dari hasil penjualan kebunku. Rumah itu terbilang permanenlah. Saya ingin tahu, apakah Tuan Rony sudi menempati sekalian memeliharanya? Mau bukan?”

Dihadapkan pada tawaran seperti itu, aku tidak bias segera menjawab. Dilema rasanya. Apalagi hatiku masih diliputi rasa haru atas kebaikan hati Budiman, manusia berbudi sesuai namanya.

“Lho… kok diam saja? Aku tidak minta sewa. Asalkan rumah itu dipelihara, itu sudah lebih dari cukup buat saya.” Tampak Tuan Budiman tidak sedang basa basi. Ia bersungguh.

“Aku bukannya tidak mau, tuan. Tetapi mesti menanyakan dulu pada istriku.”
Ketika kabar bahwa Tuan Budiman menawarkan rumahnya untuk ditempati kusampaikan pada Irine, betapa wajahnya tampak gembira. Sorot matanya berbinar-binar.

“Oh, Tuhan. Engkau Mahamengerti di antara yang mengerti,” ucapan syukur meluncur dari bibir Irine.

“Bang Rony Pardamean,” ujarnya kemudian kepadaku. “Kita selayaknya bersyukur pada Tuhan lantaran kita seakan-akan mendapatkan durian runtuh. Justru ketika rumah kontrakan kita sedang habis masanya. Rumah Tuan Budiman itu tentu cantik, bukan?” ia bertanya, ingin tahu.

Terbersit sepotong rasa iba dalam hatiku mendengarnya. Aku rasa jiwaku sedikit tersayat. Justru karena istriku tidak terlalu menuntut sesuatu yang tidak bisa kuberikan padanya sebagai suami.

Betapa Irine sangat mengerti diriku. Tiba-tiba aku menyadari bahwa selama ini tak pernah membahagiakan dirinya dengan materi. Aku hanya memberinya hadiah dua anak yang lucu dan manis. Padahal, kalau saja Irine mau mengejar materi ia bisa. Bukankah dulu ia pernah dilamar Bambang, mahasiswa kedokteran tingkat akhir saat aku mengenalnya?

Dengan Bambang, Irine bisa saja hidup kaya. Sebagai “nyonya dokter”, ia bisa saja hidup manja. Tetapi tidak. Irine lebih memilih hidup sebagai nyonya sastrawan daripada nyonya dokter. Meski pilihan sadar itu menuntunnya ke tubir hidup pas-pasan, Senin-Kemis. Namun, itu semua dilakukannya demi sepenggal cinta. Cinta dan setianya padaku melebihi apa pun juga. Padahal aku cuma seorang pemuda yang tak punya apa-apa, kecuali keterampilan pena. Selain menyandang predikat sebagai mahasiswa jurusan sastra sebuah universitas negeri.

Hanya itu. Selebihnya tidak ada. Irine begitu antusias aku segera menyelesaikan kuliah dan segera bekerja. Nyatanya, cita-cita itu hanya menggantung di angkasa, tidak pernah kesampaian. Aku drop out kuliah karena sibuk mencari tambahan penghasilan mengajar sebuah SMA.

Sambil sesekali menikmati honorarium dari cerpen dan puisi-puisiku dimuat koran ibukota. Kendati demikian, Irine tidak pernah mengeluh. Ini yang membuat aku semakin menyintainya. Apalagi ia sekali pun tidak pernah menyatakan penyesalannya menikah denganku. Ia pasrah menerima hidup apa adanya. Menerima adaku seperti sekarang.
***
Aku menggigil. Kutatap kaki langit sebelah barat. Angin menyeruak masuk lewat celah-celah jendela. Malam dingin. Sedingin hati yang sedang merenungi hidup ini. Dalam kamar juga dingin. Dedaunan eru didesir angin yang lalu.

Rembulan yang sejak tadi menari-nari di awan gemawan, berangsur-angsur turun. Dalam larutnya malam, pemandangan kurasa kian asri. Pepohonan eru yang membayang tampak anggun menjulang dalam temaram malam. Menjadikan alam ini sebuah gaib yang bisu. Ataukah memang begitu alam, tak pernah berkata dusta tentang realita manusia?

“Tidak, Rin, tidaaak!” rintihku. Tapi cuma cuaca yang mendengar. Aku tidak mengeluarkan suara, rintihan pilu itu hanya tersekat di kerongkongan saja. Aku takut Irine terjaga tidurnya.

Memang kemarin siang, Tuan Budi usai menawarkan untuk menempati rumahnya langsung mengajakku untuk melihat. Rumah itu memang bagus. Luas dan asri. Cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.

“Kurasa, di sini kau akan lebih kondusif menghasilkan karangan,” kata Tuan Budi padaku. “Tambahaan pula, sarana menulis cukup menunjang karier kepengaranganmu. Kau lihat, bukan, di sana terhampar sawah hijau yang bisa jadi inspirasimu?” Tuan Budi meyakinkanku bahwa rumahnya layak aku tinggali. Aku tak menjawab. Tapi dalam hati aku mengiyakannya.

Segera tampak olehku sebuah rumah cukup mewah bergaya Spanyol beberapa meter di belakang. Terdorong hasrat ingin tahu pemiliknya, aku segera bertanya.

“Rumah apik itu siapa punya?” Aku beranikan bertanya, sekadar mengusir ingin tahu.

“Oh, itu rumah seorang dokter!”

“Wow, keren sekali. Rupanya, kami akan bertetangga dengan dokter. Suatu kebetulan, jika perlu bantuan medis, tidak usah jauh-jauh.”

“Ya, dokter itu sangat memasyarakat.”

“Siapa namanya?”

“Dokter Bambang.”

“Hanya itu?”

“Lengkapnya, Bambang Eka Budi Susila.”

“Bambang Eka Budi Susila?” aku seakan tak memercayai pendengaranku sendiri.

“Ya, seperti yang kau sebutkan.”

Tuan Budiman menceritakan jika Dokter Bambang Eka Budi Susila baru saja kembali dari dinas di pedalaman Kalimantan. Dan rumah yang kini ditempatinya adalah rumah bekas seorang pengusaha ekspor impor yang kini pindah ke Amerika.

“Rupanya Tuan Rony kenal baik dengan Bambang Eka Budi Susila?”
Aku seperti tersengat arus listrik. Tuan Budi melihat perubahan air mukaku. Wajah sendu membayangi diriku. Membuyarkan harapan untuk segera menempati rumah kontrakan baru.

Tidak. Tidak mungkin aku mau bertetangga dengan dokter bekas mantan pacar Irine. Ia begitu sukses. Sedangkan aku? Aku gagal total. Bukan saja gagal membahagiakan Irine, tetapi terlebih karena merasa tidak mampu untuk bersaing secara material dengan Dokter Bambang.

Aku membayangkan betapa lebur harga diriku sebagai lelaki di matanya. Lebih-lebih lagi di mata Irine, istriku. Masih bisakah ia menerimaku dalam keadaan begini? Lunturkah cintanya? Sementara di sebelah rumah mata kepalanya melihat kemewahan seseorang yang dulu lamarannya pernah ia tampik. Bambang bukanlah makaikat, pasti ia sakit hati dan membalas dendam. Bisa saja itu dilakukannya dengan pamer kekayaan. Biar Irine ngiler dan akhirnya menyesali keputusannya. Atau jika perlu menghancurkan rumah tangga yang susah payah kubangun.

Bila ingin menghindari keretakan rumah tangga, berarti aku harus mencari rumah kontrakan baru. Tapi kemungkinan ini sangat musykil. Tinggal tiga hari lagi sewa rumah kontrakan kami habis. Kami harus siap-siap angkat kaki. Dapatkah aku mengupayakan sebuah tempat perteduhan, walau bagai gubuk sekalipun? Tidak! Masalahnya, kenapa aku tak bisa mencari rumah lain sekiranya rumah yang ditawarkan Tuan Budi ternyata tidak cocok dengan seleraku atau selera istriku?
Tanpa memberikan kepastian kepada Tuan Budi, aku langsung mengajaknya pulang. Alasanku, penyakit maagku kambuh lagi.

Setibanya di rumah, Irin riang bukan alang kepalang ketika kuceritakan. Matanya berbinar penuh pengharapan. Diliputi rasa ingin tahu, ia langsung bertanya,

“Rumahnya memenuhi standar kesehatan kan bang?”

“Tidak!” jawabku ketus. “Kita tak mungkin menempatinya.”

“Lho, mengapa? Apakah terlalu buruk?”

“Bukan buruk, malah terlalu bagus. Tapi aku tak sudi tinggal di situ.”

Kusulut sebatang ji sam soe. Lalu menghirupnya dalam-dalam. Asapnya mengepul putih, bergulung-gulung. Bagai hidup ini juga layaknya. Bergulung-gulung, lalu lenyap entah ke mana.

“Apakah rumah itu dekat dengan kuburan?” Irine mendesakku sekali lagi. Aku cuma diam seribu bahasa.

“Apa ada setan di sana?” Irine semakin merengek-rengek.

“Diam!” bentakku padanya. Irine menangis. Aku menatap keluar dengan pandangan kosong. Hampa. Seingatku, selama sewindu perkawinan kami, baru kali inilah aku membentak Irine. Padahal masalahnya hanya sepele. Gara-gara Irine ingin tahu bagaimana rumah baru dan siapa yang bakal jadi tetangga kami nantinya. Harga diri sebagai laki-laki dan nafsu mau menang sendiri kutumpahkan padanya. Seharusnya itu bukan pada tempatnya. Aku bersaing dengan dokter Bambang, bukan dengan Irine, istriku.
***
Pagi itu aku bangun kesiangan. Tentu saja, lantaran semalam merenungi hidup ini. Sebenarnya, tak perlu direnungkan. Toh hidup ini nyata. Tapi tidak. Nyatanya, aku masih diombang-ambingkan perasaan. Kacau!

Dengan langkah gontai aku pergi mengajar. Beban demi beban tanggung jawabku sebagai seorang suami dan ayah semakin terasa di pundak. Bagaimanapun beratnya, toh mesti dipikul.

Begitu tiba di sekolah. Kusodorkan tugas pada ketua kelas. Sebagaimana biasa, anak-anak membuat karangan fiksi. Tapi kali ini ada tambahan. Mereka lebih dulu harus mengerjakan soal-soal ujian tahun kemarin untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sedang aku ingin tidur di kantor guru. Tentu, sebelum itu, izin pada kepala sekolah dulu.

Begitu pulang dari sekolah dan baru saja meletakkan tas di meja, Irine menyongsongku.

“Mas Rony, sebaiknya kita pindah hari ini juga.

“Hari ini?” aku terbelalak. “Tidak mungkin!”

“Kenapa tidak?” Kini aku tahu, mengapa kau ngoto tak mau tinggal di rumah Pak

Budiman. Bukankah karena kita akan bertetangga dengan dokter Bambang?”

“Itu yang aku cemaskan!”

“Kau mencemaskan sesuatu yang bukan-bukan.”

“Aku takut kau tergiur harta kekayaannya!”

“Aku menikah denganmu bukan karena apa yang kau miliki, tapi karena aku mencintai dirimu.”

“Kukira kau wanita yang gampang berpaling karena harta.”

“Aku bukan tipe wanita begitu. Aku menerimamu apa adanya. Aku sudah cukup bahagia dengan hidup kita. Apalagi setelah dua buah hati kita lahir, aku merasa sudah mendapat segala-galanya.”

“Maafkan saya berpikir terlalu jauh.”

“Pepatah mengatakan, ‘you can buy a house not a home.’ Kita memang tak sanggup membeli rumah, namun hidup kita bahagia. Kita merasa krasan dan senang tinggal di rumah kontrakan.”

Tanpa terasa, sebutir air jatuh dari pelupuk mata Irine. Ia benar-benar berkata tulus.

“Tapi dari mana kamu tahu info bahwa tetangga sebelah dokter Bambang?”

“Tadi pagi aku ditemani istri Tuan Budi ke sana waktu kau sedang mengajar.”

“Bertemu dokter Bmbang di sana?

”Ya.”

“Dan kau menyesal?”

“Ya. Aku menyesal baru sekarang ini mengenalkannya padamu.”

Kurengkuh bahu Irine lebih dekat denganku. Kukecup keningnya. Lalu turun ke bibirnya yang tipis. Bau wangi rambutnya masih seperti dulu saat pertama ia kucumbu.
Irine membalas dekapanku. Ia merapatkan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca. Ia masih seperti dulu. Sang dewi yang tak pernah lekang kemolekannya meski temaramnya malam coba membayanginya.

Di luar, daun-daun eru berdesir bersanding dengan deru angin. Helai demi helai melambai. Yang kuning luruh, jatuh ke tanah.

Kudongakkan kepala Irine. Kusentuh dagunya yang berlipat. Berkat datang dari Tuan Budi. Saat masa kontrakan rumah kami sudah habis. ***

Jakarta, Okt. 2009. rmsp

Sabtu, 24 Oktober 2009

Buku Pintar Menulis Buku Ajar


Judul Buku : How to Write Your Own Text Book (Cara Cepat dan Asyik Menulis Buku Ajar yang Powerful)
Penulis : R. Masri Sareb Putra
Penerbit : Kolbu
Uk. Buku : 13.0 x 19,0 cm
Jmlh Hal : xvi + 192 halaman
Harga : Rp. 30.000

Hanya sedikit di antara kita yang bisa melakukan hal-hal besar, tapi semua orang di antara kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. (Bunda Theresa).

Demikian halnya dengan menulis buku ajar bagi mahasiswa. Tidak cukup banyak pendidik kita yang peduli untuk menulis buku ajar yang baik dan menuju sempurna dan menganggap pekerjaan menulis buku ajar adalah hal besar dan sulit. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Menulis buku ajar (walaupun bukan hal kecil juga) tapi jika dilakukan dengan cinta yang besar, akan menghasilkan buku yang “menggugah” dan menginspirasi pembacanya. Jadi, bukan hanya sekadar menghasilkan buku yang dibaca, dihafalkan, dan dilupakan setelah ujian selesai.

Inilah yang perlu dicamkan pada para dosen kita. Tapi jangankan menulis buku yang demikian, untuk menulis saja pun kadang para dosen kita masih gagap. Dan makna inilah yang ditangkap oleh R Masri Sareb Putra, seorang dosen yang sangat produktif menulis dan aktif sebagai trainer dalam berbagai pelatihan penulisan. R Masri Sareb Putra mengajak para pendidik untuk menulis untuk menularkan ilmu yang dimilikinya.

Dosen adalah orang yang berilmu, sudah semestinya mereka menuliskan ilmunya. Tujuannya agar ilmunya tetap lestari sepanjang masa. Dosen adalah pemikir, dan itu perlu dibuktikan dengan cara menulis buku karena buku merupakan karya mental intelektual sekaligus perwujudan budaya.

Jalaluddin Rahmat adalah salah seorang yang berbeda dari dosen lainnya karena ia menulis buku Psikologi Agama dengan menggunakan bahasa yang menggugah dan sangat menguasai benar tentang buku yang ditulisnya. Oleh karenanya, dosen yang menulis buku akan berbeda dengan yang tidak menulis buku.

Generasi yang diajar oleh para dosen saat ini adalah generasi yang disebut generasi millenial. Sebuah generasi yang lahir pada tahun 1980an ke atas. Para millenial ini haus dan gila belajar, punya daya tangkap dan cerap yang lebih tajam daripada yang diperkirakan. Selain itu mereka juga punya daya orientasi yanglebih kuat, lebih berani hands on, fleksibel, dan bisa bekerja tim. Selain itu mereka juga lebih senang belajar secara praktis daripada teoretis. Hal ini perlu diperhatikan betul oleh para dosen.

Mahasiswa saat ini perlu diberi energi, tantangan, dan petualangan dalam buku apapun yang ditulis oleh para dosennya. Ini penting, karena secara langsung dan tidak langsung para dosen telah mengajari mahasiswa memberikan rasa hormat terhadap ilmu apapun yang terus berubah secara dinamis, serta rasa percaya diri bahwa mereka dapat menguasainya.

Pangsa pasar buku ajar perguruan tinggi adalah pasar yang pasti, dan akan terus tumbuh dan berkembang. Tentunya kita tidak akan berdiam diri kan membiarkan mahasiswa kita hanya diajar dan “dihajar” buku-buku teks terjemahan yang kadang kurang kerelevanannya dengan keadaan bangsa ini. Kita harus buktikan, bahwa dosen Indonesia juga mampu menulis buku ajar referensi yang bagus.

Kota Kembang, 10 Agustus 2007
Nurchasanah

Sabtu, 17 Oktober 2009

Anggrek Hitam Untuk Domia


Gong dari rumah panjang menggelagar bertalu-talu. Penduduk kampung Tebelianmangkang sudah tahu. Jika gong ditabuh, berarti ada keadaan genting. Merekapun bergegas mendatangi rumah itu.

Rupanya, seorang wanita bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun bayinya tak juga mau keluar. Darahitam sangat khawatir. Sebelumnya, sudah dua kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan ia berdoa dan bernazar,

"Jubata, tolonglah agar anakku lahir dengan selamat. Lelaki atau perempuan, anak ini akan kupersembahkan menjadi pelayanmu!"

Jubata adalah dewa tertinggi suku Dayak. Jubata adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Darahitam yakin Jubata akan menolongnya. Dan…

"Hoa, hoa, hoa …" suara tangis bayi memecah keheningan.

Seluruh penduduk desa menyambut gembira. "Ia lahir dengan selamat! Bayi yang cantik! Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik," seru para wanita.

Karena sangat cantik, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa Dayak, Domia berarti dewi.

Seperti ramalan banyak orang, Domia tumbuh menjadi gadis jelita. Banyak pria yang melamarnya. Namun Domia menolaknya. Sebab ia terikat nazar ibunya pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi pelayan Tuhan, atau imam wanita. Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun bisa membatalkan nazarnya. Kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya.

Meskipun demikian, Domia jatuh cinta pada pemuda bernama Ikot Rinding. Pemuda itupun mencintai Domia. Namun Ikot Rinding heran. Karena Domia tak mau menikah dengannya.

Suatu hari yang panas, pergilah Ikot Rinding memancing. Namun, karena tak ada seekor ikanpun yang didapatnya, ia lalu pergi ke hulu sungai. Di tengah jalan, Ikot Rinding terhenti! Ia melihat Domia sedang mencuci pakaian. Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya.

"Domia, mengapa kau tak mau menjadi istriku?" tanya Ikot Rinding.
Mendengar pertanyaan itu, Domia terkejut. Gadis cantik itu akhirnya berterus terang. Ia bercerita tentang nazar ibunya pada Jubata ketika melahirkannya. Betapa sedih hati Ikot Rinding mendengar cerita itu. Ia tahu, nazar pada Jubata hanya bisa dibatalkan oleh Jubata sendiri. Tapi… kemana ia harus mencari Jubata?

Karena cintanya pada Domia, Ikot Rinding pun mengembara. Siang berganti malam. Malam menjelang pagi. Setelah enam hari mengembara, sampailah ia di Bukit Sungkung.

Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah pohon rindang. Begitu bangun, hari sudah pagi. Berarti ini hari ketujuh pengembaraanya mencari Jubata.

Ketika akan melangkah pergi, Ikot Rinding terkejut. Ia melihat sebuah sumpit tergeletak di tanah. Di hutan belantara tak berpenghuni ini ada sumpit? Dari mana asalnya? Ikot Rinding segera memungutnya. Di hutan belantara seperti ini, sumpit tentu sangat berguna, pikirnya.

Ikot Rinding meneruskan pengembaraanya. Ketika melintasi sebongkah batu, ia tiba-tiba teringat pada nasihat ibunya. Ketika masih kecil, saat menemani ibunya menyikat pakaian di atas batu, ibunya selalu berkata, "Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin!"

Seketika Ikot Rinding berbalik, meletakkan sumpit itu ke tempat semula. Sumpit itu bukan miliknya. Mungkin milik pemburu yang lewat di daerah itu.

Maka Ikot Rinding pun meneruskan perjalanannya mencari Jubata. Badannya lelah. Ia merasa lapar dan dahaga. Tapi begitu ingat akan Domia, ia menjadi bersemangat kembali.

Tiba-tiba ia mendengar suara desisan. Sekelebat melintas seekor ular tedung. Ia berhenti di depan Ikot Rinding. Lidahnya kecil panjang bercabang. Badannya yang tadi melingkar, ditegakkan.

Ikot Rinding sadar ia harus waspada. Tangan kanannya kini meraih ranting. Diputar-putarnya ranting itu. Lalu dengan cepat tangan kirinya menyambar leher si ular tedung. Ular itu rupanya terpedaya oleh gerak tipunya. Dilemparnya ular tedung itu jauh ke tepi jurang.

Usai pertistiwa itu, terdengarlah langkah kaki. Rupanya ada orang yang menonton perkelahian Ikot Rinding melawan ular tedung. Semula Ikot Rinding curiga. Namun wajah pemuda itu tampak ramah.

"Aku Salampandai, putra bungsu raja hutan di sini," ujarnya. Salampandai bercerita, sudah dua hari ia berburu. Namun tak berhasil menangkap apapun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita bahwa ayahnya menyuruhnya rajin berlatih menyumpit. Terutama menyumpit binatang liar yang bergerak cepat.

Sekarang Ikot Rinding tahu siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia mengajak Salampandai ke tempat sumpit itu. Benda itu masih ada di sana.

Karena gembira, Salampandai mengundang Ikot Rinding bermalam di rumahnya. Ia ingin mengenalkan sahabat barunya kepada keluarganya. Bahkan, ia pun ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkat. Walau ia sudah mempunyai enam orang kakak.

Sejak itu, Ikot Rinding diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu sangat menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Salampandai dan Ikot Rinding-pun selalu bersama kemanapun mereka pergi.

Suatu hari, "Jaga Si Bungsu baik-baik," pesan Raja pada Ikot Rinding dan keenam putranya saat mereka akan pergi berburu.

Ikot Rinding mengangguk. Tapi enam saudara kandung Salampandai tak menjawab. Mereka tidak menyukai Ikot Rinding. Mereka merasa Ratu dan Raja hanya memperhatikan Si Bungsu dan Ikot Rinding. Mereka lalu membuat rencana mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding atau Si Bungsu.

Setibanya di hutan, mereka harus berpencar. Salampandai mendapat tempat yang agak mendaki. Dan Ikot Rinding ke tempat yang menurun. Keenam kakak Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun, ketika keenam orang itu sudah pergi, diam-diam Ikot Rinding membuntuti Salampandai. Ia tahu, keenam orang itu sengaja menyuruh Salampandai ke tempat yang berbahaya.

"Berhenti! Jangan lewat gua itu!" teriak Ikot Rinding pada Si Bungsu.

Ikot Rinding tahu, di gua itu hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar hewan-hewan itu sangat tajam. "Salampandai, tiarap!" teriak Ikot Rinding saat melihat gumpalan-gumpalan hitam keluar dari mulut gua. Tetapi terlambat. Si Bungsu kini dalam kepungan kelelawar.

Dengan tangkas, Ikot Rinding mencabut mandau. Ia menebas ke segala arah. Satu persatu binatang gua itu dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar yang bertubuh besar. Kali ini Ikot Rinding menggunakan sumpitnya. "FUUHH!" Hanya dengan sekali tiupan, robohlah si raja kelelawar. Si Bungsu pun selamat.

Keduanya lalu pulang. Salampandai menceritakan peristiwa itu pada ayahnya. Raja sangat takjub mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. Ia sangat bahagia karena putra kesayangannya selamat.

"Mintalah apa saja yang kau inginkan," ujarnya pada Ikot Rinding. "Hari ini juga akan segera kupenuhi."

Pada saat itu Ikot Rinding baru sadar. Ayah Salampandai ternyata adalah Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikan Ikot Rinding. Meski agak ragu, Ikot Rinding pun berkata,

"Aku memohon bukan untuk diriku. Untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia, dari nazar ibunya, Darahitam."

Jubata ingat. Tujuh belas tahun lalu, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan bersalin. Karena putus asa, Darahitam bernazar.

Dan kini Ikot Rinding meminta agar nazar itu dilepaskan. Jubata yang bijaksana mengerti. Berbuat baik jauh lebih penting daripada memegang teguh sebuah sumpah.

"Permohonanmu kukabulkan," ujarnya.

"Apakah tandanya?" tanya Ikot Rinding.

Melihat keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya. Begitu keluar, tangannya memegang setangkai anggrek hitam. Yang hanya tumbuh di halaman istana Jubata.

"Inilah tandanya," sabda Jubata. Anggrek itu lalu diserahkannya pada Ikot Rinding.
"Begitu Domia menerima sendiri dari uluran tanganmu, bunga ini segera berubah warna.
Itulah pertanda. Bahwa nazar ibunya telah kulepaskan."

Usai menerima anggrek hitam itu, Ikot Rinding bergegas meninggalkan istana. Ia telah sangat rindu pada Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa rasa lelah. Tak terasa, tibalah ia di kampung Tebelianmangkang.

Anggrek hitam ia serahkan pada Domia. "Pejamkan matamu…" pinta Ikot Rinding. Tanpa banyak bertanya, Domia menurut. "Nazar ibumu akan dilepaskan Jubata. Sebagai tanda, anggrek hitam di genggamanmu akan berubah warna."

Ketika membuka kelopak matanya kembali, Domia melihat anggrek hitam telah berubah warna. Jadi butih bersih. Indah berseri bagai anggrek bulan. Domia telah terlepas dari nazar.

Sepasang kekasih itu tak hentinya mengucap syukur pada Jubata. Dan keduanya hidup bahagia sampai masa tua mereka.

Jumat, 02 Oktober 2009

PELABUHAN (untaian puisi)

Pengantar
Saya mengawali karier kepenulisan, seperti pernah disinggung, dari publikasi puisi-puisi di Suara Indonesia, Rohani, Busos, Hidup, dan berbagai media di Jatim tahun 1980-an.

Beruntung, sejilid kumpulan puisi saya 20 tahun lalu, masih sisa. Saya sendiri tak menyimpannya lagi. Yang nyimpan mantan pacar, yang kini jadi istri saya. Inilah salah satu manfaat menikah, ada yang mengarsipkan naskah-naskah.


Malang, Selamat Pagi
Gema genta tua
setia bangunkan kita agar jaga
cuaca menebar rona
fajar merekah
tembusi tembok suci-rendah
selinap
meriap-rapat
tumpat padat
merasuk pori-pori kota

halimun menyeruak
mengepak sayap
kini sisa
tinggal purnama

kutatap teja
tembus kaca benggala
sejumput tanya:
- bayang siapa
kian kusam
ditelan masa?

Dari tempat kini tiarap
sekelebat kutangkap
segaris sayu
terlukis
di bola matamu

Tuhan,
biarpun samar
kan kupahat abadi nama-Mu
pada gerbang-masuk
kota ini.
1984

Malang, Selamat Siang
Tlah lelahkah kau berkelahi
bergumul
sekalian bercumbu dengan waktu?

di rerimbun daun-daun eru
terlukis pasi pucat wajahmu
(adakah itu kerna terjaga tidurmu tadi malam?)
ku tetap setia menunggumu

pada halte ini
sedetik kita henti
bukan cuma tunggu
angin lalu
atau bunuh waktu
keberangkatan tiba

di titik berangkat ini
sempurna sudah penantian
dibekap luka para penglaju
disesap reguk tetes madu

ketika tanya pengemis tua
menghujam tusuk luka-lukamu
(ku jadi tak ngerti
kenapa kau rela dihina
tanggung dosa kami semua?)
1984

Malang, Selamat Sore

Tiap sudut kota ini
tlah kujalani
sekalian kukencingi

ke mana melangkah
ketika lelah memuncah?
ke mana lari
ketika sepi menanti-nanti?
ke mana mengadu
ketika lidah jadi kelu?

maafkanlah
bila nanti malam
ku tak dapat datang
menjemputmu lagi
di sini
1984


Malang, Selamat Malam

Tahu tak ada yang melintas
kututup saja gerbang kota ini
biar rel kereta berbagi dingin di malam hari
dan jalan raya menangis ditinggal pergi pejalan kaki

nyanyi kenari telah pergi
burung kepodang kembali ke sarang
maka biarlah
sekalian kuucapkan: selamat malam
buatmu
kotaku tercinta
Mei 1990

Gunung Bromo
(kepada I.P.)

(1)
Di barat
langit terbakar
mentari merona
gemawan putih
berarak riang menyongsong siang

pucuk-pucuk pinus yang gemulai
dibelai mesra
dan dicumbu
bayu yang lalu
bersama waktu

lelambai daun cemara
pucat pasi
kuning
luruh
jatuh ke bumi

adakah Segara Wedhi lahir dari cinta?
atawa hanya fatamorgana?
kudampar tanya pada kawah yang menganga:
- akan kautelan jua duka lara anak manusia?

(2)
Pada titian anak tangga penghabisan
tak terasa
kusebut namamu
Bapa, Kau alfa dan omega
bolehkah kubersamanya mendaki
puncak gunungmu yang menjulang?

siang kian angkuh menyongsong senja
sayap-sayap malam menjala mata angin
kusesap segala arah
1989

Edelweiss
Ini
seputik untukmu
kucuri dari negeri
segala cinta
beri siapa saja
yang datang ke sini
menjemputmu
17 Mei 1988

Pohon Kehidupan
Butir air hujan yang curah dari awan
seperti hendak menelan
guratan sketsa kisah perjalanan
datang,
datanglah pelangi segra
merasuk dalam hidupku

Tuhan, maafkan kami
tlah bakar habis hutan titipan anak cucu kami
bambu-bambu cimari
padang ilalang
ganti hijau daun kehidupan
yang pernah Engkau Tanami sendiri
1986

Katedral
Di pelataran rimbun pohon mahoni
sendiri
menahan terik matahari

seulas senyum tersimpul
lurus tegak tengadah ke langit
pada menara miring
pada salib
pada luruhnya daun-daun kenangan
yang kini terkubur
bawah onggok tanah merah

dan perjalanan dari pagi hingga malamku
berujung pada bangunan tua kokoh ini

mengapatah burung gereja mencicit gelisah
padahal tangan-Mu masih terulur?
hujan tak pernah curah di musim kering
sirami atap sirap bait-Mu yang kudus

dalam diam
kuayun langkah masuk kamar pengakuan
kuakui semua dosa dan salah
dan pengampunan melimpah muncrah
keluar dari bibir merekah
Pontianak, 1989

Lilin Altar
Sore ketika gerimis. Gema gereja kirimkan nada. Aku tepekur. Kau bersimpul senyum ketika kutanya, “Benarkah katamu, tak kan ada hari tanpa cahaya?”

Kepala kau angguk. Tapi ku kaubiar tafsirkan ayat-ayat
yang tersirat di raut wajahmu
ah,
langit memang selalu pekat bila kan turun hujan
biar bumi jadi hidup lagi
segar sehabis minum
curah hujan kasih sayang-Mu

Kulihat semut umat membentuk baris
berjajar keliling altar mezbah-Mu
lilin-lilin nyala
dian yang padam
kembali semburatkan harapan
lagu Vesperae (ibadat sore) kumandang
pujian bagi-Mu, ya Tuhan!
1987

Rosa
Ku tak pernah tahu
dari mana asal bunga ini
kaupetik?

yang kutahu
putik mawar yang kau siram
waktu janji setia itu
kini tlah merekah

Kerap kulontar tanya pada angin senja
dan titip sejumput rindu pada waktu:
- bila kau tebar aroma
lalu tusuk dagingku dengan duri?
1986

Bulan Bersimbah Darah
Bulan yang pecah
bersimbah darah
merekah
muncrat
mengalir masuk kamarku

merah
menetes basah
merembes masuk daun-daun jambu

Tuhan di sini
dalam rupa roti
sendiri saja Dia
dingin hawa menusuk kulit

di tabernakel
seuntai doa mengembang
terucap dari bibir yang terkatup rapat,
“Kasihan dia kedinginan,” katamu
sembari menghunjukkan tinggi-tinggi rupa-Nya dalam roti
badan-Nya kaku tapi tak mati
darahnya terkuras tapi tak berbekas
kita makan dan minum Dia
biar mamah
jadi satu tubuh satu darah

esok harinya
ketika bangun dari mimpi
bulan kemilau tlah pecah
langit runtuh
kitab kehidupan tersibak
kenisah tercabik belah dua
dikuduskan nama-Mu, Bapa, Allah segala Allah.
1989

Dalam Kenangan
musim tlah ganti
cericit unggas merubah cuaca
ke mana udara pergi
situ jua langkahmu

Completorium
Tanpa terasa
waktu berjalan bagai alam mimpi
kerdip dian demikian sunyi
sperti cahya bintang kerdip di malam hari

sepasang tangan terkatup
rapat
pohon ampun
Tuhan, Sang Mahapengampun
beri kami setetes kasih sayang

daras-daras syair dari polifoni
menguntai puji
membaca doa
dari Mazmur cinta

teruntai sulur
cinta yang murni
terucap janji
niat yang suci
terangkat hati
jiwa berbakti

Tuhan,
dalam peraduan nanti
Izinkan kungelindur sebut-sebut nama-Mu
biar Kau tetap berjaga
meski semesta terlena
dibuai mimpi-mimpi
1989

Persembahan I
Tuhan,
Jika kudatang pada-Mu
ada yang ingin kupersembahkan
ku tak punya
itu yang kan kuberi pada-Mu

Tuhan,
Jika kudatang pada-Mu
ada yang ingin kupersembahkan
keringnya air telaga
kelamnya awan
sepotong buah karya tangan-Mu

Persembahan II
Di atas altar ini….
kurangkai buket mawar untukmu
tapi kau hilang
seblum kupersembahkan
pada-Mu
2009

Persembahan III
Sumbu yang berkedip
nyala dian yang redup
tak kan pernah
Kau padamkan
2009

Getsemani
Butir-butir keringat tiba-tiba berubah jadi darah
taman ini tetap sendiri
dibekap dingin malam hari

dari balik riap daun-daun zaitun
segerombol pasukan menyeruak
lalu teriak:
orang yang kita cari semayam di sini

dengan pedang terhunus dan balatentara
mereka rantai dia dengan baja
dengan doa dan air mata
ia bungkam mereka dengan cinta

: sarungkan pedangmu!
tidakkah kamu tahu
dunia ini taman cinta
yang dijadikan Dia
asal mula
segala cinta?
2009

Doa Malam
Hilang bayang-bayang
angan terkulai
pelangi luruh
jatuh
sentuh matamu

rindu memendam
berlabuh dalam laut kelam
kutebar jala
menangkap
ikan kasih-Mu

Bapa kami yang ada di sorga
doaku malam ini
sama dengan yang kemarin
1987


Negeri Peri
Kepada: I.S.
Seonggok tubuh terempas
memelas
meremas-remas kanvas
dengan belah tangan yang lemas
ia coba pindahkan isi bumi pada lembar kain

darah mengucur deras lumuri kerikil dan wadas
terdengar isak tangis
sedu sedan di seberang
juga penyesalan
(duri mawar itu kembali menyayat luka lama)

jalan penuh liku ini
kenapa banyak yang melintas?

biar jauh negeri segala peri
akan kujelajah jua
biar tinggal jejak
membekas tapak
1989