Selasa, 27 April 2010

Saatirah: Testimoni seorang Niknik M. Kuntarto



Trio novelis UMN: beautiful and the best.....


Niknik M. Kuntarto, sebelumya dosen Bahasa Indonesia di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Kemudian, ia berlabuh di Universitas Multimedia Nusantara. Ketemu saya dan Kristy Nelwan, penulis novel Perempuan Lain. Niknik pun tertular "virus".

Katanya, ia termotivasi menulis novel setelah membaca dan mencerap buku 101 Hari Menulis dan Menerbitkan Novel. Tatkala tengah menggarap novelnya, suatu pagi, Niknik menyerahkan sepucuk amplop pada saya.

"Nanti baru dibuka isinya," ujarnya.

Setelah dua bulan, surat itu saya buka. Isinya, ending atau penutup rencana novelnya. Ini sesuai dengan anjuran saya, sebelum menutup novel, buat rencana bagaimana ending-nya nanti.

Kerabat dan andai taulan yang di Jakarta, jika ingin menghadiri testimoni Niknik dan proses kreatif penulisan novel, juga bagaimana deal dengan penerbit, silakan hadiri acara

10 April 2010
di kampus UMN, pukul 15.00-18.00

narasumber:
Ahmaduh Y. Herfanda
Helvi Theana Rosa
A. Ariobimo Nusantara

daftarkan ke Viola Oyong, lihat FB Viola.

Kamis, 22 April 2010

Asal usul kata "Diktat"


Kali ini narsis dikit... Iklan UMN, Minggu 18 April 2010 halaman 19. Saya jadi model iklan, bukan bintang iklan. Ya, malu dong disebut bintang, kayak keren dan prof aja! Ya, kan, ndak gitu loh.

Bersama mahasiswa DKV. Saya (pura-pura) menjelaskan penggunaan alat multimedia terbaru yang multiguna dengan cara sentuh (touch).

Beginilah jadi dosen zaman sekarang. Dituntut melek teknologi. Tugas-tugas dan perkuliahan kerap secara on-line.

Namun, ada juga ekses lain. Dosen kini tak lagi sumber belajar satu-satunya. Otoritas dosen zaman sekarang tidak seperti dulu: dosen serba "maha" (tahu dan benar), diktator --karena mahasiswanya wajib menggunakan diktat.

Itulah arti diktat. Dari kata Latin, dictare: mendikte. Atau, mengikuti. Jadi, mahasiswa jadul wajib didikte dan mengikuti dosen.

Kini zaman sudah beda, bro!

Story Telling sebagai Dasar Tulisan

Semua ragam tulisan, pada galibnya, adalah bercerita.

Ketika seorang wartawan menulis sebuah laporan berita, ia bercerita.

Ketika seseorang menginformasikan suatu hal atau memaparkan suatu fakta kepada orang lain, ia menceritakan peristiwa.

Manakala seseorang menulis, entah menulis berita entah menulis feature maka keterampilan bercerita sangat diperlukan.

Namun, apa yang dimaksudkan dengan “storytelling”?
Storytelling ialah: the art of using language, vocalization, and/or physical movement and gesture to reveal the elements and images of a story to a specific, live audience.

Dengan demikian, aspek khas dan pokok dari storytelling adalah adanya unsur kepercayaan (reliance) pada khalayak untuk membangun specific visual imagery (perbandingan visual yang spesifik) secara detail untuk melengkapi dan turut mencipta (co-create) cerita.

Namun, apakah yang dimaksudkan dengan “cerita”?
Banyak definisi cerita. Namun, yang sesuai dengan konteks bahasan kita, cerita ialah “tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian, dan sebagainya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 210).

Dalam masyarakat bercerita, sebuah cerita disepakati menjadi struktur tertentu narasi dengan gaya tertentu dan menetapkan karakter yang mencakup kelengkapan rasa. Cerita dapat menyampaikan kebijaksanaan, keyakinan, dan nilai-nilai.

Melalui cerita, narator menjelaskan bagaimana peristiwa terjadi, mengapa, peran, dan tujuan hidup manusia. Cerita adalah blok bangunan pengetahuan, dasar memori dan belajar. Cerita menghubungkan kita dengan kemanusiaan dan kaitannya dengan masa lalu, sekarang, dan masa depan dengan mengajar kita untuk mengantisipasi kemungkinan konsekuensi dari tindakan kita.


Gustav Freytag memodifikasi struktur plot sebuah cerita dari Aristoteles.

Plot diagram adalah alat organisasi berfokus pada piramida atau bentuk segitiga, yang digunakan untuk memetakan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Pemetaan struktur plot memungkinkan pembaca dan penulis untuk memvisualisasikan fitur kunci cerita.

Dasar berbentuk segitiga struktur plot, yang mempunyai awal, tengah, dan akhir cerita untuk pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles. Kemudian, Gustav Freytag memodifikasi teori Aristoteles dengan menambahkan aksi yang meninggi dan aksi menurun di dalam strukturnya.

Ini merupakan versi interaktif olah grafis dalam upaya menggabungkan konsep struktur plot sebuah cerita dari Aristoteles dan Freytag.

Dalam bukunya Technique of the Drama (1863), kritikus Jerman Gustav Freytag (13 July 1816 – 30 April 1895) mengusulkan metode bagaimana menganalisis plot cerita yang dikembangkan dari konsep Aristoteles mengenai kesatuan tindakan yang kemudian dikenal sebagai Freytag's Triangle atau Freytag Piramida.

Dalam ilustrasi Freytag, disajikan grafis yang dapat digunakan untuk menganalisis struktur dan kesatuan alur cerita. Gustav Freytag adalah seorang novelis Jerman yang melihat pola umum dalam plot cerita dan novel dan mengembangkan sebuah diagram untuk menganalisisnya.

Apakah yang dimaksudkan dengan “alur cerita”? Alur cerita terdiri atas urutan peristiwa yang terjadi dan terjalin dalam sebuah cerita. Dalam fiksi populer, plot dianggap sebagai unsur yang paling penting dari cerita, dan sebagian besar plot mengikuti rumusan yang terstruktur yang mengandung unsur-unsur dalam urutan sebagai berikut:


Sumber: http://www2.cnr.edu/home/bmcmanus/freytag.html
Keterampilan bercerita mengikuti piramida Freytag.

Eksposisi (beginning): Orientasi yang membawa pembaca pada setting cerita (waktu dan tempat) dan memperkenalkan karakter.

Konflik: hambatan utama yang mencegah protagonis (karakter utama) di dalam upaya mencapai tujuannya. Yang paling umum adalah konflik manusia vs manusia, manusia vs alam, manusia vs masyarakat, dan manusia vs dirinya sendiri.

Aksi meninggi (rising action): komplikasi yang terjadi dalam cerita, memperpanjang dan mengembangkan pusat konflik.
Klimaks: titik ketegangan terbesar dalam sebuah cerita atau point of no return. Pikirkan klimaks sebagai di atas roller coaster di depan mobil, tepat sebelum Anda memulai turun.

Aksi menurun (dénouement) dari kata Perancis diucapkan day-noo-moh / falling action yakni hasil dari konflik terungkap dalam tindakan yang menurun. Untuk melanjutkan metafora roller coaster, tindakan menurun akan terjadi ketika Anda mulai menuruni bukit.

Peleraian (end/resolution): resolusi dari cerita. Peleraian mengikat bagian kisahan yang longgar dan berakhir dalam cerita.

Apa pun tulisan Anda, baik fiksi maupun nonfiksi, story telling adalah dasarnya. Sedangkan segitiga Aristoteles dan diagram Freytag adalah bangun struktur yang baku.
***

Minggu, 18 April 2010

Lulus tanpa Ijasah

Ujian Nasional SMA baru saja usai. Boleh disebut, ini ujian stres nasional. Bukan hanya siswa, juga orang tua, guru, dan semua yang terlibat di dalam UN stres.

"Lulus gak ya?" ini pertanyaan yang kerap muncul. Saya bilang, lulus dan tidak lulus bukan persoalan. Banyak orang sukses bukan karena mengantongi ijazah, tapi karena memang pandai.

Dengan kata lain, mereka lulus (dalam hidup) tanpa ijasah. Yang penting, dalam hidup ini, bukan sekolah, tapi belajar.
***

JIKA tidak sangat terpaksa, lebih baik jangan jadi orang jenius. Mengapa? Karena lebih banyak susah ketimbang senangnya. Orang jenius sering salah dimengerti. Thomas Alva Edison telah membuktikannya. Penemu paling banyak (konon hasil temuannnya tercatat tak kurang dari 3.000) ini, saking jeniusnya, pernah mendapat tekanan mental luar biasa.

Edison dilahirkan di Milan, Ohio, Amerika Serikat pada 11 Februari 1847. Ia anak ragil dari enam bersaudara. Pada usia tujuh tahun, Edison masuk sekolah. Malang baginya, sebab tak lama mengenyam rasanya sekolah, dia dikeluarkan gurunya. Ini gara-gara sang guru berpendapat, Edison sama sekali tak bisa bersekolah. “Ia tak bisa menyerap pelajaran apa pun dan terlalu goblok,” kilah sang guru.

Hengkang dari sekolah formal, Edison lalu diajarkan menulis, berhitung, dan membaca. Meskipun tidak sekolah, Edison tetap belajar. Ia belajar dibimbing oleh ibunya sendiri. Sang ibulah “guru” utama Edison yang mula-mula menanam benih bahwa untuk menjadi pintar, orang tidak perlu sekolah, tetapi belajar.

Maka Edison belajar. Ia belajar dari buku-buku yang ia baca. Ia lulus, setara bahkan melebihi anak usianya. Pada usia 12 tahun, Edison menjadi penjual koran, kacang, permen, dan kue-kue. Menjadi pedagang asongan ini dilakukannya di kereta api.

Pada usia 15 tahun, Edison menyelamatkan anak kepala stasiun (Pak Sep) yang nyaris tergilas kereta api. Sebagai balas jasa Pak Sep, Edison lalu diajarkan cara-cara mengirimkan telegram. Berangkat dari bekal pengetetahuan inilah nantinya Edison termasyhur, karena di kemudian hari ia berhasil membuat peralatan mesin cetak telegrafis.

Ilmuwan dan penemu lain, Albert Einstein (1879-1955) juga punya masa kecil yang boleh dibilang tidak nyaman. Tatkala anak seusianya sudah mulai dapat bicara, Einstein malah belum sanggup mengucap sepatah kata pun. Orang lalu menyangka, dia mengalami kelainan. Anak seperti itu pasti berkemampuan terbelakang!

Pada usia lima tahun, Einstein diberikan oleh ayahnya sebuah kompas. Ia merasa heran, mengapa jarum kompas tetap menunjuk kea rah utara, meski diputar ke arah mana pun.

Ketika sekolah di SD, Einstein sama sekali bukan anak yang menonjol. Sebagaimana Newton dan Edison, ia bahkan digolongkan ke dalam bilangan “anak yang bodoh”. Ia kurang suka pada disiplin sekolah yang keras. Ia benci akan pelajaran hapalan, seperti: sejarah, geografi, dan bahasa. Kesukaannya ialah ilmu pasti, seperti fisika dan matematika, terutama teori. Karena itu, para guru menganggap Einstein sebagai anak yang pemalu, bodoh, malas belajar, dan suka melanggar tata tertib.

Lantaran hanya menyukai pelajaran matematika dan fisika, Einstein melewati bangku SMP tanpa mengantongi ijasah. Ia bahkan tidak lulus SMP. Tatkala hendak menempuh ujian masuk perguruan tinggi, ia tak lulus. Pria beralis dan berkumis lebat ini baru lulus, setelah mengikuti tes masuk pergurun tinggi untuk kedua kalinya. Ia diterima di Institut Politeknik di Zürich, Swiss.

Meski dilihat dari segi prestasi belajar Einstein tidaklah menonjol, yang patut dicatat dari dirinya ialah bahwa yang bersangkutan sangat tekun dan suka membaca. Pada tahun 1905, ketika berusia 26 tahun, ia menemukan teori relativitas khusus. Baru tahun 1916, Einstein menemukan teori relativitas umum.
***
Hikmah apa yang bisa kita petik dari kedua penemu? Banyak, banyak sekali. Sering orang supercerdas salah diidentifikasi dan salah dimengerti. Dikira terbelakang lantaran mereka aneh, namun sebenarnya mereka pandai bukan main.
Kalau boleh diintisarikan, yang paling pokok barangkali sebagaimana judul tulisan ini. Ya, itulah yang terpenting! Kita sudah telanjur masuk ke dalam jargon, bahwa sekolah di zaman sekarang bagai sudah suatu keharusan. Hampir semua orang menyekolahkan anaknya dan bersekolah di sekolah formal, tapi mereka tidak terpelajar. Tabiat, tutur kata, tindakan mereka tidak mencerminkan orang terpelajar. Mereka lulus sekolah, tapi tidak lulus dalam hidup. Mereka menamatkan sekolah formal, tapi gagal dalam pendidikan dalam arti luas.

Bukan berarti saya menentang sekolah formal. Sama sekali tidak! Sekolah formal banyak sekali jasanya. Hanya yang mau ditonjolkan dengan contoh Edison dan Einstein ialah sikap mental orang terpelajar. Begitulah seharusnya. Bukankah banyak orang, sebagaimana juga Edison dan Einstein, menjadi pintar bukan karena sekolah, tapi karena bersekolah. Sebab, sebagaimana dikatakan empu para pendidik Ki Hadjar Dwantara, “Sekolah adalah semua tempat dan guru ialah setiap orang.”

Maka bersekolah dan menjadi terpelajar tidak harus melalui sekolah formal. Banyak insinyur lulusan ITB dan IPB tidak bekerja di pabrik dan industri, mereka menjadi pebisnis karena bersekolah di luar jalur pendidikan formal. Banyak pula wartawan dan redaktur di tanah air bukan jebolan sekolah jurnalistik dan komunikasi.
Di Amerika Serikat, para top executives perusahaan ialah para cerdik cendikia. Tapi pemilik perusahaan tempat mereka bekerja adalah orang yang drop out, tidak tamat sekolah.

Di Indonesia juga hampir sama. Sebut saja Om Liem, Probosutedjo, atau Prajogo Pangestu. Apakah mereka mengantongi ijasah MBA? Tidak! Tapi kepiawaian mereka dalam manajemen dan bisnis, melebihi seorang jebolan Harvard University. Dengan kata lain, mereka lulus dalam sekolah kehidupan. Mereka ditempa, digodok, dan kuliah dalam universitas bernama dunia nyata. Mereka terampil bukan karena sekolah, tapi karena belajar!
Dan jenius atau kecerdasan? Ia hanya ada dalam potensi –in potentia. Kalau tidak bisa digali dan diangkat ke permukaan, sama saja bohong.

Karena itu, tugas guru, orang tua, dan siapa saja ialah menggali dan mengangkat ke permukaan semua potensi anak. Inilah hakikat pendidikan. Barangkali caranya tidak selalu formal, bisa juga informal. Ketika proses angkat-mengangkat potensi sedang berjalan, memang benar apa yang dikatakan seorang tokoh bijaksana, “Seorang murid tidak melebihi gurunya.” Namun, ketika proses itu telah selesai, dan sang murid sudah tergali semua kemampuannya, ia akan meninggalkan jauh kemampuan gurunya.

Di sana sang guru boleh merasa bahwa tugasnya sudah purna. Pendidikan telah usai. Ia boleh mati karena sudah puas menyaksikan sang murid berhasil. Proses pendidikan telah selesai. Sekolah sudah tamat. Sebab pendidikan berakhir sampai akhir hayat.

Tentu sudah banyak guru yang sudah menghayati profesi dan panggilannya. Bukankah kebahagiaan guru cuma ini: bahagia menyaksikan muridnya berhasil? Guru akan bahagia, jika bisa membuat orang lain bahagia. Pasti!

Dongeng dan Cerita Rakyat Kita: Akal-akalan, Kejam, dan Balas Dendam

Kita cenderung meniru pesan dalam dongeng dan cerita rakyat yang semasa kecil dininabobokkan. Padahal, masa kecil masa pembentukan. Putar kembali ingatan masa lalu. Ingat lagi cerita berikut ini.

Kancil nyolong ketimun, menginspirasikan orang korupsi dan menipu. Jaka Tarub merangsang niat ngintip wanita mandi dan cenderung mereguknya. Batu balah cermin sadisme seorang ibu. Cerita Sangkuriang sumber orang bernyali melakukan incest.

Mestinya, dongeng dan cerita rakyat itu diubah endiing-nya. Biar positif. Agar mendorong suatu masyarakat berprestasi.

Jadi, jangan main-main dengan dongeng dan cerita rakyat. Psikolog sosial, David McClleland membuktikannya.
***

There is nothing new under the sun. Nihil novi sub sole! Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.Begitu biasa kita mendengar pepatah yang dilontarkankan kaum cerdik cendikia, ketika mengomentari sesuatu.

Biasanya, tentang sebuah penemuan baru. Entah penemuan di bidang ilmu, teknologi, maupun dalam pemikiran.

Segala misteri dan rahasia semesta pasti tersingkap satu demi satu. Merupakan tugas ilmu untuk menguak semua misteri semesta yang tersembunyi. Dan rahasia semesta, lambat laun, akan terkuak satu demi satu.

Pada zaman kuda menggigit besi misalnya, kita hanya tahu bahwa bulan hanyalah sebuah bola bulat sebesar basket yang bernaung di atas langit. Indah terlihat dari bumi. Itulah sebabnya, ada kiasan “Indah bagai rembulan”. Padahal, permukaan bulan itu buruk dan kasar. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di bulan tahun 1969, Neil Armstrong melihat permukaan bulan sangat jelek. Tidak rata. Penuh bebatuan tajam-tajam. Ternyata, bulan tidak seindah sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya.

Karena itu, ilmu terus-menerus berkembang. Namun, antara penemuan yang satu dengan yang lain hampir selalu serupa prosesnya. Mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis. Semula, orang meyakini matahari mengelingi bumi (tesis). Muncul Galileo Galilei yang mengatakan sebaliknya: bukan, justru bumilah yang berputar (antitesis). Dan masih bisa diajukan contoh penemuan lain. Semuanya melalui proses itu.
***
Psikologi juga begitu. Dulu, psikologi masih jadi satu dengan filsafat, dengan tokohnya Aristoteles, Rene Descartes, dan John Locke. Ketika keduanya masih menyatu, orang agak sulit memisahkan antara sesuatu yang abstrak dengan hal yang konkret. Antara ihwal yang idea dan barang yang nyata. Antara ada dan tiada. Dan antara pengalaman dan apa yang dirasakan. Titik pijak psikologi sebagai ilmu yang otonom dimulai pada 1879, ketika Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, Jerman.

Kemudian hari, terjadi revolusi di bidang ilmu. Terjadi division of works di antara para ilmuwan. Terjadi spesifikasi dan orang lalu masuk ke hal yang detail dan fokus. Maka psikologi pun menjadi ilmu yang otonom. Kini menjadi fakultas sendiri di perguruan tinggi. Dan memaklumkan terdapat sembilan cabang ilmu psikologi kontemporer (menurut Wortman, Loftus, dan Weafer). Dan salah dua di antaranya ialah psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan.

Ke dalam cabang kedua ilmu itulah soal need, perkara jasmani, dan ihwal kebutuhan dasar manusia diselidiki. Abraham Harold Maslow adalah tokoh yang tak bisa diabaikan dalam penyelidikan need. Ialah yang meletakkan fondasi bagi peneleitian tentang need, dengan teori strata kebutuhan (Teori Maslow).

Lalu muncul teori lain. David McClleland misalnya, memerasnya menjadi hanya tiga kebutuhan dasar manusia. Teori McCCleland dikenal dengan “The needs theory”.
Menurut McClleland, pada hakikatnya setiap insan bernama manusia memiliki tiga kebutuhan:
(1) berprestasi,
(2) berkuasa, dan
(3) berafiliasi.

Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement –N-Ach), ialah keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Kebutuhan untuk berkuasa (need for power), ialah kebutuhan untuk lebih kuat, lebih berpengaruh terhadap orang lain.

Dan kebutuhan afiliasi (need for affiliation), yaitu kebutuhan manusia untuk disukai, mengembangkan atau memelihara persahabatan dengan orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu menemui tipe manusia yang merepresentasikan ketiga kebtuhan itu. Di kantor, ada orang yang gila kerja (workaholic). Siang malam, tak ada hentinya. Yang ada dalam otaknya hanyalah bekerja dan bekerja. Istri atau anak menjadi nomor sekian. Nomor satu ialah kerja. Ia gila prestasi. Dan menjadi puas kalau mencapai puncak.

Atau seorang atlet yang giat berlatih, sampai menjadi juara. Juga seorang siswa dan mahasiswa yang belajar terus-menerus. Apa yang mereka cari? Mereka ingin berprestasi. Jika prestasi sudah dicapai, puas. Selesai. Kebutuhan sudah terpenuhi. Hidup terasa sudah penuh.

Lalu ada juga orang yang gila kuasa. Di rumah, si suami ingin menguasai isterinya. Sang istri juga balik ingin menguasai sang suami. Di kantor, kita juga menemui atasan yang sok kuasa. Main kayu. Tega melakukan apa saja, agar tampak bahwa ia memiliki power.

Dunia politik lebih lagi di dalam pamer kuasa, dalam power show. Rebut kekuasaan, adu pengaruh, saling menjegal merupakan manifestasi dari kebutuhan untuk berkuasa. Di lingkungan keagamaan pun ada saling rebut dan nyari kuasa. Padahal, kita sudah diingatkan bahwa “Kamu tidak mempunyai kuasa apa pun, kecuali kuasa itu diberikan dari atas!”

Sedangkan kebutuhan untuk afiliasi juga sering kita temukan. Saya mengenal sebuah keluarga kaya. Harta benda mereka berlimpah. Apa saja mereka miliki. Namun, tetap saja merasa kurang. Mereka membutuhkan orang lain. Butuh afiliasi dan pengakuan. Perlu diketahui dan diakui bahwa mereka berada. Dan merasa puas jika orang lain mengakui.

Ketiga kebutuhan yang disebut, hampir selalu ada dalam diri manusia, walau dalam intensitas yang berbeda. Orang dapat saja didorong secara kuat oleh kebutuhan untuk berpestasi, sedangkan orang lain duperbudak nafsu untuk untuk berkuasa. Sementara orang lain lagi membutuhkan afiliasi.

Dan memiliki tiga kebutuhan itu sah-sah saja, sejauh mendatangkan buah bernama kebaikan. Tiap-tiap kebutuhan menjadi sumber yang sangat dahsyat dan penting, andai saja disalurkan demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Namun, akan menjadi daya yang negatif, apabila tiga kebutuhan tadi memperkuda. Malah jadi petaka, jika mencelakakan manusia lain.
***
Sesungguhnya, temuan McClleland populer di bidang psikologi sosial. Terutama, dan teristimewa, temuannya sering digunakan untuk menakar sejauh mana bacaan dan cerita rakyat (folk tales) berpengaruh pada (dan mempengaruhi) perilaku masyarakat.

Untuk sampai pada kesimpulannya, McClleland harus mengalami jatuh bangun. Ia meneliti pengaruh budaya pada Eropa Timur dan Eropa Barat. Tidak bersua jawaban, mengapa kedua benua –meski sama-sama Eropa—yang satu maju dan yang lainnya terbelakang? Diteliti banyak aspek. Disorot berbagai dimensi. Tidak ketemu juga penyebabnya.

Akhirnya, McClleland mengumpulkan folk tales dari kedua belah benua. Di sana ia baru menemukan jawaban: cerita rakyat Eropa Barat positif, mengandung nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih, sikap pantang menyerah pada nasib, dan penuh dengan optimisme. Nilai-nilai yang bertolak belakang dengan cerita rakyat Eropa Timur. Kandungan cerita rakyat Eropa Barat itu lalu disarikan McClleland dalam satu kata: N-Ach (mengandung need for achievement).

Kalau Eropa Barat maju dan masyarakat umumnya berperadaban tinggi, itu karena cerita rakyat mereka yang mengondisikan demikian. Ada cerita mengenai kodok yang tak pernah menyerah pada nasib, terus-menerus berusaha melompat keluar dari keterperosokan. Ada pula kisah mengenai pangeran tampan dan baik hati. Atau dongeng mengenai sebuah keluarga yang hidup rukun dan damai, di sebuah rumah kecil di sebuah lembah.

Tahun1970-an kisah ini difilmkan di bawah judul “Little House on the Prairie”).
Pantas saja Eropa Barat maju. Sudah maju, berbudaya tinggi lagi. Meski tempat-tempat ibadah di Eropa Barat umumnya dimasuki oleh kaum tua, rata-rata mereka itu humanis. Termasuk anak mudanya yang memang jarang ke gereja, namun rajin berdoa.
Di Eropa Barat bahkan berdiri sebuah kelompok yang memaklumkan mereka pembela dan penyayang anjing. Anjing pun dicintai di sana, apalagi manusia.

Di negeri kita, harga manusia sering tidak lebih dari seekor anjing. Baru-baru ini ada kejadian di Jakarta, maling modar dihajar massa karena ketangkap basah mencuri burung beo.

Kita tampaknya lebih sayang pada beo daripada manusia. Padahal, martabat burung beo tidak lebih tinggi daripada manusia. Burung beo justru bisa bicara karena meniru manusia! Padahal, bisa saja sang maling diusut, apa motivasinya mencuri beo? Jangan-jangan cuma didorong kebutuhan faal, lapar. Kebutuhan yang oleh Maslow masuk strata paling bawah: kebutuhan perut.

Jangankan dibanding Eropa Barat, dibanding Eropa Timur –yang menurut McClleland folk tales-nya kurang positif— kita kalah. Periksalah cerita rakyat kita. Ada Malin Kundang yang durhaka pada ibunya. Ada kancil yang nyolong ketimun. Ada kisah mengenai kancil yang mengakali buaya (menipu buaya, menyuruh mereka berbaris katanya untuk dihitung, padahal dalam hatinya dibikin jembatan hidup untuk dilompati punggungnya agar bisa menyeberang sungai).

Ada legenda mengenai anak yang membirahi ibunya (Sangkuriang). Ada cerita mengenai pembalasan yang sadis (kura-kura menyumpahi kera karena tidak mau membagi buah pisang). Ada pula cerita mengenai ibu yang tega pada anaknya ketika sang anak tidak mau mendengar nasihatnya, ibu ditangkup batu (Batu Balah). Dan sang ibu hilang.

Dan yang paling hebat justru sejarah bangsa kita sendiri. Dari zaman Majapahit, sejarah mengajari pada kita supaya para pelaku politik harus bisa tega menghabisi lawan politiknya. Lewat jalan apa pun. Dengan cara bagaimana pun. Dengan menghunus keris, lalu menikam dari belakang. Atau secara terang-terangan mengangkat senjata. Tak peduli, asalkan kebutuhan untuk berkuasa terpenuhi!

Imperium Romawi pernah mencatat sejarah terburuk. Suetonius Trangquillus, sekretaris kaisar Hadrianus yang menulis De Vita Caesarum (riwayat hidup para kaisar) mencatat, Iunius Brutus tega menikam perut Caesar dengan pedang.

Itu hanya lantaran Brutus didorong oleh hawa nafsu ingin berkuasa. Ia mengambil jalan pintas dengan menghabisi Caesar. Dengan ujung pedang tang tajam terhunus, Caesar pun terkapar. Darah segar mengucur deras. Sambil mengerang kesakitan memegang bekas luka, Caesar masih sempat berkata, “Es tu Brutu?” (Kaukah juga Brutus yang ikut komplotan, bersekongkol dengan lawan yang selama ini hendak mengenyahkanku?)

Rasa sakit hati karena dikhianati pasti lebih perih daripada hunjaman sebilah pedang! Barangkali dari Brutus itu pula kata “brute” atau “brutal” berasal. Di kamus, kata itu berarti: orang yang kejam dan kasar, tingkah lakunya kebinatangan.

Brutus dan Ken Arok. Kancil yang nyolong ketimun dan koruptor. Atau folk tales kita apalagi, yang bisa menyeret kita ke hal-hal yang negatif? Di balik itu semua, kita sering lupa folk tales yang mengandung pesan positif. Adakah cerita kita yang mengantar ke suatu pencapaian? Adakah dongeng kita yang dapat memacu untuk berprestasi? Atau, berapa banyakkah cerita rakyat kita yang mengusung persabahatan, cinta kasih, sikap memaafkan, dan saling menghargai?

Dalam berbagai kesempatan pelatihan menulis cerita. Saya selalu mengatakan, pada galibnya mengarang ceirta itu gampang. Ambil saja dongeng yang sudah ada. Lalu ganti ending (akhirnya). Gantilah akhir dongeng yang negatif menjadi positif. Yang durhaka menjadi mulia. Yang mengakali dengan yang iklas. Dan yang benci jadi cinta. Beres!
Masalahnya, kita sering tidak berani mengubah akhir cerita kita sendiri. Ini karena kita kerap terkungkung kuasa, dan juga, tirani. Kita ingin lepas bebas, tapi tak berdaya. Kita ingin melawan, tapi tak punya cukup kawan.

Akhirnya, kita hanya bisa menerima cerita yang sudah ada. Kisah yang dibikin orang lain untuk kita jalani.

McClleland mengajarkan kita banyak hal. Barangkali ajarannya tidak semua bisa kita laksanakan. Tapi mengerjakan satu perkara saja, masa tidak bisa? Kalau kita guru, kita kondisikan anak-anak untuk berprestasi. Kalau kita atasan di kantor, kita jangan main kuasa. Jangan pernah merasa terancam oleh anak buah yang unjuk prestasi tinggi. Dan kalau Anda orang kaya, berbagilah dengan sesama yang tak punya.

Cara melakukan dan mengajarkan temuan McClleland bisa dengan apa saja. Bisa dengan kata-kata. Dapat dengan kalimat. Yang paling kena mungkin dengan suri teladan.

Sabtu, 17 April 2010

Artikel yang Menjual dan Berdaya Pikat

Karier kepenulisan saya berawal dari menulis artikel, feature, dan cerpen. Semuanya pendek. Antara 700-1.500 kata. Ketika mahasiswa semester I, saya sudah menembus Kompas. Tulisan saya pertama berjudul "Tindakan Preventif untuk Mengurangi Penurunan Budaya Mangkok Merah" dimuat Kompas Minggu, 11 Maret 1984.

Setelah itu, tulisan saya malang melintang di Kompas. Ini terjadi hingga tahun 2005, saat pengasuh rubrik opininya kurang sesuai seleranya dengan saya. Beberapa kali tulisan saya dikembalikan dengan catatan "tidak ada tempat". Saya lalu mengirimnya ke media lain. Anehnya, tulisan yang sama, dan tidak ada perubahan, dimuat.
***
TOH demikian, saya tetap berterima kasih pada Kompas. Syahdan, kata orang, penulis yang tulisannya belum dimuat Kompas, belum sah dan belum diakui sebagai penulis.

Bagaimanapun, motivasi saya terlecut sebagai penulis,ketika tulisan saya dimuat. Mungkin saya beruntung. Atau pada saat itu persaingan antarpenulis belum seketat sekarang. Tulisan pertama yang saya kirim, langsung dimuat. Tanpa ada editing sedikit pun.

Kini saya sudah berhasil menulis dan mempublikasikan lebih dari 4.000 artikel. Untungnya, usai reformasi, media tumbuh subur. Lahan buat menabur artikel bukan hanya Kompas. Banyak yang lain, yang juga tidak kalah baik dalam soal honor maupun oplah.

Karena biasa nulis pendek, saya merasa tidak puas. Kok gampang amat menulis? Tantangan seperti gak ada lagi. Maka saya memutuskan hanya menulis buku. Selain ada tantangan, honor dari menulis buku jauh jauh lebih besar dari sekadar nulis artikel yang, di benak saya, hanya ece-ece.

Menulis buku idenya utuh. Perlu imaginasi tinggi, selain kreativitas. Bedanya dengan artikel, artikel lebih simpel. Karena itu, saya selalu berkata, artikel yang dibukukan bukan-buku. Sebab idenya mencar-mencar. Ditulis bukan dimaksudkan untuk buku. Bentuknya saja buku, tapi isinya bukan-buku. Itu kumpulan artikel yang dibukukan.

Namun, saya ingin share. Seperti pelatih sepakbola. Setelah gak jadi pemain, ia menjadi pelatih. Inilah tips menulis artikel. Diambil dari Bab 4 buku saya yang sedang dalam proses cetak oleh PT Indeks, Creative Writing.
***


SEBELUM masuk pembahasan lebih detail tentang bagaimana menulis artikel, alangkah baik jika pada bagian pembukaan bab ini dipahami lebih dahulu tujuan menulis pada umumnya.

Apakah tujuan menulis? Seluruh tujuan menulis ialah mengomunikasikan secara jelas dan lengkap gagasan atau pemikiran penulis.

Ketika dan usai membaca tulisan yang baik, kita kerap tersentuh dan terkesan. Untuk beberapa saat sanggup mengingat seluruh gagasan yang ditulis. Mengapa? Kita tersentuh karena penulis terampil memilih kata-kata untuk mengungkapkan gagasannya. Kita sanggup mengingatnya karena penulis pandai menyentuh emosi dengan diksi (pilihan kata) yang terarah pada emosi.

Demikianlah, setiap tulisan yang baik akan meninggalkan kesan pada pembaca.

Etimologi dan pengertian artikel
Asal usul, atau etimologi, artikel dapat ditelusuri dari Kamus Latin-Indonesia (K. Prent, C.M., dkk. 1969: 68) yang menjelaskan etimologi “artikel” sebagai berikut, “articulus yang berarti bagian atau pasal.”

Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 66) menjelaskan “artikel” demikian, “karya tulis lengkap, misalnya laporan berita atau esai dalam majalah, surat kabar, dan sebagainya.”

Dari pengertian kamus di atas, dapat disimpulkan bahwa artikel ialah bagian atau pasal dari sebuah wacana (tulisan) yang panjang. Dengan kata lain, artikel ialah tulisan prosa pendek, umumnya berkisar antara 700-1.200 kata.

Sebagai karya tulis pendek yang lengkap, artikel merupakan ragam tulisan nonfiksi yang terdiri atas pembukaan, isi, dan bagian penutup. Ide, atau topik, yang disampaikan dalam artikel –meskipun dikatakan “lengkap”, tidak dimaksudkan ditulis secara detail seperti halnya sebuah tesis. Kelengkapan artikel bukan ditakar dari detailnya, namun dari struktur dan keutuhan gagasan yang disampaikan.

Teknik menulis artikel
Sebagaimana halnya menulis ragam tulisan lain, menulis artikel pun tidak sekali jadi. Dalam menulis artikel, dibutuhkan proses kreatif yang tentu saja tidak sama pada setiap penulis. Ada penulis yang sangat lancar menuangkan gagasannya ke dalam tulisan untuk satu topik. Namun, untuk topik yang lain, barangkali dibutuhkan waktu dan energi esktra. Cepat tidaknya menyelesaikan sebuah artikel kerap bergantung pada topik, mood, penguasaan masalah, dan suasana ketika menulis artikel tersebut.

Adakah rumus yang manjur bagaimana menulis sebuah artikel agar dapat dimuat surat kabar, tabloid, dan majalah? Bagaimana kiat menulis artikel yang selain menarik, juga enak dibaca dan meninggalkan kesan yang mendalam pada pembaca?

Rumusan yang dimaksudkan memang ada! Inilah rumusan yang berlaku secara umum.
- Pemilihan tema yang aktual
- Topik menarik perhatian sebagian besar pembaca
- disajikan dengan bahasa yang mudah dimengerti (populer)
- Gagasan disusun secara terstruktur, mengalir, dan jelas disertai contoh konkret
- Penyajian tidak bertele-tele
- Panjang artikel 700-1.200 kata
- Gaya penulisan padat dan bernas
- Tulisan jelas dari segi logika dan bahasa (clear thinking dan clear writing)
- Siap-saji. Artikel yang dikirimkan tidak merepotkan editor untuk mengedit dan mengolahnya kembali, kecuali Anda benar-benar seorang pakar
- Meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca

Akan tetapi, rumusan umum di atas dapat saja tidak berlaku, manakala seorang penulis merupakan penulis pemula. Yang sering terjadi adalah subjektivitas redaktur opini dari media yang dikirimi naskah. Jika pengirim naskah dikenal secara pribadi, atau jika saja naskah itu merupakan naskah “titipan” maka kemungkinan besar akan dimuat.

Meski demikian, ada juga redaktur opini yang cukup objektif. Asalkan sebuah naskah memenuhi syarat dan kaidah yang dipersyaratkan maka naskah tersebut akan dimuat.

Banyaknya media semakin memberikan ruang bagi penulis artikel. Yang kerap terjadi adalah naskah sama yang ditampik suatu media, lalu dikirimi ke media lain yang sesuai dan dimuat. Berdasarkan pengalaman faktual maka rumusan yang “tidak umum” sebuah artikel sebagai berikut.
- Mintalah syarat-syarat atau kriteria pemuatan naskah dari suatu media
- Tanyakan topik atau tema apa yang mereka kehendaki
- Mintalah gaya selingkung (in house style)-nya
- Berkenalanlah dengan pengasuh rubrik secara personal

Isi (content)

Apa yang dimaksudkan dengan isi atau konten artikel?
Bukan hanya untuk artikel, konten adalah bahan pokok atau esensi dari setiap tulisan. Konten adalah blok bangunan dasar dari setiap tulisan. Sebuah tulisan tanpa isi, tidak akan ada orang yang sudi membacanya. Isi menjadi alasan utama orang membaca buku, jurnal, majalah, surat kabar, browsing web, atau mengunduh blog dan face book.

Nilai dari suatu tulisan pada umumnya, atau situs didasarkan pada isi. Jadi, manakala isinya baik, baik pula nilai yang dirasakan pembaca dari suatu medium. Namun, tidak mudah menghasilkan isi sebuah tulisan yang dianggap berharga oleh banyak orang. Khusus artikel, salah satu cara membuatnya bernilai ialah dengan meramunya sedemikian rupa sehingga isinya:
- informatif
- menarik
- memecahkan masalah
- menjawab pertanyaan
- dan ditulis dengan baik

Seorang penulis artikel harus menulis topik yang menarik sehingga memancing sebanyak mungkin orang membacanya.

Topik harus aktual (dari kata latin actu yang berarti: mengandung unsur kekinian, kebaruan, hangat) dan menggunakan kata yang populer (dari kata latin populus) yang berarti: menggunakan kata yang akrab dengan segmen pembacanya.

Jangan menulis artikel terlampau panjang. Redaktur tidak punya banyak waktu untuk memotongnya atau menulisnya ulang. Sering terjadi, tema artikel menarik, namun karena terlalu kepanjangan, dan redaktur tidak ada waktu untuk menulisnya ulang sehingga tidak dimuat.

Sesuaikan panjang artikel dengan space yang tersedia, hal ini dapat dilihat dari ketentuan dan tata aturan yang sudah digariskan. Namun, biasanya panjang sebuah artikel berkisar antara 700 dan 1.200 kata.

Artikel yang dimuat di suatu media adalah hasil dari sebuah proses kreatif. Tiap penulis mempunyai proses kreatifnya masing-masing. Penulis sekaliber Arswendo Atmowiloto, William Chang, Christianto Wibisono, dan Goenawan Mohamad misalnya, mungkin sudah tidak memerlukan lagi mind mapping ketika menulis artikel. Mereka sudah mafhum bagaimana membagi space untuk menuangkan sebuah gagasan. Namun, untuk pembelajar, apalagi pemula, perlu mengikuti langkah-langkah yang berikut ini untuk menghasilkan artikel yang berdaya guna dan berhasil guna.

1. Tentukan topik artikel Anda.
Ketika hendak menulis, yang pertama kali ditentukan bukan judul. Seorang penulis perlu memutuskan topik apa yang ingin ditulis. Apakah akan menulis topik tentang pendidikan, sosial, politik, real estat, gaya hidup, olah raga, seni, budaya, e-commerce? Setelah mendapatan gagasan pokok, selanjutnya penulis perlu memusatkan perhatian pada masalah yang lebih spesifik. Ada beberapa cara untuk melakukan ini. Salah satunya ialah membuat peta pikiran.

Peta pikiran adalah diagram yang digunakan untuk membantu penulis mengembangkan dan mengklasifikasikan ide, bagaimana menyusunnya, dan menatanya sehingga dihasilkan sebuah tulisan yang fokus, tidak melebar.

Dalam dunia penulisan, kerap pula disebut diagram sarang laba-laba (spider diagram) sebab gagasan pokok selalu berada di tengah-tengah persis seperti laba-laba yang senantiasa berada di tengah-tengah sarangnya. Adapun jaringannya adalah cabang-cabang gagasan pokok. Mana gagasan yang relevan dikembangkan dan disatukan, sedangkan yang tidak relevan dibuang, atau dijadikan tulisan yang lain lagi.

2. Lakukan riset (kecil) pasar untuk topik yang telah Anda pilih.
Setelah menentukan topik, lakukan riset pasar-sasaran Anda untuk menentukan topik yang spesifik untuk artikel Anda. Apa kira-kira pertanyaan yang akan muncul di benak pembaca dan mereka ingin ketahui jawabannya? Atau apa masalah spesifik yang mereka alami yang dapat Anda bantu pecahkan? Lakukan pencarian secara online di bidang yang Anda minati dan lihat apa yang menarik bagi minat pembaca? Anda dapat juga mencari informasi baik di forum dan blog apa yang sedang trend dan melihat apa yang sedang dibahas di sana. Apa topik minggu, bahkan hari itu, yang sedang mencuat ke permukaan? Lalu, Anda ingin membahasnnya dari sudut pandang mana? Cara termudah membuat orang menemukan artikel yang berharga adalah dengan menjawab pertanyaan yang benar-benar nyata ditanyakan dan ingin diketahui pembaca.
3. Temukan kata kunci yang digunakan oleh segmen dari pasar sasaran Anda.
Langkah ini penting karena menjaga Anda tetap membidik target pasar dan senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Anda ingin menggunakan kata kunci tersebut dalam artikel Anda.
4. Brainstorming (dadarkan) topik untuk artikel Anda
Setelah memiliki informasi dari langkah-langkah sebelumnya, bertukar pikiran dengan sahabat dan andai taulan tentang topik artikel Anda kerap penting juga. Jika dirasa cukup, Anda dapat mulai menulis. Proses ini penting karena akan membantu mengalirkan kreativitas. Hanya mulai menulis sekumpulan kata dan frasa yang berhubungan dengan beberapa orang yang mengalami masalah, atau pertanyaan-pertanyaan mereka minta.
5. Tulis kesimpulan artikel.
Ini tentu bukan sesuatu yang sukar karena Anda tinggal menyarikan apa yang baru saja Anda tulis. Penutup artikel yang baik akan meninggalkan kesan tertentu pada pembaca. Dapat dengan satu simpulan yang menyentak. Bisa pula dengan pertanyaan yang menggugat. Misalnya, “Bukankah kita juga bagian dari masyarakat yang demikian?”
6. Mulai menulis.
Sekarang Anda memiliki topik, judul, gagasan, dan struktur dari artikel Anda. Anda dapat mulai menulis.
7. Tulis pengenalan artikel.
Sekali Anda telah menulis seluruh badan artikel, selanjutnya akan mudah untuk menulis pengantar. Ingat, artikel dasar dimulai dengan mengatakan kepada pembaca apa yang Anda akan beritahu mereka. Huruf, kata, kalimat, dan paragraf pertama yang Anda tulis tidak harus “mati” demikian, yang tidak boleh diganggu gugat dan diubah-ubah lagi.
8. Buat judul
Setelah menulis artikel yang dianggap memenuhi target pasar, buat judul artikel yang efektif. Banyak orang menyangka judul harus dibuat lebih dulu sebelum mulai menulis. Tidak! Judul justru dibuat paling belakangan, sesudah tulisan jadi. Usahakan membuat judul yang memancing perhatian pembaca dan menarik mereka untuk meneruskan dan tetap berkanjang membaca artikel Anda.
9. Mengoreksi artikel.
Setelah menulis, lakukan koreksi kembali. Periksa ejaan, tata bahasa, aliran gagasan, cek apakah khalayak sasaran sudah disapa atau belum. Jika memungkinkan, mintalah orang lain untuk membaca artikel Anda. Orang ketiga biasanya jauh lebih jeli mengamati kekurangcermatan atau kesalahan daripada penulisnya sendiri. Terimalah kritik yang membangun. Jadikan masukan itu penambah gizi bagi tulisan Anda!
10. Langkahkan kaki menjauh dari artikel.
Jangan lihat artikel Anda setidaknya selama satu hari.
Melangkah pergi dan lakukan sesuatu yang lain.
11. Membaca kembali artikel dan mengoreksinya lagi.
Anda akan merasakan sesuatu yang lain ketika membaca artikel setelah beberapa waktu istirahat. Mengapa? Karena Anda sudah mengambil jarak. Ibaratnya, Anda kini berada di atas helikopter dan melihat ke bawah, dan kini menjadi terang semuanya. Anda dengan mudah membuat perubahan yang diperlukan dan kemudian siap menyelesaikannya. Jika masih belum merasa puas, ulangi lagi langkah 9 dan 10.
12. Sebelum memposting artikel, sebaiknya Anda menulis pengantar yang simpatik. Pengantar berisi penjelasan yang simpatik dan meyakinkan mengenai urgensi dan nilai suatu artikel sehingga redaktur benar-benar yakin bahwa artikel yang Anda kirimkan layak dimuat. Jangan lupa sertakan nomor telepon yang mudah dihubungi dan nomor rekening untuk memudahkan bagian adimistrasi mengirimkan honorarium
Sekarang saatnya membuat kotak sumber daya Anda.

Kotak sumber daya adalah tempat Anda ingin mengarahkan pembaca untuk panggilan tertentu agar segera bertindak, seperti mendaftar ke mailing list tersebut, menelepon Anda, mengirimkan saran dan komentar ke situs web Anda, atau membeli produk atau jasa. Struktur yang baik untuk kotak sumber daya adalah menyatakan suatu masalah dan apa yang harus mereka lakukan untuk menghindarinya. Jika Anda memiliki cukup ruang, akan sangat membantu untuk meninggalkan kepercayaan tentang siapa Anda dan mengapa mereka harus mendengarkan Anda. Jika tidak memungkinkan melakukan yang lain, cukup di akhir artikel mencantumkan alamat surat elektronik Anda.

13. Biarkan dunia tahu artikel yang Anda tulis. Anda dapat menemukan tempat untuk mempromosikan artikel Anda.

Bagaimana mengembangkan dan menuangkan gagasan?
Setiap wacana berawal dari sepatah kata . Tulisan yang panjangnya ratusan ribu, puluhan ribu, seribu, dan seratus diawali dari sepatah kata. Masalahnya, dari mana mulai menulis? Inilah yang kerap menimpa penulis pemula sehingga sudah berjam-jam di depan layar komputer tulisan tidak jadi-jadi juga.

Ketika mengalami apa yang disebut writer’s block atau gagasan mampet dan kehabisan ide, teori bisa jadi dari kandas dalam praktik semacam ini. Jika demikian, apakah teori menulis tidak perlu? Tetap perlu sebagai landasan teoretis agar sebuah tulisan diakui umum dan sesuai dengan pakem yang diakui. Teori itu harus sama dan sebangun dalam hasil akhir tulisan berupa naskah clean copy (siap saji atau siap di-posting). Namun, dalam proses kreatifnya tentu saja tidak harus mulai menulis dari awal, tengah, dan akhir sesuai dengan teori Gustav Freytag.

Dapat saja penulis mulai menulis dari hal yang ia sukai. Penulis bebas mulai menulis dari mana. Kebebasan untuk mulai menulis ini disebut juga free writing. Namun, setelah diedit dan disempurnakan, tulisan bebas tersebut tidak bebas dalam bentuk , tetapi harus sesuai dengan kaidah dan teori menulis.

Perlu diberi catatan, tidak setiap orang dapat menulis sekali jadi. Pengalaman menunjukkan bahwa penulis profesioal menyelesaikan menulis sebuah artikel dalam tempo tiga jam.

Artinya, artikel yang ditulis itu sempurna, mulai dari pemilihan topik, gagasan yang dituangkan cerdas dan bernas, penempatan dan penggunaan pungtuasi benar dan tepat, menarik, dan memenuhi standar kualifikasi media papan atas. Bahkan, proses kreatif satu tulisan dengan tulisan lain berbeda. Kerap tulisan yang dihayati dan disukai membutuhkan waktu relatif singkat untuk merampungkannya. Namun, untuk topik tertentu, kadang membutuhkan waktu lebih lama.

Bagaimana dengan penulis pemula? Sebelum menulis, penulis pemula sebaiknya membuat peta pikiran (mind mapping) lebih dahulu. Peta pikiran ini diperlukan bukan saja agar tulisan (gagasan) tidak melebar ke mana-mana, tetapi juga untuk memandu penulis akan mengarah ke mana, selain sebagai pedoman untuk mengetahui seberapa banyak porsi yang diberikan pada awal, tengah, dan akhir tulisan. Jangan sampai, karena keenakan menulis bebas, pada hasil akhir tulisan porsi awal (pengantar) jauh lebih banyak dibandingkan dengan isi. Ini tidak proporsional!

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa terdapat tahap-tahapan dalam menulis, mulai dari mencari ide (invention) hingga tahapan memeriksa kembali cetak coba (proofreading). Normatif itulah tahapan menulis yang harus dilalui. Namun, proses kreatif setiap tulisan tidak harus berjalan linear seperti itu, kecuali tahap pertama (invention) adalah wajib. Mengapa? Sebab tanpa diawali dari menemukan ide, tidak mungkin untuk mulai menulis.

Jika ide atau topik sudah ditemukan, bagaimana mengembangkannya? Menulislah dengan bebas. Jangan hiraukan urutan logis, kesalahan spelling, tanda baca, ejaan, akurasi nama orang dan nama tempat. Jangan sekali-kali bertindak sebagai penulis dan sebagai editor pada waktu yang sama. Mengapa? Karena tulisan Anda tidak pernah rampung.

Misalnya, ketika rasa ingin tahu untuk mengecek apakah kata “cek” jika mendapat awal me menjadi mencek atau mengecek? Anda akan membuka kamus, tidak ketemu. Membuka tesaurus, tidak juga bersua jawaban. Lalu Anda bertanya pada munsyi di Pusat Bahasa dan yang bersangkutan baru masuk bekerja esok hari. Apakah harus menunggu semalam baru melanjutkan menulis? Tidak! Beri catatan, atau tanda, pada kata atau istilah yang Anda kurang yakin benar. Biarkan gagasan mengalir seiring dengan mood Anda, jangan pernah dibendung oleh rintangan yang tidak seharusnya menjadi hambatan. Ubah hambatan menjadi peluang!

Dari mana mulai menulis? Pada galibnya, menulis sama dengan berbicara. Menulis ialah berbicara di atas kertas atau berbicara melalui tulisan. Karena itu, setiap orang yang dapat berbicara, pasti dapat menlis. Uniknya, bahkan orang bisu pun dapat menulis.

Karena itu, mulailah menulis sebagaimana Anda mulai berbicara! Bahkan, menulis lebih mudah daripada berbicara. Mengapa? Sebab ketika berbicara, sekali diucapkan, kata-kata akan berlalu. Apa yang telah diucapkan tidak ada kesempatan memperbaiki dan menariknya kembali. Berbeda dengan menulis. Jika salah, kesempatan memperbaikinya terbuka lebar.
Mulailah menulis dari sepatah kata yang menjadi gagasan pokok, main idea atau central idea-nya. Salah satu medode untuk mengembangkan dan mengurutkan gagasan dimulai dengan menuliskan semua gagasan ke tulisan dengan sama sekali tidak peduli akan urutannya.

Inilah tahap awal menulis, yakni menulis bebas dengan mementingkan aliran gagasan terlebih dahulu dan menafikan untuk sementara hal-hal lain yang bukan-gagasan. Mengapa gagasan ini penting? Sebab sebuah tulisan yang paling pokok adalah gagasan atau isinya.
Keberhasilan seorang penulis bergantung pada kecerdasannya menuangkan seluruh gagasan briliannya ke dalam tulisan. Dilengkapi dengan data dan informasi maka gagasan itu biarkan saja mengalir.

Untuk membantu mengalirkan gagasan, sebaiknya dibuat Lembar Gagasan seperti contoh yang berikut ini.

Lembar Gagasan (orisinal)

1. Pada suatu acara bedah buku MCG, sempat terjadi insiden adu fisik yang melibatkan Aditjondro dan Ramadhan Pohan. Pohan menuding buku Aditjondro sarat fitnah, tidak ilmiah. Sebaliknya, Aditjondro bergeming dengan mengatakan, buktikan jika memang keliru!
2. Buku yang ditulis George Junus Aditjondro ini menjadi pemicu dan buah bibir yang dibicarakan secara nasional.
3. Pihak yang merasa dirugikan oleh data yang dibeberkan Aditjondro murka. Kebetulan, mereka masuk koloni, atau setidaknya dekat, dengan Cikeas. Cikeas adalah simbol RI-1 (Susilo Bambang Yudhoyono) dan trahnya.
4. Buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) terbit dan segera meyebar reaksi pro dan kontra.
5. Bagaimana menilai mana pihak yang benar dan mana yang salah? Pemberitaan media harus dilihat bagaimana media membingkai berita itu dan apa ideologi di baliknya.
6. Lepas dari pro-kontra, MCG menjadi pelatuk bagi kita untuk belajar berdemokrasi.


Itulah lembar gagasan. Seperti yang dapat dilihat, gagasan itu terlampau umum, masih terdapat kesalahan di dalam penulisan huruf, belum runtut logikanya. Setelah dicermati dengan saksama, alurnya belum urut. Karena itu, ada gagasan yang harus ditukar tempat.

Tahap selanjutnya, merevisi gagasan dan mengurutkannya. Menyesuaikan aliran gagasan dengan apa yang sedang dipikirkan khalayak saat itu (the mind of consumer) dengan menaruh gagasan yang memicu dan menyentak (inciting force).

Lembar Gagasan (hasil organization)

Lembar Gagasan yang orisinal tadi kemudian diperbaiki. Sebaiknya ditulis dengan spasi ganda untuk memudahkan agar tersedia ruang bagi penempatan tanda-tanda penyuntingan . Inilah contoh hasil organization (pengorganisasian gagasan) sebelum memasuki tahap selanjutnya yakni mulai menuangkan gagasan demi gagasan melalui kata yang membentuk kalimat, kalimat membentuk alinea. Sebaiknya satu gagasan, satu alinea. Gagasan yang sambung-menyambung mengalir secara koheren membentuk wacana yang utuh.

Lembar Gagasan (hasil revisi)
Setelah draft Lembar Gagasan diperbaiki, jadilah hasil revisi sebagai berikut.


1. Buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) terbit dan segera menebar reaksi pro dan kontra.
2. Cikeas adalah simbol RI-1 (Susilo Bambang Yudhoyono) dan trahnya. Buku yang ditulis George Junus Aditjondro ini memicu perseteruan dan buah bibir yang dibicarakan secara nasional.
3. Pihak yang merasa dirugikan oleh data yang dibeberkan Aditjondro murka. Kebetulan, mereka masuk koloni, atau setidaknya dekat, dengan Cikeas.
4. Pada acara bedah buku MCG, sempat terjadi insiden adu fisik yang melibatkan Aditjondro dan Ramadhan Pohan. Pohan menuding buku Aditjondro sarat fitnah, tidak ilmiah. Sebaliknya, Aditjondro bergeming dan mengatakan, buktikan jika memang keliru!
5. Bagaimana menilai pihak yang benar dan yang salah? Bagaimana media membingkai berita itu dan apa ideologi di baliknya?
6. Lepas dari pro-kontra, MCG menjadi pelatuk bagi kita untuk belajar berdemokrasi.

Artikel itu ditulis dalam tempo kurang lebih 2,5 jam, pada 3 Januari 2010. Karena di harian Suara Pembaruan, tulisan penulis baru dimuat 28 Desember 2009, agar tidak ada kesan kemaruk, maka tulisan tentang karya Aditjondro yang menghebohkan itu diputuskan dikirimkan ke media lain. Ke Bisnis Indonesia sudah ada artikel yang sesuai dengan visi misinya.

Setelah bertanya pada kawan dan berkonsultasi, akhirnya artikel tadi dikirimkan lewat e-mail ke Surabaya Post yang bermarkas di Surabaya pada pagi 5 Januari 2010. Dengan pertimbangan, tentu koran daerah memerlukan sekali artikel opini yang selain bargaung nasional, juga cepat-saji. Surabaya Post adalah koran sore. Tanpa menunggu waktu lama, esoknya, 6 Januari 2010 artikel itu pun dimuat.

Menakar Keilmiahan MGC
Oleh: R. Masri Sareb Putra
Gurita Cikeas dan kaitannya dengan skandal Bank Century mencuat jadi isyu nasional akhir tahun 2009 hingga kini. Sebegitu hebat, hingga nyaris menenggelamkan berita kepergian dua tokoh nasional, Gus Dur dan Frans Seda. Di sini genap adagium dalam dunia komunikasi massa, “big people makes big news.”

Kalangan akademis menyarankan, pihak yang merasa dirugikan terbitnya MGC agar membuat buku tandingan. Dilengkapi data dan fakta. Biar publik jadi juri, mana dari keduanya yang laik dipercaya mendekati kebenaran?

Sebelum para big people bisa membuktikan buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) cacat secara ilmiah, opini publik yang terbangun tesis George Junus Aditjondro benar. Padahal, jalan ilmiah ialah tesis dijawab anitesis. Hibrida keduanya melahirkan sintesis.

Asal mula gurita
Ikan mangsi, istilah latinnya onychoteuthis engulata, atau octopus, ialah bangsa cumi. Yang raksasa punya banyak tangan. Hebatnya, tangan-tangan itu menggurita. Jika melilit, musykil mengurainya kembali. Sebab, cengkeramannya amat kuat.

Maka sangat tepat Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:377) memberi contoh gurita dalam kalimat. "Bisnis anak pejabat itu besar dan gurita karena menjarah bank-bank swasta di negeri ini." Maka alangkah malu dan hinanya pihak yang dimasukkan Aditjondro ke dalam bilangan bangsa mangsi.

Menurut Aditjondro, gurita itu datang dari Cikeas. Pria berjenggot subur dan gondrong ini menjelaskan asal muasal hikayat Cikeas dari kepompong sampai kupu-kupu, hingga menggurita, begini:
"... seorang jenderal memborong lahan tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, sewaktu masih berharga Rp5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling-kapling, masing-masing seluas seribu meter persegi. Tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling. Harga tanah di sana sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi (halaman 42).

Bumi Cikeas kini membubung tinggi. Bukan hanya kiasan, tapi tinggi benaran. Harga tanah per meter di sini lebih dari Rp2 juta. Luar biasa! Makanya, banyak orang mengarahkan mata ke tempat ini. Terutama ke purinya. Padahal, tahun 1980-an, menjadi tempat jin buang anak. Gunung Putri kini tinggi seribu janji! Ini konteks judul buku Aditjondro, gurita itu datang dari Cikeas.

Metode ilmiah
Membaca seluruh MGC, sama sekali tak ada kesan Aditjondro bermaksud memfitah. Ia hanya pandai membidik topik yang laik-jual. Lagi pula, karya ini ilmiah. Mengapa? Karena penulis telah memenuhi syarat dan langkah-langkah ilmiah. Yakni mengajukan pertanyaan (5W+1 H), melakukan riset latar belakang masalah, merekonstruksi hipotesis, menguji hipotesis dengan eksperimen, menganalisis data dan membuat simpulan, lalu mengomunikasikan hasilnya pada khalayak.

Yang paling pokok dalam karya ilmiah ialah seseorang senantiasa mengedepankan kebenaran dan kejujuran. Ini harga mati. Dan yang dianggap kebenaran hendaknya sementara sifatnya, harus siap diverifikasi, sampai ditemukan kebenaran baru (novum). Sebagai contoh, sebelum Galileo Galilei menemukan bahwa yang berputar adalah bumi bukan mataharimaka yang dianggap benar ialah matahari yang berputar. Sama dengan kasus Aditjondro vs big people yang “kebakaran jenggot”. Sebelum tesisnya diruntuhkan, selama itu pula dianggap sebagai kebenaran, hingga tesisnya berhasil diruntuhkan dengan temuan baru yang lebih valid.

Dalam MGC, penulis sudah melakukan langkah ilmiah. Rekonstruksi adalah metodologi yang digunakan. Lalu cara menarik simpulan dengan metode pembuktian terbalik. Ketika dilempar ke publik, otomatis karya itu siap diverifikasi. Sayang, pihak yang keberatan, belum menyertakan data bantahan. Padahal, masyarakat menanti-nanti. Mana ekspresimu? Kita memang membaca sanggahan di koran Jurnal Nasional edisi 2 Januari 2010. Itu pun wawancara dengan juru bicara presiden. Tidak membantah ihwal yang substansial, namun hal yang remeh temeh.

Sementara itu, tuduhan Amien Rais karya itu kurang ilmiah, karena menggunakan sumber kedua, perlu dikritisi. Sumber primer, sekunder, atau tersier bukanlah soal, asal mengedepankan kebenaran (truth). Apa sang doktor politik itu lupa, sumber (hanya) mendukung/menyangkal pendapat seseorang? Status questionis adalah: data/informasi benar atau salah.

Ada riset langsung penulis (hal 67-69), terutama mengenai money politic dan vote buying (pembelian suara) yang dilakukan kader Partai Demokrat. Data yang dibeberkan cukup akurat, sebab menyebut nama, tempat, dan jumlah dana yang dikeluarkan. Ini tesis yang bila dinyatakan tidak benar oleh pihak lawan, perlu dibuktikan sebaliknya. Tidak perlu berkeli. Misalnya, dengan dalil bahwa KPU sudah menerima hasil Pemilu, apa yang sudah terjadi tidak bisa diungkit lagi. Masalah pokok adalah, benar atau tidak kader Partai Demokrat melakukan praktik curang?

Karya ilmiah akhirnya harus siap diverifikasi. Aditjondro bertanya pada Ramadhan Pohan tiga kali soal aliran dana Grup Sampurna ke harian Jurnas, namun tidak dijawab. Bukankah ada pepatah, "tacit consent", diam berarti setuju? Dalam politik, tidak berlaku pepatah “Diam adalah emas,” sebab pihak yang diam, diangap kalah.

Media framing
Di tayangan TV, kita tidak melihat Aditjondro memukul Ramadhan Pohan, hanya tangan kiri memegang buku yang disambarkan ke muka Pohan. Sakitnya gak seberapa, mungkin malunya itu.....

Bisa jadi, hari-hari terakhir pembaca menemukan banyak versi soal isyu ini. Beda media, beda cara membingkainya. Dalam studi media, ini namanya media framing. Jadi, isyu atau topik suatu berita, mesti dilihat (dan dibaca) dalam konteks ideologi siapa di balik media yang bersangkutan?

Banyak yang pro George, namun tak sedikit yang kontra. Yang kontra umumnya menyerang pribadi, entah metodologi maupun integritas penulis. Ini namanya argumentum ad hominem dalam retorika, tidak menohok ke persoalan, tapi menyerang pribadi. Burung juga tahu, orang yang menggunakan teknik retorika seperti itu, atau istilah kerennya de sophisticis elenchis. Biasanya pihak yang menggunakan retorika ini kehilangan nalar argumentatif untuk memukul balik lawan.

Dari sekian bab, sebenarnya cuma ada tiga yang “menghebohkan” dari buku ini. Yakni bab tentang di Balik Skandal Bank Century (hal. 13), Bantuan Grup Sampoerna untuk Harian Jurnas (hal. 21) yang memicu perseteruan Aditjondro dan Ramadhan Pohan, Pemanfaatan PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center (hal.29), danYayasan-Yayasan yang Berafliasi dengan SBY (hal. 35).

Lepas dari pro-kontra, kita bisa belajar banyak dari buku ini. Percuma melarangnya peredar, sebab tiap orang dapat mengaksesnya dalam bentuk e-book di internet. Melarangnya beredar, sama dengan menutup angin dengan kain.

Bagaimanapun, terbitnya MGC telah meninggalkan pelajaran berharga. Ia memicu kita semua dalam proses pembelajaran berdemokrasi. Bahwa di era keterbukaan dan alam demokrasi yang musykil dibendung, sumber kebenaran tidak lagi melulu ada pada tangan penguasa, tapi juga –dan terutama— dari rakyat jelata. Bukankah ini makna demokrasi sesungguhnya bahwa kekuasaan di tangan rakyat?

Struktur artikel
Adakah “rumusan” yang manjur untuk membuat artikel? Rumusan itu memang ada! Namun, seperti kata pepatah, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Setiap media punya standar atau lebih tepat selera sendiri-sendiri.

Karena itu, jangan pernah patah arang manakala artikel Anda ditampik suatu media. Bukan karena jelek, namun bisa jadi karena “selera” tadi. Ada media yang jelas-tegas menulis “Jika dalam tempo dua minggu tidak dimuat, penulis dapat mengirimkannya ke media lain.”

Meski kental oleh “selera” dan hubungan pribadi dengan redaktur opini, sebenarnya terdapat pedoman umum bagaimana struktur sebuah artikel. Sesuai dengan anjuran Aristoteles, kemudian dikembangkan Gustav Freytag, sebuah artikel terdiri atas tiga pilar utama yakni awal, tengah (content, body), dan akhir yang dapat dibuatkan detailnya seperti contoh berikut ini.


Bagian I: Awal
Pada bagian awal, elemen yang harus ada ialah:
1. Pernyataan atau tesis
2. Argumen 1
3. Argumen 2
4. Argumen 3
5. Kalimat penutup

Bagian II: Tengah (Isi)
Pada bagian tengah, elemen yang harus ada ialah:

A. Topik kalimat (berdasarkan Argumen 1)
6. Pendukung contoh 1
7. Pendukung contoh 2
8. Pendukung contoh 3
9. Kalimat penutup

Topik B. Kalimat (berdasarkan Argumen 2)
10. Pendukung contoh 1
11. Pendukung contoh 2
12. Pendukung contoh 3
13. Kalimat Penutup

C. Topik Kalimat (berdasarkan Argumen 3)
14. Pendukung contoh 1
15. Pendukung contoh 2
16. Pendukung contoh 3
17. Kalimat penutup

Bagian III: Akhir
18. Ringkasan poin utama (tiga kalimat topik - A, B, dan C)
19. Komentar atau saran tentang pernyataan atau tesis
20. Kalimat penutup


Anda dapat merujuk ke pedoman struktural ini jika hendak menulis artikel. Masukkan informasi tentang topik Anda ke dalam pedoman template di atas dan lihat bagaimana artikel Anda berkembang.
Jika alur itu diikuti maka semuanya akan seperti sihir yang membuat pembaca mendapatkan sesuatu yang mereka perlukan. Sebagai penulis, Anda sudah mencapai tujuan. Artikel Anda dimuat, Anda mendapat honor, media yang memuatnya beruntung mendapat artikel bermutu, dan pembaca juga diuntungkan karena mendapat sesuatu usai membaca artikel Anda.

Menghitung Fog Index
Pernahkah Anda membaca suatu wacana yang sarat dengan kata-kata sukar, yang bersuku kata tiga atau lebih, yang untuk memahaminya harus membuka kamus atau bertanya pada orang yang paham?

Jika pemahaman atau keterbacaan (readability) atas wacana itu sukar, membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerapnya, dan dahi berkerut ketika membacanya maka itu berarti tingkatan Fog Index-nya tinggi.

Apakah yang dimaksudkan dengan Fog Index? Fog Index ialah teknik untuk mengukur keterbacaan suatu wacana. Ditemukan oleh Robert Gunning, seorang pebisnis Amerika dari Robert Gunning Clear Writing Institute Santa Barbara, California. Dalam buku The Technique of Clear Writing (1952) Gunning membuat rumusan untuk mengukur keterbacaan suatu wacana. Mula-mula alat ukur ini digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana dalam bahasa Inggris, namun diperluas karena prinsip-prinsip dasarnya dapat diterapkan dalam bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Langkah-langkah untuk menghitung Fog Index seperti yang berikut ini.

Jumlah yang terdapat pada kolom sebelah kanan didasarkan pada suatu wacana yang:
- panjangnya 88 kata,
- jumlah kalimat 6,
- jumlah kata-kata sukar 6 (corruptissima, republica, plurimae, leges, kleptokrasi, kemaslahatan). Wacana ini dipenggal dari artikel “Tanda-tanda Negara Kleptokrasi” dalam Suara Pembaruan, 15 Januari 2009.
(1) Makin korup suatu negara makin banyak pula undang-undang (corruptissima republica plurimae leges).
(2) Demikian pepatah mengingatkan. Indonesia telah menggenapi kebenaran pepatah ini.
(3) Semakin banyak undang-undang ditelurkan wakil rakyat kita makin banyak pula korupsi melanda negeri ini.
(4) Jika itu terus terjadi, pada gilirannya negara kita dipimpin para pencuri.
(5) Inilah yang disebut kleptokrasi. Perkara yang sudah diingatkan Machiavelli pada 1505.
(6) “Apabila partai pelopor, baik dibentuk oleh rakyat, tentara atau kaum ningrat, yang dianggap paling ulung membela martabat dan kemaslahatan bangsa, sudah menjadi bobrok dan melakukan korupsi, hanya menunggu waktu untuk jatuh.”
Langkah menghitung Fox Index sebagai berikut.

1. Hitung jumlah kata pada wacana 88
2. Hitung jumlah kalimat 6
3. Hitung jumlah kata-kata sukar (3 atau lebih suku kata) 6
4. Kata sukar tidak termasuk:
- nomina (nama diri) dan nama tempat
- kombinasi kata-kata gampang seperti “orangtua”
- kata kerja/kata benda manakala mendapatkan prefiks, misalnya mengkambinghitamkan, mengkartumerahkan, menomorduakan
Hitung rata-rata panjang kalimat
Bagi jumlah kalimat dengan jumlah kata

88/6 = 14
5.
Hitung persentase dari kata-kata sukar (big words).
Bagi jumlah kata dengan kata-kata 6/88 = 7%
6. Bagi rata-rata panjang kalimat dengan % kata-kata sukar 7 + 14 = 21
7. Lalu kalikan hasilnya dengan 0,4 21 x .4 =
Fog Index 8.4


Dalam bangun sebuah rumus maka Fog Index diformulasikan sebagai berikut.

Fog Index yang ideal ialah yang berada pada level 7 atau 8. Level di atas 12 mengindikasikan bahwa wacana tersebut sukar dimengerti oleh rata-rata pembaca.
Bagaimana kiat membuat Fog Index kecil atau tulisan yang mudah dimengerti? Caranya dengan mengukur atau mengira-ngira rata-rata pendidikan pembaca, apakah SMP, SMA, atau sarjana.

Andaikan seorang lulusan SMA menguasai 10 ribu kata maka penulis dapat memilih kata yang akrab dengan mereka dan menghindari kata-kata sukar dan asing. Untuk sebuah artikel yang hendak dikirimkan ke suatu media, usahakan memilih kata yang selain mudah dimengerti juga bernas. Ini demi menghindari redaktur bekerja ekstra, memotong tulisan yang panjang. Bila ia merasa repot dan tidak ada waktu, lebih baik tulisan itu tidak dimuat.

Karena itu, agar keterbacaan suatu tulisan baik, penulis sebaiknya menghindari dua hal dan melakukan satu hal yang berikut ini.
Hindari kata sukar dan asing manakala kata tersebut dapat diganti dengan kata sederhana, misalnya:
utilisasi  penggunaan
persisten  bertahan, ulet, berkanjang
konstruksi  bangunan

Hindari tautologi. Gunakan kata yang bermakna ganda dari kata yang sudah digunakan, misanya:
prinsip dasar-prinsip dasar  dasar
kerja sama saling menguntungkan kedua pihak  kerja sama
pendapat prbadi  pendapat
sejarah masa lalu  sejarah
masih meneruskan  meneruskan

Gunakan padanan kata untuk mengganti ungkapan-ungkapan tertentu yang kurang umum, misalnya:
bertepuk sebelah tangan  diacuhkan, ditolak
memancing di air keruh  mengambil keuntungan
bagai rusa haus merindukan air  ingin
bagai pungguk merindukan bulan  menginginkan sesuatu yang musykil.

Selain Fox Index, masih ada alat lain untuk mengukur keterbacaan suatu wacana. Sayang, dalam bahasa Indonesia belum ada. Alat ukur itu untuk menakar keterbacaan wacana dalam bahasa Inggris yakni “Tools Menu” dalam Microsoft Word yang memuat penghitung kata (word counter), pengecek tata bahasa dan tesaurus yang dapat membantu penulis menulis dengan kata yang mudah dimengerti.
Tiga alat “flesch” yang berikut ini dapat digunakan untuk menanalisis gaya menulis seseorang.
1. Flesch Reading Ease (100 = sangat mudah, 70-80 = rata-rata)
2. Flesch Grade Level (menentukan level peringkat pembaca yang harus dapat memahami tulisan Anda, 6 = rata-rata)
3. Flesch Kincaid (cara lain untuk menentukan level peringkat pembaca)
Pengecek tata bahasa itu juga akan mendata persentase dari kalimat yang ditulis dalam bentuk kalimat pasif. Persentase yang dapat diterima ialah bahwa tidak ada bentuk pasif sebab kalimat bentuk aktif lebih powerful.

Selain itu, alat tadi juga akan menemukan kesalahan dalam penulisan huruf kapital, dan kata-kata yang dobel penulisannya. Anda juga dapat membuka kamus sinonim atau tesaurus untuk membantu menemukan kata sederhana sehingga tulisan mudah dimengerti.
***

NB boleh mengutip, asalkan menyebutkan sumbernya.

Senin, 12 April 2010

Nilai Berita

Apa ciri-ciri suatu peristwa bernilai berita?

Banyak orang mengutip buku saya Teknik Menulis Berita dan Feature (2006: 33)yang memaparkan ihwal 12 ciri suatu peristiwa bernilai berita.
1. Suatu peristiwa/ kejadian yang tidak lazim (luar biasa).
2. Peristiwa yang biasa, namun dilakukan/ dialami orang yang tidak biasa.
3. Suatu peristiwa yang tampak paradoksal.
4. Hal biasa, namun tidak mencelikkan mata banyak orang.
5. Sesuatu yang penting.
6. Sesuatu yang genting.
7. Sesuatu yang menyentak.
8. Sesuatu yang menyenangkan.
9. Sesuatu yang membahayakan.
10. Suatu tragedi yang menyentuh rasa kemanusiaan.
11. Dan lain-lain, yang dianggap perlu diketahui, yang menarik, dan berkaitan dengan kepentingan pembaca

Buku Suci BBC bertajuk Buku Panduan Praktis bagi Wartawan (2003: 17) menyebutkan ciri peristwa bernilai berita sbb:
- berdampak luas dan menyangkut kepentingan khalayak
- mengandung unsur keBARUan. Artinya, sesuatu yang belum diketahui atau layak untuk diketahui.

Selanjutnya,manual itu menambahkan lagi unsur pembentuk peristiwa bernilai berita:
- dramatis
- menyentuh emosi
- mengandung konflik
- menyangkut tokoh penting
- mengandung efek kejut
- mengandung unsur kebaruan (belum tahu)

Akan tetapi, sebenarnya peristiwa bernilai berita terkenal dalam frasa jurnalistik konvensional.“Anjing menggigit orang biasa, tapi orang menggigit anjing luar biasa.”
Frasa ini dalam jurnalistik menggambarkan fenomena di mana suatu peristiwa yang unik karena bernilai berita sangat baik untuk dilaporkan daripada peristiwa sehari-hari seperti anjing yang menggigit manusia.

Media umumnya menganggap peristiwa bernilai berita jika ada sesuatu yang luar biasa, suatu peristiwa umum tidak dianggap sebagai bernilai berita. Itu sebabnya, media yang bagus dalam headline-nya senantiasa melaporkan peristiwa langka.

Dengan kalimat berbeda, namun esensinya sama, nilai berita suatu peristiwa coba diilustrasikan Alfred Harmsworth, seorang tokoh terkemuka koran Inggris. Katanya, "You never read about a plane that did not crash and You don't hear about the laws that a politician did not break.”

Namun, orang lebih terkesan ungkapan editor New York Sun, John B. Bogart (1848-1921). "JIka anjing menggigit manusia, itu bukan berita. Mengapa? Karena hal itu kerap terjadi. Tetapi jikalau seorang menggigit anjing, itu adalah berita. ".

Apa yang dilontarkan Bogart, kemudian mendapatkan peneguhan dari Charles Anderson Dana (1819-1897). Frasa “Orang menggigit anjing baru berita” menjadi semakin popular, Santa Cruz Sentinel memuat berita berjudul "Man bites dog" yang memberitakan peristiwa faktual seorang pria San Francisco yang menggigit anjingnya sendiri.

Lalu Reuters pada Desember 2007 juga memberitakan peristiwa orang menggigit anjing. Associated Press (AP) juga melaporkan kejadian ihwal seorang wanita pada April 2008 dan seorang anak laki-laki menggigit anjing pada Juli 2008. The Geelong Advertiser pada November 2009 memuat kisah berjudul "Clifton Springs man bites dog to save his best Buddy" tentang seorang yang menggigit anjing untuk menyelamatkan diri dari serangan anjing.

Minggu, 11 April 2010

Gagasan Pokok (Central Idea/Main Point) dalam Tulisan

LITERATUR dan studi-studi mengenai keterampilan menulis (writing skill) sampai pada simpulan bahwa terdapat hubungan timbal-balik antara membaca dan menulis.

Membaca dan mengemulasi karya bermutu, akan semakin memerkaya penulis. Lebih dari itu, gaya ditemukan ketika membaca, bukan ketika menulis. Karena itu, membaca adalah prasyarat menulis.

Pentingnya membaca tidak diragukan lagi. Dengan membaca, seorang penulis berlatih menemukan gagasan pokok dalam sebuah wacana sebagai pintu masuk menulis dengan jelas.

Mencari dan Menempatkan Gagasan Pokok
Keterbacaan (readability) sebuah wacana ditentukan banyak faktor. Antara lain klaritas ide dan jumlah Foq Index.

Dalam media massa, biasanya keduanya bergabung jadi satu. Tulisan ini membahas bagaimana pembaca dan penulis (semestinya) menempatkan gagasan pokok (central idea) pada paragraf pertama. Wacana ini didasarkan pada buku Peter Kump, Rapid Reading, bab 6.

Mengembangkan pemahaman, atau pengertian, yang baik pada sebuah wacana sebenarnya sama saja dengan mengembangkan gagasan yang baik. Tak seorang pun dapat mengajari Anda bagaimana caranya meningkatkan pemikiran hanya dalam tempo semalam.

Meski demikian, terdapat langkah-langkah yang dapat dialankan yang dapat membantu bagaimana meningkatkan kemampuan membaca jauh lebih cepat dari yang dibayangkan.
Rupanya, tidak semua pakar membaca bersetuju dengan definisi dan arti kata “pemahaman”. Pemahaman bacaan berarti memahami atau mengetahui apa yang kita baca ketika sedang membaca suatu materi bacaan.

Jika Anda tidak dapat mengingat apa yang dibaca dalam suatu tes beberapa waktu lalu, ini dapat diartikan bahwa Anda tidak dapat mengingat kembali informasi. Mengingat kembali sangat penting, namun hal ini akan dibahas pada bab-bab berikut.

Tes paling sahih untuk pemahaman suatu bacaan ialah dengan melakukan tes buka buku. Inilah cara untuk mengetahui, apakah Anda mengerti atau tidak materi yang dibaca.
Bagaimana jika Anda tidak paham sebuah wacana?

Jika Anda tidak memahami suatu wacana, biasanya terdapat dua penyebab mengapa hal itu terjadi. Bisa jadi Anda miskin dengan kosa kata. Untuk itu, Anda harus membaca buku teks medis atau buku mengenai bahasa pemrograman komputer dan ada begitu banyak kata-kata sederhana yang tidak ada artinya bagi Anda. Jelas sekali hal ini akan menyebabkan pemahaman yang kurang.

Dalam beberapa kasus, bahkan hal itu mirip dengan membaca bacaan berbahasa asing. Solusi terbaik untuk hal ini barangkali ialah dengan mulai membaca buku yang mudah agar dapat membantu menambah kosa kata dan meningkatkan pengetahuan Anda. Manakala Anda harus membaca buku yang sulit seperti itu, barangkali Anda harus memerhatikan, bahkan mungkin mengingat, semua kata baru dan sulit.

Sangat boleh jadi, suatu wacana tidak ditulis dengan baik, atau bisa saja ditulis agak dangkal. Beberapa penulis kadang menulis dengan kalimat yang panjang dan menggunakan komposisi kalimat yang membingungkan.

Sayangnya, banyak orang beranggapan bahwa suatu kalimat yang panjang dengan kata-kata sukar berarti sebuah tulisan yang baik. Kadangkala materi bacaan itu justru tidak terorganisasi dengan baik.

Manakala menemukan hal seperti itu ketika membaca, sebenarnya ada kiat yang dapat kita pelajari untuk mengatasi kebingungan dan belajar memahami bacaan secara lebih baik.

Bagaimana caranya? Perhatikan paragraf. Paragraf adalah kunci utama memahami sebuah wacana.

Tujuan membuat paragraf dalam suatu tulisan ialah memudahkan mengorganisasikan kelompok kata ke dalam unit-unit. Oleh sebab itu, semua paragraf dalam suatu kalimat haruslah berkait, atau relevan, dengan suatu pokok pikiran.

Itulah yang ditekankan dalam membaca cepat, juga wacana ini, yang berasumsi bahwa Anda sudah dapat membaca dan memahami bacaan apa pun yang tergeleletak di atas meja Anda, kita tidak berbicara mengenai kosa kata. Kita akan mulai bekerja dengan paragraf sebagai unit bahasa yang menyatakan pemikiran.

Langkah pertama mengembangkan pemahaman ialah dengan mempraktikkan menemukan apa subjek atau pokok pikiran dari suatu paragraf. Manfaatkan waktu Anda memahami hal ini, tanpa harus berpikir lagi. Namun, perlu praktik melakukannya, sehingga Anda dapat melakukannya ketika berjumpa dengan teks atau wacana yang sulit.

Latihan
Berikut ini adalah latihan sederhana. Lihatlah seberapa Anda melakukannya.

LATIHAN 1
Bahan: Kertas, pensil
Tujuan: Belajar mengidentifikasi makna isi suatu paragraf
1. Baca setiap paragraf di bawah ini secepat yang Anda dapat, dengan tangan Anda. Setelah itu, dan cari jawaban paragraf gagasan pokoknya tentang apa.
2. Dalam wacana ini, butir dari “A” hingga “F”. Sesudah membaca sebuah kalimat dalam paragraf sebanyak satu kali, kembali lagi, dan dalam kertas Anda tulis paragraf itu mengenai apa dalam beberapa kata saja.

CATATAN:
Penting untuk membaca setiap wacana hanya sekali! Hindari untuk mengulanginya.
A. Semua pohon berwarna hijau.
B. Banyak burung terbang ke arah selatan di musim dingin.
C. John membersihkan sayuran; istrinya yang menyuruh.
D. Bill suka main sepak bola. Ia ingin suatu saat menjadi pemain profesional.
E. Spinoza adalah filsuf terkenal berkebangsaan Belanda. Ia seorang Yahudi.
F. Masi adalah seorang wanita muda yang manis berambut hitam pendek. Namanya tidak biasa karena menggunakan nama kecil. Orang tuanya keturunan Jepang.

Barangkali Anda tidak mengalami kesulitan dengan contoh wacana pada Latihan 1. Apakah Anda memerhatikan bahwa pokok atau subjek setiap wacana selalu berada pada kalimat pertama? Ini teori umum pada semua tulisan.

Kenyataannya, hampir 95% dari semua paragraf, topik dipresentasikan pada kalimat pertama. Itu sebabnya, mengapa kalimat ini kerap disebut sebagai kalimat topik.

Kini ada latihan lain yang menggunakan prinsip-prinsip ini. Gunakan semua dari prinsip-prinsip dan majulah selangkah ke depan. Dalam wacana yang berikutnya maka paragraf menjadi lebih panjang.

Sekali lagi, Anda dengan mudah menemukan apa yang dikatakan. Sebenarnya, itu semua sudah Anda kerjakan, dan dilakukan secepat mungkin. Karena dalam hampir setiap kasus topik terdapat pada kalimat pertama, maka bacalah kalimat pertama dengan sangat hati-hati apa yang dibahas dalam wacana itu.

Jika menemukannya maka sebenarnya Anda sudah menemukan tujuan yang telah saya berikan. Namun, selalu ada kesempatan, bahkan ini mungkin hal yang sangat mudah (mungkin kurang dari lima persen), bahwa topik yang sesungguhnya diberikan di mana saja dalam wacana itu.

Dengan demikian, Anda dapat meneruskan membaca agar dapat melihat bahwa segala sesuatu terkait dengan topik yang sudah Anda baca. Kini tentu Anda dapat mulai lebih cepat.


LATIHAN 2
Bahan: wacana di sini
Kertas, pensil
Tujuan: Menemukan pokok pikiran dalam tiap paragraf mengenai apa secepat yang Anda bias. Baca hanya sekali dan dengan menggunakan tangan Anda.

1. Dari latihan ini butir “G” hingga “M”.
2. Baca setiap paragraf secepat yang Anda dapat, hanya untuk tujuan menemukan mengenai apa paragraf itu, sekali saja. Tutup dengan gerak tangan ketika Anda membaca, sehingga Anda tidak bisa kembali lagi.
3. Palingkan wajah, tulis kata atau kata-kata mengenai pokok pikiran dari kalimat berikut ke dalam kertas Anda.

G. Semua hewan di peternakan puas dengan kehidupannya. Sapi-sapi merumput dengan senang, kuda-kuda berlarian di sekitar padang pengembalaan, dan ayam-ayam mengais-ngais tanah mencari makanan.
H. Salah satu raja terakhir Bavaria ialah Ludwig II. Dia dianggap gila dan akhirnya dipecat. Ia membangun beberapa benteng yang nyaris membuat bangkrut kerajaan. Kini, benteng-benteng menjadi salah satu objek yang menarik bagi turis di Bavaria.
I. Semua, namun hanya seorang yang tidak, anak-anak sekolah keluar untuk main basket. Seorang anak laki-laki berdiri di belakang. Dia punya halangan (cacat) dan tidak dapat main basket. Kadang anak-anak lain mengolok-oloknya.
J. Kakek seorang manula yang galak. Jarang sekali dikunjungi, karena Rachel tidak suka padanya. Meski Granddad adalah kakeknya, menurut Rachel sang kakek berperangai keras. Pembawaan kakek yang keras itu kerap membuat ayahnya mengalah.
K. Di dalam dan di sekitar kolam terdapat banyak binatang yang berbeda, yakni serangga dan ikan. Seekor di antara penghuninya mulai biasa berenang seperti ikan dan menjadi binatang yang suka makan serangga. Ia seperti sedang duduk-duduk di kursi malas, pada daun bakung yang terlipat.
L. Diane pergi ke mal. Corinne dan Brenda sudah menanti di sana. Sarah tidak pergi, namun akhirnya pergi juga. Ketika bertemu, mereka semua makan bersama di restoran Thailand.
M. John pergi ke tempat pemerasan susu sapi. Ibunya sudah membakar roti. Ayahnya sedang memanen tomat. Tatkala saudaranya pulang, ada pekerjaan yang sudah siap menunggu untuk dilakukan. Hidup sebagai petani tidakah mudah.

Kamis, 08 April 2010

Pemimpin (yang) Filsuf

Plato pada tahun 380 sM. melempar gagasan bagaimana mengelola bangsa-negara secara arif-bijaksana. Gagasan itu kemudian ditulis dalam Politeía yang berarti: pemerintahan negara-bangsa.

Dalam Politeía dideskripsikan pemerintahan yang ideal. Memang terjadi dialektika empat bentuk pemerintahan yakni timokrasi, oligarki, kerap disebut plutokrasi), demokrasi, dan tirani (kerap disebut despotisme).

Manakah bentuk negara paling ideal? Tidak ada! Yang ada ialah gabungan keempatnya. Penekanannya bergantung pada situasi kondisi. Mengapa Plato menyimpulkan, pemerintahan ideal seharusnya dikendalikan filsuf? Sebab hanya filsuf pemimpin yang dapat memilah dan memilih, kapankah menerapkan gaya kepemimpinan untuk mencapai kebaikan dan keseimbangan.

Naskah Politeía berbentuk dialog Sokratik ini jadi acuan negarawan-pemikir seperti Jean Jacques Rousseau, Bertrand Russell, Allan Bloom, Leo Strauss.

Tahun 561 Pisistratus tampil sebagai pemimpin kuat lagi tersohor di Athena. Pada 461 muncul pemimpin demokratik Ephialtes sebagai penyeimbang. Rakyat Athena mulai dikenalkan kekuatan yang saling mengoreksi dan menyeimbangkan (checks and balances) lewat dialog yang santun dan terbuka.

Maka pemerintahan oleh para filsuf tidak hanya akan mencegah terjadinya kehancuran yang potensial mengancam kota, lebih-lebih bahaya dari serangan musuh dari luar. Namun, lebih-lebih melindungi dan menjamin hak-hak warga agar tercipta keadilan dan kebahagiaan yang disebut sebagai “keadilan sosial”, yang didapat dari kerja sama dan persaudaraan sejati yang dibangun oleh setiap warga kota (Republic 462a-b, Laws 628a-b).

Kedamaian, menurut Plato, tidak identik dengan yang kini kita maksudkan. Yakni suatu keadaan yang dinikmati hanya segelintir orang, namun nilai yang diinginkan setiap orang. Inilah pemikiran luar biasa Plato yang didasarkan ide Solon, namun mempertajamnya lagi bahwa keadilan sosial haruslah didasarkan pada equilibrium dan harmoni dari kelas-kelas sosial yang berbeda.

Menurut Plato, fungsi pokok pemimpin filsuf ialah menjamin hak-hak sipil dan menghentikan perselisihan sosial, namun haruslah didasarkan pada tata hukum yang adil.

Andai Indonesia dipimpin orang seperti yang dicirikan Plato, betapa kita sebagai bangsa aman sentosa, gemah ripah, loh jinawi....