Selasa, 31 Maret 2009

Biasakan Memberi Kado BUKU

Jangan beri ikan, berikanlah pancing!

Betapa sering kita mendengar ungkapan ini. Artinya, jangan memberikan kepada seseorang sesuatu yang sudah jadi. Sebab, pemberian itu akan habis dikonsumsi, atau dalam waktu dekat akan habis.

Selain itu, pemberian yang cuma-cuma sering kurang dihargai. Dengan demikian, memberikan sesuatu yang sudah jadi kurang mendidik. Karena itu, berikanlah kepada seseorang sesuatu yang tidak mudah habis. Dengan pemberian itu, seseorang menjadi kreatif. Bahkan, bisa jadi, dapat menghasilkan sesuatu berlipat ganda.

Dalam kaitannya dengan kebiasaan kita menghadiahkan kepada seseorang/lembaga pada saat tertentu, misalnya perayaan ulang tahun, peresmian, pindah rumah/kantor, tahun baru, atau semacamnya; mengapa yang diberikan selalu benda bukan buku? Mengapa tidak mulai membiasakan memberikan kado buku?

Tujuan memberikan hadiah kepada sesorang, tentu saja supaya yang bersangkutan merasa senang, atau ingat akan siapa yang memberikan hadiah kepadanya. Ini kalau hadiah yang diberikan berkenan. Kalau tidak? Bukan saja pemberian itu akan ditampik, tapi bisa jadi si pemberi justru dianggap melecehkan, atau menghina. Akibatnya, hubungan baik atau kedekatan yang coba dibangun, malah menuai sebaliknya. Tujuan memberikan hadiah tidak mencapai sasarannya.

Adakah tips khusus, bagaimana memilih buku untuk hadiah? Memang ada!

Kita menyaksikan, begitu banyak buku di pasaran. Namun, tentu saja, tidak semuanya cocok untuk dijadikan hadiah. Bagaimana menentukan buku yang akan dihadiahkan? Dan bagaimana supaya hadiah buku berkenan pada si penerima?
Agar hadiah mencapai sasarannya, sebaiknya si pemberi hadiah:

1 Mengetahui betul kesukaan si penerima, dia suka buku jenis apa? Apakah ia menyukai jenis buku fiksi atau nonfiksi? Cara mengetahui kesukaan dan kebutuhan si penerima, dapat ditanyakan melalui orang-orang dekatnya.
2.Mengetahui buku jenis apa yang diperlukan dan diinginkan oleh si penerima. Kalau seorang dokter, mungkin saja ia sudah memunyai koleksi buku-buku kedokteran yang tidak saja lengkap, tapi juga terbitan terkini dan mahal. Jangan sampai pemberian kita jadi mubazir karena memberikan sesuatu yang sudah ia miliki. Karena itu, sebelum memberikan hdiah buku, sebaiknya dipastikan dulu buku jenis apa yang belum dipunyai si penerima hadiah.

3.Buatlah catatan, atau oret-oretan. Kata-kata bijak dari tokoh tertentu sangat penting dikutip. Hal ini bukan saja mengingatkan, namun bisa menjadi suluh bagi si penerima untuk meniti jalan kehidupannya yang masih panjang.
Misalnya:
•Buku adalah jendela dunia.
•Our lives change in two ways: through the people we meet and the books we read.
•Books give us wings.
•Read in order to live.
•A room without books is like a body without a soul.
•Dan sebagainya.

Kata-kata bijak itu akan terus hidup dan menjiwai si penerima. Menapa? Karena pasti meninggalkan kesan yang mendalam. Karena itu, menjadikan buku sebagai hadiah perlu dibudayakan.

Di negara maju, memberi kado buku sangat lazim. Namun, di negeri kita belum membudaya. Akan menjadi budaya, apabila kalangan intelektual mulai membiasakannya.

Anda ingin mulai?

Bisa jadi perbuatan memberi kado buku ibarat jejak langkah kecil anak manusia. Namun, langkah raksasa bagi peradaban umat manusia.

Sembilan Tahap menuju Budaya Baca

Adakah tahapan-tahapan menuju budaya baca?

Ada. Namun, tidak mudah menyelisiknya secara saksama. Sebab, sering budaya baca tidak diawali dari urutan biologis, atau sesuai dengan kronologi waktu. Budaya baca tidaklah linear, yang diawali dari seseorang mulai mengenal huruf dan dapat membaca, sampai jadi kutu buku, dan hingga ia merasa buku benar-benar menjadi bagian dari kehidupannya.

Fakta menunjukkan, ada orang yang sudah mulai suka membaca pada waktu TK. Ada yang waktu SD. Ada yang waktu SLTP. Ada yang waktu SLTA. Namun, ada pula pula yang ketika sudah masuk perguruan tinggi.

Ini kalau yang bersangkutan menempuh jalur pendidikan formal. Namun, ada juga orang yang tidak menempuh pendidikan formal dan otodidak yang gemar membaca. Bahkan, tokoh seperti Adam Malik –mantan Menlu dan Wapres RI dari 23 Maret 1978-1983— tidak berpendidikan formal tinggi, ”hanya” SD (HIS). Namun, karena gemar membaca dan otodidak, salah satu pendiri Kantor Berita Antara ini memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diakui setara, bahkan melebihi seorang akademisi. Berkat belajar mandiri, Adam Malik berhasil dalam kehidupannya. Menduduki berbagai pos penting di lembaga negara. Sebagai wartawan dan penulis, ia terbilang sukses karena berbagai tulisannya memengaruhi banyak orang. Sebagai diplomat, ia berhasil meyelesaikan konflik politik antara Indonsia dan Malaysia.

Jadi, sebenarnya, orang sukses bukan karena bersekolah. Namun, karena belajar. Dan, belajar bisa dilakukan di sembarang tempat, dengan memanfaatkan sumber belajar apa saja. Sumber belajar bisa guru. Bisa juga buku. Bisa juga hal lain.

Mary Leonhardt (1993) mencatat, terdapat delapan tahapan menuju budaya baca. Ini adalah simpulan atas penelitian dan pengamatannya di Amerika Serikat. Bersetuju dengan tahapan yang dibuat Mary, saya hanya menambah satu tahapan. Tahapan itu justru berada pada strata paling awal. Sebab, hampir semua orang yang melek huruf melakukannya.

Tahap Pertama: Tidak Sengaja Membaca
Tidak sengaja membaca, bisa dialami oleh siapa saja dan di mana saja. Keika sedang naik kendaraan, baik kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, mata kita tidak sengaja membaca tulisan. Baik iklan (tulisan) di kendaraan, maupun tulisan di dinding/tembok, atau plat nama. Bahkan, kalau truk di dekat kita, tulisan di truk pasti mencolok mata. Dari tulisan yang sopan, hingga tulisan yang seronok, hampir selalu ada di truk. Misalnya:
”Kutunggu Jandamu”
”Kunanti Cintamu”
”Anak Jalanan”
”Ayu Adine”
Dan sebagainya.

Apakah kita sengaja membaca? Tidak! Kebetulan saja, pada saat itu, mata kita terarah pada tulisan. Dan kita tidak sengaja membacanya. Demikian pula, ketika sedang antre, atau sedang menunggu di kamar tunggu. Kita juga tidak sengaja membaca. Bahkan, ketika hanya ada sehelai atau secarik koran di depan kita saat itu, kita pungut. Lalu, dengan saksama membacanya. Padahal, informasi di dalamnya sudah usang. Ini adalah tahap pertama membaca, tidak sengaja, atau karena kebetulan.

Tahap Kedua: Membolak Balik Majalah dan Buku
Membolak Balik Majalah dan Buku secara acak, untuk menemukan topik yang menarik, adalah awal yang baik menuju budaya baca. Kalau sudah memukan bagian yang dirasa menarik, maka akan dibaca sampai tuntas.

Tahap Ketiga: Membaca Komik, Majalah, dan Surat Kabar
Banyak orang tua dan pendidik melarang anak membaca komik. Alasannya, komik kurang mendidik. Benarkah demikian? Ini hanya generalisasi. Pasti tidak semua komik adalah bacaan yang buruk. Kalau toh isinya semua buruk, bukankah masih bisa dipetik satu hihmah di dalamnya: jangan melakukan yang buruk! Apalagi, kalau misalnya di dalam komik itu masih terdapat lebih dari satu unasur baiknya, pasti bacaan itu sangat berguna.
Budaya baca perlu ditumbuhkembangkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah. Siswa SMP dengan saksama dan suka hati membaca dan menikmati majalah dinding.


Tahap Keempat: Buku Pertama
Buku pertama apa yang Anda baca? Dibaca, bukan sekadar dibolak balik. Tapi dibaca sampai tuntas, selesai. Tak ada sepatah kata pun yang terlewati.

Saya sendiri baru membaca sebuah buku utuh waktu duduk di kelas satu SMA. Waktu itu, perpustakaan sekolah cukup lengkap menyediakan bacaan remaja. Meski sudah 29 tahun berlalu, sampai sekarang saya masih ingat judul dan pengarang buku pertama yang saya baca: Ali Topan Anak Jalanan karangan Teguh Esha.

Karena sangat menyukai, dan sayang pada bacaan pertama itu, saya sangat ingin memilikinya. Tahun 2003, dalam sebuah perjalanan libur ke Bali, kami sekeluarga istrahat dan makan malam di Banyuwangi.

Di salah satu kota indah perbatasan antara Jatim dan Bali ini, terdapat restoran, sekaligus gerai Vision 03. Tak menyia-nyiakan kesempatan, saya membeli buku pertama yang saya baca itu sebagai monumen. Meski puluhan tahun lalu pernah membacanya sampai tuntas, saya ingin mengulang membacanya lagi. Dan tidak merasa bosan. Bacaan itu saya baca lagi sampai tamat.

Tahap Kelima: Bacaan Tertentu
Pada tahap ini, orang hanya mau, dan menyukai bacaan tertentu. Misalnya, komik saja, atau novel saja. Bahkan, hanya menyukai jenis bacaan komik saja, bisa jadi seseorang fanatik pada pengarang tertentu. Menyukai novel, hanya suka pengarang tertentu, lainnya ogah.

Kalau anak Anda, atau bahkan Anda sendiri demikian, jangan cemas. Teruskan saja membaca! Menyukai bacaan terentu, suatu saat, akan beralih ke bacaan yang lain.

Tahap Keenam: Pengembangan
Umumnya, kutu buku tidak akan berhenti membaca dan mengelana. Kalau sudah menemukan hiburan dalam buku, yang lain akan ditinggalkan. Pada tahapan ini, waktu untuk nonton TV akan semakin berkurang. Pada tahapan ini, seseorang merasakan ”kurang puas” dari hanya sekadar menonton. Apa yang dilihatnya di TV, akan didalaminya di literatur. Sebab, sebagaimana dikatakan David Shenk, “Books are the opposite of television: They are slow, engaging, inspiring, intellect-rousing, and creativity-spurring.”

Tahap Ketujuh: Bacaan yang Lebih Luas
Pada tahap ini, seseorang merasa tidak puas hanya dengan membaca jenis bacaan tertentu. Ia mulai merasa haus buku. Tidak hanya ia menemukan di dalam buku informasi yang penting buatnya, ia juga menemukan hiburan. Dari awal mula membaca novel, ia memperluas bacaannya ke buku-buku serius, misalnya buku informasi atau buku how to.

Tahap Kedelapan: Mencari Buku Sendiri
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi menunggu. Ia mencari buku sendiri. Kalau tidak tersedia di perpustakan pribadi di rumah, ia mencarinya keluar, ke perpustakaan. Kalau tidak ada di sana, ia mencarinya ke toko buku. Kalau tidak ada di toko buku, ia mencarinya di pasar loakan.

Mencari buku sendiri ini, menimbulkan bukan saja kesenangan, tapi juga kebanggaan. Biasanya, pada tahapan ini seseorang sudah memiliki perpustakaan pribadi. Koleksi pribadinya sudah cukup banyak, setelah sekian lama membeli dan mengoleksi. Setiap bulan, sudah ada pos pembelian buku yang jumlahnya bervariasi.
Tentu, tidak semua orang pada tahapan ini bisa menyamai penulis dan singer seperti Andrias Harefa atau Eduard Depari yang sebulan menghabiskan Rp 2 juta hanya untuk membeli buku. Satu bulan, satu buku, sudah cukup memadai. Sekian tahun mencari buku sendiri, Anda akan mengumpulkan puluhan, atau bahkan ratusan, buku.

Saya mencapai tahapan ini kira-kira enam tahun lalu, saat memasuki usia 40 tahun. Benar kata pepatah,”Life begins at forty!” Sejak itu, saya rutin membeli buku. Sebab, buku yang saya beli itu pasti menghasilkan lebih dari biaya yang dikeluarkan. Kalau tidak diulas dan ditulis menjadi resensi setelah dibaca, buku itu menjadi referensi saya menulis. Kini, koleksi buku pribadi saya baru 3 ribu judul!

Tahap Kesembilan (Puncak): Kutu Buku
Tidak hanya gemar membaca, orang yang sudah mencapai tahap puncak membaca ini juga ingin menuangkan perolehannya dari membaca ke dalam tulisan. Seseorang yang banyak membaca, kepalanya serasa pecah karena berjejal begitu banyak pengetahuan dan informasi. Ia ingin menumpahkan semuanya itu ke dalam tulisan. Maka, tidak ada penulis yang tidak suka membaca. Setiap penulis adalah kutu buku!

Mencapai tahap puncak membaca, tidak mudah. Namun, jika tujuan sudah dipatok, maka tinggal memilih dan menapaki jalan untuk mencapainya. Jika ada kemauan, niscaya ada jalan!

Senin, 23 Maret 2009

Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi

Ini merupakan penggalan awal bab 1 naskah buku "Literary Journalism sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi". Jika pembaca memerlukan profil mata kuliah, GBPP, SAP, hingga Kontrak Perkuliahan, silakan meninggalkan pesan dan komentar. Lulusan jurusan jurnalistik suatu PT di era multimedia, dituntut cakap dalam berpikir (clear thinking, bukan hanya terampil menuangkan gagasan/fakta (clear writing).


BAB1 : Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi

Tujuan pembelajaran:

Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
- Tuntutan kompetensi jurnalis di era multimedia
- Pentingnya penguasaan keterampilan penulisan jurnalistik sastra
- Jurnalistik sastrawi dalam konfigurasi pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi

MEDIA hari ini berkembang pesat seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan media ini mendorong manusia, sebagai pengguna, juga berubah pola interaksi sosial dan cara hidup (modus essendi)-nya.

Jika dahulu kala orang berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung melalui kegiatan tatap muka, kini kecenderungan tidak lagi demikian. Media menggganti panggung, mimbar, dan ruang. Pola konvensional interaksi dan komunikasi antarmuka sudah semakin ditinggalkan untuk menjangkau dan menerpa khalayak dalam jumlah besar dengan skala yang lebih luas.

Media adalah pilihan utama menggantikan panggung, mimbar, dan tempat yang sangat dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, media maya juga menjadi pilihan. Meski banyak pakar (Gutkind, 2004) besilang pendapat apakah media, situs, atau blog maya secara substansial mengandung komphrehensi sastra dan jurnalistik, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam banyak dimensi media maya pun dapat pula disebut besilangan dengan jurnalistik dan sastra.

1.2 Tuntutan Kompetensi Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
Sehubungan dengan tuntutan suatu perguruan tinggi harus menghasilkan lulusan yang siap-kerja, kompetitif, berbudi pekerti luhur, menjunjung nilai, dan senantiasa meng-up date diri menjadi knowledge worker, kurikulum harus didesain. Sedemikian rupa, sehingga bukan hanya sanggup membekali calon jurnalis dengan keterampilan keras (hard skill) dan keterampilan lembut (soft skill), namun juga kurilukum yang dirancang berkesepadanan dan terhubung dengan dunia industri.

Karena itu, sebelum disahkan oleh rektor, sebaiknya kurilukum suatu perguruan tinggi yang ideal didadar melalui seminar dan workshop dengan melibatkan praktisi dan para pakar yang terkait. Sembari, tentu saja, menyesuaikannya dengan perkembangan ilmu dan teori dan dengan memetik pengalaman terbaik (best practice) perguruan tinggi dalam dan luar negeri yang sudah terbukti jitu melahirkan jurnalis andal di bidangnya.

Materi buku ajar ini disusun berdasarkan rambu-rambu dan kompetensi yang digariskan kurikulum pada tataran internasional. Dimensi kekinian dan tuntutan kompetensi jurnalis di era multimedia yang harus smart dalam logika dan olah kata, menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Dan ini semua tampak nyata dalam distribusi dan porsi pokok bahasan yang proporsional antara kecerdasan logika (logic smart) dan kecerdasan olah kata (word smart).

Diagram 1.1 Tuntutan kompetensi mahasiswa jurnalistik

(sengaja tidak ditampilkan)
Sumber: Molly Blair, 2006: 159

Sebagaimana ditunjukkan dalam diagram 1.2, mahasiswa jurusan jurnalistik di perguruan tinggi dituntut untuk:
- Membaca dan mengemulasi bacaan-bacaan (terutama karya sastra) bermutu
- Memelajari dan mendalami ilmu-ilmu terkait, misalnya ilmu politik dan ilmu sosial kemaryarakatan lainnya
- Memahami elemen-elemen dan kaidah sastra dan dan terampil menghasilkan teknik penulisan
- Dapat menerapkan pengetahuan teknik penulisan ke dalam praktik
- Berlatih menulis berbagai ragam dan genre
- Mehamai dan menguasai proses dan dunia kerja jurnalistik

1.2 Membaca Menemukan Gaya
Banyak membaca bacaan bermutu bukan hanya semakin menambah wawasasan dan menyibak cakrawala, tetapi juga dari bahan bacaan diperoleh pengalaman praktis. Mahasiswa memetik langsung pengalaman terbaik (best practice) para penulis andal. Lalu, menulis dengan ”meniru” atau copy the master karya mereka untuk hingga saatnya menemuka voice, gaya, dan warna kepenulisan sendiri.

Membaca menjadi penting, sebab melalui bacaan yang bermutulah seseorang menemukan gaya. Jadi, gaya dan warna tulisan seseorang ditemukan bukan ketika menulis, tapi ketika membaca. Seperti ditegaskan Quantum Writing (Hernowo, ed. 2004, 111),

Riset dengan jelas menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca. Untuk lebih tepatnya, kita memperoleh gaya tulisan, bahasa khusus penulisan, dengan membaca. Kita sudah melihat banyak bukti yang menegaskan hal ini: Anak-anak yang berpartisipasi dalam program membaca-bebas, menulis dengan lebih baik (misalnya, Elley dan Mangubhai, 1983; McNeil dalam Fader, 1976) dan mereka yang melaporkan bahwa semakin banyak membaca semakin baik tulisannya (misalnya, Kimberling et al., 1988 sebagaimana yang dilaporkan dalam Krashen 1978, 1984; Applebee, 1978; Alexander, 1986; Salyer, 1987; Janopoulus, 1986; Kaplan dan Palhinda, 1981; Applebee et al., 1990).

Melihat alokasi waktu yang disediakan untuk pendidikan formal jurnalistik, terutama mata kuliah jurnalistik sastra, sebagaimana tampak dalam satuan kredit semester (SKS), mau tidak mau kompetensi yang dituntut dari lulusan harus diiringi dengan tersedianya waktu untuk belajar mandiri dan latihan.

Diagram 1.2 Arus pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi dan tuntutan kompetensi lulusan

(diagram sengaja tidak ditampilkan)

Sumber: Molly Blair, 2006: 250

Oleh karena itu, mahasiswa harus lebih banyak menyediakan waktu untuk berlatih mandiri dan belajar secara berkelompok. Berdiskusi dan berbagi akan memercepat proses perolehan pengetahuan dan keterampilan.

Kamis, 19 Maret 2009

Kapan Buku Anak Bertiras Jutaan di Negeri Kita?

Catatan: dimuat Warta Ikapi, edisi Januari-Maret 2009
Oleh R. Masri Sareb Putra



Buku anak di negeri kita sebenarnya amat potensial. Sayang, potensi itu belum digarap
maksimal. Kendalanya banyak. Mulai dari belum terdidiknya SDM andal dan profesional pada industri penerbitan, sistem distribusi, etos kerja, intervensi pasar yang tidak
perlu oleh Pemerintah, hingga daya beli yang masih memprihatinkan.

Padahal, kalau digarap serius, buku anak sangatlah prospek. Ia tak kenal basi, daur hidupnya lebih panjang. Dukungan pasar juga luas. Selain end-users-nya banyak, orang tua yang yang peduli pada kemajuan dan pendidikan anak-anak makin meningkat dari tahun ke tahun.

Jika menengok daftar buku laris di toko buku, maka buku anak selalu masuk urutan lima besar dari sisi penjualan dan omset. Masalahnya, bagaimana “mengadakan” buku anak yang bermutu sekaligus laku sebagai komoditas?

Benchmark Luar Negeri
Membanding kondisi perbukuan nasional dengan luar negeri, Amerika misalnya, bagai langit dan bumi. Selain faktor bahasa yang mengondisikan buku di negeri Paman Sam massif dan luas jangkauan pasarnya, rata-rata buku terbit melalui proses panjang dan berliku. Tidak mungkin mengharapkan di Indonsia buku anak bertiras jutaan seperti di Amerika.

Sebagai contoh, buku anak karya Madonna, The English Roses setebal 48 halaman yang memuat cerita bergambar tentang kelompok empat gadis cilik dicetak 1,4 juta kopi.

Aakah misalnya, penerbit di Indonesia yang sebelum bukunya terbit lebih dulu melakukan tes pasar? Pernahkah dilakukan studi kelayakan, sebelum melempar produk buku yang diprediksi akan jadi andalan penjualan tahunan? Dan yang paling penting, pernahkah dilakukan promosi generic untuk meningkatkan minat baca? Mendorong masyarakat menjadi reading society?

Memang bisa saja diperdebatkan, pihak mana yang bertanggung jawab mendidik masyarakat menjadi reading society. Pasti pihak pertama adalah Pemerintah dan lembaga pendidikan formal. Meski rata-rata bermoto “turut mencerdaskan kehidupan bangsa”, tak satu pun penerbit yang rela merogoh modal cuma-cuma untuk proyek peningkatan minat baca. Namun, mereka pasti mendapat manfaat dari reading society.

Lantaran belum menggembirakan baik dari sisi produk (mutu) maupun pasar, banyak banyak kritikan dihujamkan pada perbukuan anak. Sorotan paling tajam ialah kurang diminatinya buku-buku karya pengarang asli Indonesia dibanding buku impor. Tentu, ada hal “yang keliru” di situ. Namun, untuk mengidentifikasi yang salah, lalu coba mencari solusi dan jawabnya, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Banyak faktor penyebab, mengapa buku karya pengarang asli Indonesia masih belum berterima di negerinya sendiri. Salah satu di antaranya ialah, karena buku-buku Indonesia belum bisa sepenuhnya menjawab kebutuhan anak-anak dan memuaskan rasa ingin tahu mereka.

Sebagaimana dimaklumi, dunia anak adalah dunia bermain. Serba menyenangkan. Penuh dengan imajinasi. Sarat dengan petualangan dan suka dengan tantangan. Kadangkala fantasi mereka cenderung berlebihan. Namun, itulah proses ke arah pematangan yang harus dilalui. Mengapa? Sebab sering kenyataan bermula dari mimpi. Bukankah cita-cita juga sebuah impian?

Dan dalam proses “menjadi” itu, anak-anak suka mengidentikkan diri dengan tokoh yang
mereka kagumi. Pada tahap identifikasi seperti ini, anak-anak cenderung untuk "meniru" tokoh siapa saja. Sosok yang mereka anggap hebat dan memang pantas untuk ditiru.

Karena itu, bacaan bagi mereka menjadi sangat penting. Suguhan dan menu yang terhidang di dalamnya menjadi “guru” bagi anak. Jika mereka membaca dan menikmati buku yang bermutu, mereka mendapat guru yang bermutu pula. Sebaliknya, jika mereka membaca dan menghayati bacaan yang buruk, mereka berjumpa dengan guru yang buruk. Guru-guru itu akan terus hidup dan mengajari apa saja kepada mereka.

Masa Kejayaan
Indonesia pernah mengalami masa booming buku anak. Tahun 1970-an, merupakan tonggak penting dan bersejarah. Waktu itu, lahir banyak pengarang dalam negeri. Anak-anak zaman itu disuguhi bacaan dengan content dalam negeri pula. Mereka mengenal cerita, tokoh, etiologi, mitos, legenda, dan dongeng khas Nusantara. Dan mereka jadi akrab dengan alam asli Indonesia!

Ketika pemerintah mengadakan Proyek Buku Bacaan Anak-anak, yang dikenal dengan Inpres Bacaan 1973, Indonesia melimpah-ruah akan buku fiksi anak. Bersamaan dengan itu lahir sejumlah pengarang, menjadikan negeri ini seolah-olah tidak pernah kehabisan penulis cerita rekaan, hiburan segar bagi anak.

Bayangkan saja! Begitu masuk toko buku, mata langsung melihat sejumlah serial buku fiksi anak menempati space besar rak-rak buku.

Masih minimnya serbuan komik di dekade 1970-an hingga 1980-an, menjadikan Indonesia kaya dengan cerita anak bermutu. Cerita-cerita petualangan menjadi salah satu genre yang tidak hanya disukai, tetapi juga laku sebagai komoditas. Bersamaan dengan itu, dialihbahasakan pula buku-buku asing, seperti karya Enid Blyton dan Walt Disney. Karya terjemahan yang tidak saja baik dari sisi isinya, melainkan juga sukses dipasarkan di Indonesia.

Memperbincangkan buku bacaan anak-anak asli Indonesia, tidak bisa tidak sekaligus menyebut juga pengarangnya. Kalau demikian, maka sederet nama yang sejak lama menggeluti dunia bacaan anak-anak akan tersebut. Yakni Dwianto Setyawan, Djoko Lelono, Zuraini, Suryono H.R., Stefanus Djarot, Soekanto S.A., Arswendo Atmowiloto, Eddy Supardi, dan lain-lain.

Dunia petualangan adalah dunia anak-anak. Buku impor seakan-akan membawa anak-anak memasuki "dunia lain", yaitu dunia fantasi dalam skop yang lebih luas. Mereka diajak berpetualang dan memasuki kutub dan salju. Dan mereka tambah pengalaman batin baru. Dengan membaca buku terjemahan, jendela cakrawala anak terbuka. Wawasan dan pandangan mereka jadi luas. Dan pengarang Indonesia mengisi ruang kosong yang tidak disentuh oleh pengarang-pengarang asing. Pengarang dalam negeri memberi isi kandungan dalam negeri. Mereka jadi guru, yang mengajarkan bahwa agar tidak karam oleh arus globalisasi, maka perkuat akar budaya dalam negeri.

Klop! Terjadi keseimbangan yang harmonis saat itu. Antara buku terjemahan yang ber-content dan berlatar luar negeri dan buku lokal, saling mengisi. Keduanya lengkap-melengkapi.

Anak-anak menjadi seimbang. Toko yang mereka idolakan jadi beragam. Mulai dari Si Doel, Gatotkaca, hingga Old Shatterhand. Juga ada Candy, Neil, dan Eliza. Tokoh-tokoh itu, rata-rata berusia sebaya dengan mereka, namun punya kelebihan. Dan kelebihan itu ingin dijadikan miliknya. Anak ingin seperti tokoh yang dibacanya. Di sanalah terjadi proses identifikasi. Di situ proses pembelajaran berlangsung. Anak berguru pada buku.
Apabila diamati, maka karakteristik tokoh yang disukai anak-anak kurang lebih sama: nakal, cerdik, namun baik hati. Dan yang menonjol ialah, sering pada akhir cerita ditampilkan si tokoh sebagai "pahlawan moral", pembela kebenaran. Sebuah ending yang bagus. Pendidikan yang halus. Tidak langsung menggurui, namun daya magisnya begitu kuat-memikat.

Fantasi

Pada awal mula, buku bacaan anak-anak yang banyak beredar adalah serial detektif cilik terjemahan. Misalnya, karya Enid Blyton (Sapta Siaga, Lima Sekawan, dan Pasukan Mau Tahu) .

Buku cerita semacam itu laku keras, antara lain karena tampil tepat waktunya, muncul saat anak-anak Indonesia memang memerlukan buku-buku fantasi yang mengandung petualangan, sekaligus hiburan.

Baru kemudian hari, cerita seperti itu "diikuti" oleh pangarang Indonesia, seperti Dwianto Setyawan dengan serial buku detektifnya Terlibat di Bromo, Terlibat di Trowulan, dan Sersan Grung-grung.

Itulah antara lain faktor penyebab, mengapa Dwianto Setyawan amat lengket di hati anak-anak Indonesia. Di samping "mendompleng" keberhasilan buku-buku terjemahan yang memang telah mengondisikan suasana, jika diamati buku-buku Dwianto rata-rata menghibur anak-anak. Selain menghibur, juga mendorong anak untuk berprestasi. Inilah yang oleh psikolog sosial Dr. David McClleland disebut sebagai salah satu ciri buku yang baik, yakni buku yang mengandung dan memacu sikap dan tindak untuk berprestasi (the need for achievement –N-Ach),

Bahkan tidak hanya itu! Dwianto punya kelebihan lain. Selain mengaduk-aduk fantasi anak-anak, hampir di semua bukunya ia sertai dengan dengan kelengkapan data dan informasi mengenai suatu tempat (objek) yang ia angkat menjadi setting peristiwa. Terlibat Bromo misalnya, ia lengkapi dengan informasi komplet tentang kehidupan suku Tengger, upacara kasodo, dan asal usul terjadi Kawah Bromo.

Selain memperoleh hiburan, anak-anak juga mendapat pengetahuan baru melalui buku yang dibacanya. Dalam sebuah buku, anak menemukan banyak hal berguna. Tentu saja, yang begini ini tidak bisa didapat dari buku-buku impor.
Karena itu, tak pelak lagi, Dwianto mungkin salah satu dari sedikitnya jumlah pengarang Indonesia yang punya minat khusus pada cerita anak.. Ia menulis buku melulu dari mengutak-atik fantasi dan dunia anak.

Dan untuk menghasilkan buku itu, ia melakukan sesuatu yang tidak umum di buat oleh pengarang yang lain. Ia membaca sejumlah buku, datang melakukan riset ke lokasi.
Untuk serial cerita detektif Terlibat di Trowulan misalnya, diciptakannya tokoh laki-laki dan perempuan berumur 12 tahun. Mengapa 12 tahun? Karena sasaran pembacanya adalah anak-anak SD, anak kurang lebih sebaya dengan tokoh. Di sana berlaku rumusan, “people likes to read about people”. Orang menyukai kisah tentang sesuatu menyangkut diri dan dunianya. Dan faktor kedekatan inilah yang menjadi jembatan penghubung antara buku dan pembaca (pembeli). Rumusan yang juga sama dengan bagaimana memilih sajian untuk surat kabar dan majalah.

Pergeseran

Setelah sukses dengan buku-buku fiksi anak yang mengambil setting di negeri sendiri, memasuki tahun 1990-an, selera anak-anak "bergeser" ke Negeri Sakura. Buku terjemahan dari Jepang, hampir seluruhnya komik, menjadi sebuah tren yang fenomenal.

Tidak penting, apakah pergeseran itu distrategikan (dikondisikan baik dengan iklan maupun dengan promosi) ataupun bukan. Yang jelas, hikmah yang bisa dipetik dari sana ialah bahwa konsumen bisa digiring masuk ke dalam sebuah skenario tertentu. Bahwa pasar dapat diciptakan untuk mengonsumsi sebuah produk tertentu. Untuk itu, ada ilmunya. Ada kiatnya. Dan trik seperti itu, dinamakan “ilmu marketing”.

Berawal dari serial Candy-Candy, kini jutaan anak Indonesia berpaling ke Jepang. Tidak hanya anak-anak, mahasiswa pun masih membawa dan membaca komik terjemahan dari Jepang.. Tayakan kepada anak-anak, apakah mereka mengenal siapakah Candy? Mereka pasti tahu jawabnya, sebab Candy adalah tokoh idola mereka.
Candy-candy adalah karangan Yumiko Igarasi dan Kyoko Mizuki (dari bahasa Jepang). Inti ceritanya mengisahkan tentang petualangan Candy. Pada suatu hari, Candy diadopsi oleh keluarga Legan yang kaya, tetapi Candy tidak diangkat seperti Anny. Teman akrabnya ini tidak mau mengenal Candy setelah diadopsi keluarga Brightson. Candy diangkat sebagai pembantu untuk Neil dan Eliza.

Di tengah kesedihan, Candy berjumpa dengan Anthony yang mirip dengan pangeran, si pesolek Archie, dan Stea yang jenius. Ketiga pemuda itu selalu menemani Candy dalam suka maupun dalam duka. Dan Candy pun pergi ke Chicago….
Setelah sukses dengan Candy-candy (PT. Elex Media Komputindo) menyusul Akira, buku serial bacaan anak-anak yang bercerita mengenai dunia impian masa depan. Tahun 2030, saat dunia baru pulih dari Perang Dunia III, kejadian-kejadian berkembang di Tokyo. Pelacakan terhadap seseorang berwajah keriput, bertenaga telekinetik mahadasyat dengan tanda 26 pada telapak tangannya. Dia yang menguasai petunjuk terhadap sesuatu yang sangat berharga dan menakutkan, dikenal dengan nama "Akira", dengan dua orang pengikutnya, yaitu Kay dan pemuda Ryu.

Secara akal sehat, pandangan ke dua dekade ke depan itu Secara akal sehat merupakan sesuatu yang mustahil. Itulah yang dalam ilmu sastra disebut sebagai “fantasi modern”. Bahkan, ada yang menggolongkannya sebagai fiksi ilmiah (science fiction). Namun, bukan berarti bacaan yang tidak mendatangkan manfaat. Sebelum Neil Armstrong, si manusia pertama mengginjakkan kaki di bulan, sudah ada sebelumnya cerita fiksi mengenai manusia pergi ke bulan.

Belakangan, anak-anak pun tampak akrab dengan buku cerita bergambar. Mereka menyukai Cinderela, Putri Oyayu, Putri Tidur, Songokuu, Danau Angsa, atau Alibaba. Anak-anak juga menyukai buku cerita dalam negeri. Kemasannya tidak saja seindah buku-buku terjemahan. Tapi juga penyajiannya (teknik penulisannya) tidak kalah memikat dibanding buku anak terbitan luar.
Lihat saja buku yang mengambil setting dalam negeri karya Ani Sekarningsih atau Murti Bunanta yang berkisah tentang suku Asmat dan anak Maluku.

Bahkan, karya Murti Bunanta, Si Bungsu Katak (The Youngest Frog) dicetak hard cover, kertas isi art paper, dan full color. Karya yang tidak kalah bermutu dibanding buku terjemahan. Tidak salah kalau Dewan Buku untuk Anak-anak Internasional Polandia menganugerahkan dan mennjunjung The Youngest Frog sebagai karya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan mempererat tali kemanusiaan. Dan kepada penulisnya, Murti Bunanta, dikalungkan anugerah “Janusz Korezak”.


Prospek
Bagaimana prospek buku anak ke depan?

Masih tetap prospek, asalkan insan perbukuan mafhum selera pasar dan cedik bagaimana masuk ceruk pasar. Buku anak yang dari dulu, kini, dan masih akan laku ialah jenis buku bacaan, informasi, pengayaan bidang studi, hiburan, dan buku penuntun.

Jadi, sebenarnya buku dalam negeri dapat bersaing dengan buku terjemahan. Asalkan, insan perbukuan (penerbit-pengarang) tahu trik-triknya.

Dari segi materi dan penyajian buku bacaan, penerbit perlu memperhatikan arah Pendidikan Dasar di Indonesia, yaitu peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun1990 mengenai Pendidikan Dasar.

Ada banyak peluang buku bacaan anak. Masih banyak ruang kosong untuk diisi. Penerbit dan pengarang perlu memperhatikan bahwa di masa yang akan datang diperlukan buku bacaan yang menunjang Kurikulum sesuai dengan PP Nomor 28, Pendidikan dasar bertujuan:
 menumbuhkan sikap,
 memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan anak untuk hidup bermasyarakat
 mempersiapkan peserta didik agar memenuhi persyartan untuk mengikuti pendidikan berikutnya, yakni sekolah lanjutan.

Ke depan, akan banyak dibutuhkan buku yang dapat merangsang imanjinasi dan kreativitas anak, buku yang menumbuhkan sikap percaya diri serta menyibak cakrawala anak seluas-luasnya.

Sedangkan dari segi teknis, buku anak diharapkan dapat dijangkau oleh anak sesuai
kemampuannya, isinya baik dan positif sesuai dengan kurikulum, ditulis sesuai kaidah bahasa Indonesia, pewarnaan yang baik, dan merangsang minat anak untuk membaca.
Dan di atas semuanya itu, hendaknya buku anak tidak hanya menghibur, tapi juga berguna. Jika dapat menggabungkan keduanya, niscaya buku anak di negeri kita akan sanggup keluar dari kutukan lama “oplah tiga ribu”. Lalu menembus tiras jutaan. Kapan?
***
Penulis dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, penulis 47 buku, instruktur Bengkel Buku Anak Pusat Perbukuan Depdiknas, dan bibliofili.

Senin, 16 Maret 2009

Menulis pun Bisa Kaya

Sriwijaya Post - Minggu, 25 Januari 2009 07:07 WIB

MENULIS mungkin bagi setiap orang hanya sekadar menuangkan gagasan dalam bentuk rentetan kata hingga membalur jadi satu kalimat. Tetapi tidak buat R Masri Sareb Putra. Lantaran gemar menuang ide kreatif melalui baris kata bermakna mampu menjadikan hidup berkecukupan.

Sehari-hari, Masri adalah dosen di Universitas Multi Media Nusantara (UMN) Jakarta yang termasuk dalam grup Kompas Gramedia. Namun kegemarannya menulis buku menjadikan
dia lain dibandingkan dosen yang lain.

Saat berkunjung ke kantor Sripo, Jumat (23/1), Masri mengungkapkan menulis khususnya menulis sebuah buku pun bisa kaya, paling tidak dia bisa mendapatkan honor tulisan atau royalti jika bukunya laris,” jelasnya.

“Siapa bilang, penulis tak bisa kaya?, meski bukan satu-satunya tujuan utama, nyatanya dari menulis kita bisa mengamankan periuk bahkan sebagai profesional,” tegas Masri yang pernah dipercaya sebagai penulis otobiografi politisi Sri Bintang Pamungkas dan Matori Abdul Jalil (alm) ini.

Di usianya yang masuk ke 47 tahun, sudah 42 judul buku ditulisnya. Untuk tiap 60 halaman buku kreasinya, pria yang dilahirkan di Jangkang Benua Pontianak mengaku dibayar Rp 3,5 juta. Selain itu kalau bukunya best seller tentunya akan mendapatkan royalti.

Prinsip menulis bukan bersumber dari bakat tetapi lebih kepada skill yang sifatnya bisa diasah dan dipelajari hingga menjadi sempurna dan mampu menghasilkan. Bila ditekankan sebatas bakat, tentulah sifat sekadar turun temurun saja, tanpa adanya proses pembelajaran. Justru kegemaran yang bersumber dari hobi mampu mengubah persepsi hingga pola pikir seseorang untuk maju. “Selama ini orang menganggap menulis itu bakat, padahal kalau bakat tanpa diiringi skill atau ketrampilan tentu tidak berjalan. Nah sebenarnya menulis pun bisa dipelajari,” jelas koordinator mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) UMN ini.

Selain itu kegemaran menulis tidak terbatas untuk profesi wartawan semata. Dengan menulis, bisa menjadi penyair, pencipta lagu hingga kekuatan menulis mampu menyembuhkan penyakit yang bersumber dari hati. Contoh kecil, misal kalau sedang marah, jangan langsung diluapkan. Sebaiknya simpan satu malam. Keesokan harinya tentu rasanya akan berbeda, Usai marah reda lalu tulis keluh kesah Anda dalam selembar kertas. “Nah, cara ini bisa menjadi terapi khusus pereda marah, hal ini bisa juga diterapkan untuk pasangan suami istri,” jelas pria berkulit putih sambil tersenyum simpul.

Resep khusus pun diberikan mantan wartawan UCA News. “Jangan berpikir menulis secara benar dulu tapi buatlah gaya menulis seperti Anda berbicara, jadi lepas saja luapkan apa yang ada dalam pikiran, lambat laun tentu akan memberikan taste yang berbeda hingga mampu menjadi sempurna,” beber pria yang berhasil menulis hingga 3.004 artikel sejak dia dudu di bangku SMP.

Masri yang mempunyai hobi tanaman hias dan ikan ini, selain full sebagai dosen di UMN, juga menjadi pembimbing kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik di SD Mater Dei Pamulang dan SMA Tarakanita Gading Serpong. Dia juga pernah jadi guru SMA Kolese St Yusuf Malang dan SMEA II Pontianak ini.

Meskipun ditugaskan di manapun, hobinya membaca dan menulis tidak pernah pudar. Dan hobi menulis buku pula yang mengantarkan menjadi orang yang berkecukupan, buktinya meski hanya karyawan (sebelum dosen UMN, dia bekerja di unit Grasindo Kompas Gramedia, Red), Masri berdomisili di kompleks perumahan cukup elite di Tangerang, yakni Palem Semi.

Minggu, 15 Maret 2009

Buku dan Pengaruhnya
-- R Masri Sareb Putra*

SEJAUHMANA buku mempengaruhi manusia dan peradabannya? Inilah pertanyaan esensial yang perlu dilontarkan menyambut Hari Buku Nasional, 17 Mei 2008. Tanpa sanggup melihat daya terselubung (the hidden power) dari bahan bacaan, menjadi sia-sia mengampanyekan buku dan minat baca.

Terlepas dari itu, kita merasa senang Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), sebagai asosiasi penerbit di Indonesia bekerja sama dengan Perpustakaan Umum Daerah (Perpumda) DKI Jaya menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan tema "Aku Bisa Karena Aku Baca". Sebenarnya, tanpa aksi Ikapi Jaya membagikan 14.000 stiker dan 2.000 pulpen, ajakan untuk meningkatkan minat baca perlu disambut. Mengapa? Karena bahan bacaan merupakan media efektif untuk pendidikan, dan pengaruhnya luar biasa pada perilaku manusia zaman sekarang.

Sebagai contoh, bagaimana kitab suci agama-agama -terlepas dari debat teologis- mempengaruhi kehidupan penganutnya. Seluruh tindak tanduk, ucapan, serta proyeksi hidup masa depan diarahkan dan disesuaikan dengan petunjuk yang ada dalam kitab suci. Hal ini membuktikan, betapa dahsyat daya sebuah bacaan!

Sayang, hingga hari ini, buku masih menjadi barang mewah di negeri kita. Tiap bulan, diperkirakan terbit sekitar 3.000 judul buku baru. Jumlah yang masih njomplang dibanding dengan populasi penduduk. Yang membuat masygul, sudah terbitan buku minim, minat baca rendah pula. Menurut survei, tingkat membaca anak Indonesia berada di urutan ke-26 dari 27 negara yang disurvei. Seperti dicatat Bank Dunia dalam Indonesia: Book and Development, "The reading habit does not appear to be established among primary school pupils."

Minimnya apresiasi buku, dan rendahnya tingkat dan kemampuan membaca orang Indonesia, patut diprihatinkan. Hal ini mengingat betapa besar peran dan pengaruh buku pada perkembangan dan peradaban umat manusia. Seperti dicatat Harvey Mackay, motivational speaker terkenal, hidup manusia diubah melalui dua cara yakni lewat orang yang kita jumpai dan bahan bacaan yang kita baca (Our lives change in two ways: through the people we meet and the book we read). Ini dicatat Mackay dalam buku Swim with Sharks without Getting Eaten Alive.

Benar, pada intinya, hidup kita memang diubah oleh dua hal saja. Pertama, dari pertemuan dengan orang lain. Pertemuan ini bisa formal (proses belajar-mengajar), bisa juga informal (di sembarang tempat dan kesempatan). Siapa saja yang kita temui, dialah guru. Bertemu orang baik dan cerdas, kita potensial menjadi orang baik dan cerdas. Sebaliknya, bertemu dengan orang jahat dan dungu, kita pun potensial seperti mereka juga.

Kedua, hidup kita diubah melalui buku yang kita baca. Buku memiliki daya luar biasa. Seperti manusia, jika kita membaca buku bermutu, kita potensial menjadi pandai. Jika membaca buku yang baik, kita berpotensi jadi orang baik pula. Sebaliknya, jika membaca buku yang tidak bermutu dan tidak baik, kita pun berpotensi demikian.

Beberapa Bukti

Buku yang khusus membahas bagaimana buku mempengaruhi orang, Read and Grow Rich mengupas bagaimana buku mempengaruhi kehidupan dan pribadi orang. Dengan membaca, seseorang terbuka wawasannya. Dari membaca, seseorang mendapat ide-ide baru yang, jika dilaksanakan, akan mendatangkan keuntungan.

Sejauh mana buku mempengaruhi kehidupan, tentu setiap orang punya pengalaman sendiri-sendiri. Ada orang yang sekali baca, langsung buku mempengaruhinya. Buku dapat mempengaruhi mind set dan perilaku seseorang.

Namun, ada pula orang yang telah melahap sekian banyak buku, perilakunya tetap sama seperti sebelumnya. Buku bisa jadi guru. Namun, bisa juga menjadi tidak apa-apa. Sebagaimana guru-manusia, guru-buku pun tak akan memberi makna apa-apa, kalau tak hendak dimaknai.

Faktanya, banyak buku mempengaruhi kehidupan umat manusia. Sebagai contoh, pertama kitab suci agama-agama. Terlepas dari anggapan kitab suci agama adalah wahyu, ataukah ditulis manusia biasa, fakta menunjukkan banyak penganut agama sangat terpengaruh oleh kitab sucinya. Sedemikian rupa, sehingga apa pun yang dicatat dalam Alkitab, diyakini dan dituruti.

Pemikiran para filsuf Yunani kuno (350-450 SM) yang diabadikan dalam bentuk tulisan, masih berpengaruh kuat. Bahkan belum ada tandingannya hingga hari ini. Para filsuf ini pula penggali dan peletak dasar bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Magna Charta (1215), traktat yang menyadarkan banyak orang mengenai hak-hak asasi manusia. Kitab Gutenberg, atau "Injil 42 Baris" (1440). Inilah buku pertama yang dicetak menggunakan mesin cetak. Kitab ini menjadi lompatan raksasa karena sejak itu berkembang pesat teknologi percetakan dan penerbitan yang mempengaruhi kehidupan umat manusia. Injil Gutenberg rampung pengerjaannya pada 15 Agustus 1456, dengan jumlah cetakan 200 eksemplar. Sebagian dicetak di atas kertas, dan sebagian lagi dicetak dalam vellum. Ukuran (format) buku 12 x 16, 5 inchi. Konon, hingga sekarang buku itu hanya tersisa 40, dan berada di Amerika Serikat. Kemudian, "Keberatan atau 95 Dalil Luther". Tokoh reformasi dalam Gereja Kristen ini menggunakan anales (bilah pintu) gereja untuk menyebarluaskan gagasannya tentang reformasi. Pada 31 Oktober 1517, ia menempel 95 tesis (dalil) atau keberatannya pada Paus Leo X di depan pintu gereja Wittenberg, Jerman. Tesis itu diperbanyak seseorang yang mendapat kopinya langsung dari Luther, tanpa sepengetahuan Luther. Dalam tempo dua minggu, tesis tersebut tersebar luas di seluruh Jerman. Tak lama sesudahnya, seluruh benua Eropa menjadi gempar oleh pencetakan dan persebaran tesis itu. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya daya sebuah tulisan.

Karya sastra dan soneta William Shakespeare (1564-16-16). Karya ini menjadi inspirasi dan mencerahkan umat manusia sejagad. Shakespeare menghidupkan kembali tradisi sastra dan filsafat yang ribuan tahun sebelumnya hidup di tanah Yunani. Sastra dapat menjadi media, atau sarana pendidikan dan sekaligus hiburan. "Declaration of Independence" (1776). Pada 4 Juli 1776, di Philadelphia diratifikasi dokumen penting mengenai kemerdekaan. Thomas Jefferson adalah aktor intelektual deklarasi ini, yang dengan semangat dan sarat muatan filosofis mendeklarasikan bahwa setiap warga Amerika:

"We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalineable rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness."

Itu sekadar bukti, bagaimana tulisan sangat mempengaruhi manusia sepanjang abad dan milenium.

* R Masri Sareb Putra, Bibliofili, penulis 42 buku, dosen Fakultas Komunikasi dan Desain Universitas Multimedia Nu santara, Jakarta.

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 16 Mei 2008

Literary Journalism sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi

catatan:
Ini merupakan sepenggal dari buku yang sedang dalam proses penerbitan "Literary Journalism sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi". Silakan diunduh dan dimanfaatkan, dengan, tentu saja, tidak lupa menyebutkan sumbernya. Ide dasar substansi kompetensi pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi mengacu pada karya Molly Blair, "Putting the storytelling back into stories: Creative non-fiction in tertiary journalism education", 2006. Bahwa seorang jurnalis masa depan dituntut cerdas (logic smart) sekaligus terampil menulis (word smart). Maka, logika bahasa yang memungkinkan seorang menghasilkan clear writing menjadi cukup proporsional dalam bahasan, sebelum ia dapat menulis dengan menarik dan bernas (clear writing. Dengan kata lain, sebelum tahu melakukan sesuatu (know how), seseorang harus tahu mengenai apa yang dilakukan (know what) lebih dulu. rmsp


Bab 3

Merangkai Term
sebagai Unsur Penalaran
dengan Gaya Sastra





Apakah yang dimaksudkan dengan ”penalaran”?
Kata dasar penalaran adalah ”nalar” yang berarti: akal budi, pertimbangan mengenai baik buruk, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, kekuatan pikir yang kata dasarnya sudah mendapatkan prefiks ke-an (KBBI, 2007: 772).

3.1 Term dan Kata
Dalam logika, penalaran merupakan konsep paling umum yang menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang sudah diketahui (Surajiyo dkk., 2006: 20). Pernyataan-pernyataan terdiri atas pengertian-pengertian sebagai unsurnya yang memunyai batas-batas tertentu untuk menghindarkan dan menafikan kekaburan dan ketidakjelasan arti.
Pengertian merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Sering pengertian juga disebut sebagai ”konsep” atau ”ide”. Konsep berasal dari kata Latin, concipio yang berarti: mengambil (menerima, memasukkan) dalam dirinya; menerima; menangkap; mengisap; menyerap; menampung (K. Prent, dkk., 1969: 167).
Dalam logika, konsep diartikan sebagai ”hasil tangkapan akal budi manusia terhadap suatu objek”. Manakala konsep diungkapkan dalam bentuk verbal (kata) dan simbol, maka pengungkapan tersebut dinamakan term.
Jadi, term ialah bentuk atau ujud (forma), sedangkan pengertian adalah isi (content)-nya. Term ialah pernyataan lahiriah dari pengertian. Jika ungkapan pengertian terdiri atas sepatah kata, maka sebuah term disebut sebagai ”term sederhana”. Contoh term sederhana:

api
awan
asap
air
badai
kabut
manusia
debu
binatang


Sementara itu, kata sendiri dapat dibedakan menjadi dua:
1) kata kategorimatis, dan
2) kata sinkategorimatis
Disebut kategorimatis karena sepatah kata jenis ini dapat dan sanggup untuk mengungkapkan secara utuh suatu pengertian yang berdiri sendiri tanpa bantuan kata lain.
Sebagai contoh kata kategorimatis adalah nama diri (Luciano, Laksmi, Ega, Albert, Engge, Hari, Istman, Steffi); kata sifat (pintar, cantik, baik, sopan, sederhana, rajin); serta istilah yang mengandung pengertian umum (binatang, manusia, tumbuhan).
Adapun kata sinkategorimatis ialah kata yang tidak dapat berdiri sendiri (sin/bahasa Yunani = bersama-sama/dengan) jika tidak dibantu oleh kata lain. Misalnya, kata adalah, merupakan, jika, semua, tapi, sebagian, setiap, barangsiapa, atau, untuk.
Karena itu, kata berbeda dengan term. Term mengandung pengertian, sedangkan kata ada yang mengandung pengertian dan ada kata yang tidak mengandung pengertian kecuali jika dirangkaikan dengan kata lain untuk membentuk pengertian. Misalnya, kata semua akan mengandung arti jika dirangkaikan dengan kata mahasiswa menjadi semua mahasiswa.

3.2 Isi dan Luas Term
Dalam logika, isi suatu pernyataan dinamakan juga komprehensi (comprehension). Adapun luas suatu pernyataan disebut ekstensi (extension). Setiap pengertian mengandung isi dan luas.

Contoh korelasi antara isi dan luas term:

Term Isi Luas
hewan berbadan
makan
minum
berindera binatang
manusia
manusia berbadan
makan
minum
berindera
berjiwa
ber akal budi
manusia
kambing berbadan
makan
minum
berindera
berbulu
berjenggot
berkuku genap
tanduknya bergeronggang
memamah biak
hewan peliharaan
makan rumput kambing
mahasiswa tugas utamanya belajar
menuntut ilmu di lembaga formal
kuliah di sekolah tinggi atau universitas
siswa TK-SMA
mahasiswa
gunung tinggi
menjulang
bukit besar
lebih dari 600 m menara
gunung
dosen berbadan

Isi atau komprehensi menunjuk pada keseluruhan arti yang dimaksudkan oleh suatu term. Misalnya, term ”magnet” adalah setiap bahan yang dapat menarik logam besi. Term ”manusia” ialah makhluk yang berakal budi.
Adapun luas atau ekstensi ialah keseluruhan hal yang ditunjuk oleh term. Misalnya, term ”hewan” dapat menunjuk pada ikan, sapi, ayam, ular, dan sebagainya yang dapat ditunujuk atau disebut sebagai hewan.
Antara isi dan luas term terdapat korelasi yang saling berbalikan. Apabila yang satu bertambah, maka yang lain akan berkurang. Sebaliknya, apabila yang satu berkurang, maka yang lainnya akan bertambah.
Seperti dicatat Vloemans (1985), terdapat empat kemungkinan korelasi antara isi dan luas sebuah term.
1) Makin bertambah isi term, makin berkurang luasnya
2) Makin berkurang isi term, makin bertambah luasnya
3) Makin bertambah luas term, makin berkurang isinya
4) Makin berkurang luas term, makin bertambah isinya

3.3 Pembagian Term
Dilihat dari sifatnya, term dapat dibagi dalam empat kelompok.
1) Term menurut kompherensi
2) Term menurut ekstensi
3) Term menurut predikabilia
4) Term menurut kategori

3.3.1 Term menurut komprehensi
Term menurut komprehensinya, dapat dibagi ke dalam hakikat dan sifat. Hakikat term ada dua (1) hakikat yang konkret dan (2) hakikat yang abstrak.
Hakikat disebut konkret jika menunjuk hal, atau segala sesuatu, yang berkualitas dan bereksistensi tertentu. Misalnya, sapi, orang, burung, dan sebagainya.
Hakikat disebut abstrak jika menyatakan kualitas, terlepas dari eksistensi tertentu. Misalnya, kebinatangan, kemanusiaan, ketuhanan.

3.3.2 Term menurut ekstensi
Term menurut ekstensi ialah term yang dilihat dari cakupan luasnya, yakni yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Terdapat dua dua macam term umum, yakni term universal dan term kolektif. Term universal yaitu term yang mengandung sifat umum tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Contoh: tumbuhan, manusia, hewan.
Adapun term kolektif menunjuk pada kelompok atau kolektivitas tertentu, seperti: bangsa Melayu Polynesia, Arab, Eropa, dll.

3.3.3 Term menurut predikabilia
Term menurut predikabilia ialah term untuk menerangkan sesuatu. Terdapat dua term predikabilia mengenai zat (genus/jenis) dan (spesies/ golongan); tiga mengenai sifat (diferensia/pembeda), proprium (sifat khusus), dan aksidens (kebetulan).
(1) Genus ialah jenis, kelas, golongan, keseluruhan ciri yang didukung oleh ciri-ciri anggota kelasnya. Misalnya, manusia dan hewan ialah anggota yang sama, didukung ciri-ciri yang sama-sama: berbadan, makan, minum, berindera.
(2) Spesies ialah satuan dasar klasifikasi yang menunjukkan hakikat bersamaan bentuk maupun sifatnya, sehingga dapat memisahkan dari golongan lain. Misalnya, term burung dan binatang. Dalam contoh ini, burung adalah spesies dari binatang. Genus manusia pembejalar pada pendidikian formal spesiesnya dapat berupa anak TK, SD, SMP, SMA, dan mahasiswa.
(3) Sesuai dengan namannya, diferensia ialah pembeda yang menunjuk pada hakikat suatu golongan, sehingga terwujud kelompok diri. Misalnya, manusia adalah hewan yangberakal budi (animal rationale), sebab hakikat berakal budi ini merupakan ciri khusus manusia yang membedakannya dari hewan lain.
(4) Proprium ialah sifat khusus sebagai predikat yang melekat pada hakikat sesuatu sehingga dimiliki oleh seluruh anggota golongan. Sifat khusus ini merupakan kelanjutan dari diferensia di luar hakikat, namun berhubungan. Misalnya, hewan berkaki dua, dapat terbang, berbulu, bersayap untuk term burung.
(5) Aksidens ialah sifat kebetulan sebagai predikat yang tidak ada hubungannya dengan hakikat yang dimiliki seluruh anggota golongan. Misalnya, berambut keriting, berkumis, berjenggot, gemuk, langsing.

Sekarang kita masukkan dalam proposisi (pengkalimatan) contoh term ”manusia” ditinjau dari term predikabilia.
Genus: hewan
Spesies: manusia
Diferensia: berakal budi
Proprium: mahasiswa UMN semester IV Jurusan Jurnalistik
Aksidens: berambut keriting dan berbadan gemuk.

Maka proposisinya sbb:

Manusia, hewan berakal budi itu, adalah mahasiswa UMN semester IV Jurusan Jurnalistik yang berambut keriting dan berbadan gemuk.


3.3.4 Term menurut kategori
Ikon dan penemu logika, Aristoteles dalam Categoria (Stanford Encyclopedia Philosophy: Aristotle’s Logic,) membagi term ke dalam sepuluh kategori: cek lagi urutannya!
1) substansi,
2) kuantitas,
3) kualitas,
4) relasi,
5) aksi,
6) passi,
7) ruang/tempat,
8) waktu,
9) sikap, dan
10) keadaan.
Menutut Aristoteles, kategori (katêgoria) berarti "predikat". Predications dapat dikelompokkan ke dalam beberapa “jenis predikat” lagi (genê tôn katêgoriôn). Untuk menunjuk pada klasifikasi ini, kerap digunakan istilah “jenis predikat”, atau cukup “predikat” saja, yang dalam bahasa Latin disebut categoria yang dalam studi kita dinamakan kategori.
Substansi ialah suatu hal yang terlepas dari hal yang lainnya. Misalnya, komputer, pen, meja, kursi, dapur, mal, dan sebagainya.
Kuantitas ialah suatu sifat yang menunjuk pada pengertian jumlah atau luasnya sesuatu/substansi. Misalnya, besar, kecil, satu kilo, selusin, dan sebagainya.
Kualitas ialah suatu sifat yang menunjuk pada atribut sesuatu/substansi. Misalnya, pintar, rapi, cantik, indah, dan sebagainya.
Relasi ialah hubungan antara satu hal dengan hal lain dan hubungan itu terjadi karena ada sifat yang menghubungkannya. Misalnya, ibu, bos, panglima, permaisuri, dan sebagainya.
Ruang/tempat ialah sesuatu yang menyertai perwujudan di tempat/ruang sesatu itu ada.Misalnya, di mal, di kampus, di Semarang, di lantai III, dan sebagainya.

Tabel: Kategori menurut contoh Aristoteles

Yunani Indonesia Literally Contoh
ousia
tode ti
ti esti Substansi Substansi
"ini"
apa-ini manusia, kuda
Socrates
"Socrates adalah manusia"
poson Kuantitas Berapa banyak Empat langkah, lima kali, satu ton
poion Kualitas Seperti apa putih, melek huruf
pros ti Relasi Berhubungan dengan apa separuh, lebih besar, istri, anak
pou Ruang/tempat Di mana Di Plaza Summarecon, di pasar
pote Waktu Kapan kemarin, tahun lalu
keisthai Posisi Menjadi situasi terletak, duduk
echein Kebiasaan Memiliki sifat cemburu
poiein Aksi/sikap melakukan memotong, membakar
paschein Passi undergoing terpotong, terbakar

Waktu ialah sesuatu yang menyatakan waktu tertentu. Misalnya, tadi siang, kemarin, besok, minggu lalu, dan sebagainya.
Posisi yang menjadi aksi/sikap ialah suatu tindakan/keadaan tertentu. Misalnya, berdiri, duduk, belajar, mencatat, menghafal, dan sebagainya.
Kebiasaan (habit) yang menjadi keadaan ialah term yang menunjuk pada suasana tertentu. Misalnya, cemburu, senang, susah, cemas, gelisah, marah, dan sebagainya.
Aksi ialah suatu tindakan dan tindakan itu dapat memengaruhi yang lain. Misalnya, menulis, menerima, membungkus, merayu, dan sebagainya.
Passi ialah sesuatu ditindak oleh hal lain atau dipengaruhi oleh yang lain. Misalnya, dicintai, dinamakan, diampu, diperbaiki, dan sebagainya.

3.4 Term sebagai Unsur Penalaran
Jika nalar ialah akal budi, pertimbangan mengenai baik buruk, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, dan kekuatan pikir; maka di dalam menyatakan nalar tersebut secara simbolik diperlukan kata sebagai unsur bahasa.
Di dalam menyatakan penalaran, yang merupakan fakta, seseorang dituntut hanya –dan hanya— menyatakan kebenaran. Masalahnya, apa yang dimaksudkan dengan ”kebenaran”? Apakah kebenaran itu mutlak, ataukah fakta yang sudah dimaknai dan ditafsirkan?
Seperti ditegaskan Molly Blair (2006: 84), jurnalistik sastrawi haruslah bertumpu pada kebenaran (truth) dan hanya fakta (only facts), dan fakta yang disampaikan sanggup menggugah emosi pembaca (emotional truth). Di dalam tehnik penulisannya, menggunakan teknik sastra atau fiksi (fiction writing techniques) yang bertumpu pada:


 Emosi (emotion)
 Adegan (scene)
 Sudut pandang (point of view)
 Dialog (dialogue)
 Karakter (character)

Bagaimana antarhubungan jurnalistik sastrawi-kebenaran-teknik penulisan fiksi diagram berikut ini menjelaskannya. Kotak dengan cetak tebal menunjukkan ”jurnalistik sastrawi-kebenaran-teknik penulisan fiksi”, sedangkan kotak dengan cetak miring adalah unsur-unsurnya.


Sumber: Molly Blair


3.5 Cerdas Merangkai Factum Menggunakan Term
Seorang jurnalis dituntut dapat mengenali factum, lalu mengaitkan factum satu dengan factum lain menjadi rangkaian facta. Setelah itu, ia baru merangkaikan factum secara sastrawi menggunakan simbol bahasa (term) menurut kategori dan menulisnya menggunakan kaidah-kaidah sastra.
Misalnya, diketahui fakta sbb:

Substansi Socrates
Kuantitas Sekali
Kualitas berpengaruh
Relasi lebih sering
Ruang/tempat Di Athena
Waktu tiga ribu tahun
Posisi duduk
Kebiasaan berjubah
Aksi mengajar
Passi terstruktur

Dari tabel di atas, maka susunan factum sbb:
Socrates (substansi) sekali (kuantitas) jenius (kualitas) lebih sering (relasi) di Athena (ruang/tempat) tiga ribu tahun lalu (waktu), duduk (posisi) berjubah (kebiasaan) mengajar (aksi) terpandang (passi).
Jika factum disusun, maka rangkaian faktanya sbb:

Socrates sekali jenius di Athenai tiga ribu tahun lalu duduk berjubah mengajar terstruktur.

Kini, fakta itu hendak dirangkai dan ditulis secara jurnalistik sastrawi, dengan tetap berpatokan pada data apa adanya. Seorang jurnalis tidak boleh menambah, mengurangi, atau mengimbuhi fakta dan memasukkan opininya. Sudut pandang menggunakan orang ketiga. Sifat berita yang hard news diubah menjadi soft news, menggunakan tehnik narasi (bercerita), artistik, bahasa sastra, dan menggugah emosi. Ada setting waktu dan tempat. Karakter dipertajam dan dikembangkan, kuat dengan lebih banyak menonjolkan posisi, kebiasaan, aksi, dan passi karakter (Socrates) sebagai substansi.
Maka jadilah literary journalism sebagai berikut.

Athena, tiga ribu tahun lalu. Socrates duduk Ia mengenakan jubah ketika mengajar. Sekali saja disampaikan secara terstruktur. Ia memang manusia jenius.

Demikianlah, kita sudah mulai masuk bagaimana caranya mengenali dan menyusun factum. Lalu, merangkaikan factum-factum menjadi kalimat singkat yang ditulis secara sastrawi.



BAB 4

Fakta dan Opini



Tujuan pembelajaran:

Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
 Ciri-ciri fakta dan opini
 Feature sebagai rangkaian factum-factum



Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik dengan tegas menyebutkan bahwa, “Wartawan Indonesia … tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi….”
Dalam sebuah berita, atau tulisan fature, wartawan tidak boleh memasukkan opininya sendiri. Si penulis feature harus mengungkapkan fakta, bukan khayalan atau imajinasinya sendiri (factum, non fictum). Di sini nalar (clear thinking) menjadi sangat penting digunakan, untuk memisahkan dan memilah-milah, manakah fakta dan manakah opini atau persepsi.

4.1 Apa yang dimaksudkan dengan fakta?
Etimologi dan leksilkal fakta:
(a) Etimologi atau asal usul kata fakta. Fakta berasal dari kata benda Latin factum (jamaknya: facta) dan kata kerjanya facere yang berarti: peristiwa atau kejadian. Kita sering mendengar istilah “Post factum” yang artinya: setelah peristiwa itu terjadi.
(b) Leksikal atau makna/definisi dari kamus:
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 312) “Fakta ialah keadaan, peristiwa yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar terjadi.”

Adapun opini:
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 800) “Pendapat, pikiran, pendirian.”

4.2 Wacana sebagai Rangkaian Fakta, Bukan Opini
Sebuah laporan jurnalistik ialah feature/ creative nonfiction yang ditulis hal-hal nyata, bukan fiksi. Selain indah karena ditulis menggunakan kaidah dan diksi secara sastrawi, laporan/ tulisan haruslah mengandung kebenaran (truth) yang dirangkai sedemikian rupa, mengandung nilai berita, memuat unsur-unsur berita (5 W+1 H), sehingga feature utuh dari sisi jurnalistik.
Karena itu, tulisan feature dibangun dari factum. Factum satu dengan factum lain haruslah:
1) benar
2) dapat dipertanggungjawabkan
3) berkorelasi
4) berkorespondensi
5) sistematis
6) pragmatis
Sebagai sebuah karya jurnalistik, feature haruslah menarik dengan memerhatikan psikologi dan kedekatan dengan audience. Nalar khalayak (sense of audience) haruslah diperhatikan oleh penulis feature, agar tulisannya dapat bersaing dengan berita lain yang bersifat hard news. Jadi, yang harus diperhatikan penulis feature bukan semata-mata isi (content), tetapi juga nilai ekonomis suatu peristiwa/fakta.

Diagram: inverted pyramid model of traditional journalism



Jelasnya, literary journalism ialah faksi (fakta yang ditulis dengan kaidah-kaidah fiksi/sastra). Pada hard news, model penulisan menggunakan piramida terbalik. Sementara pada soft news, menggunakan bentuk kolase, gabungan, atau model segi empat (R. Masri Sareb Putra, Teknik Menulis Berita dan Feature, 2006: 52-53) yang merupakan satu kesatuan saling mendukung.
Dasar menulis jurnalistik sastrawi sama dengan berita keras, tetap mengandalkan fakta dan kebenaran. Hanya saja, enam unsur (5W+1H) bermetamorfosis menjadi narasi yang dideskripsikan sedemikian rupa, sehingga terarah pada emosional.

Nalar khalayak (sense of audience) haruslah diperhatikan oleh penulis feature, agar tulisannya dapat bersaing dengan berita lain yang bersifat hard news.

Itu sebabnya, Molly Blair mengatakan bahwa jurnalistik sastra adalah hibrida dari sastra dan tulisan nonfiksi yang juga disebut sebagai jurnalistik baru (new journalism). Turunan yang dihasilkan dari perkawninan sastra dan nonfiksi yang berlainan ragam penulisan ini apabila dibuatkan diagramnya akan menjadi demikian.
Jurnalistik sastrawi menggabungkan antara elemen-elemen nonfiksi dengan elemen-elemen sastra. Tidak ada, dan tidak boleh ada, opini dan bukan-fakta dalam laporan jurnalistik sastrawi.

Tebel: Perbedaan antara sastra dan non-fiksi:

Literary elements Non-fiction elements
story/narration essay form
place/scene/setting explanation/exposition
characterization standard rhetorical patterns
author personally engaged focuses on ideas, facts
(not language)
literary voice/feel researched facts
artistic, instinctual
polished language




BAB 5


Pendekatan Dinamik Jurnalistik Sastrawi dan Sejarahnya




Tujuan pembelajaran:

Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
 Pendekatan dinamik jurnalistik sastrawi
 Sejarah dan para pelopor Literary Journalism
 Jurnalistik sastrawi dan perkembangannya di Indonesia

The New Journalism, atau jurnalistik baru, tentu ada sejarahnya. Dikatakan “baru” karena merupakan hibrida dari pola jurnalistik konvensional (pola lama) dengan model piramida terbalik dan gaya sastrawi yang menerapkan elemen-elemen dan kaidah sastra (Blair, 2006).
Dilihat dari dinamika waktu (time dynamic) berita-berita keras adalah ciri tulisan model konvensional yang memiliki tenggat waktu singkat. Sebaliknya, jurnalistik sastrawi memiliki tenggat waktu panjang, bergantung pada gaya publikasi. Namun, beberapa tulisan jurnalistik sastrawi bersinggungan (crossover) dengan jurnalistik model konvensional dilihat dari time-line, terutama ketika mengulas detail sebuah peristiwa human interest.

5.1 Pendekatan Dinamik
Dilihat dari dinamikanya, jurnalistik sastrawi memunyai banyak kesamaan dengan ragam tulisan lain sebagai himpunan dan turunan langsung dari karya tulis kreatif non-fiksi (creative non-fiction). Sebagaimana tampak pada diagram, dari sisi teknik penulisan, jurnalistik sastrawi memiliki saudara kembar, yakni
 Memoar
 Biografi
 Esai personal
 Esai sastrawi
 Artikel feature
 Non-fiksi naratif


Sumber: Blair, 2006: 108



BAB 6
Literary Journalism:
Elemen dan Konfigurasinya dalam Jurnalistik Modern




Tujuan pembelajaran:
Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
 Dinamika pendekatan, dinamika editorial, dinamika kebenaran, dinamika struktur, dinamika bahasa, dan dinamika waktu jurnalisme sastrawi
 Elemen dan konfigurasi jurnalistik sastrawi dalam jurnalistik modern
 Persamaan dan perbedaan feature dan karya sastra



Sekadar menyegarkan ingatan kembali, bahwa sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar antara mengarang dan menulis.
Mengarang ialah proses menuangkan gagasan/ide kreatif dan imajinatif sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah karya fiktif sesuai dengan bentuk (ragam)-nya.
Sementara menulis ialah proses menuangkan gagasan/ ide/data/fakta ke dalam bahasa tulisan. Sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah karya tulis nonfiktif yang bernilai sesuai dengan bentuk/ragamnya. Ada fakta untuk dirangkaikan menjadi kalimat. Rangkaian fakta ialah wacana yang bebas dari fiksi dan imajinasi. Di dalam proses penulisan itu, si penulis dibimbing oleh kejujuran untuk menyampaikan fakta apa adanya dan berbagi informasi kepada khalayak.
Dalam tulisan fiksi, ada keleluasaan bagi pengarang untuk menabrak rambu-rambu kebahasaan, tidak sebagaimana tulisan nonfiksi. Bahasa gaul, terutama dalam dialog, sah-sah saja dalam sebuah karangan.
Demikian pula dengan pengkalimatan, tidak harus sebuah kalimat terdiri atas kalimat yang lengkap subjek, predikat, dan objek (SPO)-nya. Bahkan, sering kita jumpai dalam karangan fiksi, sebuah kalimat, terdiri atas sepatah kata saja. Hal ini tidak masalah, sebab kadangkala sepatah kata dalam sebuah kalimat efeknya sangat luar biasa! Di sini, sebagai penulis fiksi, kita harus sanggup mendayagunakan sepatah kata untuk mencapai efek tertentu, sehingga terarah pada emosional pembaca.
Akan tetapi, kaidah-kaidah sastra dalam karya tulis nonfiksi dapat diterapkan pada jurnalistik sastrawi. Dengan catatan, jangan demi mengejar keindahan tulisan (diksi) sebuah karya jurnalistik lantas menafikan fakta. Kata, dalam karya jurnalistik, ialah alat penyampai gagasan.
Sebagai contoh, berikut ini narasi sebuah karya fiksi:

Senja turun perlahan, menyingkap kelam. Bukit Zaitun tampak bagai wanita tua, kusut dan mengkerut. Segalanya jadi serba marut. Kusut! Sekusut hati Dina.

Sepatah kata dalam satu kalimat “Kusut!” justru sangat luar biasa power-nya. Ia dengan penuh daya melukiskan, betapa tak menentunya hati Dina. Sebuah lukisan, dan perumpamaan, yang mudah ditangkap dan tidak memerlukan kerja keras untuk mengabstraksinya.
Meski dalam karangan fiksi dimungkinkan seorang pengarang melanggar pakem kebahasaan dan pengkalimatan, toh ada segi yang tidak bisa ditoleransi. Tidak ada kompromi dalam pengunaan tanda baca, huruf kapital, akurasi nama, dan penggunaan ejaan. Tidak dapat dibenarkan, kalau seorang pengarang tidak bisa membedakan kapan “di” penulisannya dipisah dan kapan diserangkaikan. Demikian pula, tidak dapat dimaafkan jika seorang pengarang tidak bisa apakah huruf pertama dalam dua kata “pisang ambon” ditulis kapital ataukah tidak.
Sekali lagi, alah bisa karena biasa. Maka, biasakan diri Anda mengacu pada kamus kalau ragu-ragu. Jadikan kamus tidak hanya alat kerja, tapi juga teman Anda.

Persamaan antara Feature, Cerpen, dan Novel
Dilihat dari proses, ragam, dan gayanya, terdapat banyak kesamaan antara feature dan cerpen, novelet, dan novel.

Persamaan Literary Journalism dan Cerpen/Novelet/novel
Literary Journalism
Cerpen/Novelet/Novel

1. Tulisan kreatif, cukup panjang, yang membutuhkan imajinasi.
1. Tulisan kreatif, cukup panjang, yang membutuhkan imajinasi.

2. Deskriptif dan naratif 2. Deskriptif dan naratif
3. Rangkaian peristiwa tali-temali. 3. Rangkaian peristiwa tali-temali.
4. Sering ditulis menggunakan alur (kaidah 1,2,3) atau kronologis.
4. Sering ditulis menggunakan alur (kaidah) 1,2,3 atau kronologis.

5. Tokoh utama (objek) sering diangkat menjadi fokus, lalu dikisahkah juga tokoh (objek) lain sejauh relevan atau yang bertujuan untuk mengontraskan atau menambah hidupnya suasana.
5. Tokoh utama (objek) sering diangkat menjadi fokus, lalu dikisahkah juga tokoh (objek) lain sejauh relevan atau yang bertujuan untuk mengontraskan atau menambah hidupnya suasana.

6. Menggunakan teknik tarik-ulur (suspense) untuk mempermainkan psikologi audience.
6. Menggunakan teknik tarik-ulur (suspense) untuk mempermainkan psikologi audience.

7. Akhir (ending) tulisan jelas. 7. Akhir (ending) tulisan jelas.
8. Ada pesan (message) yang terkandung di dalamnya.
8. Ada pesan (message) yang terkandung di dalamnya.




Perbedaan Literary Journalism dan Cerpen/Novelet/novel
Literary Journalism
Cerpen/Novelet/Novel

1. Melulu didasarkan pada fakta yang sesungguhnya, unsur khayalan tidak boleh ada di dalamnya.
1. Karya fiksi, rekaan.
2. Tidak boleh menulis/melukiskan sesuatu yang tidak sungguh nyata dan tidak sungguh terjadi.

2. Boleh berbuat sesuka hati. Mau bikin apa saja, terserah! Pengarang “mahakuasa” atas karyanya. Di sini kata “penciptaan” menjadi genap, yakni creare  creatio (creationis)  to create  creation = mencipta, penciptaan, hasil kreasi. Karena itu, seorang penulis disebut kreatif! Dan karya tulis yang dihasilkannya adalah karya kreatif.

3. Tidak melakukan rekayasa, misalnya memaksakan apa yang ada di kepala penulis, lalu ditaruh pada mulut orang lain. Misalnya, agar bagian tertentu dari feature menarik, si penulis berpikir alangkah baiknya jika nara sumber (objek) mengatakan, “Kingkong pun bisa menjadi komisaris perusahaan jika kerjanya cuma begitu” –sebuah feature yang mengangkat ihwal perusahaan BUMN yang produknya sangat dibutuhkan, namun berkinerja buruk. Padahal, nara sumber tidak menyebut demikian, ketika pertanyaan yang diajukan si penulis, nara sumber cuma diam, atau mengangguk. Jadi, pernyataan tadi hanyalah simpulan dari penulis, bukan datang dari nara sumber.



Novelis yang sudah banyak makan asam garam, barangkali tidak perlu lagi membuat outline. Outline sudah ada di kepalanya. Ia sudah tahu seberapa porsi untuk intro, pengembangan, inti cerita, dan simpulannya.
Namun, novelis pemula tetap perlu membuat oret-oretan, atau bagan, sebelum mengarang sebuah novel. Untuk apa? Kalau dalam sebuah penjelajahan, bagan berfungsi sebagai kompas. Bagan ialah penunjuk ke arah mana kita hendak melangkah.
Dalam praktiknya, kadang bagan tidak ditaati sepenuhnya. Tatkala menghadap komputer, atau mesin tik, muncul ide baru. Seorang novelis tergoda untuk mengembangkan ide yang sudah dibuatnya dalam bagan.
Salahkah tindakan seperti itu? Tidak! Meski melanggar aturan yang sudah ditetapkan sendiri, asalkan hasil akhirnya bagus, tidak menjadi masalah. Asalkan jalinan cerita dirasakan logis, tidak jadi soal. Bagan tidak hanya diperlukan sebagai arah, tapi kadang juga sebagai pemancing datangnya ide-ide baru.
Mula-mula, tetapkanlah sebuah tema untuk novel Anda. Lalu, petakan ide-ide Anda. Tulislah langkah demi langkah adegan yang menurut Anda menarik. Lalu pilihlah yang paling unik. Telitilah, apakah biasa-biasa saja, tidak unik, dan tidak punya greget? Apakah menarik? Adakah sesuatu yang baru?
Sebagai contoh, Anda akan menulis sebuah novel dengan setting sekolah. Tema kisah cinta. Kalau kisah cinta antara siswa dan siswa, sudah biasa –dan Anda tidak mau menulis hal yang biasa. Anda ingin karya Anda unik, lalu bagaimana?

BERANI NULIS, BERANI KAYA: 101 Writing Businesses You Can Start From Home.

Jumat, 2008 Mei 02

101 WRITING BUSINESSES YOU CAN START FROM HOME : Berani Nulis, Berani Kaya

BERANI NULIS, BERANI KAYA: 101 Writing Businesses You Can Start From Home.

Untuk sekian kalinya R.Masri Sareb Putra, berkreasi, namun untuk saat ini karyanya bikin heboh. Jika tidak boleh dikatakan bombastis, karya ini dapat dikatakan mengigit, tentunya yang digigit adalah etos pemba

canya. Buku ini rupanya, secata terang-terangan berupaya mengagitasi khalayak bacanya. Orang mulai membayangkan bahwa hanya berawal dari rumah, mampu menggetarkan dunia. Inilah bahan agitasi yang cukup menggetarkan.

Kekuatan buku ini terletak pada kemampuan mengoptimalkan sebuah kecerdasan, yakni kecerdasan linguistic, sebuah kecerdasan yang dianggap sama sebagai ketrampilan [skill] dalam menulis. Ketrampilan ini disosialisasikan sebagai “word-smart”.
Perwajahan buku terkesan sederhana, setelah melihat isi, orang akan mengubah penilaiannya. Ternyata dibalik perwajahannya yang sederhana tersimpan motivasi dan nilai-nilai kecerdasan yang tiada tara. Indikator yang nampak sebagai kekuatan, adalah ketika halam pembukanya terpampang sebuah “lead” yang tertulis, “Business Never Die”, sebuah jargon yang mantap, oleh karenanya judul buku ini dengan berani mengatakan , “Berani nulis, berani kaya”

Dalam memperkuat alasan dan pemahaman buku ini menjelaskan secara rinci berbagai kecerdasan.

Pertama kecerdasan yang berpautan dengan nalar manusia [ IQ] teori ini diendus dari buah pikir Alfred Binet dan Theodore Simon, ternyata mentah kita seorang-orang yang memilki skala IQ tinggi, belum tentu berhasil disegala sisi.

Kedua: Daniel Golemen, karyanya juga diparam oleh buku ini, hadirnya kecerdasan emosi / emotional Intelligence, ternyata mampu manarik kesuksesan. Mengapa orang dengan IQ tinggi tidak selalu sukses dalam hidup. Sementara orang yang ber-IQ biasa-biasa saja justru berhasil dalam hidupanya. Hal itu karena kekurangannya, memicu daya juangnya.

Ketiga: Buah karya Paul Stoltz yang dikenal dengan kecerdasan untuk mengatasi hambatan [Adversity Quatient]. Fungsi kecerdasan ini tentunya berpijak pada ukuran bagaimana seorang-orang merespon sebuah ahambatan. Dan di sinilah kemampuan mengurai, dan mengatasi hambatan dijadikan sebagai ukuran kecerdasan.

Keempat :Kita mengenal multi keceerdasan yang menjadi pencermatan Howard Gardner. “The ability to solve problem of fashion products that are valued in at least one culture.” Kecerdasan diposisikan sebagai kemampuan seorang-orang untuk mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai. Rupanya buah pikir Gardner ini, yang mengakomosadi “linguistic intelligence” atau [word smart].
Seorang-orang yang berada di domain ini berarti menyipan potensi untuk mengatasi masa depan.
Adapun multiple intelligences itu adalah:

  • Linguistic intelligence [word smart];
  • Logical-mathematical intelligence [number/reasoning smart]
  • Spatial intelligence [picture smart]
  • Bodily-Kinesthetic intelligence [body smart]
  • Musical intelligence [music smart]
  • Interpersonal intelligence [people smart]
  • Interpersonal intelligence [self smart]
  • Naturalist intelligence [nature smart]

Ini menujukkan bahawa word smart, yang lebih popular sebagai kecerdasan atau ketrampilan seorang-orang dalam menulis, telah lama di kenalkan. Persolannya apakah word smart itu sebuah talenta, merupakan kekhususan bagi seorang-orang, atau sebuah upaya yang dilakannya.

TERNYATA WORD SMART BUKAN BAKAT, TAPI USAHA..
Dalam berbagai literature, ketrampilan atau keahlian di bidang word smart disebut skill, bukan talent. Bahkan, boleh dikatakan, ketrampilan tersebut lebih kearah seni.
Buku ini memberikan contoh agar khalayak bacanya tidak bias dalam memahami skill dan talent. Diangkatlah sejarah Yunani kuno, yakni seorang-orang bernama Demosthenes yang dianggap gagap, namun karena secara terus menerus melawan kegagapannya, ia menjadi salah satu orator ulung sepanjang sejarah. Semestinya seorang-orang yang gagap menulis, jika dilawan terus menerus akan menjadi penulis ulung sepanjang sejarah.
Masih dalam kontek antara bakat dan usaha, pujangga terkemuka Perancis, Honore de Balzac, mengatakan, “menulis bukan talenta, melainkan ketrampilan yang bisa dipelajari oleh siapa pun. “When one has no particular talent for anything, one takes a pen,” demikian ungkapannya yang termashyur . Kata-kata bijak itu mnyiratkan, menulis [a pen] bisa dimanfaatkan siapa saja untuk memperoleh penghidupan. Sekali lagi menulis bukan suatu talenta, namun buah usaha seorang-orang, dalam bentuk ketrampilan yang dapat dipelajari dan diasah.
Kecerdasan verbal dan linguistic yang acapkali dijuluki word smart ini, ternyata mengandung dua aspek, yakni aspek lisan dan aspek tulisan. Buku buah karya R. Masri Sareb putra ini, hanya mengupas yang terkait dengan aspek tulisan.
Bagaimana, agar orang mengenalnya dan dapat disentuh oleh ketrampilan ini, buku ini memaparkan tahapannya.
Pertama, dengan memahaminya,
Kedua, menerapkan pemhaman itu

Ketiga, berlatih secara terus menerus, dengan berlatih ketrampilan akan diperoleh, setelah saraf-saraf otak mengalami pembiasaan.
CERDAS MENJUAL WORD SMART
Buku ini “mengkompori” siapa saja, word smart dikatakan sebagai bisnis dan profesi masa depan! Dengan menguasainya, seorang –orang akan mudah mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Tumbuh kembangnya media, baik cetak maupun eletronika, mengundang siapa saja yang sudah kepalang basah di ranah kecerdasan ini.
Triple relasi kekuatan dipaparkan, bahwa tiga pilar yang saat ini bersanding dengan mesra perlu ditekuni, pilar-pilar itu adalah, berpikir [thinking], …menulis [writing],…dan bisnis [business]. Segera sinergikan.
RANAH YANG MENGUDANG ANDA, MENJADI KAYA
Terdapat 101 undangan untuk seorang-orang yang memiliki ketrampilan menulis, yakni untuk dijadikan orang yang kaya raya.
PERHATIAN!
Warung dengan terpaksa tidak akan menuliskan, ranah kerja itu secara lengkap, karena kalau ditulis sangat panjang, dapat mencundangi penulis dan penerbitnya. Juga warung takut kalau tiba-tiba data statistic orang kaya di Indonesia berubah secara mendadak.
Ranah kerja yang dimaksud adalah:

  1. Adminstrator Web
  2. Buat artikel
  3. Bahan ceramah, karena hampir banyak Bupati, dan Walikota yang belum fasih dalam ceramah
  4. Buat biografi, pasti laris, sekarng musim PILKADA mungkin orang pingin cepat terkenal dan ikut pemilihan.
  5. Bookmark, membuat tulisan yang singkat, tapi mampu menggugah
  6. Bikin brosur
  7. Buku ajar
  8. Compony Profile
  9. Directory Apa dan Siapa

Ya…masih banyak lagi, kulau menurut buku ini jumlahnya 101 ranah kerja, artinya yang belum ditulis masih 92 ranah kerja.
Detil buku:
JUDUL: Berni Nulis, Berani Kaya: 101 Writing Businesses You Can Start From Home
PENULIS. R.Masri Sareb Putra
PENERBIT: Brilliant an imprint of mic publishing. Landmark Modern Shop House A-17. Jl. Indragiri 12-18 Surabaya. Hotline ; 031-71928000
ISBN: 978-979-17412-0-0
CETAKAN: Januari 2008
HALAMAN : xvi + 112 hlm; 14,8 x 21 cm.

[Wusana kata: R. Masri Sareb Putra, penulis produktif dalam warung ini beberapa waktu yang lalu telah memposting bukunya, dengan judul “How to Write Your Own Text Book”. Agitasinya tidak dapat diragukan. Jika Andre Wongso yang dikenal dengan motivator ulung Indonesia, barangkali Sareb lebih cocok diposisikan sebagai Agitator Ulung dalam tulisan. Untuk sekian kalinya seorang-orang dimotivasi, digerakkan keinginannya, digetarkan tekadnya. Setiap saat memacu dan memicu, dijelaskan secara tuntas bahwa kecerdasan menulis itu [word smart] bukan talenta. Dengan rela menunjukkan teori-teori orang besar, seperti Howard Gardner, Daniel Goleman, hingga Paul Stoltz. Ini semuanya bukan nafsu liar seorang R.Masri Sareb Putra, tapi niatannya yang luhur agar Orang Indonesia mampu, mau, mutu, dan maju untuk bangkit dari lisan menuju tulisan. Terima kasih Bung Masri Sareb. Tuhan menyertai Anda, dan kapan-kapan ngobrol lagi di warung ini]

Djoko Adi walujo [Pemerhati Buku]

Sabtu, 14 Maret 2009

Pancasila sebagai Causa Finalis

Oleh R. Masri Sareb Putra


Segala sesuatu, menurut ahli pikir Aristoteles, dapat dijelaskan dari empat macam sebab, atau causa.

Pertama, causa materialis yakni sebab yang menjadi bahan sebuah substansi. Kedua, causa formalis yakni sebab yang menjadi bentuknya. Ketiga, causa efficienns yakni sebab yang menghasilkannya. Dan keempat, causa finalis yakni sebab yang menjadi tujuannya.

Akan halnya Pancasila, apatah yang jadi tujuan (causa finalis-)-nya?

Setiap kali memperingati kelahirannya, kita diajak kembali menggali dan merekonstruksi Pancasila yang dicetuskan Soekarno pada 1 Juni 1945 yang kemudian diterima founding fathers sebagai dasar bagi Indonesia merdeka.

Lama sebelum sidang PPKI dan BPUPKI yang berlangsung dari 29 Mei-19 Agustus 1945, Bung Karno telah merenung secara mendalam, apa yang nanti diajukannya di depan Dokuritu Zyunbi Tyoosakai menjadi philosofische grondslag bagi negara baru bekas koloni Hindia Belanda yang akan merdeka.

Menurut Bung Karno, Indonesia merdeka bukan tujuan, hanyalah jembatan emas untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, kemerdekaan itu sendiri adalah syarat mutlak untuk mencapai tujuan. Seperti ditegaskannya pada pidato kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, “Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama "Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun "33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas.”

Jembatan emas akhirnya memang terbangun pada 17 Agustus 1945. Tentu, bukan karena jasa Soekarno semata, namun atas perjuangan bersama serta bahu-membahu pemimpin bangsa dan rakyat tanpa menyerah. Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah Jepang atau Belanda, tapi perjuangan bangsa Indonesia seluruhnya. Masalahnya, wilayah dan bangsa yang mendiami wilayah itu tidak punya satu kesamaan sebagai perekat yang kuat.
Wilayah dan bangsa Indonesia yang merdeka memiliki karakteristik yang unik.

Berbeda dengan negara lain yang sudah lebih dulu merdeka, seperti Inggris, Perancis, Jerman Italia, dan Yunani yang ketika merdeka membentuk negara-bangsa atas dasar kesamaan bahasa. Singapura, Sri Lanka, Australia, dan India yang menjadi negara-bangsa atas dasar kesamaan daratan. Cina, Jepang, dan Korea yang menjadi negara-bangsa karena kesamaan ras. Dan negara-negara Timur Tengah yang ketika merdeka menjadi negara-bangsa atas dasar kesamaan agama.

Ketika akan merdeka, adakah kesamaan di antara penduduk yang mendiami bekas koloni Hindia Belanda, sehingga atas dasar kesamaan itu, dibentuk dasar negara-bangsa Indonesia? Dari sisi bahasa, sama sekali tidak ada kesamaan. Meski para pemuda yang bersumpah pada 28 Oktober 1928 dan memaklumkan, “Kami poetra dan poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Indonesia”, sejatinya bahasa persatuan yang dimaksudkan adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu memang dipakai sebagai linqua franca waktu itu, namun tidak oleh seluruh suku bangsa yang jumlahnya puluhan ribu itu.

Demikian pun dari sisi geografis, terutama daratan. Bekas wilayah koloni Belanda terdiri atas 7.504 pulau (kini berkurang dua karena telah lepas). Wilayah daratan yang sama, tidak bisa menjadi dasar pemersatu negara-bangsa Indonesia.

Ditilik dari segi ras, wilayah koloni Hindia Belanda terdiri atas ribuan ras, meski yang mayoritas adalah ras Jawa, Sunda, Madura, Batak, Bugis, Minangkabau, Dayak, Flores, Manado, dan sebagainya. Karena itu, kesamaan ras tidak bisa menjadi dasar Indonesia merdeka.
Apalagi kalau yang menjadi dasar Indonesia merdeka adalah kesamaan agama. De facto agama-agama samawi berasal dari negeri asing dan disebarkan ke Nusantara oleh para pedagang. Agama Hindu dan Budha, misalnya, sudah dipeluk penduduk pada zaman kerajaan. Baru kemudian penduduk Nusantara mengenal Islam, Kristen, Katolik dari para pedagang yang sambil berdagang juga turut menyebarkan agama.

Lalu, apa dasar bagi Indonesia yang akan merdeka jika kita tidak mempunyai kesamaan sama sekali? Fakta historis mencatat, negara-bangsa Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Pada bagian pembukaan UUD 45, termaktub Pancasila sebagai dasar negara. Inilah yang dalam filsafat, dengan memakai teori causa Aristoteles, disebut sebagai causa formalis Pancasila. Artinya, format atau bentuk Pancasila yang final, tidak berubah lagi, bentuk yang sah dan tetap diakui bersama sebagai yang sudah selesai.

Dengan demikian, bentuk Pancasila yang sebelumnya ada dalam pidato, teks-teks seperti Piagam Jakarta, serta bentuk lain selain dalam Pembukaan UUD 1945, adalah bentuk Pancasila yang belum-final. Bentuk yang, ketika itu, masih dalam "proses menjadi" karena masih menunggu untuk disempurnakan dan diakui sebagai final.

Dalam konteks itu, kita mengerti mengapa setelah empat kali amandemen, Pembukaan UUD 45 tidak pernah berubah. Sebab, mengubahnya sama saja dengan menghancurkan pondasi bangunan. Mengubah atau mengamandemen Pembukaan UUD 45 adalah menghancurkan negara kesatuan RI, serta menggantinya dengan dasar yang baru.

Implikasinya, jika mengubah Pembukaan UUD 45 berarti sebagai negara-bangsa kita mengingkari perjuangan para founding father dan menafikan pengorbanan jiwa raga segenap rakyat yang telah berkorban membangun negara ini atas dasar Pancasila. Pancasilalah yang mempersatukan kita sebagai negara-bangsa yang pluralis. Tidak ada kesamaan lain, selain kesamaan seluruh komponen bangsa akan Pancasila. Tidak mengherankan, jika presiden SBY ketika menyampaikan pidato kenegaraan pada sidang paripurna DPR 16 Agustus 2007 mengatakan, Pancasila sebagai ideologi nasional dan dasar negara Republik Indonesia sudah final.” Presiden lalu mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menghidupkan, mengamalkan, dan memegang teguh Pancasila sebagai dasar negara.

Meski menyatakan final dan tidak dapat diganggu gugat, SBY pun menolak untuk mensakralisasikan Pancasila, sebagaimana terjadi pada masa Orba. "Memang, kita tidak ingin Pancasila dan UUD 1945 disakralkan karena tidak perlu disakralkan. Namun, pemikiran untuk mengganti Pancasila dengan idelogi dan dasar negara lain atau pun mengubah Pembukaan UUD 1945 yang merupakah ruh dan jiwa konstitusi kita, tentulah tidak akan kita berikan tempat dalam kehidupan bernegara," tegas Presiden Yudhoyono.

Coba menghindari sakralitas Pancasila oleh Orba, karena ternyata di balik itu semua Pancasila dijadikan alat bagi penguasa untuk menekan dan membungkam, pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR RI No XVIII/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Namun, Pembukaan UUD 1945 juga tetap dipertahankan karena memuat cita-cita, tujuan nasional, dan dasar negara. Selain itu, bentuk negara kesatuan RI juga sudah final dan tidak dapat diganggu gugat. Keutuhan dan kedaulatan NKRI tidak dapat dikompromikan, sebagaimana jelas-tegas tertulis dalam motto di pos-pos TNI bahwa NKRI adalah harga mati.

Manusia hidup ada tujuannya, kembali ke asal mula kehidupan dan Sang Khalik Sang Pemilik hidup itu sendiri. Manusia bekerja juga punya tujuan, agar terus bertahan hidup. Demikian pula Pancasila ketika ditetapkan oleh Sidang BPUPKI juga punya tujuan: sebagai dasar negara kesatuan RI.

Dalam semangat keluarga-bangsa inilah kita memahami, mengapa wilayah/daerah yang coba memisahkan diri dari NKRI menjadi duri dalam daging, menjadi beban dan persoalan kita bersama. Rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai negara-bangsa tercabik-cabik, manakala kita lupa bahwa kita adalah bangsa yang satu dalam kebhinekaan. Yang disatukan bukan atas dasar kesamaan agama, ras, daratan, dan bahasa. Namun, yang mempersatukan dan mengikat kita ialah Pancasila yang seharusnya makin kita hayati dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari dari mula-mula tindakan menjadi kebiasaan (habit).

Maka penulis kurang sepaham dengan pendapat yang mengatakan, dasar negara kita (Pancasila) lebih sebagai buah dari politis-kompromis para founding fathers. Pancasila bukan pula sekadar sumber hukum dan ideologi bangsa. Lebih dari itu, Pancasila sarat dengan muatan filsafat yang nilainya tiada tara. Sama kandungan bobotnya dengan dasar negara adidaya seperti Amerika (e pluribus unum).

Menyadari posisi strategis dan kandungan ilmunya sebagai sebuah disiplin, Pancasila oleh negara dijadikan materi pelajaran dan mata kuliah. Khusus di perguruan tinggi, Pemerintah (negara) menetapkan Pancasila sebagai disiplin yang wajib diajarkan dan terutama dikembangkan secara nalar di akademi melalui Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2003 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian.

Sebagai filsafat, Pancasila ialah disiplin ilmu yang memberikan jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana seseorang harus hidup (etika), seperti apa ciri esensial manusia (metafisik), berapa banyak pengetahuan tentang Pancasila (epistemologi), dan apa prinsip-prinsip yang tepat dari argumen atas Pancasila (logika). Selain itu, Pancasila harus mengandung sisi pragmatis, dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pancasila kokoh ditinjau dari sisi mana pun. Pengalaman historis pun membuktikan, ia tegar diterpa guncangan seberat apa pun. Pancasila sudah lolos verifikasi! Mengganti dan menggugur Pancasila, sama juga dengan membubarkan negara NKRI. Mengapa? Karena dasarnya sendiri sudah tidak ada, kalau bukan-Pancasila.

Sebagai pondasi negara Indonesia dan sebagai pedoman berbangsa dan berkehidupan sosial, Pancasila belum ada tandingannya. Pancasila mengakomodasi semua pihak dan golongan, bebas dari primordialisme.

Kita tinggal menggali kembali dan mencari aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang dicetuskan Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang kita bersama terima sebagai philosofische grondslag.

Penulis adalah Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dan dosen Filsafat Pancasila, Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.
***
Catatan:
Dimuat harian sore Wawasan, 31 Mei 2008. Bukan tanpa maksud saya memuat tulisan ini menjadi yang pertama dalam blog, karena saya cinta Indonesia yang dasar negaranya Pancasila.