Sabtu, 30 April 2011

Industri Film di Inggris dan di Indonesia

Masalah yang dihadapi oleh industri film di Inggris sesungguhnya kompleks, tidak dapat hanya dilihat dari salah satu aspek saja, yakni terjadinya persaingan film-film lokal (Inggris) vis a vis film produksi Hollywood. Akan tetapi, fenomena tersebut haruslah dilihat dalam kerangka besar globalisasi dan bagaimana perkembangan media memengaruhi kultur suatu masyarakat.

Baik kiranya terlebih dahulu dimengerti apa yang dimaksudkan dengan “kebudayaan”. Menurut E.B. Tylor (1871) kultur ialah, “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs, and many other capabilities and habits acquired by...[members] of society."

Dalam kerangka kultur inilah dapat dijelaskan bagaimana film produksi Hollywood sebagai media merasuk masyarakat Inggris. Hubungan antara kultur-media dan sebaliknya inilah sebenarnya inti permasalahan yang dihadapi industri film di Inggris berhadapan dengan film produksi Hollywood.

Untuk menjelaskan masalah yang dihadapi oleh industri film di Inggris dapat menggunakan teori McLuhan. Dalam Understanding Media: The Extension of Man (1964) McLuhan menyebutkan bahwa media memengaruhi masyarakat (the medium is a message). Pemikiran yang paling penting dari McLuhan ialah apa yang disebutnya sebagai “the global village”, yakni sebuah dunia yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Ini merupakan perkembangan dari “kampung kecil”, sebuah masyarakat tradisional yang guyub, apa pun yang terjadi semua warga tahu.

Dalam “global village”, masyarakat dunia tidak lagi tersekat oleh batas negara-bangsa, teknologi komunikasi memungkinkan orang berkomunikasi dan berinteraksi kapan pun dan di mana pun.

McLuhan juga sudah membayangkan bahwa World Wide Web (WWW) memungkinkan warga dunia menjadi satu dalam jaringan Internet yang disebutnya sebagai "electronic interdependence", yakni suatu era di mana media elektronik menggantikan visual culture dan oral culture. Dalam era globalisasi (digitalisasi) tersebut, manusia akan bergerak dari individualisme dan fragmentasi ke identitas kolektif berdasarkan satu kesamaan tertentu dan organisasi seperti itulah yang disebut sebagai “global village”.

Dalam kerangka “global village”, masalah industri film di Inggris berhadapan dengan serbuan film-film produksi Hollywood dapat dijelaskan dalam lima poin yang berikut ini.

Pertama, Inggris adalah negara yang membuka diri atas masuknya produksi luar negeri. Menunut Gamble (1988). Inggris membuka diri terutama sejak Perdana Menteri Margareth Thatcher yang dikenal sebagai neoliberalisme membuka diri terhadap dunia luar. Dengan terbukanya kran atas impor film luar negeri, utamanya film produksi Hollywood, Inggris tidak lagi sebuah kampung kecil yang hanya mengonsumsi produksi film dalam negeri, tetapi juga mengonsumsi film-film impor.

Kedua, struktur masyarakat Inggris yang mengedepankan prinsip kebebasan individu, persamaan hak, dan demokratisasi memungkinkan masuknya film asing. Tidak ada fatwa dari pemerintah dan lembaga agama di Inggris yang melarang atau mengharamkan film tertentu masuk ke Inggris, seperti yang terjadi di Indonesia di mana Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang melarang atau mengharamkan film tertentu . Pemerintah dan masyarakat Inggris lebih terbuka dan menyerahkan sepenuhnya seleksi atas film impor dari segi kualitas dan mekanisme pasar. Film yang bermutu pasti diterima pasar, sedangkan yang tidak bermutu dan tidak mengikuti selera pasar, akan hilang dari peredaran sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran .

Ketiga, teknologi yang digunakan dalam memproduksi film impor produksi Hollywood demikian canggih, sehingga menarik bagi masyarakat Inggris. Hampir semua film produksi Hollywood menggunakan teknologi tiga dimensi (3-D) yang secara faktual menaikkan omset penjualan film tersebut. Di Inggris, harga tiket menonton film 3-D lebih mahal 40% dibandingkan film dengan teknologi “biasa”.

Keempat, pada umumnya cerita film Hollywood digarap dengan serius, memerhatikan pasar yang terdidik dan semakin terbuka. Dengan kata lain, film produksi Hollywood umumnya film yang mengajak berpikir kritis, membongkar mitos, cerita tidak muda ditebak; sementara di sisi lain tidak lupa menyuguhkan hiburan (entertainment). Ini sesuai dengan nature manusia, bahwa hidup ini adalah sebuah drama dan setiap orang adalah pemainnya. Orang yang menonton film produksi Hollywood seperti ini merasa seperti mengalami sendiri dan ia mendapatkan “sesuatu” (manfaat) usai menonton film tersebut.

Kelima, durasi film Hollywood umumnya tidak lebih dari 2,5 jam (150 menit). Durasi ini sangat memerhatikan nature manusia zaman sekarang, terutama di Inggris, yang masyarakatnya serba sibuk, multitasking, yang di sekitarnya (selain film) masih ditawarkan berbagai hiburan lain lagi yang dengan sangat mudah dapat diakses. Dengan kata lain, banyaknya tawaran hiburan selain film sangat memungkinkan orang berpindah mengonsumsi media, apabila film tersebut tidak benar-benar menarik dan dianggap bernilai.

Apakah situasi yang dialami industri film di Inggris mirip dengan yang dihadapi dunia perfilman nasional kita? Situasi yang dialami industri film di Inggris mirip dengan yang dihadapi dunia perfilman nasional kita. Struktur masyarakat kita, khususnya di kota-koita besar, tidak lagi seperti di kampung kecil yang belum dijamah oleh jaringan Internet. Bahkan, kampung-kampung di wilayah RI sudah masuk jaringan Internet (misalnya di Pacitan) yang memungkinkan orang mengakses film-film produksi luar, terutama Hollywood.

Hanya ada beberapa perbedaan antara Inggris dan Indonesia. Di Indonesia, ada lembaga keagamaan (MUI) yang melarang film tertentu beredar. Masyarakat Indonesia belum secerdas masyakarat Inggris, hal ini terbukti dari selera kedua masyarakat yang berbeda.

Masyarakat Indonesia masih menyukai film magis dan opera sabun, tidak mengerahkan kemampuan dan daya cipta untuk berpikir, ceritanya sederhana, lebih banyak unsur hiburan dibandingkan edukasinya. Ada upaya untuk menyetop film impor, utamanya produksi Hollywood terkait masalah pajak. Namun, di era global village, semuanya menjadi mungkin. Jika secara legak film Hollywood dilarang diimpor maka akan ada upaya lain, misalnya mendapatkannya secara illegal atau bahkan diakses melalui jaringan Internet.

Menurut saya, industri film nasional mampu bangkit untuk “menjadi tuan rumah di negeri sendiri” melawan dominasi Hollywood dengan beberapa catatan berikut ini.

Pertama, film produksi dalam negeri memerhatikan kondisi umumnya siapa konsumennya. Kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas, perlu ditentukan targetnya.

Film “Laskar Pelangi” misalnya, adalah film yang cukup fenomenal, ditonton oleh lebih dari 1 juta orang. Cerita film ini mengandung nilai universal, sehingga pasarnya juga luas. Berbeda dengan film “Ketika Cinta Bertasbih” yang sarat dengan warna agama tertentu, dan dengan sendirinya membatasi pasar, orang dari agama lain kurang berminat untuk menontonnya.

Kedua, film produksi dalam negeri hendaknya berani mengambil tema yang tidak biasa, namun sangat dibutuhkan, seperti “Tanda Tanya”, meski mendapat kecaman.

Ketiga, teknologi film kita hendaknya mengikuti perkembangan. Film dengan teknologi 3-D akan dapat bersaing dengan film produksi Hollywood.

Jika ketiga hal di atas diperhatikan, niscaya film produksi dalam negeri dapat bersaing dengan film produksi Hollywood.
***

Madonna dan Monica

Madonna menjadi seorang trend setter global dan salah satu icon budaya pop (pop culture) tidaklah secara tiba-tiba, melainkan by design. Apa faktor-faktor yang membuat Madonna berhasil?

Pertama, faktor produser (musik) Madonna,
yakni Nile Rodgers production yang kreatif menangkap peluang dan berhasil membangun kerja sama dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan disco star Peter Brown untuk menata gaya Madonna.

Sang produser sangat paham warna dan jenis lagu yang cocok dibawakan Madonna. Tinggi rendahnya nada lagu disesuaikan dengan pita suara Madonna,
misalnya Madonna tidak akan menyanyikan lagu yang terlalu tinggi melengking atau terlampau rendah melemah.

Irama musik juga disesuaikan dengan lagu Madonna. Hampir tidak pernah Madonna menyanyikan lagu diiringi musik yang slow, akan tetapi selalu musik yang cepat, riang gembira, menghenak, dan riuh rendah. Hal ini nyata dalam "Borderline", album yang dirilis pada 1984, menyusul "Lucky Star", "Like a Virgin", "Material Girl" hingga "True Blue" (1986).

Kedua
, tim kreatif Madonna yang menata gaya (diskografi). Produser bekerja sama dengan penata gerak.

Ketiga, tim kreatif Madonna yang menata buasana. Tim kreatif inilah yang merancang mode pakaian untuk Madonna tampil, memikirkan penataan rambutnya, gerak gerik dan gayanya berlaga di panggung, hingga merancang aksesori apa yang digunakan Madonna termasuk aksesori itu cocok dipasang di mana? Madonna didesain menjadi penyanyi pop yang bukan saja enak didengar suaranya, melainkan juga menarik secara sensual.

Oleh tim kreatif, Madonna didesain menjadi sexy singer sebagaimana tampak dari busana yang dikenakannya ketika tampil.

Keempat, tim kreatif Madonna yang merancang dan memasang aksesori. Aksesori yang dikenakan Madonna sering unik, bahkan kerap dipasang pada bagian tubuh yang paling sensitif. Pernah Madonna mengenakan aksesori salib dan dipasang di bawah pusar. Ini menimbulkan heboh, sekaligus menuai kontroversi.

Kelima, tim kreatif Madonna yang menata panggung dan lampu. Penataan panggung dan lampu yang baik akan membuat efek tertentu pada penampilan sang artis.

Keenam, promosi dan marketing Madonna yang merancang promosi dan bagaimana memasarkan Madonna.

Akan tetapi, apa pun yang dilakukan orang-orang di balik Madonna akan menjadi sia-sia apabila Madonna sendiri tidak memunyai “sesuatu”, yakni kemampuan yang menunjang ketenarannya. Harus dikatakan bahwa lagu-lagu hits dan suksesnya Madonna ditunjang oleh warna suaranya yang merdu dan khas serta kebolehannya juga.
***
Di Indonesia, artis yang dapat meniru pola Madonna dapat dihitung dengan jari. Agnes Monica dan Inul Daratista adalah dua nama yang layak disebut. Kita dapat menyaksikan, setiap kali Agnes Monica tampil di panggung, khalayak seperti tersihir. Lagu-lagu Agmon (nama pop Agnes Monica) seperti “Matahariku”, “Karena Kusanggup”, dan yang cukup fenomenal adalah “Paralyzed” yang direkam di studio Michael Jackson dan menjadi salah top hits di Indonesia.

Fenomena Agnes Monica di Indonesia belum dapat disejajarkan dengan Madonna, meski untuk beberapa hal Agmon juga menjadi idola anak-anak muda. Banyak orang meniru mode rambut Agmon, menyanyikan lagu yang dibawakannya, meniru mode busana yang dikenakannya (celana pendek dan kaos T-Shirt dada terbelah), serta menggunakan kawat gigi.

Sementara fenomena “goyang ngebor” Inul Daratista memang sempat terjadi cukup lama dan hampir semua warga Indonesia tahu dan kenal Inul, bahkan demam goyang ngebor tersebut. Namun, fenomena itu tidak cukup lama bertahan. Penyebabnya, tim kreatif kita belum sehebat tim kreatif Madonna yang selain piawai memunculkan sang bintang ke permukaan, juga pandai me-maintenance ketenaran tersebut untuk jangka waktu yang lama.

Sabtu, 23 April 2011

World Future Society

Pendahuluan
Meramalkan bagaimanakah masa depan, seperti dikemukakan Marc van der Erve (2006: 17) penuh dengan spekulasi. Akan tetapi, ramalan tersebut dapat saja dilakukan dengan mendasarkannya pada kondisi saat ini dan perspektif masa lampau, lalu memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Inilah salah satu tujuan ilmu, yakni dapat mempredikasi masa depan (Popper, 1995). Dengan catatan, bahwa ada asumsi-asumsi tertentu yang tidak berubah atau tetap.

Topik pembahasan artikel ini ialah melihat bagaimana masyarakat dunia masa depan berkomunikasi dan berinteraksi dalam kaitannya dengan teknologi komunikasi.

Pembahasan
Premis dasar McLuhan cocok digunakan untuk menjelaskan bagaimana teknologi dari media baik dahulu, sekarang, dan masa datang adalah “technologies are extensions of human capacities. Tools and implements are extensions of manual skills; the computer is an extension of the brain (Murphie dan Potts, 2003: 13).

Mengembangkan lebih lanjut apa yang dipikirkan McLuhan, dunia sekarang –dan juga dunia masa depan—dilihat sebagai sebuah kampung besar (big village). Dengan “big village” dimaksudkan sebuah kosmos yang satu, tidak berbatas, tempat manusia berkomunikasi dan berinteraksi yang tidak dibatasi lagi oleh ruang dan waktu. Teknologi komunikasi telah memangkas atau meniadakan kendala ruang dan waktu itu, salah satu teknologi komunikasi yang saat ini dipikirkan dapat menjadi soluisi mengatasi komunikasi dan interaksi menembus ruang dan waktu ialah hologram.

Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa di dalam memprediksi masa depan, perlu mendasarkan prediksi tersebut dalam kaitannya dengan masa lampau dan masa kini. Masa sekarang adalah era digital di mana dunia sudah borderless, apa yang terjadi di belahan dunia mana pun dengan cepat dan mudah diakses tanpa mengalami hambatan dalam hal waktu dan tempat.

Teknologi komunikasi dalam hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan McLuhan sebagai ekstensi dari kemampuan manusia. Sebagai contoh, kita tidak bisa ke Mesir disebabkan oleh halangan waktu dan tempat, namun kita bisa saja berkomunikasi dan berinteraksi dengan warga Mesir untuk mengetahui perkembangan terkini negeri tersebut. Sebaliknya, warga Mesir yang ingin berkomunikasi dan berinteraksi dengan warga Indonesia mengenai perkembangan situasi terkini Indonesia (ancaman bom) dapat dengan mudah memperoleh informasi tersebut melalui teknologi media, dalam hal ini media digital.

Inilah yang dimaksudkan dengan dunia yang “big village”, yakni peristiwa atau informasi apa pun dengan mudah dapat diakses dan disebarluaskan layaknya zaman dahulu kala di sebuah kampung.

Pada zaman dahulu, dan kini masih terjadi di tempat tertentu, sebuah kampung demikian transparan. Artinya, apa pun yang terjadi di kampung tersebut, semua orang tahu. Sebuah kampung dalam masyarakat tradisional bergitu terbuka. Metafora ini digunakan untuk menggambarkan bahwa di era digital oleh kemajuan teknologi, terutama teknologi media, dunia yang luas ini dipersempit oleh teknologi.

Dunia yang besar ini menjadi sempit oleh teknologi. Teknologi sudah menjadi ekstensi manusia, sehingga dunia yang luas ini menjadi kampung besar.
Apa yang berubah dari kampung kecil ke kampung besar?

Pertama, yang jelas berubah ialah dari pola komunikasi. Jika dahulu di kampung kecil orang berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung (face to face), di kampung besar orang berinteraksi dan berkomunikasi melalui media (digital). Jarak dan waktu jika berkomunikasi di kampung kecil menjadi kendala, tetapi di kampung besar tidak menjadi masalah.

Kedua, perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan kapan pun dan di mana pun orang untuk berkomunikasi. Waktu dan tempat sudah bukan lagi kendala seperti terjadi di zaman komunikasi kampung kecil (tradisional), yakni tatap muka.

Ketiga,yang berubah ialah (kultur) masyarakat. Hal ini dengan jelas sudah dinyatakan McLuhan dalam pernyataannya bahwa “media menentukan (budaya) masyarakat. Dengan terminologi “big village”, McLuhan melihat bahwa masyarakat dunia di masa datang oleh karena “role of the electronic media” secara sosial, politik, dan sistem budaya menjadi satu (Baran dan Davis, 2009). Media elektronika, yang berbasis digital, telah menyatukan masyarakat-bangsa dunia ini.

Dengan demikian, teknologi mengubah budaya masyarakat yang dahulunya hanya berinteraksi dan berkomunikasi dengan warga kampung (kecil) dan memungkinkannya berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapa pun di dunia ini tanpa dibatasi lagi oleh ruang dan waktu.

Berdasarkan teknologi, komunikasi, dan masyarakat saat ini dapat diprediksi seperti apakah ujud “world future society”. Sebuah film furistik sudah membayangkan bagaimana teknologi, pola komunikasi, dan masyarakat dunia masa depan. Dalam film ini dikisahkan bahwa teknologi hologram memungkinkan orang berkomunikasi di sini dan pada saat ini juga (hic et nunc) tanpa dibatasi lagi oleh waktu dan tempat. Teknologi hologram memungkinkan manusia masa depan untuk “hadir” secara maya di mana pun dan kapan pun.

Film tersebut melukiskan bagaimana sebuah keluarga masa depan dapat tetap berkomunikasi walaupun dibatasi oleh waktu dan tempat. Sang nenek dapat tetap mengikuti upacara pernikahan cucunya di Paris, meski saat itu ia tinggal di Jepang. Sang ayah tetap dapat berkomunikasi dengan anggota keluarganya, meski sibuk menjalankan bisnis. Bahkan, sang ayah dapat sambil bermain golf dengan rekan bisnisnya, padahal ia sedang dalam perjalanan. Kapan dan di mana pun, dengan teknologi hologram, siapa pun dapat saling berkomunikasi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Masyarakat di masa datang adalah masyarakat maya yang diubah oleh teknologi baik dari cara berkomunikasi sampai pada budaya, politik, dan sistem ekonominya. Pada film terlihat bahwa cara berbelanja pun sudah mengalami perubahan. Alat dapat mendeteksi apakah kulkas di rumah masih ada isi atau sudah kosong, lalu berdasarkan informasi itu, pesanan akan dibuat, dan dalam sekejap pesanan sudah tiba di rumah.

Film furutistik itu membawa kita kepada uhtuk mengamini kebenaran kata-kata McLuhan bahwa teknologi adalah ekstensi dari manusia. Manusia yang terbatas, oleh akal budinya, dimungkinkan melakukan sesuatu yang jauh lebih dahsyat sebagai perpanjangan dirinya. Sebagai contoh, manusia tidak dapat hadir dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Namun, teknologi hologram memungkinkannya untuk hadir dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Inilah gambaran masyarakat masa datang.

Mungkinkah teknologi komunikasi hologram menjadi kenyataan? Saat ini, ilmuwan di Universitas Tokyo telah mengembangkan sebuah projector hologram yang mampu merender secara nyata objek 3 dimensi.

Takayuki Hoshi, salah satu peneliti, menerangkan bahwa tampilan hologram yang mengambang di udara yang ditampilkan pada film-film fiksi beberapa dekade belakangan, bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Baru-baru ini hal tersebut menarik banyak perhatian sebagai teknologi yang menjanjikan di bidang dunia digitalisasi dan pertelevisian. Banyak tipe tampilan hologram yang dikembangkan sekarang ini, suatu saat akan menjadi kenyataan.

Simpulan
Masa depan adalah sesuatu yang tidak mudah untuk diprediksi. Akan tetapi, masa depan dapat diprediksi berdasarkan pengalaman masa lampau dan situasi saat ini, tentu saja dengan asumsi tertentu bahwa ada faktor-faktor tetap yang tidak berubah.

Terkait dengan masa depan masyarakat dunia dalam konteks teknologi media, maka masyarakat dunia masa depan ialah masyarakat yang semakin tidak dibatasi oleh waktu dan tempat dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Jika saat ini media digital memungkinkan mereka berkomunikasi dan berinteraksi di dunia maya, maka di masa datang teknologi hologram akan menggantikan teknologi digital.

Apa pun perkembangan teknologi, sesuai teori McLuhan, bahwa teknologi adalah ekstensi manusia, termasuk hologram.

Daftar Pustaka
Baran, Stanley J dan Dennis K. Davis. (2009). Communication Theory. Boston: Wadsworth.
Erve, Marc van der. (2006). The Future of Society: Explaining the Past, Present and Future of Our World. Evolution Management & Media.
Murphie, Andrew dan John Potts. (2003). Culture & Technology. New York: Palgrave MacMillan.
Popper, Karl Raimund. (1995). The Open Society and Its Enemies. New York: Routledge.

The Spirit of Innovation

Pengantar
Seorang pembaca, usai pembaca tulisan di blog ini ihwal inovasi, menanyakan: adakah kriteria dan rumusan untuk menghitung tingkat inovasi? Memang ada. Tulisan sebelumnya hanya kulit luar. Berikut ini selengkapnya, dipetik dari buku saya dan AB Susanto, 60 Management Gems (Gramedia Pustaka Utama, 2010)
***

Bagi Anda yang akan bepergian ke Amerika, sempat-sempatkan berkunjung ke World Showcase pavilion. Lihatlah sebuah patung yang tegak berdiri di The American Adventure, Walt Disney World’s Epcot. Mungkin Anda bertanya, ke Amerika hanya melihat sebuah patung? Untuk apa? Tentu saja, untuk mendapatkan ide-ide dan menjala spirit inovasi.

Patung di The American Adventure bertuliskan “Spirit of innovation”. Menggambarkan seorang memperagakan hasil inovasinya di bidang teknik. Sungguh inspiratif. Meski sebenarnya spirit inovasi tidak hanya sebatas bidang teknik, namun juga merambah bidang-bidang lain.

Inovasi yang kita kenal, berasal dari kata Inggris “innovation”. Kata Inggris ini diderivasi dari kata Latin innovare yang berarti: membarui kembali dan novare yang berarti: membuat baru. Ketika membangun kembali sebuah rumah, kita mengatakannya sebagai renovasi. Re adalah kembali, sedangkan novasi berarti membangun.

Apakah inovasi sebatas membangun dan memperbarui? Ternyata pengertiannya luas. Inovasi dapat didefinisikan sebagai “memanfaatkan ide-ide baru untuk menciptakan produk, proses, dan layanan baru”.

Jadi, inovasi bukan sekadar penemuan (invention) gagasan baru yang penting, namun juga berarti “membawa ide-ide itu ke pasar”, dapat mempraktikkannya dan memanfaatkannya untuk mencipta produk baru, layanan baru, atau sistem yang memberikan nilai tambah atau untuk meningkatkan kualitas. Inovasi termasuk transformasi teknologi dan restrukturisasi manajemen. Inovasi juga berarti kemampuan untuk memanfaatkan teknologi dan menerapkan pemikiran out-of-the-box untuk memberikan nilai tambah dan membawa perubahan yang positif pada masyarakat.
Para pakar mengidentifikasi terdapat banyak tipe inovasi, seperti:
• inovasi produk yang mencakup produk baru atau layanan baru
• proses inovasi menyangkut produksi atau metode delivery
• inovasi supply chain di mana inovasi menstranformasikan sumber dari input produk dari pasar dan delivery dari output produk ke pelanggan
• inovasi marketing yang hasilnya dalam evolusi metode baru marketing dengan perangkat tambahan dalam desain produk, packaging, promosi dan harga, dan sebagainya.

MENGAPA INOVASI PENTING?

Mengapa inovasi penting? Studi-studi menunjukkan bahwa semua bisnis berubah. Perubahan itu haruslah disikapi dan disiasati dengan perubahan paradigma yang diawali dari inovasi. Survei menunjukkan bahwa hampir 90 persen pebisnis yakin bahwa inovasi menjadi prioritas utama mereka.

Kesimpulan yang didapat ialah bahwa inovasi semakin meningkat secara signifikan. Dalam skenario ekonomi hari ini, inovasi sudah menjadi faktor penting yang memengaruhi perencanaan stratejik. Sebagaimana diketahui bahwa inovasi membawa bisnis pada kreasi yang sehat. Meski efisiensi adalah faktor penting bagi kesuksesan bisnis, dalam jangka waktu lama, efisiensi tidak cukup kuat dalam menopang pertumbuhan bisnis. Oleh karena itu, diperlukan inovasi dalam segala aspek.

Inovasi kerap diukur dari sejauh manakah perencanaan, gagasan, objek, dan sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi membuat langkah-langkah baru yang revolusioner. Agar dapat disebut sebagai inovasi, suatu produk dan jasa perlu menunjukkan sesuatu yang baru dan berterima di pasar.

Pakar manajemen, Peter Drucker, mengatakan jika organisasi yang mapan sekalipun di abad ini tidak melakukan inovasi, maka akan musnah dan tinggal menjadi sebuah nama. Banyak organisasi mengadopsi ukuran-ukuran untuk memerkuat kemampuan mereka berinovasi. Termasuk perusahaan yang menciptakan sebuah sistem operasi baru, menjadikan inovasi sebagai indikator penting dari keberlangsungan dan pertumbuhan perusahaan.

Riset menunjukan bahwa kompetisi disertai dengan permintaan yang tinggi merupakan penggerak yang kuat untuk inovasi. Intensitas kompetisi adalah determinan dari inovasi dan produktivitas. Inovasi, di samping produk dan layanan, juga mencakup proses baru, sistem baru dari bisnis, dan metode baru manajemen. Kesemuanya itu berpengaruh secara signifikan pada pertumbuhan dan produktivitas.

Kita membutuhkan para inovator lebih banyak lagi dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Mengapa? Karena persaingan semakin ketat dan tajam. Sedemikian tajamnya, sehingga usaha apa pun kini makin mempersempit ruang gerak pelakunya karena “dikepung” oleh apa yang namanya persaingan usaha. Tidak pelak lagi, setiap organisasi dan bisnis merasakan dampak dari globalisasi, migrasi, revolusi dari ilmu pengetahuan dan teknologi, dan isu tentang perubahan iklim. Inovasi akan membawa nilai tambah dan akan memperluas basis lapangan pekerjaan. Inovasi merupakan keniscayaan, mengiringi kualitas hidup manusia yang semakin meningkat.

CIRI DAN MITOS INOVASI
Paul G.H. Engel menyebut setidaknya terdapat lima ciri inovasi yang disebutnya sebagai berikut.
• Continuity, and the use of new elements.
Disebut inovasi, manakala suatu organisi atau perusahaan sanggup mempertahankan kontinuitas. Dalam upaya mempertahankan keberlangsungan itu, suatu perusahaan atau organisasi dapat menerapkan elemen-elemen baru, seperti: meningkatkan produk dan layanan, menerapkan proses baru, merancang dan menerapkan sistem baru dari bisnis, dan mengimplementasikan metode baru manajemen.
• Intentionality, a wish to improve one’s way of doing things.
Benar-benar niat, harus punya keinginan untuk meningkatkan bagaimana cara menerapkan inovasi itu.
• Mental models that favor, limit or even impede.
Inovasi adalah soal model mental yang baik, batas norma-norma, atau seperangkat aturan yang menjadi pedoman untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
• Institutional arrangements that enhance, reduce or suffocate. Peraturan perusahaan yang meningkatkan, mengurangi, atau mencekik leher.
• An social/relational context that enables, weakens or inhibits. Konteks sosial/ konteks relasi yang memungkinkan, melemahkan, atau menghambat.

Adapun mitos mengenai inovasi yang perlu dikritisi ialah bahwa inovasi kerap dimengerti sebagai:

• Hanya inovator yang dapat melakukan inovasi. Anggapan ini keliru, sebab siapa pun dapat melakukan inovasi. Inovator pun, sebelum dapat berpikir dan melakukan inovasi, bukan inovator.
• Jika para petani tidak dapat mengadopsi apa yang kita anggap baik dan benar bagi mereka, maka mereka adalah pecundang, bukan inovator. Inovasi ialah perubahan paradigma, bukan semata-mata melakukan sesuatu yang baru. Orang kebanyakan, seperti petani, juga dapat melakukan inovasi.
• Masyarakat pinggiran tidak dapat belajar satu sama lain, mereka memerlukan orang luar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Kadangkala kita berpikir bahwa perubahan atau inovasi harus datang dari pihak luar. Tidak harus demikian. Inovasi dapat muncul dari dalam, asalkan disertai dengan perubahan paradigma, perubahan mental, dan menuju sesuatu yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
• Inovasi ialah ihwal mengenai menggantikan orang yang lebih senior dengan orang yang lebih junior (innovation should replace the old with the new). Pembaruan tidak selalu trjadi ketika orang yang lebih junior mengganti posisi orang yang lebih senior. Inovasi tidak datang dari sekadar mengganti orang, melainkan dating dari perubahan mental dan paradigma.
• Inovasi hanya menyangkut soal teknik dan ekonomi, bukan pada aras sosial dan budaya. Banyak orang terlanjur memahami bahwa inovasi sebatas perubahan dalam bidang teknik dan ekonomi saja. Padahal, inovasi luas. Inovasi juga dapat berlangsung dan terjadi dalam bidang sosial dan budaya.

KESEMPATAN UNTUK INOVASI

Peter Drucker, bapaknya ekonomi manajemen, menyebut bahwa inovasi termasuk usaha menemukan cara baru dan metode terbaik untuk melakukan sesuatu. Kebanyakan di antara kita yang hidup di masyarakat modern menikmati hasil-hasil inovasi yang dilakukan orang sebelum kita. Kemudahan dan kenyamanan yang kita nikmati, termasuk peningkatan standar dan kualitas hidup, merupakan buah inovasi orang-orang sebelum kita.

Oleh karena itu, dalam pandangan Drucker, entrepreneurship dan inovasi adalah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mengapa? Karena di satu sisi, entrepreneurship merupakan tindakan untuk mencari inovasi dan memetik keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam buku Innovative and Entrepreneurship Practice and Principles , Drucker menyebut terdapat tujuh sumber, atau tempat, untuk mencari dan mendapatkan kesempatan berinovasi.

Drucker menggarisbawahi terdapat berbagai sumber bagi kesempatan inovatif yang harus diperhatikan oleh mereka yang tertarik untuk mulai wirausaha. Ada sumber-sumber inovasi yang terdapat dalam dunia industri. Sementara ada pula yang berkaitan dengan lingkungan sosial. Apa saja sumber-sumber di mana kita dapat mulai suatu inovasi?

Pertama, the unexpected. Inovasi dapat dimulai pada suatu hasil yang tak terduga, kegagalan yang tak terduga, atau peristiwa di luar dugaan yang dapat menjadi awal dari sebuah peluang yang unik. Inovasi dapat dimulai berititk tolak dari kondisi ini.

Kedua, the incongruity. Perbedaan antara realitas dan apa yang orang asumsikan, atau antara apa adanya dan yang apa yang seharusnya; semua ini dapat menjadi kesempatan melakukan inovasi.

Ketiga, innovation based on process need. Manakala jaringan kerja lemah dan menjadi tidak komunikatif dan efektif, dan orang bekerja dalam struktur kerja dalam proses seperti itu, maka “the missing link” dapat menjadi kesempatan bagi seorang inovator melakukan pembaruan. Inovasi dapat mulai dari kebutuhan berproses.

Keempat, changes in industry or market structure. Kesempatan bagi inovasi produk, layanan, dan pendekatan bisnis tampak manakala terjadi pergeseran pasar. Seorang inovator jeli melihat celah ini dan akan melakukan inovasi. Perubahan industri dan struktur pasar ini harus pula diikuti pula dengan memerhatikan perubahan atau dinamika demografi (demographics). Perubahan yang terjadi pada aras penduduk, tingkatan usia, komposisi, tingkat pendidikan, dan income dapat menciptakan peluang untuk melakukan inovasi.

Kesempatan melakukan inovasi manakala dalam masyarakat terdapat asumsi umum tertentu, sikap dan perilaku tertentu, dan perubahan keyakinan. Inovasi dapat mengubah persepsi, mood, dan makna. Inovasi dapat dilakukan untuk mengubah persepsi, mood, dan makna. Produk baru dan pasar baru dapat datang dari dorongan atas berkembangnya bidang sains dan nonsains. Pengetahuan baru membuka peluang untuk melakukan inovasi.

Menurut Drucker, terdapat prinsip-prinsip dari inovasi yang perlu diperhatikan. Pertama, mulai dengan membuat analisis atas kesempatan yang tersedia (opportunity). Kedua, menganalisis kesempatan untuk mengetahui, apakah orang tertarik menerapkan inovasi itu atau tidak.Ketiga, agar efektif, inovasi haruslah sederhana dan dengan sangat jelas difokuskan pada kebutuhan yang sangat spesifik. Keempat, inovasi yang efektif mulai dengan sesuatu yang kecil. Dengan melakukan sesuatu yang kecil, kesempatan masuk pasar yang juga terbatas, suatu produk atau layanan juga tidak membutuhkan investasi besar.

Hanya sedikit pemain dan orang yang menjual produk dan layanan serupa. Akan tetapi, manakala pasar bertambah besar, maka pikirkanlah melakukan ekspansi usaha –dalam istilah saya, setelah start maka lakukan rolling. Anda masuk dalam persaingan. Di sanalah inovasi diuji keandalannya ketika upaya untuk tumbuh dan berkembang terus-menerus dilakukan. Dan yang kelima, Anda harus berpikir menjadi pemimpin pasar.

Manakala tidak ada inovasi yang mulai dari pembaruan kepemimpinan, maka mimpi itu tidak akan pernah jadi kenyataan. Kemepimpinan di sini berarti seorang pemimpin harus punya jiwa entrepreneurship yang –dalam istilah saya— disebut leadpreneurship.
Inovasi pada hakikatnya adalah perubahan proses pola pikir untuk melakukan sesuatu atau "barang baru yang dibuat berguna". Inovasi mengacu pada sesuatu yang radikal, perubahan revolusioner dalam hal pemikiran, produk, proses, atau organisasi. Seperti yang dikemukakan Schumpeter (1934), pakar yang banyak menulis mengenai inovasi, inovasi ditilik dari sisi hakikat, sebenarnya berbeda dengan invensi.

Inovasi ialah ide-ide diaplikasikan secara tepat guna dalam praktiknya. Dalam banyak bidang, seperti seni, ekonomi, dan kebijakan pemerintahan, segala sesuatu yang baru haruslah berbeda secara substantif untuk inovasi. Dalam bidang ekonomi misalnya, perubahan haruslah menaikkan nilai, customer value, atau nilai produsen. Tujuan dari inovasi terletak pada perubahan yang positif, membuat seseorang atau sesuatu menjadi semakin baik. Inovatsi membawa peningkatan produktivitas menjadi sumber penting dalam kemajuan di bidang ekonomi.

Adapun invensi ialah wujud segala sesuatu yang baru (the embodiment of something new). Invensi dan inovasi memiliki keunikan dalam implikasinya. Peningkatan dari wujud baru, komposisi, atau proses adalah sebuah invensi. Menurut literatur-litratur bisnis, suatu gagasan, suatu perubahan, atau suatu peningkatan, adalah inovasi manakala dapat diterapkan dan secara efektif dapat mendorong terjadinya reorganisasi sosial atau reorganisasi komersial.

Dalam dunia bisnis, inovasi dapat dengan mudah dibedakan dari invensi. Invensi adalah konversi secara langsung dari gagasan (invention is the conversion of cash into ideas).

Untuk menjelaskannya, angkatlah contoh yang berikut ini. Kita membandingkan Thomas Edison dengan Nikola Tesla. Thomas Edison adalah inovator. Mengapa? Karena Edison dapat menencetak uang dari gagasannya. Sedangkan Nikola Tesla adalah seorang inventor. Tesla menghabiskan uang untuk menciptakan penemuannya, akan tetapi sama sekali tidak mendapatkan uang dari hasil invensinya.

Dengan kata lain, inovator memproduksi, menghasilkan sesuatu, dan memetik keuntungan dari hasil inovasi mereka. Adapun inventor tidak memetik keuntungan sepeser pun dari karyanya. Malah, ia menghabiskan uang demi invesninya. Di situlah secara ekstrem letak perbedaan inovator dan inventor.

INOVASI DALAM ORGANISASI
Dari perspektif organisasi, definisi yang cukup komprehensif diberikan Luecke dan Katz (2003). Mereka menulis, "Innovation . . . is generally understood as the successful introduction of a new thing or method . . . Innovation is the embodiment, combination, or synthesis of knowledge in original, relevant, valued new products, processes, or services.

Sementara analisis isi dari terminologi "inovation" dilakukan Baregheh dan kawan-kawan (2009), terutama dalam konteks organisasi, sebagai berikut, "Innovation is the multi-stage process whereby organizations transform ideas into new/improved products, service or processes, in order to advance, compete and differentiate themselves successfully in their marketplace."

Apa pun yang dikatakan ihwal inovasi, satu kata kunci yang sama ialah bahwa inovasi selalu mulai dengan ide-ide kreatif (all innovation begins with creative ideas). Inovasi adalah hasil dari implementasi ide-ide kreatif dalam suatu perusahan dan atau organisasi.

Dalam perspektif ini, kreativitas seorang individu dan tim menjadi titik awal bagi inovasi. Ini diakui sebuah langkah penting, namun belum cukup. Sebagaimana halnya fungsi-fungsi bisnis, inovasi adalah juga proses manajemen yang menuntut disiplin, aturan, dan perangkat-perangkat pendukungnya.

Karena itu, inovasi lantas menyeruak menjadi kata yang sangat menarik dalam ilmu ekonomi. Adalah Joseph Schumpeter yang mendefinisikan inovasi yang hingga hari ini masih dipegang teguh. Dalam Theorie der Wirtschaftlichen Entwicklung, Schumpeter mendefinisikan inovasi sebagai:
1. Pengenalan terhadap suatu metode produksi.
2. Membuka pasar baru, pasar yang menyerap manufaktur di mana sebelumnya pasar belum ada, atau menembus pasar yang sebelumnya belum dimasuki.
3. Menjadi pemasok bahan di mana bahan yang sama sudah tersedia atau bahan itu baru sama sekali.
4. Membawa suatu organisasi kepada industri mana saja, menciptakan posisi monopoli atau malah menciptakan monopoli itu sendiri.

Para ekonom yang disebut Neo-Schumpeterian seperti Christopher Freeman dan Giovanni Dosieconomics mengembangkan gagasan Schumpeter lebih lanjut. Mereka merefleksikan apa yang disebut inovasi.

Inovasi juga dikembangkan para ekonom dalam berbagai variasi dan dalam berbagai konteks. Misalnya, Paul Romer yang mengembangkan teori entrepreneurship dalam bingkai New Growth Theory. Dalam jaringan dan konteks teori pertumbuhan itu, inovasi dapat dimengerti sebagai elemen baru yang diperkenalkan dalam kerangka perubahan, ongkos atau biaya dari transaksi antara dua aktor, elemen, persetujuan, dan berada dalam jaringan.

Seperti ditegaskan Davila et al. (2006), tujuan inovasi adalah pertumbuhan organisasi atau perusahaan. Perusahaan tidak dapat tumbuh dan berkembang hanya melalui reduksi biaya dan reengineering. Inovasi adalah kata kunci dalam pertumbuhan agresif top-line dan untuk meningkatkan hasil yang bottom-line.

TINGKAT INOVASI INDONESIA
Meski bagus dalam teori, kerap inovasi jatuh pada perangkap kegagalan. Kegagalan pertama ialah individu atau organisasi terperangkap pada mitos bahwa inovasi semata-mata berkaitan dengan pengembangan dan penciptaan produk baru. Manakala gagasan atau upaya “biasa-biasa saja” dan dinilai sebagai bukan sesuatu yang mendatangkan perubahan positif, tidak dianggap sebagai inovasi. Kegagalan inovasi juga terjadi manakala moral karyawan jatuh, sinisme, dan bahkan cenderung meningkatnya resistensi untuk berubah di masa yang akan datang.

Apa yang menjadi sumber kegagalan inovasi? Kegagalan inovasi umumnya terjadi karena empat hal:

Pertama, lemahnya kepemimpinan (poor leadership).
Kedua, lemahnya organisasi (poor organization).
Ketiga, lemahnya komunikasi (poor communication).
Keempat, lemahnya pemberdayaan (poor empowerment).
Kelima, lemahnya manajemen berbasis pengetahuan (poor knowledge management)

Apa ukuran keberhasilan inovasi? Umumnya, perusahaan mengukur keberhasilan inovasi dari balanced scorecards (BSC) yang mencakup beberapa aspek inovasi, seperti: pertumbuhan perusahan dalam relasinya dengan finansial, inovasi dalam hal efisiensi, motivasi karyawan, dan benefit perusahaan bagi pelanggan.

Tentu saja, tiap perusahaan memunyai nilai dan cita rasa pengukuran tersendiri, selain yang disebutkan di atas. Misalnya, ada yang memasukkan new product revenue, spending dalam R&D, time to market, persepsi karyawan dan tingkat kepuasan pelanggan, jumlah paten, hasil penjualan dihitung dari masa melakukan inovasi.

Pada aras politik, takaran keberhasilan inovasi lebih terfokus kompetitive advantage pada suatu daerah atau nagara yang dilakukan lewat inovasi.

Dalam konteks ini, kemampuan suatu organisasi dapat dievaluasi melalui berbagai kerangka evaluasi, seperti European Foundation for Quality Management. The OECD Oslo Manual (1995) menyarankan panduan standar untuk mengukur produk teknologi dan proses inovasi. Oslo Manual sejak tahun 2005 memerluas perspektif inovasi, kemudian memasukkan aspek marketing dan inovasi suatu organisasi. Standar ini digunakan the European Community Innovation Surveys.

Sementara itu, The Global Innovation Index adalah indeks global yang mengukur level inovasi suatu negara yang dihasilkan bersama oleh The Boston Consulting Group (BCG), the National Association of Manufacturers (NAM), and The Manufacturing Institute (MI), the afiliasi riset nonpartisan NAM.

Indeks terakhir dipublikasikan pada Maret 2009. Ranking negara yang diukur didasarkan pada input dan output dari inovasi. Input inovasi termasuk kebijakan pemerintah dan fiskal, kebijakan pendidikan, dan inovasi pada lingkungan. Sedangkan output inovasi mencakup paten, transfer teknologi, hasil R&D; kinerja bisnis, seperti produktivitas kerja dan total shareholder returns, serta dampak inovasi terhadap migrasi bisnis dan pertumbuhan ekonomi.

Diketahui bahwa Indonesia berada di urutan ke-19 dari 20 negara besar (berdasarkan GDP) sesuai takaran International Innovation Index. Korea Selatan di urutan pertama, Amerika Serikat di urutan kedua, Jepang di urutan ketiga, Swedia di urutan keempat, dan Belanda di urutan kelima. Adapun di urutan ke-20 adalah Brazil.

Spirit inovasi sudah tertanam di dada kita masing-masing. Kita sudah berinovasi pada aras individu. Namun, sebagai tim, belum. Tinggal bagaimana menyebarkan spirit inovasi itu di semua level. Dengan menyosialiasikan dan mengimplentasikan ide baru, termasuk ide tentang inovasi, kita sebenarnya mulai melakukan inovasi itu sendiri.
***
Boleh dikutip, asalkan menyebutkan sumbernya.

Kamis, 14 April 2011

Mengelola Emosi

Emosi. Kita tentu akrab dengan kata ini. Bahkan, tiap saat mengalaminya. Namun, tidak semua dari kita mafhum apa yang memicu dan bagaimana emosi bekerja.

Bagaimana sesungguhnya emosi bekerja? Dari perspektif keilmuan, jawaban atas pertanyaan ini masih belum final. Namun, riset dari berbagai dekade terakhir menunjukkan fenomena yang semakin jelas tentang emosi.

Dalam buku Deeper Than Reason: Emotion and Its Role in Literature, Music, and Art (2005) misalnya, Jenefer Robinson menggali lebih dalam lagi berbagai teori mengenai emosi yang berkaitan dengan temuan-temuan psikologi dan neurologi yang kiranya dapat membantu kita menjawab pertanyaan dan menawarkan model untuk memahami dan menjelaskan emosi.

Model dasar Robinson, dengan menambahkan hasil riset dan analisis dari berbagai sumber, memberikan sumbangan yang sangat bernilai untuk memahami emosi. Menurut Robinson, emosi mulai dengan reaksi usus yang kemudian merangsang sesuatu (emotions start with a gut reaction to something).

Emosi mendorong ekspresi wajah, membentuk gagasan, kesimpulan, atau sesuatu yang berubah pada diri kita. Ia menyebut reaksi-reaksi itu sebagai “non-cognitive appraisals” yang kita namakan sebagai reaksi usus (gut reaction). Reaksi itu terjadi secara automatis.

Ada dua jalan bagi otak kita ketika memperoleh reaksi usus, yakni jalan menanjak dan jalan menurun. Jalan menanjak ialah segala sesuatu yang pernah kita harapkan: kita lihat dan kita dengar (atau merasa, membaui, atau berpikir atau mengingat) sesuatu.

Kita membangun dalam pikiran kita mengenai itu semua, lalu mereaksinya secara emosional. Misalnya, manakala mengendara menuju rumah, kita melihat lampu warna warni menyala di depan kita dan sirene meraung-raung, kita tiba-tiba berpikir bahwa akan ada mobil polisi menghampiri. Kita khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Padahal, barangkali saja itu iring-iringan pawai atau yang lainnya.

Jalan menurun agak sedikit lain. Masih mulai dengan beberapa informasi sensory, seperti pemandangan atau suara. Ibarat bendera yang diasosiasikan dengan emosi yang sarat dengan emosi dan peristiwa-peristiwa traumatik lainnya. Misalnya, jika seseorang yang pernah mengalami meledaknya tabung gas, yang bersangkutan bila mencium bau gas, tiba-tiba merasa bahwa sesuatu akan terjadi. Otak kita secepat kilat bekerja, mengirimkan pesan ke emergency systems dan sesegera mungkin syaraf meresponsnya bekerja untuk mengatasi masalah.

Meski reaksi usus itu muncul secara otomatis dan tiba-tiba, hal itu dapat masuk jalur jalan menanjak sebagai reaksi atas pemikiran. Misalnya, kita sudah menghabiskan banyak waktu dan investasi untuk suatu usaha. Tiba-tiba, kita kehilangan aset karena dicurangi karyawan. Kita mengalami reaksi usus, yang membuat kita selanjutnya merasa kapok dan selalu curiga pada hal yang serupa. Takut kalau-kalau kejadian masa lampau terulang lagi. Emosi pada aras bawah dapat masuk jalan menanjak.

Oleh karena itu, emosi adalah sebuah proses, bukan sesuatu yang tidak berubah-ubah. Namun, manakala mengalami reaksi usus, bukan berarti bahwa kita terjebak dalam lingkaran setan emosi. Sungguhpun demikian, emosi dapat dibangun melalui:
• Kimiawi tubuh (body chemistry). Emosi akan memacu reaksi fisiologis melalui kimiawi layaknya dopamin (diasosiasikan dengan pleasure), adrenaline (diasosiasikan dengan ketakutan dan kemarahan), seratonin (diasosiasikan dengan ketenangan), oxytocin (diasosiasikan dengan rasa cinta), cortisol (diasosiasikan dengan stres), dan seterusnya. Kimiawi itu demikian banyaknya yang hendak dilakukannya untuk menciptakan perasaan emosi fisiologis. Semuanya ini saling berlomba untuk mempertahankan emosi apa saja yang ada dalam diri kita.
• Pikiran (kognisi). Sekali kita mulai dengan emosi tertentu, kita akan berpikir mengenai hal itu dan memonitor sekeliling. Misalnya, kita mungkin melihat kilatan lampu biru yang otomatis memberikan rangsangan rasa cemas, jangan-jangan itu adalah mobil polisi.
• Bahasa tubuh (body language). Jelaslah bagi kita bahwa kebahagiaan membuat orang tersenyum, sedangkan depresi membuat dahi kita mengkerut dan manyun. Yang menagumkan ialah bahwa ekspresi, postur, dan mungkin nada suara dapat merangsang kimiawi tubuh yang berhubungan dengan rangsangan emosi. Senyum dapat membuat kita merasa bahagia, sedangkan duduk tegak dapat membantu kita merasa awas dan positif.
• Siap bereaksi (being ready for action). Sudah jamak diketahui bahwa emosi kita cenderung menyiapkan bagaimana tubuh kita bereaksi. Memerhatikan sesuatu dengan saksama atau untuk sigap bergerak dengan cepat. Emosi akan membuat tubuh kita siap bereaksi, bahkan sebelum kita dapat merencanakan bagaimana harus bertindak.
Cita rasa emosi kerap muncul dalam bentuk kaget, kekaguman, euforia, kejengkelan, benci, sayang, kebosanan (ennui), kemarahan (fury), dan sebagainya. Negatifkah semuanya itu? Ataukah justru merupakan potensi yang jika dikelola merupakan kekuatan?

Kesehatan mental dan kesehatan tubuh sangat bertautan satu sama lain. Mejaga emosi tetap seimbang sangat penting untuk menjaga diri tetap sehat. Entah emosi itu positif entah negatif; semuanya mengandung potensi untuk memengaruhi kualitas hidup seseorang. Manakala berhasil mengelola perasaan, Anda mulai menapak satu anak tangga menuju kesuksesan. Berikut ini metode untuk mengelola, sekaligus menyingkirkan, emosi negatif untuk meraih kesehatan mental dan fisik.

• Sisihkan waktu Anda untuk diri sendiri dan berusahalah menemukan kesejukan. Cari dan temukan suasana yang tenang dan menyenangkan, lingkungan yang asri dan damai. Dapat dilakukan di dalam maupun di luar rumah.
• Berjalan mondar mandir untuk menjernihkan pikiran. Berusahalah menghindar suasana atau sesuatu yang dapat menyeret Anda atau merangsang emosi Anda. Hela napas dalam-dalam saat Anda berjalan-jalan. Konsentrasi pada bunyi dan pada tarikan napas serta langkah kaki Anda. Teruskan berjalan hingga Anda relaks atau merasa lebih nyaman.
• Biarkan diri Anda berbentuk. Maksimalkan potensi Anda sesuai yang diinginkan. Truskan untuk tetap fokus pada tarikan napas dalam-dalam untuk mengendalikan kerja normal paru-paru dan pikiran Anda.
• Melakukan peregangan sederhana akan menormalkan tensi dan selanjutnya membuat emosi Anda kembali stabil. Mulai dengan merentangkan lengan di atas kepala, meraih sesuatu sebisa mungkin. Lipat tubuh Anda dengan memegang pergelangan kaki. Ulang 6 hingga 8 kali, lalu relaks.
• Tulis surat yang dialamatkan pada diri sendiri mengenai apa yang dialami sedetail mungkin. Jangan pedulikan gayanya. Tulis apa saja yang dirasakan. Termasuk apa yang dipikirkan yang menjadi akar permasalahan yang mengganggu emosi. Brainstorm gagasan-gagasan untuk mengatasi masalah itu di kemudian hari.
• Nyatakan emosi lewat berbagai bentuk artistik. Hal ini dapat membantu Anda mengendalikan emosi apa saja yang datang silih berganti. Menari, menyanyi, dan bawalah semua emosi itu dalam pekerjaan dan dalam doa. Dengan demikian, Anda tidak menyakiti diri sendiri dan siapa pun di dalam mengendalikan emosi.


Banyak orang hancur dan gagal hanya gara-gara emosi yang tidak dapat dikendalikan. Meski tampak sepele, emosi dapat membuat susu sebelanga menjadi rusak. Sebagai pemimpin di suatu organisasi, kadang seseorang merasa punya hak untuk menegur, memarahi, dan mencaci maki anak buah di depan umum. Mungkin tindakan ini benar, namun tidak cukup bijaksana. Yang diperlukan ialah pemimpin yang bijaksana, bukan semata-mata yang pandai.

Kita kerap kurang peka pada perasaan orang lain yang merasa terluka atau tersinggung olah perkataan atau perbuatan kita didorong oleh emosi. Kita cenderung menganggap perbuatan dan perkataan kita baik dan benar, sampai-sampai memarahi dan menyemprot orang tanpa mengindahkan perasaannya.

Bagaimana sebaiknya? Untuk menghindari emosi yang meluap-luap dan tidak terkendalikan, ada baiknya kita belajar menempatkan diri pada posisi orang lain. Ingatlah bahwa apa yang dapat meninggung perasaan dan melukai hati kita, juga dapat terjadi pada orang lain. Karena itu, berlakulah adil pada orang lain. Perlakukan mereka sebagaimana Anda inginkan orang lain lakukan pada Anda.
***

Sabtu, 09 April 2011

Etika dan Hukum Media Baru: Menyambut UU Konvergensi Media

Pengantar
Tersurat dalam judul diatas bahwa terdapat tiga variabel, yakni: etika, hukum, dan media baru. Struktur paper ini tidak persis mengikuti alur pemikiran tersebut dengan alasan bahwa sebenarnya etika dan hukum dikodifikasi karena adanya realitas yang muncul baik sebagai ekses maupun sebagai respons atas media baru, sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat etika dan hukum media.

Oleh karena itu, pertama-tama akan dibahas apa yang dimaksudkan dengan “media baru”, “suasana psikologi” di news room, dan betapa awak media oleh karena tuntutan kerjanya serba terburu-buru dan penuh pressure sangat rentan melanggar rambu-rambu etika dan ranah hukum media, baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum.

Pembahasan
Dengan “media baru” dimaksudkan sebagai media digital, yaitu antitesis dari media lama yang berbasiskan analog. Seperti dicatat Manovich (2001) bahwa “…many new media objects are converted from various forms of old media…. Converting continuous data into a numerical representation is called digitalization” (hlm. 28). Yang termasuk media baru adalah Internet, Web sites, computer multimedia, computer games, CD-Roms dan DVD, dan virtual reality yang menggunakan komputer untuk distribusi dan ekshibisinya (hlm. 19).

Media baru setidaknya memunyai tiga fungsi penting yakni: 1) menghubungkan khalayak dengan informasi dan layanan, 2) memungkinkan kerja sama dengan orang lain, dan 3) membuat konten baru, layanan, komunitas, dan saluran komunikasi yang membantu siapa saja menyampaikan informasi dan jasa.

Sesuai dengan apa yang dikatakan McLuhan (1964) bahwa unsur manusia yang paling dominan di balik pelaksanakan fungsi media tersebut “media is the extension of man.” Meneruskan teori McLuhan ini, dapat dikatakan bahwa baik teknologi media maupun isinya sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Jika teori McLuhan diterapkan untuk kasus media baru, dapat dikatakan bahwa apa pun bentuknya maka setiap teknologi adalah perpanjangan dari manusia. Karena itu, media baru bukan semata-mata sebatas alat, melainkan yang paling esensial di dalamnya adalah unsur manusia.

Kita dapat menyebutkan dan membuat senarai tipe manusia yang interplay di dalam media baru yang dimaksud. Mereka dapat individu, kelompok, komunitas, kerumunan, atau organisasi. Agar fokus, paper ini membatasi persoalan hanya pada organisasi –dalam hal ini institusi media yang merupakan kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.

Sebagai kelompok kerja dengan ciri mencapai tujuan bersama (keuntungan dan pengaruh), insitusi media masih dipersempit lagi pada personil-personil yang terlibat secara langsung dalam proses, penyediaan, dan pengambilan keputusan ketika content atau isi media disajikan.

Dengan demikian, maka juru foto, pekerja pada bagian perpustakaan/dokumentasi, jurnalis, redaktur, pemimpin redaksi dan penanggung jawab suatu institusi media adalah pihak yang bertanggung jawab atas content yang diproduksi dan didistribusi. Oleh karena nature kerjanya, pihak-pihak inilah yang secara langsung berurusan sekaligus berbenturan dengan etika dan hukum media massa, terlebih lagi jurnalis sebagai ujung tombak media massa, sebagaimana dicatat Pearson (2004) berikut ini.

Every day of their working lives journalist make decisions that could have legal or ethical implications. Whether they are conducting an interview in someone’s home, processing a photograph for online publication, editing news footage for that night’s bulletin, or pressing the delay button during a talkback radio program, journalist are existing a discretion that might need to be defended in court. (Pearson, 2004, hlm. 3).

Dari apa yang dipaparkan di atas, kita dapat menangkap “suasana psikologis” yang ada di news room bahwa cara kerja media yang serba tergesa-gesa karena kejar tayang dan under pressure, berpotensi melanggar etika dan hukum. Tentu saja, pelanggaran etika dan hukum haruslah dilihat dalam konteks “sengaja melakukan”, atau “khilaf”, atau melakukannya karena tidak tahu.

Isi suatu media yang paling berpotensi melanggar etika dan hukum. Berbeda ketika zaman oral, manuskrip, dan cetak, kini di era the new media, media elektronik –terutama Internet-- memungkinkan orang sebagai content provider dan awak media, terutama jurnalis dengan mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas dengan melakukan plagiarisme atau copy and paste . Tentang hal ini, Pearson sekali lagi mengingatkan.

We live in a digital age, where the boundaries of journalism as a profession are under challenge. Anyone with access to the Internet and some basic sofware can set up as a “content provider”. Journalist can prosper in this environment if they demosntrate a professional awareness of important issues like media law and ethics, which sets apart from the amateurs and the charlantans. (Pearson, hlm. 4).


Sumber gambar:
David Foster, Georgia Institute of Technology ENGL 1101 student.

Diagram vertikal di atas menunjukkan bagaimana dampak teknologi komunikasi pada budaya Barat. Kultur media cetak menentukan revolusi sosial dan memberi daya eversive, sementara media elektrik membuat masyarakat bereaksi.

Terkait dengan kultur, di negara maju pada umumnya, kesadaran akan hak orang lain sudah tinggi, penghargaan atas karya intelektual sudah semakin dijunjung tingi. Di Amerika, Eropa, dan Australia misalnya, tindak plagiat dapat menyeret seseorang pada proses tuntutan dan penuntutan perkara.

Budaya menghargai hak (hasil karya intelektual) orang lain tercermin dalam pasal-pasal etika dan hukum media massa mereka yang bukan saja sangat jelas mengatur sampai detail; akan tetapi etika dan hukum tersebut juga menjawab kebutuhan dan persoalan-persoalan masa kini dan masa datang seputar manusia dan dalam hubungannya dengan the new media (Herbert, 2001; Pearson, 2004; Moore 2008; Neelamalar, 2010).

Di Indonesia, memang sudah ada norma dan hukum yang mengatur bagaimana awak media bersikap dan bertindak dalam proses dan mekanisme kerja sehari-hari. Kode Etik Jurnalistik dan undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta misalnya, dapat disebut sebagai etika profesi dan regulasi dimaksud. Sebagai contoh, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terutama Bagian Keempat tentang Ciptaan yang Dilindungi Pasal 12 dan Pasal 13 adalah payung hukum yang mengatur bagaimana media harus memilih dan mengemas suatu content-nya.
Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a) buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni
pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.

(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

Sebagaimana didefinisikan Random House Compact Unabridged Dictionary (1995), tindak plagiat adalah penggunaan atau imitasi yang bahasa dan pemikirannya sama atau sangat mirip dengan penulis lain dan mengklaim bahwa karya tersebut sebagai karya orisinilnya.

Dalam dunia jurnalistik, plagiat dianggap sebagai pelanggaran atas etika jurnalistik. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Kode Etik Wartawan Indonesia Pasal 12 bahwa “Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.” Wartawan yang terbukti melakukan tindak plagiat dikenakan sanksi disipliner, mulai dari teguran lisan, tertulis, hingga pemutusan hubungan kerja.

Dalam praktiknya, beberapa orang terbukti menjiplak dalam konteks jurnalistik. Ada yang menyatakan bahwa mereka dijiplak secara tidak sengaja, alpa menyertakan sumber atau tidak memberikan rincian kutipan yang sesuai. Sementara plagiat di dunia jurnalistik punya sejarah yang jauh lebih lama, sudah terjadi berabad-abad yang silam.

Seiring dengan perkembangan teknologi, terutama Internet, di mana banyak gagasan atau hasil riset atau temuan muncul sebagai teks elektronik yang dengan mudah dapat diakses, telah membuat orang malas bekerja keras dan ingin menempuh jalan pintas. Kemudahan akses menggodanya untuk “mencuri” karya orang lain dan mengklaim sebagai miliknya, sengaja maupun tidak sengaja.

Perlu dicamkan bahwa tindak palagiat berbeda dengan pelanggaran hak cipta. Bisa saja terjadi kedua istilah terjadi secara bersamaan. Pelanggaran hak cipta adalah pelanggaran terhadap hak-hak pemegang hak cipta, ketika objek karya cipta (materi) yang dilindungi oleh hak cipta digunakan tanpa izin. Adapun plagiat berkaitan dengan nama baik dan kredibilitas seseorang yang menjiplak karya penulis aslinya tanpa menyebutkan sumber aslinya.

Etika dan hukum yang menyangkut media memang sudah ada di Indonesia, namun secara detail yang mengatur media baru belum ada. Masih dalam persiapan Undang-Undang Konvergensi Media, akan tetapi hingga kini masih dalam proses; bahkan menurut para pakar namanya saja “konvergensi”, namun isinya bukan konvergensi.

Menurut Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), teknologi komunikasi haruslah dilihat sebagai “perpanjangan manusia” sebagaimana teori McLuhan, karena itu, yang paling pokok bagaimana isi suatu media didapat secara etis dan legal. Untuk itulah maka ilmu komunikasi fokus pada bagaimana pesan tersebut didapat, diproduksi, kemudian disajikan kepada khalayak dengan berpedoman pada etika dan hukum. Rancangan Undang-Undang (RUU) Konvergensi Media (digital/media online), yang sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2010 dan hingga hari ini masih belum ada kejelasan kapan diundangkan.

Oleh karena itu, untuk sementara waktu maka media cetak dan media elektronika payung hukumnya berjalan sendiri sendiri. Misalnya, untuk media cetak mengacu kepada hukum pers (Dewan Pers), sedangkan televisi ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Masih terasa rancu, bahkan tumpang tindih, apakah media mengacu kepada payung hukum UU Telekomunikasi No.36 Tahun 1999, UU Penyiaran No.32 Tahun 2002, UU Pers No.40 Tahun 1999, dan UU Perfilman yang disahkan pada 2009.

Simpulan
Etika terkait norma tentang baik buruk, benar salah, dan tindakan etis bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak dalam hubungannya dengan media massa. Jika ada yang melanggar maka sanksinya adalah moral dan sosial. Sementara hukum media massa menyangkut regulasi atau peraturan hukum dan perundang-undangan yang apabila dilanggar mendapat sanksi hukum, dapat pidana dapat pula perdata sesuai dengan kasusnya.

Di negara maju, etika dan hukum media massa sudah sangat jelas mengatur sampai detail, bahkan mengatur etika dan hukum media baru. Sementara di Indonesia, etika media cukup jelas seperti tersurat dalam etika profesi. Akan tetapi, dimensi hukumnya, terutama media baru, masih tumpang tindih, untuk tidak menyebutnya “tidak jelas”. Undang-Undang Konvergensi yang sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) pada 2010 diharapkan dapat menjadi pedoman etika dan hukum media di Indonesia.

Daftar Pustaka
Herbert, John. (2001). Journalism in the Digital Age: Theory and Practice for Broadcast, Print and On-line Media. Oxford: Focal Press.
Manovich, Lev. (2001). The Language of New Media. Massachusett: MIT Press.
Moore, Roy L dan Michael D. Murray. (2008). Media Law & Ethics. New York: Lawrence Erbaum Associates.
Neelamalar, N. (2010). Media Law and Ethics. New Delhi: PHI Learning Private Limited.
Pearson, Mark. (2004). The Journalist’s Guide to Media Law:Dealing with Legal and Ethical Issues. Australia: Allen & Unwin.

Narrowcastig atau Broadcasting? Yang Penting Jumlah Viewerships

Baiklah kiranya terlebih dahulu dipahami arti leksikal apa yang dimaksudkan dengan narrowcastig dan broadcasting sebelum masuk ke dalam pembahasan lebih lanjut.

Menurut kamus online Merriam-Webster Dictionary, narrowcastig ialah “radio or television transmission aimed at a narrowly defined area or audience (as paying subscribers).” Adapun broadcasting ialah “to scatter or sow (as seed) over a broad area, to make widely known, to transmit or make public by means of radio or television.”

Narrowcasting adalah istilah yang digunakan untuk semua komunikasi seperti sinyal radio atau televisi yang hanya terbatas bagi orang yang berlangganan atau dinyatakan dilarang disiarkan. Sementara broadcasting ditransmisikan kepada masyarakat umum, tersedia untuk setiap penerima dengan kemampuan untuk menangkap sinyal.

Adapun narrowcasting diarahkan kepada khalayak tertentu melalui peralatan kepemilikan dan enkripsi, atau dengan cara diskriminatif lainnya (Donald P. Cushman dan Dudley D. Cahn, 1985).

Donald P. Cushman dan Dudley D. Cahn selanjutnya menjelaskan bahwa TV kabel merupakan contoh yang paling umum dari narrowcasting. Sinyal yang dienkripsi hanya dapat dilihat di TV dengan terlebih dahulu menjalankan descrambler yang disediakan oleh perusahaan kabel dengan biaya berlangganan per bulan.

Contoh lain dari narrowcasting adalah radio satelit. Radio satelit merupakan radio komersial bebas yang membutuhkan receiver atau tuner yang di Indonesia kini sudah menjadi gaya hidup (Masduki, 2004: 64). Radio satelit juga merupakan layanan berlangganan yang berbayar, namun narrowcasting tidaklah selalu melibatkan adanya biaya sebagaimana ditegaskan Cushman dan Cahn.

Cable and LPTV along with videodiscs and electronic news bases have resulted in “narrowcasting,” defined as the targetting of information and enternainment to predefined audiences, according to Video Buyer’s Review, Summer 1982. Narrowcasting is the electronic version of selective malilings and subscription-only magazines (Cushman dan Cahn, 1985: 151).

Menurut teori informasi (Young, 1971) bahwa orientasi kepada publik merupakan suatu keniscayaan bagi suatu media, sehingga komunikasi massa cenderung akan bergerak dari semula broadcasting menuju ke narrowcasting (Cushman dan Cahn, 1985: 152).

Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa jaringan Internet merupakan broadcasting dan narrowcasting sekaligus. Situs web yang terbuka untuk setiap pengunjung tanpa registrasi atau berlangganan pada dasarnya adalah broadcasting. Website atau subnet yang memerlukan sandi, pendaftaran, atau beberapa bentuk keanggotaan adalah contoh dari narrowcasting.

Milis adalah contoh lain dari narrowcasting, demikian pula podcast yang pada umumnya diarahkan kepada segmen khalayak yang sangat spesifik. Dengan beberapa pengecualian, mailing list, podcast, dan situs web centric-berlangganan adalah layanan narrowcasting yang pada umumnya bebas.

Oleh karena narrowcasting diarahkan pada pool yang terbatas, hal ini terkait dengan target dan pemasaran niche. Narrowcasting juga menemukan aplikasi yang berguna di mal-mal, bandara, dan fasilitas umum lainnya yang pengunjungnya dapat menggunakan layar sentuh untuk mencari jadwal penerbangan, mencari dan menemukan lokasi toko, restoran atau mendapatkan informasi lainnya.

Kadang-kadang narrowcasting disebut sebagai interaktif, jenis narrowcasting seperti ini dapat mengurangi kebutuhan akan tenaga layanan pelanggan. Pengguna secara interaktif dapat melakukan sendiri sentuhan melalui media untuk mendapatkan informasi yang ingin dicari tanpa bantuan pihak penyedia.

Di luar negeri, jaringan televisi CBS, NBC dan ABC pada mulanya berusaha untuk menarik orang sebanyak mungkin dengan program siaran bervariasi sepanjang 50 detik, 60 detik, dan 70 detik. Kini jaringan kabel TV yang lebih baru mengkhususkan diri pada narrowcasting. MTV aslinya hanya saluran musik, sementara CNN memproduksi berita saja. Home and Garden merupakan saluran Sejarah, Sci-Fi, ESPN adalah siaran olahraga, serta saluran Animal merupakan contoh utama dari perubahan mendasar dari broadcasting ke narrowcasting pada jaringan televisi kabel.

Sementara jaringan siaran asli terus menawarkan berbagai program, narrowcasting semakin mendapat tempat dan menemukan perannya sendiri. Program yang menarik bagi segmen penonton yang sama sering ditawarkan bolak balik pada jaringan utama. Dalam alur pikir seperti itu kita melihat bahwa pada malam minggu suatu siaran mungkin akan didominasi oleh sajian drama, rubrik hukum; sedangkan malam berikutnya mungkin akan didominasi oleh show anak muda atau komedi situasi.

Muncul keraguan akankah narrowcasting akan terus berkembang berhadapan dengan broadcasting mengingat narrowcasting membutuhkan banyak investasi untuk menyiarkan pesan. Ada kecenderungan anak muda menggunakan kafe internet dan website gratis untuk menjelajah dunia, atau publik pada ceruk anak-anak muda tersebut. Dengan demikian, ada kecenderungan raksasa media sekaligus memiliki baik broadcasting maupun narrowcasting untuk mengisi niche tertentu untuk meraup viewerships sebanyak-banyaknya.

Di Indonesia, broadcasting dan narrowcasting sedikit unik. Izin siaran diberikan kepada perseorangan, bukan kepada lembaga. Inilah yang menjadi perseteruan antara pemilik izin siaran TPI (Siti Hardiyanti Rukmana) dan MNCTV (Hary Tanoesoedi). Hingga kini keduanya masih dalam sengketa, sebab pengambilalihan TPI oleh MNCTV tidak ototamis dianggap mengambil alih izin siaran (broadcasting) sekaligus.

Ada kencenderungan bahwa pemilik media ingin menguasai broadcasting dan narrowcasting sekaligus (Tempo, Volume 36, 2007). Meski demikian, para pemilik dan pengelola tidak menganggap broadcasting dan narrowcasting sebagai dilema, yang penting adalah jumlah pemirsanya (Jakarta Post, 04/06/2002). MetroTV misalnya, tampil menjadi CNN Indonesia yang menawarkan pilihan pada pemirsa dengan berita-berita yang update, sajian-sajiannya senantiasa hangat.
Oleh karena itu, banyak pemirsa yang berharap bahwa MetroTV akan mengatur kecenderungan narrowcasting pada program televisi dibandingkan dengan broadcasting yang teratur.

Adapun RCTI berfungsi sebagai stasiun hiburan umum dan MetroTV untuk berita, GlobalTV dicerukkan untuk memberikan layanan untuk pemirsa 15-29 tahun, para pejabat mengatakan. Ketiga saluran tersebut diharapkan dapat meraup jumlah 32-34 persen pemirsa televisi.

“So, broadcasting or narrowcasting doesn't really matter. What matters is the total viewerships”, demikian seperti ditulis the Jakarta Post. Dilihat dari ceruk pasar, apa yang dikatakan oleh para pemilik dan pengelola media (TV) di atas benar adanya. Yang penting adalah jumlah viewerships, bukan terletak pada apakah broadcasting atau narrowcasting.

Mengapa yang terpenting adalah viewerships? Alasannya adalah bahwa jumlah viewerships akan menentukan para pemasang iklan. Sesuai dengan teori CPM (cost per mille), para pemasang iklan akan melihat seberapa besar viewerships suatu media –dalam hal ini radio atau televisi, baik broadcasting maupun narrowcasting. Para pemasang iklan cenderung memasang iklan yang jumlah viewerships besar karena berasumsi bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menjangkau dan menerpa khalayak yang jumlahnya besar akan lebih murah dibandingkan dengan khalayak yang jumlahnya sedikit.

Dari perspektif viewerships dan pemasang iklan, kurang relevan membahas broadcasting vis-à-vis narrowcasting. Yang terpenting ialah bahwa berapa jumlah viewerships-nya dan bagaimana membidik ceruk pasar yang secara berhasil guna dan tepat guna.



Daftar Pustaka
Cushman, Donald P. dan Dudley D. Cahn. (1985). Communication in Interpersonal Relationships. New York : State University of New York Press.
Masduki. (2004). Menjadi Broadcaster Terkenal. Yogyakarta: LKiS.
Young, John Frederick. (1971). Information Theory. Michigan: Wiley Interscience
Tempo, Volume 36, 2007.
The Jakarta Post, 4 Juni 2002.

Jumat, 08 April 2011

Hermeneutika sebagai Metode Penelitian Komunikasi

PENDAHULUAN
Filsafat adalah induk dan cikal bakal dari semua ilmu (Grant, 1996; Barrett dan Aiken; 1962; Agushevits, 2008).Jika demikian, maka ilmu komunikasi yang kita kenal saat ini juga asal mulanya dari filsafat.

Terkait dengan topik pembahasan, struktur paper ini mula-mula menggali lebih dahulu etimologi dan sejarah hermeneutika, praktik hermeneutika pada studi dan penafsiran Alkitab, hermeneutika sebagai cabang filsafat, dan pada bagian akhir bagaimana filsafat hermeneutika berproses dan berdialektika sehingga diadopsi menjadi salah satu metode penelitian komunikasi untuk mencari makna (true conditions)atau hakikat sesuatu lewat usaha rasional berupa penafsiran.


PEMBAHASAN

Etimologi “Hermeneutika”

Menelisik kembali asal usul kata, kerap sangat membantu upaya kita memahami sesuatu. Dalam konteks ini, untuk memahami “hermeneutika”, kita perlu terlebih dahulu memahami etimologinya.

Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuō yang berarti: saya menasfirkan. Terminologi ini dipetik dari nama Hermes dalam epik karya Homeros yaitu Ililiad dan Odyssey.

Dikisahkan bahwa Hermes adalah utusan dewa, ia mengemban tugas membawa pesan Zeus dari dunia dewa kepada alam manusia, terutama agar “bahasa dewa” dapat dimengerti dan diterjemahkan ke dalam “bahasa manusia” Palmer, 1999). Hermes dikisahkan sangat piawai menasfirkan tanda yang diberikan dewa-dewa dan memiliki kemampuan menerjemahkan pesan-pesan tersebut dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia.


Sejarah Hermeneutika
Di dalam mengemban tugas tersebut, Hermes menjembatani apa yang disebut “gap ontologis” (ontological gap) yakni gap antara pemikiran atau alam dewa dan pemikiran atau alam manusia.

Dalam mitos, dikisahkan bahwa Hermes memiliki kemampuan muncul dan menghilang kapan saja, punya kemampuan lari secepat kilat, dan punya daya magis untuk membuat orang tertidur atau bangun. Dikisahkan pula bahwa Hemes bukan hanya sanggup menjembatani antara jarak fisik (physical distance) dan jarak ontologis (ontological gap) antara dunia dewa (illahi) dan dunia manusiawi (Palmer, hlm. 2).

Tugas hemeneutika, seperti halnya tugas dewa, ialah: menjembatani gap antara ontologi (realitas) dan apa yang tampak di permukaan (fenomenologi). Dengan demikian, terjadi verifikasi sesuatu yang tampak di permukaan dengan substansi atau realitas yang merupakan “ada” atau being yang sesungguhnya. Inilah inti hermeneutika, sebagaimana namanya (dari nama dewa Hermes) yang piawai menafsirkan dan menjembatani jarak ontologis dunia dewa dan jarak fisik dunia manusia.

Dalam salah satu karya Aristoteles “De Interpretatione” tentang Interpretasi) kembali muncul istilah yang kurang lebih sama dengan Hermes, yakni “Peri Hermenias” yang mengacu kepada penafsiran dalam arti sempit, yakni penafasiran yang mengandung benar/salah. Dalam tradisi pemikiran Yunani, penafsiran seperti ini diarahkan pada teks pidato (retorika) seperti pidato Homeros dan syair-syairnya.

Hermenutika kemudian berkembang dan diadopsi para pakar Akitab (Kristen) yang mengembangkan studi penasfiran kitab suci secara ilmiah, dengan melihat konteks (kapan, di mana, lingkungan sosial budaya, serta ciri tekstual/struktur sastra) Alkitab tersebut untuk coba menangkap pesan (makna) yang dimaksudkan si penulis teks tersebut agar tidak bias dan maknanya tidak lari dari maksud si penulis.

Dalam metode penasfiran Alkitab tersebut, sejarah dan tradisi tidak boleh lepas dari konteks. Oleh karena itu, metodologinya disebut “eksegese” (penafsiran), yakni sebuah usaha rasional melakukan interpretasi secara sistematis. Cara kerja seperti ini hanya dapat ditemukan pada Philo dari Aleksandria, yang melakukan refleksi tentang makna alegoris dari Perjanjian Lama yang berasumsi bahwa makna literer dari sebuah teks dapat menyembunyikan arti non-literer (true conditions) yang hanya dapat ditelusuri melalui kerja interpretasi yang sistematis.

St. Origenes dari Alexandria (185-254) selanjutnya mengembangkan studi interpretasi Kitab Suci secara sistematis dan dengan berani menyatakan bahwa Alkitab memiliki tiga tingkatan makna, seperti bangun segitiga yakni: tubuh, jiwa, dan semangat yang masing-masing mencerminkan tahap yang semakin lebih maju kepada pemahaman Kitab Suci secara lebih menyeluruh dan mendekati kepenuhan (plenior).

Dengan kata lain, Alkitab dilihat bukan semata-mata sebuah teks-tertulis per se (tubuh), akan tetapi Alkitab juga memiliki dimensi makna (jiwa), dan dimensi power atau semangat yang dapat menggerakkan orang (afeksi, kognisi, dan behavioral). Konsep segitiga “temuan” Origenes ini nantinya mempengaruhi teori-teori psikologi, yang selanjutnya mempengaruhi teori komunikasi, terutama mengenai dampak dari isi atau pesan komunikasi.



Segitiga tingkatan makna Alkitab menurut St. Origenes

Selanjutnya, St. Agustinus dari Hippo (354-430) adalah salah seorang pemikir yang berpengaruh terhadap hermeneutika modern seperti diakui oleh Dilthey, Heidegger, dan Gadamer.

Menurut Gadamer, justru Augustinuslah yang pertama kali memperkenalkan universalitas hermeneutika. Pernyataan ini didasarkan pada bagaimana Agustinus memandang hubungan antara bahasa dan interpretasi, juga bagaimana penafsiran Kitab Suci melibatkan tingkatan yang lebih eksistensial dari sekadar pemahaman atas teks itu sendiri. Karya Thomas Aquinas (Summa Theologia), di mana Heidegger banyak mencurahkan perhatian dan mendapatkan inspirasi, juga berpengaruh pada perkembangan hermeneutika modern. Sebagaimana diketahui bahwa Thomas Aquinas membagi empat lapis makna dari Alkitab, yakni
1) the literal or historical level (Alkitab sebagai teks itu sendiri),
2) the allegorical level (peristiwa literal berkaitan dengan pristiwa Perjanjian Baru),
3) the moral level (menjelaskan pelajaran abstrak moral yang bisa ditarik dari peristiwa literal), dan
4) the anagogical level (yang berkaitan dengan makna) “heavenly things”.

Layer yang keempat ini oleh Brown disebut sebagai “sensus plenior” yakni fuller sense atau cita rasa yang purna dari Alkitab. Inilah makna yang sesungguhnya dari usaha penafsiran, yakni upaya menemukan true conditions, sesuai dengan arti anagoge: tingkatan tertinggi yang melampaui apa yang kelihatan.

Filsuf lain yang turut mempengaruhi tahap awal hermeneutika modern adalah Spinoza. Dalam bab ketujuh dari Tractatus theologico-politicus (1670), Spinoza mengusulkan bahwa untuk memahami bagian paling esensial dan paling sulit dari Kitab Suci, si penafsir haruslah berangkat dari cakrawala historis di mana teks-teks tersebut ditulis dan merekonstruksi bagaimana Alkitab tersebut diproduksi. Dengan demikian, Alkitab bukanlah pertama-tama sebuah teks-mati, melainkan mengandung makna terdalam seperti dicatat Caroll (2002:6) bahwa

…in traditional Christian and Jewish circles the Bible is read as the story of the Jewish nation or the Church –from the creation of the world until the end of time—give or take a few centuries. It also read as the “story of salvation” (Heilsgesclichte) by many Christian reading communities.

Selanjutnya, Caroll (hlm. 7) menekankan bahwa tradisi hermeneutik Kristen di dalam menafsirkan Alkitab tidak pernah lepas-lepas, melainkan selalu dilihat secara “intertextual”.

Jalan dialektika bagaimana para pakar dalam tradisi Kristen menafsirkan Alkitab secara hermeneutik seperti dilukiskan di atas panjang sekali. Sejarah dan tradisi menafsirkan itu sendiri adalah kegiatan hermeneutik di mana konteks tradisi dan sejarah tidak dapat dilepaskan dari sang penasfir, sehingga mereka bersepakat memandang bahwa Alkitab pertama-tama bukanlah sebuah teks-mati; namun harus dapat menangkap maknanya yang terdalam pada tataran anagogical atau sensus plenior. Dalam perkembangan selanjutnya, metode eksegese ini juga dipakai ilmu sastra (menasfirkan teks/terjemahan) dan psikologi (menafsirkan mimpi).

Tipe Hermeneutika

Menurut Palmer (1999), selain Gadamer, terdapat dua belas filsuf yang pemikiran dan karyanya berkorelasi dengan hermeneutika yakni:
1) Plato (metode dialogis yang dikembangkannya dari Sokrates, mitos tidak bertentangan dengan rasio/logos)
2) Aristoteles (Organon, terutama de Interpretatione)
3) Hegel (dialektika: tesis, antitesis, sintesis)
4) Husserl (fenomenologi)
5) Heidegger (fenomenologi)
6) Wittgenstein (filsafat bahasa)
7) Adorno (teori kritis Frankfurt School)
8) Habermas
9) Derrida (mendekati hermeneutika dari hermeneutics latar post-structuralist theory)
10) Foucault (strukturalis/ "interpretative analytics").
11) Rorty (menggunakan hermeneutika untuk membangun posisi menentang epistemologi yang berbasis-filsafat, masa lampau, dan masa kini)
12) Davidson (menafsirkan Alkitab sebagai dialog hermeneutikal)


Tujuan yang Ingin Dicapai dari Hermeneutika
Tentu saja, dalam kertas kerja ini tidak mungkin membahas secara mendetail semua pemikiran para filsuf tersebut terkait dengan hermeneutika. Untuk itu, akan dipilihkan beberapa saja yang dianggap mewakili atau dianggap cukup fenomenal baik karena pemikirannya yang luar biasa maupun karena diakui berjasa meletakkan fondasi bagi pemikiran dan metode hermenutika.

Oleh karena Gadamer dianggap sebagai “bapak hermeneutika modern” maka porsi pembahasannya cukup panjang lebar, terlebih lagi mengingat bahwa hermeneutika Gadamer diadopsi para pakar untuk membangun teori komunikasi (Deetz, 1976; Palmer, 1999).

Dengan demikian, mengelaborasi bagaimana filsafat hermeneutika berproses dan berdialektika menjadi teori komunikasi sangatlah menarik dan sangat relevan dengan perkuliahan “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Sekaligus melalui usaha elaborasi ini dipaparkan bagaimana proses terjadinya konsep dan teori baru dalam ilmu komunikasi –dalam hal ini hermeneutika-- dan bagaimana para tokoh membangun teori ini secara induktif-logis.

Pada akhirnya, hermeneutika adalah upaya rasional menafsirkan realitas (ontologis) untuk mengungkapkan hakikat atau substansi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada (being) yang dalam bahasa teknis-ilmiah disebut sebagai “true conditions”.

Menurut Ricour (1991), hermeneutika ialah “the theory of operations of understanding in their relation to the interpretation of text (1991: 53).
Dengan kata yang sederhana dapat disebutkan bahwa metode filsafat hermenutika ialah: kegiatan olah pikir yang menafsirkan dan memahami makna suatu teks (realitas) secara rasional untuk mencari/menemukan hakikatnya.

Filsafat hermenutika dibangun dan dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, Hegel, dan Heidegger. Gadamer yang dianggap sebagai filsuf hermeneutika modern dipengaruhi oleh fenomenologi Heidegger (terutama melalui Being and Time) karena Gadamer adalah murid Heidegger.

Pengaruh pemikiran fenomenologi ini nantinya cukup kental dalam karya Gadamer yakni Wahrheit un Methode (1960) atau Truth and Method dan atas “temuan”-nya ini Gadamer dipandang sebagai tokoh filsafat hermenutika modern yang mengelaborasi penafsiran sebagai usaha memahami realitas yang hakiki dalam konteks sejarah dan tradisi.

Gadamer menegaskan bahwa kontemplasi metodikal berlawanan dengan pengalaman dan refleksi. Menurut Gadamer, manusia dapat meraih kebenaran hanya dengan mengerti atau bahkan menguasai pengalamannya.

Oleh karena metode hermeneutika mengandalkan olah akal budi rasional dalam upaya memahami realitas/ontologi (menafsirkan teks) dan kontemplasi ini maka hermeneutika oleh Habermas disebut sebagai metode kritis (Wachterhauser, 1986: 243-276) dan oleh Ricoeur disebut sebagai “kritik atas ideologi” (Wachterhauser, hlm. 400).

Pengalaman, menurut Gadamer, tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah; dan pengalaman tersebut selalu menunjukkan perspektif waktu. Gadamer menunjukkan pada kita bahwa kita tidak pernah dapat melangkah keluar dari tradisi. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah: berusaha atau mencoba untuk memahami tradisi tadi. Konsep atau proposisi ini kemudian mengelaborasi atau menguraikan gagasan tentang lingkaran hermeneutika.

Bagi Gadamer, sejarah bukanlah milik kita, tetapi kita adalah milik sejarah. Lama sebelum kita bisa memahami diri kita (autos hepa), kita memahami siapa diri kita dalam cara yang terbukti dengan sendirinya, yakni kita ada dalam keluarga, masyarakat, negara, dan tempat tinggal kita (tradisi). Inilah yang disebut dengan “realitas historis”. Konsep yang penting dalam pandangan Gadamer ialah bahwa Gadamer melihat realitas sebagai sebuah teks.

Gadamer juga meyakini bahwa jika kita mengerti teks maka penasfiran adalah metode atau jalan untuk mencapai pengertian yang ada di balik teks tersebut. Dengan demikian, Filsafat Hermeneutik adalah kritis, bahkan cenderung skeptis (salah satu sikap ilmuwan untuk tidak mudah percaya begitu saja).

Ketika kita menafsirkan teks, maka ada jarak waktu (dialektis). Teks mempengaruhi saya. Terjadi proses dialektis antara teks dan saya, oleh karena itu, ada horizon.
Teks juga dimengerti dalam dialektis perpaduan horizon.

Jadi, tahap ini aktual tidak hanya pada zaman dulu. Di dalam upaya memahami realitas sebagai teks: ada vorurteil (prejudice), praduga. Vorurteil ini dipakai untuk membaca teks. Inilah syarat supaya pemahaman akan sebuah teks terjadi.

Dengan demikian, menurut Gadamer, pengalaman individu selalu hermeneutik, selalu berkembang dalam proses penafsiran. Karena itu, pengalaman negatif dalam teks harus dipelajari dengan baik.

Sejarah yang negatif, misalnya Gerakan 30-S/PKI dan Tragedi Mei 1998, karena itu, menjadi penting. Mengapa? Karena peristiwa tersebut merupakan “peristiwa sosial” yang dalam bahsa Ricour disebut sebagai “symbol of evil” dan hanya dapat dipahami secara utuh-menyeluruh dalam konteks sejarah. Sebagai contoh, teks) lagu “Genjer-Genjer”, hanya dapat dimengerti secara purna apabila dikaitkan dengan peristiwa sosial jelang G30S/PKI tahun 1965. Para saksi sejarah yang hari ini masih hidup lagu tersebut adalah sebuah “teks” yang mengandung realitas ontologis yang apabila ditafsirkan dalam konteks sejarah pada waktu itu akan menyingkap banyak hal. Sebaliknya, bagi generasi sekarang lagu yang sama sebatas teks (tubuh) saja.

Demikian halnya dengan teks atau tulisan “Milik Pribumi” yang ditulis di tembok, depan toko, ruko, atau barang-barang tertentu pada Kerusuhan Mei 1998. Teks tersebut untuk saat ini “tidak berbunyi” apabila tidak dikaitkan dengan sejarah atau peristiwa sosial pada saat itu. Amuk massa sebagai pelampiasan kekecewaan dan dendam yang terpendam pada Pemerintahan Orde Baru dilampiaskan pada kalangan nonpri, sehingga apa pun yang menyimbolkan nonpri halal untuk dirusak dan dijarah; namun “milik pribumi” haram hukumnya untuk diganggu, apalagi dirusak. Makna terdalam atau sensus plenior dari teks “Milik Pribumi” hanya dapat dimengerti dalam konteks sejarah dan pengalaman kolektif pada saat itu dan pendekatan hermeneutika dapat menjelaskan makna di balik sebuah teks.

Dalam konteks itulah Gadamer berpandangan bahwa hermeneutika adalah metode yang terus berproses dalam lingkaran historis sebagai usaha rasional untuk memahami ontologis. Teks adalah realitas yang tampak, teks yang tampak tersebut haruslah ditafsirkan dalam tiga dimensi:
1) psikologis,
2) struktur, dan
3) historis untuk menemukan kebenaran (realitas) yang sejati –yang dalam bahasa Thomas Aquinas disebut sebagai “anagogical level”, yaitu upaya menemukan sensus plenior dari sesuatu.

Jadi, what is truth? Teks adalah petunjuk (clue) to something. Aletheia (kebenaran) menampakkan diri dalam seluruh dialektis (interaksi antara aku-teks: aku sebagai si penafsir dan teks sebagai objek yang ditafsir) dan agar sampai pada pemahaman yang purna (sensus plenior) mengenai hakikat segala sesuatu yang ada (being) maka interaksi aku-teks ini berlangsung dalam lingkaran hermeneutika.


Gambar 1:siklus hermeneutika


Gambar 2: Dekonstruksi


Gambar 3: Tampilan struktur spiral turun yang sama dengan tabel “siklus realistis hermeneutika”.
Sumber: http://www.friesian.com/hermenut.htm

Hermeneutika sebagai Metode Penelitian Komunikasi

Menurut Gadamer, manusia adalah makhluk yang tidak dapat lepas dari bahasa. Melalui bahasa, dunia ini terbuka bagi kita. Kita belajar untuk mengetahui dunia dengan belajar menguasai bahasa.

Oleh karena itu, kita tidak dapat benar-benar memahami diri kita kecuali kita memahami diri sebagai bagian dari budaya dan bahasa dalam dimensi ruang dan waktu yang menyejarah. Hal ini membawa konsekuensi dalam pemahaman kita tentang seni, budaya, dan sejarah teks. Sejarah (teks) merupakan bagian dari tradisi kita sendiri, karya-karya sejarah tidak terutama menampilkan diri kepada kita sebagai objek netral dan bebas-nilai dari penyelidikan ilmiah.

Sejarah (teks) adalah bagian dari cakrawala di mana kita hidup dan melalui cakrawala tersebut pandangan kita terhadap dunia akan dibentuk. Dengan kata lain, kita dibentuk oleh karya-karya besar (tradisi dan histori) sebelum kita mendapatkan kesempatan untuk mendekatinya dengan tatapan yang objektif.

Melalui uaha interpretatif untuk memahami realitas yang sejati, kita mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan lebih mendalam tidak hanya sebatas teks, akan tetapi juga memahami diri kita sendiri (autos hepa). Hal inilah yang diangkat Deetz (1976) dalam Kolokuium Komunikasi Verbal di Florida, Juli 1976. Deetz antara lain menekankan hal yang berikut ini.

However, when these concepts are taught and make their way into everyday language, they are often understood as representing things rather than experiences and process. “self,” “attitudes,” norms,” “culture,” and so forth are example of concepts suffering from this reification. Explanation using these concepts in understood as one thing causing another rather than chosen way of structuring the experience on continuity. The experience is thus explained away in abstraction rather than brought to clearer understanding. For example, what does it mean to say that a communication problem is a result of cultural differences? And how does that move us towards solving the problem? Concepts do not need to be seen as tools of classification (in a categorical sense) but can be seen as opening experience in interpretative sensee.” (Deetz, hlm. 23-24).

Pemahaman akan realitas sejati dan pemahaman akan diri ini terus-menerus berproses dalam apa yang dinamakan “lingkaran hermeneutik” seperti gambar berikut ini di mana teks (realitas) terus berputar dan tidak pernah selesai. /hermenut.htm

Dalam upaya memahami sebuah teks secara utuh-menyeluruh maka interpretasi harus terus-menerus mengikutinya. Dalam konteks inilah penafsiran harus diletakkan dalam dimensi waktu (sejarah) dan tradisi –sesuatu yang mengingatkan kita akan Berger dan Luckmann (1966) mengenai kesadaran kolektif yang membentuk konsepsi mengenai realitas sosial.

Relasi antarmanusia dan kesadaran-sejarah ini kembali ditekankan Deetz (hlm. 24) bahwa hermeneutika, terutama Gadamer, memberikan kontribusi penting bagi studi komunikasi yang intinya ialah bahwa: makna (true conditions) dari segala sesuatu yang ada baru dapat dipahami seutuhnya jika dikaitkan dengan kesadaran-sejarah (historical consciousness).

Apa relevansi filsafat hermenutika dengan studi-studi ilmu komunikasi? Deetz menyebutkan bahwa hermeneutika sangat menarik bagi para pakar ilmu komunikasi Amerika. Alasannya: metode filsafat hermeneutika sangat cocok dan relevan untuk studi komunikasi, terutama karena hemerneutika membantu studi komunikasi di dalam “understanding the message becomes primarily an instrumental act towards this end” (Deetz, hlm. 10).

Di tempat lain, Palmer dalam “The Relevance of Gadamer’s Philosopical Hermeneutics to Thirty-Six Topics or Fields of Human Activity” menyebutkan terdapat 36 topik yang relevan dengan filsafat hermeneutika Gadamer, salah satu di antaranya untuk studi komunikasi, yakni topik ke-35 “Communication Theory”, terutama menyangkut bahasa sebagai alat komunikasi (verbal), bagaimana bahasa bekerja, serta bagaimana metode penasfiran hermeneutika Gadamer dipakai untuk menafsirkan meta-bahasa atau realitas di balik bahasa verbal.

Sebagai metode dalam penelitian/studi komunikasi, hermeneutika mengikuti langkah yang berikut ini:
1) Menetapkan being atau objek material (teks, objek, fenomena) yang hendak diselidiki atau diamati.
2) Berusaha menafsirkan being tersebut dengan mengikuti “segitiga” tingkatan makna Origenes.
3) Lalu berupaya mencari sensus plenior (hakikat terdalam/true conditions) dari being tersebut.
4) Jika si penafsir yang sudah sampai pada sensus plenior di mana ia sudah berhasil menjadi jembatan (mediator/messenger) dan berhasil menunaikan tugas seperti yang dilakukan Hermes yaitu berhasil menjembatani gap ontologis realitas yang sesungguhnya dengan apa yang tampak, maka hermeneutika sudah sampai pada metode penelitian kualitatif: menemukan makna terdalam dari segala sesuatu yang ada (being).

Penerapan Metode Hermeneutika dalam Studi Komunikasi

Hermeneutika ialah upaya rasional mencari dan menemukan makna atau sensus plenior dari sebuah teks (realitas); sementara hakikat dari penelitian kualitatif juga mencari makna hakiki dari being, segala sesuatu yang ada yang hendak diteliti.

Sebagai contoh, seseorang hendak meneliti teks/wacana Orde Baru yakni “amankan”. Mendapatkan prefiks ke-an, kata dasar wacana ini adalah “aman” yang berarti: bebas dari gangguan, terlindung atau tersembunyi, tenteram. Arti kamus ini menurut Origenes adalah “tubuh” atau teks per se.

Untuk mengerti makna dan peristiwa (sosial) di balik teks “amankan” ini, kita (peneliti) harus dapat menangkap jiwa dari kata tersebut, yaitu bukan benar-benar terlindung atau tenteram sebagaimana tersurat dalam pengertian kamus; sebaliknya seseorang yang “diamankan” dalam konteks sejarah Orde Baru justru berarti hilang (diculik atau dibunuh) agar yang bersangkutan tidak mengganggu sepak terjang dan menghalang-halangi penyelenggaraan pemerintahan pada saat itu.

Makna yang terdalam dari wacana ini dapat dijelaskan dengan pendekatan hermeneutika, yakni dengan mencari sensus plenior-nya, tidak hanya sebatas teks saja. Jika hanya menelaah teks maka makna hakiki dari wacana tersebut tidak terungkap.

Untuk mengungkap secara utuh-menyeluruh teks tersebut, pendekatan hermeneutika dapat membantu dengan menempatkan objek material (unit analisis) “amankan” ke semua aras dari bangun segitiga Origenes dan mengangkatnya ke aras anagogikal (anagogical level) sebagaimana yang disarankan oleh Thomas Aquinas.

Kemudian, menempatkannya dalam konteks sejarah (dan tradisi) sesuai dengan yang dianjurkan Gadamer di mana aku (penafsir) terus-menerus berdialog dengan teks, dan dalam dialektika tersebut, ada horizon yang memungkinkan sebuah teks atau realitas ditangkap secara utuh-menyeluruh. Penafsiran (hermeneutika) ini berlangsung dalam sebuah siklus yang disebut “lingkaran hermeneutika”.

Sebagaimana tampak dalam gambar 3, penafsiran hermeneutik dibatasi oleh teks, atau oleh bukti empiris, atau oleh hal lain, sehingga ada kemungkinan bahwa siklus hermeneutik justru bukan mempersempit spiral di luar kendali. Limit dari spiral, apakah tercapai atau tidak, merupakan prinsip objektivitas dan realitas. Seperti dalam mekanika kuantum itu sendiri, akan ada kisaran yang lebih besar atau lebih kecil dari ketidakpastian, tetapi ini hanyalah kisaran, bukan sebuah kemungkinan tak terhingga atau tak terbatas.

Jika teks “amankan” dimasukkan ke dalam siklus hermeneutika dan coba dicari maknanya yang paling hakiki maka aku (penafsir) terus-menerus berdialog dengan teks (realitas), di dalam proses dialektis tersebut ada jarak waktu tersebut ada horizon yakni garis yang sejajar antara batas pendekatan atau usaha rasional untuk mengerti teks (approach limit) dan dan garis batas ontologis yang (masih) terkendala oleh realitas. Gap antarkedua garis ini yang coba dijembatani atau dihubungkan si penafsir dan dalam horizon yang bersifat dialektis inilah si penafsir menemukan kepurnaan makna sebuah teks.

Dengan demikian, teks “amankan” yang ontologis sebagai “bahasa dan jargon dewa” berusaha dijembatani oleh si penafsir dengan menemukan sensus plenior-nya pertama-tama memang melalui salah satu kaki segigita Origenes yakni “tubuh/teks”.

Akan tetapi, hal yang jauh lebih penting setelah itu ialah melihat kaki-kaki yang lain, yakni jiwa dan spiritnya dalam peristiwa sejarah dan keadaan pada saat itu. Begitu dari dunia dewa datang titah untuk “mengamankan” seseorang maka itulah isi pesan yang langsung dapat dimengerti warga dunia atas, namun yang tidak sepenuhnya dimengerti orang kebanyakan. Si penafsir akan bertindak selaku Hermes dan ia akan menjadi mediator antara dunia dewa dan dunia manusia, sehingga manusia yang melaksanakan pesan itu di lapangan melakukan apa yang dikehendaki dewa.

Dalam upaya menemukan sensus plenior inilah agaknya kita memahami apa yang ditekankan Gadamer berikut ini.

All the beginning of all historical hermeneutics, then, the abstract thesis between tradition and historical research, between history and the knowlede of it, must be discarded. The effect (Wirkung) of a living tradition and effect of historical study must constitute a unity of effect, the analysis of which would reveal only a texture of reciprocal effects. Hence we would do well not regard historical consciousness as something radically new –as it seems at first—but as a new element in what has always constituted the human relation to the past. In other words, we have to recognize the element of tradition in historical research and inquire into its hermeneutic productivity.

That elemen of tradition affects the human sciences despite the methodical purity of their procedures, an element that constitutes their real nature and distinguishing mark, is immediately clear if we examine the history of research and note the difference between the human and the natural sciences with regard to their history. Ofcourse none of man’s finite historical endeavors can completely erase the trace of this finitude.
(Gadamer, hlm. 283-284).

Dalam upaya mencari kepurnaan makna teks “amankan” maka pendekatan hermeneutika pertama-tama harus menempatkan teks tersebut dalam bingkai tradisi dan garis sejarah untuk menemukan sensus plenior-nya.


SIMPULAN

Relevansi filsafat hermeneutika dalam studi komunikasi ialah: Filsafat hermeneutika memberikan kontribusi pada studi komunikasi untuk melihat realitas di balik data (meta data), menyingkap meta-teks dengan coba membongkar ada apa di balik teks tersebut, menyingkap realitas di balik data yang terselubung, dan bagaimana menangkap makna di balik hal-hal yang tampak di permukaan (ucapan, teks, gesture).
Dengan kata lain, hermeneutika memberikan sumbangan pada metode penelitian komunikasi untuk menemukan makna yang utuh (sensus plenior) dari segala sesuatu yang ada (being).


DAFTAR PUSTAKA
Agushevits, Reuven. 2008. Principles of Philosophy. Jersey City: KTAV Publishing House.
Apostle, Hippocrates George (terj.) 1980. Aristotle's Categories and Propositions (De interpretatione). California: Peripatetic Press.
Barret, William dan Henry David Aiken. 1962. Philosophy in the Twentieth Century: An Anthology, Volume 1. New York: Random House.
Berger, P. dan Luckmann T. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise on the Sociology of Knowledge. London: Penguin University Books.
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Boldonova, Irina. 2008. “On H.G. Gadamer’s Truth and Method: The Hermeneutics of Interpersonal Communication” dalam William Sweet (ed.), The Dialoque of Cultural Traditions: A Global Perspective. Washington: The Council for Research in Values and Philosophy.
Caroll, Robert P. 2002. “Removing An Ancient Landmark: Reading The Bible as Cultural Production” dalam Martin O’Kane (ed.), Borders, Boundaries and the Bible. New York: Sheffield Academic Press ltd.
Davidson D.D., Samuel. 1857. The Text of the Old Testament. London: Longman.
Deetz, Stanley. 1976. “Gadamer’s Hermeneutics and American Communication Studies”, paper presented at the Annual International Colloquium on Verbal Communication.
Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Method. London-New York: Continuum.
Grant, Edward. 1996. The Foundations of Modern Science in The Middle Ages: Their Religious, Institutional, and Intellectual Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Ricoeur, Paul. 1973 “The Hermeneutical Function of Distanciation” dalam Philosophy Today 17.
-----------------. 1967. The Symbol of Evil (terjemahan oleh E. Buchanan. New York: Harper & Row.
-----------------. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Illionis: Northwestern University Press.
Vatimmo, Gianni. 1997. Beyond Interpretation: The Meaning of Hermeneutics of Philosophy. Standford, California: Standford University Press.
Wachterhauser, Brice R. (ed.). 1986. Hermeneutic and Modern Philosophy. New York: State University of New York.
http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-logic/ diunduh pada 5 Maret 2011.
***

NB. Artikel ini memiliki Hak Cipta. Mengutip harus menyebutkan sumbernya.