Tahun 1988, di Pontianak, saya sempat bertemu, berdiskusi, dan berbincang-bincang dengan seorang peneliti linguistik dari Universitas Leiden, Nederland.
Waktu itu, ia memperkenalkan diri sebagai Sander Adelaar. Dan post factum 20 tahun kemudian, sebelum berhasil mengunduh hasil penelitiannya berjudul Salako or Badameà. Sketch grammar, texts and lexicon of a Kanayatn dialect in West Borneo saya tetap mengenalnya dengan nama ini.
Ternyata, nama lengkap peneliti yang meraih gelar tertinggi di dunia akademik, Ph.D. karena penelitiannya mengenai penggolongan dan penyelidikan bahasa Dayak Kanayant ini adalah Karl Alexander Adelaar. Tetapi, sebagaimana kata Ernst Hemingway, what is a name? Yang penting, substansinya sama.
Sander Adelaar.
Meski objek penelitian mengenai Dayak Salako, untuk memberikan konteks, Adelaar membuat peta Dayak Kalimantan berdasarkan penggolongan bahasa. Dan Jangkang ada di dalamnya, dalam satu kesatuan dengan Land Dayak.
Objek material maupun objek formal penelitian pria, yang menulis dengan tangan kidal itu, termasuk unik. Betapa tidak! Sander Adelaar belajar bahasa dan budaya Indonesia dan kelompok bahasa Austronesian di Universitas Leiden. Ia juga research fellow bidang Linguistik pada Australian National University dan Humboldt Fellow at Goethe University (Frankfurt) sebelum bergabung dengan University of Melbourne. Risetnya mengenai komparasi dan deskripsi linguistik dengan fokus pada variasi bahasa Melayu di Kalimantan (tempat ia melakukan riset lapangan), Madagaskar dan Taiwan. Ia juga meminati soal tradisi lisan dan sastra tulis tradisional Indonesia.
Yang penting, dan relevan dengan Jangkang, dari hasil penelitian Adelaar ialah kajian dan hasil studi bandingnya tentang Dayak, terutama bab 4 “Borneo as a Cross-Roads for Comparative Austronesian Linguistics”. Menurut Adelaar, betapa pentingnya posisi bahasa Melayu-Polinesia, terutama di Borneo, untuk memahami dan membandingkannya dengan bahasa Austronesian.
Jika tidak ada hasil penelitian seperti dilakukan Adelaar, kita tidak pernah mafhum bahwa terdapat kesamaan dari segi bahasa (juga budaya) yang menyatukan Land Dayak sebagai sebuah subkelompopk etnis Dayak. Atas dasar kesamaan linguistik inilah, Dayak Jangkang menjadi bagian kecil Land Dayak.
Sebagai penutur asing, dapat dipahami mengapa Adelaar memberikan tanda tanya pada lafal bahasa Jangkang. Sebagai catatan awal, orang Jangkang gemar memberi nama lain pada sesuatu/benda. Tidak mudah bagi orang luar Jangkang melafalkan atau memahami sinomim yang dalam banyak kasus hanya dimengerti Dayak Jangkang.
Sinomim itu bisa bentuknya lebih dari dua. Lagi pula, jika ditulis kerap bila dibaca tidak sertus persen sama dengan apa yang (semestinya) dilafalkan. Misalnya, tertulis “Jongkang” lafal yang benar Jongkangk. Jadi, rumus umum bahasa Jangkang jika ada kata berakhiran “ng” cenderung dilafalkan, atau ada kata “k” pada akhirnya.
Dengan demikian, nama-nama kampung di wilayah Kecamatan Jangkang, seperti: Kobang, Empiyang, Tangong, Lalang, dan setiap kata berakhiran “ng” seperti sabong (sabung), komong (kembung), cinong (condong), linong (lindung), dan sebagainya; cenderung dilafalkan dengan menambahkan “k” pada akhir kata.
Adelaar memberikan catatan bahwa bentukan mane?, mandey?, manI? and man ḯ? merupakan adaptasi dari bahasa Melayu mandi atau Melayu- Dayak man(d)i?
Inilah subkelompok bahasa Kalimantan dan hubungannya dengan subkelompok ekso-Kalimantan yang lain. Dari peta persebaran penggolongan subkelompok Dayak dari segi linguistik dapat dilihat betapa etnisitas tidak dapat memisahkan antara Dayak Jangkang dan Dayak Sarawak.
Adelaar coba menyangsikan banyak teori yang menyimpulkan bahwa bahasa Melayu Riau merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Benar demikian, tapi bukan yang arkhais (yang asali). Menurut Adelaar, yang asli justru Melayu Salako yang dalam teks-teks internasional disebut Salako (a Malayic Dayak language). Tentu saja, sesuai dengan kaidah ilmu, antitesis Adelaar masih perlu diverifikasi, seperti juga dia memverifikasi temuan para pakar linguistik sebelumnya.
Contoh perbandingan linguistik bahasa Land Dayak sebagai berikut:
mati membunuh tidur mandi
(Land Dayak)
Bekati’ kabis ŋamis buus mamu?
Lara? kabih, [-ç] ŋamḯh buih mamǘ
Golek kobis ŋkəbis biis mamuh
Nonguh kobis ŋkɔmis bis mamǘh
Pandu kɔbis ŋɔmis biis mane?
Ribun I kobis ŋkobis bihis mandey?
Ribun II kɔbis ŋkɔmis biis mandey?
Jangkang kɔbi? kɔmI? bi? manI?
Lintang k(oɔ)bis ŋkɔmis biis manI?
Aye-aye kubəs ŋkuməs bis manḯ?
Sungkung kabəs nnabəs bə?əs mamuh
Sekayam kɔbis ŋkɔmis bis Mä́mǘh
Karena itu, tali persaudaraan di antara mereka terus terjalin. Bahkan, menjadi semakin erat ketika dibangunnya jalan internasional yang menghubungkan Jangkang-Kembayan-Sarawak dengan pos lintas batas Entekong . Kunjungan muhibah baik atas nama bahasa dan budaya, kekerabatan, maupun agama, sering dilakukan penduduk Sarawak ke Sanggau dan sebaliknya.
Pada zaman dahulu, orang Jangkang sering ke Sarawak menjual karet, cokelat, dan kulit trenggiling atau tenggiling . Mereka berjalan kaki melalui pintu gelap Mongkos. Beberapa tauke Tionghoa beragama Katolik sering mengirimkan makanan kaleng untuk pastor Jangkang, Herman Jozef van Hulten.
Sementara itu, Jangkang juga dikenal dalam penggolongan etnis-etnis dunia. Gordon Raymond G., Jr. (ed.), 2005, misalnya dalam Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas dalam “Djongkang entry” mencatat sebagai berikut,
Djongkang
A language of Indonesia (Kalimantan)
ISO 639-3: djo
Peta persebaran pengguna bahasa di Kalimantan menurut penelitian Sander Adelaar.
Population 45,000 (1981 Wurm and Hattori).
Region Northwest, south of Balai Sebut.
Classification Austronesian, Malayo-Polynesian, Land Dayak
Populasi, atau pemakai, bahasa Djongkang menurut Gordon sebanyak 45.000. Sementara total penduduk kecamatan Jangkang, sebanyak 24.228 . Artinya, bahasa Djongkang juga ditutur oleh penduduk di luar Kecamatan Jangkang. Ini menunjukkan bahwa pengguna bahasa Djongkang cukup banyak.
Wikipedia mencatat bahwa Subetnik Dayak Bidayuh, Sarawak, Malaysia punya hubungan dengan Dayak Jongkang. Dayak Bidayuh menetap sekitar Serian seperti Tebekang, Mongkos, Tebedu hingga Tanjung Amo daerah perbatasan Kalimantan Indonesia yang berdialek Bukar-Sadong. Menilik bunyi dan asal usul katanya, Bidayuh sangat boleh jadi berasal dari “Bi Doih” yang berarti “Orang yang tinggal di darat”, atau “Orang Dayak”.
Peta tempat tinggal berbagai suku (Dayak) di Borneo sampai akhir abad 19.
Sumber: Anton W. Nieuwenhuis, 1994
Keterangan peta:
A 4 Kadayan F 5 Kajang
Punan 5 Murut Ida’an 1 Ngaju 6 Aoheng
1 Bukit 6 Berawan 2 Ot Danum
B D 3 Ma’anyan
Bajau Laut 1 Salako 4 Melawi H
G 1 Kutai
C 1 Kayan 2 Brunei
1 Rungus Dusun E 2 Kenyah 3 Banjarmasin
2 Lun Dayeh 1 Iban 3 Modang 4 Sambas
3 Kelabit 2 Ibanic 4 Maloh 4 Sambas
5 Sukadana
Subkelompok Penutur Dayak Djo dan Persebarannya
Penutur Dayak Djo, sesungguhnya, masih bisa dipilah-pilah lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Dasar pemilahan subkelompok ini adalah kesamaan dialek, pengucapan, dan tempat tinggal.
Atas dasar itu semua, kita dapat membagi Dayak Djo ke dalam 11 subkelompok sebagai berikut.
1. Suku Jangkang
2. Suku Engkarong
3. Suku Ensanong
4. Suku Hulu Tanjung
5. Suku Darok
6. Suku Sum
7. Suku Muduk
8. Suku Selayang
9. Suku Mayau
10. Suku Kopa
11. Campuran suku Jangkang, Engkarong, dan Hulu Tanjung
Subkelompok Suku Jangkang merupakan mayoritas. Umumnya mereka mendiami bagian utara Jangkang Benua, seperti Kobang, Landau, Parus, Tanggung, Engkolai, Benuang, Kawai, Sebao, Tumbuk, Pisang, Rosak, Entawa, Teriang, dan Ketori .
Subkelompok Suku Engkarong mendiami kampung Sekantot, Semombat, Lalang, Uru, Tanjung Bara, Tekorong, Emporas, Balai, dan Riban.
Subkelompok Suku Ensanong mendiami kampung Terati, Parai, Sererek, Pelanduk, Dasan, Endoya, Robia, dan Engguri.
Subkelompok Suku Hulu Tajung mendiami kampung Peruntan, Sape, Dangku Kabalau, Sebuda, Boyok, Sungai Omang, Seribot, Bengap, dan Muara Tingan.
Subkelompok Suku Kembayan mendiami seluruh bagian kecamatan Kembayan dan Noyan.
Subkelompok Suku Darok mendiami kampung Darok, Ginis, dan Bungok.
Subkelompok Suku Sum mendiami kampung Sum, Bantai, Bangau, Majel, Rondam, Muan, Monum, dan Jamu.
Subkelompok Suku Muduk mendiami kampung Mua, Empodis, Tapa, Entayan/Nibuk, dan Nala.
Subkelompok Suku Selayang mendiami kampung Sinu dan Petuo.
Subkelompok Suku Mayau mendiami kampung Kotup, Tebilai, dan sebagian kampung Engkadot.
Subkelompok Suku Kopa mendiami kampung Empiyang, Empoyu, Padek, Sebotuh, Muara Ronai, Tunggul Boyok, Kolo, Norma, Bedigung, dan sebagian kampung Engkadot.
Sedangkan sisanya merupakan campuran dari subkelompok suku Jangkang, Engkarong, dan Hulu Tanjung. Kelompok ini terutama bermukim di Sabang, Tebuas, Sentowa, Semukau, Jambu, Sekampet, Semirau, dan Ensibau.
Peta persebaran suku Dayak Djo.
Kekhasan dan Differensiasi Dialek
Dayak Djo yang pada awal mula berasal Tampun Juah kemudian menurunkan beberapa subkelompok. Perbedaan dan differensiasi paling mencolok di antara subkelompok itu adalah segi dialek.
Perbedaan tersebut tidak selalu positif. Malah, kerap mendatangkan ejekan yang menimbulkan salah paham. Bahkan, subkelompok tertentu, terutama Suku Sum, di-stereotype sebagai suku primitif. Asalkan ada hal yang aneh dan ganjil, atau terjadi sesuatu yang bodoh, disebut “Matut bi Sum” (pantas seperti orang Sum).
Orang asing, atau orang yang baru saja tinggal di wilayah Jangkang, tentu belum peka dan belum terbiasa untuk mengetahui idenditas siapa penutur dialek bahasa Djo. Namun, penutur bahasa Djo dan orang Jangkang sudah mafhum dari mana asal orang yang menuturkan dialek itu. Mereka dapat mengetahui daerah tempat tinggal penutur dari dialeknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar