Jumat, 26 Maret 2010

Es Tu Brutu?

Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.
There is nothing new under the sun.
Nihil novi sub sole!


Begitu biasa kita mendengar pepatah yang dilontarkankan kaum cerdik cendikia, ketika mengomentari sesuatu. Biasanya, tentang sebuah penemuan baru. Entah penemuan di bidang ilmu, teknologi, maupun dalam pemikiran.

Segala misteri dan rahasia semesta pasti tersingkap satu demi satu. Merupakan tugas ilmu untuk menguak semua misteri semesta yang tersembunyi. Dan rahasia semesta, lambat laun, akan terkuak satu demi satu.

Pada zaman kuda menggigit besi misalnya, kita hanya tahu bahwa bulan hanyalah sebuah bola bulat sebesar basket yang bernaung di atas langit. Indah terlihat dari bumi. Itulah sebabnya, ada kiasan “Indah bagai rembulan”. Padahal, permukaan bulan itu buruk dan kasar. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di bulan tahun 1969, Neil Armstrong melihat permukaan bulan sangat jelek. Tidak rata. Penuh bebatuan tajam-tajam. Ternyata, bulan tidak seindah sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya.

Karena itu, ilmu terus-menerus berkembang. Namun, antara penemuan yang satu dengan yang lain hampir selalu serupa prosesnya. Mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis. Semula, orang meyakini matahari mengelingi bumi (tesis). Muncul Galileo Galilei yang mengatakan sebaliknya: bukan, justru bumilah yang berputar (antitesis). Dan masih bisa diajukan contoh penemuan lain. Semuanya melalui proses itu.
***
Psikologi juga demikian. Dulu, psikologi masih jadi satu dengan filsafat, dengan tokohnya Aristoteles, Rene Descartes, dan John Locke. Ketika keduanya masih menyatu, orang agak sulit memisahkan antara sesuatu yang abstrak dengan hal yang konkret. Antara ihwal yang idea dan barang yang nyata. Antara ada dan tiada. Dan antara pengalaman dan apa yang dirasakan. Titik pijak psikologi sebagai ilmu yang otonom dimulai pada 1879, ketika Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, Jerman.

Kemudian hari, terjadi revolusi di bidang ilmu. Terjadi division of works di antara para ilmuwan. Terjadi spesifikasi dan orang lalu masuk ke hal yang detail dan fokus. Maka psikologi pun menjadi ilmu yang otonom. Kini menjadi fakultas sendiri di perguruan tinggi. Dan memaklumkan terdapat sembilan cabang ilmu psikologi kontemporer (menurut Wortman, Loftus, dan Weafer). Dan salah dua di antaranya ialah psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan.

Ke dalam cabang kedua ilmu itulah soal need, perkara jasmani, dan ihwal kebutuhan dasar manusia diselidiki. Abraham Harold Maslow adalah tokoh yang tak bisa diabaikan dalam penyelidikan need. Ialah yang meletakkan fondasi bagi peneleitian tentang need, dengan teori strata kebutuhan (Teori Maslow).

Kemudian hari, muncul teori lain. David McClleland misalnya, memerasnya menjadi hanya tiga kebutuhan dasar manusia. Teori McCCleland dikenal dengan “The needs theory”.

Menurut McClleland, pada hakikatnya setiap insan bernama manusia memiliki tiga kebutuhan:
(1) berprestasi,
(2) berkuasa, dan
(3) berafiliasi.

Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement –N-Ach), ialah keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Kebutuhan untuk berkuasa (need for power), ialah kebutuhan untuk lebih kuat, lebih berpengaruh terhadap orang lain.

Dan kebutuhan afiliasi (need for affiliation), yaitu kebutuhan manusia untuk disukai, mengembangkan atau memelihara persahabatan dengan orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu menemui tipe manusia yang merepresentasikan ketiga kebtuhan itu. Di kantor, ada orang yang gila kerja (workaholic). Siang malam, tak ada hentinya. Yang ada dalam otaknya hanyalah bekerja dan bekerja. Istri atau anak menjadi nomor sekian. Nomor satu ialah kerja. Ia gila prestasi. Dan menjadi puas kalau mencapai puncak.

Atau seorang atlet yang giat berlatih, sampai menjadi juara. Juga seorang siswa dan mahasiswa yang belajar terus-menerus. Apa yang mereka cari? Mereka ingin berprestasi. Jika prestasi sudah dicapai, puas. Selesai. Kebutuhan sudah terpenuhi. Hidup terasa sudah penuh.

Lalu ada juga orang yang gila kuasa. Di rumah, si suami ingin menguasai isterinya. Sang istri juga balik ingin menguasai sang suami. Di kantor, kita juga menemui atasan yang sok kuasa. Main kayu. Tega melakukan apa saja, agar tampak bahwa ia memiliki power.

Dunia politik lebih lagi di dalam pamer kuasa, dalam power show. Rebut kekuasaan, adu pengaruh, saling menjegal merupakan manifestasi dari kebutuhan untuk berkuasa. Di lingkungan keagamaan pun ada saling rebut dan nyari kuasa. Padahal, kita sudah diingatkan bahwa “Kamu tidak mempunyai kuasa apa pun, kecuali kuasa itu diberikan dari atas!”

Kebutuhan untuk afiliasi juga sering kita temukan. Saya mengenal sebuah keluarga kaya. Harta benda mereka berlimpah. Apa saja mereka miliki. Namun, tetap saja merasa kurang. Mereka membutuhkan orang lain. Butuh afiliasi dan pengakuan. Perlu diketahui dan diakui bahwa mereka berada. Dan merasa puas jika orang lain mengakui.

Ketiga kebutuhan yang disebut, hampir selalu ada dalam diri manusia, walau dalam intensitas yang berbeda. Orang dapat saja didorong secara kuat oleh kebutuhan untuk berpestasi, sedangkan orang lain duperbudak nafsu untuk untuk berkuasa. Sementara orang lain lagi membutuhkan afiliasi.

Dan memiliki tiga kebutuhan itu sah-sah saja, sejauh mendatangkan buah bernama kebaikan. Tiap-tiap kebutuhan menjadi sumber yang sangat dahsyat dan penting, andai saja disalurkan demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Namun, akan menjadi daya yang negatif, apabila tiga kebutuhan tadi memperkuda. Malah jadi petaka, jika mencelakakan manusia lain.
***
Sejatinya, temuan McClleland populer di bidang psikologi sosial. Terutama, dan teristimewa, temuannya sering digunakan untuk menakar sejauh mana bacaan dan cerita rakyat (folk tales) berpengaruh pada (dan mempengaruhi) perilaku masyarakat.
Untuk sampai pada kesimpulannya, McClleland harus mengalami jatuh bangun. Ia meneliti pengaruh budaya pada Eropa Timur dan Eropa Barat. Tidak bersua jawaban, mengapa kedua benua –meski sama-sama Eropa—yang satu maju dan yang lainnya terbelakang? Diteliti banyak aspek. Disorot berbagai dimensi. Tidak ketemu juga penyebabnya.

Akhirnya, McClleland mengumpulkan folk tales dari kedua belah benua. Di sana ia baru menemukan jawaban: cerita rakyat Eropa Barat positif, mengandung nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih, sikap pantang menyerah pada nasib, dan penuh dengan optimisme. Nilai-nilai yang bertolak belakang dengan cerita rakyat Eropa Timur. Kandungan cerita rakyat Eropa Barat itu lalu disarikan McClleland dalam satu kata: N-Ach (mengandung need for achievement).

Kalau Eropa Barat maju dan masyarakat umumnya berperadaban tinggi, itu karena cerita rakyat mereka yang mengondisikan demikian. Ada cerita mengenai kodok yang tak pernah menyerah pada nasib, terus-menerus berusaha melompat keluar dari keterperosokan. Ada pula kisah mengenai pangeran tampan dan baik hati. Atau dongeng mengenai sebuah keluarga yang hidup rukun dan damai, di sebuah rumah kecil di sebuah lembah. (Tahun1970-an kisah ini difilmkan di bawah judul “Little House on the Prairie”).

Pantas saja Eropa Barat maju. Sudah maju, berbudaya tinggi lagi. Meski tempat-tempat ibadah di Eropa Barat umumnya dimasuki oleh kaum tua, rata-rata mereka itu humanis. Termasuk anak mudanya yang memang jarang ke gereja, namun rajin berdoa.
Di Eropa Barat bahkan berdiri sebuah kelompok yang memaklumkan mereka pembela dan penyayang anjing. Anjing pun dicintai di sana, apalagi manusia.

Di negeri kita, harga manusia sering tidak lebih dari seekor anjing. Baru-baru ini ada kejadian di Jakarta, maling modar dihajar massa karena ketangkap basah mencuri burung beo. Kita tampaknya lebih sayang pada beo daripada manusia. Padahal, martabat burung beo tidak lebih tinggi daripada manusia. Burung beo justru bisa bicara karena meniru manusia! Padahal, bisa saja sang maling diusut, apa motivasinya mencuri beo? Jangan-jangan cuma didorong kebutuhan faal, lapar. Kebutuhan yang oleh Maslow masuk strata paling bawah: kebutuhan perut.

Jangankan dibanding Eropa Barat, dibanding Eropa Timur –yang menurut McClleland folk tales-nya kurang positif— kita kalah. Periksalah cerita rakyat kita. Ada Malin Kundang yang durhaka pada ibunya. Ada kancil yang nyolong ketimun. Ada kisah mengenai kancil yang mengakali buaya (menipu buaya, menyuruh mereka berbaris katanya untuk dihitung, padahal dalam hatinya dibikin jembatan hidup untuk dilompati punggungnya agar bisa menyeberang sungai).

Ada legenda mengenai anak yang membirahi ibunya (Sangkuriang). Ada cerita mengenai pembalasan yang sadis (kura-kura menyumpahi kera karena tidak mau membagi buah pisang). Ada pula cerita mengenai ibu yang tega pada anaknya ketika sang anak tidak mau mendengar nasihatnya, ibu ditangkup batu (Batu Balah). Dan sang ibu hilang.

Dan yang paling hebat justru sejarah bangsa kita sendiri. Dari zaman Majapahit, sejarah mengajari pada kita supaya para pelaku politik harus bisa tega menghabisi lawan politiknya. Lewat jalan apa pun. Dengan cara bagaimana pun. Dengan menghunus keris, lalu menikam dari belakang. Atau secara terang-terangan mengangkat senjata. Tak peduli, asalkan kebutuhan untuk berkuasa terpenuhi!

Imperium Romawi pernah mencatat sejarah terburuk. Suetonius Trangquillus, sekretaris kaisar Hadrianus yang menulis De Vita Caesarum (riwayat hidup para kaisar) mencatat, Iunius Brutus tega menikam perut Caesar dengan pedang.

Itu hanya gara-gara Brutus didorong oleh hawa nafsu ingin berkuasa. Ia mengambil jalan pintas dengan menghabisi Caesar. Dengan ujung pedang tajam terhunus, Caesar pun terkapar. Darah segar mengucur deras. Sambil mengerang kesakitan memegang bekas luka, Caesar masih sempat berkata, “Es tu Brutu?” (Kaukah juga Brutus yang ikut komplotan, bersekongkol dengan lawan yang selama ini hendak mengenyahkanku?)

Rasa sakit hati karena dikhianati pasti lebih perih daripada hunjaman sebilah pedang! Barangkali dari nama Brutus itu pula kata “brute” atau “brutal” berasal. Di kamus, kata itu berarti: orang yang kejam dan kasar, tingkah lakunya kebinatangan.
Brutus dan Ken Arok. Kancil yang nyolong ketimun dan koruptor.

Atau folk tales kita apalagi, yang bisa menyeret kita ke hal-hal yang negatif? Di balik itu semua, kita sering lupa folk tales yang mengandung pesan positif. Adakah cerita kita yang mengantar ke suatu pencapaian? Adakah dongeng kita yang dapat memacu untuk berprestasi? Atau, berapa banyakkah cerita rakyat kita yang mengusung persabahatan, cinta kasih, sikap memaafkan, dan saling menghargai?

Dalam berbagai kesempatan pelatihan menulis cerita. Saya selalu mengatakan, pada galibnya mengarang ceirta itu gampang. Ambil saja dongeng yang sudah ada. Lalu ganti ending (akhirnya). Gantilah akhir dongeng yang negatif menjadi positif. Yang durhaka menjadi mulia. Yang mengakali dengan yang iklas. Dan yang benci jadi cinta. Beres!
Masalahnya, kita sering tidak berani mengubah akhir cerita kita sendiri. Ini karena kita kerap terkungkung kuasa, dan juga, tirani. Kita ingin lepas bebas, tapi tak berdaya. Kita ingin melawan, tapi tak punya cukup kawan.

Akhirnya, kita hanya bisa menerima cerita yang sudah ada. Kisah yang dibikin orang lain untuk kita jalani. McClleland mengajarkan kita banyak hal. Barangkali ajarannya tidak semua bisa kita laksanakan. Tapi mengerjakan satu perkara saja, masa tidak bisa? Kalau kita guru, kita kondisikan anak-anak untuk berprestasi. Kalau kita atasan di kantor, kita jangan main kuasa. Jangan pernah merasa terancam oleh anak buah yang unjuk prestasi tinggi. Dan kalau Anda orang kaya, berbagilah dengan sesama yang tak punya.

Cara melakukan dan mengajarkan temuan McClleland bisa dengan apa saja. Bisa dengan kata-kata. Dapat dengan kalimat. Yang paling kena mungkin dengan suri teladan.

Tidak ada komentar: