Jumat, 02 Oktober 2009

PELABUHAN (untaian puisi)

Pengantar
Saya mengawali karier kepenulisan, seperti pernah disinggung, dari publikasi puisi-puisi di Suara Indonesia, Rohani, Busos, Hidup, dan berbagai media di Jatim tahun 1980-an.

Beruntung, sejilid kumpulan puisi saya 20 tahun lalu, masih sisa. Saya sendiri tak menyimpannya lagi. Yang nyimpan mantan pacar, yang kini jadi istri saya. Inilah salah satu manfaat menikah, ada yang mengarsipkan naskah-naskah.


Malang, Selamat Pagi
Gema genta tua
setia bangunkan kita agar jaga
cuaca menebar rona
fajar merekah
tembusi tembok suci-rendah
selinap
meriap-rapat
tumpat padat
merasuk pori-pori kota

halimun menyeruak
mengepak sayap
kini sisa
tinggal purnama

kutatap teja
tembus kaca benggala
sejumput tanya:
- bayang siapa
kian kusam
ditelan masa?

Dari tempat kini tiarap
sekelebat kutangkap
segaris sayu
terlukis
di bola matamu

Tuhan,
biarpun samar
kan kupahat abadi nama-Mu
pada gerbang-masuk
kota ini.
1984

Malang, Selamat Siang
Tlah lelahkah kau berkelahi
bergumul
sekalian bercumbu dengan waktu?

di rerimbun daun-daun eru
terlukis pasi pucat wajahmu
(adakah itu kerna terjaga tidurmu tadi malam?)
ku tetap setia menunggumu

pada halte ini
sedetik kita henti
bukan cuma tunggu
angin lalu
atau bunuh waktu
keberangkatan tiba

di titik berangkat ini
sempurna sudah penantian
dibekap luka para penglaju
disesap reguk tetes madu

ketika tanya pengemis tua
menghujam tusuk luka-lukamu
(ku jadi tak ngerti
kenapa kau rela dihina
tanggung dosa kami semua?)
1984

Malang, Selamat Sore

Tiap sudut kota ini
tlah kujalani
sekalian kukencingi

ke mana melangkah
ketika lelah memuncah?
ke mana lari
ketika sepi menanti-nanti?
ke mana mengadu
ketika lidah jadi kelu?

maafkanlah
bila nanti malam
ku tak dapat datang
menjemputmu lagi
di sini
1984


Malang, Selamat Malam

Tahu tak ada yang melintas
kututup saja gerbang kota ini
biar rel kereta berbagi dingin di malam hari
dan jalan raya menangis ditinggal pergi pejalan kaki

nyanyi kenari telah pergi
burung kepodang kembali ke sarang
maka biarlah
sekalian kuucapkan: selamat malam
buatmu
kotaku tercinta
Mei 1990

Gunung Bromo
(kepada I.P.)

(1)
Di barat
langit terbakar
mentari merona
gemawan putih
berarak riang menyongsong siang

pucuk-pucuk pinus yang gemulai
dibelai mesra
dan dicumbu
bayu yang lalu
bersama waktu

lelambai daun cemara
pucat pasi
kuning
luruh
jatuh ke bumi

adakah Segara Wedhi lahir dari cinta?
atawa hanya fatamorgana?
kudampar tanya pada kawah yang menganga:
- akan kautelan jua duka lara anak manusia?

(2)
Pada titian anak tangga penghabisan
tak terasa
kusebut namamu
Bapa, Kau alfa dan omega
bolehkah kubersamanya mendaki
puncak gunungmu yang menjulang?

siang kian angkuh menyongsong senja
sayap-sayap malam menjala mata angin
kusesap segala arah
1989

Edelweiss
Ini
seputik untukmu
kucuri dari negeri
segala cinta
beri siapa saja
yang datang ke sini
menjemputmu
17 Mei 1988

Pohon Kehidupan
Butir air hujan yang curah dari awan
seperti hendak menelan
guratan sketsa kisah perjalanan
datang,
datanglah pelangi segra
merasuk dalam hidupku

Tuhan, maafkan kami
tlah bakar habis hutan titipan anak cucu kami
bambu-bambu cimari
padang ilalang
ganti hijau daun kehidupan
yang pernah Engkau Tanami sendiri
1986

Katedral
Di pelataran rimbun pohon mahoni
sendiri
menahan terik matahari

seulas senyum tersimpul
lurus tegak tengadah ke langit
pada menara miring
pada salib
pada luruhnya daun-daun kenangan
yang kini terkubur
bawah onggok tanah merah

dan perjalanan dari pagi hingga malamku
berujung pada bangunan tua kokoh ini

mengapatah burung gereja mencicit gelisah
padahal tangan-Mu masih terulur?
hujan tak pernah curah di musim kering
sirami atap sirap bait-Mu yang kudus

dalam diam
kuayun langkah masuk kamar pengakuan
kuakui semua dosa dan salah
dan pengampunan melimpah muncrah
keluar dari bibir merekah
Pontianak, 1989

Lilin Altar
Sore ketika gerimis. Gema gereja kirimkan nada. Aku tepekur. Kau bersimpul senyum ketika kutanya, “Benarkah katamu, tak kan ada hari tanpa cahaya?”

Kepala kau angguk. Tapi ku kaubiar tafsirkan ayat-ayat
yang tersirat di raut wajahmu
ah,
langit memang selalu pekat bila kan turun hujan
biar bumi jadi hidup lagi
segar sehabis minum
curah hujan kasih sayang-Mu

Kulihat semut umat membentuk baris
berjajar keliling altar mezbah-Mu
lilin-lilin nyala
dian yang padam
kembali semburatkan harapan
lagu Vesperae (ibadat sore) kumandang
pujian bagi-Mu, ya Tuhan!
1987

Rosa
Ku tak pernah tahu
dari mana asal bunga ini
kaupetik?

yang kutahu
putik mawar yang kau siram
waktu janji setia itu
kini tlah merekah

Kerap kulontar tanya pada angin senja
dan titip sejumput rindu pada waktu:
- bila kau tebar aroma
lalu tusuk dagingku dengan duri?
1986

Bulan Bersimbah Darah
Bulan yang pecah
bersimbah darah
merekah
muncrat
mengalir masuk kamarku

merah
menetes basah
merembes masuk daun-daun jambu

Tuhan di sini
dalam rupa roti
sendiri saja Dia
dingin hawa menusuk kulit

di tabernakel
seuntai doa mengembang
terucap dari bibir yang terkatup rapat,
“Kasihan dia kedinginan,” katamu
sembari menghunjukkan tinggi-tinggi rupa-Nya dalam roti
badan-Nya kaku tapi tak mati
darahnya terkuras tapi tak berbekas
kita makan dan minum Dia
biar mamah
jadi satu tubuh satu darah

esok harinya
ketika bangun dari mimpi
bulan kemilau tlah pecah
langit runtuh
kitab kehidupan tersibak
kenisah tercabik belah dua
dikuduskan nama-Mu, Bapa, Allah segala Allah.
1989

Dalam Kenangan
musim tlah ganti
cericit unggas merubah cuaca
ke mana udara pergi
situ jua langkahmu

Completorium
Tanpa terasa
waktu berjalan bagai alam mimpi
kerdip dian demikian sunyi
sperti cahya bintang kerdip di malam hari

sepasang tangan terkatup
rapat
pohon ampun
Tuhan, Sang Mahapengampun
beri kami setetes kasih sayang

daras-daras syair dari polifoni
menguntai puji
membaca doa
dari Mazmur cinta

teruntai sulur
cinta yang murni
terucap janji
niat yang suci
terangkat hati
jiwa berbakti

Tuhan,
dalam peraduan nanti
Izinkan kungelindur sebut-sebut nama-Mu
biar Kau tetap berjaga
meski semesta terlena
dibuai mimpi-mimpi
1989

Persembahan I
Tuhan,
Jika kudatang pada-Mu
ada yang ingin kupersembahkan
ku tak punya
itu yang kan kuberi pada-Mu

Tuhan,
Jika kudatang pada-Mu
ada yang ingin kupersembahkan
keringnya air telaga
kelamnya awan
sepotong buah karya tangan-Mu

Persembahan II
Di atas altar ini….
kurangkai buket mawar untukmu
tapi kau hilang
seblum kupersembahkan
pada-Mu
2009

Persembahan III
Sumbu yang berkedip
nyala dian yang redup
tak kan pernah
Kau padamkan
2009

Getsemani
Butir-butir keringat tiba-tiba berubah jadi darah
taman ini tetap sendiri
dibekap dingin malam hari

dari balik riap daun-daun zaitun
segerombol pasukan menyeruak
lalu teriak:
orang yang kita cari semayam di sini

dengan pedang terhunus dan balatentara
mereka rantai dia dengan baja
dengan doa dan air mata
ia bungkam mereka dengan cinta

: sarungkan pedangmu!
tidakkah kamu tahu
dunia ini taman cinta
yang dijadikan Dia
asal mula
segala cinta?
2009

Doa Malam
Hilang bayang-bayang
angan terkulai
pelangi luruh
jatuh
sentuh matamu

rindu memendam
berlabuh dalam laut kelam
kutebar jala
menangkap
ikan kasih-Mu

Bapa kami yang ada di sorga
doaku malam ini
sama dengan yang kemarin
1987


Negeri Peri
Kepada: I.S.
Seonggok tubuh terempas
memelas
meremas-remas kanvas
dengan belah tangan yang lemas
ia coba pindahkan isi bumi pada lembar kain

darah mengucur deras lumuri kerikil dan wadas
terdengar isak tangis
sedu sedan di seberang
juga penyesalan
(duri mawar itu kembali menyayat luka lama)

jalan penuh liku ini
kenapa banyak yang melintas?

biar jauh negeri segala peri
akan kujelajah jua
biar tinggal jejak
membekas tapak
1989

Tidak ada komentar: