Sabtu, 17 Juli 2010

Indonesia menurut Global Peace Index

Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu, kini tingkat kedamaian dapat diukur dengan alat ukur tertentu. Kita mengenalnya dengan nama Global Peace Index (GPI).

Apakah GPI? GPI ialah suatu usaha untuk mengukur posisi relatif dari bangsa dan kedamaian di suatu kawasan. Ini adalah produk dari Institute for Economics and Peace (Lembaga Ekonomi dan Perdamaian) yang dikembangkan dalam konsultasi dengan sebuah panel pakar internasional dari lembaga perdamaian perdamaian dan think tank dengan data yang dikumpulkan dan disusun oleh Economist Intelligence Unit.

Daftar negara yang meraih predikat “damai”, diluncurkan pertama kali pada Mei 2007. Selanjutnya, dirilis lagi pada Mei 2008 dan pada tanggal 2 Juni 2009. Dan baru-baru ini, diluncurkan pada 10 Juni 2010 yang diklaim sebagai studi pertama untuk peringkat negara di seluruh dunia sesuai dengan kedamaian yang telah diusahakan dan senyatanya terjadi yang dapat diukur dengan indeks tertentu di negara itu.

Alhasil, terdapat peringkat 149 negara (naik dari 121 pada tahun 2007). Penelitian ini adalah buah dari gagasan pengusaha Australia, Steve Killelea dan didukung oleh individu yang amat peduli pada perdamaian dunia, seperti Kofi Annan, Dalai Lama, Uskup Agung Desmond Tutu, mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, Muhammad Yunus, ekonom Jeffrey Sachs, mantan presiden Irlandia Mary Robinson, dan mantan Presiden AS, Jimmy Carter.

Faktor-faktor yang diteliti meliputi faktor internal, seperti tingkat kekerasan dan kejahatan dalam negeri dan faktor-faktor dalam hubungan eksternal suatu negara seperti pengeluaran budget militer dan perang (24 indikator).

Negara yang dikategorikan “damai”, memeroleh nilai indeks lebih rendah. Negara paling damai yang dirilis tiap tahun dimasukkan dalam zona hijau, GPI negara ini di bawah indeks 1,7. Adapun negara-negara yang GPI-nya di atas 1,7 dimasukkan ke dalam zona merah, karena kedamaian di negara itu masih perlu untuk diperjuangkan dan ditingkatkan lagi.

Kelak,jika perjuangannya membuahkan hasil, dan ke-24 indikator berkorelasi positif dengan keadaan damai yang senyatanya, suatu negara dapat masuk zona hijau. Dengan demikian, otomatis mendapatkan predikat sebagai negara yang “damai” di dunia.
Pengamatan dilakukan antara tahun 2007-2010 berdasarkan 24 indikator, termasuk pengerahan dan penggunaan kekuatan militer dalam suatu negara, hingga tingkatan kriminilaitas dan tindakan terorisme.

Di antara negara-negara dunia maka New Zealand menduduki ranking tertinggi negara yang damai. Disusul Islandia, Jepang, Austria, Norwegia, Irlandia, Denmark, Luxemburg, Finlandia, dan Swedia. Terdapat 30 negara yang berada dalam zona hijau (yang GPI-nya di bawah 1,7).

Dari 149 negara yang dicatat GPI-nya berdasarkan hasil penelitian maka Irak menduduki posisi buncit, disusul Somalia (148), Afganistan (147), Sudan (146), dan Pakistan (145). Sedangkan Israel, negeri yang selalu bertikai dengan Palestina sejak puluhan tahun, berada di posisi GPI ke-144. Mengamati situasi dan kondisi negara tersebut, di mana kedamaian masih jauh dari harapan, maka rasa-rasanya rilis oleh GPI layak dipercaya keabsahannya dari sisi ilmiah karena memang terukur dan berkorelasi.

Yang menarik, di manakah posisi Indonesia? Meski dibekap oleh berbagai praktik kerusuhan, sikap anarki segelintir warga, militerisme, premanisme, serta tindak terorisme, masih “beruntung” bahwa Indonesia berada di urutan ke-67. Namun, jangan dulu bangga. Nilai rapor kita masih merah. Masih perlu banyak upaya untuk menjunjung Indonesia menjadi sebuah negeri yang damai, masuk ke zona hijau.

Pada 2007, GPI kita adalah 2.111 (peringkat 78). Merangkak naik menjadi 1.853 pada 2009. Lalu cukup berfluktuasi lagi menjadi 1.946 pada 2010. Bandingkan Irak yang berada di posisi ke-149 (2010) dengan GPI 3.406. Melihat indeks tersebut, rasanya masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan untuk mendongkrak kenaikan peringkat dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang masuk zona hijau.

Damai: mulai dari diri sendiri
Dalam buku Living Values (2001) yang penerbitannya diprakarsai oleh Brahma Kumaris, sebuah organisasi religius bekerja sama dengan Unesco, Diane Tillman, dkk. mencatat bahwa dari 12 nilai universal maka peace (kedamaian) termasuk salah satu di antaranya. Nilai yang sangat penting sebagai prasyarat terciptanya dunia yang lebih baik dan lebih adil ini diakui sesuatu yang tidak mudah diusahakan, namun bukan berarti tidak mungkin.

Bagaimana caranya? Mulailah melakukan sesuatu dari yang paling kecil dan sederhana: berdamai dengan diri sendiri. Yakni berusaha menerima, memaafkan, mengerti, tidak melakukan balas dendam, dan membawa sikap kelemahlembutan dalam setiap kesempatan dan dalam setiap saat. Kemudian, membawanya ke lingkungan sekitar. Baru ke level yang jauh lebih luas.

Akan tetapi, manakala kedamaian dalam sendiri sendiri masihlah sebuah wacana yang “jauh panggang dari api”, bagaimana mungkin mengusahakan dan menciptakan kedamaian di aras global?

Jadi, just do it! Meski kecil sekali pun dan dianggap remeh oleh banyak orang. Omong kosong bicara dan menyuarakan damai, manakala kita tidak mulai dari hal yang kecil, dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan kantor.

Tidak ada komentar: