Senin, 20 September 2010

Manage Your SORROW

Sorrow. Apakah Anda pernah mengalaminya?

Tentu, tiap manusia normal pernah mengalami kesedihan (sorrow). Jika tidak pernah, maka diragukan kenormalannya. Jika bukan cuek bebek, yang bersangkutan miring.

Boleh-boleh saja sorrow. Namun, harus dapat dikendalikan. Sebab jika tidak, sorrow akan membawa Anda ke tubir kehancuran.

Studi-studi terkini menunjukkan bahwa sorrow bukan hanya disebabkan oleh kehilangan atau kematian orang yang dekat yang kita cintai semata.

Ada banyak faktor yang menyebabkan kita sedih. Pengalaman ini (semestinya) semakin membuat kita mengenal dan belajar bagaimana mengelola kesedihan yang apabila dibiarkan terus akan menjadi depresi yang memuncak, sehingga menjerumuskan kita masuk ke dalam apa yang disebut dengan jurang gelap emosional (dark emotional pool). Kita harus dapat menghentikan (mengelola) sorrow jangan sampai menjadi kronis. Jika tidak dapat dikelola maka sorrow dapat menjadi depresi.

Sebagaimana diketahui bahwa “chronic sorrow” adalah terminologi yang diperkenalkan oleh sosiolog Simon Olshanshy untuk melukiskan reaksi yang berkepanjangan dari orang tua yang anaknya mengalami keterbelakangan. Namun, kemudian makna istilah ini diperluas. Orang yang mengisolasi diri dan jatuh ke dalam duka yang mendalam juga disebut sebagai mengalami chronic sorrow.

Tanda-tandanya adalah bahwa orang tersebut menyembunyikan perasaan yang mendalam. Ia ingin keluar dari masalah, namun kerap tidak sanggup. Orang ini merasa tidak dimengerti dan selalu menderita.

Saya ingin sedikit berbagi mengenai apa yang disebut dengan sorrow dan bagaimana kiat-kiat menyiasatiya. Dalam buku Chronic Sorrow, A living Loss (2002), Susan Roos antara lain menyebutkan bahwa kesedihan yang kronis dapat menyeret seseorang kepada depresi klinis.

Seperti studi awal yang dilakukan Simon Olshansky (1962, 1966, 1970) bahwa penyebab kesedihan, terutama yang terjadi pada orang tua, ialah karena ketidakmampuan dan perilaku buruk tertentu pada anak-anaknya.

Meneruskan dan mengembangkan konsep Olshansky, Roos seperti dapat dibaca dalam Chronic Sorrow menempatkan sorrow sebagai gejala yang spesifik. Boleh dikatakan teorinya adalah mid-range theory karena dalam teori ini dibahas masalah- masalah yang timbul dari penyakit kronis yang dialami seseorang, seperti: proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda manajemennya. Teori tersebut sangatlah spesifik, sehingga mudah diaplikasikan dalam praktik keperawatan dan psikologi klinis.

Sebagai contoh, banyak penelitian yang telah dilakukan sebagai aplikasi teori ini terkait dengan penyakit kronis seperti terjadi pada pasien multiple sklerosi, diabetes mellitus pada anak, anemia sickle cell pada anak, epilepsy, down sindrom, spina bifida, dan sebagainya.

Penderitaan, atau duka cita kronis, adalah suatu kondisi kejiwaan yang berkelanjutan sebagai akibat dari suatu kehilangan, dengan karakteristik dapat menyebar dan bisa juga menetap. Gejala berduka berulang pada waktu tertentu dan gejala ini berpotensi progresif.

Studi The Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow (NCRCS) ini meliputi:
a. Seseorang yang hidup dengan kanker (Eakes, 1993), infertility (Eakes et al., 1998), Multiple Sclerosis (Hainsworth, Burke, Lindgren, & Eakes, 1993; Hainsworth, 1994), dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996).
b. Spouse caregivers/ seseorang yang memiliki pasangan hidup dengan penyakit mental kronik (Hainsworth, Busch, Eakes, & Burke, 1995), Multiple Sclerosis (Hainsworth, 1995), dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996).
c. Parent caregivers/ orang tua yang memiliki anak dewasa dengan penyakit mental kronis (Eakes, 1995).

Kehilangan (loss) terjadi akibat dari perbedaan antara suatu “ideal” atau harapan dan situasi nyata atau pengalaman. Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial di mana seseorang atau objek yang dihargai tidak dapat dicapai atau diganti sehingga dirasakan tidak berharga seperti semula.

Peristiwa pencetusnya adalah situasi, keadaan, dan kondisi-kondisi berbeda atau perasaan kehilangan yang berulang (kambuh) atau baru mulai yang memperburuk perasaan berduka. NCRCS membandingkan dan membedakan pencetus pada individu dengan kondisi kronik, family caregivers, pada orang yang kehilangan (Burke, Eakes, & Hainsworh, 1999).

Metode manajemen adalah suatu cara bagaimana individu menerima penderitaan kronis. Bisa secara internal (strategi koping individu) atau eksternal (bantuan tenaga kesehatan atau intervensi orang lain).

Penderitaan kronis tidak akan membuat individu melemah bila efektif dalam mengatur perasaan bisa secara internal maupun ekternal. Strategi manajemen perawatan diri diatur melalui strategi koping internal. NCRCS ditunjuk lebih lanjut untuk mengatur strategi koping internal seperti tindakan, kognitif, interpersonal dan emosional
Mekanisme tindakan koping digunakan untuk semua subjek individu dengan kondisi kronis dan orang yang merawatannya (Eakes , 1993, 1995, Eakes at al., 1993, 1999; Hainsworth et al., 1995; Lindgren, 1996).

Contoh kognitif koping ialah berpikir positif, melakukansesuatu dengan sebaik-baiknya, tidak memaksakan diri bila tidak mampu (Eakes, 1995; Hainsworth, 1994, 1995).

Contoh koping interpersonal adalah pergi memeriksakan diri ke psikiater, masuk dalam suatu kelompok atau group dan berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain (Eakes, 1993; Hainsworth, 1994, 1995).

Contoh strategi emosional ialah menangis atau ekspresi emosi lainnya (Eakes, et al., 1998; Hainsworth, 1995). Adapun manajemen eksternal adalah intervensi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Eakes et al., 1998). Pelayanan kesehatan yang diberikan secara profesional dapat membantu memberikan rasa nyaman bagi mereka, caring dan tenaga profesional kompeten lainnya.

Apa dampak jika sorrow tidak dapat dikendalikan? Yang akan menerima dampaknya bukan hanya orang yang mengalami, tetapi juga orang sekitar, dan terutama anak-anak.

Pada anak-anak, sorrow dapat menghambat kemampuan anak untuk berkembang, dapat menyebabkan regresi, dan merasa takut ditinggalkan dibiarkan kesepian.

Pada remaja dan dewasa muda, kesedihan disebabkan disintegrasi dalam keluarga. Pada orang dewasa tua, sorrow dapat diakibatkan oleh kematian pasangan dan gangguan kesehatan yang semakin menurun.

Sorrow ialah reaksi emosi terhadap kehilangan, biasanya akibat perpisahan atau kehilangan yang dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan, dan pemikiran. Kubler Ross (1969) mengemukakan terdapat lima tahapan pada sorrow, yakni menolak (denial), marah (anger), tawar menawar (bargaining), depresi (depression), dan menerima (acceptance).

Hal-hal yang berpotensi menyebabkan, kemudian menyeret orang masuk ke tubir sorrow sebagaimana dibahas di muka, adalah hal-hal wajar dalam hidup. Tidak dapat dielakkan dan sesuatu yang niscaya. Hanya saja, ada orang yang dapat mengatasi, menerima, dan kemudian segera keluar dari kesedihan.

Sedih adalah sisi mata uang dari gembira. Sebagaimana halnya tidak baik terus-menerus berada dalam suasana euforia karena gembira, demikian pula tidak baik terus-menerus berada dalam suasana duka.

Kelolalah sorrow. Bangkit dan tataplah dunia dengan kacamata optimistik. Lihat bahwa dunia ini tidak hanya selebar daun kelor.

Tidak ada komentar: