Sabtu, 09 Oktober 2010

Teori Organisasi dan Komunikasi

PENGANTAR
Tulisan ini berasal dari paper ilmiah yang bisa jadi berguna bagi pembaca, terutama yang meminati masalah komunikasi organisasi.
***

Joan, Henry, dan Frank tidak sepakat bagaimana sebuah organisasi harus dijalankan. Mereka setuju bahwa sistem MCF perlu diubah, namun di antara mereka tidak ada kesepakatan seperti apa gerangan perubahan harus dilakukan. Masing-masing mempunyai pandangan pribadi yang berbeda satu sama lain. Bagaimana menjelaskan fenomenon tersebut?
Pada bab 3 buku ini diperkenalkan tiga perspektif penting dalam mempelajari komunikasi organisasi: pendekatan Fungsional, pendekatan yang berpusatkan pada Makna, dan Perspektif yang tampak. Dalam bab ini diidentifikasi dan dilukiskan teori organisasi utama dan mengevaluasi implikasi komunikasinya melalui ketiga pendekatan tersebut. Kita juga akan melihat bagaimana para periset melukiskan cara-cara di mana seharusnya organisasi bekerja, apa jenis asumsi yang ditetapkan pada organisasi, dan apa arti deskripsi dan asumsi bagi komunikasi organisasi.
Kita akan melihat bagaimana empat perspektif utama atau pandangan mengenai pemikiran organisasi:
1) Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan (Scientific Management),
2) Perilaku Manusia (Human Behaviour),
3) Teori Perspektif Integrasi, dan
4) Postmodern, Kritis, dan teori Perspektif Feminis.

The Scientific Management School
The Scientific Management School dengan sangat baik dideskripsikan oleh Frederick Taylor dalam karya klasiknya yang berjudul Principles of Scientific Management (1913). Dalam karya tersebut, Taylor berusaha untuk meyakinkan pembaca bahwa inefisiensi yang terjadi dalam banyak organisasi disebabkan oleh tidak berjalannya manajemen secara sistematik dan bahwa “manajemen terbaik ialah ilmu pengetahuan sejati, yang berada pada jalur hukum yang jelas, aturan-aturan, prinsip-prinsip sebagai fondasinya.” Fondasi ini, dalam perspektif Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, berada pada jalur “ilmiah” yang menentukan organisasi yang dicirikan oleh perkembangan yang berkesinambungan atas dasar pembagian kerja yang efisien dan terarah.
Tiga pakar –Frederick Taylor, Henri Fayol dan Max Weber— yang secara luas bertanggung jawab mengembangkan konsep-konsep penting dari pendekatan Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Ketiganya menulis dan hidup selama periode dari pertengahan abad ke-19 hingga Perang Dunia I. Pendekatan Taylor, Fayol, dan Max Weber digunakan untuk mendeskripsikan perspektif Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan (Scientific Management Perspective).

Teori utama Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan
Prinsip-prinsip Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan: Frederick Taylor (1856-1915)
Frederick Taylor sering disebut-sebut sebagai bapak Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Ia mempunyai pengalaman kerja yang luas (sebagai karyawan biasa hingga menjadi kepala urusan permesinan) membuatnya jeli di dalam mengamati dan kemudian melihat bangun suatu Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan yang terdiri atas:
1) seleksi karyawan secara hati-hati,
2) melakukan training dan mengarahkan karyawan dengan metoda ilmiah,
3) pembagian kerja yang seimbang antara manajemen dan karyawan, dan
4) menemukan metoda ilmiah untuk pekerjaan dan tugas-tugas.

Teori Taylor memusatkan perhatian pada organisasi yang berpusatkan pada desain organisasional, training karyawan untuk mencapai efisiensi, rantai komando, dan pembagian kerja yang jelas. Perspektif didasarkan pada asumsi bahwa kerja dan organisasi dapat dirancang dan dikembangkan secara rasional dan ilmiah. Adapun mengenai teknik untuk menentukan efisiensi produksi dilakukan melalui pengamatan kerja dan ukuran-ukuran waktu; digunakan untuk mengembangkan standar kerja yang dapat diukur untuk mencapai efisiensi.
Taylor percaya bahwa Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan hanya dapat dilaksanakan sepenuhnya dengan mendefinisikan secara jelas rantai komando dan pembagian kerja yang sangat spesifik. Konsep Taylor ini sangat berpengaruh pada awal tahun 1900 dan mempengaruhi bagaimana suatu organisasi harus didesain, bagaimana standar kinerja harus ditetapkan, dan bagaimana hari ini efisiensi kerja diukur.

Prinsip-prinsip Manajemen: Henry Fayol (1841-1925)
Henry Fayol disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali mencoba melukiskan prinsip-prinsip penting dari manajemen untuk organisasi dan bagaimana menjalankan bisnis. Latar belakang Fayol ialah seorang mining engineer, kemudian menjadi managing director dari Comambault, sebuah perusahaan pertambangan. Ia sukses dalam bidang kepemimpinan dan sebagai seorang industrialis, sehingga berusaha untuk memengaruhi pemerintah Prancis untuk menerapkan ide-idenya mengenai prinsip-prinsio administrasi. Paper awalnya ihwal teori umum administratif menjadi teks yang sangat berpengaruh yakni General and Industrial Management yang pertama kali terbit pada 1916.
Dalam General and Industrial Management (1949), Fayol mengusulkan 14 prinsip administratif atau manajemen yang dipandangnya sebagai sangat esensial untuk menciptakan organisasi efektif yakni:
1) pembagian tugas (division of work),
2) otoritas (authority),
3) disiplin (discipline),
4) kesatuan komando (unity of command),
5) kesatuan arah (unity of direction),
6) subordinasi dari ketertarikan pribadi ke ketertarikan umum (subordination of individual interest to the general interest),
7) remunerasi (remuneration),
8) sentralisasi (centralization),
9) rantai scalar/ lini otoritas (scalar chain),
10) tata tertib (order),
11) kesetaraan (equity),
12) stabilitas dari masa jabatan personil (stability of tenure of personnel),
13) inisiatif (initiative), dan
14) semangat tim (esprit de corps).

Yang tidak kalah penting selain 14 prinsip di atas, menurut Fayol, ialah adanya lima aktivitas mendasar dari manajemen, yakni:
1) perencanaan (planning),
2) organisasi (organizing)
3) komando (commanding)
4) koordinasi (coordinating), dan
5) kontrol (controlling).

Menurut Fayol, kelima aktivitas di atas saling mendukung satu sama lain agar terciptanya sebuah organisasi yang efektif. Meski tulisan Fayol terbit tahun 1900, prinsip-prinsip administrasi dan aktivitas manajemen yang digagasnya masih menyita perhatian para pakar dan masih berpengaruh dalam kerja organisasi hingga hari ini.

Prinsip Birokrasi: Max Weber (1864-1920)
Max Weber adalah seorang ahli sosiologi berkebangsaan Jerman. Ia sering disebut sebagai bapak dari birokrasi. Menurut Weber, model birokrasi bagi organisasi haruslah didasarkan atas relasi otoritas yang berpusat pada depersonasiasi dan kompetensi tugas.
Weber (1947) mengidentifikasi terdapat tiga tipe otoritas:
1) kharismatik,
2) tradisional, dan
3) birokratik

Otoritas kharismatik didasarkan pada karakter spesifik dari seseorang yang menggunakan otoritas. Atribut pribadi dari seseorang menginspirasikan orang lain untuk mengikutinya. Otoritas kharismatik ini bersifat nonstruktural dan tidak dapat ditransfer ke orang lain, karena itu, disebut “kharismatik”.
Otoritas tradisional, menurut Weber, diasosiasikan dengan kebiasaan dan adat istiadat suatu kelompok atau masyarakat. Otoritas ini dapat berlangsung dari satu orang ke orang lain atas dasar adat dan tradisi dan bukan atas dasar kemampuan atau kompetensi di dalam menjalankan suatu tugas tertentu. Sebuah perusahaan keluarga misalnya, secara tradisional berlangsung dari generasi ke generasi daripada terjadi atas dasar kemampuan seseorang yang ingin memimpin organisasi tersebut. Orang luar (di luar keluarga) bukanlah anggota dari keluarga tersebut.
Weber percaya bahwa otoritas birokratik adalah perwujudan dari sebuah organisasi yang ideal. Mengapa demikian? Karena otoritas birokratik adalah cerminan dari hukum, regulasi, dan prosedur yang membuat otoritas menjadi “legal-rasional” dan bukan didasarkan pada kharisma pribadi atau tradisi. Inilah birokrasi yang ideal karena para pemimpin birokratik diseleksi sesuai dengan hukum dan aturan yang dirancang untuk mempromosikan orang yang paling kompeten untuk melaksanakan tugas di organisasi tersebut. Nepotisme dan like and dislike tidak berlaku dalam otoritas ini.


IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI TEORI MANAJEMEN
BERBASIS ILMU PENGETAHUAN
Dari sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, komunikasi adalah alat (tool) dari manajemen yang didesain untuk memfasilitasi penuntasan (pelaksanaan) tugas sekaligus juga untuk menjalankan salah stau dari banyak variabel organisasional. Aktivitas komunikasi lebih dikhususkan lagi, demikian pula halnya dengan tugas-tugas dan pekerjaan. Lebih dari itu, komunikasi dituntut untuk melatih karyawan dan memberikan instruksi harian sesuai dengan bidang pekerjaan. Aktivitas komunikasi dapat dibuat formal, dan komunikasi interpersonal dari sifat sosial atau personal menjadi lebih sedikit, khususnya di antara sesama karyawan. Jarang terjadi komunikasi yang bersifat horizontal.
Baik Taylor, Fayol, maupun Weber berpandangan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang rasional dan fungsi komunikasi adalah untuk mereduksi ketidakpastian akan ekspektasi tugas-tugas berikut ukuran-ukurannya. Dengan demikian, aktivitas komunikasi suatu organisasi dibangun dan diimplementasikan oleh manajemen sebagai refleksi alamiah dari perencanaan (planning), organisasi (organizing), komando (commanding), koordinasi (coordinating), dan tanggung jawab kontrol (controlling responsibilities).
Pendekatan fungsional terhadap komunikasi organisasi dapat digunakan untuk melukiskan implikasi komunikasi dari sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Secara khusus, Taylor, Fayol, dan Weber memandang bahwa komunikasi organisasi sebagai fungsi untuk mengorganisasikan kinerja tugas dan untuk memperjelas aturan dan regulasi.
Dalam konteks struktur pesan, para penggagas teori Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan menggambarkan pesan sebagai aliran yang lewat melalui jalur rantai komando utama yang mengarah ke bawah. Mereka juga berpandangan bahwa pembuatan keputusan (decision making) sebagai variabel organisasi. Mereka tidak memimpikan bahwa pengambilan keputusan sebagai proses yang terus berlangsung dan itu tidak lebih dari sebuah proses komunikasi. Variabel pengambilan-keputusan ialah kontrol manajemen, dengan premis (asumsi) dasar bagi semua keputusan penggunaan efisiensi dari sumber daya manusia dan sumber daya barang guna mencapai tujuan. Manajemen bertanggung jawab atas identifikasi organisasi dan kekuasaan digunakan untuk mengarahkan organisasi.



TEORI MANAJEMEN BERBASIS ILMU PENGETAHUAN
DALAM ORGANISASI KONTEMPORER
Dengan mencermati kapan terbitnya karya-karya Taylor, Fayol, dan Weber, kita berusaha untuk meyakini bahwa sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan sudah ketinggalan zaman dan barangkali sudah kurang relevan lagi untuk memahami organisasi pada masa sekarang. Tanggal memang dapat menyesatkan. Ambil contoh Davis Instrument Company. Davis dapat digambarkan memiliki pembagian kerja yang sedang berada dalam proses perubahan karena diperkenalkannya sistem baru MCF. Perubahan ini dengan sendirinya menuntut instruksi tugas yang luas dan seleksi yang hati-hati dari para karyawan “terbaik” untuk mengisi lowongan pekerjaan baru. Davis menganggap bahwa tanggung jawab manajemen untuk menentukan bagaimana sistem itu diimplementasikan. Selanjutnya, Joan memaparkan mengenai perspektif manajemen berbasis ilmu pengetahuan ketika ia mengajukan argumen bahwa Pam dan supervisornya akan memutuskan tugas dan pekerjaan tanpa masukan dari karyawan. Ia yakin bahwa para manajer dapat bertanggung jawab untuk tugas yang dirancang dan untuk menstrukturisasikan tim guna mencapai efisiensi yang maksimum. Proposal Joan ini apabila dicermati dengan saksama merepresentasikan pandangan-pandangan para penggagas dan penemu teori Manajemen berbasis Ilmu pengetahuan.
Kini bahkan pemerintahan daerah, negara, dan organisasi nasional diorganisasikan dengan prinsip-prinsip sekolah Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Bukan hanya organisasi yang mempunyai hierarki dan rantai komando yang menerapkannya, tetapi juga alih kekuasaan diatur dengan menggunakan peraturan dan regulasi seperti yang digagas oleh Weber.


SEKOLAH HUMAN BEHAVIOR
Sekolah Human Behavior (The Human Behavior school) ialah teori organisasi yang berpusat pada interaksi antarindividu, motivasi mereka, dan pengaruhnya terhadap peristiwa-pristiwa dalam organisasi.
Perspektif human behavior beranggapan bahwa kerja dituntaskan melalui orang dan berpusat pada kerja sama, partisipasi, kepuasan, dan keterampilan interpersonal. Para penggagas teori yang mewakili pandangan ini memandang bahwa desain organisasi dan fungsinya sebagai cerminan dari asumsi dasar mengenai perilaku manusia (human behavior). Karya Mary Parker Follet, Elton Mayo, Douglas McGregor, dan Rensis Likert digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik penting dari pendekatan Human Behavior pada suatu organisasi.

Teori Utama dari Human Behavior
Prinsip-prinsip Koordinasi: Mary Parker Follet (1868-1933)
Mary Parker Follet ialah tokoh menonjol pada zamannya yang memaklumkan bahwa organisasi yang produktif haruslah peduli pada keinginan-keinginan dan motivasi-motivasi pribadi dan kelompok. Ia bukanlah seorang pebisnis, namun sangat tertarik pada organisasi yang berorientasi pada keuntungan (profit-making organization). Parker sangat dikenal luas karena prinsip-prinsipnya yang tidak dapat dibantah mengenai organisasi yang didasarkan atas fondasi yang mantap dan yang dibangun di atas dasar perkembangan kesejahteraan manusia. Parker juga menyebutkan bahwa konflik sebagai sesuatu yang berpotensi membangun dan melukiskan tanggung jawab kolektif dan integrasi sebagai sesuatu yang memberikan sumbangsih bagi kejayaan bisnis.

Pengaruh Hawthorne: Elton Mayo (1880-1949)
Elton Mayo (1945) tidak pernah berpikir akan dicatat sebagai orang yang mula-mula meletakkan dasar bagi pandangan Human Behavior. Ia seorang profesor berpengaruh di Harvard yang memperluas cakrawala pandangan dari karya Frederick Taylor. Ketika studi Hawthorne dimulai, ia sedang bereksperimen mengenai alterasi kondisi kerja fisik untuk meningkatkan produktivitas.
Mayo dan kawan-kawan sampai pada pemahaman bahwa pengaruh yang luar biasa dan yang tidak diketahui sebelumnya dalam setting eksperimental menjadi pusat perhatian para periset terhadap para karyawan. Perhatian tersebut mendorong norma suatu kelompok yang menekankan produktivitas tidak peduli bagaimanakah lingkungan fisik berubah. Efek inilah yang kemudian dikenal dengan Hawthorne effect. Sebagai hasil dari riset Hawthorne, produksi tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya keluaran dari pekerjaan formal dan desain organisasi.

Teori X dan Teori Y: Douglas McGregor (1906-1964)
Douglas McGregor dalam karyanya yang terkenal berjudul The Human Side of Enterprise (1960), memaparkan teorinya Theory X-Theory Y (Teori X dan Teori Y). Konsep teori ini sebagai jalan untuk membedakan antara Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan perspektif Human Behavior.
Dengan Teori X dan Teori Y, McGregor menggambarkan asumsi manajemen terhadap karyawan. Teori X mencirikan bahwa asumsi-asumsi diletakkan pada teori Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, sedangkan Teori Y diasosiasikan dengan asumsi mengenai perspektif Human Behavior. Pada teori X manajer beranggapan bahwa karyawan yang tidak menyukai pekerjaan dan menolak tanggung jawab, sedangkan teori Y manajer meyakini bahwa karyawan dapat mengatur dan mengontrol diri sendiri seperti tampak pada gambar yang berikut ini.


Teori X dan Teori Y dari Douglas McGregor
====================================================================
ASUMSI-ASUMSI TEORI X ASUMSI-ASUMSI TEORI X

1. Orang tidak menyukai pekerjaan dan akan menolak pekerjaan jika mungkin.
2. Karyawan tidak ambisius dan lebih suka diarahkan/dipimpin.
3. Karyawan menolak tanggung jawab dan tidak peduli dengan kebutuhan organisasi.
4. Karyawan harus diarahkan dan diancam dengan hukuman agar mencapai produktivitas organisasi.
5. Karyawan tidak begitu pintar dan mampu terhadap kreativitas organisasi.
6. Organisasi kesulitan di dalam menggunakan sumber daya manusia.
1. Orang berpandangan bahwa pekerjaan adalah alamiah seperti halnya bermain.
2. Karyawan ambisius dan lebih suka mengarahkan/memimpin diri sendiri.
3. Karyawan mencari tanggung jawab dan merasa dihargai melalui pencapaian-pencapaian mereka.
4. Karyawan memotivasi diri-sendiri dan memerlukan sedikit sekali supervisi langsung.
5. Karyawan kreatif dan mampu terhadap kreativitas organisasi.
6. Organisasi kesulitan di dalam menggunakan sumber daya manusia.


Manajemen Partisipatif: Rensis Likert (1903-1981)
Sebagai profesor sosiologi dan psikologi dan direktur Institute of Social Research pada University of Michigan, Rensis Likert memimpin riset intensif untuk menentukan bagaimana manajemen dapat dibedakan antara organisasi yang sukses dan organisasi yang kurang sukses. Dalam karya klasiknya berjudul New Pattern of Management (1961), teorinya mengenai manajemen partisipatif yang didasarkan atas perbandingan antara kelompok kerja yang produktif dan kelompok kerja yang kurang produktif.
Dalam buku yang disebutkan di atas, Likert membangun sebuah teori (manajemen partisipatif) yang menolak banyak asumsi yang sudah dibangun Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Teori Likert ialah manajemen yang berpusat pada karyawan (employeed-centered management) yang didasarkan pada kelompok-kelompok fungsional efektif yang terhubung bersama dengan seluruh struktur organisasi. Proses manajemen haruslah bergantung pada partisipasi kelompok di mana anggota pribadi lebur dalam kelompok seperti tampak dalam gambar yang berikut ini.







IMPLIKASI-IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI TEORI HUMAN BEHAVIOR
Komunikasi efektif ialah landasan bagi perspektif Human Behavior. Manajemen perlu percaya pada karyawan, sebaliknya karyawan harus merasa bebas untuk berdiskusi untuk menunjukkan kepedulian yang terkait dengan supervisor mereka. Kelompok sejawat bukan saja perlu diidentifikasi, tetapi juga dipandang sebagai pengaruh positif yang sangat potensial untuk mencapai produktivitas. Para penggagas teori human behavior mengenali baik jaringan komunikasi formal maupun informal membawa tugas dan pesan-pesan sosial yang mendukung. Interaksi antarsemua level diharapkan semakin luas dan semakin bersahabat, diiringi dengan kerja sama yang substansial dari seluruh organisasi. Dari perspektif human behavior, komunikasi sangat vital di dalam penggunaan sumber daya manusia dan dalam pembuatan kebijakan dalam suatu organisasi.
Manakala kita menggunakan pendekatan Fungsional untuk melukiskan implikasi komunikasi dari sudut pandang Human Behavior maka kita akan melihat peran yang lebih kompleks bagi komunikasi daripada yang dibayangkan oleh para penggagas teori Manajemen Berbasis Ilmu Pengetahuan. Seperti pada Manajemen Berbasis Ilmu Pengetahuan, komunikasi dipandang sebagai penampilan dari fungsi organisasi yang menyediakan instruksi tugas, informasi, peraturan, dan regulasi. Tidak sebagaimana Manajemen Berbasis Ilmu Pengetahuan, fungsi hubungan dari komunikasi organisasi dipertimbangkan dengan nyata. Mayo dan Likert secara khusus mengakui bahwa pentingnya rekan sejawat dan bagaimana interaksi sejawat memberikan kontribusi pada integrasi dalam organisasi. Likert yakin bahwa hubungan suportif dibangun melalui komunikasi efektif sangatlah penting bagi tercapainya produktivitas suatu organisasi. Pada akhirnya, fungsi perubahan dari komunikasi merupakan tanggung jawab setiap orang. Para periset Human Behavior yakin bahwa karyawan pada semua level akan mampu ambil bagian dalam pengambilan keputusan dan mampu menciptakan arah baru dalam organisasi.
Perspektif Human Behavior memusatkan perhatian lebih pada partisipasi karyawan dan kepuasan dibandingkan teori Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Namun, sedikit memberikan perhatian pada kepentingan kekuasaan dan bagaimana komunikasi menegakkan organisasi, pengambilan keputusan, dan pengaruh.


TEORI HUMAN BEHAVIOR PADA ORGANISASI MASA KINI
Kebanyakan organisasi kontemporer bukan hanya menerapkan gagasan-gagasan yang dikembangkan dari Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan, tetapi juga banyak yang dibangun dari para pencetus teori Human Behavior. Sebagai contoh adalah Davis Instrument Company yang dibangun di atas struktur prinsip-prinsip Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan. Banyak organisasi masa kini mirip dengan Davis yang menggabungkan antara Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan gagasan tentang Human Behavior.


SEKOLAH PERSPEKTIF YANG TERINTEGRASI
Perspektif yang terintegrasi ialah teori yang mencoba menjelaskan bagaimana orang, teknologi, dan lingkungan terintegrasi untuk mempengaruhi perilaku tujuan-langsung. Teori ini muncul karena Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior gagal untuk mengintegrasikan struktur organisasi, teknologi, dan manusia dengan lingkungan yang lebih luas tempat organisasi itu berada.
Para penggagas teori ini berusaha menerangkan bagaimana manusia, teknologi, dan lingkungan terintegrasi untuk mempengaruhi semua yang terjadi dalam organisasi. Para pencetus teori ini ialah Herbert Simon, Eric Trist, Kenneth Bamforth, Joan Woodward, Paul Lawrence, Jay Lorsch, Daniel Katz, Robert Kahn, Gareth Morgan, Margaret Wheatley, dan Peter Senge (pendekatan lingkungan dan proses), Terrence Deal, Allen Kennedy, William Ouchi, Thomas Peters, Robert Waterman, Edgar Schein, dan Karl Weick (pendekatan kultural).

Teori Utama Perspektif yang Terintegrasi: Proses dan Pendekatan Lingkungan
Proses dan Pendekatan Lingkungan untuk teori organisasi berupaya melukiskan betapa kompleksnya proses seperti pengambilan keputusan mempengaruhi operasi internal organisasi dan dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Para periset menggunakan perspektif tersebut untuk mencari penjelasan bagaimana sistem teknik dan manusia berinteraksi dengan lingkungan yang jauh lebih luas tempat organisasi tersebut beroperasi. Dalam pencariannya, mereka mencoba asumsi dasar dari sudut pandang Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior.

Pendekatan Pengambilan Keputusan: Herbert Simon (1916- )
Herbert Simon (1947) menawarkan deskripsi dari organisasi yang berbeda dengan Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior. Simon (1957) memproklamirkan bahwa perilaku organisasi (organizational behavior) merupakan sebuah jaringan yang kompleks dari keputusan dengan proses pengambilan keputusan mempengaruhi perilaku dari seluruh organisasi. Simon berpandangan bahwa pendekatan pengambilan keputusan sebagai proses yang penting dalam organisasi.

Integrasi Sosioteknikal: Eric L. Trist (1909-1993) dan Kenneth W. Bamforth
Konsep integrasi sosioteknikal didasarkan atas dua asumsi, yang pertama dideskripsikan oleh Eric L. Trist dan mahasiswanya Kenneth Bamforth (1951) sebagai hasil dari kerja sama dengan British coal-minning operation. Teori ini berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan psiko-sosial manusia dan tujuan organisasi. Produksi organisasi dioptimalkan melalui sosial optimistik dan sistem teknik.

Teori Kontingensi: Joan Woodward (1916-1971), Paul Lawrence (1922- ), dan Jay Lorsh (1932- )
Teori kontingensi menolak “satu cara terbaik” (one best way) seperti yang dianjurkan para pencetus teori Manajemen berbasis Ilmu pengetahuan untuk mengorganisasikan dan mendukung pandangan bahwa tidak ada kekhususan dalam membuat resep yang cocok untuk semua organisasi. Misalnya, bagaimana organisasi harus beradaptasi pada lingkungan yang berubah dan kebutuhan-kebutuhan individual dan lingkungan di tempat organisasi itu beroperasi. Intinya, kontingensi ialah teori yang memandang bahwa mantapnya operasi internal organisasi adalah kontingen atau tergantung pada kebutuhan lingkungan eksternal dan kebutuhan individu.

Pendekatan Sistem: Daniel Katz (1903-1998) dan Robert Kahn (1918 - )
Teori ini dekat dengan teori kontingensi. Melukiskan bahwa organisasi sebagai terdiri atas subsistem yang menerima sumber daya manusia dan sumber daya material, proses sumber dan material, dan menghasilkan produk jadi ke lingkungan yang lebih luas lagi.
Katz dan Kahn berpendapat bahwa kebanyakan organisasi formal dijalankan dengan lima subsistem dasar: subsistem produktif yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, subsistem suportif yang terkait dengan relasi dan diperlukan dukungan material, subsistem pemeliharaan untuk mengintegrasikan manusia ke dalam peran fungsional, subsistem adaptif yang diarahkan untuk berubah, serta subsistem manajerial untuk koordinasi dan kontrol bagi berbagai subsistem.

Pendekatan Sistem Baru –Flux, Transformasi, Quantum Physic, Self-Organizing Sistem, dan Teori Chaos: Gareth Morgan (1943 - ) dan Margareth Wheatley (1944 - )

Teori sistem sebagaimana digambarkan oleh Katz dan Kahn mendapatkan transformasi yang mau tidak mau perlu dipikirkan kembali terutama mengenai ciri-ciri dasar sistem dan hubungan sistem dengan lingkungan. Gareth Morgan (1977) dalam buku pentingnya Images of Organizations menjelaskan, “... pendekatan-pendekatan tradisional bagi teori organisasi sudah didominasi oleh gagasan bahwa perubahan berasal dalam lingkungan.... Perubahan dalam lingkungan dipandang sebagai mewakili tantangan-tantangan yang harus direspons oleh organisasi. (hal. 253).
Untuk membantu transformasi dalam sistem berpikir, Wheatley (1992) menggunakan khasanah dari quantum physics, sistem yang mengatur-diri sendiri (self-organizing system), dan teori chaos untuk memaparkan pandangan mengenai teori sistem dengan kemungkinan-kemungkinan baru untuk hubungan-hubungan dan perubahan.

Organisasi Pembelajar: Peter Senge dan Gareth Morgan
Organisasi pembelajar (learning organization) ialah organisasi yang terus-menerus belajar melalui proses yang terus berlangsung dari perubahan informasi dan lingkungannya. Riset awal mengenai organisasi pembelajar dipengaruhi oleh para pencetus teori-informasi di bawah payung apa yang kini kita namakan “cybernetics”. Cybernetics kemudian membawa ke suatu teori komunikasi dan pembelajaran yang menekankan pada empat kunci pokok:
1) sistem haruslah memiliki kemampuan untuk merasakan,
2) sistem haruslah dapat menghubungkan informasi ini ke norma-norma operasi yang kemudian membimbing sistem perilaku,
3) sistem haruslah dapat mendeteksi deviasi secara signifikan dari norma-norma itu, dan
4) sistem haruslah dapat memulai aksi yang benar manakala perbedaan-perbedan ditemukan.

Pembelajaran yang menggunakan keempat prinsip dasar tersebut disebut “putaran-tunggal pembelajaran” (single-loop learning). Istilah ini untuk menggambarkan mengenai perbedaan antara proses pembelajaran dan proses pembelajaran untuk belajar.
Senge kemudian memperkenalkan lima “komponen teknologi” baru yang disebutnya sebagai konvergensi yang secara gradual untuk memperbarui organisasi pembejalar, yakni:
1) sistem berpikir (system thinking),
2) penguasaan pribadi (personal mastery),
3) model mental (mental models),
4) membangun visi bersama (building shared vision), dan
5) tim pembelajar (team learning).

Teori Perspektif yang Terintegrasi: Pendekatan Kultural
Pendekatan kultural ialah teori yang melukiskan bagaimana anggota organisasi secara kolektif menginterpretasikan dunia organisasi sekitar mereka. Hasil interpretasi ini digunakan untuk menjawab atau merumuskan sesuatu yang dianggap penting yang terjadi dalam suatu organisasi. Pendekatan-pendekatan dari teori ini mencoba menejelaskan perilaku organisasi dalam konteks pengaruhnya atas kebudayaan yang terjadi baik di lingkungan internal maupun di lingkungan eksternal serta dampaknya bagi organisasi.Teori kebudayaan adalah imbuhan baru dari pendekatan Teori Perspektif yang Terintegrasi (Integrated Perspective). Dapat disebutkan tokoh-tokoh teori ini adalah Deal, Kennedy, Ouchi, Peters, dan Waterman. Mereka membangun pendekatan perspektif bagaimana suatu kebudayaan mempengaruhi efektivitas sebuah organisasi. Dari sejumlah pencetus teori tersebut maka Schein dan Weick membangun teori yang berorientasikan perspektif.

Elemen-elemen Kebudayaan: Terrence Deal (1939 - ) dan Allen Kennedy (1943- )
Terrence Deal dan Allen Kennedy dalam buku mereka berjudul Coprorate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life (1982) menemukan terdapat lima elemen dasar dari budaya organisasi yakni:
1) lingkungan bisnis (business environment),
2) nilai (values),
3) kepahlawanan (heroes),
4) ritus dan ritual (rites and ritual), dan
5) jaringan kebudayaan (cultural network).

Inti teori ini: budaya yang kuat memberikan kontribusi untuk mengatur organisasi. Masing-masing elemen di atas memberikan kontribusi untuk mengatur perilaku, dan menurut Deal dan Kennedy (1982), “membantu karyawan melakukan pekerjaan mereka dengan baik.”

Teori Z: William Ouchi (1943 - )
Teori William Ouchi (1981) boleh dikatakan lebih populer di antara pendekatan-pendekatan kultural pada zamannya. Sebagaimana McGregor dengan Teori Y dan Teori Y, Ouchi memperkenalkan teori Z di mana organisasi harus beradaptasi dengan elemen-elemen kunci dari kebudayaan di tempat organisasi itu beroperasi.
Teori yang diturunkan dari perbandingan antara organisasi di Jepang (tipe J) dan Amerika (tipe A) ini berasumsi bahwa kebudayaan sebagai Teori X dan Teori Y berasumsi mengenai pribadi-pribadi. Teori organisasi Z mempertahankan prestasi individu sebagai model, tapi memberikan cita rasa yang terus-menerus dari masyarakat, tidak seperti umumnya organisasi di Amerika.

In Search of Excellence: Thomas Peters (1942 - ) dan Robert Waterman (1936 - )
Thomas Peters dan Robert Waterman dalam buku mereka In Search of Excellence (Mencari Keunggulan) melaporkan hasil studi mereka mengenai 62 perwakilan industri yang sukses di Amerika. Ditengarai bahwa sukses industri tersebut karena mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitar.
Peters dan Waterman kemudian mengidentifikasi terdapat delapan tema-tema kebudayaan yang hampir selalu mencirikan keluarbiasaan (excellent) dan karena itu dapat menjadi perusahaan yang inovatif yakni:
1) bias untuk tindakan (a bias for action). Jika perusahaan mendapat masalah, perusahaan tersebut akan segera bertindak,
2) dekat dengan pelanggan (close to customer),
3) otonomi dan wirausaha (autonomy and entrepreneurship),
4) produktivitas melalui manusia (productivity through levels),
5) siap menolong dan dorongan nilai (hands-on and value-driven),
6) tetap bertahan pada bisnis yang dikuasai (stick to the knitting),
7) sederhana dalam bentuk, ramping dalam staf (simple form, lean staff), dan
8) sama-sama longgar dan ketat dalam hal sentralisasi dan desentralisasi (simultaneous loose-tight properties).
Otonomi dan wirausaha pada semua level sedapat mungkin didorong untuk tumbuh. Pengambilan keputusan kadang desentralisasi, demikian pula nilai dasar harus didukung dan dipusatkan.

Formasi Organisasi Kebudayaan: Edgar Schein
Edgar Schein (1985b) mendefinisikan kebudayaan organisasi sebagai “a pattern of basic assumptions –invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration—that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and fell in relation to those problems.”
Dalam upaya mendukung definisi di atas, Schein memaparkan sebuah model kebudayaan dengan tiga level yang berbeda:
1) artifak dan kreasi (artifacts and creation),
2) nilai (values), dan
3) asumsi dasar (basic assumtions).

Artifak dan kreasi serta nilai ialah level yang paling kasat mata dalam kebudayaan, yang terdiri atas lingkungan sosial dan fisik yang diciptakan oleh anggota organisasi. Sementara asumsi dasar ialah inti (core) dari apa yang pribadi-pribadi yakini sebagai benar mengenai dunia dan bagaimana keyakinan tersebut bekerja. Bentuk asumsi dasar ini seputar hubungan manusia dengan alam, sifat-sifat realitas dan kebenaran, hukum alam kehidupan manusia, hukum aktivitas manusia, dan pola hubungan antarmanusia.

Model Sensemaking: Karl Weick (1936 - )
Karya Karl Weick (1995) adalah contoh yang baik untuk apa yang kita maksudkan dengan perspektif yang terintegrasi. Bab 3 bukunya menunjukkan pandangannya mengenai ditetapkannya organisasi membawa cita rasa "sistem" yang khas. Dalam konteks ini, pola cita rasa (model sensemaking) ditempatkan pada bagian perspektif budaya karena fokusnya berada pada titik persimpangan antara interpretasi simultan dan tindakan. Weick menghubungkan antara organisasi dan proses-proses sense-making dan menulis demikian, “Both organizations and sensemaking processes are cut from the same cloth. To organize is to impose order, counteract deviations, simplify, and connect, and the same holds true when people try to make sense.” (hal. 120).
Weick (1995, 61-62) mengidentifikasi tujuh karakter dan menyediakan resep untuk memahami setiap karakteristik:
1) didasarkan pada konstruksi identitas (grounded in identity construction),
2) retrospektif (retrospective),
3) memerhatikan lingkungan sekitar (enactive of sensible environment),
4) sosial (social),
5) terus berlangsung (ongoing),
6) difokuskan pada dan oleh isyarat utama (focused on and by extracted cues), dan
7) didorong akal budi daripada akurasi (driven by plausibility rahter than accuracy).


IMPLIKASI-IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI
TEORI PERSPEKTIF YANG TERINTEGRASI
Teori-teori perspektif yang terintegrasi (Integrated Perspective theories) menunjukkan beragam implikasi bagi komunikasi organisasi. Semua pencetus teori sistem menggambarkan organisasi dengan kebutuhan yang berubah-ubah dan lingkungam, meskipun deskripsi mengenai relasi terhadap lingkungan sangat bervariasi. Dengan demikian, komunikasi efektif bukan hanya terhubung pada apa yang terjadi dalam suatu organisasi, melainkan juga pada bagaimana suatu organisasi berkomunikasi dengan lingkungan, dalam hal ini dengan pelanggan dan komunitas sekitarnya.
Manakala kita melihat bagaimana implikasi komunikasi terhadap teori perspektif yang terintegrasi maka memang tidak bisa tidak kita harus melihat lagi gambaran yang berbeda dari pendekatan Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan Human Behavior. Selain itu, penolakan atas konsep “one best way” harus kita perhatikan pula. Tidak syak lagi bahwa komunikasi mengisi organisasi, hubungan, dan fungsi-fungsi perubahan, dan pada akhirnya keseimbangan antar fungsi-fungsi tersebut bergantung pada kebutuhan khas dari organisasi yang didasarkan atas tujuan-tujuan dan lingkungan.
Pendekatan budaya atas organisasi diyakini sebagai sebuah kekuatan yang efektif di dalam membangun komunikasi. Identifikasi organisasi dan sosialisasi sangat penting untuk membangun budaya organisasi yang kokoh sama pentingnya dengan pelaksanaan tanggung jawab manajerial.
Pada akhirnya, harus diberi catatan bahwa teori-teori Perspektif yang Terintegrasi tidaklah secara umum mempertimbangkan komunikasi sebagai suatu proses konstitutif (constitutive processs), akan tetapi lebih memotret komunikasi sebagai suatu proses simbolik (symbolic process) yang memungkinkan kita melakukan rekonstruksi untuk saling berbagi realitas.
TEORI PERSPEKTIF YANG TERINTEGRASI
DALAM ORGANISASI MASA KINI

Dengan sederet nama kontribusi dari para pencetus teori seperti Simon, Lawrence, Lorsch, Katz, Kahn, Trist, dan Bamforth, kita berbicara mengenai pentingnya lingkungan eksternal dan mulai untuk lebih menggabungkan pemikiran dari Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan dan pendekatan Human Bevavior. Juga, dengan memasukkan pendekatan budaya sebagaimana diajukan oleh para penggagas teori Perspektif yang Terintegrasi, komunikasi dilukiskan sebagai suatu proses dan lewat proses itu kita berbagi realitas yang dihasilkan dan melalui nilai, identifikasi, dan tindakan-tindakan sosial.
Itu merupakan sejumlah contoh betapa pentingnya sebuah organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternalnya. Sebuah perusahaan mobil yang besar di Amerika pada 1950-1960 kehilangan posisi pasar kompetitifnya. Diperkenalkannya pc (personal computers) ke pasar rumahan membuat sejumlah besar perusahaan berebut untuk memperkenalkan produk baru dan terbaik mereka hanya demi mengejar pangsa pasar (market share).
Perusahaan-perusahaan masa kini mulai berpaling dan peduli pada kebudayaan dan lingkungan sekitar. Bahkan, tidak sedikit di antaranya dengan tegas mempublikasikan pernyataan visi dan misinya yang mencerminkan nilai organisasi dengan memperhatikan aspek kebudayaan.
Promosi, pencapaian-pencapaian, serta kegiatan perusahaan mulai diarahkan ke lingkungan eksternal organisasi, dengan memperhatikan publik tradisional sekaligus publik futuristik seperti sekolah dan bank-bank. Pendekatan Perspektif yang Terintegrasi dapat dilihat pada kembalinya perubahan pola manufaktur Davis Instrument Company. Diperkenalkannya sistem MCF merupakan jawaban atas tekanan pasar untuk tetap menjaga biaya yang kompetitif.


POSTMODERN, KRITIKAL, DAN PERSPEKTIF FEMINIS
Kita sudah banyak membahas berbagai teori organisasi di muka, namun hanya sedikit perhatian diberikan pada power (kekuasaan) sebagai dominasi atau tantangan dari hierarki tradisional dan sistem patriarkal atas otoritas.
Karena itu, muncul teori yang memusatkan perhatian pada power (kekuasaan) sebagai dominasi atau tantangan dari hierarki tradisional dan sistem patriarkal atas otoritas yang disebut sebagai “Postmodern Critical Perspective” (PCP). Apa yang dimaksudkan dengan PCP? PCP ialah teori yang memusatkan perhatian pada kekuasaan dan dominasi dan pada tantangan-tantangan hierarki, birokrasi, dan kontrol manajemen” (Theories that focus on power and domination and on challenges to hierarchy, bureaucracy, and management control).

Perspektif Postmodern: Stewart Clegg (1947 - )
Stewart Clegg (1990) dalam karyanya Modern Organization membangun konsep dari para filsuf Perancis seperti Jean-Francois Lyotard (1984) dan Jean Baudrillard (1983) yang menggambarkan bahwa kondisi postmodern sebagai sangat teratur (highly ordered), terspesialisasi oleh teknologi, dipengaruhi oleh media massa, dan menuntut presisi, kecepatan, fleksibilitas, dan mempunyai kemampuan adaptif terhadap kinerja individual.
Clegg berpendapat bahwa postmodernisme menolak konsep-konsep itu (Manajemen berbasis Ilmu Pengetahuan) ketika ia menyebutkan ciri-ciri organisasi postmodernisme sebagai struktur fleksibel yang memerlukan karyawan dengan multiketerampilan yang cakap dan terus-menerus menjadi manusia pembelajar.

Teori Kritis: Jurgen Habermas (1929 - )
Yang dimaksudkan dengan teori kritis ialah istilah yang menyangkut: kritik atas masyarakat, organisasi, dan konstruksi masyarakat. Dengan menelusuri akar dari karya Karl Marx dan yang lain, teori kritis kini mengambil tema sentral atas isu kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan (power and power abuse) dalam organisasi dan masyarakat secara keseluruhan. Kini teori kritis lebih menekankan pada bagaimana mencari cara-cara untuk menghasilkan partisipasi yang lebih murni dan tata suasana yang lebih demokratis.
Jurgen Habermas menolak konsep ilmu pengetahuan rasional sebagai dasar dari pengetahuan yang valid di mana direkonstruksi kapitalisme yang sewenang-wenang. Habermas menyebut penggunaan teori Kritis untuk menyusun kembali (reconstitute) pemikiran dan rasionalitas sebagai proses bagi perubahan sosial yang positif. Menurut Habermas, proses komunikatif adalah basis bagi perubahan membawa gagasan dari proses konstitutif, secara harfiah merupakan fondasi bagi semua organisasi, pengaruh, dan pengambilan keputusan.

Komentar atas Teori Kritis dan Postmodernisme: Mats Alvesson (1956 - ), dan Stanley Deetz (1948 - ), Martin Kilduff (1949- ) dan Ajay Mehra (1968 - ) dan Gareth Morgan
Mats Alvesson, Stanley Deetz, Martin Kilduff, Ajay Mehra, dan Gareth Morgan memberikan komentar untuk mengidentifikasi konsep-konsep kunci dan hubungan antar litratur dan postmodernisme dan teori Kritis.
Alvesson dan Deetz (1996) mencatat bahwa kelahiran teori Kritis dan postmodernisme sebagai respons atas kondisi sosial. Masyarakat sekarang yang sangat kompleks mempunyai banyak kapasitas positif, namun sekaligus juga menjadi bentuk-bentuk yang berbahaya dari dominasi.
Kilduff dan Mehra (1997) menggambarkan perspektif postmodernisme sebagai memperjuangkan posisi teoretis yang berbeda sementara di pihak lain banyak mendorong tantangan-tantangan yang berkelanjutan dari asumsi yang diletakkan dari bagaimana kita memandang organisasi dan kehidupan organiasi. Mereka menganjurkan agar postmodernisme memandang “kebenaran” sebagai problematik dan lebih memusatkan pada bagaimana individu merekonstruksi dunia sosial mereka dan bagaimana konstruksi ini mengambil tempat dalam ciri-ciri kepastian dari kebenaran.
Morgan (1977), menggunakan organisasi sebagai metafor dominasi, menggambarkan apa yang disebut sebagai buruk rupa (ugly face) dari dominasi. Secara khusus, Morgan mengemukakan contoh-contoh bagaimana organisasi memperkokoh struktur kelas (misalnya kelas manajemen dan kelas pekerja) yang menyediakan bentuk-bentuk kontrol terhadap kerja, perilaku, dan bahkan keberlangsungan dari pekerjaan. Buah dominasi ini tampak dalam bahaya kerja, ancaman penyakit, kecelakaan kerja, serta pekerja anak di bawah umur.
Morgan dan kawan-kawan juga berpendapat bahwa perekonomian dunia makin didominasi oleh organisasi multinasional daripada oleh pemerintah atau oleh aliansi nasional. Teori kritis memandang bahwa organisasi multinasional sebagai biang utama doninasi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Teori Organisasi Feminis: Marta Calảs (1942 - ) dan Linda Smircich
Marta Calảs dan Smircich (1992) membantu memperluas isu-isu nyata yang didiskusikan oleh para pencetus teori kritis melalui penerapan mereka terhadap pendekatan-pendekatan feminis ke dalam studi kritis atas suatu organisasi. Keduanya memusatkan perhatian pada studi gender sebagai salah satu dari banyak variabel penting pada studi manajemen dan organisasi ke asumsi dasar pada aras riset organisasi.
Perspektif Feminis ialah: teori yang mengkritik asumsi-asumsi gender dari organisasi modern dan terpanggil untuk mengakui dan menghargai banyaknya suara dan perspektif. Perspektif ini juga ingin mensejajarkan pria-wanita, tidak lagi pria didentifikasikian sebagai manusia yang rasional sedangkan wanita adalah pembantu (suami) dan pengasuh (anak) di rumah.
Calảs dan Smircich (1996) mengidentifikasi terdapat tujuh pendekatan untuk teori Feminis:
1) liberal,
2) radikal,
3) psikoanalisis,
4) Marxist,
5) sosialis,
6) poststrukturalis/postmodern, dan
7) dunia ketiga/ postkolonial.



IMPLIKASI-IMPLIKASI KOMUNIKASI DARI POSTMODERNISME, KRITIS,
DAN PERSPEKTIF FEMINIS
Postmodern, Kritis, dan pendekatan Feminis yang didiskusikan di muka berpusat pada komunikasi organisasi untuk memahami hubungan organisasi dan konstruksi dari hubungan sosial yang lebih luas. Makna yang berpusat pada pendekatan komunikasi organisasi direfleksikan oleh Postmodern, Kritis, dan pendekatan Feminis tentang kekuasaan, aturan komunikasi, dan organisasi berupaya untuk mengelola kebudayaan dan sosialisasi. Pendekatan emerging-perspective ke komunikasi organisasi lebih dekat diasosiasikan dengan teori Postmodern dan Perspektif Kritis. Emerging-perspective melukiskan komunikasi sebagai proses konstitutif, suatu gambaran yang dekat dan selaras dengan konsep Habermas dan pakar yang lain.
Bersama dengan Perspektif Feminis, Emerging-perspective juga menguji cara-cara di mana kekuasaan (power) disalahgunakan serta suara-suara yang dominan meminggirkan wanita dan kaum lemah.
Teori Postmodern dan Perspektif Kritis serta Emerging-perspective mengusulkan nilai dari tingginya tingkat partisipasi dan demokrasi di antara para pekerja yang berpusat pada nilai dari semua suara-suara (aspirasi) yang ada dalam suatu organisasi.


POSTMODERN, KRITIS, DAN PERSPEKTIF FEMINIS
DALAM ORGANISASI MASA KINI
Tingkatan organisasi –tidak termasuk level hierarkial dan manajer— adalah fakta yang demikian nyata dalam kebanyakan organisasi yang mengatur-diri (self-managing) dan tim yang berkinerja tinggi menggantikan gagasan tradisional dari supervisi atau pengawasan. Postmodern dan Perspektif Kritis menggambarkan perubahan itu dengan istilah power shifts (perubahan kekuasaan), saling bergantung satu sama lain, dan peningkatan kebutuhan untuk fleksibilitas dan adaptasi sebagaimana dikontraskan dengan spesialisasi pekerjaan dan berbagi soal makna.
Organisasi hari ini dan organisasi esok akan dipenuhi oleh karyawan yang semakin beragam. Pelanggan dan pasar beragam dan semakin khusus. Adaptasi, fleksibilitas, dan perubahan akan semakin sering terjadi. Untuk itu, organisasi harus secara teratur menerapkan pendekatan-pendekatan yang membutuhkan peningkatan dan mengubah keterampilan-keterampilan dari tenaga kerja. Hierarki mendapat tantangannya, sementara isu feminis makin merebak. Pasar global dan internasionalisasi perusahaan, serta perubahan tenaga kerja adalah keniscayaan yang menjadi bukti kuat adanya postmodern dan munculnya tantangan-tantangan kritis yang harus dijawab oleh sebuah organisasi.
Persoalan yang dihadapi The Davis Instrument Company dapat dipandang sebagai pendekatan Postmodern dan pendekatan Kritis. Davis perlu berubah. Relasi lama sudah tidak lagi bekerja secara efektif seperti di masa lampau. Untuk memahami kasus Davis, dituntut adanya pemikiran mengenai asumsi-asumsi yang mendorong Davis membuat keputusan. Selain itu, pertimbangan dapat diberikan, apakah mengabaikan suara-suara karyawan, atau sebaliknya, mendengar manajer dan supervisor.
***

Tidak ada komentar: