Nicolas Garnham dalam “The Media and Public Sphere” (Routledge, 2004: 359) menyatakan bahwa teori public sphere (PS) dikembangkan dari konsep Jürgen Habermas, salah satu tokoh Sekolah Frankfurt.
Ia antara lain mencatat, “..as articulated in particular Habermas argued that, just as the participatory democracy of the Athenian agora depended upon the material base of slavery, …. “
Sementara itu, dalam buku Studies in Ethnometdhology (Blackwell Publishing Ltd., Oxford, 2003), Harold Garfinkel membahas PS, dengan mengacu pada konsep Habermas juga dan mencatat "by the public sphere" we mean first of all a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed.”
Jadi, PS dilihat sebagai bagian dari praktik demokrasi, di mana tiap-tiap warga bebas menyatakan pendapatnya –melalui media apa pun, termasuk media cetak dan elektronika.
Dahulu, kebebasan menyatakan pendapat ini pada zaman Yunani kuno dilakukan di alun-alun. Alun-alun adalah ruang publik waktu itu, terutama di kota Athena. Sesuai dengan perkembangan zaman, ruang publik di Yunani dan di Eropa pada umumnya merambah dan meluas di kafe-kafe.
Tradisi menyatakan pendapat sebagai bentuk demokrasi ini terutama subur di Eropa dan Amerika. Di ruang-ruang publik, terutama kedai-kedai kopi dan kafe, ramai orang berdiksusi. Bebas. Mereka dapat menyatakan pendapat mengenai apa pun juga yang menyangkut kehidupan bersama (publik). Orang bebas menyatakan pendapat tanpa rasa takut dan tanpa dibatasi pihak mana pun, termasuk penguasa, pihak keamanan, dan atasan.
***
Pada zaman Orde Baru, tidak ada ruang publik baik di tempat terbuka dan di tempat umum. Semua takut karena dibungkam dan diancam. Namun, begitu reformasi (1997), ruang publik terbuka. Orang mulai berani bicara, entah di ruang terbuka, entah di media.
Wimar Witoelar dikenal pada zaman Reformasi dengan talk show-nya di stasiun radio dan TV. Radio republik Indonesia (RRI) PRO2 FM dikenal dengan public sphere-nya yang kritis (waktu reformasi), yang benar-benar tidak memilih narasumber untuk menyatakan pendapat.
Kini ada beberapa stasiun TV dan radio yang menyediakan PS, namun kadang sudah direkayasa (ditentukan siapa narasumbernya). Beberapa memang memberi kesempatan langsung kepada masyarakat untuk berkomentar ata suatu topik tertentu (dengan menelepon). Beberapa stasiun radio menyebutnya “talk show interaktif”.
Media cetak juga juga menyediakan PS, antara lain lewat rubrik “Pembaca Menulis/Surat Pembaca” atau rubrik “Opini”. PS juga tercermin dalam kedai-kedai kopi dan kafe-kafe, serta acara-acara talkshow.
Di kafe-kafe, termasuk di kafe Plaza Semanggi, Kemang, di sudut-sudut kota Jakarta, PS juga tumbuh subur. Topik pembicaraan cukup luas, mulai dari masalah politik, ekonomi,sosial, kesra, dan kebudayaan pada umumnya.
Yang agak berbeda dengan pengamatan Habermas yang dahulu melihat bahwa peserta diskusi terbuka di kafe-kafe pada umumnya kaum pria, kini kaum wanita juga banyak. Akan tetapi, ditinjau dari kelas sosial mereka sama: kelas menengah ke atas. Jadi, public sphere bukan sekadar diskusi dan merupakan ungkapan demokrasi, akan tetapi juga menjadi sebuah life style.
Dengan demikian, sesungguhnya PS di Indonesia saat ini masih ada sebagai ungkapan demokrasi dan representasi gaya hidup kelas menengah. Namun, ada warna sendiri sesuai dengan zamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar