Jumat, 18 Maret 2011

Labeling "Headhunter" Etnis Dayak dan Konstruksi yang Dibangun Penulis Barat


Pengantar

Komunitas Dayak tiba-tiba bagai orang koma, sadar dari mimpi panjang, ketika sosiolog Thamrin Amal Tamagola memaparkan secuil hasil penelitiannya ihwal "kearifan tradisional" suku bangsa-suku bangsa di Nusantara.

Dari seorang rekan, sekaligus "guru", saya mafhum bahwa ucapan Thamrin ketika bersaksi di pengadilan, sudah terdistorsi. Saya lantas mendapat telepon dan surat elektronik dari beberapa rekan, termasuk kakak adik kelas di Kalbar dulu, bahwa sejarah dan budaya Dayak harus ditulis orang Dayak sendiri karena dianggap lebih memahami. Benar, sejarah selalu berpihak.

Tulisan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menulis sejarah sendiri. Baiklah, saya akan mulai dari bagaimana asal muasal pencitraan Dayak sebagai headhunter, lewat pendekatan hermeneutika yang saya dapatkan dari naskah-naskah kuno zaman baheula.

Di dalam upaya memahami sejarah dan menafsirkan teks, saya berpedoman pada Teori Hermeneutika Gadamer dalam Wahrheit und Methode (Truth and Method, 1975) bahwa kita dapat memahami realitas (ontologi) melalui penafsiran dalam konteks sejarah dan tradisi pada saat teks itu ditulis.

Hermeneutika Gadamer bertumpu pada 'historically effected consciousness' (wirkungsgeschichtliches BewuƟtsein) dan kesadaran tersebut tertanam dalam tradisi dan histori yang membentuknya.
***

Citra Kalimantan sebagai pulau terpencil, tidak terjamah, hutan hujan yang perawan, tempat petualangan yang mengasyikkan, penuh bahaya, dihuni manusia liar dan pemburu kepala, kaya flora dan fauna dan dilimpahi aneka hasil bumi dan tambang; menjadi sumber daya tarik bagi wisatawan penjelajah awal dan selama berabad-abad mempengaruhi bahan-bahan tertulis dan audio visual.

Pencitraan tersebut dikemas sedemikian rupa menjadi komoditas yang menarik untuk disiarkan radio dan televisi sehingga dilihat dari efek media, terutama model efek kumulatif media, isi pesan yang disampaikan lama kelamaaan tertanam akibat dari kultivasi yang terus-menerus.

Selama berabad-abad, Kalimantan menarik perhatian dan minat para pelancong Barat yang datang untuk berbagai tujuan, seperti: tujuan ekspedisi (Nieuwenhuis, 1884), penelitian ilmiah (Helbig, 1982), studi agama dan kepercayaan (Beeckman, 1718; Sharer, 1963; Schadee, 1979), serta tujuan politik dan entrepreneur (Morrison, 1957; Heidhues, 2003).

Hasil survei yang saya lakukan pada populasi etnis Dayak yang bermukim di lokasi studi (locus studiorum) di wilayah Kalimantan Barat menunjukkan adanya efek media (buku, majalah, radio, dan tv) terhadap bangunan atau konstruksi tentang citra etnis Dayak sebagai headhunter/ngayau. Grand theory yang saya pakai untuk menjelaskan bagaimana fenomena ngayau dalam konteks histori dan tradisi Dayak ialah hermeneutika Hans-Georg Gadamer (1900-2002).

Sebagaimana diketahui bahwa Gadamer merupakan salah satu filsuf penting abad 20. Ia terkenal karena mahakarya (magnum opus) Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) yang terbit pada 1960.

Hermeneutika secara etimologi berasal dari kata Yunani “hermeneutike” yang berarti: penafsiran. Sesungguhnya, kata itu dipungut dari dari nama dewa “Hermes” yang terkenal karena mahir menasfirkan pesan dari "dunia atas" (dewa) untuk disampaikan kepada manusia.

Hermeutika kemudian sangat terkenal untuk studi-studi Alkitab: teks-teks ditafsirkan dan direkonstruksi asal usul serta latarnya pada saat teks itu lahir untuk dicarikan maknanya dan coba dipahami yang dalam tradisi Kristen disebut eksegese. Hermeneutika kini dipahami sebagai “seluruh usaha rasional manusia untuk memahami realitas ada (being) dan upaya untuk melakukan reinterpretasi”.

Gadamer menekankan apa yang disebut dengan “pengalaman dan refleksi”. Ia menegaskan bahwa “We can reach the truth only by understanding or even mastering our experience.”

Menurut Gadamer, pengalaman adalah tidak tetap, tapi berubah, dan selalu menunjukkan perspektif baru. Gadamer menunjukkan bahwa kita tidak pernah bisa melangkah keluar dari tradisi kita, yang bisa kita lakukan adalah mencoba untuk memahaminya. Individu dalam satu kesatuan dengan tradisi dan pengalaman kolektif merupakan titik awal Gadamer menguraikan ide lingkaran hermeneutik.

Dalam konteks ini, hermeneutika adalah teori untuk menjelaskan fenomena ngayau di kalangan etnis Dayak sebagai sebuah teks yang sarat dengan simbol. Menurut Womack (2005), simbol pada hakikatnya adalah komunikasi.

No one can escape the power of symbols. If we are not involved in the symbolic complexes on religion and magic, we observe symbolic dreams on television, at the movies, or on the sporting field. If we manage to evade the influence in our daily lives –which is virtually impossible—we still encounter symbols in our dreams….
Symbols are, above all, a means of communication. In general term, symbol are images, words, or behaviors that have multiple levels of meaning. Symbol stand for concept that are too complex to be stated directly in words.
(Womack, hlm. 1-2).

Mengacu pada pengertian di atas maka ngayau pada aras konsep yang paling kompleks ialah simbol komunikasi di kalangan etnis Dayak. Banyak pihak kurang memahami makna simbol tersebut dan merasa heran, mengapa setelah Perjanjian Tumbang Anoi masih saja terjadi praktik headhunting? Pasti motif headhunting pascaperjanjian Tumbang Anoi bukanlah ritual, melainkan mekanisme pertahanan diri.

Oleh karena itu, pascaperjanjian Tumbang Anoi, ngayau sudah bermetamorfosis menjadi simbol komunikasi. Motif ritual semakin berkurang, sementara motif atau ekspresi pertahanan diri semakin menonjol. Dalam kasus tertentu, cara pertahanan diri ini bukan saja pasif (menunggu), tetapi juga agresif (menyerang).

Pertemuan Dayak se-Borneo Raya di desa Huron Anoi, Kahayan Ulu, Kalteng 1894 yang diprakarsai kompeni Belanda sepakat mengakhiri praktik ngayau. Sejarah mencatat bahwa Dayak bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara yang melakukan praktik headhunting, tapi suku lain, di salah satau pulau besar selain Kalimantan.

Citra suku bangsa pengayau oleh penulis asing haruslah diubah. Selain sudah lama tidak ada lagi praktik ngayau, hal ihwal tentang Dayak harus ditulis orang Dayak sendiri. Mengapa? Karena mereka yang paling paham sejarahnya dan tahu bagaimana cara menulisnya dengan benar. Sebagai contoh, betapa banyak ketidakakuratan penulis asing di dalam menulis tentang Dayak yang hingga kini salah kaprah.

Ngayau di kalangan etnis Dayak bukan semata-mata dilatari oleh motif ritual. Yang jauh lebih penting dipahami ialah bahwa ngayau merupakan bentuk mekanisme pembelaan diri terhadap ancaman dan serangan dari luar.

Inilah perbedaan headhunting di kalangan suku bangsa Dayak dengan suku primitif lain di dunia, misalnya suku Ilongot di Filipina (Rosaldo, 1989) dan suku Jivaro di Ekuador yang menamakan tradisi headhunting sebagai tsantsa. Headhunting di kalangan suku Ilongot menurut Rosaldo (1989) "...rage, born of grief, impels him to kill his fellow human beings... the act of several and to sing away the victims head enables him, he says, to vent and, he hopes throw away the anger of his bereavement (hlm. 1). Selanjutnya dikemukakan bahwa, “Headhunting resulted from the way that one death canceled out the other."
***

Headhunting di kalangam Dayak bukan hanya muncul dalam literatur nonfiksi, tetapi juga dalam bentuk fiksi (novel). Menurut Heryanto (1985), karya sastra yang baik ialah yang punya konteks. Karya sastra pada hakikatnya adalah cerminan dari masyarakat zamannya. Karena itu, sebuah teks sastra jika direkonstruksi merupakan gambaran dari realitas masyarakat, meskipun bukan merupakan hasil investigasi berupa laporan jurnalistik dan hasil dari suatu penelitian.

Senada dengan Ariel, Korrie Layun Rampan (2000) menegaskan bahwa karya sastra selain berfungsi menghibur, juga berdimensi dan bernilai historis. Terdapat pengalaman bersama antara si pengarang dengan masyarakat, pengarang mengangkat isu-isu dan topik-topik yang menjadi pusat perhatian dan persoalan yang nyata dialami oleh masyarakat.

Peristiwa yang terjalin dalam plot suatu karya sastra, dengan demikian, adalah pengalaman bersama dan menjadi peristiwa sosial, seperti jelas dalam novel Amil Jaya (2009), Headhunter: Ngayau. Dalam novel yang memenangkan “S.E.A. Award” ini dapat direkonstruksi motif ritual di balik pengayauan.

“This longhouse needs human blood. The foundation pillar cannot be created without the sacrifice,” said Chief Kanyau, referring to the ngayau ritual.
“But this task of obtaining humans for the sacrifice is going to be very difficult,” exclaimed his assistant, Tuai Rumah Janting. “Our warriors are still not trained foe battle.”
“I have pondered upon the matter and appointed Lasa Kulan to lead this headhunting team. I am convinced that he is the best warrior to perform the task.”
All eyes focused on the sturdy and handsome Lasa Kulan. He smiled while glancing at Kunang, Chief Kenyau’s daughter. Lasa Kulan’s smile widened as he puffed out his chest, displaying his handsome body while firmly holding his bakin in one hand and the hilt of the ilang sheathed at his waist in the other.
The smile was still on his lips when Kumang Raja returned. However, the smile soon faded along with the memory of Kunang, his sweetheart.


***
Kini zaman sudah berubah, tidak ada lagi ritual pengayauan. Yang ada tinggal mekanisme pertahanan diri. Praktik yang mirip headhunting pada zaman baheula hanya akan terjadi manakala secara bersama-sama etnis Dayak terancam dan merasa terdesak, selain jika simbol-simbol identitasnya dirusak.
***



Headhunting (Ngayau) dan Filosofinya

Nto corita nya muntuh mula
Nancingk bayi tomona ngayau
Nyanangk romangk lalu botaja
Ngkulap ko poya monok bogura notau
Monok bogurak notau

To bagei monok nyak odomp tomona
Ngkulap ko poya ngongao nyak mantao
Samel ngoronong ompu bonua
Nampae yangk kamang iju kali odomp nyorau
Iju kali odomp nyorao

Iju kali norao, iju kali....

Panang monik so nyagak bala
Bala mangkas taja ngan ngakao
Nugei opi nyak nyulap lila
Samel ngomansot pati cikou ikah tajao


Artinya:
Ini kisah nenek moyang
Menghunus mandau pergi ngayau
Bawa serta romangk (perkakas) lalu menari
Melompat ke tanah burung bogurak bernyanyi
burung bogurak bernyanyi

Kini waktunya untuk turun
Melompat ke tanah mencari intaian
Sambil memandang pekarangan rumah

Menyerukan semangat kamang (dewa pembinasa) tujuh kali berseru
Tujuh kali berseru

Tujuh kali berseru, tujuh kali….

Pulang ngayau disambut penduduk
Khalayak teriak menari dan berseru

Bawa api untuk menghidupkan meriam
Sambil keluarkan tuak murni satu tempayan besar


Syair lagu yang didendangkan artis populer asal Jangkang Tojok (Rosak), Christian Mara, yang kini menetap di Pontianak itu sebenarnya sudah sedikit menjelaskan latar ngayau. Dari mengayunkan langkah kaki pertama ke medan laga, hingga kembali ngayau, dijelaskan dengan bernas.

Tersurat dalam syair itu bahwa ngayau diliputi simbol, ritus, dan juga upacara. Namun, sebelum sampai pada pembahasan mengenai filosofi, simbol dan maknanya, baiklah jika dilihat lebih dulu etimologi dan semantik ngayau.

Asal usul kata ngayau umumnya terdapat kesepakatan di kalangan suku Dayak. Namun, kapan dimulai dan bagaimanakah sejarahnya, agaknya masih simpang siur dan sering muncul dalam berbagai versi.
Hal itu disebabkan belum ada studi dan catatan sejarah mengenai asal mula ngayau secara detail dan kronologis. Hanya ada catatan mengenai kesepakatan bersama seluruh etnis Dayak Borneo Raya untuk mengakhirinya. Ini terjadi pada pada 22 Mei - 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah.

Benar adanya bahwa sebelum perjanjian Tumbang Anoi disepakati, terjadi praktik headhunting bahkan di kalangan sesama Dayak. Praktik ngayau antarsesama Dayak ini sukar dibantah dan memang demikianlah adanya. Dayak Jangkang misalnya, dahulu kala bermusuhan dengan Dayak Ribunt. Ditilik dari asal usul, keduanya dari satu moyang yang sama. Dayak Ribunt merupakan pecahan dari Kopa, terbukti dari kesamaan dialek dan bahasa. Meski satu asal usul, di zaman pengayauan, kedua suku saling bermusuhan. Saat itu, berlaku hukum rimba: yang kuat memangsa yang lemah.

Panglima perang Dayak Jangkang yang kerap muncul dalam kisah-kisah epos adalah Macan Gaingk. Dikisahkan tiap kali padi di ladang sudah mulai menguning, di bawah pimpinan Macan Gaingk, Dayak Jangkang ngayau ke luar wilayah Jangkang. Hasil kayauan nantinya akan ditarikan dalam pesta gawai yang disebut dengan notongk. Gawai tidak akan meriah, dan terasa hampa, manakala dalam pengayauan tidak didapatkan hasil seperti yang diinginkan.

Yang menarik, meski ngayau merupakan perang antarsuku, ada juga aturan-aturan adat yang harus dipatuhi. Misalnya, ngayau tidak boleh dilakukan pada anak-anak di bawah umur dan wanita yang baru saja melahirkan. Pantangannya juga ada. Jika memasuki sebuah kampung dan di jalan hendak masuk kampung itu rombongan yang mengayau menemukan tempayan berisi tuak, daging ayam/babi, kue ketan yang dimasak dalam bambu muda (lemang/sobangkangk) dan disajikan dengan rapi dalam sebuah kerancak (altar) maka kampung tersebut tidak boleh dikayau. Sesajen itu adalah petanda (signifier) yang menunjuk pada pesan bahwa kampung tersebut sedang dalam suasana berkabung atau ada wanita yang baru melahirkan (signified). Dalam bahasa Dayak Jangkang, sesajen yang memberi pesan “minta maaf” ini disebut sirok somah. Sirok berarti tiarap atau menunduk dan somah berarti menyembah. (baca: Tulah Macan Gaingk)

Apakah faktor yang menyebabkan pengayauan antarDayak ini terjadi?
Sesungguhnya, saling mengayau di antara sesama Dayak, bukanlah semata-mata mencari kepala musuh sebagai tanda bukti kekuatan dan kebanggaan. Namun, dilatari juga oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara mempertahankan diri: menyerang lebih dulu sebelum diserang. Ini mirip dengan pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk perang).


Panglima perang Dayak zaman dulu, Panglima Kilat, seorang Dayak Mualang (Iban), tapi sangat terkenal dan selalu membantu Dayak Jangkang bila ada ancaman bahaya. Ini karena letak Mualang yang tidak jauh dari Jangkang, berjalan kaki lewat Ketori dan Pakit. Jika diminati bantuan, secepat kilat ia datang sehingga digelari demikian.Tengkorak sebagai hasil headhunting, menjadi pajangan (barangkali mirip simbol piala sekarang) di samping rumah etnis Dayak.

Masuknya agama Katolik di tengah-tengah etnis Dayak, terutama dengan datangnya misi Katolik ke pulau Borneo di pengujung abad 18, membawa pengaruh positif.
Ajaran Kristen yang radikal untuk tidak balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, tulang ganti tulang” segera merasuk etnis Dayak. Ajaran cinta kasih ini menyadarkan masyarakat Dayak untuk segera menghentikan tradisi mengayau. Musyawarah dihadiri para kepala adat se-Borneo Raya yang berkumpul dan bersepakat untuk menghentikan pengayauan antarsesama Dayak. Namun, pertemuan yang berbuah kesepakatan Tumbang Anoi sendiri diprakarsai pemerintah Hindia Belanda pada 1894.
Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh” . Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh.

Serta merta perlu diberikan catatan pada apa yang disebutkan perbuatan dan tindak-budaya ini. Kedengarannya aneh di telinga untuk saat ini. Namun, jika menyelami keyakinan etnis Dayak lebih mendalam maka kita akan segera menjadi mafhum di balik tradisi mengayau ini.

Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi.

Keyakinan ini pada gilirannya membawa konsekuensi, orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika mengganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan tertentu, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas.

Prinsip bahwa mata ganti mata, gigi ganti gigi benar-benar diterapkan. Meski mengalami penyempurnaan dan penyesuaian, sisa-sisa praktik “mata ganti mata, gigi ganti gigi” ini masih diteruskan di Jangkang hingga hari ini.
Pasal-pasal hukum adat Kecamatan Jangkang masih terasa kental nuansa penuntutan atas pertumpahan darah ini. Terbukti dari diaturnya secara detail pasal-pasal yang menetapkan pengadilan atas perkara dari mulai yang terkecil kasus pertumpahan darah hingga mengakibatkan kematian, yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut dengan “Adat Pati Nyawa”.

Satuan untuk menghitung ganti atas pertumpahan darah unik, disebut dengan tael. Di masa lampau, menghilangkan nyawa manusia walaupun tidak sengaja (misalnya tertembak waktu berburu) maupun secara sengaja maka si pelaku akan mengalami kesulitan membayarnya. Seisi keluarga dan sanak saudara akan turut terlibat membantu. Bahkan, bukan tidak mungkin sampai seumur hidup pelaku menunaikan kewajibannya membayar Adat Pati Nyawa.

Apakah Adat Pati Nyawa? Secara harfiah, pati berarti sari atau inti. Kata “pati” kerap muncul dalam bahasa Dayak dengan inisial dan pembagian Djo (lihat Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas, “Djongkang: A language of Indonesia” (Kalimantan) ISO 639-3: djo

Jadi, pati nyawa adalah pengganti nyawa yang hilang. Tentu saja, hukum pati nyawa ini tidak berlaku dalam ngayau. Dan hanya berlaku dalam keadaan normal saja, sebab pekik ngayau haruslah datang dari aump dan merupakan hasil dari permufakatan bersama.

Demikianlah, ngayau pun harus disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal bagi komunitas Dayak dan harus melalui hasil mufakat bersama. Disebut komunitas, karena suatu kampung biasanya menempati sebuah batang atau rumah panjang. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump . Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas.

Patut diberikan catatan tambahan bahwa ngayau di kalangan suku Dayak umumnya, dan Dayak Djongkang khususnya, bukan sekadar memanggal kepala musuh. Ada filosofi yang melatarinya. Banyak kandungan hikmah, meski sekilas tampak sadis, di balik itu semua.
Orang luar yang kurang memahami secara mendalam filosofi dan latar di balik tradisi ngayau cenderung .menarik simpulan entimema: orang Dayak biadab, sadis, pemburu kepala manusia, dan headhunting. Tidak mengherankan, dalam literatur dan laporan-laporan tertulis pada zaman kolonial, Dayak dicap sebagai suku asli Borneo yang tidak berkeadaban. Meski para peneliti dan ahli antropologi tidak memasukkan Dayak sebagai suku terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting, toh stereotipe sebagai pengayau masih melekat kuat minimal hingga kerusuhan etnis terjadi di Sambas pada 19 Januari 1999 di Desa Parit Setia, Kecamatan Jawai, Sambas dan kemudian merambat ke Sampit pada 18 Februari 2001.

Banyak orang melihat pertalian kejadian itu, meski sebenarnya berbeda dalam hal casus belli dan eskalasi. Akan tetapi, satu yang sama: solidaritas di kalangan etnis Dayak tumbuh menghadapi bahaya dari luar. Dalam konteks mempertahankan diri dan melakukan tindakan menyerang lebih dulu sebelum diserang ini, dapat dipahami latar dan filosofi ngayau.


Alasan ngayau dan filosofinya
Ngayau, sebagaimana juga mangkok merah, tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus melalui mufakat. Harus ada alasan kuat dan masuk akal untuk ngayau. Dari penuturan dan kesaksian para tokoh dan pelaku ngayau yang masih hidup hingga saat ini, dapat disimpulkan terdapat empat alasan mengapa orang Dayak ngayau.
J.U. Lontaan (1975: 533-537) mencatat setidaknya terdapat empat motif ngayau.
Pertama, melindungi pertanian.
Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).
Ketiga, balas dendam.
Keempat, sebagai penambah daya tahan berdirinya bangunan.
Sebenarnya, masih ada motif lain di balik ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni upaya mempertahankan diri. Boleh dikatakan, motif mempertahankan diri ini jauh lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain, terutama pascaperjanjian Tumbang Anoi.

Majang Desa: ngayau terakhir?
Boleh jadi, antara tahun 1941-1943 merupakan pengayauan terbesar dalam sejarah etnis Dayak Jangkang khususnya dan Dayak yang masuk ke dalam administratif swapraja dan neo swapraja pada umumnya.

Maklumat ngayau oleh panglima-panglima perang Dayak, sebenarnya dipicu oleh ulah saudara tua, Jepang, yang ingin menguasai wilayah Kalimantan Barat secara paksa.
Dalam upaya mendirikan Negeri Timur Jauh, Jepang memandang Pulau Borneo sangat strategis dari sisi letaknya sehingga menjadi incaran serius. Betapa tidak, Borneo merupakan gugusan yang sambung-menyambung dari utara ke selatan, yakni kepulauan Jepang, Formosa, Borneo, dan Celebes. Dalam Perang Asia Timur Raya, ada kecenderungan Negeri Matahari Terbit hendak menyatukan gugusan pulau-pulau tersebut menjadi sebuah wilayah kekuasaannya.

Kota-kota di sepanjang pantai Laut Cina Selatan seperti Sambas, Pemangkat, Singkawang, Mempawah, Sei Pinyuh hingga Pontianak amat strategis dan menguntungkan bagi Jepang sebagai benteng pertahanan dalam perang Asia Timur Raya. Pada masa pendudukannya, Jepang telah membentuk pemerintahan di Borneo Barat dengan membentuk tiga karesidenan dengan menambah wilayah baru, Kalimantan Timur dengan Samarinda sebagai ibu kotanya.

Borneo Barat pada waktu pendudukan Jepang di bawah pemerintahan Angkatan Laut (Kaigun) yang diberi nama Borneo Minseibu Cokan yang berpusat di kota Banjarmasin . Borneo Barat masih tetap berstatus Minseibu Syuu yang dikuasai Syuu Tizi. Nantinya, pemerintahan bentukan Jepang ini berakhir tatkala pada tahun 1945 digeser oleh pemerintahan bentukan Belanda, Nica.

Untuk melancarkan usahanya menduduki dan menguasai Borneo Barat, Jepang mendaratkan sejumlah warganya jauh-jauh dari sebelumnya. Seperti yang dilakukan Belanda dengan pembentukan VOC, demikianlah Jepang pun membuka perusahaan-perusahaan dagang di Borneo Barat sebagai pintu masuk.

Fukuyama yang dikenal dengan Fuku Company masuk jalur perdagangan perkayuan dan perkeretaan. Nakahara Fuji Company fokus pada perdagangan kelontong dan barang pecah belah. Nomur Trading Co bergerak dalam usaha onderneming karet dan perusahaan besar. Honda adalah perusahaan yang menguasai toko potret dan usaha potret memotret. Sementara Sumitomo Kabushiki Kaisyo adalah perusahaan yang menguasai sawmill di Borneo Barat dan daerah lain .

“Sungkup” yang mengerikan itu
Dimulailah sungkup yang mengerikan itu dilancarkan Jepang. Seluruh kaki tangan dan karyawan di perusahaan Jepang dijadikan mata-mata yang dapat memberikan informasi penting bagi penambilan keputusan. Sedemikian rapinya, sehingga mata-mata Jepang tidak dicurigai dan tidak diketahui sama sekali.

Mata-mata yang paling tidak disangka-sangka ialah didatangkannya para gadis langsung dari Negeri Matahari terbit. Mereka dijadikan pelacur-pelacur yang bertugas memata-matai. Umpan-umpan menawan ini merupakan kaki tangan Jepang, sumber informasi rahasia dan sangat penting dan tidak mungkin didapat langsung oleh pemerintah kolonial.

Di kota Pontianak, tempat pelacuran gadis-gadis Jepang ini terletak di Kampung Bali. Kini tempat ini menjadi terminal angkutan kota dan di sekitarnya masih terdapat bangunan-bangunan kuno dan toko-toko semimodern. Tidak sedikit dari pelacur-pelacur Jepang ini yang diambil oleh pejabat lokal, bangsawan, dan pedagang pribumi sebagai gundik.

Sementara itu, terhadap sisa-sisa kaum pergerakan yang anti-Belanda pun didekati Jepang. Bahkan, untuk itu, disediakan dana khusus untuk menerbitkan surat kabar yang diberi nama Borneo Barat Bergerak (BBB). Tokoh dan pejabat lokal yang berhasil didekati Jepang adalah Gusti Sulung Lalanang, Haji Abdul Rais, dan Rachman.

Akhirnya, saat rasionalisasi itu pun tibalah. Di bawah pimpinan Perdana Menteri Jepang, Jendral Hideki Tojo , Jepang melancarkan peperangan yang diberi nama Perang Asia Timur Raya. Perang besar ini dilancarkan Jepang dalam upayanya menguasai dunia.


Jendral Hideki Tojo sudah berketetapan untuk mengibarkan panji-panji matahari terbit di Kalimantan Barat. Untuk itu, diperlukan tindakan revolusioner dan radikal: generasi muda usia 15 tahun ke bawah harus tetap tinggal, mereka adalah generasi yang mudah dibentuk menjadi, atau minimal mau tunduk, pada Jepang.
Jepang melihat tidak ada usaha lain yang lebih cepat untuk melaksanakan maksud itu, kecuali tindakan pembunuhan massal atas semua penduduk Kalbar usia 15 tahun ke atas. Usaha ini dimuai dengan menangkap, menculik, dan menyekap, kemudian menghabisi penduduk secara kejam.

Di Kalimantan Barat, tindakan menghabisi penduduk yang dianggap melawan dan tidak sudi tunduk pada Jepang ini dikenal dengan “sungkup”. Yakni tindakan Jepang yang mula-mula menculik, lalu menutupi kepala korban yang kemudian dimasukkan dalam karung goni untuk seterusnya dihabisi tanpa kompromi.

Lokasi yang menjadi ladang pembantaian oleh Jepang adalah Mandor . Tak terhitung korban rakyat kebanyakan, namun tokoh lokal setempat memang tercatat “hanya” 48 saja. Ini pun menurut versi Borneo Sinbun, sebuah surat kabar Pemerintah Bala Tentara Jepang. Karena itu, perlu data dan informasi pembanding agar lebih berimbang.

Dalam konteks serangan luar biasa dari luar inilah, Dayak Kalbar tergerak. Karena itu, pada 3 Mei 1944 dimaklumkanlah Deklarasi Angkatan Perang Majang Desa. Dari bulan April hingga Agustus 1944, terjadi Perang yang dikenal dengan Perang Madjang Desa di Embuan Kunyil, Kec. Meliau Kab. Sanggau.

Partisipasi Dayak Jangkang melawan pendudukan Jepang, barangkali tidak ada yang mencatatnya. Selain bukan sebagai sesuatu yang luar biasa, juga eskalasi dan pengaruh Jepang di wilayah Jangkang pada saat itu tidak terlalu kentara dibanding di kota. Akan tetapi, peran mereka sebagai pasukan cadangan strategis dalam konteks perang suku, tidak bisa dimungkiri.

Seperti dicatat Herman Jozef van Hulten, salah satu tokoh Dayak Jangkang yang turut aktif dalam perang Majang Desa Adalah Aen. Pada masa pendudukan Jepang, Dayak Jangkang banyak dikerahkan membantu perlawanan dan berjuang atas nama Majang Desa.
Tentara Jepang melakukan sikap berpura-pura terhadap kaum pergerakan (nissinkhai). Seakan-akan hendak membantu dan mau bekerja sama. Karena info dan issue dari para mata-mata, pada akhir tahun 1943 Jepang mengundang semua kaum pergerakan untuk menghadiri suatu konperensi yang diselenggarakan di Gedung Landraadweg (Jalan Jenderal Urip, Pontianak sekarang). Konperensi itu dihadiri oleh 500 utusan kaum pergerakan terdiri atas para pemuda, alim ulama, kaum wanita, Sultan Sambas, para pangeran dan para panembahan di seluruh Kalimantan Barat, termasuk Sultan Sanggau waktu itu.

Dalam konperensi itu, Jepang mempergunakan wanita-wanita kaum pergerakan untuk menyelenggarakan konsumsi. Suatu tindakan yang menimbulkan marah luar biasa dari pihak Jepang terhadap kaum pergerakan ialah dimasukkannya racun-racun ke dalam minuman para opsir Jepang dengan maksud untuk membunuhnya. Walaupun maksud jahat tentara Jepang itu telah direncanakan sebelumnya, perbuatan meracuni itu telah menimbulkan kemarahan yang semakin menjadi-jadi. Gedung konperensi itu tiba-tiba saja dikepung dan disekap tidak seorang pun dapat melepaskan diri. Tamu-tamu kemudian diangkut dengan truk dibawa ke suatu tempat dan tidak pernah diketahui lagi nasibnya.

Dari peristiwa itu penangkapan dan pembunuhan semakin mengganas dilakukan. Siapa yang dipanggil atau ditangkap oleh Jepang tidak pernah kembali lagi.
Pada tanggal 21 Desember 1943 sejumlah 23 orang pemimpin pergerakan ditangkap dan dihukum mati dengan jalan disembelih. Puluhan orang lainnya mati dalam tahanan karena kekejaman dan kelaparan. Sejumlah 750 orang lainnya kemudian dibantai habis. Gerakan illegal pimpinan BJ Haga, Gubernur Kalimantan, merencanakan akan melakukan pembrontakan pada bulan Juni 1943 setelah pemboman tentara sekutu. Tetapi rencana itu diketahui Jepang sehingga Jepang menangkap dan menawan 275 orang yang dicurigai kemudian dimusnahkan seluruhnya. Gubernur Haga sendiri mengalami nasib yang lebih buruk.

Tindakan kekejaman dan pembantaian besar-besaran itu sebagian besar dilakukan di Desa Mandor. Setiap hari truk-truk Jepang hilir mudik sarat penumpang yang bersungkup kepalanya. Teriakan dan pekik jerit yang histeris sangat memilukan karena mereka sadar bahwa akhir hayat yang mengerikan telah menghadangnya di ujung jalan, yaitu di Desa Mandor. Itulah Mandor, tempat pembantaian pemimpin dan tokoh-tokoh rakyat yang ingin merdeka di negerinya sendiri, sehingga peristiwanya disebut Peristiwa Mandor. Untuk mengenangnya, pemerintah daerah Kalimantan Barat telah mendirikan monumen nasional dengan nama “Makam Mandor” dan peristiwanya diperingati setiap tanggal 28 Juni.

Rakyat yang dianggap tidak berdosa, dipekerjakan sebagai romusha untuk membuat jalan antarkota, membuat lapangan udara Sungai Durian, membuat sumur-sumur rahasia di berbagai tempat. Ada pula yang dipekerjakan di pabrik-pabrik tanpa mendapatkan upah. Mereka menderita kecapaian, kelaparan, dan juga serangan penyakit sehingga sebagian besar mati kelaparan atau mati karena menderita penyakit yang tak terobati. Tragisnya, lubang-lubang besar kecil yang mereka gali itu untuk nantinya bagi penguburan masal, termasuk bagi pembuat lubang sendiri.

Keluarga mereka yang ditinggalkan tidak terurus nasibnya. Dalam keadaan ekonomi yang serba sulit itu, isteri-isteri dengan anak-anaknya harus hidup tanpa nafkah dari suami. Perdagangan mengalami kemacetan total, produksi di wilayah Kalimantan Barat sendiri sangat tidak mencukupi untuk keperluan penduduk, garam, gula, tembakau dan juga beras aulit dicari apalagi bahan pakaian. Jika bahan-bahan itu kebetulan ada, penduduk harus antre untuk mendapatkannya sekalipun hanya untuk membeli singkong.
Dalam keadaan perekonomian yang sangat sulit itu rakyat masih dibebani dengan pungutan paksa akan barang-barang berharga. Emas permata yang dimiliki oleh ibu-ibu atau para remaja putri harus diserahkan kepada Pemerintahan Bala Tentara Jepang. Jika tidak, dapat memperoleh hukuman yang cukup berat.

Terhadap kaum remaja dan anak-anak, Jepang memberikan perhatian khusus. Remaja dan anak-anak disayangi, diajar dan disekolahkan. Mereka diajar menyanyi, taiso, baris berbaris, perang-perangan dan berbahasa Jepang. Latihan mempergunakan senjata juga diajarkan terhadap renaja. Senjata bahkan boleh dibawa pulang ke rumah remaja. Mereka ini adalah calon-calon generasi nasionalisasi Jepang, calon tentara yang akan melanjutkan perang dan pertahanan.

Sikap Jepang terhadap orang Dayak
Jepang berhasil melumpuhkan semangat perjuangan masyarakat kota. Kini tiba gilirannya penduduk daerah pedalaman harus dihadapi. Daerah pedalaman dihuni oleh etnis Dayak. Suku ini telah memahami batapa kejamnya tentara Jepang menyiksa dan mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat. Para sultan dan panembahan mereka telah banyak dibunuh dan disiksa secara kejam. Benih permusuhan itu telah tertanam dengan kuat. Kini gilirannya kekejaman Jepang diarahkan pada penduduk pedalaman. Mengetahui gelagat demikian, orang Dayak pun mengatur siasat. Apa siasat itu?
Terlena dalam kemenangan demi kemenangan yang diraih tanpa adanya kekuatan yang sanggup mematahkan, membuat Jepang terlampau percaya diri. Pasukan Jepang dan kaki tangannya terus merangsek masuk jauh hingga ke pedalaman. Tujuannya satu: ingin menguasai Kalbar seluruhnya. Menekuklututkan semua penduduk. Lalu menguasainya.
Di tengah-tengah keterlenaan itu, Jepang tidak menyadari jika para Dayak telah mengatur siasat. Tidak ada laporan mata-mata yang masuk jika penduduk asli Kalimantan ini siap menghadapi. Dengan membiarkan Jepang masuk rumah mereka, para Dayak sebenarnya telah membuat perangkap maut.

Toh demikian, Jepang tetap waspada. Tindakan preventif dilancarkan. Senjata orang Dayak disita dan dikumpulkan. Senapan lantak, sumpit, mandau, panah, tombak (burus), parang, dan senjata tajam lainnya milik orang Dayak diminta untuk diserahkan. Sayangnya, permintaan ini sama sekali tidak diindahkan orang Dayak.

Jepang lalu marah luar biasa karena permohonan mereka ditampik Dayak. Karena itu, Jepang mulai bertindak tegas. Barangsiapa yang tidak mengindahkan perintah, akan ditindak dengan tegas. Terutama para kepala adat akan mendapatkan hukuman yang sangat berat jika kedapatan menyimpan senjata dan terbukti melawan.
Merasa Jepang menyerang dan masuk rumah mereka tanpa permisi, para Dayak tak setitik pun dihinggapi perasaan takut. Ancaman Jepang sama sekali tidak menciutkan nyali mereka untuk menyerah kalah. Sebaliknya, semakin mengobarkan semangat persatuan untuk melawan dan segera memukul mundur saudara tua yang jauh lebih bengis dibandingkan Belanda.

Para pemimpin adat Dayak sudah mafhum bahwa tentara Jepang sangat haus akan wanita-wanita. Kelemahan ini coba dimanfaatkan. Ketika masuk daerah pedalaman dan pemukiman orang Dayak, tentara Jepang disuguhi tuak dan arak. Yang menyuguhkannya para wanita Dayak yang saat itu rata-rata masih berpakaian tradisional, bersongket, dan bertelanjang dada. Namun, para wanita ini tidak asal melayani. Mereka sudah tahu tugasnya. Di tengah-tengah mabuk kepayang oleh pesta dan cinta, tentara-tentara Jepang dihabisi oleh para lelaki Dayak. Mereka diayau dan menemui ajalnya di tangan para headhunters.

Demikian pun, dalam perang terbuka di hutan-hutan, Jepang tak pernah sekali pun memetik kemenangan melawan pasukan Dayak. Para penglima perang Dayak yang sangat menguasai medan, dengan mudah memukul pasukan Jepang. Di waktu siang, para lelaki Dayak tidak pernah kedapatan berada di rumah. Mereka selalu mengundurkan diri ke hutan-hutan. Jepang mengira bahwa mereka sudah habis.

Manakala pasukan Jepang mengadakan patroli, orang Dayak dengan cepat menyergap. Dibantu sesama Dayak baik dari Kalimantan seluruhnya maupun dari daerah semenanjung Melayu, Tumasik dan sekitarnya, orang Dayak bersatu padu melawan Jepang.
Ajakan minta bala bantuan dengan tanda mangkok merah telah beredar dari kampung ke kampung. Pekik perang dan perlawanan sudah sampai ke seluruh penjuru. Datanglah secepat kilat pasukan perang Dayak dari suku Iban, Sungkung, Seribas, Kantuk, Punan, Bukat, Jangkang, dan lain-lain menambah kekuatan perang.

Tentara Jepang bukan saja kocar kacir oleh orang Dayak, tapi juga dipukul telak dan tidak berkutik. Memang nama Pangsuma tercatat sebagai panglima perang Dayak pada masa pendudukan Jepang ini. Namun, sebenarnya, masih terdapat panglima perang Dayak yang lain selain Pangsuma. Yakni Pang Dandan dan Pang Solang. Nama mereka kurang dikenal, namun jasa-jasanya jelas tak dapat dinafikan.
Sementara dari tanah Jangkang, panglima perang Dayak yang terkenal adalah Panglima Kilat. Kisah-kisah heroik dan epos Panglima Kilat hingga dekade 1970-an, masih sering dituturkan pada anak-anak. Ia dilukiskan sebagai sosok yang gagah berani, kuat, kebal, dan suka menolong. Jika ada orang Dayak yang menyerukan bantuan, secepat kilat ia datang membantu.

Usai menaklukkan Jepang dan memenangkan Perang Majang Desa, Dayak wilayah Sanggau merayakan kemenangan itu dengan notongk di Bonti, kecamatan yang kini wilayahnya berbatasan dengan Jangkang.

***
Tulah Macan Gaing Melanggar Pantangan dalam Ngayau

Macan Gaingk, panglima perang Dayak Jangkang yang sakti itu, akhirnya tewas mengenaskan dalam sebuah peristiwa ngayau di daerah Ribunt. Ini terjadi awal abad 18. Sudah melihat ada sirok somah sebelum memasuki kampung, ia nekad juga mengayau. Ia diperingatkan oleh musuh bahwa musuh sudah menyerah dengan memberi tanda sirok somah, namun Mancan Gaingk tidak peduli.

“Mengapa kalian menyerang kami? Tidakkah mata kalian melihat sebelum masuk kampung ada sirok somah?” tanya pemimpin Ribunt.

“Kami tidak peduli. Sebentar lagi gawai. Kami memerlukan kepala musuh untuk taja notongk,” jawab Macan Gaingk.

“Minta ampun, macan! Kami pantang ngayau dua tiga hari ini. Di kampung kami baru saja tiga ibu melahirkan dalam waktu yang berdekatan. Kalian sebaiknya ngayau ke kampung lain saja!”

“Mana kami peduli. Kami sudah ke sini,” jawab Macan Gaingk dengan garang. Ia menghunus mandau. Lalu merangsek masuk pelataran rumah panjang musuh.

“Ah… mak mok nyen, tulah boh oh omo macan!” (Jika nekad juga ngayau, kamu akan tulah, macan!)

“Mae longk koh tulah. Koto maeh eh!” (Mana saya mau tulah. Rasakan seranganku!) Macan Gaingk kesetanan. “Kih sani neh onya dek mora boranak seh?” (Mana ibu-ibu yang baru saja melahirkan?) Macan Gaingk melanggar sumpah dan aturan ngayau. Ia nekad. Korban pertama yang jatuh di tangannya justru ibu-ibu yang baru melahirkan, pantangan yang sebenarnya harus dipatuhi dalam ngayau.

Tidak mudah menaklukkan Macan Gaingk, meski ia kena sumpah dan tulah. Banyak korban jatuh di tangannya. Karena dikeroyok, Macan Gaingk lalu didesak keluar kampung, ke sebatang pohon besar. Di situ ia masih menjatuhkan banyak korban karena di belakangnya terlindung baner (akar pohon yang lebar).

Akhirnya, dahi Mancan Gaing tertembus tombak musuh yang mata tombaknya terbuat dari tulang manusia. Sebelum menyerah kalah, Macan Gaingk memerintahkan anak buahnya pulang ke Jangkang, membawa hasil kayauan untuk keperluan notongk pada gawai yang tidak lama lagi diadakan.

Dalam peristiwa Macan Gaingk melanggar sirok somah di daerah Ribunt ini, dihikayatkan sudah ngayau bersamanya Macan Luar (Kek Gila) dan Macan Natos. Kedua macan ini tampil mengganti Macan Gaingk. Namun, yang paling menonjol adalah Macan Luar, ia kerap diminta Raja Kerajaan Sanggau menaklukkan raja-raja bawahan yang tidak mau patuh. Kisah epos tentang Macan Luar ialah ketika ia membantu Raja Paku (gelar raja Sanggau waktu itu) menaklukkan raja kerajaan Tayan. Atas jasanya ini, Macan Luar diberi gelar “Macan Muara Tayant Songkuangk Tajor” dan dihadiahkan 12 buah gong.

Nantinya, setelah pikun, kenangan akan mabuk kemenangan ketika berhasil menaklukkan raja kerajaan Tayan ini tetap tersimpan dalam memori Macan Luar. Ia makan sirih. Ketika sedang membuat sirih, lewat anak-anak, ia seolah-olah menembak, “Pou! Pou!” pada anak-anak.

Kata anak-anak, “Gila kali kakek itu.”

“Bukan gila! Hanya menirukan bunyi, begitulah musuh menembak kami waktu menaklukkan Tayan dahulu kala.”

Sejak itu, Macan Luar digelari “Kek Gila.”

J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….”

Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya (1971) menyebut bahwa ngayau berarti pergi berperang. Sementara bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh.

Makna yang sama juga diamini Dayak Jangkang. Mengayau memang berarti memanggal kepala (musuh). Namun, dapat ditambahkan, bahwa khusus Dayak Jangkang kata “ngayau” sudah merupakan bentukan atau derivasi. Pastilah kata dasarnya ayau atau yau. Artinya bayangan, kelebat, atau jelmaan.

Kebenaran asal usul ini dapat ditelusuri dari ungkapan berikut ini. Jika seseorang pergi berburu, atau menangkap ikan, sepulang ke rumah ditanyakan, “Ada tangkapan?” Jawabnya dalam bahasa Jangkang, “Saja aba yao neh dek kidoh” (Jangankan dapat, bayang-bayangnya pun tidak ada!”

Berdasarkan bukti itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa ngayau dalam bahasa Jangkang berasal dari kata dasar ayau atau yau. Dengan demikian, ngayau identik dengan berburu, sebab mencari ayau belum tentu berhasil. Banyak faktor menentukan, misalnya peruntungan, nasib baik, dan sasaran tangkapan yang memang ada. Dan yang tidak kalah penting adalah keterampilan si pemburu di medan laga, atau dia yang terkayau, atau musuh.

Keterampilan mengunakan alat dan perlengkapan menjadi penting; dan keterampilan ini dilatih pada anak laki-laki sejak kecil. Terutama teknik melindungi diri dari serangan musuh menggunakan perisai (kolaok) dan disertai dengan gerakan bersilat atau menangkis pukulan.

Pertahanan diri ini kadang diperlukan, manaka menghadapi lawan yang seimbang; untuk menjaga stamina jangan sampai menghambur-hamburkan tenaga percuma tanpa hasil. Teknik bertahan kerap diperlukan dalam pengayauan. Namun, jika menghadapi lawan yang lebih ringan, akan digunakan teknik menyerang. Keterampilan memainkan mandau menjadi keharusan, kapan harus diayun (gerakan memancung atau memenggal) dan kapan menusuk (namok). Namun, kerap pula berperang menggunakan tangan kosong. Sesudah musuh roboh, barulah diayau.

Jadi, dalam pertempuran sekalipun, Dayak Jangkang punya tata cara. Jangan sampai musuh menanggung rasa sakit terlalu lama akibat luka parah. Karena itu, langsung dihabisi dengan cara dipenggal. Itulah makna mengayau sesungguhnya.
***

Tidak ada komentar: