Video on Demand (VOD). Istilah, atau makhluk apakah gerangan? Nama lainnya ialah Audio Video on Demand (AVOD). Menurut Lambert M. Surhone, Miriam T. Timpledon, dan Susan F. Makrseken (2010), VOD atau AVOD ialah
systems which allow users to select and watch/listen to video or audio content on demand.Television VOD systems either stream content through a set-top box, allowing viewing in real time, or download it to a device such as a computer, digital video recorder (also called a personal video recorder) or portable media player for viewing at any time. The majority of cable- and telco-based television providers offer both VOD streaming, such as pay-per-view, whereby a user buys or selects a movie or television program and it begins to play on the television set almost instantaneously, or downloading to a DVR rented from the provider, for viewing in the future. Internet television, using the Internet, is an increasingly popular form of video on demand.
Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang komunikasi, kini orang tidak lagi pasif saja menerima menu dari suatu stasiun penyiaran atau stasiun hiburan. Kini orang dapat memilih sendiri apa yang dingin ditontonnya sesuai dengan yang diinginkan. Kehadiran video-on-demand (disingkat VOD) adalah sistem televisi interaktif yang memfasilitasi khalayak untuk memilih sendiri atau mengontrol program video dan klip yang ingin ditonton.
***
Seperti layaknya video rental, pelanggan dapat memilih program atau tontonan dalam VOD. Pilihan program dapat berupa judul film, serial TV, acara realitas, video streaming, dan program lainnya. Bukan hanya menonton, khalayak pun dapat menyimpan serta mengunduh program apa saja yang mereka inginkan. Untuk menontonnya, khalayak dapat menggunakan set-top box dari video yang sudah diunduh, atau menggunakan komputer, ponsel, dan alat-alat komunikasi elektronik lainnya yang berkemampuan mengakses konten audio dan visual. Bahkan, sebagian VOD memberikan pelayanan dengan sistem pembayaran per tayangan pay-per-view.
Sistem VOD menurut Chang dkk. (Chang, 1997) semakin memanjakan orang. Salah satu hal yang ingin bisa dicapai dari industri komunikasi adalah memberikan kontrol yang penuh terhadap para penggunanya.
Inilah konsep awal VOD, dan melalui konsep ini, pengguna akan memiliki kebebasan penuh untuk memilih apa yang ingin ia tonton. Semuanya berjalan secara interaktif dan menggunakan tombol serta perintah yang sederhana. Bisa pause, rewind, fast forward, atau apapun yang kita inginkan. Melalui VOD juga akan terbuka peluang untuk menyimpan apa yang kita lihat. VOD menjanjikan kepuasan yang sifatnya lebih personal.
Kepentingan personal seseorang lebih diutamakan dibandingkan kemauan orang banyak. Dengan kata lain, VOD adalah sebuah konsep di mana sistem pertelevisian yang sudah bersifat sangat interaktif dengan fasilitas pemilihan content dari sebuah acara televisi. Content yang dimaksudkan dapat berupa film, serial, potongan berita, atau apapun yang kita inginkan. Semua tinggal sebut, pesan, dan bayar; dan kita pun dapat menikmatinya.
Hal yang perlu ditanyakan ialah “Mengapa sistem seperti VOD ini berpeluang besar berkembang?” Seperti ditegaskan oleh Fridler (1997) bahwa manusia koevolusi dan koeksistensi dengan teknologi komunikasi. Konsep kebebasan memilih dan menentukan yang coba ditawarkan VOD benar-benar merupakan sebuah nilai positif yang diinginkan setiap orang. VOD adalah solusi untuk pemirsa yang merasakan bahwa selama ini mereka dikekang oleh media dan harus menerima menu apa saja yang disajikan sebuah media.
VOD hadir menawarkan “kebebasan memilih” dan melepaskan seseorang dari “keharusan” untuk menonton apa yang tidak disukainya. Dalam VOD, sistem seleksi oleh pasar dan hukum permintaan dan penawaran benar-benar terjadi.
Menarik untuk merunut sejarahnya, kapankah VOD komersial pertama kali muncul. VOD pertama kali muncul di Hong Kong pada 1990 dalam bentuknya yang masih sederhana. Pada saat itu harga Video CD jauh lebih murah, sehingga perkembangannya pun tersendat-sendat.
Meski demikian, sebenarnya konsep VOD telah ada sebelumnya. Sudah ada perusahan cable yang menyediakan pilihan bagi para pemirsanya. Konsep seperti ini membawa pengertian baru bahwa konsumen bisa mendapatkan apa yang disebut “The Entertainment-Information Merger”, yakni penggabungan antara hiburan dan informasi dalam satu paket saja saja. Penggabungan berbagai alat dan fungsi dalam satu medium inilah konsep pokok dari multimedia (Hariyanto Widjaya, 2007).
Penggabungan (multimedia) seperti ini terus dan terus berkembang dan kini kita dapat menikmatinya melalui berbagai teknologi yang berkembang saat ini. Teknologi komunikasi dapat berupa satelit, kabel, ataupun telepon. Sektor yang lain juga ada yang menggabungkan diri dengan konsep VOD ini misalnya computer software.
Melihat kecenderungan semakin banyak orang menggunakan dan terhubung dengan computer software, maka dapat diramalkan bahwa VOD akan terus berkembang. Sebagai contoh, di Inggris pada 1998 sudah muncul perusahaan yang meluncurkan VOD. Nama perusahaannya adalah Kingston.
Efek dominonya adalah bahwa VOD terus berkembang ke seluruh Eropa. Menurut European Audiovisual Observatory, hingga tahun 2006 tercatat 142 VOD berbayar yang beroperasi di Eropa. Di Amerika, VOD berawal dari Hawaii oleh Oecanin Cable pada Januari 2000. Dalam waktu singkat, kini VOD sudah dapat dinikmati oleh penduduk di seluruh negara bagian di Amerika.
Sebagaimana diketetahui bahwa Amerika adalah model dari media culture (Lichter, dkk., 167-168, Douglas Kellner, 2002). Seperti halnya media analog, media digital yang berkembang di Amerika juga berhembus kencang ke berbagai negara.
VOD yang menjadi trend di Amerika, dengan cepat dan masif berkembang ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai perusahaan dari seluruh penjuru dunia sudah menawarkan fasilitas ini. Konsepnya adalah bahwa semua menawarkan video untuk diunduh. Bisa dengan menyewa atau dengan membeli. Semuanya tergantung pada pilihan konsumen.
Dari segi content, VOD semakin bervariasi. Dari segi harga juga terjadi perkembangan yang cukup signifikan. Harga yang murah dan bahkan gratis sudah bisa didapat oleh konsumen. Terutama dari stasiun televisi yang membagi-bagikan programnya. VOD bahkan berkembang sedemikian jauh, kini sudah melahirkan “anak baru”. Misalnya, Near Video On Demand (NVOD).
NVOD dijalankan oleh televisi berbasis kabel dan satellit. Sistem ini memungkinkan seseorang melakukan pay-per-view program yang dikeluarkan oleh multiple-broadcasters. Kelahiran anak baru VOD ini semakin membuat konsumen tidak lagi terikat oleh waktu untuk menikmati acara yang ia inginkan.
Selanjutnya, anak VOD yang lain adalah Push Video On Demand (PVOD). PVOD sebenarnya lebih merupakan duplikasi yang kurang sempurna dari konsep utama VOD itu sendiri. Mengapa demikian? Hal itu karena pada dasarnya PVOD menawarkan hal yang sama dengan VOD, tetapi justru dengan lebih banyak kekurangan. Sebagai contoh, dari sisi memory. Program yang bisa kita unduh hanya bertahan seminggu karena keterbatasan memory ini. Interaktif juga agak kurang terjadi pada PVOD.
Masih ada satu lagi yang menjadi pengembangan VOD, yakni apa yang disebut dengan “Manufacturing on Demand” (MOD) yang dikenal juga dengan DVD on Demand. Bentuknya bisa berupa DVD karena konsumen bisa memiliki perangkat keras dari apa yang ia inginkan. MOD menjadi pilihan bagi perusahaan pembuat film atau serial televisi yang memiliki sesuatu yang diprediksi tidak akan begitu laku di pasaran. Tetapi jika ada copy digitalnya, perusahaan pembuatan film tetap bisa menjualnya kepada orang yang menginginkannya saja.
***
Sebagai negara berkembang yang masyarakatnya belum seluruhnya melek media, konsep VOD di Indonesia saat ini belum terlalu berkembang.
Jangankan turunannya, konsep dasarnya sekalipun masih belum banyak yang tahu dan memanfaatkan. Akan tetapi, tanda-tanda penggunaan VOD sudah tampak. Misalnya, ada sebuah situs www.e-dukasi.net yang menawarkan VOD untuk materi yang dapat dipelajari. Bentuk dan tampilannya masih sederhana, tapi sangat boleh jadi bahwa ini merupakan titik awal berkembangnya VOD di negeri kita.
Kemungkinan berkembangnya teknologi VOD di Indonesia tetap ada, tetapi dibutuhkan sebuah breakthrogh dari salah satu perusahaan untuk memopulerkan VOD seperti yang dilakukan Astro dengan Liga Inggrisnya pada kasus Pay TV. Selain untuk sarana edukasi, belum banyak VOD yang beredar di Indonesia saat ini. Hal ini lagi-lagi kembali ke persoalan melek media.
Akan tetapi, melihat konsep VOD yang mengusung sesuatu yang sejak dulu diinginkan manusia yakni “kebebasan” maka VOD suatu ketika akan berkembang di negeri kita seiring dengan evolusi dan eksistensi manusianya. Di alam demokrasi, kebebasan menjadi keniscayaan dan masyarakat Indonesia tengah mengarah ke sana.
Sesuai dengan teori mediamorfosis, tinggal persoalan waktu, suatu ketika VOD juga akan booming di negeri ini.
Daftar Pustaka
Chang, Shih-fu (ed.). (1997). Video on Demand System. Massachusett: Kluwer Academic Publishers.
Fidler, Roger. 1997. Mediamorphosis: Undestanding New Media. California: Pine Forge Press.
Kellner, Douglas. (1995). Media Culture. Culturaf Studies,Identitv, and Politics Between the Uodern and thePostmodern. London and New York: Routledge.
Lichter, S. Robert, Stanley Rothman, dan Linda S. Lichter (1990). The Media Elit. New York: Communication Arts Book.
Surhone, M., Miriam T. Timpledon, dan Susan F. Makrseken. (2010). Video on Demand. VDM Verlag Dr. Mueller AG & Co. Kg.
Widjaya, Hariyanto. (2007). “Konsep Dasar Multimedia”, sebuah paparan di Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.
www.e-dukasi.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar