Sabtu, 17 April 2010

Artikel yang Menjual dan Berdaya Pikat

Karier kepenulisan saya berawal dari menulis artikel, feature, dan cerpen. Semuanya pendek. Antara 700-1.500 kata. Ketika mahasiswa semester I, saya sudah menembus Kompas. Tulisan saya pertama berjudul "Tindakan Preventif untuk Mengurangi Penurunan Budaya Mangkok Merah" dimuat Kompas Minggu, 11 Maret 1984.

Setelah itu, tulisan saya malang melintang di Kompas. Ini terjadi hingga tahun 2005, saat pengasuh rubrik opininya kurang sesuai seleranya dengan saya. Beberapa kali tulisan saya dikembalikan dengan catatan "tidak ada tempat". Saya lalu mengirimnya ke media lain. Anehnya, tulisan yang sama, dan tidak ada perubahan, dimuat.
***
TOH demikian, saya tetap berterima kasih pada Kompas. Syahdan, kata orang, penulis yang tulisannya belum dimuat Kompas, belum sah dan belum diakui sebagai penulis.

Bagaimanapun, motivasi saya terlecut sebagai penulis,ketika tulisan saya dimuat. Mungkin saya beruntung. Atau pada saat itu persaingan antarpenulis belum seketat sekarang. Tulisan pertama yang saya kirim, langsung dimuat. Tanpa ada editing sedikit pun.

Kini saya sudah berhasil menulis dan mempublikasikan lebih dari 4.000 artikel. Untungnya, usai reformasi, media tumbuh subur. Lahan buat menabur artikel bukan hanya Kompas. Banyak yang lain, yang juga tidak kalah baik dalam soal honor maupun oplah.

Karena biasa nulis pendek, saya merasa tidak puas. Kok gampang amat menulis? Tantangan seperti gak ada lagi. Maka saya memutuskan hanya menulis buku. Selain ada tantangan, honor dari menulis buku jauh jauh lebih besar dari sekadar nulis artikel yang, di benak saya, hanya ece-ece.

Menulis buku idenya utuh. Perlu imaginasi tinggi, selain kreativitas. Bedanya dengan artikel, artikel lebih simpel. Karena itu, saya selalu berkata, artikel yang dibukukan bukan-buku. Sebab idenya mencar-mencar. Ditulis bukan dimaksudkan untuk buku. Bentuknya saja buku, tapi isinya bukan-buku. Itu kumpulan artikel yang dibukukan.

Namun, saya ingin share. Seperti pelatih sepakbola. Setelah gak jadi pemain, ia menjadi pelatih. Inilah tips menulis artikel. Diambil dari Bab 4 buku saya yang sedang dalam proses cetak oleh PT Indeks, Creative Writing.
***


SEBELUM masuk pembahasan lebih detail tentang bagaimana menulis artikel, alangkah baik jika pada bagian pembukaan bab ini dipahami lebih dahulu tujuan menulis pada umumnya.

Apakah tujuan menulis? Seluruh tujuan menulis ialah mengomunikasikan secara jelas dan lengkap gagasan atau pemikiran penulis.

Ketika dan usai membaca tulisan yang baik, kita kerap tersentuh dan terkesan. Untuk beberapa saat sanggup mengingat seluruh gagasan yang ditulis. Mengapa? Kita tersentuh karena penulis terampil memilih kata-kata untuk mengungkapkan gagasannya. Kita sanggup mengingatnya karena penulis pandai menyentuh emosi dengan diksi (pilihan kata) yang terarah pada emosi.

Demikianlah, setiap tulisan yang baik akan meninggalkan kesan pada pembaca.

Etimologi dan pengertian artikel
Asal usul, atau etimologi, artikel dapat ditelusuri dari Kamus Latin-Indonesia (K. Prent, C.M., dkk. 1969: 68) yang menjelaskan etimologi “artikel” sebagai berikut, “articulus yang berarti bagian atau pasal.”

Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 66) menjelaskan “artikel” demikian, “karya tulis lengkap, misalnya laporan berita atau esai dalam majalah, surat kabar, dan sebagainya.”

Dari pengertian kamus di atas, dapat disimpulkan bahwa artikel ialah bagian atau pasal dari sebuah wacana (tulisan) yang panjang. Dengan kata lain, artikel ialah tulisan prosa pendek, umumnya berkisar antara 700-1.200 kata.

Sebagai karya tulis pendek yang lengkap, artikel merupakan ragam tulisan nonfiksi yang terdiri atas pembukaan, isi, dan bagian penutup. Ide, atau topik, yang disampaikan dalam artikel –meskipun dikatakan “lengkap”, tidak dimaksudkan ditulis secara detail seperti halnya sebuah tesis. Kelengkapan artikel bukan ditakar dari detailnya, namun dari struktur dan keutuhan gagasan yang disampaikan.

Teknik menulis artikel
Sebagaimana halnya menulis ragam tulisan lain, menulis artikel pun tidak sekali jadi. Dalam menulis artikel, dibutuhkan proses kreatif yang tentu saja tidak sama pada setiap penulis. Ada penulis yang sangat lancar menuangkan gagasannya ke dalam tulisan untuk satu topik. Namun, untuk topik yang lain, barangkali dibutuhkan waktu dan energi esktra. Cepat tidaknya menyelesaikan sebuah artikel kerap bergantung pada topik, mood, penguasaan masalah, dan suasana ketika menulis artikel tersebut.

Adakah rumus yang manjur bagaimana menulis sebuah artikel agar dapat dimuat surat kabar, tabloid, dan majalah? Bagaimana kiat menulis artikel yang selain menarik, juga enak dibaca dan meninggalkan kesan yang mendalam pada pembaca?

Rumusan yang dimaksudkan memang ada! Inilah rumusan yang berlaku secara umum.
- Pemilihan tema yang aktual
- Topik menarik perhatian sebagian besar pembaca
- disajikan dengan bahasa yang mudah dimengerti (populer)
- Gagasan disusun secara terstruktur, mengalir, dan jelas disertai contoh konkret
- Penyajian tidak bertele-tele
- Panjang artikel 700-1.200 kata
- Gaya penulisan padat dan bernas
- Tulisan jelas dari segi logika dan bahasa (clear thinking dan clear writing)
- Siap-saji. Artikel yang dikirimkan tidak merepotkan editor untuk mengedit dan mengolahnya kembali, kecuali Anda benar-benar seorang pakar
- Meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca

Akan tetapi, rumusan umum di atas dapat saja tidak berlaku, manakala seorang penulis merupakan penulis pemula. Yang sering terjadi adalah subjektivitas redaktur opini dari media yang dikirimi naskah. Jika pengirim naskah dikenal secara pribadi, atau jika saja naskah itu merupakan naskah “titipan” maka kemungkinan besar akan dimuat.

Meski demikian, ada juga redaktur opini yang cukup objektif. Asalkan sebuah naskah memenuhi syarat dan kaidah yang dipersyaratkan maka naskah tersebut akan dimuat.

Banyaknya media semakin memberikan ruang bagi penulis artikel. Yang kerap terjadi adalah naskah sama yang ditampik suatu media, lalu dikirimi ke media lain yang sesuai dan dimuat. Berdasarkan pengalaman faktual maka rumusan yang “tidak umum” sebuah artikel sebagai berikut.
- Mintalah syarat-syarat atau kriteria pemuatan naskah dari suatu media
- Tanyakan topik atau tema apa yang mereka kehendaki
- Mintalah gaya selingkung (in house style)-nya
- Berkenalanlah dengan pengasuh rubrik secara personal

Isi (content)

Apa yang dimaksudkan dengan isi atau konten artikel?
Bukan hanya untuk artikel, konten adalah bahan pokok atau esensi dari setiap tulisan. Konten adalah blok bangunan dasar dari setiap tulisan. Sebuah tulisan tanpa isi, tidak akan ada orang yang sudi membacanya. Isi menjadi alasan utama orang membaca buku, jurnal, majalah, surat kabar, browsing web, atau mengunduh blog dan face book.

Nilai dari suatu tulisan pada umumnya, atau situs didasarkan pada isi. Jadi, manakala isinya baik, baik pula nilai yang dirasakan pembaca dari suatu medium. Namun, tidak mudah menghasilkan isi sebuah tulisan yang dianggap berharga oleh banyak orang. Khusus artikel, salah satu cara membuatnya bernilai ialah dengan meramunya sedemikian rupa sehingga isinya:
- informatif
- menarik
- memecahkan masalah
- menjawab pertanyaan
- dan ditulis dengan baik

Seorang penulis artikel harus menulis topik yang menarik sehingga memancing sebanyak mungkin orang membacanya.

Topik harus aktual (dari kata latin actu yang berarti: mengandung unsur kekinian, kebaruan, hangat) dan menggunakan kata yang populer (dari kata latin populus) yang berarti: menggunakan kata yang akrab dengan segmen pembacanya.

Jangan menulis artikel terlampau panjang. Redaktur tidak punya banyak waktu untuk memotongnya atau menulisnya ulang. Sering terjadi, tema artikel menarik, namun karena terlalu kepanjangan, dan redaktur tidak ada waktu untuk menulisnya ulang sehingga tidak dimuat.

Sesuaikan panjang artikel dengan space yang tersedia, hal ini dapat dilihat dari ketentuan dan tata aturan yang sudah digariskan. Namun, biasanya panjang sebuah artikel berkisar antara 700 dan 1.200 kata.

Artikel yang dimuat di suatu media adalah hasil dari sebuah proses kreatif. Tiap penulis mempunyai proses kreatifnya masing-masing. Penulis sekaliber Arswendo Atmowiloto, William Chang, Christianto Wibisono, dan Goenawan Mohamad misalnya, mungkin sudah tidak memerlukan lagi mind mapping ketika menulis artikel. Mereka sudah mafhum bagaimana membagi space untuk menuangkan sebuah gagasan. Namun, untuk pembelajar, apalagi pemula, perlu mengikuti langkah-langkah yang berikut ini untuk menghasilkan artikel yang berdaya guna dan berhasil guna.

1. Tentukan topik artikel Anda.
Ketika hendak menulis, yang pertama kali ditentukan bukan judul. Seorang penulis perlu memutuskan topik apa yang ingin ditulis. Apakah akan menulis topik tentang pendidikan, sosial, politik, real estat, gaya hidup, olah raga, seni, budaya, e-commerce? Setelah mendapatan gagasan pokok, selanjutnya penulis perlu memusatkan perhatian pada masalah yang lebih spesifik. Ada beberapa cara untuk melakukan ini. Salah satunya ialah membuat peta pikiran.

Peta pikiran adalah diagram yang digunakan untuk membantu penulis mengembangkan dan mengklasifikasikan ide, bagaimana menyusunnya, dan menatanya sehingga dihasilkan sebuah tulisan yang fokus, tidak melebar.

Dalam dunia penulisan, kerap pula disebut diagram sarang laba-laba (spider diagram) sebab gagasan pokok selalu berada di tengah-tengah persis seperti laba-laba yang senantiasa berada di tengah-tengah sarangnya. Adapun jaringannya adalah cabang-cabang gagasan pokok. Mana gagasan yang relevan dikembangkan dan disatukan, sedangkan yang tidak relevan dibuang, atau dijadikan tulisan yang lain lagi.

2. Lakukan riset (kecil) pasar untuk topik yang telah Anda pilih.
Setelah menentukan topik, lakukan riset pasar-sasaran Anda untuk menentukan topik yang spesifik untuk artikel Anda. Apa kira-kira pertanyaan yang akan muncul di benak pembaca dan mereka ingin ketahui jawabannya? Atau apa masalah spesifik yang mereka alami yang dapat Anda bantu pecahkan? Lakukan pencarian secara online di bidang yang Anda minati dan lihat apa yang menarik bagi minat pembaca? Anda dapat juga mencari informasi baik di forum dan blog apa yang sedang trend dan melihat apa yang sedang dibahas di sana. Apa topik minggu, bahkan hari itu, yang sedang mencuat ke permukaan? Lalu, Anda ingin membahasnnya dari sudut pandang mana? Cara termudah membuat orang menemukan artikel yang berharga adalah dengan menjawab pertanyaan yang benar-benar nyata ditanyakan dan ingin diketahui pembaca.
3. Temukan kata kunci yang digunakan oleh segmen dari pasar sasaran Anda.
Langkah ini penting karena menjaga Anda tetap membidik target pasar dan senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Anda ingin menggunakan kata kunci tersebut dalam artikel Anda.
4. Brainstorming (dadarkan) topik untuk artikel Anda
Setelah memiliki informasi dari langkah-langkah sebelumnya, bertukar pikiran dengan sahabat dan andai taulan tentang topik artikel Anda kerap penting juga. Jika dirasa cukup, Anda dapat mulai menulis. Proses ini penting karena akan membantu mengalirkan kreativitas. Hanya mulai menulis sekumpulan kata dan frasa yang berhubungan dengan beberapa orang yang mengalami masalah, atau pertanyaan-pertanyaan mereka minta.
5. Tulis kesimpulan artikel.
Ini tentu bukan sesuatu yang sukar karena Anda tinggal menyarikan apa yang baru saja Anda tulis. Penutup artikel yang baik akan meninggalkan kesan tertentu pada pembaca. Dapat dengan satu simpulan yang menyentak. Bisa pula dengan pertanyaan yang menggugat. Misalnya, “Bukankah kita juga bagian dari masyarakat yang demikian?”
6. Mulai menulis.
Sekarang Anda memiliki topik, judul, gagasan, dan struktur dari artikel Anda. Anda dapat mulai menulis.
7. Tulis pengenalan artikel.
Sekali Anda telah menulis seluruh badan artikel, selanjutnya akan mudah untuk menulis pengantar. Ingat, artikel dasar dimulai dengan mengatakan kepada pembaca apa yang Anda akan beritahu mereka. Huruf, kata, kalimat, dan paragraf pertama yang Anda tulis tidak harus “mati” demikian, yang tidak boleh diganggu gugat dan diubah-ubah lagi.
8. Buat judul
Setelah menulis artikel yang dianggap memenuhi target pasar, buat judul artikel yang efektif. Banyak orang menyangka judul harus dibuat lebih dulu sebelum mulai menulis. Tidak! Judul justru dibuat paling belakangan, sesudah tulisan jadi. Usahakan membuat judul yang memancing perhatian pembaca dan menarik mereka untuk meneruskan dan tetap berkanjang membaca artikel Anda.
9. Mengoreksi artikel.
Setelah menulis, lakukan koreksi kembali. Periksa ejaan, tata bahasa, aliran gagasan, cek apakah khalayak sasaran sudah disapa atau belum. Jika memungkinkan, mintalah orang lain untuk membaca artikel Anda. Orang ketiga biasanya jauh lebih jeli mengamati kekurangcermatan atau kesalahan daripada penulisnya sendiri. Terimalah kritik yang membangun. Jadikan masukan itu penambah gizi bagi tulisan Anda!
10. Langkahkan kaki menjauh dari artikel.
Jangan lihat artikel Anda setidaknya selama satu hari.
Melangkah pergi dan lakukan sesuatu yang lain.
11. Membaca kembali artikel dan mengoreksinya lagi.
Anda akan merasakan sesuatu yang lain ketika membaca artikel setelah beberapa waktu istirahat. Mengapa? Karena Anda sudah mengambil jarak. Ibaratnya, Anda kini berada di atas helikopter dan melihat ke bawah, dan kini menjadi terang semuanya. Anda dengan mudah membuat perubahan yang diperlukan dan kemudian siap menyelesaikannya. Jika masih belum merasa puas, ulangi lagi langkah 9 dan 10.
12. Sebelum memposting artikel, sebaiknya Anda menulis pengantar yang simpatik. Pengantar berisi penjelasan yang simpatik dan meyakinkan mengenai urgensi dan nilai suatu artikel sehingga redaktur benar-benar yakin bahwa artikel yang Anda kirimkan layak dimuat. Jangan lupa sertakan nomor telepon yang mudah dihubungi dan nomor rekening untuk memudahkan bagian adimistrasi mengirimkan honorarium
Sekarang saatnya membuat kotak sumber daya Anda.

Kotak sumber daya adalah tempat Anda ingin mengarahkan pembaca untuk panggilan tertentu agar segera bertindak, seperti mendaftar ke mailing list tersebut, menelepon Anda, mengirimkan saran dan komentar ke situs web Anda, atau membeli produk atau jasa. Struktur yang baik untuk kotak sumber daya adalah menyatakan suatu masalah dan apa yang harus mereka lakukan untuk menghindarinya. Jika Anda memiliki cukup ruang, akan sangat membantu untuk meninggalkan kepercayaan tentang siapa Anda dan mengapa mereka harus mendengarkan Anda. Jika tidak memungkinkan melakukan yang lain, cukup di akhir artikel mencantumkan alamat surat elektronik Anda.

13. Biarkan dunia tahu artikel yang Anda tulis. Anda dapat menemukan tempat untuk mempromosikan artikel Anda.

Bagaimana mengembangkan dan menuangkan gagasan?
Setiap wacana berawal dari sepatah kata . Tulisan yang panjangnya ratusan ribu, puluhan ribu, seribu, dan seratus diawali dari sepatah kata. Masalahnya, dari mana mulai menulis? Inilah yang kerap menimpa penulis pemula sehingga sudah berjam-jam di depan layar komputer tulisan tidak jadi-jadi juga.

Ketika mengalami apa yang disebut writer’s block atau gagasan mampet dan kehabisan ide, teori bisa jadi dari kandas dalam praktik semacam ini. Jika demikian, apakah teori menulis tidak perlu? Tetap perlu sebagai landasan teoretis agar sebuah tulisan diakui umum dan sesuai dengan pakem yang diakui. Teori itu harus sama dan sebangun dalam hasil akhir tulisan berupa naskah clean copy (siap saji atau siap di-posting). Namun, dalam proses kreatifnya tentu saja tidak harus mulai menulis dari awal, tengah, dan akhir sesuai dengan teori Gustav Freytag.

Dapat saja penulis mulai menulis dari hal yang ia sukai. Penulis bebas mulai menulis dari mana. Kebebasan untuk mulai menulis ini disebut juga free writing. Namun, setelah diedit dan disempurnakan, tulisan bebas tersebut tidak bebas dalam bentuk , tetapi harus sesuai dengan kaidah dan teori menulis.

Perlu diberi catatan, tidak setiap orang dapat menulis sekali jadi. Pengalaman menunjukkan bahwa penulis profesioal menyelesaikan menulis sebuah artikel dalam tempo tiga jam.

Artinya, artikel yang ditulis itu sempurna, mulai dari pemilihan topik, gagasan yang dituangkan cerdas dan bernas, penempatan dan penggunaan pungtuasi benar dan tepat, menarik, dan memenuhi standar kualifikasi media papan atas. Bahkan, proses kreatif satu tulisan dengan tulisan lain berbeda. Kerap tulisan yang dihayati dan disukai membutuhkan waktu relatif singkat untuk merampungkannya. Namun, untuk topik tertentu, kadang membutuhkan waktu lebih lama.

Bagaimana dengan penulis pemula? Sebelum menulis, penulis pemula sebaiknya membuat peta pikiran (mind mapping) lebih dahulu. Peta pikiran ini diperlukan bukan saja agar tulisan (gagasan) tidak melebar ke mana-mana, tetapi juga untuk memandu penulis akan mengarah ke mana, selain sebagai pedoman untuk mengetahui seberapa banyak porsi yang diberikan pada awal, tengah, dan akhir tulisan. Jangan sampai, karena keenakan menulis bebas, pada hasil akhir tulisan porsi awal (pengantar) jauh lebih banyak dibandingkan dengan isi. Ini tidak proporsional!

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa terdapat tahap-tahapan dalam menulis, mulai dari mencari ide (invention) hingga tahapan memeriksa kembali cetak coba (proofreading). Normatif itulah tahapan menulis yang harus dilalui. Namun, proses kreatif setiap tulisan tidak harus berjalan linear seperti itu, kecuali tahap pertama (invention) adalah wajib. Mengapa? Sebab tanpa diawali dari menemukan ide, tidak mungkin untuk mulai menulis.

Jika ide atau topik sudah ditemukan, bagaimana mengembangkannya? Menulislah dengan bebas. Jangan hiraukan urutan logis, kesalahan spelling, tanda baca, ejaan, akurasi nama orang dan nama tempat. Jangan sekali-kali bertindak sebagai penulis dan sebagai editor pada waktu yang sama. Mengapa? Karena tulisan Anda tidak pernah rampung.

Misalnya, ketika rasa ingin tahu untuk mengecek apakah kata “cek” jika mendapat awal me menjadi mencek atau mengecek? Anda akan membuka kamus, tidak ketemu. Membuka tesaurus, tidak juga bersua jawaban. Lalu Anda bertanya pada munsyi di Pusat Bahasa dan yang bersangkutan baru masuk bekerja esok hari. Apakah harus menunggu semalam baru melanjutkan menulis? Tidak! Beri catatan, atau tanda, pada kata atau istilah yang Anda kurang yakin benar. Biarkan gagasan mengalir seiring dengan mood Anda, jangan pernah dibendung oleh rintangan yang tidak seharusnya menjadi hambatan. Ubah hambatan menjadi peluang!

Dari mana mulai menulis? Pada galibnya, menulis sama dengan berbicara. Menulis ialah berbicara di atas kertas atau berbicara melalui tulisan. Karena itu, setiap orang yang dapat berbicara, pasti dapat menlis. Uniknya, bahkan orang bisu pun dapat menulis.

Karena itu, mulailah menulis sebagaimana Anda mulai berbicara! Bahkan, menulis lebih mudah daripada berbicara. Mengapa? Sebab ketika berbicara, sekali diucapkan, kata-kata akan berlalu. Apa yang telah diucapkan tidak ada kesempatan memperbaiki dan menariknya kembali. Berbeda dengan menulis. Jika salah, kesempatan memperbaikinya terbuka lebar.
Mulailah menulis dari sepatah kata yang menjadi gagasan pokok, main idea atau central idea-nya. Salah satu medode untuk mengembangkan dan mengurutkan gagasan dimulai dengan menuliskan semua gagasan ke tulisan dengan sama sekali tidak peduli akan urutannya.

Inilah tahap awal menulis, yakni menulis bebas dengan mementingkan aliran gagasan terlebih dahulu dan menafikan untuk sementara hal-hal lain yang bukan-gagasan. Mengapa gagasan ini penting? Sebab sebuah tulisan yang paling pokok adalah gagasan atau isinya.
Keberhasilan seorang penulis bergantung pada kecerdasannya menuangkan seluruh gagasan briliannya ke dalam tulisan. Dilengkapi dengan data dan informasi maka gagasan itu biarkan saja mengalir.

Untuk membantu mengalirkan gagasan, sebaiknya dibuat Lembar Gagasan seperti contoh yang berikut ini.

Lembar Gagasan (orisinal)

1. Pada suatu acara bedah buku MCG, sempat terjadi insiden adu fisik yang melibatkan Aditjondro dan Ramadhan Pohan. Pohan menuding buku Aditjondro sarat fitnah, tidak ilmiah. Sebaliknya, Aditjondro bergeming dengan mengatakan, buktikan jika memang keliru!
2. Buku yang ditulis George Junus Aditjondro ini menjadi pemicu dan buah bibir yang dibicarakan secara nasional.
3. Pihak yang merasa dirugikan oleh data yang dibeberkan Aditjondro murka. Kebetulan, mereka masuk koloni, atau setidaknya dekat, dengan Cikeas. Cikeas adalah simbol RI-1 (Susilo Bambang Yudhoyono) dan trahnya.
4. Buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) terbit dan segera meyebar reaksi pro dan kontra.
5. Bagaimana menilai mana pihak yang benar dan mana yang salah? Pemberitaan media harus dilihat bagaimana media membingkai berita itu dan apa ideologi di baliknya.
6. Lepas dari pro-kontra, MCG menjadi pelatuk bagi kita untuk belajar berdemokrasi.


Itulah lembar gagasan. Seperti yang dapat dilihat, gagasan itu terlampau umum, masih terdapat kesalahan di dalam penulisan huruf, belum runtut logikanya. Setelah dicermati dengan saksama, alurnya belum urut. Karena itu, ada gagasan yang harus ditukar tempat.

Tahap selanjutnya, merevisi gagasan dan mengurutkannya. Menyesuaikan aliran gagasan dengan apa yang sedang dipikirkan khalayak saat itu (the mind of consumer) dengan menaruh gagasan yang memicu dan menyentak (inciting force).

Lembar Gagasan (hasil organization)

Lembar Gagasan yang orisinal tadi kemudian diperbaiki. Sebaiknya ditulis dengan spasi ganda untuk memudahkan agar tersedia ruang bagi penempatan tanda-tanda penyuntingan . Inilah contoh hasil organization (pengorganisasian gagasan) sebelum memasuki tahap selanjutnya yakni mulai menuangkan gagasan demi gagasan melalui kata yang membentuk kalimat, kalimat membentuk alinea. Sebaiknya satu gagasan, satu alinea. Gagasan yang sambung-menyambung mengalir secara koheren membentuk wacana yang utuh.

Lembar Gagasan (hasil revisi)
Setelah draft Lembar Gagasan diperbaiki, jadilah hasil revisi sebagai berikut.


1. Buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) terbit dan segera menebar reaksi pro dan kontra.
2. Cikeas adalah simbol RI-1 (Susilo Bambang Yudhoyono) dan trahnya. Buku yang ditulis George Junus Aditjondro ini memicu perseteruan dan buah bibir yang dibicarakan secara nasional.
3. Pihak yang merasa dirugikan oleh data yang dibeberkan Aditjondro murka. Kebetulan, mereka masuk koloni, atau setidaknya dekat, dengan Cikeas.
4. Pada acara bedah buku MCG, sempat terjadi insiden adu fisik yang melibatkan Aditjondro dan Ramadhan Pohan. Pohan menuding buku Aditjondro sarat fitnah, tidak ilmiah. Sebaliknya, Aditjondro bergeming dan mengatakan, buktikan jika memang keliru!
5. Bagaimana menilai pihak yang benar dan yang salah? Bagaimana media membingkai berita itu dan apa ideologi di baliknya?
6. Lepas dari pro-kontra, MCG menjadi pelatuk bagi kita untuk belajar berdemokrasi.

Artikel itu ditulis dalam tempo kurang lebih 2,5 jam, pada 3 Januari 2010. Karena di harian Suara Pembaruan, tulisan penulis baru dimuat 28 Desember 2009, agar tidak ada kesan kemaruk, maka tulisan tentang karya Aditjondro yang menghebohkan itu diputuskan dikirimkan ke media lain. Ke Bisnis Indonesia sudah ada artikel yang sesuai dengan visi misinya.

Setelah bertanya pada kawan dan berkonsultasi, akhirnya artikel tadi dikirimkan lewat e-mail ke Surabaya Post yang bermarkas di Surabaya pada pagi 5 Januari 2010. Dengan pertimbangan, tentu koran daerah memerlukan sekali artikel opini yang selain bargaung nasional, juga cepat-saji. Surabaya Post adalah koran sore. Tanpa menunggu waktu lama, esoknya, 6 Januari 2010 artikel itu pun dimuat.

Menakar Keilmiahan MGC
Oleh: R. Masri Sareb Putra
Gurita Cikeas dan kaitannya dengan skandal Bank Century mencuat jadi isyu nasional akhir tahun 2009 hingga kini. Sebegitu hebat, hingga nyaris menenggelamkan berita kepergian dua tokoh nasional, Gus Dur dan Frans Seda. Di sini genap adagium dalam dunia komunikasi massa, “big people makes big news.”

Kalangan akademis menyarankan, pihak yang merasa dirugikan terbitnya MGC agar membuat buku tandingan. Dilengkapi data dan fakta. Biar publik jadi juri, mana dari keduanya yang laik dipercaya mendekati kebenaran?

Sebelum para big people bisa membuktikan buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) cacat secara ilmiah, opini publik yang terbangun tesis George Junus Aditjondro benar. Padahal, jalan ilmiah ialah tesis dijawab anitesis. Hibrida keduanya melahirkan sintesis.

Asal mula gurita
Ikan mangsi, istilah latinnya onychoteuthis engulata, atau octopus, ialah bangsa cumi. Yang raksasa punya banyak tangan. Hebatnya, tangan-tangan itu menggurita. Jika melilit, musykil mengurainya kembali. Sebab, cengkeramannya amat kuat.

Maka sangat tepat Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:377) memberi contoh gurita dalam kalimat. "Bisnis anak pejabat itu besar dan gurita karena menjarah bank-bank swasta di negeri ini." Maka alangkah malu dan hinanya pihak yang dimasukkan Aditjondro ke dalam bilangan bangsa mangsi.

Menurut Aditjondro, gurita itu datang dari Cikeas. Pria berjenggot subur dan gondrong ini menjelaskan asal muasal hikayat Cikeas dari kepompong sampai kupu-kupu, hingga menggurita, begini:
"... seorang jenderal memborong lahan tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, sewaktu masih berharga Rp5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling-kapling, masing-masing seluas seribu meter persegi. Tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling. Harga tanah di sana sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi (halaman 42).

Bumi Cikeas kini membubung tinggi. Bukan hanya kiasan, tapi tinggi benaran. Harga tanah per meter di sini lebih dari Rp2 juta. Luar biasa! Makanya, banyak orang mengarahkan mata ke tempat ini. Terutama ke purinya. Padahal, tahun 1980-an, menjadi tempat jin buang anak. Gunung Putri kini tinggi seribu janji! Ini konteks judul buku Aditjondro, gurita itu datang dari Cikeas.

Metode ilmiah
Membaca seluruh MGC, sama sekali tak ada kesan Aditjondro bermaksud memfitah. Ia hanya pandai membidik topik yang laik-jual. Lagi pula, karya ini ilmiah. Mengapa? Karena penulis telah memenuhi syarat dan langkah-langkah ilmiah. Yakni mengajukan pertanyaan (5W+1 H), melakukan riset latar belakang masalah, merekonstruksi hipotesis, menguji hipotesis dengan eksperimen, menganalisis data dan membuat simpulan, lalu mengomunikasikan hasilnya pada khalayak.

Yang paling pokok dalam karya ilmiah ialah seseorang senantiasa mengedepankan kebenaran dan kejujuran. Ini harga mati. Dan yang dianggap kebenaran hendaknya sementara sifatnya, harus siap diverifikasi, sampai ditemukan kebenaran baru (novum). Sebagai contoh, sebelum Galileo Galilei menemukan bahwa yang berputar adalah bumi bukan mataharimaka yang dianggap benar ialah matahari yang berputar. Sama dengan kasus Aditjondro vs big people yang “kebakaran jenggot”. Sebelum tesisnya diruntuhkan, selama itu pula dianggap sebagai kebenaran, hingga tesisnya berhasil diruntuhkan dengan temuan baru yang lebih valid.

Dalam MGC, penulis sudah melakukan langkah ilmiah. Rekonstruksi adalah metodologi yang digunakan. Lalu cara menarik simpulan dengan metode pembuktian terbalik. Ketika dilempar ke publik, otomatis karya itu siap diverifikasi. Sayang, pihak yang keberatan, belum menyertakan data bantahan. Padahal, masyarakat menanti-nanti. Mana ekspresimu? Kita memang membaca sanggahan di koran Jurnal Nasional edisi 2 Januari 2010. Itu pun wawancara dengan juru bicara presiden. Tidak membantah ihwal yang substansial, namun hal yang remeh temeh.

Sementara itu, tuduhan Amien Rais karya itu kurang ilmiah, karena menggunakan sumber kedua, perlu dikritisi. Sumber primer, sekunder, atau tersier bukanlah soal, asal mengedepankan kebenaran (truth). Apa sang doktor politik itu lupa, sumber (hanya) mendukung/menyangkal pendapat seseorang? Status questionis adalah: data/informasi benar atau salah.

Ada riset langsung penulis (hal 67-69), terutama mengenai money politic dan vote buying (pembelian suara) yang dilakukan kader Partai Demokrat. Data yang dibeberkan cukup akurat, sebab menyebut nama, tempat, dan jumlah dana yang dikeluarkan. Ini tesis yang bila dinyatakan tidak benar oleh pihak lawan, perlu dibuktikan sebaliknya. Tidak perlu berkeli. Misalnya, dengan dalil bahwa KPU sudah menerima hasil Pemilu, apa yang sudah terjadi tidak bisa diungkit lagi. Masalah pokok adalah, benar atau tidak kader Partai Demokrat melakukan praktik curang?

Karya ilmiah akhirnya harus siap diverifikasi. Aditjondro bertanya pada Ramadhan Pohan tiga kali soal aliran dana Grup Sampurna ke harian Jurnas, namun tidak dijawab. Bukankah ada pepatah, "tacit consent", diam berarti setuju? Dalam politik, tidak berlaku pepatah “Diam adalah emas,” sebab pihak yang diam, diangap kalah.

Media framing
Di tayangan TV, kita tidak melihat Aditjondro memukul Ramadhan Pohan, hanya tangan kiri memegang buku yang disambarkan ke muka Pohan. Sakitnya gak seberapa, mungkin malunya itu.....

Bisa jadi, hari-hari terakhir pembaca menemukan banyak versi soal isyu ini. Beda media, beda cara membingkainya. Dalam studi media, ini namanya media framing. Jadi, isyu atau topik suatu berita, mesti dilihat (dan dibaca) dalam konteks ideologi siapa di balik media yang bersangkutan?

Banyak yang pro George, namun tak sedikit yang kontra. Yang kontra umumnya menyerang pribadi, entah metodologi maupun integritas penulis. Ini namanya argumentum ad hominem dalam retorika, tidak menohok ke persoalan, tapi menyerang pribadi. Burung juga tahu, orang yang menggunakan teknik retorika seperti itu, atau istilah kerennya de sophisticis elenchis. Biasanya pihak yang menggunakan retorika ini kehilangan nalar argumentatif untuk memukul balik lawan.

Dari sekian bab, sebenarnya cuma ada tiga yang “menghebohkan” dari buku ini. Yakni bab tentang di Balik Skandal Bank Century (hal. 13), Bantuan Grup Sampoerna untuk Harian Jurnas (hal. 21) yang memicu perseteruan Aditjondro dan Ramadhan Pohan, Pemanfaatan PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center (hal.29), danYayasan-Yayasan yang Berafliasi dengan SBY (hal. 35).

Lepas dari pro-kontra, kita bisa belajar banyak dari buku ini. Percuma melarangnya peredar, sebab tiap orang dapat mengaksesnya dalam bentuk e-book di internet. Melarangnya beredar, sama dengan menutup angin dengan kain.

Bagaimanapun, terbitnya MGC telah meninggalkan pelajaran berharga. Ia memicu kita semua dalam proses pembelajaran berdemokrasi. Bahwa di era keterbukaan dan alam demokrasi yang musykil dibendung, sumber kebenaran tidak lagi melulu ada pada tangan penguasa, tapi juga –dan terutama— dari rakyat jelata. Bukankah ini makna demokrasi sesungguhnya bahwa kekuasaan di tangan rakyat?

Struktur artikel
Adakah “rumusan” yang manjur untuk membuat artikel? Rumusan itu memang ada! Namun, seperti kata pepatah, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Setiap media punya standar atau lebih tepat selera sendiri-sendiri.

Karena itu, jangan pernah patah arang manakala artikel Anda ditampik suatu media. Bukan karena jelek, namun bisa jadi karena “selera” tadi. Ada media yang jelas-tegas menulis “Jika dalam tempo dua minggu tidak dimuat, penulis dapat mengirimkannya ke media lain.”

Meski kental oleh “selera” dan hubungan pribadi dengan redaktur opini, sebenarnya terdapat pedoman umum bagaimana struktur sebuah artikel. Sesuai dengan anjuran Aristoteles, kemudian dikembangkan Gustav Freytag, sebuah artikel terdiri atas tiga pilar utama yakni awal, tengah (content, body), dan akhir yang dapat dibuatkan detailnya seperti contoh berikut ini.


Bagian I: Awal
Pada bagian awal, elemen yang harus ada ialah:
1. Pernyataan atau tesis
2. Argumen 1
3. Argumen 2
4. Argumen 3
5. Kalimat penutup

Bagian II: Tengah (Isi)
Pada bagian tengah, elemen yang harus ada ialah:

A. Topik kalimat (berdasarkan Argumen 1)
6. Pendukung contoh 1
7. Pendukung contoh 2
8. Pendukung contoh 3
9. Kalimat penutup

Topik B. Kalimat (berdasarkan Argumen 2)
10. Pendukung contoh 1
11. Pendukung contoh 2
12. Pendukung contoh 3
13. Kalimat Penutup

C. Topik Kalimat (berdasarkan Argumen 3)
14. Pendukung contoh 1
15. Pendukung contoh 2
16. Pendukung contoh 3
17. Kalimat penutup

Bagian III: Akhir
18. Ringkasan poin utama (tiga kalimat topik - A, B, dan C)
19. Komentar atau saran tentang pernyataan atau tesis
20. Kalimat penutup


Anda dapat merujuk ke pedoman struktural ini jika hendak menulis artikel. Masukkan informasi tentang topik Anda ke dalam pedoman template di atas dan lihat bagaimana artikel Anda berkembang.
Jika alur itu diikuti maka semuanya akan seperti sihir yang membuat pembaca mendapatkan sesuatu yang mereka perlukan. Sebagai penulis, Anda sudah mencapai tujuan. Artikel Anda dimuat, Anda mendapat honor, media yang memuatnya beruntung mendapat artikel bermutu, dan pembaca juga diuntungkan karena mendapat sesuatu usai membaca artikel Anda.

Menghitung Fog Index
Pernahkah Anda membaca suatu wacana yang sarat dengan kata-kata sukar, yang bersuku kata tiga atau lebih, yang untuk memahaminya harus membuka kamus atau bertanya pada orang yang paham?

Jika pemahaman atau keterbacaan (readability) atas wacana itu sukar, membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerapnya, dan dahi berkerut ketika membacanya maka itu berarti tingkatan Fog Index-nya tinggi.

Apakah yang dimaksudkan dengan Fog Index? Fog Index ialah teknik untuk mengukur keterbacaan suatu wacana. Ditemukan oleh Robert Gunning, seorang pebisnis Amerika dari Robert Gunning Clear Writing Institute Santa Barbara, California. Dalam buku The Technique of Clear Writing (1952) Gunning membuat rumusan untuk mengukur keterbacaan suatu wacana. Mula-mula alat ukur ini digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana dalam bahasa Inggris, namun diperluas karena prinsip-prinsip dasarnya dapat diterapkan dalam bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Langkah-langkah untuk menghitung Fog Index seperti yang berikut ini.

Jumlah yang terdapat pada kolom sebelah kanan didasarkan pada suatu wacana yang:
- panjangnya 88 kata,
- jumlah kalimat 6,
- jumlah kata-kata sukar 6 (corruptissima, republica, plurimae, leges, kleptokrasi, kemaslahatan). Wacana ini dipenggal dari artikel “Tanda-tanda Negara Kleptokrasi” dalam Suara Pembaruan, 15 Januari 2009.
(1) Makin korup suatu negara makin banyak pula undang-undang (corruptissima republica plurimae leges).
(2) Demikian pepatah mengingatkan. Indonesia telah menggenapi kebenaran pepatah ini.
(3) Semakin banyak undang-undang ditelurkan wakil rakyat kita makin banyak pula korupsi melanda negeri ini.
(4) Jika itu terus terjadi, pada gilirannya negara kita dipimpin para pencuri.
(5) Inilah yang disebut kleptokrasi. Perkara yang sudah diingatkan Machiavelli pada 1505.
(6) “Apabila partai pelopor, baik dibentuk oleh rakyat, tentara atau kaum ningrat, yang dianggap paling ulung membela martabat dan kemaslahatan bangsa, sudah menjadi bobrok dan melakukan korupsi, hanya menunggu waktu untuk jatuh.”
Langkah menghitung Fox Index sebagai berikut.

1. Hitung jumlah kata pada wacana 88
2. Hitung jumlah kalimat 6
3. Hitung jumlah kata-kata sukar (3 atau lebih suku kata) 6
4. Kata sukar tidak termasuk:
- nomina (nama diri) dan nama tempat
- kombinasi kata-kata gampang seperti “orangtua”
- kata kerja/kata benda manakala mendapatkan prefiks, misalnya mengkambinghitamkan, mengkartumerahkan, menomorduakan
Hitung rata-rata panjang kalimat
Bagi jumlah kalimat dengan jumlah kata

88/6 = 14
5.
Hitung persentase dari kata-kata sukar (big words).
Bagi jumlah kata dengan kata-kata 6/88 = 7%
6. Bagi rata-rata panjang kalimat dengan % kata-kata sukar 7 + 14 = 21
7. Lalu kalikan hasilnya dengan 0,4 21 x .4 =
Fog Index 8.4


Dalam bangun sebuah rumus maka Fog Index diformulasikan sebagai berikut.

Fog Index yang ideal ialah yang berada pada level 7 atau 8. Level di atas 12 mengindikasikan bahwa wacana tersebut sukar dimengerti oleh rata-rata pembaca.
Bagaimana kiat membuat Fog Index kecil atau tulisan yang mudah dimengerti? Caranya dengan mengukur atau mengira-ngira rata-rata pendidikan pembaca, apakah SMP, SMA, atau sarjana.

Andaikan seorang lulusan SMA menguasai 10 ribu kata maka penulis dapat memilih kata yang akrab dengan mereka dan menghindari kata-kata sukar dan asing. Untuk sebuah artikel yang hendak dikirimkan ke suatu media, usahakan memilih kata yang selain mudah dimengerti juga bernas. Ini demi menghindari redaktur bekerja ekstra, memotong tulisan yang panjang. Bila ia merasa repot dan tidak ada waktu, lebih baik tulisan itu tidak dimuat.

Karena itu, agar keterbacaan suatu tulisan baik, penulis sebaiknya menghindari dua hal dan melakukan satu hal yang berikut ini.
Hindari kata sukar dan asing manakala kata tersebut dapat diganti dengan kata sederhana, misalnya:
utilisasi  penggunaan
persisten  bertahan, ulet, berkanjang
konstruksi  bangunan

Hindari tautologi. Gunakan kata yang bermakna ganda dari kata yang sudah digunakan, misanya:
prinsip dasar-prinsip dasar  dasar
kerja sama saling menguntungkan kedua pihak  kerja sama
pendapat prbadi  pendapat
sejarah masa lalu  sejarah
masih meneruskan  meneruskan

Gunakan padanan kata untuk mengganti ungkapan-ungkapan tertentu yang kurang umum, misalnya:
bertepuk sebelah tangan  diacuhkan, ditolak
memancing di air keruh  mengambil keuntungan
bagai rusa haus merindukan air  ingin
bagai pungguk merindukan bulan  menginginkan sesuatu yang musykil.

Selain Fox Index, masih ada alat lain untuk mengukur keterbacaan suatu wacana. Sayang, dalam bahasa Indonesia belum ada. Alat ukur itu untuk menakar keterbacaan wacana dalam bahasa Inggris yakni “Tools Menu” dalam Microsoft Word yang memuat penghitung kata (word counter), pengecek tata bahasa dan tesaurus yang dapat membantu penulis menulis dengan kata yang mudah dimengerti.
Tiga alat “flesch” yang berikut ini dapat digunakan untuk menanalisis gaya menulis seseorang.
1. Flesch Reading Ease (100 = sangat mudah, 70-80 = rata-rata)
2. Flesch Grade Level (menentukan level peringkat pembaca yang harus dapat memahami tulisan Anda, 6 = rata-rata)
3. Flesch Kincaid (cara lain untuk menentukan level peringkat pembaca)
Pengecek tata bahasa itu juga akan mendata persentase dari kalimat yang ditulis dalam bentuk kalimat pasif. Persentase yang dapat diterima ialah bahwa tidak ada bentuk pasif sebab kalimat bentuk aktif lebih powerful.

Selain itu, alat tadi juga akan menemukan kesalahan dalam penulisan huruf kapital, dan kata-kata yang dobel penulisannya. Anda juga dapat membuka kamus sinonim atau tesaurus untuk membantu menemukan kata sederhana sehingga tulisan mudah dimengerti.
***

NB boleh mengutip, asalkan menyebutkan sumbernya.

Tidak ada komentar: