Minggu, 18 April 2010

Lulus tanpa Ijasah

Ujian Nasional SMA baru saja usai. Boleh disebut, ini ujian stres nasional. Bukan hanya siswa, juga orang tua, guru, dan semua yang terlibat di dalam UN stres.

"Lulus gak ya?" ini pertanyaan yang kerap muncul. Saya bilang, lulus dan tidak lulus bukan persoalan. Banyak orang sukses bukan karena mengantongi ijazah, tapi karena memang pandai.

Dengan kata lain, mereka lulus (dalam hidup) tanpa ijasah. Yang penting, dalam hidup ini, bukan sekolah, tapi belajar.
***

JIKA tidak sangat terpaksa, lebih baik jangan jadi orang jenius. Mengapa? Karena lebih banyak susah ketimbang senangnya. Orang jenius sering salah dimengerti. Thomas Alva Edison telah membuktikannya. Penemu paling banyak (konon hasil temuannnya tercatat tak kurang dari 3.000) ini, saking jeniusnya, pernah mendapat tekanan mental luar biasa.

Edison dilahirkan di Milan, Ohio, Amerika Serikat pada 11 Februari 1847. Ia anak ragil dari enam bersaudara. Pada usia tujuh tahun, Edison masuk sekolah. Malang baginya, sebab tak lama mengenyam rasanya sekolah, dia dikeluarkan gurunya. Ini gara-gara sang guru berpendapat, Edison sama sekali tak bisa bersekolah. “Ia tak bisa menyerap pelajaran apa pun dan terlalu goblok,” kilah sang guru.

Hengkang dari sekolah formal, Edison lalu diajarkan menulis, berhitung, dan membaca. Meskipun tidak sekolah, Edison tetap belajar. Ia belajar dibimbing oleh ibunya sendiri. Sang ibulah “guru” utama Edison yang mula-mula menanam benih bahwa untuk menjadi pintar, orang tidak perlu sekolah, tetapi belajar.

Maka Edison belajar. Ia belajar dari buku-buku yang ia baca. Ia lulus, setara bahkan melebihi anak usianya. Pada usia 12 tahun, Edison menjadi penjual koran, kacang, permen, dan kue-kue. Menjadi pedagang asongan ini dilakukannya di kereta api.

Pada usia 15 tahun, Edison menyelamatkan anak kepala stasiun (Pak Sep) yang nyaris tergilas kereta api. Sebagai balas jasa Pak Sep, Edison lalu diajarkan cara-cara mengirimkan telegram. Berangkat dari bekal pengetetahuan inilah nantinya Edison termasyhur, karena di kemudian hari ia berhasil membuat peralatan mesin cetak telegrafis.

Ilmuwan dan penemu lain, Albert Einstein (1879-1955) juga punya masa kecil yang boleh dibilang tidak nyaman. Tatkala anak seusianya sudah mulai dapat bicara, Einstein malah belum sanggup mengucap sepatah kata pun. Orang lalu menyangka, dia mengalami kelainan. Anak seperti itu pasti berkemampuan terbelakang!

Pada usia lima tahun, Einstein diberikan oleh ayahnya sebuah kompas. Ia merasa heran, mengapa jarum kompas tetap menunjuk kea rah utara, meski diputar ke arah mana pun.

Ketika sekolah di SD, Einstein sama sekali bukan anak yang menonjol. Sebagaimana Newton dan Edison, ia bahkan digolongkan ke dalam bilangan “anak yang bodoh”. Ia kurang suka pada disiplin sekolah yang keras. Ia benci akan pelajaran hapalan, seperti: sejarah, geografi, dan bahasa. Kesukaannya ialah ilmu pasti, seperti fisika dan matematika, terutama teori. Karena itu, para guru menganggap Einstein sebagai anak yang pemalu, bodoh, malas belajar, dan suka melanggar tata tertib.

Lantaran hanya menyukai pelajaran matematika dan fisika, Einstein melewati bangku SMP tanpa mengantongi ijasah. Ia bahkan tidak lulus SMP. Tatkala hendak menempuh ujian masuk perguruan tinggi, ia tak lulus. Pria beralis dan berkumis lebat ini baru lulus, setelah mengikuti tes masuk pergurun tinggi untuk kedua kalinya. Ia diterima di Institut Politeknik di Zürich, Swiss.

Meski dilihat dari segi prestasi belajar Einstein tidaklah menonjol, yang patut dicatat dari dirinya ialah bahwa yang bersangkutan sangat tekun dan suka membaca. Pada tahun 1905, ketika berusia 26 tahun, ia menemukan teori relativitas khusus. Baru tahun 1916, Einstein menemukan teori relativitas umum.
***
Hikmah apa yang bisa kita petik dari kedua penemu? Banyak, banyak sekali. Sering orang supercerdas salah diidentifikasi dan salah dimengerti. Dikira terbelakang lantaran mereka aneh, namun sebenarnya mereka pandai bukan main.
Kalau boleh diintisarikan, yang paling pokok barangkali sebagaimana judul tulisan ini. Ya, itulah yang terpenting! Kita sudah telanjur masuk ke dalam jargon, bahwa sekolah di zaman sekarang bagai sudah suatu keharusan. Hampir semua orang menyekolahkan anaknya dan bersekolah di sekolah formal, tapi mereka tidak terpelajar. Tabiat, tutur kata, tindakan mereka tidak mencerminkan orang terpelajar. Mereka lulus sekolah, tapi tidak lulus dalam hidup. Mereka menamatkan sekolah formal, tapi gagal dalam pendidikan dalam arti luas.

Bukan berarti saya menentang sekolah formal. Sama sekali tidak! Sekolah formal banyak sekali jasanya. Hanya yang mau ditonjolkan dengan contoh Edison dan Einstein ialah sikap mental orang terpelajar. Begitulah seharusnya. Bukankah banyak orang, sebagaimana juga Edison dan Einstein, menjadi pintar bukan karena sekolah, tapi karena bersekolah. Sebab, sebagaimana dikatakan empu para pendidik Ki Hadjar Dwantara, “Sekolah adalah semua tempat dan guru ialah setiap orang.”

Maka bersekolah dan menjadi terpelajar tidak harus melalui sekolah formal. Banyak insinyur lulusan ITB dan IPB tidak bekerja di pabrik dan industri, mereka menjadi pebisnis karena bersekolah di luar jalur pendidikan formal. Banyak pula wartawan dan redaktur di tanah air bukan jebolan sekolah jurnalistik dan komunikasi.
Di Amerika Serikat, para top executives perusahaan ialah para cerdik cendikia. Tapi pemilik perusahaan tempat mereka bekerja adalah orang yang drop out, tidak tamat sekolah.

Di Indonesia juga hampir sama. Sebut saja Om Liem, Probosutedjo, atau Prajogo Pangestu. Apakah mereka mengantongi ijasah MBA? Tidak! Tapi kepiawaian mereka dalam manajemen dan bisnis, melebihi seorang jebolan Harvard University. Dengan kata lain, mereka lulus dalam sekolah kehidupan. Mereka ditempa, digodok, dan kuliah dalam universitas bernama dunia nyata. Mereka terampil bukan karena sekolah, tapi karena belajar!
Dan jenius atau kecerdasan? Ia hanya ada dalam potensi –in potentia. Kalau tidak bisa digali dan diangkat ke permukaan, sama saja bohong.

Karena itu, tugas guru, orang tua, dan siapa saja ialah menggali dan mengangkat ke permukaan semua potensi anak. Inilah hakikat pendidikan. Barangkali caranya tidak selalu formal, bisa juga informal. Ketika proses angkat-mengangkat potensi sedang berjalan, memang benar apa yang dikatakan seorang tokoh bijaksana, “Seorang murid tidak melebihi gurunya.” Namun, ketika proses itu telah selesai, dan sang murid sudah tergali semua kemampuannya, ia akan meninggalkan jauh kemampuan gurunya.

Di sana sang guru boleh merasa bahwa tugasnya sudah purna. Pendidikan telah usai. Ia boleh mati karena sudah puas menyaksikan sang murid berhasil. Proses pendidikan telah selesai. Sekolah sudah tamat. Sebab pendidikan berakhir sampai akhir hayat.

Tentu sudah banyak guru yang sudah menghayati profesi dan panggilannya. Bukankah kebahagiaan guru cuma ini: bahagia menyaksikan muridnya berhasil? Guru akan bahagia, jika bisa membuat orang lain bahagia. Pasti!

Tidak ada komentar: