Jumat, 09 Juli 2010

The Secret of "Déjà vu"

Pertama kali terminologi déjà vu diperkenalkan oleh periset di bidang fisika berkebangsaan Prancis, Émile Boirac (1851–1917) dalam bukunya L'Avenir des Sciences Psychiques (Masa Depan Ilmu Fisika) yang diperluas dari esai yang ditulisnya ketika masih menjadi mahasiswa.

Pengalaman déjà vu biasanya disertai dengan perasaan akan adanya kedekatan atau keakraban sekaligus keangkeran, keanehan, dan keasingan yang oleh Sigmund Freud disebut uncanny (luar biasa). Pengalaman sebelumnya paling sering dikaitkan dengan mimpi, meski dalam beberapa kasus hal tersebut meneguhkan perasaan bahwa itu benar-benar terjadi pada masa lampau.

Sejak penggalan tahun pertama abad 20, déjà vu menjadi bidang penelitian psikologi dan neurofisiologis. Dari sisi ilmiah, penjelasan yang paling mungkin déjà vu bukan pertama-tama ihwal prekognisi (precognition) atau nubuat (prophecy), namun juga anomali memori, memberi kesan pengalaman masa lampau yang dipanggil kembali (recalled).

Penjelasan ini didukung oleh fakta adanya perasaan dari ingatan pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Namun, ihwal kapan, di mana, dan bagaimana pengalaman terjadi sebelumnya, sukar untuk dipastikan. Demikian juga, seiring berjalannya waktu, seseorang dapat menunjukkan ingatan kuat pada peristiwa atau keadaan ketika mengalami déjà vu.

Lebih spesifik, bisa saja déjà vu merupakan akibat dari tumpang tindihnya saraf yang bertanggung jawab untuk memori jangka pendek (peristiwa yang dianggap sebagai masa sekarang) dan saraf yang bertanggung jawab untuk memori jangka panjang (peristiwa yang dianggap sebagai masa lampau). Peristiwa akan disimpan ke dalam memori pada alam bawah sadar otak, meski telah menerima informasi dan mengolahnya.

Teori lain mengenai déjà vu yang sedang dieksplorasi adalah pandangan. Teori ini menunjukkan bahwa satu mata dapat merekam apa yang dilihat secara fraksional lebih cepat sekian milidetik dari mata yang lain. Penglihatan ini menciptakan ingatan "yang kuat" akan sensasi pada adegan yang "sama" yang kemudian dilihat oleh mata satunya.
Para pakar memang sudah coba menjelaskan déjà vu, namun hingga hari ini rasanya masihlah sebuah pulau misteri yang belum terpecahkan. Pendekatan psikologi barangkali dapat sedikit mengungkap fenomenon ini.

Menurut dr. Naek L. Tobing, pakar di bidang sexology dari negeri sendiri, yang pada hemat kami cukup menjelaskan fenomenon ini dari sisi psikologi terapan, “Manusia cenderung mengulangi hal-hal yang indah dan menyenangkan dan cenderung menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.”

Ke dalam bingkai kecenderungan umum, bahkan sifat naluriah dasar manusia inilah kita menempatkan déjà vu sehingga lebih mudah untuk dipahami. Hal-hal yang indah dan menyenangkan tidak selalu dalam arti harfiah, sebab recall masa lampau dapat pula kita artikan sebagai proses memanggil kembali pengalaman (dan pengetahuan) masa lalu yang ada dalam memori kita untuk tujuan tertentu, misalnya untuk mengisi soal-soal ujian dan menjawab berbagai pertanyaan.

Déjà vu, diakui atau tidak, bahkan kerap kita munculkan dengan sengaja. Pernahkah Anda menyadari, manakala sedang ngobrol, diskusi, atau rapat jika membahas topik tertentu yang ada kaitannya dengan kisah sukses atau terkait dengan cita rasa dan sikap-sikap heroik tertentu, kita cenderung memunculkan dan me-recall pengalaman kita sendiri? Seakan-akan experiences kita mengenai segala sesuatu yang indah, menyenangkan, dan yang hebat-hebat hadir kembali di sini, pada saat ini. Dengan bangga kita menceritakan sesuatu yang pernah kita alami, entah sekadar pamer, entah benar-benar tulus untuk membantu mengatasi masalah dan memberikan kontribusi bagi siapa saja agar tampak bahwa kita hebat.

Sebenarnya, déjà vu bukan hanya ingatan akan pengalaman masa lampau yang datang secara spontan. Ia juga bukan semata-mata monumen atau lambang yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa masa lalu yang pernah kita alami. Lebih dari itu, déjà vu kerap sengaja kita munculkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari harta karun, perbendaharan, sekaligus inheritance kita yang sangat bernilai.

Akan tetapi, jujur harus dikatakan bahwa kerap juga déjà vu muncul dalam suatu konotasi yang agak negatif. Pernah mengamati orang yang terkena stroke yang tidak terlampau berat atau orang yang bagian kepalanya terkena benturan?

Orang yang bersangkutan biasanya akan kehilangan sebagian kesadaran akan masa lalu (long-term memory) perbendaharaan ingatan yang tersimpan dalam memori otaknya sedikit mengalami gangguan seperti komputer yang error karena terjatuh atau diserang virus berbahaya. Penyimpanan file-file dan dokumen tidak lagi rapi, satu dokumen tercampur dengan yang lain, atau bahkan ada yang rusak, sehingga yang muncul bukan yang sebenarnya. Akibatnya, yang dapat dipanggil kembali hanya sebagian saja. Itu pun sudah tidak lagi utuh.

Nah, orang yang yang terkena stroke atau orang yang bagian kepalanya terkena benturan dapat mengalami hambatan untuk pemanggilan kembali memori –seperti komputer yang pernah jatuh dan terserang virus tadi. Saya pernah punya pengalaman seperti ini ketika salah satu orang tua dekat mengalami stroke lumayan berat. Sebagimana kita ketahui bahwa stroke mengakibatkan sebagian syaraf manusia malafungsi. Syaraf bekerja tidak sebagaimana biasanya.

Kembali ke cerita ihwal stroke tadi. Pada detik-detik awal terkena, orang yang mengalaminya tidak dapat berbicara sama sekali. Baru selang beberapa jam kemudian, gerakan mulutnya yang masih bergetar sudah dapat ditangkap kata-kata yang diucapkan. Namun, kesadarannya belum pulih seratus persen. Yang bersangkutan bertanya, “Saya di mana dan apa yang terjadi pada saya?” Daya ingatnya terbatas, hanya tahu masa kini (short-term memory).

Ternyata, rekaman pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam memori perlu waktu untuk pulih kembali. Untuk memulihkannya, perlu waktu dan juga kesabaran. Harus dipancing dengan pertanyaan, baru rekaman masa lalu dapat muncul kembali dan déjà vu adalah salah satu teknik terbaik yang secara efektif dapat memanggil kembali memori yang hilang. Barangkali kondisi seperti ini yang disebut sebagai anomali yang terjadi akibat kurang berfungsinya saraf. Namun, jika memori itu dipancing dan ditata lagi dengan teknik recall, dapat kembali seperti sediakala.

Jika kita punya pengalaman hidup dan bergaul dengan orang tua yang usianya di atas usia 70 tahun ke atas, maka hukum umum yang berlaku ialah bahwa mereka selalu senang berbicara atau mengisahkan pengalaman masa lalu. Sangat jarang topik pembicaraan mengenai masa kini, apalagi tentang masa lampau. Kata kuncinya adalah “saya dulu”, “bukan begitu, kami dulu” “yang benar seperti pernah saya alami”, “wah, saya dulu lebih dari itu”, “itu belum seberapa, waktu saya muda lebih lagi”, dan sebagainya.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan orang tua yang demikian hidup dalam dunia berisi pengalaman-pengalaman masa lalu? Apakah ia hidup di antara dua dunia? Nyatakah dunianya?

Mungkinkah itu fatamorgana terbalik, ibarat memandang cermin di depan, tapi yang dilihat ialah yang ada di belakang, yakni kejadian-kejadian atau pengalaman masa lalu?
Itulah sebagian dari misteri déjà vu. Nyata dialami, tapi masih belum dapat untuk dijelaskan sepenuhnya.

1 komentar:

R. Masri Sareb Putra mengatakan...

You are mistaken, perhaps because you not yet read any books about the topic.