Sesuai dengan teori para pemikir Sekolah Frankfurt yang pindah ke Amerika Serikat dan di sana mereka mengamati bahwa media tidak dikontrol oleh Pemerintah, akan tetapi dimiliki dan isinya ditentukan kaum kapitalisme (Amir Santoso, 2010) maka yang paling diuntungkan dan dalam persaingan pasar media saat ini adalah kaum pemodal (kapitalisme).
Pemerintah, dengan dibubarkannya Departemen Penerangan, tidak lagi banyak diuntungkan dengan persaingan media tersebut. Sebagai contoh, Berita Nasional sebagai media Partai Demokrat dan harian Suara Karya yang berada di bawah kendali dan pengaruh Golkar, kurang menarik bagi masyarakat. Pihak pemilik tidak diuntungkan dalam suasana pasar bebas di mana media tunduk pada hukum pasar bebas.
Sementara yang dirugikan adalah pihak media yang modalnya terbatas, mereka kalah dalam persaingan bebas. Pada gilirannya, masyarakat juga yang dirugikan karena masyarakat tidak memperoleh informasi dari media yang mempunyai framing sendiri.
pemain-pemain besar dan menengah media massa dewasa ini:
Pemain besar:
1. Kompas-Gramedia adalah industri media yang didirikan P.K. Ojong dan Jakob Oetama (print media, TV, dan TV digital).
2. Media Group adalah kelompok usaha media yang didirikan oleh Surya Paloh. Kelompok usaha ini memiliki harian Media Indonesia, Lampung Post, Borneonews, stasiun televisi MetroTV, dan Yayasan Sukma.
3. PT Media Nusantara Citra, Tbk Group (SunTV, RCTI, MNC, Globaltv, Harian Sindo, Okozone.com).
4. Group Tempo dan PT Temprint.
5. Bakrie Grup (TVOne, ANTV).
6. Jawa Pos Grup.
Pemain menengah:
1. Sinar Kasih Grup yang menerbitkan antara lain Suara Pembaruan dan penerbitan buku.
2. Femina Group.
3. Koran Jakarta.
4. Pos Kota.
5. Republika.
Pemain kecil:
1. Sinar Harapan.
2. Suara Karya.
3. C & R.
4. Gatra.
5. Harian Terbit.
6. Berita Nasional.
Catatan:
Kriteria pemain besar, pemain medioker, dan pemain kecil media dilihat dari aset dan jumlah tenaga kerja. Sebagai contoh, Kompas Gramedia memiliki aset lebih dari ratusan triliun dan merupakan holding company dengan karyawan (pekerja) 17.000 orang. Ini termasuk pemain papan atas media di Indonesia. Sementara pemain kecil tidaklah merupakan sebuah holding company, dengan dukungan karyawan kurang dari 1.000.
Yang penting disadari ialah bahwa pasar bebas dan kapitalisme selalu punya ekses negatif. Yang kuat akan memangsa yang lemah, dan praktik ini terjadi pada industri media di mana terjadi akuisisi atau pencaplokan oleh pemodal besar atas beberapa kepemilikan media yang modalnya terbatas. Misalnya, Bakrie Grup mengambil alih Lativi, ini contoh praktik kekuatan pemodal besar terhadap pemodal yang lebih lemah dan praktik ini sesuai dengan yang dipikirkan Karl Marx bahwa dalam pasar bebas dan kapitalisme akan terjadi praktik yang kuat akan memakan yang lemah dan negara wajib melindungi apabila terjadi ketidakadilan.
Persaingan bebas tersebut membuat masyarakat tidak dapat sepenuhnya berpartisipasi pada penyebaran data informasi kepada publik, yang memiliki akses adalah para pemodal besar karena sanggup menghidupi dan malah meraih keuntungan dari medianya. Ideologi pemilik media sudah pasti akan mewarnai policy pemberitaan media yang bersangkutan.
Demikian pula cara media tersebut membingkai (framing) peristiwa, tidak bisa terlepas dari siapa di balik kepemilikan media tersebut. Sebagai contoh, TvOne akan berbeda di dalam memberitakan peristiwa Lapindo dengan RCTI atau media lain. Republika yang berideologi Islam akan berbeda cara membingkai peristiwa keagamaan yang terjadi di Bekasi dengan yang diberitakan Kompas yang berideologi nasionalisme-Katolik. Ini menunjukkan bahwa cara membingkai peristiwa yang sama berbeda satu media dengan media lain, bergantung siapa di balik pemilik media yang bersangkutan. Dalam konteks ini persaingan antar-media sedikit merugikan perkembangan demokrasi kita, sebab opini atau suara publik kalah oleh suara atau ideologi pemilik modal.
Sesungguhnya, apakah persaingan tersebut menguntungkan atau malahan merugikan bagi perkembangan demokrasi kita tidaklah dapat dilihat secara hitam dan putih. Di balik ekses negatif yang disebutkan di atas, persaingan media juga menumbuhkan suasana demokratisasi. Sebagai contoh, orang dapat menulis atau meemberikan komentar langsung atau melalui Surat Pembaca atau rubrik Opini.
Persaingan media juga mengondisikan demokratisasi di mana semakin banyak orang sudah tidak takut lagi menyatakan pendapat melalui media dan kepentingan umum atau opini publik kerap disampaikan dan diliput media. Media juga kerap mengritik Pemerintah dan pejabat publik.
Tentu saja, alam kebebasan dan persaingan media seperti ini berdampak pada masyarakat, sehingga di kalangan masyarakat pun tumbuh semangat demokratisasi dan asas egaliter. Ini sisi positif kebebasan dan persaingan media bagi perkembangan demokrasi kita.
***
Minggu, 30 Januari 2011
Sabtu, 29 Januari 2011
Faktor Ekonomi, Politik, dan Budaya yang Mendorong Kebebasan Media di Indonesia
Pemerintah (Orde Baru) sejak membredel majalah Tempo, Editor, dan Detik pada 1994 sudah mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat. Agenda perlawanan yang dilancarkan media, berkembang menjadi agenda perlawanan rakyat. Pressure ini sedemikian kuat, sehingga pada akhirnya Pemerintah kewalahan. Politik media semakin meningkat, ketika bersamaan dengan pembredelan itu, muncul media alternatif yang tidak kalah pedas dan tajamnya mengritik Pemerintah.
Sementara tekanan itu bertubi-tubi, gugatan media massa atas Pemerintah berlangsung dan didukung tokoh nasional. Sebut saja sebagai contoh Adnan Buyung Nasution, hakim Benyamin Mangkoedilaga yang memenangkan kasus Tempo di tingkat pengadilan tinggi, dan dukungan Amien Rais baik melalui pernyataan dan komentarnya di media atas kebebasan media. Tokoh nasional ini berkolaborasi dengan dengan media, membuat tekanan politik sedemikian rupa pada Pemerintah.
Lalu menyatu dengan perjuangan dan kekuatan mahasiswa yang memperjuangkan kebebasan dalam segala macam bentuk, termasuk kebebasan untuk menyatakan pendapat, sehingga menjadi kekuatan massa rakyat. Di mana pun di muka bumi ini, tidak pernah ada kekuatan Pemerintahan yang kuasa menahan kekuatan massa rakyat (people power). Sebagai contoh, kekuatan rakyat melawan diktator Filipina Marcos, kekuatan rakyat melawan komunisme Uni Sovyet, dan sebagainya.
Kebencian yang lama terpendam karena kebebasan mereka dikungkung dan hasrat untuk hidup merdeka, mendorong sejumlah kekuatan massa bersatu, lalu kekuatan tersebut mndorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.
Regulasi dan kontrol pemerintah atas media massa dicabut. Puncaknya, ketika Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan sebagai simbol kontrol Pemerintah atas media massa. Di negara yang komunis dan negara yang Pemerintahannya dominan, ada Politboro. Ketika Departemen Penerangan dibubarkan, maka itulah puncak dari kekuatan politik yang merupakan perjuangan lama dari akar rumput dan kekuatan-kekuatan massa untuk menentang dominasi dan kontrol Negara (Pemerintah)atas media dan arus informasi.
Itulah faktor-faktor politik yang mengondisikan atau yang menyebabkan terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.
Kebebasan media massa terjadi hampir bersamaan waktunya dengan krisis moneter yang menerpa bangsa Indonesia pada 1997. Sebagaimana yang diketahui bahwa krisis moneter menyebabkan Pemerintah Indonesia harus meminta pihak luar, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF), untuk membantu mengatasi krisis.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan campur tangan IMF pada krisis ekonomi nasional? Yang dilakukan IMF sebenarnya sesuatu yang sangat sederhana: memberikan kucuran dana secara ketengan untuk sekadar membantu persediaan devisa Indonesia (Oppusunggu, 1999: 85). Namun, kompensasi dan akibatnya luar biasa: Indonesia sepenuhnya tergantung pada pihak lain, dan pihak yang memberikan bantuan punya agenda tertentu sebagai kompensasinya. Hal ini ditandai dengan penandatanganan letter of intent (LOI) pada 15 Januari 1998 di Jl. Cendana oleh Presiden Soeharto di depan Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus (Pabottingi, op.cit., hal. 25).
Menurut guru besar Universitas Indonesia yang juga pakar ilmu keuangan, Prof. Dr. Anwar Nasution, 50 butir kesepakatan dengan IMF tersebut adalah GBHN kita di masa depan (Kompas, 20 Oktober 1998). Dan benar saja, masuknya dana bantuan IMF serta merta membuka pintu bagi masuknya investor asing ke Indonesia.
Beriringan dengan itu pula banyak pemodal asing menanamkan investasinya di Indonesia, bahkan ada yang menguasai sektor tertentu perekonomian nasional. Dengan kata lain, Indonesia mulai membuka diri bagi pasar bebas dan ekonomi pasar terjadi di sana di mana ekonomi kapitalisme mulai bekerja.
Bagi media massa, efeknya jelas terasa. Lisensi atau imprint media massa yang terbit dan berbasis di luar negeri dapat dengan mudah masuk Indonesia. Sebagai contoh, ada edisi Indonesia majalah Play Boy dan Readers’ Digest; sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali. Dan bersamaan dengan itu di gerai-gerai toko, terminal, dan stasiun dapat ditemukan majalah, tabloid, dan surat kabar asing.
Adanya edisi Indonesia media asing tersebut dan masuknya majalah, tabloid, dan surat kabar asing turut meramaikan persaingan komoditas dan kepemilikan kapital. Paham liberalisme dan pasar bebas tidak dapat terhindarkan lagi praktiknya di Indonesia. Di tengah-tengah banyaknya pilihan media, masyarakat akan menentukan manakah media yang berguna dan memuaskannya. Hal ini sesuai dengan teori dalam ilmu komunikasi yakni “Uses and Gratification” (Katz) bahwa media yang tidak menyajikan menu sebagaimana yang dibutuhkan audience dan tidak dapat memuaskan mereka, maka kematian media tersebut hanyalah persoalan waktu (Tjipta Lesmana, 2010).
Masuknya pemodal besar (kapitalisme) ke industri media merupakan suatu keniscayaan dalam suasana ekonomi pasar bebas. Fenomena inilah yang diobservasi dan menarik perhatian para alumni Frankfurt School ketika migrasi ke Amerika Serikat menghindari Nazi, mereka menemukan bahwa situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda dengan di Jerman (Santoso, 2010).
Jika di Jerman, pada masa Nazizme dan Fasisme media dikontrol Pemerintah (negara), maka di Amerika tidaklah demikian. Media menjadi produk budaya, sekaligus menjadi pilar demokrasi. Yang menarik, para alumni Sekolah Frankfurt melihat bahwa kepemilikan media di Amerika berada di tangan kaum kapitalis.
Mereka mengembangkan teori sosial mengenai pentingnya kultur budaya dan komunikasi massa dalam reproduksi dan dominasi sosial. Mereka melihat dan mempelajari bagaimana budaya dan komunikasi melahirkan masyarakat tertentu dan bagaimana dominasi kelas-kelas tertentu terhadap masyarakat. Budaya dan komunikasi dapat memproduksi masyarakat tertentu dan kelas-kelas tertentu. Budaya dan komunikasi melahirkan kelas sosial dan perubahan-perubahan sosial.
Observasi dan teori para alumni Sekolah Frankfurt mengenai kepemilikan media di negara yang menganut ekonomi liberal-kapitalisme seperti Amerika Serikat, terjadi pula di Indonesia. Masuknya kaum kapitalis ke industri media, tentu saja secara otomatis menyatukan dua kekuatan sekaligus: pemodal dan kekuasaan di dalam mempengaruhi opini publik.
Hal inilah yang oleh pakar ekonomi-politik Jeffrey A. Winters (1999) disebut dengan “Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa” . Winters mengamati bahwa mobilisasi investasi di Indonesia terkait dengan power, di mana pada akhirnya pemodal kuat menguasai yang lebih lemah dan akhirnya yang lemah menjadi tidak berdaya.
Hal ini sesuai dengan teori Marxisme dan Neo-Marxisme yang meyakini bahwa liberalisme menghasilkan kapitalisme. Pasar bebas dimanfaatkan oleh orang yang lebih pandai dan yang lebih cakap untuk mengumpulkan modal. Ciri-ciri kapitalisme ialah terjadinya penumpukan modal/kapital di satu tangan (Santoso, 2010) dan praktik ini terjadi di Indonesia pada saat ini.
Sesungguhnya, pasar bebas yang menjadi iklim investasi dan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari sistem yang lebih tinggi, yakni sistem politik kenegaraan. Pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya adalah ideologi terbuka, sehingga sistem politik kita juga liberal. Sebagai subsistem, sistem ekonomi pun demikian. Suasana ekonomi liberal ini menyuburkan praktik pasar bebas, sehingga mendorong terjadinya kebebasan media massa.
Masuknya pemodal asing dan dijual-bebasnya sejumlah produk media asing di Indonesia memaksa pemodal dalam negeri dan media nasional turut meningkatkan kualitas dan semakin berorientasi pada pasar (pelanggan).
Sementara di dalam negeri, langsung ataupun tidak langsung, pemodal yang memiliki media mendapat suntikan dana asing (pinjaman lunak atau hasil dari menjual aset di luar negeri) guna meningkatkan modalnya untuk ditanam pada industri media. Sebagai contoh, pasca krisis ekonomi 1997, Bakrie Group yang kini terjun ke industri media (TVOne dan ANTV) menjual aset-asetnya di luar negeri untuk menghidupi bisnisnya di dalam negeri (Bisnis Indonesia, 13/10-2010) .
Dalam pasar bebas, terjadi pula persaingan bebas. Itulah sejumlah faktor ekonomi yang mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia. Kebebasan dalam arti kepemilikan di mana syarat-syarat kepemilikan tidak lagi diatur secara ketat dan dikontrol regulasi Pemerintah seperti Orde Baru.
Baiklah kiranya jika disepakati lebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan “sosial-budaya”. “Sosial” secara etimologis berasal dari kata Latin “socius” yang berarti: teman, sahabat, kawan . Kemudian, istilah ini diperluas menjadi “masyarakat” atau “berkenaan dengan masyarakat”.
Sementara itu, budaya menurut Edward B. Taylor (1889) adalah “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” Dengan demikian, sosial budaya ialah cara hidup dan cara berada suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia.
Pasca Reformasi, masyarakat Indonesia masuk ke dalam sebuah peradaban baru. Budaya membaca belum menjadi habit, sementara perkembangan teknologi media dan komunikasi sedemikian cepat. Hal ini menyebabkan terjadi kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota. Masyarakat kota lebih melek media, sementara masyarakat pedesaan masih belum banyak berubah; mereka masih banyak hidup secara komunal dengan media tradisional.
Akan tetapi, perlahan namun pasti, teknologi komunikasi pun menjangkau sampai penjuru pelosok tanah air. Siaran radio dan TV juga dapat ditangkap sampai pelosok. Jangkauan media massa sudah nirbatas, di mana-mana masyarakat dapat mengakses informasi dan media massa.
Interaksi sosial yang terjadi sudah tidak lagi sebatas komunal di lingkungan terbatas seperti dulu, kini orang menjadi warga dunia, sebab teknologi komunikasi membuat dunia ini menjadi sebuah big village. Inilah yang oleh ekonom sekaligus pengamat sosial Kenichi Ohmae (2008) disebut sebagai “akhir dari negara-bangsa” (the end of the nation state).
Dalam dunia yang nirbatas tersebut, orang bebas berinteraksi dan berkomunikasi kapan pun, dengan siapa pun, dan di mana pun melalui jaringan teknologi komunikasi. Orang juga bebas memilih dan menentukan media yang ingin diaksesnya.
Di sini kita melihat terjadi perubahan struktur sosial dan interaksi sosial di mana informasi dan komunikasi dihubungkan oleh sebuah jaringan sosial yang sama sekali lain dibandingkan yang sebelumnya yang kita kenal dengan istilah “masyarakat komunal” yang struktur sosial dan pola komunikasinya masih tradisional dan mengandalkan pola komunikasi tatap muka (Koentjarningrat, 1974).
Sejak masyarakat Indonesia melek teknologi multimedia terutama sekitar tahun 2000, terjadi apa yang disebut dengan online media di mana orang dapat saling berkomunikasi lewat dunia maya. Seperti dicatat Rudy Rusdiah (2004) bahwa bangsa Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota besar, sudah menjadi masyarakat informasi global. Media online (the new media) kini sudah menjadi keniscayaan, seperti internet, e-mail, face book, twitter, black berry, dan sebagainya sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan, Kompas Gramedia sudah memiliki lisensi membuka jaringan televisi digital.
Perkembangan teknologi media tersebut mendorong perubahan sosial budaya masyarakat-bangsa Indonesia juga. Perubahan sosial masyarakat Indonesia tampak dari:
1) Cara hidup yang dulunya komunal, kini lebih soliter.
2) Jika sebelumnya komunikasi interpersonal, kini komunikasi melalui media. Dulu melalui media cetak, kini melalui media digital.
3) Interaksi sosial yang dulu banyak terjadi ketika acara-acara keluarga dan acara sosial (pesta, festival, upacara, dan sebagainya) kini berubah menjadi interaksi lewat media digital.
Sementara perubahan budaya masyarakat Indonesia tampak dari:
1) Perubahan dari budaya oral ke budaya baca. Indikasinya ialah bahwa semakin hari semakin berkurangnya tingkat buta huruf dan semakin tingginya konsumsi kertas per kapita di Indonesia (Masri, 2008).
2) Perubahan dalam kebiasaan atau pola konsumsi dan penggunaan media di mana dahulu print media, perlahan-lahan beralih ke online media. Meski ada kecenderungan menurunnya oplah media cetak yang menunjukkan semakin berkurangnya konsumen, namun media cetak tidak akan mati sama sekali mengingat masing-masing media punya kelebihan dan kekurangan (Roger Fidler , 1977: 45).
3) Semakin banyaknya kepemilikan media dan semakin tingginya konsumsi media dianggap semakin menunjukkan tingkat melek medianya seseorang. Budaya seperti ini, tentu saja, menjadi faktor pendorong kebebasan media.
Pada gilirannya, perubahan struktur sosial budaya dan interaksi sosial ini mendorong kebebasan media massa. Terdapat korelasi positif antara masyarakat-media, sebab media sebagai sarana komunikasi massa tidak pernah terjadi dalam ruang yang vakum (Tjipta Lesmana, 2010).
Media ada karena adanya masyarakat. Sebaliknya, apa yang disajikan dan ditampilkan oleh media merupakan cerminan realitas sosial masyarakat dan inilah yang oleh Peter L. Berger dan Luckmann (1976) disebut sebagai “Social Construction of Reality”.
Teori “Social Construction of Reality” ini dengan jitu menjelaskan bahwa faktor sosial-budaya mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia. Dengan kata lain, apa yang disajikan media itulah cerminan realitas sosial budaya mayarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam kebebasan media, yakni: 1) media bebas dari, dan 2) media bebas untuk.
Pertama, media bebas dari regulasi pembatasan kememilikan serta bebas dari kontrol oleh Pemerintah seperti pada era Orde Baru.
Kedua, media bebas untuk memuat dan menyiarkan berita dan content lainnya asalkan mematuhi etika profesi dan menaati hukum yang berlaku di negeri ini.
***
Sementara tekanan itu bertubi-tubi, gugatan media massa atas Pemerintah berlangsung dan didukung tokoh nasional. Sebut saja sebagai contoh Adnan Buyung Nasution, hakim Benyamin Mangkoedilaga yang memenangkan kasus Tempo di tingkat pengadilan tinggi, dan dukungan Amien Rais baik melalui pernyataan dan komentarnya di media atas kebebasan media. Tokoh nasional ini berkolaborasi dengan dengan media, membuat tekanan politik sedemikian rupa pada Pemerintah.
Lalu menyatu dengan perjuangan dan kekuatan mahasiswa yang memperjuangkan kebebasan dalam segala macam bentuk, termasuk kebebasan untuk menyatakan pendapat, sehingga menjadi kekuatan massa rakyat. Di mana pun di muka bumi ini, tidak pernah ada kekuatan Pemerintahan yang kuasa menahan kekuatan massa rakyat (people power). Sebagai contoh, kekuatan rakyat melawan diktator Filipina Marcos, kekuatan rakyat melawan komunisme Uni Sovyet, dan sebagainya.
Kebencian yang lama terpendam karena kebebasan mereka dikungkung dan hasrat untuk hidup merdeka, mendorong sejumlah kekuatan massa bersatu, lalu kekuatan tersebut mndorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.
Regulasi dan kontrol pemerintah atas media massa dicabut. Puncaknya, ketika Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan sebagai simbol kontrol Pemerintah atas media massa. Di negara yang komunis dan negara yang Pemerintahannya dominan, ada Politboro. Ketika Departemen Penerangan dibubarkan, maka itulah puncak dari kekuatan politik yang merupakan perjuangan lama dari akar rumput dan kekuatan-kekuatan massa untuk menentang dominasi dan kontrol Negara (Pemerintah)atas media dan arus informasi.
Itulah faktor-faktor politik yang mengondisikan atau yang menyebabkan terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.
Kebebasan media massa terjadi hampir bersamaan waktunya dengan krisis moneter yang menerpa bangsa Indonesia pada 1997. Sebagaimana yang diketahui bahwa krisis moneter menyebabkan Pemerintah Indonesia harus meminta pihak luar, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF), untuk membantu mengatasi krisis.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan campur tangan IMF pada krisis ekonomi nasional? Yang dilakukan IMF sebenarnya sesuatu yang sangat sederhana: memberikan kucuran dana secara ketengan untuk sekadar membantu persediaan devisa Indonesia (Oppusunggu, 1999: 85). Namun, kompensasi dan akibatnya luar biasa: Indonesia sepenuhnya tergantung pada pihak lain, dan pihak yang memberikan bantuan punya agenda tertentu sebagai kompensasinya. Hal ini ditandai dengan penandatanganan letter of intent (LOI) pada 15 Januari 1998 di Jl. Cendana oleh Presiden Soeharto di depan Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus (Pabottingi, op.cit., hal. 25).
Menurut guru besar Universitas Indonesia yang juga pakar ilmu keuangan, Prof. Dr. Anwar Nasution, 50 butir kesepakatan dengan IMF tersebut adalah GBHN kita di masa depan (Kompas, 20 Oktober 1998). Dan benar saja, masuknya dana bantuan IMF serta merta membuka pintu bagi masuknya investor asing ke Indonesia.
Beriringan dengan itu pula banyak pemodal asing menanamkan investasinya di Indonesia, bahkan ada yang menguasai sektor tertentu perekonomian nasional. Dengan kata lain, Indonesia mulai membuka diri bagi pasar bebas dan ekonomi pasar terjadi di sana di mana ekonomi kapitalisme mulai bekerja.
Bagi media massa, efeknya jelas terasa. Lisensi atau imprint media massa yang terbit dan berbasis di luar negeri dapat dengan mudah masuk Indonesia. Sebagai contoh, ada edisi Indonesia majalah Play Boy dan Readers’ Digest; sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali. Dan bersamaan dengan itu di gerai-gerai toko, terminal, dan stasiun dapat ditemukan majalah, tabloid, dan surat kabar asing.
Adanya edisi Indonesia media asing tersebut dan masuknya majalah, tabloid, dan surat kabar asing turut meramaikan persaingan komoditas dan kepemilikan kapital. Paham liberalisme dan pasar bebas tidak dapat terhindarkan lagi praktiknya di Indonesia. Di tengah-tengah banyaknya pilihan media, masyarakat akan menentukan manakah media yang berguna dan memuaskannya. Hal ini sesuai dengan teori dalam ilmu komunikasi yakni “Uses and Gratification” (Katz) bahwa media yang tidak menyajikan menu sebagaimana yang dibutuhkan audience dan tidak dapat memuaskan mereka, maka kematian media tersebut hanyalah persoalan waktu (Tjipta Lesmana, 2010).
Masuknya pemodal besar (kapitalisme) ke industri media merupakan suatu keniscayaan dalam suasana ekonomi pasar bebas. Fenomena inilah yang diobservasi dan menarik perhatian para alumni Frankfurt School ketika migrasi ke Amerika Serikat menghindari Nazi, mereka menemukan bahwa situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda dengan di Jerman (Santoso, 2010).
Jika di Jerman, pada masa Nazizme dan Fasisme media dikontrol Pemerintah (negara), maka di Amerika tidaklah demikian. Media menjadi produk budaya, sekaligus menjadi pilar demokrasi. Yang menarik, para alumni Sekolah Frankfurt melihat bahwa kepemilikan media di Amerika berada di tangan kaum kapitalis.
Mereka mengembangkan teori sosial mengenai pentingnya kultur budaya dan komunikasi massa dalam reproduksi dan dominasi sosial. Mereka melihat dan mempelajari bagaimana budaya dan komunikasi melahirkan masyarakat tertentu dan bagaimana dominasi kelas-kelas tertentu terhadap masyarakat. Budaya dan komunikasi dapat memproduksi masyarakat tertentu dan kelas-kelas tertentu. Budaya dan komunikasi melahirkan kelas sosial dan perubahan-perubahan sosial.
Observasi dan teori para alumni Sekolah Frankfurt mengenai kepemilikan media di negara yang menganut ekonomi liberal-kapitalisme seperti Amerika Serikat, terjadi pula di Indonesia. Masuknya kaum kapitalis ke industri media, tentu saja secara otomatis menyatukan dua kekuatan sekaligus: pemodal dan kekuasaan di dalam mempengaruhi opini publik.
Hal inilah yang oleh pakar ekonomi-politik Jeffrey A. Winters (1999) disebut dengan “Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa” . Winters mengamati bahwa mobilisasi investasi di Indonesia terkait dengan power, di mana pada akhirnya pemodal kuat menguasai yang lebih lemah dan akhirnya yang lemah menjadi tidak berdaya.
Hal ini sesuai dengan teori Marxisme dan Neo-Marxisme yang meyakini bahwa liberalisme menghasilkan kapitalisme. Pasar bebas dimanfaatkan oleh orang yang lebih pandai dan yang lebih cakap untuk mengumpulkan modal. Ciri-ciri kapitalisme ialah terjadinya penumpukan modal/kapital di satu tangan (Santoso, 2010) dan praktik ini terjadi di Indonesia pada saat ini.
Sesungguhnya, pasar bebas yang menjadi iklim investasi dan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari sistem yang lebih tinggi, yakni sistem politik kenegaraan. Pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya adalah ideologi terbuka, sehingga sistem politik kita juga liberal. Sebagai subsistem, sistem ekonomi pun demikian. Suasana ekonomi liberal ini menyuburkan praktik pasar bebas, sehingga mendorong terjadinya kebebasan media massa.
Masuknya pemodal asing dan dijual-bebasnya sejumlah produk media asing di Indonesia memaksa pemodal dalam negeri dan media nasional turut meningkatkan kualitas dan semakin berorientasi pada pasar (pelanggan).
Sementara di dalam negeri, langsung ataupun tidak langsung, pemodal yang memiliki media mendapat suntikan dana asing (pinjaman lunak atau hasil dari menjual aset di luar negeri) guna meningkatkan modalnya untuk ditanam pada industri media. Sebagai contoh, pasca krisis ekonomi 1997, Bakrie Group yang kini terjun ke industri media (TVOne dan ANTV) menjual aset-asetnya di luar negeri untuk menghidupi bisnisnya di dalam negeri (Bisnis Indonesia, 13/10-2010) .
Dalam pasar bebas, terjadi pula persaingan bebas. Itulah sejumlah faktor ekonomi yang mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia. Kebebasan dalam arti kepemilikan di mana syarat-syarat kepemilikan tidak lagi diatur secara ketat dan dikontrol regulasi Pemerintah seperti Orde Baru.
Baiklah kiranya jika disepakati lebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan “sosial-budaya”. “Sosial” secara etimologis berasal dari kata Latin “socius” yang berarti: teman, sahabat, kawan . Kemudian, istilah ini diperluas menjadi “masyarakat” atau “berkenaan dengan masyarakat”.
Sementara itu, budaya menurut Edward B. Taylor (1889) adalah “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” Dengan demikian, sosial budaya ialah cara hidup dan cara berada suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia.
Pasca Reformasi, masyarakat Indonesia masuk ke dalam sebuah peradaban baru. Budaya membaca belum menjadi habit, sementara perkembangan teknologi media dan komunikasi sedemikian cepat. Hal ini menyebabkan terjadi kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota. Masyarakat kota lebih melek media, sementara masyarakat pedesaan masih belum banyak berubah; mereka masih banyak hidup secara komunal dengan media tradisional.
Akan tetapi, perlahan namun pasti, teknologi komunikasi pun menjangkau sampai penjuru pelosok tanah air. Siaran radio dan TV juga dapat ditangkap sampai pelosok. Jangkauan media massa sudah nirbatas, di mana-mana masyarakat dapat mengakses informasi dan media massa.
Interaksi sosial yang terjadi sudah tidak lagi sebatas komunal di lingkungan terbatas seperti dulu, kini orang menjadi warga dunia, sebab teknologi komunikasi membuat dunia ini menjadi sebuah big village. Inilah yang oleh ekonom sekaligus pengamat sosial Kenichi Ohmae (2008) disebut sebagai “akhir dari negara-bangsa” (the end of the nation state).
Dalam dunia yang nirbatas tersebut, orang bebas berinteraksi dan berkomunikasi kapan pun, dengan siapa pun, dan di mana pun melalui jaringan teknologi komunikasi. Orang juga bebas memilih dan menentukan media yang ingin diaksesnya.
Di sini kita melihat terjadi perubahan struktur sosial dan interaksi sosial di mana informasi dan komunikasi dihubungkan oleh sebuah jaringan sosial yang sama sekali lain dibandingkan yang sebelumnya yang kita kenal dengan istilah “masyarakat komunal” yang struktur sosial dan pola komunikasinya masih tradisional dan mengandalkan pola komunikasi tatap muka (Koentjarningrat, 1974).
Sejak masyarakat Indonesia melek teknologi multimedia terutama sekitar tahun 2000, terjadi apa yang disebut dengan online media di mana orang dapat saling berkomunikasi lewat dunia maya. Seperti dicatat Rudy Rusdiah (2004) bahwa bangsa Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota besar, sudah menjadi masyarakat informasi global. Media online (the new media) kini sudah menjadi keniscayaan, seperti internet, e-mail, face book, twitter, black berry, dan sebagainya sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan, Kompas Gramedia sudah memiliki lisensi membuka jaringan televisi digital.
Perkembangan teknologi media tersebut mendorong perubahan sosial budaya masyarakat-bangsa Indonesia juga. Perubahan sosial masyarakat Indonesia tampak dari:
1) Cara hidup yang dulunya komunal, kini lebih soliter.
2) Jika sebelumnya komunikasi interpersonal, kini komunikasi melalui media. Dulu melalui media cetak, kini melalui media digital.
3) Interaksi sosial yang dulu banyak terjadi ketika acara-acara keluarga dan acara sosial (pesta, festival, upacara, dan sebagainya) kini berubah menjadi interaksi lewat media digital.
Sementara perubahan budaya masyarakat Indonesia tampak dari:
1) Perubahan dari budaya oral ke budaya baca. Indikasinya ialah bahwa semakin hari semakin berkurangnya tingkat buta huruf dan semakin tingginya konsumsi kertas per kapita di Indonesia (Masri, 2008).
2) Perubahan dalam kebiasaan atau pola konsumsi dan penggunaan media di mana dahulu print media, perlahan-lahan beralih ke online media. Meski ada kecenderungan menurunnya oplah media cetak yang menunjukkan semakin berkurangnya konsumen, namun media cetak tidak akan mati sama sekali mengingat masing-masing media punya kelebihan dan kekurangan (Roger Fidler , 1977: 45).
3) Semakin banyaknya kepemilikan media dan semakin tingginya konsumsi media dianggap semakin menunjukkan tingkat melek medianya seseorang. Budaya seperti ini, tentu saja, menjadi faktor pendorong kebebasan media.
Pada gilirannya, perubahan struktur sosial budaya dan interaksi sosial ini mendorong kebebasan media massa. Terdapat korelasi positif antara masyarakat-media, sebab media sebagai sarana komunikasi massa tidak pernah terjadi dalam ruang yang vakum (Tjipta Lesmana, 2010).
Media ada karena adanya masyarakat. Sebaliknya, apa yang disajikan dan ditampilkan oleh media merupakan cerminan realitas sosial masyarakat dan inilah yang oleh Peter L. Berger dan Luckmann (1976) disebut sebagai “Social Construction of Reality”.
Teori “Social Construction of Reality” ini dengan jitu menjelaskan bahwa faktor sosial-budaya mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia. Dengan kata lain, apa yang disajikan media itulah cerminan realitas sosial budaya mayarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam kebebasan media, yakni: 1) media bebas dari, dan 2) media bebas untuk.
Pertama, media bebas dari regulasi pembatasan kememilikan serta bebas dari kontrol oleh Pemerintah seperti pada era Orde Baru.
Kedua, media bebas untuk memuat dan menyiarkan berita dan content lainnya asalkan mematuhi etika profesi dan menaati hukum yang berlaku di negeri ini.
***
Jumat, 28 Januari 2011
Uses and Gratification Theory dan Penerapannya di Indonesia
Teori tidaklah muncul tiba-tiba, tetapi teori dibangun melalui proses dan tahapan dialektika seperti ditegaskan Paul Carlile (2005) “The building of theory occurs in two major stages – the descriptive stage and the normativestage. Within each of these stages, theory builders proceed through three steps. The the theory building process iterates through these three steps again and again.”
Teori berproses setelah melalui observasi, klasifikasi, dan korelasi satu sama lain.
- Relationship: hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain.
- Klasifikasi/kategorisasi: mencari variabel-variabel, lalu membuat kategori dari variabel tersebut. Misalnya, kaya-miskin, laki-perempuan, anak-dewasa, pendidikan (sarjana –nonsarjana).
- Observasi: lama, di berbagai tempat, beragam.
Demikian halnya teori Uses and Gratification menjadi teori karena berlaku universal dan merupakan sistem abstrak dari konsep dan antarhubungannya satu sama lain untuk memahami fenomena di lingkup komunikasi.
Teori Uses and Gratification dibangun berdasarkan konsep dan model yang digunakan dalam komunikasi untuk menganalisis teknologi dan masyarakat secara sinergi atau interdepedensi sebagaimana dikemukakan Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss (2009: 978) ”Uses, gratifications, and depedency theories arise from a line work that focuses on the interdependent relationship among the media system, the larger social system, and the media audience.”
***
Pada 1974, teori Uses and Gratification digagas dan dikembangkan oleh Elihu Katz, Jay Blumler, dan Michael Gurevitch dari teori Abraham Maslow mengenai Hierarki Kebutuhan yang membeberkan kecenderungan bahwa orang memilih apa yang mereka ingin lihat atau ingin baca dan media yang berbeda bersaing untuk memuaskan setiap "kebutuhan” individu.
Secara lebih spesisik, teori ini berupaya menjelaskan fenomena bagaimana orang menggunakan media (what people do with media) untuk memuaskan kebutuhan mereka (Littlejohn dan Karen A. Foss, 2009: 979).
Teori Uses and Gratification merupakan antitesis atau lawan dari teori “teori jarum suntik” atau "hypodermic needle theory" dalam konteks Agenda Setting . Uses and Gratification merupakan kebalikan dari teori "hypodermic needle theory" yang meyakini bahwa manfaat atau power suatu media adalah relatif, tidak terlalu powerful sebagaimana yang dibayangkan orang dan media tunduk pada kemauan atau aspirasi khalayak.
Denis McQuail (McQuail 1987: 73) dalam sebuah studi empiris mengenai teori Uses and Gratification, mencatat terdapat empat hal yang menjadi alasan orang menonton program televisi yakni: (1) dari sudut manfaat dan kepuasan akan informasi, (2) menemukan identitas personal, 3) integrasi dan interaksi sosial, dan (4) memuaskan rasa haus akan hiburan.
Dari sudut informasi, khalayak mendapat manfaat dan akan dipuaskan jika mereka menemukan peristiwa yang relavan dengan kondisi mereka pada saat itu juga, peristiwa mengenai masyarakat dan dunia yang relevan dengan mereka, memuaskan rasa ingin tahu, mereka dapat belajar, dan mendapat pendidikan.
Dari sudut identitas personal, khalayak akan merasa suatu media berguna dan memuaskan apabila mereka menemukan penguatan akan nilai-nilai pribadi ketika berinteraksi dengan media, menemukan model perilaku, mengidentifikasi dengan memberi nilai, dan mendapatkan wawasan tentang konsep diri.
Dari sudut integrasi dan interaksi sosial, khalayak akan merasa suatu media berguna dan memuaskan apabila mereka memperoleh empati sosial dan dapat melihat lingkungan sekitar, mengidentifikasi sesama dan mendapat sense of belonging, menemukan basis untuk berbicara dan berinteraksi sosial, menjadi bagian hidup-nyata, memampukan khalayak untuk berkontak dan berinteraksi sosial dengan keluarga, teman, dan masyarakat.
Dari sudut hiburan, khalayak akan merasa suatu media berguna dan memuaskan apabila mereka dapat menjadikan media sebagai “pelarian”, lupa persoalan, relaksasi, menikmati estetika seni dan kehidupan, dan mengisi waktu.
Studi McQuail di atas khusus untuk program televisi. Namun, hasil studi tersebut berlaku pula untuk media lain. Apabila media tidak atau kurang memperhatikan keempat aspek di atas, dan tidak dapat memuaskan khalayak, maka media akan ditinggalkan khalayak dengan sendirinya.
***
Teori Uses and Gratification, meski berusia hampir empat dasawarsa, masih relevan hingga saat ini. Teori ini sangat cocok untuk menjelaskan fenomena kematian dan eksistensi media di Indonesia.
Kita menyaksikan bahwa begitu Orde Baru tumbang, bermunculan bagai jamur di musim hujan media di Indonesia, baik media analog maupun digital. Tetapi pada waktu bersamaan, banyak media yang ditinggalkan khayalak. Mengapa terjadi dua ekstrem ini? Teori Uses and Gratification ini dapat menjelaskannya.
Teori Uses and Gratification juga sangat cocok untuk menjelaskan fenomena media cetak di Indonesia yang kurang diminati masyarakat. Lihat saja koran yang berafiliasi atau didanai pemerintah, cenderung "tidak disentuh" karena isinya yang pro atau bias pada penyandang modal.
Daftar Pustaka
Carlile, Paul R. (2005). “The Cycles of Theory Building in Management Research”, School Of Management Boston University.
McQuail, Denis. (1987). Mass Communication Theory. London: Sage.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. (2009). Encyclopedia of Communication Theory. Los Angeles: Sage.
Staiger, Janet. (2005). Media Reception Studies. New York: new York University Press.
http://www.nd.edu/~mcoppedg/crd/mpsacopp02.pdf, diunduh 26/01-2011 pukul 10.36
http://www.innosight.com/documents/Theory%20Building.pdf diunduh 27/01-2011 pukul 09.32
http://www.rdillman.com/HFCL/TUTOR/Media/media2.html diunduh 27/01-2011 pukul 10.20
http://www.oocities.com/cs_notes/UnG.htm diunduh 27/01-2011 diunduh pukul 10.36
Teori berproses setelah melalui observasi, klasifikasi, dan korelasi satu sama lain.
- Relationship: hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain.
- Klasifikasi/kategorisasi: mencari variabel-variabel, lalu membuat kategori dari variabel tersebut. Misalnya, kaya-miskin, laki-perempuan, anak-dewasa, pendidikan (sarjana –nonsarjana).
- Observasi: lama, di berbagai tempat, beragam.
Demikian halnya teori Uses and Gratification menjadi teori karena berlaku universal dan merupakan sistem abstrak dari konsep dan antarhubungannya satu sama lain untuk memahami fenomena di lingkup komunikasi.
Teori Uses and Gratification dibangun berdasarkan konsep dan model yang digunakan dalam komunikasi untuk menganalisis teknologi dan masyarakat secara sinergi atau interdepedensi sebagaimana dikemukakan Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss (2009: 978) ”Uses, gratifications, and depedency theories arise from a line work that focuses on the interdependent relationship among the media system, the larger social system, and the media audience.”
***
Pada 1974, teori Uses and Gratification digagas dan dikembangkan oleh Elihu Katz, Jay Blumler, dan Michael Gurevitch dari teori Abraham Maslow mengenai Hierarki Kebutuhan yang membeberkan kecenderungan bahwa orang memilih apa yang mereka ingin lihat atau ingin baca dan media yang berbeda bersaing untuk memuaskan setiap "kebutuhan” individu.
Secara lebih spesisik, teori ini berupaya menjelaskan fenomena bagaimana orang menggunakan media (what people do with media) untuk memuaskan kebutuhan mereka (Littlejohn dan Karen A. Foss, 2009: 979).
Teori Uses and Gratification merupakan antitesis atau lawan dari teori “teori jarum suntik” atau "hypodermic needle theory" dalam konteks Agenda Setting . Uses and Gratification merupakan kebalikan dari teori "hypodermic needle theory" yang meyakini bahwa manfaat atau power suatu media adalah relatif, tidak terlalu powerful sebagaimana yang dibayangkan orang dan media tunduk pada kemauan atau aspirasi khalayak.
Denis McQuail (McQuail 1987: 73) dalam sebuah studi empiris mengenai teori Uses and Gratification, mencatat terdapat empat hal yang menjadi alasan orang menonton program televisi yakni: (1) dari sudut manfaat dan kepuasan akan informasi, (2) menemukan identitas personal, 3) integrasi dan interaksi sosial, dan (4) memuaskan rasa haus akan hiburan.
Dari sudut informasi, khalayak mendapat manfaat dan akan dipuaskan jika mereka menemukan peristiwa yang relavan dengan kondisi mereka pada saat itu juga, peristiwa mengenai masyarakat dan dunia yang relevan dengan mereka, memuaskan rasa ingin tahu, mereka dapat belajar, dan mendapat pendidikan.
Dari sudut identitas personal, khalayak akan merasa suatu media berguna dan memuaskan apabila mereka menemukan penguatan akan nilai-nilai pribadi ketika berinteraksi dengan media, menemukan model perilaku, mengidentifikasi dengan memberi nilai, dan mendapatkan wawasan tentang konsep diri.
Dari sudut integrasi dan interaksi sosial, khalayak akan merasa suatu media berguna dan memuaskan apabila mereka memperoleh empati sosial dan dapat melihat lingkungan sekitar, mengidentifikasi sesama dan mendapat sense of belonging, menemukan basis untuk berbicara dan berinteraksi sosial, menjadi bagian hidup-nyata, memampukan khalayak untuk berkontak dan berinteraksi sosial dengan keluarga, teman, dan masyarakat.
Dari sudut hiburan, khalayak akan merasa suatu media berguna dan memuaskan apabila mereka dapat menjadikan media sebagai “pelarian”, lupa persoalan, relaksasi, menikmati estetika seni dan kehidupan, dan mengisi waktu.
Studi McQuail di atas khusus untuk program televisi. Namun, hasil studi tersebut berlaku pula untuk media lain. Apabila media tidak atau kurang memperhatikan keempat aspek di atas, dan tidak dapat memuaskan khalayak, maka media akan ditinggalkan khalayak dengan sendirinya.
***
Teori Uses and Gratification, meski berusia hampir empat dasawarsa, masih relevan hingga saat ini. Teori ini sangat cocok untuk menjelaskan fenomena kematian dan eksistensi media di Indonesia.
Kita menyaksikan bahwa begitu Orde Baru tumbang, bermunculan bagai jamur di musim hujan media di Indonesia, baik media analog maupun digital. Tetapi pada waktu bersamaan, banyak media yang ditinggalkan khayalak. Mengapa terjadi dua ekstrem ini? Teori Uses and Gratification ini dapat menjelaskannya.
Teori Uses and Gratification juga sangat cocok untuk menjelaskan fenomena media cetak di Indonesia yang kurang diminati masyarakat. Lihat saja koran yang berafiliasi atau didanai pemerintah, cenderung "tidak disentuh" karena isinya yang pro atau bias pada penyandang modal.
Daftar Pustaka
Carlile, Paul R. (2005). “The Cycles of Theory Building in Management Research”, School Of Management Boston University.
McQuail, Denis. (1987). Mass Communication Theory. London: Sage.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. (2009). Encyclopedia of Communication Theory. Los Angeles: Sage.
Staiger, Janet. (2005). Media Reception Studies. New York: new York University Press.
http://www.nd.edu/~mcoppedg/crd/mpsacopp02.pdf, diunduh 26/01-2011 pukul 10.36
http://www.innosight.com/documents/Theory%20Building.pdf diunduh 27/01-2011 pukul 09.32
http://www.rdillman.com/HFCL/TUTOR/Media/media2.html diunduh 27/01-2011 pukul 10.20
http://www.oocities.com/cs_notes/UnG.htm diunduh 27/01-2011 diunduh pukul 10.36
Senin, 24 Januari 2011
Mediamorfosis: Ancaman atau Peluang? Contoh Kasus Kompas Edisi Cetak dan Kompas Online
Tidak ada yang tetap di dunia ini, yang tetap ialah perubahan itu sendiri (Heracleitos, 540-480 SM). Pernyataan Heracleitos dalam bahasa Yunani “ta panta rhei kai ouden menei” ini sering dikutip orang ketika menjelaskan mengenai perubahan. Bahwa perubahan adalah keniscayaan yang tidak dapat untuk dihindari.
Perubahan (changes) menurut Paul Stoltz (1997) selalu mengandung dua kemungkinan, yakni ancaman dan peluang. Orang yang pesimis melihat bahwa perubahan adalah sesuatu yang mengancam. Sebaliknya, orang yang optimis akan melihat perubahan sebagai peluang. Itu sebabnya, Stoltz, (op.cit.) menganjurkan agar orang yang optimistik hendaknya dapat, “turning obstacles into opportunities”, mengubah tantangan menjadi peluang.
Apakah perubahan dari media konvensional ke the new media/media digital mengancam atau justru membuka peluang? Inilah status questionis yang diangkat dan coba dijawab dalam respons paper ini.
Pengertian dan Ruang Lingkup “Mediamorfosis”
Secara etimologis, mediamorfosis berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media” (jamak) yang berarti: pertengahan, tengah, pusat (K. Prent, et al., 1969: 525). Adapun “morfosis” berasal dari kata Yunani μορφόω (morfoein) yang berarti: bentuk atau penampilan.
Dengan demikian, mediamorfosis dapat diartikan sebagai: satu kesatuan pemikiran terhadap evolusi teknologi media komunikasi. Di Indonesia, evolusi teknologi media komunikasi ini mulai pada akhir tahun 1990-an, ketika internet mulai merasuki kehidupan umat manusia. Sejak itu, era digitalisasi seakan-akan merupakan suatu keniscayaan menggantikan media konvensional seiring dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat dunia. Dengan demikian, perubahan evolusi bukan hanya terjadi pada alat, melainkan juga pada cara berada dan cara hidup manusia. Dalam konteks ini, manusia disebut sebagai koevolusi dan koeksistensi perkembangan teknologi komunikasi.
Evolusi Media: Dari Media Konvensional ke The New Media
Media adalah alat komunikasi untuk menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal (Laswell, 1902-1978). Terutama sejak mesin cetak ditemukan Gutenberg (1450) upaya menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal tersebut berkembang pesat. Jika sebelumnya teknologi hanya dapat menggandakan atau menduplikasikan beberapa kopi, sejak mesin cetak ditemukan, terjadi mediamorfosis. Sebelumnya, orang menyampaikan pesan dan atau informasi melalui media batu, daun lontar, pilar, dan vellum (kulit binatang); sejak mesin cetak ditemukan, media tersebut perlahan-lahan ditinggalkan, namun juga terus-menerus beradaptasi.
Penting diberikan catatan bahwa dalam media selalu terdapat dua unsur penting, yakni pesan atau informasi (content) dan alat penyampaiannya yang disebut media. Pada saat mesin cetak ditemukan, mesin cetak ini dapat menggandakan sejumlah besar kopi dari content yang sama sehingga dapat menyampaikan pesan dan atau informasi yang sama dalam waktu yang bersamaan.
Media tidak hidup sendirian, ia berkonvergensi dengan media lain, masing-masing dengan domain-nya (Fidler, 1997: 45). Sebagai contoh, media cetak media cetak hidup dan tumbuh bersama dengan media elektronika. Sesuai dengan teori Uses and Gratification (Blumer dan Katz, 1974), sesungguhnya setiap media dapat bertahan hidup karena mempunyai kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Masalahnya, bagaimana pengelola media dapat menangkap peluang dari perubahan yang terjadi? Dengan kata lain, bagaimana mediamorfosis disikapi secara kreatif, dengan mengubah tantangan menjadi peluang?
Teori Uses and Gratification menyebutkan bahwa kematian media hanyalah persoalan waktu apabila pengelolanya tidak dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan media tersebut tidak memperhatikan apa yang dibutuhkan khalayak serta tidak dapat memuaskan mereka (Tjipta Lesmana, 2010). Oleh karena itu, mediamorfosis sebagai keniscayaan bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan, yang penting bagaimana kita menyikapinya. Sikap terbaik dan terbijak ialah koeksistensi dan koevolusi dengan mediamorfosis.
Mediamorfosis adalah evolusi yang terjadi secara gradual seiring dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Seperti dicatat Fidler (loc.cit.), sesungguhnya setiap media mempunyai keterbatasan dan kelebihannya masing-masing. Dinamika dan perkembangan masyarakat ini kemudian membentuk media literacy sebab, “Media literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the message we encounter” (James Potter, 2008: 19).
Tidak saling mematikan (kanibalisme), akan tetapi memang ada kecenderungan di dalam proses mediamorfosis tersebut satu medium “memangsa” medium yang lain baik ditinjau dari sisi pasar maupun belanja iklan. Kecenderungan seperti itu terjadi di Indonesia terutama sejak pengujung tahun 1997, ketika masyarakat Indonesia mulai melek media elektronika. Hal ini dipicu oleh perkembangan teknologi informasi (TI) yang sangat cepat dan massif sehingga mengubah pula tatanan, struktur, dan kehidupan masyarakat dunia, khususnya komunitas telematika.
Koeksistensi dan koevolusi dengan perkembangan komunitas telematika, publik internet yang di Indonesia populer dengan nama warung internet (warnet) atau cyber café sangatlah strategis dan berperanan besar dalam proses mediamorfosis. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 42% pengakes internet di Indonesia melakukan komunikasi via cyber café sehingga komunikasi lewat jaringan ini tidak lagi dibatasi oleh waktu, ruang, dan tempat (Rudy Rusdiah, 2004:3).
Kompas Cyber Media sebagai Contoh Kasus
Mencermati, sekaligus merespons perubahan tersebut, media konvensional mulai berbenah diri. Hal ini sesuai dengan adagium Heracleitos yang mengatakan bahwa perubahan tidak dapat dibandung dan terus-menerus terjadi, siapa yang tidak dapat menyiasati perubahan, akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Karena itu, media massa konvensional seperti Kompas (print media) pada 1995 mulai menghadirkan koran cetaknya ke jaringan global lewat Kompas Online (Ninok Leksono, 2007: 266).
Menyadari bahwa dunia tengah berubah dan bergerak ke komunikasi via cyber, Kompas kemudian mendirikan Kompas Cyber Media (KCM) pada 6 Agustus 1998 yang memungkinkan Kompas untuk mengeksploitasi teknologi internet. Selain memuat isi atau content Kompas edisi cetak, KCM juga memuat berita-berita lain yang sudah di-up date.
Apa yang dilakukan Kompas jika diperhatikan dengan saksama sesuai dengan apa yang diyakini oleh Sola Pool bahwa jika mau tetap eksis dan berkembang, maka media konvensional seperti Kompas edisi cetak haruslah mengajak orang untuk membayangkan masa depan. Yakni mengarah ke sistem besar World Wide Web di mana “semua konten disimpan secara digital, disampaikan melalui jaringan, dan diakses melalui alat elektronik (Leksono, op.cit, hlm. 279).
Dalam proses mediamorfosis ini, Kompas sekaligus menerapkan konvergensi media seperti dilukiskan oleh Sola Pool. Dalam bukunya Technologies of Freedom (1983), Pool secara tepat dan cermat meletakkan konsep dasar konvergensi.
A process called “convergence of models” is bluring the lines between media, even between point-to-point communications, such as the post, telephone dan telegraph, and mass communications, such as press, radio, dan television. A Single physical means –be it wires, cables or airwaves—may carry services that in the past were provided in separate ways. Conversely, a services that was provided in the past by any one medium—be it broadcasting, the press, or telephony—can now be provided in several different physical ways. So one-to-one relationship that used to exist between a medium and it use is eroding (Pool, op.cit., hlm. 23).
Untuk saat ini, Kompas edisi kovensional dan Kompas.com (Kompas Online) saling melengkapi, bukan saling membunuh. Di sini kita melihat bahwa mediamorfosis di satu pihak adalah ancaman, tetapi di pihak lain sekaligus peluang. Untuk itu, ke depan Kompas menuju ke konvergensi dan multimedia (Leksono, op.cit., hlm, 277-282).
***
Media baru tidaklah lahir atau muncul mendadak dan tiba-tiba begitu saja, akan tetapi media meskipun dinamakan “baru” tersebut muncul secara gradual secara metamorfosis dari media lama (media konvensional). Mediamorfosisi adalah keniscayaan, tidak dapat dihindari, sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan dinamika masyarakat.
Jika mediamorfosis berarti perubahan evolutif, baik dalam hal penampilan maupun dalam fungsi suatu medium, maka Harian Kompas adalah contoh mediamorfosis. Sebagai salah satu market leader media cetak yang menurut Fidler domainnya adalah document, Kompas sudah koeksistensi dan koevolusi dengan perkembangan teknologi dan perkembangan masyarakat. Inilah sebabnya Kompas dapat bertahan dan terus berkembang meski dalam pusaran arus turbulen sekalipun.
Daftar Pustaka
Blumler J.G. & Katz, E. (1974), “The uses of mass communications: Current perspectives on ratifications research” . Beverly Hills, CA: Sage.
Hui Kyong Chun, Wendy dan Thomas Keenan (ed.). (2006). New Media A, Old Media: History and Theory Reader. New York: Routledge.
Fidler, Roger. (1997). Mediamorphosis: Undestanding New Media. California: Pine Forge Press.
Jenkins, Henry. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
Leksono, Ninok. (2007). “Surat Kabar di Tengah Era Baru Media & Jurnalistik” dalam Kompas, Menulis dari Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Pool, Ithiel de Sola. (1983). Technologies of Freedom. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Potter, W. James. (2008). Media Literacy. California: Sage.
K. Prent, dkk. (1969). Kamus Latin-Indonesia. Ende-Jogjakarta: Nusa Indah-Kanisius.
Lesmana, Tjipta. (2010). Perkuliahan “Teori Komunikasi”, Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan.
Rusdiah, Rudy. (2004). Multipurpose Community Internet Center: Prospek Warnet Masa Depan. Jakarta: PT Grasindo.
Stoltz, Paul. (1997). Adversity Quotient: Turning Osbtacles into Opportunities. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Perubahan (changes) menurut Paul Stoltz (1997) selalu mengandung dua kemungkinan, yakni ancaman dan peluang. Orang yang pesimis melihat bahwa perubahan adalah sesuatu yang mengancam. Sebaliknya, orang yang optimis akan melihat perubahan sebagai peluang. Itu sebabnya, Stoltz, (op.cit.) menganjurkan agar orang yang optimistik hendaknya dapat, “turning obstacles into opportunities”, mengubah tantangan menjadi peluang.
Apakah perubahan dari media konvensional ke the new media/media digital mengancam atau justru membuka peluang? Inilah status questionis yang diangkat dan coba dijawab dalam respons paper ini.
Pengertian dan Ruang Lingkup “Mediamorfosis”
Secara etimologis, mediamorfosis berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media” (jamak) yang berarti: pertengahan, tengah, pusat (K. Prent, et al., 1969: 525). Adapun “morfosis” berasal dari kata Yunani μορφόω (morfoein) yang berarti: bentuk atau penampilan.
Dengan demikian, mediamorfosis dapat diartikan sebagai: satu kesatuan pemikiran terhadap evolusi teknologi media komunikasi. Di Indonesia, evolusi teknologi media komunikasi ini mulai pada akhir tahun 1990-an, ketika internet mulai merasuki kehidupan umat manusia. Sejak itu, era digitalisasi seakan-akan merupakan suatu keniscayaan menggantikan media konvensional seiring dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat dunia. Dengan demikian, perubahan evolusi bukan hanya terjadi pada alat, melainkan juga pada cara berada dan cara hidup manusia. Dalam konteks ini, manusia disebut sebagai koevolusi dan koeksistensi perkembangan teknologi komunikasi.
Evolusi Media: Dari Media Konvensional ke The New Media
Media adalah alat komunikasi untuk menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal (Laswell, 1902-1978). Terutama sejak mesin cetak ditemukan Gutenberg (1450) upaya menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal tersebut berkembang pesat. Jika sebelumnya teknologi hanya dapat menggandakan atau menduplikasikan beberapa kopi, sejak mesin cetak ditemukan, terjadi mediamorfosis. Sebelumnya, orang menyampaikan pesan dan atau informasi melalui media batu, daun lontar, pilar, dan vellum (kulit binatang); sejak mesin cetak ditemukan, media tersebut perlahan-lahan ditinggalkan, namun juga terus-menerus beradaptasi.
Penting diberikan catatan bahwa dalam media selalu terdapat dua unsur penting, yakni pesan atau informasi (content) dan alat penyampaiannya yang disebut media. Pada saat mesin cetak ditemukan, mesin cetak ini dapat menggandakan sejumlah besar kopi dari content yang sama sehingga dapat menyampaikan pesan dan atau informasi yang sama dalam waktu yang bersamaan.
Media tidak hidup sendirian, ia berkonvergensi dengan media lain, masing-masing dengan domain-nya (Fidler, 1997: 45). Sebagai contoh, media cetak media cetak hidup dan tumbuh bersama dengan media elektronika. Sesuai dengan teori Uses and Gratification (Blumer dan Katz, 1974), sesungguhnya setiap media dapat bertahan hidup karena mempunyai kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Masalahnya, bagaimana pengelola media dapat menangkap peluang dari perubahan yang terjadi? Dengan kata lain, bagaimana mediamorfosis disikapi secara kreatif, dengan mengubah tantangan menjadi peluang?
Teori Uses and Gratification menyebutkan bahwa kematian media hanyalah persoalan waktu apabila pengelolanya tidak dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan media tersebut tidak memperhatikan apa yang dibutuhkan khalayak serta tidak dapat memuaskan mereka (Tjipta Lesmana, 2010). Oleh karena itu, mediamorfosis sebagai keniscayaan bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan, yang penting bagaimana kita menyikapinya. Sikap terbaik dan terbijak ialah koeksistensi dan koevolusi dengan mediamorfosis.
Mediamorfosis adalah evolusi yang terjadi secara gradual seiring dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Seperti dicatat Fidler (loc.cit.), sesungguhnya setiap media mempunyai keterbatasan dan kelebihannya masing-masing. Dinamika dan perkembangan masyarakat ini kemudian membentuk media literacy sebab, “Media literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the message we encounter” (James Potter, 2008: 19).
Tidak saling mematikan (kanibalisme), akan tetapi memang ada kecenderungan di dalam proses mediamorfosis tersebut satu medium “memangsa” medium yang lain baik ditinjau dari sisi pasar maupun belanja iklan. Kecenderungan seperti itu terjadi di Indonesia terutama sejak pengujung tahun 1997, ketika masyarakat Indonesia mulai melek media elektronika. Hal ini dipicu oleh perkembangan teknologi informasi (TI) yang sangat cepat dan massif sehingga mengubah pula tatanan, struktur, dan kehidupan masyarakat dunia, khususnya komunitas telematika.
Koeksistensi dan koevolusi dengan perkembangan komunitas telematika, publik internet yang di Indonesia populer dengan nama warung internet (warnet) atau cyber café sangatlah strategis dan berperanan besar dalam proses mediamorfosis. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 42% pengakes internet di Indonesia melakukan komunikasi via cyber café sehingga komunikasi lewat jaringan ini tidak lagi dibatasi oleh waktu, ruang, dan tempat (Rudy Rusdiah, 2004:3).
Kompas Cyber Media sebagai Contoh Kasus
Mencermati, sekaligus merespons perubahan tersebut, media konvensional mulai berbenah diri. Hal ini sesuai dengan adagium Heracleitos yang mengatakan bahwa perubahan tidak dapat dibandung dan terus-menerus terjadi, siapa yang tidak dapat menyiasati perubahan, akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Karena itu, media massa konvensional seperti Kompas (print media) pada 1995 mulai menghadirkan koran cetaknya ke jaringan global lewat Kompas Online (Ninok Leksono, 2007: 266).
Menyadari bahwa dunia tengah berubah dan bergerak ke komunikasi via cyber, Kompas kemudian mendirikan Kompas Cyber Media (KCM) pada 6 Agustus 1998 yang memungkinkan Kompas untuk mengeksploitasi teknologi internet. Selain memuat isi atau content Kompas edisi cetak, KCM juga memuat berita-berita lain yang sudah di-up date.
Apa yang dilakukan Kompas jika diperhatikan dengan saksama sesuai dengan apa yang diyakini oleh Sola Pool bahwa jika mau tetap eksis dan berkembang, maka media konvensional seperti Kompas edisi cetak haruslah mengajak orang untuk membayangkan masa depan. Yakni mengarah ke sistem besar World Wide Web di mana “semua konten disimpan secara digital, disampaikan melalui jaringan, dan diakses melalui alat elektronik (Leksono, op.cit, hlm. 279).
Dalam proses mediamorfosis ini, Kompas sekaligus menerapkan konvergensi media seperti dilukiskan oleh Sola Pool. Dalam bukunya Technologies of Freedom (1983), Pool secara tepat dan cermat meletakkan konsep dasar konvergensi.
A process called “convergence of models” is bluring the lines between media, even between point-to-point communications, such as the post, telephone dan telegraph, and mass communications, such as press, radio, dan television. A Single physical means –be it wires, cables or airwaves—may carry services that in the past were provided in separate ways. Conversely, a services that was provided in the past by any one medium—be it broadcasting, the press, or telephony—can now be provided in several different physical ways. So one-to-one relationship that used to exist between a medium and it use is eroding (Pool, op.cit., hlm. 23).
Untuk saat ini, Kompas edisi kovensional dan Kompas.com (Kompas Online) saling melengkapi, bukan saling membunuh. Di sini kita melihat bahwa mediamorfosis di satu pihak adalah ancaman, tetapi di pihak lain sekaligus peluang. Untuk itu, ke depan Kompas menuju ke konvergensi dan multimedia (Leksono, op.cit., hlm, 277-282).
***
Media baru tidaklah lahir atau muncul mendadak dan tiba-tiba begitu saja, akan tetapi media meskipun dinamakan “baru” tersebut muncul secara gradual secara metamorfosis dari media lama (media konvensional). Mediamorfosisi adalah keniscayaan, tidak dapat dihindari, sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan dinamika masyarakat.
Jika mediamorfosis berarti perubahan evolutif, baik dalam hal penampilan maupun dalam fungsi suatu medium, maka Harian Kompas adalah contoh mediamorfosis. Sebagai salah satu market leader media cetak yang menurut Fidler domainnya adalah document, Kompas sudah koeksistensi dan koevolusi dengan perkembangan teknologi dan perkembangan masyarakat. Inilah sebabnya Kompas dapat bertahan dan terus berkembang meski dalam pusaran arus turbulen sekalipun.
Daftar Pustaka
Blumler J.G. & Katz, E. (1974), “The uses of mass communications: Current perspectives on ratifications research” . Beverly Hills, CA: Sage.
Hui Kyong Chun, Wendy dan Thomas Keenan (ed.). (2006). New Media A, Old Media: History and Theory Reader. New York: Routledge.
Fidler, Roger. (1997). Mediamorphosis: Undestanding New Media. California: Pine Forge Press.
Jenkins, Henry. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
Leksono, Ninok. (2007). “Surat Kabar di Tengah Era Baru Media & Jurnalistik” dalam Kompas, Menulis dari Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Pool, Ithiel de Sola. (1983). Technologies of Freedom. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Potter, W. James. (2008). Media Literacy. California: Sage.
K. Prent, dkk. (1969). Kamus Latin-Indonesia. Ende-Jogjakarta: Nusa Indah-Kanisius.
Lesmana, Tjipta. (2010). Perkuliahan “Teori Komunikasi”, Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan.
Rusdiah, Rudy. (2004). Multipurpose Community Internet Center: Prospek Warnet Masa Depan. Jakarta: PT Grasindo.
Stoltz, Paul. (1997). Adversity Quotient: Turning Osbtacles into Opportunities. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Langganan:
Postingan (Atom)