Senin, 24 Januari 2011

Mediamorfosis: Ancaman atau Peluang? Contoh Kasus Kompas Edisi Cetak dan Kompas Online

Tidak ada yang tetap di dunia ini, yang tetap ialah perubahan itu sendiri (Heracleitos, 540-480 SM). Pernyataan Heracleitos dalam bahasa Yunani “ta panta rhei kai ouden menei” ini sering dikutip orang ketika menjelaskan mengenai perubahan. Bahwa perubahan adalah keniscayaan yang tidak dapat untuk dihindari.

Perubahan (changes) menurut Paul Stoltz (1997) selalu mengandung dua kemungkinan, yakni ancaman dan peluang. Orang yang pesimis melihat bahwa perubahan adalah sesuatu yang mengancam. Sebaliknya, orang yang optimis akan melihat perubahan sebagai peluang. Itu sebabnya, Stoltz, (op.cit.) menganjurkan agar orang yang optimistik hendaknya dapat, “turning obstacles into opportunities”, mengubah tantangan menjadi peluang.

Apakah perubahan dari media konvensional ke the new media/media digital mengancam atau justru membuka peluang? Inilah status questionis yang diangkat dan coba dijawab dalam respons paper ini.

Pengertian dan Ruang Lingkup “Mediamorfosis”

Secara etimologis, mediamorfosis berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media” (jamak) yang berarti: pertengahan, tengah, pusat (K. Prent, et al., 1969: 525). Adapun “morfosis” berasal dari kata Yunani μορφόω (morfoein) yang berarti: bentuk atau penampilan.

Dengan demikian, mediamorfosis dapat diartikan sebagai: satu kesatuan pemikiran terhadap evolusi teknologi media komunikasi. Di Indonesia, evolusi teknologi media komunikasi ini mulai pada akhir tahun 1990-an, ketika internet mulai merasuki kehidupan umat manusia. Sejak itu, era digitalisasi seakan-akan merupakan suatu keniscayaan menggantikan media konvensional seiring dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat dunia. Dengan demikian, perubahan evolusi bukan hanya terjadi pada alat, melainkan juga pada cara berada dan cara hidup manusia. Dalam konteks ini, manusia disebut sebagai koevolusi dan koeksistensi perkembangan teknologi komunikasi.

Evolusi Media: Dari Media Konvensional ke The New Media
Media adalah alat komunikasi untuk menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal (Laswell, 1902-1978). Terutama sejak mesin cetak ditemukan Gutenberg (1450) upaya menyampaikan pesan dan atau informasi secara massal tersebut berkembang pesat. Jika sebelumnya teknologi hanya dapat menggandakan atau menduplikasikan beberapa kopi, sejak mesin cetak ditemukan, terjadi mediamorfosis. Sebelumnya, orang menyampaikan pesan dan atau informasi melalui media batu, daun lontar, pilar, dan vellum (kulit binatang); sejak mesin cetak ditemukan, media tersebut perlahan-lahan ditinggalkan, namun juga terus-menerus beradaptasi.

Penting diberikan catatan bahwa dalam media selalu terdapat dua unsur penting, yakni pesan atau informasi (content) dan alat penyampaiannya yang disebut media. Pada saat mesin cetak ditemukan, mesin cetak ini dapat menggandakan sejumlah besar kopi dari content yang sama sehingga dapat menyampaikan pesan dan atau informasi yang sama dalam waktu yang bersamaan.

Media tidak hidup sendirian, ia berkonvergensi dengan media lain, masing-masing dengan domain-nya (Fidler, 1997: 45). Sebagai contoh, media cetak media cetak hidup dan tumbuh bersama dengan media elektronika. Sesuai dengan teori Uses and Gratification (Blumer dan Katz, 1974), sesungguhnya setiap media dapat bertahan hidup karena mempunyai kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Masalahnya, bagaimana pengelola media dapat menangkap peluang dari perubahan yang terjadi? Dengan kata lain, bagaimana mediamorfosis disikapi secara kreatif, dengan mengubah tantangan menjadi peluang?

Teori Uses and Gratification menyebutkan bahwa kematian media hanyalah persoalan waktu apabila pengelolanya tidak dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan media tersebut tidak memperhatikan apa yang dibutuhkan khalayak serta tidak dapat memuaskan mereka (Tjipta Lesmana, 2010). Oleh karena itu, mediamorfosis sebagai keniscayaan bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan, yang penting bagaimana kita menyikapinya. Sikap terbaik dan terbijak ialah koeksistensi dan koevolusi dengan mediamorfosis.

Mediamorfosis adalah evolusi yang terjadi secara gradual seiring dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Seperti dicatat Fidler (loc.cit.), sesungguhnya setiap media mempunyai keterbatasan dan kelebihannya masing-masing. Dinamika dan perkembangan masyarakat ini kemudian membentuk media literacy sebab, “Media literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the message we encounter” (James Potter, 2008: 19).

Tidak saling mematikan (kanibalisme), akan tetapi memang ada kecenderungan di dalam proses mediamorfosis tersebut satu medium “memangsa” medium yang lain baik ditinjau dari sisi pasar maupun belanja iklan. Kecenderungan seperti itu terjadi di Indonesia terutama sejak pengujung tahun 1997, ketika masyarakat Indonesia mulai melek media elektronika. Hal ini dipicu oleh perkembangan teknologi informasi (TI) yang sangat cepat dan massif sehingga mengubah pula tatanan, struktur, dan kehidupan masyarakat dunia, khususnya komunitas telematika.

Koeksistensi dan koevolusi dengan perkembangan komunitas telematika, publik internet yang di Indonesia populer dengan nama warung internet (warnet) atau cyber café sangatlah strategis dan berperanan besar dalam proses mediamorfosis. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 42% pengakes internet di Indonesia melakukan komunikasi via cyber café sehingga komunikasi lewat jaringan ini tidak lagi dibatasi oleh waktu, ruang, dan tempat (Rudy Rusdiah, 2004:3).

Kompas Cyber Media sebagai Contoh Kasus
Mencermati, sekaligus merespons perubahan tersebut, media konvensional mulai berbenah diri. Hal ini sesuai dengan adagium Heracleitos yang mengatakan bahwa perubahan tidak dapat dibandung dan terus-menerus terjadi, siapa yang tidak dapat menyiasati perubahan, akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Karena itu, media massa konvensional seperti Kompas (print media) pada 1995 mulai menghadirkan koran cetaknya ke jaringan global lewat Kompas Online (Ninok Leksono, 2007: 266).

Menyadari bahwa dunia tengah berubah dan bergerak ke komunikasi via cyber, Kompas kemudian mendirikan Kompas Cyber Media (KCM) pada 6 Agustus 1998 yang memungkinkan Kompas untuk mengeksploitasi teknologi internet. Selain memuat isi atau content Kompas edisi cetak, KCM juga memuat berita-berita lain yang sudah di-up date.

Apa yang dilakukan Kompas jika diperhatikan dengan saksama sesuai dengan apa yang diyakini oleh Sola Pool bahwa jika mau tetap eksis dan berkembang, maka media konvensional seperti Kompas edisi cetak haruslah mengajak orang untuk membayangkan masa depan. Yakni mengarah ke sistem besar World Wide Web di mana “semua konten disimpan secara digital, disampaikan melalui jaringan, dan diakses melalui alat elektronik (Leksono, op.cit, hlm. 279).

Dalam proses mediamorfosis ini, Kompas sekaligus menerapkan konvergensi media seperti dilukiskan oleh Sola Pool. Dalam bukunya Technologies of Freedom (1983), Pool secara tepat dan cermat meletakkan konsep dasar konvergensi.

A process called “convergence of models” is bluring the lines between media, even between point-to-point communications, such as the post, telephone dan telegraph, and mass communications, such as press, radio, dan television. A Single physical means –be it wires, cables or airwaves—may carry services that in the past were provided in separate ways. Conversely, a services that was provided in the past by any one medium—be it broadcasting, the press, or telephony—can now be provided in several different physical ways. So one-to-one relationship that used to exist between a medium and it use is eroding (Pool, op.cit., hlm. 23).

Untuk saat ini, Kompas edisi kovensional dan Kompas.com (Kompas Online) saling melengkapi, bukan saling membunuh. Di sini kita melihat bahwa mediamorfosis di satu pihak adalah ancaman, tetapi di pihak lain sekaligus peluang. Untuk itu, ke depan Kompas menuju ke konvergensi dan multimedia (Leksono, op.cit., hlm, 277-282).

***
Media baru tidaklah lahir atau muncul mendadak dan tiba-tiba begitu saja, akan tetapi media meskipun dinamakan “baru” tersebut muncul secara gradual secara metamorfosis dari media lama (media konvensional). Mediamorfosisi adalah keniscayaan, tidak dapat dihindari, sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan dinamika masyarakat.
Jika mediamorfosis berarti perubahan evolutif, baik dalam hal penampilan maupun dalam fungsi suatu medium, maka Harian Kompas adalah contoh mediamorfosis. Sebagai salah satu market leader media cetak yang menurut Fidler domainnya adalah document, Kompas sudah koeksistensi dan koevolusi dengan perkembangan teknologi dan perkembangan masyarakat. Inilah sebabnya Kompas dapat bertahan dan terus berkembang meski dalam pusaran arus turbulen sekalipun.

Daftar Pustaka
Blumler J.G. & Katz, E. (1974), “The uses of mass communications: Current perspectives on ratifications research” . Beverly Hills, CA: Sage.
Hui Kyong Chun, Wendy dan Thomas Keenan (ed.). (2006). New Media A, Old Media: History and Theory Reader. New York: Routledge.
Fidler, Roger. (1997). Mediamorphosis: Undestanding New Media. California: Pine Forge Press.
Jenkins, Henry. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
Leksono, Ninok. (2007). “Surat Kabar di Tengah Era Baru Media & Jurnalistik” dalam Kompas, Menulis dari Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Pool, Ithiel de Sola. (1983). Technologies of Freedom. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Potter, W. James. (2008). Media Literacy. California: Sage.
K. Prent, dkk. (1969). Kamus Latin-Indonesia. Ende-Jogjakarta: Nusa Indah-Kanisius.
Lesmana, Tjipta. (2010). Perkuliahan “Teori Komunikasi”, Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan.
Rusdiah, Rudy. (2004). Multipurpose Community Internet Center: Prospek Warnet Masa Depan. Jakarta: PT Grasindo.
Stoltz, Paul. (1997). Adversity Quotient: Turning Osbtacles into Opportunities. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Tidak ada komentar: