Sabtu, 29 Januari 2011

Faktor Ekonomi, Politik, dan Budaya yang Mendorong Kebebasan Media di Indonesia

Pemerintah (Orde Baru) sejak membredel majalah Tempo, Editor, dan Detik pada 1994 sudah mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat. Agenda perlawanan yang dilancarkan media, berkembang menjadi agenda perlawanan rakyat. Pressure ini sedemikian kuat, sehingga pada akhirnya Pemerintah kewalahan. Politik media semakin meningkat, ketika bersamaan dengan pembredelan itu, muncul media alternatif yang tidak kalah pedas dan tajamnya mengritik Pemerintah.

Sementara tekanan itu bertubi-tubi, gugatan media massa atas Pemerintah berlangsung dan didukung tokoh nasional. Sebut saja sebagai contoh Adnan Buyung Nasution, hakim Benyamin Mangkoedilaga yang memenangkan kasus Tempo di tingkat pengadilan tinggi, dan dukungan Amien Rais baik melalui pernyataan dan komentarnya di media atas kebebasan media. Tokoh nasional ini berkolaborasi dengan dengan media, membuat tekanan politik sedemikian rupa pada Pemerintah.

Lalu menyatu dengan perjuangan dan kekuatan mahasiswa yang memperjuangkan kebebasan dalam segala macam bentuk, termasuk kebebasan untuk menyatakan pendapat, sehingga menjadi kekuatan massa rakyat. Di mana pun di muka bumi ini, tidak pernah ada kekuatan Pemerintahan yang kuasa menahan kekuatan massa rakyat (people power). Sebagai contoh, kekuatan rakyat melawan diktator Filipina Marcos, kekuatan rakyat melawan komunisme Uni Sovyet, dan sebagainya.

Kebencian yang lama terpendam karena kebebasan mereka dikungkung dan hasrat untuk hidup merdeka, mendorong sejumlah kekuatan massa bersatu, lalu kekuatan tersebut mndorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.

Regulasi dan kontrol pemerintah atas media massa dicabut. Puncaknya, ketika Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan sebagai simbol kontrol Pemerintah atas media massa. Di negara yang komunis dan negara yang Pemerintahannya dominan, ada Politboro. Ketika Departemen Penerangan dibubarkan, maka itulah puncak dari kekuatan politik yang merupakan perjuangan lama dari akar rumput dan kekuatan-kekuatan massa untuk menentang dominasi dan kontrol Negara (Pemerintah)atas media dan arus informasi.

Itulah faktor-faktor politik yang mengondisikan atau yang menyebabkan terjadinya kebebasan media massa di Indonesia.

Kebebasan media massa terjadi hampir bersamaan waktunya dengan krisis moneter yang menerpa bangsa Indonesia pada 1997. Sebagaimana yang diketahui bahwa krisis moneter menyebabkan Pemerintah Indonesia harus meminta pihak luar, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF), untuk membantu mengatasi krisis.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan campur tangan IMF pada krisis ekonomi nasional? Yang dilakukan IMF sebenarnya sesuatu yang sangat sederhana: memberikan kucuran dana secara ketengan untuk sekadar membantu persediaan devisa Indonesia (Oppusunggu, 1999: 85). Namun, kompensasi dan akibatnya luar biasa: Indonesia sepenuhnya tergantung pada pihak lain, dan pihak yang memberikan bantuan punya agenda tertentu sebagai kompensasinya. Hal ini ditandai dengan penandatanganan letter of intent (LOI) pada 15 Januari 1998 di Jl. Cendana oleh Presiden Soeharto di depan Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus (Pabottingi, op.cit., hal. 25).

Menurut guru besar Universitas Indonesia yang juga pakar ilmu keuangan, Prof. Dr. Anwar Nasution, 50 butir kesepakatan dengan IMF tersebut adalah GBHN kita di masa depan (Kompas, 20 Oktober 1998). Dan benar saja, masuknya dana bantuan IMF serta merta membuka pintu bagi masuknya investor asing ke Indonesia.

Beriringan dengan itu pula banyak pemodal asing menanamkan investasinya di Indonesia, bahkan ada yang menguasai sektor tertentu perekonomian nasional. Dengan kata lain, Indonesia mulai membuka diri bagi pasar bebas dan ekonomi pasar terjadi di sana di mana ekonomi kapitalisme mulai bekerja.

Bagi media massa, efeknya jelas terasa. Lisensi atau imprint media massa yang terbit dan berbasis di luar negeri dapat dengan mudah masuk Indonesia. Sebagai contoh, ada edisi Indonesia majalah Play Boy dan Readers’ Digest; sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali. Dan bersamaan dengan itu di gerai-gerai toko, terminal, dan stasiun dapat ditemukan majalah, tabloid, dan surat kabar asing.

Adanya edisi Indonesia media asing tersebut dan masuknya majalah, tabloid, dan surat kabar asing turut meramaikan persaingan komoditas dan kepemilikan kapital. Paham liberalisme dan pasar bebas tidak dapat terhindarkan lagi praktiknya di Indonesia. Di tengah-tengah banyaknya pilihan media, masyarakat akan menentukan manakah media yang berguna dan memuaskannya. Hal ini sesuai dengan teori dalam ilmu komunikasi yakni “Uses and Gratification” (Katz) bahwa media yang tidak menyajikan menu sebagaimana yang dibutuhkan audience dan tidak dapat memuaskan mereka, maka kematian media tersebut hanyalah persoalan waktu (Tjipta Lesmana, 2010).

Masuknya pemodal besar (kapitalisme) ke industri media merupakan suatu keniscayaan dalam suasana ekonomi pasar bebas. Fenomena inilah yang diobservasi dan menarik perhatian para alumni Frankfurt School ketika migrasi ke Amerika Serikat menghindari Nazi, mereka menemukan bahwa situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda dengan di Jerman (Santoso, 2010).

Jika di Jerman, pada masa Nazizme dan Fasisme media dikontrol Pemerintah (negara), maka di Amerika tidaklah demikian. Media menjadi produk budaya, sekaligus menjadi pilar demokrasi. Yang menarik, para alumni Sekolah Frankfurt melihat bahwa kepemilikan media di Amerika berada di tangan kaum kapitalis.

Mereka mengembangkan teori sosial mengenai pentingnya kultur budaya dan komunikasi massa dalam reproduksi dan dominasi sosial. Mereka melihat dan mempelajari bagaimana budaya dan komunikasi melahirkan masyarakat tertentu dan bagaimana dominasi kelas-kelas tertentu terhadap masyarakat. Budaya dan komunikasi dapat memproduksi masyarakat tertentu dan kelas-kelas tertentu. Budaya dan komunikasi melahirkan kelas sosial dan perubahan-perubahan sosial.

Observasi dan teori para alumni Sekolah Frankfurt mengenai kepemilikan media di negara yang menganut ekonomi liberal-kapitalisme seperti Amerika Serikat, terjadi pula di Indonesia. Masuknya kaum kapitalis ke industri media, tentu saja secara otomatis menyatukan dua kekuatan sekaligus: pemodal dan kekuasaan di dalam mempengaruhi opini publik.

Hal inilah yang oleh pakar ekonomi-politik Jeffrey A. Winters (1999) disebut dengan “Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa” . Winters mengamati bahwa mobilisasi investasi di Indonesia terkait dengan power, di mana pada akhirnya pemodal kuat menguasai yang lebih lemah dan akhirnya yang lemah menjadi tidak berdaya.

Hal ini sesuai dengan teori Marxisme dan Neo-Marxisme yang meyakini bahwa liberalisme menghasilkan kapitalisme. Pasar bebas dimanfaatkan oleh orang yang lebih pandai dan yang lebih cakap untuk mengumpulkan modal. Ciri-ciri kapitalisme ialah terjadinya penumpukan modal/kapital di satu tangan (Santoso, 2010) dan praktik ini terjadi di Indonesia pada saat ini.

Sesungguhnya, pasar bebas yang menjadi iklim investasi dan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari sistem yang lebih tinggi, yakni sistem politik kenegaraan. Pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya adalah ideologi terbuka, sehingga sistem politik kita juga liberal. Sebagai subsistem, sistem ekonomi pun demikian. Suasana ekonomi liberal ini menyuburkan praktik pasar bebas, sehingga mendorong terjadinya kebebasan media massa.

Masuknya pemodal asing dan dijual-bebasnya sejumlah produk media asing di Indonesia memaksa pemodal dalam negeri dan media nasional turut meningkatkan kualitas dan semakin berorientasi pada pasar (pelanggan).

Sementara di dalam negeri, langsung ataupun tidak langsung, pemodal yang memiliki media mendapat suntikan dana asing (pinjaman lunak atau hasil dari menjual aset di luar negeri) guna meningkatkan modalnya untuk ditanam pada industri media. Sebagai contoh, pasca krisis ekonomi 1997, Bakrie Group yang kini terjun ke industri media (TVOne dan ANTV) menjual aset-asetnya di luar negeri untuk menghidupi bisnisnya di dalam negeri (Bisnis Indonesia, 13/10-2010) .

Dalam pasar bebas, terjadi pula persaingan bebas. Itulah sejumlah faktor ekonomi yang mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia. Kebebasan dalam arti kepemilikan di mana syarat-syarat kepemilikan tidak lagi diatur secara ketat dan dikontrol regulasi Pemerintah seperti Orde Baru.

Baiklah kiranya jika disepakati lebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan “sosial-budaya”. “Sosial” secara etimologis berasal dari kata Latin “socius” yang berarti: teman, sahabat, kawan . Kemudian, istilah ini diperluas menjadi “masyarakat” atau “berkenaan dengan masyarakat”.

Sementara itu, budaya menurut Edward B. Taylor (1889) adalah “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” Dengan demikian, sosial budaya ialah cara hidup dan cara berada suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia.

Pasca Reformasi, masyarakat Indonesia masuk ke dalam sebuah peradaban baru. Budaya membaca belum menjadi habit, sementara perkembangan teknologi media dan komunikasi sedemikian cepat. Hal ini menyebabkan terjadi kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota. Masyarakat kota lebih melek media, sementara masyarakat pedesaan masih belum banyak berubah; mereka masih banyak hidup secara komunal dengan media tradisional.

Akan tetapi, perlahan namun pasti, teknologi komunikasi pun menjangkau sampai penjuru pelosok tanah air. Siaran radio dan TV juga dapat ditangkap sampai pelosok. Jangkauan media massa sudah nirbatas, di mana-mana masyarakat dapat mengakses informasi dan media massa.

Interaksi sosial yang terjadi sudah tidak lagi sebatas komunal di lingkungan terbatas seperti dulu, kini orang menjadi warga dunia, sebab teknologi komunikasi membuat dunia ini menjadi sebuah big village. Inilah yang oleh ekonom sekaligus pengamat sosial Kenichi Ohmae (2008) disebut sebagai “akhir dari negara-bangsa” (the end of the nation state).

Dalam dunia yang nirbatas tersebut, orang bebas berinteraksi dan berkomunikasi kapan pun, dengan siapa pun, dan di mana pun melalui jaringan teknologi komunikasi. Orang juga bebas memilih dan menentukan media yang ingin diaksesnya.

Di sini kita melihat terjadi perubahan struktur sosial dan interaksi sosial di mana informasi dan komunikasi dihubungkan oleh sebuah jaringan sosial yang sama sekali lain dibandingkan yang sebelumnya yang kita kenal dengan istilah “masyarakat komunal” yang struktur sosial dan pola komunikasinya masih tradisional dan mengandalkan pola komunikasi tatap muka (Koentjarningrat, 1974).

Sejak masyarakat Indonesia melek teknologi multimedia terutama sekitar tahun 2000, terjadi apa yang disebut dengan online media di mana orang dapat saling berkomunikasi lewat dunia maya. Seperti dicatat Rudy Rusdiah (2004) bahwa bangsa Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota besar, sudah menjadi masyarakat informasi global. Media online (the new media) kini sudah menjadi keniscayaan, seperti internet, e-mail, face book, twitter, black berry, dan sebagainya sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan, Kompas Gramedia sudah memiliki lisensi membuka jaringan televisi digital.

Perkembangan teknologi media tersebut mendorong perubahan sosial budaya masyarakat-bangsa Indonesia juga. Perubahan sosial masyarakat Indonesia tampak dari:
1) Cara hidup yang dulunya komunal, kini lebih soliter.
2) Jika sebelumnya komunikasi interpersonal, kini komunikasi melalui media. Dulu melalui media cetak, kini melalui media digital.
3) Interaksi sosial yang dulu banyak terjadi ketika acara-acara keluarga dan acara sosial (pesta, festival, upacara, dan sebagainya) kini berubah menjadi interaksi lewat media digital.
Sementara perubahan budaya masyarakat Indonesia tampak dari:
1) Perubahan dari budaya oral ke budaya baca. Indikasinya ialah bahwa semakin hari semakin berkurangnya tingkat buta huruf dan semakin tingginya konsumsi kertas per kapita di Indonesia (Masri, 2008).
2) Perubahan dalam kebiasaan atau pola konsumsi dan penggunaan media di mana dahulu print media, perlahan-lahan beralih ke online media. Meski ada kecenderungan menurunnya oplah media cetak yang menunjukkan semakin berkurangnya konsumen, namun media cetak tidak akan mati sama sekali mengingat masing-masing media punya kelebihan dan kekurangan (Roger Fidler , 1977: 45).
3) Semakin banyaknya kepemilikan media dan semakin tingginya konsumsi media dianggap semakin menunjukkan tingkat melek medianya seseorang. Budaya seperti ini, tentu saja, menjadi faktor pendorong kebebasan media.
Pada gilirannya, perubahan struktur sosial budaya dan interaksi sosial ini mendorong kebebasan media massa. Terdapat korelasi positif antara masyarakat-media, sebab media sebagai sarana komunikasi massa tidak pernah terjadi dalam ruang yang vakum (Tjipta Lesmana, 2010).

Media ada karena adanya masyarakat. Sebaliknya, apa yang disajikan dan ditampilkan oleh media merupakan cerminan realitas sosial masyarakat dan inilah yang oleh Peter L. Berger dan Luckmann (1976) disebut sebagai “Social Construction of Reality”.

Teori “Social Construction of Reality” ini dengan jitu menjelaskan bahwa faktor sosial-budaya mendorong terjadinya kebebasan media massa di Indonesia. Dengan kata lain, apa yang disajikan media itulah cerminan realitas sosial budaya mayarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam kebebasan media, yakni: 1) media bebas dari, dan 2) media bebas untuk.

Pertama, media bebas dari regulasi pembatasan kememilikan serta bebas dari kontrol oleh Pemerintah seperti pada era Orde Baru.

Kedua, media bebas untuk memuat dan menyiarkan berita dan content lainnya asalkan mematuhi etika profesi dan menaati hukum yang berlaku di negeri ini.
***

Tidak ada komentar: