Sesuai dengan teori para pemikir Sekolah Frankfurt yang pindah ke Amerika Serikat dan di sana mereka mengamati bahwa media tidak dikontrol oleh Pemerintah, akan tetapi dimiliki dan isinya ditentukan kaum kapitalisme (Amir Santoso, 2010) maka yang paling diuntungkan dan dalam persaingan pasar media saat ini adalah kaum pemodal (kapitalisme).
Pemerintah, dengan dibubarkannya Departemen Penerangan, tidak lagi banyak diuntungkan dengan persaingan media tersebut. Sebagai contoh, Berita Nasional sebagai media Partai Demokrat dan harian Suara Karya yang berada di bawah kendali dan pengaruh Golkar, kurang menarik bagi masyarakat. Pihak pemilik tidak diuntungkan dalam suasana pasar bebas di mana media tunduk pada hukum pasar bebas.
Sementara yang dirugikan adalah pihak media yang modalnya terbatas, mereka kalah dalam persaingan bebas. Pada gilirannya, masyarakat juga yang dirugikan karena masyarakat tidak memperoleh informasi dari media yang mempunyai framing sendiri.
pemain-pemain besar dan menengah media massa dewasa ini:
Pemain besar:
1. Kompas-Gramedia adalah industri media yang didirikan P.K. Ojong dan Jakob Oetama (print media, TV, dan TV digital).
2. Media Group adalah kelompok usaha media yang didirikan oleh Surya Paloh. Kelompok usaha ini memiliki harian Media Indonesia, Lampung Post, Borneonews, stasiun televisi MetroTV, dan Yayasan Sukma.
3. PT Media Nusantara Citra, Tbk Group (SunTV, RCTI, MNC, Globaltv, Harian Sindo, Okozone.com).
4. Group Tempo dan PT Temprint.
5. Bakrie Grup (TVOne, ANTV).
6. Jawa Pos Grup.
Pemain menengah:
1. Sinar Kasih Grup yang menerbitkan antara lain Suara Pembaruan dan penerbitan buku.
2. Femina Group.
3. Koran Jakarta.
4. Pos Kota.
5. Republika.
Pemain kecil:
1. Sinar Harapan.
2. Suara Karya.
3. C & R.
4. Gatra.
5. Harian Terbit.
6. Berita Nasional.
Catatan:
Kriteria pemain besar, pemain medioker, dan pemain kecil media dilihat dari aset dan jumlah tenaga kerja. Sebagai contoh, Kompas Gramedia memiliki aset lebih dari ratusan triliun dan merupakan holding company dengan karyawan (pekerja) 17.000 orang. Ini termasuk pemain papan atas media di Indonesia. Sementara pemain kecil tidaklah merupakan sebuah holding company, dengan dukungan karyawan kurang dari 1.000.
Yang penting disadari ialah bahwa pasar bebas dan kapitalisme selalu punya ekses negatif. Yang kuat akan memangsa yang lemah, dan praktik ini terjadi pada industri media di mana terjadi akuisisi atau pencaplokan oleh pemodal besar atas beberapa kepemilikan media yang modalnya terbatas. Misalnya, Bakrie Grup mengambil alih Lativi, ini contoh praktik kekuatan pemodal besar terhadap pemodal yang lebih lemah dan praktik ini sesuai dengan yang dipikirkan Karl Marx bahwa dalam pasar bebas dan kapitalisme akan terjadi praktik yang kuat akan memakan yang lemah dan negara wajib melindungi apabila terjadi ketidakadilan.
Persaingan bebas tersebut membuat masyarakat tidak dapat sepenuhnya berpartisipasi pada penyebaran data informasi kepada publik, yang memiliki akses adalah para pemodal besar karena sanggup menghidupi dan malah meraih keuntungan dari medianya. Ideologi pemilik media sudah pasti akan mewarnai policy pemberitaan media yang bersangkutan.
Demikian pula cara media tersebut membingkai (framing) peristiwa, tidak bisa terlepas dari siapa di balik kepemilikan media tersebut. Sebagai contoh, TvOne akan berbeda di dalam memberitakan peristiwa Lapindo dengan RCTI atau media lain. Republika yang berideologi Islam akan berbeda cara membingkai peristiwa keagamaan yang terjadi di Bekasi dengan yang diberitakan Kompas yang berideologi nasionalisme-Katolik. Ini menunjukkan bahwa cara membingkai peristiwa yang sama berbeda satu media dengan media lain, bergantung siapa di balik pemilik media yang bersangkutan. Dalam konteks ini persaingan antar-media sedikit merugikan perkembangan demokrasi kita, sebab opini atau suara publik kalah oleh suara atau ideologi pemilik modal.
Sesungguhnya, apakah persaingan tersebut menguntungkan atau malahan merugikan bagi perkembangan demokrasi kita tidaklah dapat dilihat secara hitam dan putih. Di balik ekses negatif yang disebutkan di atas, persaingan media juga menumbuhkan suasana demokratisasi. Sebagai contoh, orang dapat menulis atau meemberikan komentar langsung atau melalui Surat Pembaca atau rubrik Opini.
Persaingan media juga mengondisikan demokratisasi di mana semakin banyak orang sudah tidak takut lagi menyatakan pendapat melalui media dan kepentingan umum atau opini publik kerap disampaikan dan diliput media. Media juga kerap mengritik Pemerintah dan pejabat publik.
Tentu saja, alam kebebasan dan persaingan media seperti ini berdampak pada masyarakat, sehingga di kalangan masyarakat pun tumbuh semangat demokratisasi dan asas egaliter. Ini sisi positif kebebasan dan persaingan media bagi perkembangan demokrasi kita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar