Era peperless (nirkertas) segera tiba. Ia ada bukan cuma dalam wacana. Era itu telah ditandai munculnya buku elektronik (e-book).
Dan kini, mulai dikembangkan teknologi komunikasi baru, tiga dimensi (3-D). Yakni isi buku plus animasi yang diberi nama augmented reality.
Secara harfiah, augmented reality berarti: realitas yang ditambahkan. Ditambahkan apanya? Ditambahkan detail dan imaginasinya. Sehingga data yang diperoleh lebih kaya dan lebih menarik dibanding buku cetak biasa.
Bukunya sendiri muncul dalam bentuk audio-visual. Menembus dimensi ruang dan waktu. Misalnya, mata telanjang bisa melihat hingga ke dalam-dalam (interior) sebuah bangunan --sebuah media (buku) yang melampaui apa yang bisa disajikan buku cetak biasa.
Maka selalu ada saja ide dan cara menjadikan buku lebih menarik dan lebih hidup. Ini membuktikan, teknologi komunikasi, sebagaimana diramalkan para pakar (Gutkind, Molly Blair), bukan saja mengubah perilaku hidup manusia. Tapi juga budaya dan cara hidup. Bahkan, mengubah pula pola ekonomi dan bisnis, termasuk cara-cara manusia berkomunikasi.
Augmented Reality adalah salah satu teknologi yang akan ditampilkan. Yakni teknologi masa depan yang menggabungkan dunia realitas dan dunia maya dalam waktu real time atau secara langsung.
Sebenarnya, teknologi ini sudah dimulai dan diberi nama Augmented Reality sejak tahun 1990, dimulai dengan coding system, seperti barcode, dan lain-lain.
Sering kali Augmented Reality disebut juga sebagai Mix Reality. Artinya, apa yang dilihat oleh mata kita secara langsung belum tentu yang semuanya ‘real’. Banyak elemen maya yang sudah ditambahkan, sehingga orang akan sulit membedakan mana yang asli atau bukan.
Semua informasi yang ditampilkan dalam bentuk komputer grafis, 3 Dimensi, Audio Video Visual yang dapat muncul di mana saja dan kapan saja untuk dinikmati secara langsung oleh mata kita melalui perangkat digital seperti komputer ataupun handphone.
Buku masa depan, salah satu bentuk visual augmented reality ini akan diperkenalkan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada grand launching, sekaligus dies natalisnya ke-3, 2 Desember 2009 di kampus UMN, Scientia Garden, Gading Serpong, Tangerang.
Sang profesor, yang juga pakar fisika itu, memeragakan buku yang hidup. Dalam buku terlihat burung bisa terbang dan bernyanyi. Inilah buku “masa depan”. Prof. Yohanes Surya, Ph.D. rektor UMN, akan membawakannya lewat presentasi beliau yang dihadiri Mendiknas, Prof.Dr. M. Nuh.
Dengan demikian, augmented reality menyajikan informasi jauh lebih banyak dan detail daripada apa yang dapat ditangkap mata manusia secara langsung. Sebuah perkembangan teknologi komunikasi dengan aplikasi awal pada sistem barcode yang menampilkan realita melampaui apa yang bisa disajikan media dengan platform cetak.
Augmented Reality berkembang dengan pesat mulai tahun 2007 hingga saat ini. Muncul dalam banyak bentuk entah gambar, entah wajah orang, sudah dapat dimasukkan dunia maya tanpa perlu coding system lagi.
Prof. Yohanes Surya, rektor UMN, akan memeragakan augmented reality itu. Sebuah teknologi yang pasti menginspirasi mahasiswa jurusan arsitektur, interior, Desain Komunikasi Visual, dan komunikasi dalam membuat tugas mereka.
Baik proses maupun input buku ini semakin menggeliatkan industri kreatif. Sebab, pembuatan buku jenis ini melibatkan banyak pihak, dengan menggabungkan berbagai disiplin ilmu. Inilah yang disebut konvergensi ilmu dan media, karena melibatkan pakar komunikasi dan kreatif yang menyediakan isi (content), pakar komunikasi visual yang menyediakan dan merancang animasinya, dan pakar teknologi komunikasi (IT) yang menyiapkan alat (tools).
Di situ kita dapat melihat dari selembar brosur, atau buku, bisa timbul animasi sebuah bangunan lengkap dengan interiornya. Tentunya ini akan sangat membantu mahasiswa dalam bidang arsitektur maupun interior. Kita dapat melihat secara jelas desain bangunan lengkap dengan interior di dalamnya.
Kemudian di bidang media telekomunikasi. Kebetulan, UMN merupakan unit usaha Kompas Gramedia. Sehingga teknologi masa depan ini juga bisa digunakan oleh pengelola dan pelaku industri media cetak, seperti koran.
Sebagai contoh, akan ditampilkan animasi 3-D yang dapat dinikmati secara langsung keluar dari sebuah iklan koran. Sungguh ini merupakan teknologi yang akan membantu media cetak untuk bisa berinteraksi dengan para pembacanya bukan saja lebih komunikatif, tapi juga dengan menarik.
Bukan hanya pada koran. Teknologi ini bisa diterapkan pula pada proses kreatif dan pembuatan sebuah buku cerita. Teknologi ini tentunya bisa membantu dan meningkatkan minat anak-anak untuk membaca. Mereka bukan saja memeroleh pengetahuan dari bahan bacaan, tetapi juga memeroleh hiburan. Sebuah teknologi komunikasi baru, yang melampaui media kertas.
Dengan augmented reality, buku bacaan jadi lebih hidup. Ilustrasinya pun bisa bergerak dan berbunyi. Teknologi ini juga bisa diaplikasikan ke dalam packaging sebuah produk, utamanya industri kreatif.
Boleh dikatakan, augmented reality merupakan sebuah inovasi luar biasa, yang bisa meningkatkan penjualan sebuah produk.
Sabtu, 28 November 2009
Kamis, 26 November 2009
Kahlil Gibran, A Fine Artist yang Menginspirasi Nusantara
Kahlil Gibran was not only one of the world's greatest poets, but he was also a fine artist.
Although Gibran died 78 years ago, his spirit is still alive nowadays, especially in Indonesia. A dozen of his books were translated into Indonesia. No doubt Gibran has inspired many people.
Pengantar
Kahlil “The Broken Wings” Gibran telah 78 tahun lalu menutup mata untuk selamanya. Meski demikian, karya-karyanya hingga kini tetap hidup. Meski sebagian terjemahan-terjemahannya terbilang “payah”, toh karya-karya Gibran laku keras sebagai komoditas. Hal ini terbukti dari cetak ulang yang berulang kali.
Yang menarik, ada beberapa judul yang sama dialihbahasakan dari pemegang hak cipta yang berbeda, toh tetap laku terjual. Ini membuktikan bahwa di Nusantara, Gibran mempunyai banyak penggemar. Bahkan, boleh dikatakan telah menginspirasi banyak orang, utamanya di bidang seni dan filsafat.
Banyak orang mengenal Gibran sebagai penyair hebat. Tentu saja, ini tidak keliru. Namun, sejatinya Gibran punya multitalenta di bidang seni. Ia juga seorang pematung, pelukis, dan filsuf. Karena itu, ia dibaiat sebagai seniman ulung (fine art).
Karya Gibran yang fenomenal dan universal telah banyak menjadi objek riset dan penelitian. Sebagai contoh, lihat karya Suheil Bushrui dan Joe Jenkins berjudul Kahlil Gibran: Man and Poet (One World, 1998) setebal 372 halaman. Studi itu salah satu yang komprehensif yang coba merekonstruksi manusia Gibran dan proses kreatif kepenyairannya.
Tulisan ini jauh dari sebuah riset dalam arti demikian. Sekadar membeberkan fenomena, mengapa karya dan pribadi pujangga besar lintas agama dan bangsa yang wafat pada 10 April 1931 itu demikian menginspirasi Nusantara? Sekaligus me-review sejumlah karyanya dalam edisi Indonesia.
Latar Belakang
Jumat, 10 April 1931 di St. Vincent’s Hospital, New York, merupakan hari “pembebasan” bagi Kahlil Gibran. Pembebasan, karena ia telah lama ditawan oleh rasa sakit berkepanjangan. “Si Api Biru Sejati” telah menjemputnya menemui ajal.
Tim medis yang merawatnya dalam sebuah autopsi mencatat bahwa Gibran mengidap, “cirrhosis of the liver with incipient tuberculosis in one of the lungs”.
Itulah rupanya biang dari penyakit yang kemudian mengantar Gibran beristirahat selama-lamanya. Ia pergi ke alam baka, sebuah tempat yang ia siapkan untuk kelak bertemu dan bersatu selamanya dengan May Ziadah, wanita pujaan hatinya sebagaimana sering diucapkannya dalam korespondensi.
Siapa di antara kita yang tak mengenal Gibran? Tak pelak, dialah salah satu sastrawan terhebat dari dunia Timur yang lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove, tepi Wadi Qadisha di kota Bisharri, Lebanon.
Ibunya bernama Kamileh, seorang janda, ketika ia menikah dengan pria bernama Kahlil Gibran. Suami Kamileh yang pertama adalah Hanna Abd-es-Salaam Rahmeh –dengan siapa Kamileh mendapat anak bernama Boutros —yang berusia enam tahun tatkala Gibran lahir.
Pada usia 12 tahun, Gibran beremigrasi bersama ibu, kakak tiri, dan dua adik perempuannya ke Amerika Serikat. Mula-mula mereka menetap di Boston, selanjutnya di New York.
Meksi demikian, sebagaimana halnya orang Lebanon, Gibran tetap memelihara kecintaan pada daerah bergunung-gunung tempat kelahirannya. Gibran tetap mengambil makanan intelektual dan emosional dari alam dan suasana pedesaan serta tradisi kebudayaan tanah kelahirannya.
Oleh karena itu, meskipun orang-orang terpelajar telah menemukan pengaruh filsuf Jerman, Nietzche dan pengaruh para simbolis Prancis, serta pengaruh pelukis-penyair Inggris William Blake dalam tulisannya; alam Lebanon dan pengaruh mistik Timur tidak pernah benar-benar bisa lekang dari karyanya.
Pentahapan Karya Gibran
Secara garis besar, karier sastra Gibran dapat dibagi dalam tiga tahap. Saya menganut pentahapan karya-karya Gibran, sebagaimana sebelumnya telah dilakukan Suheil Bushrui dan Salma Haffar Al-Kuzbari dalam Gibran: Love Letters (One World, 1999, hal. xiv-xvii).
Tahap pertama, dimulai pada 1905, tahun terbit karya perdananya dalam bahasa Arab, hingga tahun 1918. Pada tahap pertama ini Gibran hanya menulis dalam bahasa Arab. Tahun-tahun awal, Gibran menerbitkan al-Musiqah (Music), ‘Ara’is al-Muruj (Nymphs of the Valley), al-Arwah al Mutamarriadah (Spirit Rebellious), al-Ajnihah ‘l-Mutakassirah (The Broken Wings), Dam’ah wa’Ibtisamah (A Tear and A Smile).
Pada tahap kedua karyanya, antara tahun 1918-1931, Gibran menghasilkan buku al-Mawakib (The Procession), al-‘Asawif (The Tempest) dan al-Badayi’wa’l-Tarayif (Beautiful and Rare Sayings). Akan tetapi, karyanya yang menonjol agaknya yang terbit tahun 1923 berjudul The Prophet dan Jesus the Son of Man (1928).
Dalam karya inilah tampak kenangan Gibran akan Kidung Salomo dan Mazmur, dengan gaung kuat pengaruh Kitab Nabi Yesaya dan Kitab Daniel serta perumpamaan-perumpamaan Yesus.
Adapun tahap ketiga, setelah kematiannya 1931. Gibran meninggalkan dua buah karya yang boleh dikatakan belum rampung sepenuhnya, yakni Wanderer (1932) dan Garden of Prophet (1933).
Namun, oleh para pengamat, dua karya ini disebut-sebut bukan murni karya Gibran. Sebab, keduanya ternyata telah dilengkapi dan dipublikasi oleh Barbara Young, penyair wanita Amerika, yang mengklaim “to have been Gibran’s companion during the last seven years of his life.”
Gibran dan Karyanya di Indonesia
Pengalaman hidup yang dijalaninya, membuat Gibran memandang kehidupan ini tampak suram. Gambaran semacam inilah yang kita tangkap dari sebagian besar karyanya yang berbentuk prosa.
Hal ini nyata dalam bentuk cacophony, bunyi yang menuansakan kesedihan, sebagaimana juga tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Kebalikan dari euphony yang menuansakan kegembiraan di mana vokal lebih dominan. Kita tidak menemukan sebaliknya, cacophony sebagai lawan kata euphony dalam karya Gibran. Yaitu bunyi yang menuansakan keterpurukan, kesedihan, keterasingan dalam hidup dan alienasi.
Bunyi dimaksud kerap muncul dalam konsonan yang berada pada akhir kata. Dapat berupa bunyi bilabial, seperti kerap dijumpai pada puisi-pusi Chairil Anwar dan pada beberapa puisi Joko Pinurbo. Misalnya, seru-menderu, angin lalu, malam buta, mengental pada puisi “Selamat Tinggal” Chairil Anwar (Derai-derai Cemara, 1999: 28).
Gambaran suram juga tampak dalam lukisan-lukisannya, salah satu yang paling mencolok adalah Sorrow ((Dukacita) dan Let me go (Biarkan Kupergi).
Boleh dikatakan, hampir semua karya tersebut kental dengan nuansa mistik dan mencerminkan penghayatan yang dalam tentang dunia spritual. Sang Nabi adalah karya prosa yang dinilai banyak pengamat sebagai master-piece Gibran. Prosa yang diterbitkan tahun 1923 itu kini telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa, termasuk bahasa Indonesia tentunya.
Sang Nabi (The Prophet) adalah masterpiece karya Gibran.
Sang Nabi terdiri atas 28 prosa lirik yang saling berkaitan. Tema yang diusung buku tersebut adalah cinta, kebebasan, doa, dan kematian. Keabadian cinta tanpa harus memiliki merupakan ekspresi diri pribadinya dengan May Ziadah. Hubungan cinta Yesus dengan para wanita, di antaranya Maria Magdalena, menjadi inspirasi bagi Gibran untuk selanjutnya melahirkan Jesus, the Son of Man. Inilah, antara lain penggalan karyanya:
To Mary Magdalene, Jesus had beauty, strength, gentleness:
His mouth was like the heart of pomegranate, and the shadows in His eyes wee deep
And He was gentle, like a man mindful of his own strength.
In my dreams I beheld the Kings of earth standing in awe in His presence.
Gibran begitu mendambakan kebebasan dan cinta. Ironisnya, yang ia dambakan justru tak pernah kesampaian. Di balik pencariannya, sebenarnya Gibran tak dapat menyembunyikan diri sebagai sosok yang putus asa. Lihatlah misalnya, The Broken Wings yang sangat terkenal. The Broken Wings adalah kembaran Romeo-Juliet dalam tutur gaya dan karakteristik Gibran yang berdimensi ketimuran.
Penting mengetahui pengalaman dan suasana hati ketika The Broken Wings ditulis. Tahun 1899, selama liburan musim panas di Bisharri, Gibran merasa galau lantaran sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Karena tak kesampaian, ia frustrasi dan kecewa. Pada musim gugur, ia kembali ke Boston melewati Paris. Pengalaman itulah yang kemudian ia tulis dalam The Broken Wings.
Dalam novel tersebut, Gibran bercerita tentang eksistensi manusia di tengah dunia yang sarat dengan keindahan dan cinta, lantas ternoda oleh sebongkah ketamakan dan kepedihan yang menyakitkan.
Banyak orang yakin, lewat novel tadi, Gibran tengah mengisahkan tentang kegagalan cintanya sendiri --dengan Salma, puteri Faris Karama-- yang mengakibatkan dirinya tetap membujang sampai akhir hayatnya.
Agaknya, diperlukan daya imaginasi yang kuat untuk menangkap “pesan” yang dituliskan Gibran dalam karyanya. Dalam setiap karyanya, Gibran menyodorkan sebuah realita yang dilihatnya lewat bahasa batin. Dan lewat bahasa ini juga, tentunya, karya agungnya hanya bisa dinikmati oleh pembaca.
Tema-tema yang disajikan Gibran dalam setiap bukunya sangat universal. Universalitas tema ini merupakan pengaruh pribadinya sendiri yang universal. Sepanjang garis hidupnya, Gibran tinggal dan menjalani hidup dalam komunitas yang berbeda dan heterogen.
Setelah tinggal di Boston selama tiga tahun misalnya, dia kembali ke Lebanon untuk belajar bahasa Arab (1897-1898). Selanjutnya, Gibran memperdalam masalah seni di Prancis (1908-1910), tepatnya di Paris, bersama dengan August Rodin.
Bakat Gibran belum terasah betul sampai dia ditemukan oleh F. Holland Day, seorang fotografer yang kemudian menjadi tutor dalam bidang seni dan sastra. Di kota seni itu juga, konon Gibran jatuh cinta dan kandas. Suasana hatinya ini digambarkannya dalam novel The Broken Wings.
Untuk mengubur kepedihannya, tahun 1912 Gibran kembali ke Amerika, dan menetap di New York City. Di kota inilah kemampuan dirinya di bidang seni terelaborasi. Gibran menetap di New York City, menghabiskan hari-hari muramnya, sambil berkarya, sampai sang maut datang menjemputnya.
Karena tema yang universal, maka penikmat sastra, di mana pun ia berada, dapat memahami nilai yang terkandung dalam karya Gibran.
Oleh karena itu, di Indonesia, tidak mengherankan jika puluhan buku alih bahasa karya Gibran kini masih gampang ditemui di gerai dan toko-toko buku. Buku-buku itu terjejer di rak-rak, atau bagian depan kaunter toko buku sebagai buku terbitan baru. Bahkan, cukup banyak yang cetak ulang.
Dengan mudah kita menemukan buku Lagu Gelombang, Taman Sang Nabi, Orang-Orang Tercinta, Surat-Surat Cinta pada May Zaidah, Sang Kekasih, Sang Musafir, Sang Nabi, Sang Pralambang, Air Mata dan Senyuman, Panggung Fana, Saya-SayapPatah, Cinta Keindahan Kesunyian, Kelopak-Kelopak Jiwa, Lazarus dan Kekasihnya, Pasir dan Buih, Lebanon: Legenda dan Air Mata, serta buku-buku lainnya.
Grasindo pun tak mau kalah, tampil dengan desain menawan, dilengkapi cover cukup mewah. Yang agak istimewa ialah biografi lengkap dan terbaru Gibran, Kahlil Gibran: Man and Poet karya Suheil Bushrui dan Joe Jenkins. Ini merupakan studi terlengkap dan terdalam oleh pakar yang dilakukan dua tokoh terkemuka Kahlil Gibran Research and Studies Project.
Sementara yang lain ialah Love Letters, berisi surat-surat cinta antara Gibran dan May Ziadah yang mengalami cetak ulang lebih dari dua kali.
Sementara itu, kita juga menyaksikan karya Gibran diterbitkan oleh Fajar Pustaka Baru, Yayasan Bentang Budaya, Dunia Pustaka Jaya. Tetapi jangan ditanya hasil alih bahasanya. Rata-rata, karena penerjemah kurang paham benar latar, suasana, serta konteks lahirnya karya-karya Gibran; hasilnya boleh dikatakan parah.
Dalam Yesus Sang Anak Manusia misalnya, banyak ditemukan kesalahan mendasar –dan kesalahan itu tidak dapat dimaafkan. Sebagai contoh, pantheon yang dalam bahasa Yunani yang berarti: banyak allah (pan = banyak, theon = allah) diterjemahkan sebagai” dewa pan” (hal 238).
Kekonyolan lainnya terletak pada alih bahasa nama-nama tokoh dalam Injil, seperti Yakob Anak Zabadi (maksudnya, Jakobus putra Zebedeus). Atau pada halaman 82 “Saul dari Tarsus” yang maksudnya pasti bukan Raja Saul dalam Perjanjian Lama, tetapi Saulus, nama Paulus sebelum bertobat.
Meski tergolong parah, alih bahasa itu boleh disebut “buruk-buruk papan jati”. Banyaknya buku karya Gibran yang diterbitkan di Indonesia menunjukkan animo masyarakat terhadap karya-karya Gibran cukup tinggi.
Sebagai bukti kecil atas asumsi tadi dapat dilihat pada data komputer yang tersedia di toko buku Gramedia di Jakarta. Di sana, tercatat stok buku Cinta Keindahan dan Kesunyian telah habis terjual. Sementara buku Yesus Sang Anak Manusia, mengalami cetak ulang kedua.
Penutup
Gibran memang telah tiada. Tapi karya-karyanya tetap abadi. The Broken Wings itu akan terus mengepakkan sayapnya. Tidak saja di Amerika dan dunia Timur Tengah, tapi juga di bumi Indonesia. Jasadnya telah lama tiada, namun pribadi dan karya-karyanya terus menginspirasi manusia di segala ruang dan di sepanjang zaman, termasuk Indonesia.
Menjadi pertanyaan: apa yang menyebabkan Gibran dan karya-karyanya abadi, tidak lekang ditelan zaman dan hampa di dalam segala ruang?
Melihat main idea karya-karyanya, serta dari pengamatan terhadap pemikiran dan permenungannya, dapat disimpulkan hal itu karena ia mengangkat tema yang universal, yang sangat dekat dan dialami sehari-hari, apa adanya, seperti: kesepian, kesendirian, ketakutan, cinta, benci, harapan, keputusasaan, kebebasan, kemerdekaan, juga alienasi.
Di sini menjadi tepat pendapat Horatius, pujangga Romawi kuna, bahwa karya seni yang baik ialah yang mengandung unsur dulce (indah) dan berguna (utile). Karya-karya Gibran indah dan berguna. Karena itu, universal dan abadi.
Untuk mengunduh gambar, silakan kunjungi:
http://www.susanneangst.com/poetry/gibran/art/
Sabtu, 21 November 2009
The Secret of Writepreneurship in Print Media: Rahasia dan Tips Praktis Menjadi Penulis Profesional
Sungguhkah Anda ingin terjun, dan mau memulai, bisnis penulisan (writing business)? Tahukah Anda menulis adalah profesi yang sangat menjanjikan di masa datang?
Maukah Anda disibakkan rahasia, bagaimana menjadi writepreneurship di bidang industri media cetak? Pernahkah terbayangkan oleh Anda ada begitu banyak (101) peluang karier di bidang media massa yang bisa digeluti dan ditekuni?
Jujur harus dikatakan, baru sedikit orang yang menggantungkan hidup dari menulis.
Dari kacamata pasar dan persaingan, hal ini sangat baik. Artinya, ruang terbuka lebar bagi siapa pun yang memiliki word smart untuk terjun dan menekuni dunia tulis-menulis.
Sayang, banyak yang mencoba, namun hanya segelintir yang berhasil. Penyebabnya, kebanyakan jatuh pada tubir jurang kegagalan karena belum/tidak paham trik dalam bisnis menulis.
Rahasia Menjadi Penulis Profesional
Berikut ini disingkap rahasia, agar Anda bisa sukses menjadi penulis profesional.
Rahasia 1: Camkan, Apakah Tulisan Anda Bisnis atau Baru Sebatas Hobi?
Kesalahan yang sering dilakukan penulis ialah menulis topik yang disukainya, bukan topik yang dibutuhkan pasar. Jelas, ini salah! Tulislah topik yang laku dijual, bukan yang kita sukai. Jika sudah terbiasa menulis, semua topik akan kita sukai.
Karena itu, kirimkan naskah Anda hanya pada pasar yang membayar jasa Anda menulis. Anda menulis untuk mendapatkan imbalan, bukan untuk semata-mata publikasi. Pusatkan pikiran, perhatian, dan tenaga Anda pada karier menjadi penulis, bukan secara iseng masuk dunia yang sebenarnya sangat menjanjikan ini.
Rahasia 2: Tetapkan Tujuan Anda Menulis
1. Apa tujuan Anda menulis?
2. Saya menulis untuk tipe pembaca seperti apa?
3. Apakah naskah yang saya tulis menjawab atau sudah memenuhi keingintahuan audiens? (psychographic and geographic proximity / unsur kedekatan psikologis dan geografis)
4. Apakah saya sudah mencapai tujuan penulisan?
5. Apakah tulisan saya membosankan, membingungkan, menyampaikan informasi yang keliru?
6. Apa yang saya inginkan, ketika pembaca membaca tulisan saya?
7. Apakah tulisan saya jelas bagi pembaca?
8. Apakah tulisan saya sudah memuat seluruh informasi dan data yang dibutuhkan pembaca?
Rahasia 3: Ketahui Alasan Mengapa Naskah Ditolak
Ketika bekerja sebagai editor sebuah penerbitan buku, saya terlibat dalam proses awal penyaringan naskah hingga naskah itu mendapat keputusan untuk diterbitkan atau dikembalikan.
Hal pertama yang perlu dicatat, tidak selalu naskah dikembalikan karena alasan naskah itu tidak berbobot. Banyak aspek lain yang memengaruhi keputusan sidang redaksi, antara lain:
1. kesesuaian naskah dengan visi dan misi penerbit
2. faktor penulis: pemula, cukup dikenal, atau sudah terkenal?
3. orisinalitas naskah diragukan, apakah asli karangan/tulisan sendiri atau naskah merupakan tindak plagiat dari karya orang lain
4. isinya nyerempet, atau bahkan mengandung potensi menimbulkan bahaya SARA
5. terakhir, namun bisa menjadi sebab utama naskah ditolak, karena baik isi maupun judulnya tidak menjual sama sekali. Ingat bahwa penerbit adalah lembaga bisnis, bukan lembaga sosial. Mereka akan memrioritaskan naskah yang dapat dijual, bukan semata-mata naskah yang berguna dan penting.
Rahasia 4: Memastikan Naskah Terbit
Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan –begitu kita kerap mendengar sebuah ungkapan.
Benar, tidak ada ihwal paling menjemukan, kecuali menunggu. Terutama penulis pemula, tidak akan sudi mulai menulis karya baru, sebelum naskah yang dikirimkannya mendapat kepastian dari penerbit untuk dipublikasikan. Setiap hari, bahkan setiap saat, Anda barangkali membuka email, menunggu dering telepon, atau menanti pengantar surat datang ke alamat Anda. Saban hari Anda menunggu. Menunggu. Dan menuggu.
Kerap suatu media lama memberikan jawaban. Bahkan, sering tidak memberi tahu sama sekali. Anda harus siap-siap dengan karya yang baru, kalau ingin menjadi penulis profesional, tidak hanya mengandalkan pada hanya satu penerbit atau satu nakah. Boleh dibilang luar biasa, kalau dalam kurun waktu 6 minggu setelah mengirimkan naskah, Anda sudah menerima jawaban. Namun, rata-rata untuk naskah puisi, prosa, atau naskah spontan lainnya; kabar akan diterima setelah tiga bulan.
Anda tentu capek dan bosan menunggu. Sementara duit dari hasil menulis, tidak juga kunjung datang. Apa yang harus Anda lakukan?
Rencana tidakan (action plan) berikut ini perlu Anda lakukan:
1. Tunggu hingga minggu berikut, namun jangan terlalu berharap.
2. Telepon, atau tulis e-mail untuk mendapat kepastian. Bisa jadi tujuan Anda menanyakan kepastian dan nasib naskah Anda. Namun, katakan dengan sopan bahwa tujuan Anda sekadar untuk mengecek dan mengetahui, apakah naskah yang Anda kirimkan sudah diterima atau belum. Jika milsanya Anda menulis surat, jangan lupa sertakan perangko balasan, lengkapi nama dan alamat; dikirimkan kepada siapa, judul naskah, tujuan dan rencana penerbitan serta tanggal pengiriman.
3. Jika Anda tidak berhasil mengontak orang yang paling berwewenang mengambil keputusan, tinggalkan pesan dan jangan lupa berikan nomor telepon Anda.
4. Bila naskah Anda tidak jua bersua kabar berita dalam tempo seminggu, ulangi langkah 2. Jika tidak ada jawaban, tulis surat singkat yang menyatakan, Anda akan menarik naskah itu dan segera menyerahkannya ke penerbit lain.
6. Apabila editor menjawab dan mengatakan bahwa mereka masih mempertimbangkan naskah Anda, dan membutuhkan waktu untuk memelajarinya, oke oke saja sejauh naskah yang sama belum Ada kepastian dari penerbit yang lain.
7. Editor bisa jadi mengatakan bahwa naskah Anda nyasar, tidak pernah sampai, hilang tidak tahu ke mana rimbanya –kabar yang bisa membuat Anda jantungan. Jika begitu, kirimkan kopi naskah Anda lagi.
8. Yang paling pokok dalam berurusan dengan penerbit ialah: selalu ramah, sopan, dan bersahabat. Anda tidak pernah tahu, bahwa hal kecil dan sentuhan kemanusiaan sering berpengaruh dalam hubungan bisnis. Bahkan, ketika editor atau direktur penerbitnya berganti, jika Anda memegang prinsip ini, hubungan baik selalu bisa dijalin.
Rahasia 5: Standar Pengiriman Naskah
Di era teknologi komunikasi saat ini, mengirimkan naskah melalui email sangatlah lazim.
Meski demikian, tidak semua media dan badan penerbit menerima kiriman naskah via email. Anda perlu memastikan hal ini. Jika media itu menerima kiriman naskah melalui email, tetap pastikan bahwa naskah sudah diterima oleh bagian/ orang yang tepat.
Komunikasi lewat telepon atau surat masih diperlukan. Anda perlu menanyakan, apakah semua dokumen yang Anda kirimkan diterima dengan utuh: surat elektronik sebagai pengantar, naskah yang biasanya ada dalam file attachment. Beberapa penerbit takut membuka attachment karena berisiko ada virus di dalamnya.
Jika Anda mengirimkan data melalui email, yakinkan bahwa Anda memunyai kopi naskah. Data elektronik mudah terkena kemungkinan terhapus (ke-delete). Lagi pula, sering terjadi masalah pada jaringan internet, sehingga naskah Anda tidak kunjung diterima redaksi.
Rahasia 6: Standar Naskah
Jika Anda mengirimkan artikel, cerita, atau tulisan apa pun kepada suatu media, perhatikan standar naskah yang mereka tetapkan. Temukan standar atau syarat pengiriman naskah dalam website mereka. Jika tidak ada, berikut ini standar umum naskah yang berlaku pada industri media.
1. Jika menggunakan kertas untuk mem-print out naskah Anda, gunakan yang snadar, A-4. Tebal tipisnya tidak masalah, apakah mau 70 atau 80 gr.
2. Ketik menggunakan spasi ganda (double-spacing) hanya dalam satu halaman kertas saja, tidak bolak balik. Jangan mengirimkan naskah dengan tulisan tangan, kecuali Anda penulis hebat seperti J.K. Rowling, Arswendo Atmowiloto, atau Ayu Utami.
3. Pilihlah jenis huruf yang gampang dibaca dan enak di mata seperti Courier, Arial, atau Times New Roman.
4. Ukuran huruf: 12 poin
5. Sisakanlah ruang pada kiri, kanan, atas, dan bawah tulisan sekitar 3cm.
6. Manfaatkan halaman sampul untuk memberikan informasi penting berikut ini:
Kiri atas: nama Anda, alamat, dan nomor telepon Anda.
Kanan atas: jumlah karakter naskah Anda.
Tengah: kepada siapa Anda menujukan naskah.
7. Sertakan nama dan nomor kontak Anda/email/alamat.
8. Nomori setiap halaman.
9. Di akhir naskah, biarkan dua atau tiga baris kosong dan tulislah “SELESAI”..
10. Jika Anda menginginkan naskah dikembalikan, Anda harus menyertakan biaya pengembalian secukupnya.
Rahasia 7: Be Positive!
Pastikan apa yang h Apa yang harus dilakukan dan apa yang ditampik
Ya: Order harus senantiasa diproses tidak lebih dari dua hari.
Tidak: Jangan pernah memroses order lebih dari dua hari.
Katakan tentang apa yang dapat Anda lakukan, bukan apa yang tidak dapat Anda lakukan.
Ya: Kita dapat melakukan pembicaraan awal segera.
Tidak: Maaf, kita belum bisa bertemu saat ini. Bagaimana kalau ditunda besok saja?
Gunakan ungkapan yang netral dan hindari ungkapan yang merendahkan.
Ya: Bolehkah saya menjelaskan apa yang tadi saya katakan?
Tidak: Gimana sih, kok gak ngerti-ngerti juga? Anda keliru menafsirkan apa yang saya katakan.
Gunakan kata-kata untuk menciptakan peraaan yang positif.
Ya: Di lembaga ini, kami menghargai sumber daya manusia.
Tidak: Di lembaga ini, kami melakukan semuanya sendiri.
Gunakan setiap kesempatan untuk berkomunikasi.
Ya: Terima kasih atas perhatian dan kerja sama Anda.
T: Kami sudah maklum semuanya.
Jangan berpikiran negatif! Selalulah berpikiran positif.
Rahasia 8: Kalimat dan Paragraf yang Bervariasi Lebih Baik
Kalimat: panjang yang bervariasi, kalimat pendek lebih baik.
Paragraf: paragraf dibangun dari kesatuan ide yang jelas antarkalimat.
Akurasi: Pastikan tata bahasa dan informasi yang disampaikan tepat dan akurat.
Peluang Bisnis/Karier Penulis
1. Administrator Web
2. Alamat Sahabat Pena
3. Artikel
4. Bahan Ceramah
5. Biografi
6. Book Mark
7. Brosur Public Relations
8. Brosur Perawatan Anak
9. Buklet Ringkas Bahasa
10. Buku Biasa
11. Buku Anak
12. Buku Teks/ Pelajaran
13. Catatan Harian
14. Cerita Bersambung (Cerber)
15. Cerita Pendek (Cerpen)
16. Co-author
17. Company Profile
18. Club News Services
19. Daftar Harga
20. Daftar Nama dan Alamat
21. Data Alumni
22. Directory Apa dan Siapa
23. Dongeng
24. Dummy Buku
25. E-book
26. E-card
27. E-learning
28. Fillers
29. Flier
30. Ice Breaking
31. Ide Cerita
32. Indeks Buku
33. Kartu Ucapan Ulang Tahun (Birthday Greetings)
34. Kartu Ucapan Datangnya Musim (Season Greeting)
35. Kartu Ucapan Hari Libur (Holiday Greetings)
36. Kartu Ucapan Hari Raya Keagamaan
37. Karya Tulisan Tangan
38. Khotbah
39. Kolumnis
40. Komik
41. Kop dan Amplop Surat
42. Kuis
43. Kumpulan Tulisan (Bunga Rampai)
44. Latihan Soal
45. Literary Agent
46. Logo
47. Mailing List
48. Managing Editor
49. Media Internal
50. Melayani Komplen
51. Membeli dan Menjual Space
52. Memo
53. Mengumpulkan Surat
54. Naskah Iklan
55. Naskah untuk Sinetron TV
56. Naskah Sandiwara/Drama
57. News Letter
58. Notulen Rapat/Seminar
59. Novel
60. Novelet
61. Paper/Makalah
62. Panduan Golf
63. Panduan Orang Tua
64. Panduan Naik Gunung
65. Panduan Perjalanan
66. Panduan Wisata
67. Pantun
68. Pengantar Buku
69. Pengumuman
70. Penulis Bayangan/ Siluman (Ghost Writier)
71. Penyunting (Pengumpul) Naskah
72. Peringatan dan Penanggulangannya
73. Peribahasa
74. Pesan/ Tulisan Politik
75. Petunjuk Rumah Tangga
76. Poster
77. Power Point Ceramah
78. Proof Reader
79. Proposal
80. Puisi
81. Reporter Lokal
82. Resensi
83. Resume
84. Ringkasan Buku
85. Riset
86. Riwayat Pribadi
87. Riwayat Rumah
88. Sejarah Kelahiran
89. Sinopsis Buku
90. Soal
91. Skripsi/Tesis/Disertasi
92. Surat Tulisan Tangan
93. Surat Kontrak
94. Surat Fans/ Penggemar
95. Surat Sosial
96. Sinopsis Sinetron/Film
97. Syair Lagu
98. Tulisan di Truk dan Angkutan
99. Tulisan di Spanduk dan Billboard
100. Teks Pidato
101. Wartawan Lepas
VI. Manfaat Menulis
1. Emosional : lebih sehat jiwa, usia panjang
2. Finansial
3. Sosial
4. Fungsional (kalau guru/dosen)
Hambatan Menulis dan cara Mengatasinya
1. Takut dicemoh /diejek (katagelofobia)
2. Takut pada khalayak (demofobia)
3. Takut menulis karena menganggap diri tidak berbakat (laliofobia)
4. Takut tidak mendapat manfaat, sudah menhabiskan banyak waktu, tenaga, dan pikiran.
Cara mengatasi : Ikuti kata empu penulis, Mark Twain, “Write without pay, until somebody offers pay!"
Seperti keterampilan lain dalam olah raga, misalnya renang, menulis pun perlu latihan! Seorang yang ahli teori berenang, tapi tidak pernah menerapkan teori itu di air, sekali masuk air, gaya renangnya adalah gaya botol! Menulis juga seperti itu. Perlu latihan. Perlu ketekunan.
Selamat mencoba. Dan selamat menjadi penulis profesional!
--------------o0o----------------
Maukah Anda disibakkan rahasia, bagaimana menjadi writepreneurship di bidang industri media cetak? Pernahkah terbayangkan oleh Anda ada begitu banyak (101) peluang karier di bidang media massa yang bisa digeluti dan ditekuni?
Jujur harus dikatakan, baru sedikit orang yang menggantungkan hidup dari menulis.
Dari kacamata pasar dan persaingan, hal ini sangat baik. Artinya, ruang terbuka lebar bagi siapa pun yang memiliki word smart untuk terjun dan menekuni dunia tulis-menulis.
Sayang, banyak yang mencoba, namun hanya segelintir yang berhasil. Penyebabnya, kebanyakan jatuh pada tubir jurang kegagalan karena belum/tidak paham trik dalam bisnis menulis.
Rahasia Menjadi Penulis Profesional
Berikut ini disingkap rahasia, agar Anda bisa sukses menjadi penulis profesional.
Rahasia 1: Camkan, Apakah Tulisan Anda Bisnis atau Baru Sebatas Hobi?
Kesalahan yang sering dilakukan penulis ialah menulis topik yang disukainya, bukan topik yang dibutuhkan pasar. Jelas, ini salah! Tulislah topik yang laku dijual, bukan yang kita sukai. Jika sudah terbiasa menulis, semua topik akan kita sukai.
Karena itu, kirimkan naskah Anda hanya pada pasar yang membayar jasa Anda menulis. Anda menulis untuk mendapatkan imbalan, bukan untuk semata-mata publikasi. Pusatkan pikiran, perhatian, dan tenaga Anda pada karier menjadi penulis, bukan secara iseng masuk dunia yang sebenarnya sangat menjanjikan ini.
Rahasia 2: Tetapkan Tujuan Anda Menulis
1. Apa tujuan Anda menulis?
2. Saya menulis untuk tipe pembaca seperti apa?
3. Apakah naskah yang saya tulis menjawab atau sudah memenuhi keingintahuan audiens? (psychographic and geographic proximity / unsur kedekatan psikologis dan geografis)
4. Apakah saya sudah mencapai tujuan penulisan?
5. Apakah tulisan saya membosankan, membingungkan, menyampaikan informasi yang keliru?
6. Apa yang saya inginkan, ketika pembaca membaca tulisan saya?
7. Apakah tulisan saya jelas bagi pembaca?
8. Apakah tulisan saya sudah memuat seluruh informasi dan data yang dibutuhkan pembaca?
Rahasia 3: Ketahui Alasan Mengapa Naskah Ditolak
Ketika bekerja sebagai editor sebuah penerbitan buku, saya terlibat dalam proses awal penyaringan naskah hingga naskah itu mendapat keputusan untuk diterbitkan atau dikembalikan.
Hal pertama yang perlu dicatat, tidak selalu naskah dikembalikan karena alasan naskah itu tidak berbobot. Banyak aspek lain yang memengaruhi keputusan sidang redaksi, antara lain:
1. kesesuaian naskah dengan visi dan misi penerbit
2. faktor penulis: pemula, cukup dikenal, atau sudah terkenal?
3. orisinalitas naskah diragukan, apakah asli karangan/tulisan sendiri atau naskah merupakan tindak plagiat dari karya orang lain
4. isinya nyerempet, atau bahkan mengandung potensi menimbulkan bahaya SARA
5. terakhir, namun bisa menjadi sebab utama naskah ditolak, karena baik isi maupun judulnya tidak menjual sama sekali. Ingat bahwa penerbit adalah lembaga bisnis, bukan lembaga sosial. Mereka akan memrioritaskan naskah yang dapat dijual, bukan semata-mata naskah yang berguna dan penting.
Rahasia 4: Memastikan Naskah Terbit
Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan –begitu kita kerap mendengar sebuah ungkapan.
Benar, tidak ada ihwal paling menjemukan, kecuali menunggu. Terutama penulis pemula, tidak akan sudi mulai menulis karya baru, sebelum naskah yang dikirimkannya mendapat kepastian dari penerbit untuk dipublikasikan. Setiap hari, bahkan setiap saat, Anda barangkali membuka email, menunggu dering telepon, atau menanti pengantar surat datang ke alamat Anda. Saban hari Anda menunggu. Menunggu. Dan menuggu.
Kerap suatu media lama memberikan jawaban. Bahkan, sering tidak memberi tahu sama sekali. Anda harus siap-siap dengan karya yang baru, kalau ingin menjadi penulis profesional, tidak hanya mengandalkan pada hanya satu penerbit atau satu nakah. Boleh dibilang luar biasa, kalau dalam kurun waktu 6 minggu setelah mengirimkan naskah, Anda sudah menerima jawaban. Namun, rata-rata untuk naskah puisi, prosa, atau naskah spontan lainnya; kabar akan diterima setelah tiga bulan.
Anda tentu capek dan bosan menunggu. Sementara duit dari hasil menulis, tidak juga kunjung datang. Apa yang harus Anda lakukan?
Rencana tidakan (action plan) berikut ini perlu Anda lakukan:
1. Tunggu hingga minggu berikut, namun jangan terlalu berharap.
2. Telepon, atau tulis e-mail untuk mendapat kepastian. Bisa jadi tujuan Anda menanyakan kepastian dan nasib naskah Anda. Namun, katakan dengan sopan bahwa tujuan Anda sekadar untuk mengecek dan mengetahui, apakah naskah yang Anda kirimkan sudah diterima atau belum. Jika milsanya Anda menulis surat, jangan lupa sertakan perangko balasan, lengkapi nama dan alamat; dikirimkan kepada siapa, judul naskah, tujuan dan rencana penerbitan serta tanggal pengiriman.
3. Jika Anda tidak berhasil mengontak orang yang paling berwewenang mengambil keputusan, tinggalkan pesan dan jangan lupa berikan nomor telepon Anda.
4. Bila naskah Anda tidak jua bersua kabar berita dalam tempo seminggu, ulangi langkah 2. Jika tidak ada jawaban, tulis surat singkat yang menyatakan, Anda akan menarik naskah itu dan segera menyerahkannya ke penerbit lain.
6. Apabila editor menjawab dan mengatakan bahwa mereka masih mempertimbangkan naskah Anda, dan membutuhkan waktu untuk memelajarinya, oke oke saja sejauh naskah yang sama belum Ada kepastian dari penerbit yang lain.
7. Editor bisa jadi mengatakan bahwa naskah Anda nyasar, tidak pernah sampai, hilang tidak tahu ke mana rimbanya –kabar yang bisa membuat Anda jantungan. Jika begitu, kirimkan kopi naskah Anda lagi.
8. Yang paling pokok dalam berurusan dengan penerbit ialah: selalu ramah, sopan, dan bersahabat. Anda tidak pernah tahu, bahwa hal kecil dan sentuhan kemanusiaan sering berpengaruh dalam hubungan bisnis. Bahkan, ketika editor atau direktur penerbitnya berganti, jika Anda memegang prinsip ini, hubungan baik selalu bisa dijalin.
Rahasia 5: Standar Pengiriman Naskah
Di era teknologi komunikasi saat ini, mengirimkan naskah melalui email sangatlah lazim.
Meski demikian, tidak semua media dan badan penerbit menerima kiriman naskah via email. Anda perlu memastikan hal ini. Jika media itu menerima kiriman naskah melalui email, tetap pastikan bahwa naskah sudah diterima oleh bagian/ orang yang tepat.
Komunikasi lewat telepon atau surat masih diperlukan. Anda perlu menanyakan, apakah semua dokumen yang Anda kirimkan diterima dengan utuh: surat elektronik sebagai pengantar, naskah yang biasanya ada dalam file attachment. Beberapa penerbit takut membuka attachment karena berisiko ada virus di dalamnya.
Jika Anda mengirimkan data melalui email, yakinkan bahwa Anda memunyai kopi naskah. Data elektronik mudah terkena kemungkinan terhapus (ke-delete). Lagi pula, sering terjadi masalah pada jaringan internet, sehingga naskah Anda tidak kunjung diterima redaksi.
Rahasia 6: Standar Naskah
Jika Anda mengirimkan artikel, cerita, atau tulisan apa pun kepada suatu media, perhatikan standar naskah yang mereka tetapkan. Temukan standar atau syarat pengiriman naskah dalam website mereka. Jika tidak ada, berikut ini standar umum naskah yang berlaku pada industri media.
1. Jika menggunakan kertas untuk mem-print out naskah Anda, gunakan yang snadar, A-4. Tebal tipisnya tidak masalah, apakah mau 70 atau 80 gr.
2. Ketik menggunakan spasi ganda (double-spacing) hanya dalam satu halaman kertas saja, tidak bolak balik. Jangan mengirimkan naskah dengan tulisan tangan, kecuali Anda penulis hebat seperti J.K. Rowling, Arswendo Atmowiloto, atau Ayu Utami.
3. Pilihlah jenis huruf yang gampang dibaca dan enak di mata seperti Courier, Arial, atau Times New Roman.
4. Ukuran huruf: 12 poin
5. Sisakanlah ruang pada kiri, kanan, atas, dan bawah tulisan sekitar 3cm.
6. Manfaatkan halaman sampul untuk memberikan informasi penting berikut ini:
Kiri atas: nama Anda, alamat, dan nomor telepon Anda.
Kanan atas: jumlah karakter naskah Anda.
Tengah: kepada siapa Anda menujukan naskah.
7. Sertakan nama dan nomor kontak Anda/email/alamat.
8. Nomori setiap halaman.
9. Di akhir naskah, biarkan dua atau tiga baris kosong dan tulislah “SELESAI”..
10. Jika Anda menginginkan naskah dikembalikan, Anda harus menyertakan biaya pengembalian secukupnya.
Rahasia 7: Be Positive!
Pastikan apa yang h Apa yang harus dilakukan dan apa yang ditampik
Ya: Order harus senantiasa diproses tidak lebih dari dua hari.
Tidak: Jangan pernah memroses order lebih dari dua hari.
Katakan tentang apa yang dapat Anda lakukan, bukan apa yang tidak dapat Anda lakukan.
Ya: Kita dapat melakukan pembicaraan awal segera.
Tidak: Maaf, kita belum bisa bertemu saat ini. Bagaimana kalau ditunda besok saja?
Gunakan ungkapan yang netral dan hindari ungkapan yang merendahkan.
Ya: Bolehkah saya menjelaskan apa yang tadi saya katakan?
Tidak: Gimana sih, kok gak ngerti-ngerti juga? Anda keliru menafsirkan apa yang saya katakan.
Gunakan kata-kata untuk menciptakan peraaan yang positif.
Ya: Di lembaga ini, kami menghargai sumber daya manusia.
Tidak: Di lembaga ini, kami melakukan semuanya sendiri.
Gunakan setiap kesempatan untuk berkomunikasi.
Ya: Terima kasih atas perhatian dan kerja sama Anda.
T: Kami sudah maklum semuanya.
Jangan berpikiran negatif! Selalulah berpikiran positif.
Rahasia 8: Kalimat dan Paragraf yang Bervariasi Lebih Baik
Kalimat: panjang yang bervariasi, kalimat pendek lebih baik.
Paragraf: paragraf dibangun dari kesatuan ide yang jelas antarkalimat.
Akurasi: Pastikan tata bahasa dan informasi yang disampaikan tepat dan akurat.
Peluang Bisnis/Karier Penulis
1. Administrator Web
2. Alamat Sahabat Pena
3. Artikel
4. Bahan Ceramah
5. Biografi
6. Book Mark
7. Brosur Public Relations
8. Brosur Perawatan Anak
9. Buklet Ringkas Bahasa
10. Buku Biasa
11. Buku Anak
12. Buku Teks/ Pelajaran
13. Catatan Harian
14. Cerita Bersambung (Cerber)
15. Cerita Pendek (Cerpen)
16. Co-author
17. Company Profile
18. Club News Services
19. Daftar Harga
20. Daftar Nama dan Alamat
21. Data Alumni
22. Directory Apa dan Siapa
23. Dongeng
24. Dummy Buku
25. E-book
26. E-card
27. E-learning
28. Fillers
29. Flier
30. Ice Breaking
31. Ide Cerita
32. Indeks Buku
33. Kartu Ucapan Ulang Tahun (Birthday Greetings)
34. Kartu Ucapan Datangnya Musim (Season Greeting)
35. Kartu Ucapan Hari Libur (Holiday Greetings)
36. Kartu Ucapan Hari Raya Keagamaan
37. Karya Tulisan Tangan
38. Khotbah
39. Kolumnis
40. Komik
41. Kop dan Amplop Surat
42. Kuis
43. Kumpulan Tulisan (Bunga Rampai)
44. Latihan Soal
45. Literary Agent
46. Logo
47. Mailing List
48. Managing Editor
49. Media Internal
50. Melayani Komplen
51. Membeli dan Menjual Space
52. Memo
53. Mengumpulkan Surat
54. Naskah Iklan
55. Naskah untuk Sinetron TV
56. Naskah Sandiwara/Drama
57. News Letter
58. Notulen Rapat/Seminar
59. Novel
60. Novelet
61. Paper/Makalah
62. Panduan Golf
63. Panduan Orang Tua
64. Panduan Naik Gunung
65. Panduan Perjalanan
66. Panduan Wisata
67. Pantun
68. Pengantar Buku
69. Pengumuman
70. Penulis Bayangan/ Siluman (Ghost Writier)
71. Penyunting (Pengumpul) Naskah
72. Peringatan dan Penanggulangannya
73. Peribahasa
74. Pesan/ Tulisan Politik
75. Petunjuk Rumah Tangga
76. Poster
77. Power Point Ceramah
78. Proof Reader
79. Proposal
80. Puisi
81. Reporter Lokal
82. Resensi
83. Resume
84. Ringkasan Buku
85. Riset
86. Riwayat Pribadi
87. Riwayat Rumah
88. Sejarah Kelahiran
89. Sinopsis Buku
90. Soal
91. Skripsi/Tesis/Disertasi
92. Surat Tulisan Tangan
93. Surat Kontrak
94. Surat Fans/ Penggemar
95. Surat Sosial
96. Sinopsis Sinetron/Film
97. Syair Lagu
98. Tulisan di Truk dan Angkutan
99. Tulisan di Spanduk dan Billboard
100. Teks Pidato
101. Wartawan Lepas
VI. Manfaat Menulis
1. Emosional : lebih sehat jiwa, usia panjang
2. Finansial
3. Sosial
4. Fungsional (kalau guru/dosen)
Hambatan Menulis dan cara Mengatasinya
1. Takut dicemoh /diejek (katagelofobia)
2. Takut pada khalayak (demofobia)
3. Takut menulis karena menganggap diri tidak berbakat (laliofobia)
4. Takut tidak mendapat manfaat, sudah menhabiskan banyak waktu, tenaga, dan pikiran.
Cara mengatasi : Ikuti kata empu penulis, Mark Twain, “Write without pay, until somebody offers pay!"
Seperti keterampilan lain dalam olah raga, misalnya renang, menulis pun perlu latihan! Seorang yang ahli teori berenang, tapi tidak pernah menerapkan teori itu di air, sekali masuk air, gaya renangnya adalah gaya botol! Menulis juga seperti itu. Perlu latihan. Perlu ketekunan.
Selamat mencoba. Dan selamat menjadi penulis profesional!
--------------o0o----------------
Siapa Konsumen Novel?
Seorang novelis diandaikan mengetahui siapa calon pembaca karyanya. Kalau tidak, maka ia akan memilih tema, menggunakan bahasa, dan menetapkan nama yang jauh dari dunia pembaca. Padahal, sebuah novel yang berhasil ialah yang dekat dengan pembacanya.
Unsur proximity ini menjadi penting, sedemikian rupa, sehingga pembaca merasa menjadi bagian dari pelaku cerita Anda dan mengalami peristiwa yang Anda reka.
Jadi, tidak hanya dalam ilmu marketing, menetapkan sasaran pembaca (targeting and segmentation) ini penting. Seorang penulis pun perlu menetapkan siapa sasaran pembaca, sebelum menulis.
Siapa sebenarnya pembaca dan pembeli novel? Sulit menjawab pertanyaan itu secara spontan. Mengapa? Karena sampai saat ini masih sedikit riset yang memetakan mengenai profil pembeli buku. Kalaupun peta itu ada, hanyalah terbatas pada segmen tertentu saja. Tidak mencerminkan pembeli buku secara keseluruhan.
Sulitnya memetakan siapa pembeli buku, tidak hanya karena langkanya hasil riset. Akan tetapi, penyebab utamanya karena pembeli buku selalu berubah-ubah.
Pembeli yang hari ini membeli buku A misalnya, belum tentu menjadi pembeli buku B besok lusa. Berbeda dengan pelanggan koran dan majalah, pembeli buku selalu berubah.
Sebenarnya, tidak hanya dalam bisnis buku saja pembeli selalu berubah-ubah. Pada bisnis lain pun, pembeli sering gonta ganti. Tidak ada pembeli yang tetap. Yang tetap ialah perubahan itu sendiri.
Oleh karena itu, riset pemasaran dan identifikasi siapakah pelanggan, penting secara terus-menerus diadakan. Riset itu untuk mengetahui perilaku konsumen, untuk selanjutnya menjadi masukan bagi pengambil keputusan dalam sebuah organisasi penerbitan buku di dalam menyusun kebijakan dan program bisnisnya ke depan.
Berbeda dengan consumer goods, seperti produk makanan dan minuman yang semua usia dan semua lapisan memerlukannya, produk buku sangat unik. Setiap kali melempar produk baru (buku), sebuah penerbit harus mencari pelanggan dan pembeli baru. Berbeda dengan surat kabar dan majalah yang sudah punya langganan tetap, jarang ada pelanggan buku. Kalaupun ada, mereka adalah anggota sebuah klub pecinta buku penerbit tertentu.
Remaja Putri dan Ibu Muda
Sebagaimana diketahui, terdapat banyak jenis buku. Salah satu di antaranya ialah novel. Dari tahun 1970-an, hingga saat ini, novel tetap menjadi salah satu produk andalan baik oleh toko buku maupun penerbit.
Novel selalu menjadi produk best seller. Faktor apa yang menyebabkan novel tetap bertahan, bahkan selalu menempati ranking penjualan teratas baik dari sisi omset maupun jenis buku?
Kritikus dan sastrawan Jakob Sumardjo pernah melakukan riset yang hasilnya dibukukan dalam Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Menurut riset Jakob Sumardjo, di era ’70-an di Indonesia terbit sekitar 70 buah novel.
Siapa konsumen (pembeli)-nya? Agaknya, konsumen novel dari dulu hingga sekarang tetap tidak bergeser: mayoritas konsumen adalah para remaja putri dan ibu-ibu muda.
Hasil penelitian Jakob Sumardjo dapat digunakan untuk menjelaskan fenomenon, mengapa dari dulu sampai kini novel populer selalu saja didominasi wanita.
Kendati banyak juga pria novelis yang karyanya bersambut, namun hampir selalu kalah bersaing dari sisi penjualan. Sebut saja nama pria novelis seperti Ashadi Siregar, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Freddy, Yudhistira ANM Massardi, Abdullah Harahap; eksistensi mereka kalah pamor dibanding wanita novelis seperti: Marga T, Mira W, S. Mara GD, atau V. Lestari.
Memasuki dekade ’80-an – ‘90-an, dominasi novelis wanita tetap tak terpatahkan. Sampai di ambang pintu gerbang millennium ke-3 pun, dominasi itu tetap bertahan, sampai hari ini. Sekadar menyebut contoh, betapa karya Ayu Utami Saman (terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada 1988 menjadi sangat fenomenal. Menyusul karya Dee Supernova dan Dyan Nuranindya Dealova yang juga tak kalah fenomenalnya.
Tiga novel tersebut boleh dikatakan fenomenal pada awal milenum ketiga. Menyusul produk ikutan (mee too product) yang juga tidak kalah menarik dan laris seperti karya Fira Basuki (Atap, Pintu, Jendela, Miss B, Rojak), karya-karya Naning Pranoto dan sejumlah novelis wanita lain.
Mengapa Novel yang Ditulis Wanita Laku?
Mengapa novel yang ditulis oleh wanita laku? Terdapat banyak faktor, antara lain.
1. Tahu kebutuhan pembaca
Sebagaimana dalam surat kabar dan majalah, dalam buku pun unsur kedekatan pada pelanggan memainkan peranan yang penting sebagai pemicu bagi orang untuk membeli dan membaca. Para novelis wanita sadar betul siapa calon pembeli dan pembaca novel mereka, sehingga dengan serius mengekslporasi dunia mereka.
Sebenarnya, dari sisi tema, tidak ada yang baru dalam novel populer. Dari dulu hingga kini, tema itu itu saja: cinta, seks, perkawinan, rumah tangga, pekerjaan, kebebasan, hubungan sosial, masalah spiritual. Bedanya terletak pada bahasa, cara bertutur, pilihan diksi, serta ending yang cenderung happy ending.
2. Bahasanya lugas
Novel-novel sekarang misalnya, bahasanya lebih lugas. Tidak lagi bertele-tele, berpantun dulu dengan sampiran, baru sampai pada isi sebagaimana novel pada zaman Balai Poestaka.
Rata-rata novelis sekarang mengungkapkan sesuatu to the point, tidak malu-malu, tanpa tedeng aling-aling. Ini sesuai dengan perkembangan masyarakat sekarang yang terbuka (open society), ini pula cerminan perubahan perilaku dan gaya hidup konsumen. Namun, pada deskripsi hampir tidak ada perbedaan antara novel dulu dan sekarang.
Agak berbeda dengan pria, wanita novelis sangat mafhum dunia kaumnya. Mereka mengangkat ihwal yang dipikirkan, diimpikan, dan dialami ke dalam novel. Selain ideal, terbungkus di dalamnya impian-impian dan juga harapan. Kadang di awang-awang, namun tetap terasa tidak maya karena persoalan dan tema dekat dengan pembaca.
Di balik impian dan harapan yang serba menyenangkan, toh tetap ada unsur idealisme. Misalnya, bagaimana posisi wanita dalam rumah tangga dan kantor. Bagaimana remaja putri bersikap pada lelaki. Bahwa wanita kini bukan sebagaimana zaman Siti Nurbaya. Tidak mengherankan, novel seperti itu berterima, sebab selain menghibur, juga berguna. Di samping kontekstual, juga sarat dengan muatan filosofis.
3. Memadukan unsur indah dan berguna
Sadar atau tidak, novelis wanita sudah melakukan nasihat pujangga Romawi, Horatius. Menurut Horatius, karya sastra yang baik ialah yang mengandung dua unsur sekaligus: indah, menghibur, manis (dulce) dan berguna, bermanfaat,mengandung hikmah (utile).
Patut dicatat, umumnya novel yang laris manis itu akhir ceritanya memilih penyelesaian yang menyenangkan (happy ending). Mengapa demikian? Ini sesuai dengan sebuah terbitan yang bersifat entertaintment yang hakikatnya memang menghibur.
Lagi pula, hal itu sesuai dengan hakiki manusia yang cenderung menghindari hal-hal buruk dan yang tragis serta cenderung mengulang-ulang ihwal yang menyenangkan.
Dan novel dengan happy ending tujuannya memang menghibur. Sejalan dengan temuan ilmu psikologi, bukankah manusia cenderung menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan dan suka mengulang sesuatu yang menyenangkan?
Tampaknya, novelis wanita tahu betul psikologi pembaca. Mereka memainkannya dengan sempurna.
Hal-hal yang menyenangkan ini ditarik ulur, tidak disajikan seluruhnya sampai pembaca benar-benar merasa puas. Kalau pembaca masih penasaran, maka akan dilanjutkan dengan serial berikutnya.
Kamis, 12 November 2009
Tips Memilih Bacaan untuk Anak
Buku cerita anak sangat berguna dan bernilai, tidak hanya sekadar hiburan. Sukses anak di sekolah, sering berawal dari bacaan dan keterampilannya membaca.
Namun, bagaimana memilih buku yang baik bagi anak?
dionsdailydeal.wordpress.com/.../
Penelitian membuktikan, anak yang gemar membaca dan yang banyak menonton televisi sangat berbeda.
Anak yang gemar membaca, kemampuan dan hasil akademisnya jauh melebihi anak-anak yang suka menonton. Mengapa? Karena di dalam membaca, mental dan otak anak aktif. Ketika membaca, pikiran dan imajinasi seseorang sama-sama aktif.
Berbeda dengan menonton tv. Otak dan imajinasi pasif, anak hanya mengikuti saja apa menu yang disajikan. Anak hanya menerima apa yang sudah dituangkan dalam skenario.
“Malang”-nya, menonton memang sudah menjadi semacam budaya bangsa kita.
Kehadiran pesawat televisi yang menjamah seluruh rumah dengan biaya murah dan acara yang serba wah sangatlah menggoda. Berapa banyak keluarga yang dipengaruhi perilaku dan kebiasaannya oleh TV. Baik oleh tayangan berbau kekerasan maupun pengaruh iklan. Iklan ditengarai menjadi salah satu pemicu masyakarat konsumtif.
Apabila ekses negatif seperti itu tidak diwaspadai, maka pengaruh TV yang merasuk anak lebih banyak negatif ketimbang positifnya. Orang tua harus mengarahkan dan membatasi anak menonton TV. Karena budaya nonton (watching culture), sesungguhnya lebih terarah pada hiburan yang dangkal (M. Nuh, 2007). Namun, budaya baca (Jacob Oetama, 2007) justru memintarkan anak.
Apa yang dikatakan oleh pakar media itu benar adanya. Studi yang dilakukan baru-baru ini mencatat, siswa yang banyak menghabiskan waktu main video game dan nonton TV anjlok nilai akademiknya.
Studi yang dilakukan terhadap 4.500 siswa sekolah menengah di Vermont and New Hampshire mencatat bahwa siswa yang selepas sekolah main video game dan nonton TV nilai rapornya hancur-hancuran.
Studi itu juga menyimpulkan, semakin banyak waktu yang dihabiskan anak untuk main game dan nonton TV, pekerjaan dan hasil belajkar mereka juga menurun. Yang menarik, studi ini dilakukan dan dicatat siswa sendiri.
Karena itu, membiasakan anak membaca sejak dini sangat penting. Namun, bagaimanakah memilih bacaan yang tepat untuk anak? Secara garis besar, untuk anak prasekolah, sebaiknya buku yang cocok ialah yang:
• Sarat dengan gambar, sedikit kata. Orang tua/ guru dapat menyuguhkan buku yang banyak kata-katanya seiring dengan usia anak.
• Mengandung rima.
• Alurnya sangat sederhana.
• Mengajarkan kebajikan (karakter baik).
• Bahasa mudah dimengerti.
Sedangkan untuk anak yang sudah masuk SD, kriteria bacaan yang sesuai:
• Sedikit, bahkan tidak ada gambar, banyak kata.
• Tingkat kesulitan bahasa dan alur sesuai dengan usia anak.
• Mengajarkan kebajikan (karakter baik).
• Tidak mengandung kekerasan dan pornografi.
Tentu saja, tidak semua bacaan cocok dan baik dibaca (dan dibacakan pada) anak-anak. Tentu, tentang ini kita semua bersepakat. Jika demikian, bagaimanakah kriteria, atau kiat memilih bacaan yang cocok untuk anak-anak?
Tentu saja, tidak semua kriteria ini bisa dijumpai dalam buku cerita anak yang terbit dan beredar di Indonesia. Menemukan yang mendekati sempurna, sudah sangat bagus. Dan itu bisa didapat dari buku-buku anak terjemahan, semisal serial karya Enid Blyton (Merpati Putih, Rumah Gula Mungil, Serbuk Bersih, Burung Muari Si Andrew, Kelinci-kelinci Kertas, Peri Sutera, Kanguru Putar, Kisah Si Tumpy, Kalau Bulan Berwarna Biru, Payung Ajaib, dan Terjebak di Atas Pohon). Atau, untuk anak balita, bacaan yang juga cocok adalah serial Walt Disney.
Lalu, untuk anak usia 4-5 tahun dapat disuguhkan bacaan berlatar petualangan, seperti: Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Gadis Badung, Empat Sekawan, Komplotan, dan Malory Towers. Sementara dari dalam negeri, bahan bacaan yang cocok bagi anak dapat mengambil tema-tema:
Persahabatan
Religius
Sosial
Budaya
Kearifan tradisional
Pelestarian lingkungan
Tenggang rasa
Keadilan
Cinta tanah air
Kepahlawanan
Kebaikan
Murah/baik hati
Solidaritas
Ugahari, dll.
Banyak cerita dengan tema itu diangkat dalam kumpulan dongeng/ cerita rakyat nusantara. Atau juga Folklor Indonesia, yang ditulis oleh James Danandjaja serta buku lainnya yang dianggap layak. Dapat memilih yang bergambar, maupun dengan ilustrasi sederhana.
Yang jelas, setiap penerbit biasanya sudah mengkategorikan produknya berdasarkan kelompok usia. Bahkan, ada yang mencantumkan pada sampul belakang rentang usia yang cocok untuk bacaan yang bersangkutan. Misalnya,
Bacaan ini untuk anak usia:
□ 3 tahun
□ 4 tahun
□ 5 tahun
□ 7-8 tahun
□ 9-10 tahun
□ 11-12 tahun
Kalau misalnya, bacaan itu cocok untuk anak usia 3 tahun, maka petunjuknya di dalam kotak diberikan centang (√).
Akan tetapi, tips memilih bacaan yang sesuai untuk anak, agaknya sebagaimana yang dianjurkan Prof. Hiroko Hidaka, seorang pakar sastra anak dari Jepang, (Choose Story for Storytelling).
Menurutnya, karena anak belum dapat memilih bacaan yang cocok dan baik bagi dirinya, sebaiknya orang tua atau guru yang memilihkannya. Menurutnya, buku atau bahan cerita yang baik untuk mendongeng adalah cerita yang diminati anak, sesuai dengan usia anak, baik untuk mengembangkan perasaan halus anak, dan yang dapat membangkitkan imajinasi anak.
Untuk itu, ia membagi beberapa jenis cerita anak berdasarkan usia. Setiap kelompok usia anak, memunyai minat cerita yang berbeda.
Anak usia 3 Tahun
Anak-anak dalam usia ini menyukai jenis cerita yang dekat yang kehidupan sehari-hari. Buku yang disukainya adalah buku bergambar sederhana yang menceritakan kehidupan bianatang kesayangan mereka, seperti: anjing, kucing, ayam, atau merpati. Juga mengenai bunga, dan peristiwa-peristiwa yang dilihat dan dialaminya , misalnya perayaan hari-hari besar/raya di mana anak ikut terlbat di dalamnya.
Anak usia 4 Tahun
Di Jepang, hampir semua anak memasuki TK pada usia empat tahun. Yang unik, anak-anak usia ini sudah terbiasa mengunjungi perpustakaan. Rata-rata mereka sudah dapat membaca dan menikmati buku, baik atas bimbingan guru/ orang tua maupun atas inisiatif sendiri. Tidaklah mengherankan, apabila di Jepang anak usia TK sudah menjadi anggota tetap perpustakaan.
Minat dan kesukaan anak usia empat tahun berbeda dengan anak usia tiga tahun. Mereka sudah mulai menyukai bacaan penuh fantasi. Bahkan, ada di antaranya yang sudah menyenangi buku fiksi ilmiah (science fiction).
Anak usia 5 tahun
Lima tahun adalah usia terakhir seorang anak pada jenjang pendidikan prasekolah. Di usia ini, anak sudah dapat diarahkan. Daya pikir dan fantasinya sudah mulai berkembang. Anak usia ini sudah dapat menikmati bacaan tanpa harus banyak gambar.
Untuk anak balita, lazimnya disuguhkan buku dengan komposisi gambar yang banyak (picture book), berwarna, hardcover, dan kertas mengkilat (art paper). Tidak tebal, bahasa mudah dicerna, kalimat singkat.
Anak usia 6-7 tahun
Anak sudah masuk SD. Pada usia ini, anak sudah bisa memilih bacaan bagi dirinya sendiri. Orang tua tinggal mengarahkan. Bahan bacaan yang kreatif, menghibur, sekaligus berguna perlu disuguhkan padanya. ***
Namun, bagaimana memilih buku yang baik bagi anak?
dionsdailydeal.wordpress.com/.../
Penelitian membuktikan, anak yang gemar membaca dan yang banyak menonton televisi sangat berbeda.
Anak yang gemar membaca, kemampuan dan hasil akademisnya jauh melebihi anak-anak yang suka menonton. Mengapa? Karena di dalam membaca, mental dan otak anak aktif. Ketika membaca, pikiran dan imajinasi seseorang sama-sama aktif.
Berbeda dengan menonton tv. Otak dan imajinasi pasif, anak hanya mengikuti saja apa menu yang disajikan. Anak hanya menerima apa yang sudah dituangkan dalam skenario.
“Malang”-nya, menonton memang sudah menjadi semacam budaya bangsa kita.
Kehadiran pesawat televisi yang menjamah seluruh rumah dengan biaya murah dan acara yang serba wah sangatlah menggoda. Berapa banyak keluarga yang dipengaruhi perilaku dan kebiasaannya oleh TV. Baik oleh tayangan berbau kekerasan maupun pengaruh iklan. Iklan ditengarai menjadi salah satu pemicu masyakarat konsumtif.
Apabila ekses negatif seperti itu tidak diwaspadai, maka pengaruh TV yang merasuk anak lebih banyak negatif ketimbang positifnya. Orang tua harus mengarahkan dan membatasi anak menonton TV. Karena budaya nonton (watching culture), sesungguhnya lebih terarah pada hiburan yang dangkal (M. Nuh, 2007). Namun, budaya baca (Jacob Oetama, 2007) justru memintarkan anak.
Apa yang dikatakan oleh pakar media itu benar adanya. Studi yang dilakukan baru-baru ini mencatat, siswa yang banyak menghabiskan waktu main video game dan nonton TV anjlok nilai akademiknya.
Studi yang dilakukan terhadap 4.500 siswa sekolah menengah di Vermont and New Hampshire mencatat bahwa siswa yang selepas sekolah main video game dan nonton TV nilai rapornya hancur-hancuran.
Studi itu juga menyimpulkan, semakin banyak waktu yang dihabiskan anak untuk main game dan nonton TV, pekerjaan dan hasil belajkar mereka juga menurun. Yang menarik, studi ini dilakukan dan dicatat siswa sendiri.
Karena itu, membiasakan anak membaca sejak dini sangat penting. Namun, bagaimanakah memilih bacaan yang tepat untuk anak? Secara garis besar, untuk anak prasekolah, sebaiknya buku yang cocok ialah yang:
• Sarat dengan gambar, sedikit kata. Orang tua/ guru dapat menyuguhkan buku yang banyak kata-katanya seiring dengan usia anak.
• Mengandung rima.
• Alurnya sangat sederhana.
• Mengajarkan kebajikan (karakter baik).
• Bahasa mudah dimengerti.
Sedangkan untuk anak yang sudah masuk SD, kriteria bacaan yang sesuai:
• Sedikit, bahkan tidak ada gambar, banyak kata.
• Tingkat kesulitan bahasa dan alur sesuai dengan usia anak.
• Mengajarkan kebajikan (karakter baik).
• Tidak mengandung kekerasan dan pornografi.
Tentu saja, tidak semua bacaan cocok dan baik dibaca (dan dibacakan pada) anak-anak. Tentu, tentang ini kita semua bersepakat. Jika demikian, bagaimanakah kriteria, atau kiat memilih bacaan yang cocok untuk anak-anak?
Tentu saja, tidak semua kriteria ini bisa dijumpai dalam buku cerita anak yang terbit dan beredar di Indonesia. Menemukan yang mendekati sempurna, sudah sangat bagus. Dan itu bisa didapat dari buku-buku anak terjemahan, semisal serial karya Enid Blyton (Merpati Putih, Rumah Gula Mungil, Serbuk Bersih, Burung Muari Si Andrew, Kelinci-kelinci Kertas, Peri Sutera, Kanguru Putar, Kisah Si Tumpy, Kalau Bulan Berwarna Biru, Payung Ajaib, dan Terjebak di Atas Pohon). Atau, untuk anak balita, bacaan yang juga cocok adalah serial Walt Disney.
Lalu, untuk anak usia 4-5 tahun dapat disuguhkan bacaan berlatar petualangan, seperti: Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Gadis Badung, Empat Sekawan, Komplotan, dan Malory Towers. Sementara dari dalam negeri, bahan bacaan yang cocok bagi anak dapat mengambil tema-tema:
Persahabatan
Religius
Sosial
Budaya
Kearifan tradisional
Pelestarian lingkungan
Tenggang rasa
Keadilan
Cinta tanah air
Kepahlawanan
Kebaikan
Murah/baik hati
Solidaritas
Ugahari, dll.
Banyak cerita dengan tema itu diangkat dalam kumpulan dongeng/ cerita rakyat nusantara. Atau juga Folklor Indonesia, yang ditulis oleh James Danandjaja serta buku lainnya yang dianggap layak. Dapat memilih yang bergambar, maupun dengan ilustrasi sederhana.
Yang jelas, setiap penerbit biasanya sudah mengkategorikan produknya berdasarkan kelompok usia. Bahkan, ada yang mencantumkan pada sampul belakang rentang usia yang cocok untuk bacaan yang bersangkutan. Misalnya,
Bacaan ini untuk anak usia:
□ 3 tahun
□ 4 tahun
□ 5 tahun
□ 7-8 tahun
□ 9-10 tahun
□ 11-12 tahun
Kalau misalnya, bacaan itu cocok untuk anak usia 3 tahun, maka petunjuknya di dalam kotak diberikan centang (√).
Akan tetapi, tips memilih bacaan yang sesuai untuk anak, agaknya sebagaimana yang dianjurkan Prof. Hiroko Hidaka, seorang pakar sastra anak dari Jepang, (Choose Story for Storytelling).
Menurutnya, karena anak belum dapat memilih bacaan yang cocok dan baik bagi dirinya, sebaiknya orang tua atau guru yang memilihkannya. Menurutnya, buku atau bahan cerita yang baik untuk mendongeng adalah cerita yang diminati anak, sesuai dengan usia anak, baik untuk mengembangkan perasaan halus anak, dan yang dapat membangkitkan imajinasi anak.
Untuk itu, ia membagi beberapa jenis cerita anak berdasarkan usia. Setiap kelompok usia anak, memunyai minat cerita yang berbeda.
Anak usia 3 Tahun
Anak-anak dalam usia ini menyukai jenis cerita yang dekat yang kehidupan sehari-hari. Buku yang disukainya adalah buku bergambar sederhana yang menceritakan kehidupan bianatang kesayangan mereka, seperti: anjing, kucing, ayam, atau merpati. Juga mengenai bunga, dan peristiwa-peristiwa yang dilihat dan dialaminya , misalnya perayaan hari-hari besar/raya di mana anak ikut terlbat di dalamnya.
Anak usia 4 Tahun
Di Jepang, hampir semua anak memasuki TK pada usia empat tahun. Yang unik, anak-anak usia ini sudah terbiasa mengunjungi perpustakaan. Rata-rata mereka sudah dapat membaca dan menikmati buku, baik atas bimbingan guru/ orang tua maupun atas inisiatif sendiri. Tidaklah mengherankan, apabila di Jepang anak usia TK sudah menjadi anggota tetap perpustakaan.
Minat dan kesukaan anak usia empat tahun berbeda dengan anak usia tiga tahun. Mereka sudah mulai menyukai bacaan penuh fantasi. Bahkan, ada di antaranya yang sudah menyenangi buku fiksi ilmiah (science fiction).
Anak usia 5 tahun
Lima tahun adalah usia terakhir seorang anak pada jenjang pendidikan prasekolah. Di usia ini, anak sudah dapat diarahkan. Daya pikir dan fantasinya sudah mulai berkembang. Anak usia ini sudah dapat menikmati bacaan tanpa harus banyak gambar.
Untuk anak balita, lazimnya disuguhkan buku dengan komposisi gambar yang banyak (picture book), berwarna, hardcover, dan kertas mengkilat (art paper). Tidak tebal, bahasa mudah dicerna, kalimat singkat.
Anak usia 6-7 tahun
Anak sudah masuk SD. Pada usia ini, anak sudah bisa memilih bacaan bagi dirinya sendiri. Orang tua tinggal mengarahkan. Bahan bacaan yang kreatif, menghibur, sekaligus berguna perlu disuguhkan padanya. ***
Rabu, 11 November 2009
Buku-buku Komik: Yang Berkanjang di Era New Media
Komik, selain novel pop, terbukti genre buku bacaan yang persistence (berkanjang) hingga hari ini di Indonesia. Bukan sekadar berkanjang, komik bahkan tumbuh sebagai sebuah industri menarik.
Tak mengherankan, banyak pemodal terjun menerbitkan komik. Dengan harapan, lini produk ini yang per definisi “gambar-bercerita” ini dapat memberi omset besar di tengah-tengah industri perbukuan tanah air yang kacau balau diterpa krisis global dan diperparah regulasi pemerintah yang amat gegabah.
Berbeda dengan beberapa penndidik dan pengamat perbukuan, saya sama sekali tidak memandang komik dari kacamata hitam. Mengapa? Berbagai studi ilmiah sampai pada kesimpulan, membaca komik dapat menjadi jembatan menuju kegemaran membaca(Mary Leonhardt, 1993: 72-74).
Karena itu, amat gegabah jika hari-hari terakhir ini kita terus-menerus memaki komik-komik Jepang, terutama seri Shincan. Tokoh anak TK dalam komik yang dalam edisi Indonesia populer dengan Crayon itu dikarakterkan sebagai tolol, dan karena itu, sering konyol, bahkan kurang ajar.
Tidak mengherankan, jika kemudian berbagai media cetak menerima surat pembaca yang isinya mengomentari komik Shincan sebagai “tak mendidik dan tidak cocok dengan budaya Indonesia”.
Cukupkah kita hanya memaki, tanpa melihat duduk perkaranya? Sebagai bangsa yang mau belajar, kita justru ingin menggali lebih dalam.
Pertama, mengapa Shincan laku keras di Indonesia?
Kedua, apa sebab komik dalam negeri belum menjadi tuan di negeri sendiri? Artinya, sanggup menggeser posisi komik impor seperti kaset dan CD lagu pop Indonesia yang kini sanggup menggeser dominasi lagu-lagu barat?
Bangkit Kembali
Komik dari Inggris “comic” berarti: lucu, bahasa atau kata kÅmikos (Yunani) yang muncul sekitar abad ke-16. Pada awalnya, komik memang gambar-gambar yang “berbicara” tentang hal-hal yang lucu.
Pada awalnya, komik justru dimulai dengan comic strip dan dimuat di majalah atau koran-Seiring perkembangannya, komik tidak lagi dibuat secara comic strip. Sementara temanya sudah tidak melulu tentang hal lucu saja, tetapi meluas ke tema lain. Mulai dari aksi, horor, hingga fiksi ilmiah.
Komik di Indonesia, sesudah koma sejak 1997, memasuki alaf ketiga bangun kembali dari tidur panjangnya. Semula, krisis moneter memang dirasakan penerbit, terutama karena berkaitan langsung dengan bahan bakunya, yakni kertas yang untuk sebagian besar bahannya masih diimpor. Ketika masa-masa awal krisis moneter, tidak ada jalan lain bagi penerbit untuk tidak menaikkan harga jual bukunya, sesuai dengan kenaikan harga kertas.
Waktu itu muncul kekhawatiran, industri buku di Indonesia akan morat marit. Namun, yang kemudian tidak disangka-sangka, terjadi paradoksal: industri buku tetap bergairah, bahkan dilihat dari omset penjualan dibanding tahun-tahun sebelum krisis sangat fantastis.
Memang banyak penerbit kecil gulung tikar. Penerbit papan tengah masih bisa bertahan, lantaran dibantu oleh program Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), yang beranggotakan 250 penerbit, bekerja sama dengan The Ford Foundation untuk menanggung biaya produksi 8-12 buku per tahun.
Yang mengerankan, inudtri buku tetap bergairah meski Indonesia dilanda kriris moneter. Seiring kian meningkatnya taraf pendidikan masyarakat dan mengecilnya jumlah buta huruf di Indonesia dari semula sekitar 40 juta di tahun 1980-an menjadi “hanya” 20 juta di pengujung dekade 1990-an, konsumsi akan buku, termasuk komik, pun meningkat.
Komik di antara Buku Anak
Berdasarkan data penjualan di toko buku, lima besar genre buku yang laris di Indonesia sebagai berikut: buku pelajaran, bacaan anak, keagamaan, ekonomi/manajemen, dan novel.
Buku bacaan anak di Indonesia oleh para ahli (Bunanta, 1998) dibagi dalam sembilan kelompok: (1) Buku bacaan bergambar (picture book), (2) Komik, (3) Sastra tradisional, (4) Fantasi modern, (5) Fiksi realistis, (6) Fiksi sejarah, (7) Puisi, (8) Buku informasi, dan (9) Buku biografi.
Dari sembilan kategori itu, komik penting dibuat catatan khusus, setidaknya karena tiga sebab.
Pertama, komik merupakan bacaan anak Indonesia yang terbukti mampu bertahan selama empat dekade sejak 1967.
Kedua, sebagai salah satu genre dalam khasanah bacaan anak, komik mampu membangun citra sebagai bacaan ringan, sekaligus hiburan, dan rekreasi bagi anak-anak.
Ketiga, ditinjau dari segi fisik dan penampilan luar, terdapat keseragaman komik, yaitu formatnya yang menjadi lebih seragam menjadi 13x18 cm. Format ini yang mencirikan komik dari buku-buku bacaan populer lain, dengan ketebalan rata-rata 64-96 halaman.
Tahun 1967 adalah tonggak populernya komik di Indonesia. Saat itu, komik-komik impor dari luar negeri, baik dari Eropa maupun dari Jepang, belum dikenal luas. Masih sangat kuat mendominasi cerita-cerita dalam negeri, terutama cerita epos yang diangkat dari dunia pewayangan Jawa, seperti cerita Mahabarata dan Ramayana.
Kemudian, pada 1970-an, beredar komik-komik remaja-dewasa yang baik gambar maupun isinya mengeksploitasi seks. Sebagai contoh, komik berjudul Achir Suatu Kemesraan yang sangat digandrungi dan dicari-cari anak remaja, meskipun segmen komik ini sebenarnya adalah orang dewasa.
Di kalangan orang tua, pendidik, dan komunitas pendidikan saat itu, komik dikhawatirkan dapat menggiring anak-anak “meniru” adegan, pesan, maupun cerita yang tersaji di dalam komik-komik. Kekhawatiran itu wajar.
Terus terang, komik saat itu sering menampilkan adegan kekerasan, penyiksaan, dan pertumpahan darah. Tidak jarang, gambar yang ditampilkan nyaris tanpa busana dengan kata-kata yang vulgar. Karena itu, di sekolah-sekolah, para guru melarang siswa membaca komik. Komik dianggap identik dengan bacaan tidak sehat.
Untuk membantu upaya menjauhkan anak-anak dari pengaruh komik, di luar sekolah, polisi turut mengamankannya. Polisi turut mengawasi peredaran komik. Di halaman terakhir buku komik di tahun 1970-an, hampir selalu dapat ditemukan stempel/cap sebagai tanda bukti bahwa ada izin percetakan dan peredarannya. Stempel ini memuat tanggal dan tempat pemeriksaan komik sebelum beredar.
Stempel itu juga merupakan keterangan yang berguna untuk mengawasi produksi dan distribusi komik, karena nama penerbit tidak selalu dicantumkan, akan tetapi nama penulis hampir selalu tertera dengan jelas.
Memang sulit untuk menarik garis lurus yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara komik yang dibaca anak-anak dengan perilaku mereka sehari-hari karena belum ada penelitian yang khusus untuk itu.
Akan tetapi, cukup banyak kasus yang terjadi tahun 1970-1980 remaja-remaja SMA hamil di luar nikah. Apakah ini akibat pengaruh komik yang mereka baca, ataukah karena pengaruh lingkungan? Memang belum ada studi ilmiah tentang hal itu.
Namun, larangan sekolah (guru) dan orang tua agar siswa tidak membaca komik cukup untuk menyimpulkan bahwa komik dianggap berpengaruh terhadap perilaku pembacanya.
Dari tahun 1966-1971, tercatat tidak kurang dari 876 judul komik beredar di Indonesia. Kebanyakan adalah jenis silat (48,75%) dan roman remaja (36,75%). Komik ini kebanyakan ditulis pengarang Indonesia (199 pengarang). Sedangkan komik saduran hanya sedikit, seperti Dongeng-Dongeng H.C. Andersen dan Mickey Mouse.
Tetap Diminati
Memasuki dekade 1980-an, terjadi perubahan pandangan komunitas pendidikan di dalam melihat komik, seiring dengan perubahan zaman dan kemajuan masyarakat. Seorang sarjana pendidikan, dan juga inspektur polisi di Bandung --salah satu kota besar di Indonesia setelah Jakarta-- bahkan mengatakan, karena Indonesia sudah berkembang dan semakin menuju masyarakat yang terbuka, maka pandangan dan penilaian terhadap isi cerita dan gambar komik pun semestinya berubah pula.
Hal yang dulu dianggap porno dan vulgar, barangkali sekarang sudah tidak demikian. Tak dapat dimungkiri, masyarakat Indonesia sedang berubah. Karena itu, nilai-nilai tradisional cenderung ditinggalkan, digantikan dengan nilai-nilai liberal dan individual.
Pergeseran paradigma itu ternyata cukup besar pengaruhnya bagi bacaan anak. Komunitas pendidikan yang dulu diliputi rasa was-was terhadap keberadaan dan dampak negatif komik, mulai melihat peluang bahwa untuk meningkatkan minat baca anak-anak sebenarnya dapat dimulai dari komik. Berkaitan dengan itu, sejak 1980-an, muncul bagai jamur di musim hujan komik di Indonesia. Bukan saja komik karya pengarang dalam negeri, tetapi juga komik-komik impor, terutama dari Jepang.
Yang menarik, komik anak-anak tidak hanya berisi hiburan dan petualangan, tetapi juga banyak di antaranya yang mendidik. Sebagai contoh, komik Dulken karya salah satu pengarang bacaan anak terkemuka Indonesia, Dwianto Setyawan, tidak hanya lucu dan menghibur, tetapi juga mendidik. Dulken, yang sebelum dibukukan dimuat secara bersambung di salah satu harian yang terbit di Surabaya ini, boleh disebut laris, meski tidak selaris dibanding komik impor dari Jepang.
Serial komik Candy-candy yang diimpor dari Jepang sangat laku keras di Indonesia. Oplahnya ratusan ribu eksemplar terjual dalam waktu singkat, suatu bukti bahwa komik hiburan dan petualangan sangat digemari anak-anak Indonesia.
Demikian pula serial komik Kungfu Boy dan Doraemon sangat populer di kalangan anak Indonesia.
Faktor apa yang membuat Doraemon populer di kalangan anak Indonesia? Terdapat dua faktor penyebab.
Pertama, promosinya. Sebelum dibukukan, Doraemon ditayangkan stasiun televisi Indonesia. Doraemon ditayangkan TV setiap hari Minggu pagi, ketika anak-anak punya waktu luang untuk menonton.
Episode yang ditayangkan sering membuat anak penasaran, dan tidak jarang menimbulkan rasa ingin tahu mereka (curiosity). Mereka yang merasa penasaran dan ingin memiliki cerita Doraemon secara lengkap, langsung mencari komik itu ke toko buku.
Kedua, perilaku tokoh dalam film Doraemon sangat cocok untuk anak Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota. Anak-anak Indonesia di kota menyukai kisah petualangan, suka akan tantangan, dan menanamkan sikap tidak mudah menyerah, dan banyak menanamkan sikap untuk berprestasi (the need for achievement). Orang tua yang mengerti bahwa Doraemon mendidik, menganjurkan anak-anaknya nonton (dan kemudian) membaca komik Doraemon.
Tidak dapat dimungkiri, multimedia sangat memengaruhi kehidupan dan perilaku anak-anak Indonesia. Ketika multimedia mulai memasuki kehidupan anak Indonesia, sekitar awal dekade 1990-an, seperti videogames, komputer, dan kini VCD, memang ada kekhawatiran saat itu multimedia akan menggeser posisi buku, termasuk komik. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti.
Buku-buku bacaan anak di Indonesia tetap berjaya, bahkan komik boleh dikatakan menduduki ranking teratas di antara buku bacaan anak yang disukai.
Multimedia tidak kanibal dengan buku, namun saling melengkapi (komplementer). Adapun Jenis multimedia (VCD) yang diminati anak-anak Indonesia ialah yang diimpor, seperti Mr. Bean dan The Beauty and the Beast.
Terhadap Mr. Bean, anak-anak menyukainya karena lucu. Sedangkan The Beauty and The Beast, anak-anak menyukainya karena ceritanya yang menarik dan dapat dipetik pesan-pesan moral dari cerita itu.
Mengapa antara multimedia dan buku komplementer, tampaknya berkaitan dengan sifat media itu sendiri. Sesuai dengan karakternya, multimedia (yang elektronik) itu statis, tidak bisa dibawa ke mana-mana. Anak-anak yang memainkannya terikat oleh waktu dan tempat.
Setiap media memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing (Ariel Heryanto, 2008). Kelebihan buku terletak pada unsur mobile-nya. Buku dapat dibawa ke mana pun pergi, dibawa kapan saja ada waktu, tanpa kehilangan momentum. Lalu, setelah dibaca, buku dapat disimpan di perpustakaan keluarga. Adik-adiknya masih bisa memanfaatkan bacaan itu lagi.
Itu sebabnya, buku disebut sebagai salah satu sarana pendidikan yang ampuh. Seperti dicatat Ensiklopedi Indonesia:“Buku ialah alat komunikasi berjangka waktu panjang dan mungkin sarana komunikasi yang paling berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Dalam buku dipusatkan dan dikumpulkan hasil pemikiran dan pengalaman manusia daripada sarana komunikasi lainnya. Sebagai alat pendidikan, buku berpengaruh pada anak didik daripada sarana-sarana lainnya” (Ensiklopedi Indonesia, hal. 538-539).
Komik impor, tampaknya mendominasi pasar komik di Indonesia, sebuah fenomena yang terjadi sejak dekade 1980-an. Setelah sukses dengan Candy-Candy dan Doraemon, muncul lagi Kobochan, Sweet Fuku-Fuku, Kung Fu Tao, Hakke Yoi, Kotaro, Ashura, Shaolin, dan Izumo --semuanya komik petualangan impor dari Jepang.
Sebagaimana serial komik sebelumnya, komik-komik dari Jepang ini pun sukses besar. Komik yang terbit dengan 37 jilid ini berkisah mengenai seorang jagoan kungfu penerus generasi Kuil Dairin di Negeri Cina, setelah 100 tahun kuil itu berdiri. Jagoan itu bernama Chinmi yang jenius dan bermata elang, tangannya sekeras baja dan kakinya menghancurkan batu.
Segera anak-anak Indonesia menjadikan Kungfu Boy sebagai idola. Yang dicemaskan orang tua dan pendidik ialah perilaku tokoh (unsur who yang menjadi karakter dalam cerita) ditiru anak-anak. Jangan sampai, usai nonton tayangan TV melakukan hal seperti itu beralasan, “Saya ingin seperti jagoan yang ada di TV.” Jangan sampai terjadi, anak-anak meniru apa yang dilihat dan dibacanya. Dalam komik Pedang Bintang misalnya, jelas-jelas di sana dilukiskan bahwa balas dendam itu boleh, bahkan wajib.
Komik ini berkisah ihwal balas dendam seorang samurai di medan pertempuran. Dia mencari musuh yang sangat dibencinya, yaitu seorang panglima perang yang memiliki bekas luka di pipinya. Ia harus mengadakan revenge, sebab orang itu telah membuhuh keluarganya dengan menggunakan “Pedang Bintang” buatan ayahnya sendiri.
Melihat fenomena itu, banyak kalangan mulai mencemaskan pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui komik. Balas dendam misalnya, dikatakan bukan budaya warisan nenek moyang Indonesia. Orang Indonesia pemaaf dan suka hidup harmoni. Komik seperti Pedang Bintang atau Sinchan disebut-sebut dapat mengancam budaya Indonesia.
Kecemasan itu, antara lain didengung-dengungkan oleh para pendidik, orang tua, maupun Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional). Bahkan, dalam setiap kali simposium mengenai pendidikan dan perbukuan, gejala membanjirnya komik asing masuk ke Indonesia ini sering digugat. Sebegitu mendominasinya komik asing, muncul sindiran (julukan) yang mengatakan, “Buku produksi dalam negeri belum menjadi tuan di negerinya sendiri”.
Bertahun-tahun komunitas pendidikan dan insan perbukuan coba menghadang dominasi komik asing. Dalam tataran tertentu, mungkin ada benarnya komik-komik impor merusak budaya bangsa, tetapi jelas tidak semua. Cukup banyak di antaranya bagus dan mendidik. Lalu apa motivasi di balik tindakan menghadang dominasi komik impor? Mungkin faktor bisnis menjadi pertimbangan. Dalam konteks bersaing dengan komik impor, penerbit dan komikus dalam negeri bahu-membahu meningkatkan kualitas dan tampilan komik.
Seperti diungkapkan komikus senior Dwi Koendoro, komik-komik baru Indonesia berupaya mengungkapkan kekuatan visual yang bertumpu pada kekuatan gambar, seperti tampak dalam komik Ayam Majapahit pemenang utama lomba komik Indonesia tahun 1995/1996. Ilustrasi dipercantik, meniru gaya komik impor Jepang.
Demikian pula isi cerita semakin disesuaikan dengan selera pembaca (anak). Meskipun masih mengedepankan nama kerajaan Nusantara masa lalu (Majapahit), Ayam Majapahit adalah komik yang mengisahkan seorang mahasiswa yang kemasukan roh ayam yang menjadi piaraan putra mahkota Kerajaan Majapahit. Tubuh ayam muncul abad ini di rumah kos mahasiswa, dengan pikiran dan perasaan mahasiswa itu sendiri.
Jika dicermati dengan saksama, sudah ada usaha komikus mengambil cerita yang dekat dengan pembacanya. Jadi, tidak lagi murni kisah epos seperti komik Indonesia tahun 1970-an. Unsur kedekatan dengan pembaca merupakan satu faktor, mengapa komik Indonesia berterima di negerinya.
Dalam Ayam Majapahit misalnya. Tokohnya seorang mahasiswa. Bukankah semua orang tahu, sejak 1997 mahasiswa selalu menjadi sorotan dan buah bibir masyarakat Indonesia karena menjadi pelopor yang menentang rezim diktator Soeharto untuk kemudian menjatuhkan presiden yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya itu (A. Ariobimo Nusantara, dkk., 1998).
Formula buku anak Indonesia sebenarnya telah ditemukan. Ketika serial film anak Saras 008 muncul dua kali semiggu di TV swasta beberapa waktu lalu prime-time pukul 19.30-20.00, komik dan buku bacaan dengan tema cerita yang sama, juga laku. Ini mengafirmasi, bahwa antara content (isi) dan tools (media, bahasa, gambar) saling melengkapi, bukan saling memakan.
Film Saras 008 murni buatan lokal isi maupun setting ceritanya. Tidak mengandung cerita epos masa lalu, akan tetapi cerita epos yang visioner, jauh ke depan. Bahkan, dilukiskan Saras 008 dapat berubah ujud, mengeluarkan sinar laser dari bola matanya untuk menghancurkan musuh. Seperti mottonya, Saras 008 adalah “pahlawan kebajikan, pembela kebenaran, teman semua orang yang cinta kedamaian.” Siapa saja yang meminta bantuan, Saras siap datang. Asalkan memencet nomor sandinya “008" dalam sekejap Saras datang menolong.
Saras membuktikan, asal penggarapannya serius, tokoh idola anak Indonesia tidak hanya dari komik Jepang, juga bisa datang dari komik dalam negeri. Sebagai contoh, Saras 008 dapat dijumpai komiknya di toko-toko buku, selain berbentuk novel anak usia akil balig.
Pada masa jayanya di televisi, tokoh Saras 008 sangat digandrungi anak-anak karena karakternya yang kuat. Setiap waktu tayang, anak-anak siap di depan TV. Jika ditelisik, salah satu keberhasilan Saras 008 adalah ceritanya tidak abstrak, meski kadang menonjol sebagai science fiction. Kejadiannya mengambil setting di Indonesia, seperti di Ancol atau Mall Ambasador, Jakarta.
Lagi-lagi, faktor kedekatan dengan audiens (psychographic and demographic proximity) menjadi kunci sukses film dan buku anak. Faktor kedekatan dipertahankan dalam komik Saras 008, selain coretan-coretan gambar maupun motion-nya yang tetap “meniru” gaya komik Jepang yang sebelumnya sudah populer di kalangan anak Indonesia.
Tetap Berkanjang
Agar tetap eksis, dan tetap sanggup bersaing dengan multimedia lain yang menawarkan kecepatan dan juga keanekaragaman, komik pun harus berbuat sama seperti media cetak, terutama surat kabar seperti dilakukan para tokoh di Amerika Serikat.
Ketika pada awal 1970-an tayangan TV dan media elektronika begitu gencar menyerang keberadaan media cetak, tantangan dijawab Tom Wolfe. Wolfe mengenalkan genre baru saat itu yang disebut dengan “New Journalism”.
Komik dan film kartun sebenarnya dilihat dari sisi isi sangat mirip, yang membedakannya hanyalah media penyampaian. Karena dari sisi visual dan gerak lebih hidup, anak-anak lebih menyukai tayangan film daripada membaca buku. Namun, mengingat dari segi waktu, kenyamanan menikmati, serta fantasi lebih berkembang maka ada cukup banyak anak yang suka pada buku daripada menonton. Ini menunjukkan, film dan buku saling melengkapi, tidak kanibal.
Yang penting ialah ketika saling berlomba mencari pengaruh (baca: pasar), antara film dan buku dimensi pendidikan atau pesan (message) terabaikan, sehingga karya itu bukannya mendidik, malah merusak. Sebagai contoh, kasus film animasi “Naruto” di Global TV yang dituduh telah memberikan inspirasi bagi seorang bocah bunuh diri karena meniru film itu.
Namun, bagaimanakah posisi komik di era new media? Karya sastra yang abadi (ars longa), seperti ditegaskan Horatius, ialah yang sekaligus indah dan berguna (dulce et utile).
Mengapa komik berkanjang? Tentu karena memenuhi dua unsur itu! Selain mengandung hiburan, komik juga mendidik. Jadi, jangan khawatir, bila ada komik yang hanya mengandalkan salah satu sisi –hiburan misalnya. Ia akan perlahan-lahan ditinggalkan, manakala menafikan unsur pendidikan. Sebaliknya, komik yang sarat dengan doktrin moral juga akan ditinggalkan, karena kering kerontang.
sumber: Warta Ikapi Oktober-Desember 2009: 6-9
Tak mengherankan, banyak pemodal terjun menerbitkan komik. Dengan harapan, lini produk ini yang per definisi “gambar-bercerita” ini dapat memberi omset besar di tengah-tengah industri perbukuan tanah air yang kacau balau diterpa krisis global dan diperparah regulasi pemerintah yang amat gegabah.
Berbeda dengan beberapa penndidik dan pengamat perbukuan, saya sama sekali tidak memandang komik dari kacamata hitam. Mengapa? Berbagai studi ilmiah sampai pada kesimpulan, membaca komik dapat menjadi jembatan menuju kegemaran membaca(Mary Leonhardt, 1993: 72-74).
Karena itu, amat gegabah jika hari-hari terakhir ini kita terus-menerus memaki komik-komik Jepang, terutama seri Shincan. Tokoh anak TK dalam komik yang dalam edisi Indonesia populer dengan Crayon itu dikarakterkan sebagai tolol, dan karena itu, sering konyol, bahkan kurang ajar.
Tidak mengherankan, jika kemudian berbagai media cetak menerima surat pembaca yang isinya mengomentari komik Shincan sebagai “tak mendidik dan tidak cocok dengan budaya Indonesia”.
Cukupkah kita hanya memaki, tanpa melihat duduk perkaranya? Sebagai bangsa yang mau belajar, kita justru ingin menggali lebih dalam.
Pertama, mengapa Shincan laku keras di Indonesia?
Kedua, apa sebab komik dalam negeri belum menjadi tuan di negeri sendiri? Artinya, sanggup menggeser posisi komik impor seperti kaset dan CD lagu pop Indonesia yang kini sanggup menggeser dominasi lagu-lagu barat?
Bangkit Kembali
Komik dari Inggris “comic” berarti: lucu, bahasa atau kata kÅmikos (Yunani) yang muncul sekitar abad ke-16. Pada awalnya, komik memang gambar-gambar yang “berbicara” tentang hal-hal yang lucu.
Pada awalnya, komik justru dimulai dengan comic strip dan dimuat di majalah atau koran-Seiring perkembangannya, komik tidak lagi dibuat secara comic strip. Sementara temanya sudah tidak melulu tentang hal lucu saja, tetapi meluas ke tema lain. Mulai dari aksi, horor, hingga fiksi ilmiah.
Komik di Indonesia, sesudah koma sejak 1997, memasuki alaf ketiga bangun kembali dari tidur panjangnya. Semula, krisis moneter memang dirasakan penerbit, terutama karena berkaitan langsung dengan bahan bakunya, yakni kertas yang untuk sebagian besar bahannya masih diimpor. Ketika masa-masa awal krisis moneter, tidak ada jalan lain bagi penerbit untuk tidak menaikkan harga jual bukunya, sesuai dengan kenaikan harga kertas.
Waktu itu muncul kekhawatiran, industri buku di Indonesia akan morat marit. Namun, yang kemudian tidak disangka-sangka, terjadi paradoksal: industri buku tetap bergairah, bahkan dilihat dari omset penjualan dibanding tahun-tahun sebelum krisis sangat fantastis.
Memang banyak penerbit kecil gulung tikar. Penerbit papan tengah masih bisa bertahan, lantaran dibantu oleh program Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), yang beranggotakan 250 penerbit, bekerja sama dengan The Ford Foundation untuk menanggung biaya produksi 8-12 buku per tahun.
Yang mengerankan, inudtri buku tetap bergairah meski Indonesia dilanda kriris moneter. Seiring kian meningkatnya taraf pendidikan masyarakat dan mengecilnya jumlah buta huruf di Indonesia dari semula sekitar 40 juta di tahun 1980-an menjadi “hanya” 20 juta di pengujung dekade 1990-an, konsumsi akan buku, termasuk komik, pun meningkat.
Komik di antara Buku Anak
Berdasarkan data penjualan di toko buku, lima besar genre buku yang laris di Indonesia sebagai berikut: buku pelajaran, bacaan anak, keagamaan, ekonomi/manajemen, dan novel.
Buku bacaan anak di Indonesia oleh para ahli (Bunanta, 1998) dibagi dalam sembilan kelompok: (1) Buku bacaan bergambar (picture book), (2) Komik, (3) Sastra tradisional, (4) Fantasi modern, (5) Fiksi realistis, (6) Fiksi sejarah, (7) Puisi, (8) Buku informasi, dan (9) Buku biografi.
Dari sembilan kategori itu, komik penting dibuat catatan khusus, setidaknya karena tiga sebab.
Pertama, komik merupakan bacaan anak Indonesia yang terbukti mampu bertahan selama empat dekade sejak 1967.
Kedua, sebagai salah satu genre dalam khasanah bacaan anak, komik mampu membangun citra sebagai bacaan ringan, sekaligus hiburan, dan rekreasi bagi anak-anak.
Ketiga, ditinjau dari segi fisik dan penampilan luar, terdapat keseragaman komik, yaitu formatnya yang menjadi lebih seragam menjadi 13x18 cm. Format ini yang mencirikan komik dari buku-buku bacaan populer lain, dengan ketebalan rata-rata 64-96 halaman.
Tahun 1967 adalah tonggak populernya komik di Indonesia. Saat itu, komik-komik impor dari luar negeri, baik dari Eropa maupun dari Jepang, belum dikenal luas. Masih sangat kuat mendominasi cerita-cerita dalam negeri, terutama cerita epos yang diangkat dari dunia pewayangan Jawa, seperti cerita Mahabarata dan Ramayana.
Kemudian, pada 1970-an, beredar komik-komik remaja-dewasa yang baik gambar maupun isinya mengeksploitasi seks. Sebagai contoh, komik berjudul Achir Suatu Kemesraan yang sangat digandrungi dan dicari-cari anak remaja, meskipun segmen komik ini sebenarnya adalah orang dewasa.
Di kalangan orang tua, pendidik, dan komunitas pendidikan saat itu, komik dikhawatirkan dapat menggiring anak-anak “meniru” adegan, pesan, maupun cerita yang tersaji di dalam komik-komik. Kekhawatiran itu wajar.
Terus terang, komik saat itu sering menampilkan adegan kekerasan, penyiksaan, dan pertumpahan darah. Tidak jarang, gambar yang ditampilkan nyaris tanpa busana dengan kata-kata yang vulgar. Karena itu, di sekolah-sekolah, para guru melarang siswa membaca komik. Komik dianggap identik dengan bacaan tidak sehat.
Untuk membantu upaya menjauhkan anak-anak dari pengaruh komik, di luar sekolah, polisi turut mengamankannya. Polisi turut mengawasi peredaran komik. Di halaman terakhir buku komik di tahun 1970-an, hampir selalu dapat ditemukan stempel/cap sebagai tanda bukti bahwa ada izin percetakan dan peredarannya. Stempel ini memuat tanggal dan tempat pemeriksaan komik sebelum beredar.
Stempel itu juga merupakan keterangan yang berguna untuk mengawasi produksi dan distribusi komik, karena nama penerbit tidak selalu dicantumkan, akan tetapi nama penulis hampir selalu tertera dengan jelas.
Memang sulit untuk menarik garis lurus yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara komik yang dibaca anak-anak dengan perilaku mereka sehari-hari karena belum ada penelitian yang khusus untuk itu.
Akan tetapi, cukup banyak kasus yang terjadi tahun 1970-1980 remaja-remaja SMA hamil di luar nikah. Apakah ini akibat pengaruh komik yang mereka baca, ataukah karena pengaruh lingkungan? Memang belum ada studi ilmiah tentang hal itu.
Namun, larangan sekolah (guru) dan orang tua agar siswa tidak membaca komik cukup untuk menyimpulkan bahwa komik dianggap berpengaruh terhadap perilaku pembacanya.
Dari tahun 1966-1971, tercatat tidak kurang dari 876 judul komik beredar di Indonesia. Kebanyakan adalah jenis silat (48,75%) dan roman remaja (36,75%). Komik ini kebanyakan ditulis pengarang Indonesia (199 pengarang). Sedangkan komik saduran hanya sedikit, seperti Dongeng-Dongeng H.C. Andersen dan Mickey Mouse.
Tetap Diminati
Memasuki dekade 1980-an, terjadi perubahan pandangan komunitas pendidikan di dalam melihat komik, seiring dengan perubahan zaman dan kemajuan masyarakat. Seorang sarjana pendidikan, dan juga inspektur polisi di Bandung --salah satu kota besar di Indonesia setelah Jakarta-- bahkan mengatakan, karena Indonesia sudah berkembang dan semakin menuju masyarakat yang terbuka, maka pandangan dan penilaian terhadap isi cerita dan gambar komik pun semestinya berubah pula.
Hal yang dulu dianggap porno dan vulgar, barangkali sekarang sudah tidak demikian. Tak dapat dimungkiri, masyarakat Indonesia sedang berubah. Karena itu, nilai-nilai tradisional cenderung ditinggalkan, digantikan dengan nilai-nilai liberal dan individual.
Pergeseran paradigma itu ternyata cukup besar pengaruhnya bagi bacaan anak. Komunitas pendidikan yang dulu diliputi rasa was-was terhadap keberadaan dan dampak negatif komik, mulai melihat peluang bahwa untuk meningkatkan minat baca anak-anak sebenarnya dapat dimulai dari komik. Berkaitan dengan itu, sejak 1980-an, muncul bagai jamur di musim hujan komik di Indonesia. Bukan saja komik karya pengarang dalam negeri, tetapi juga komik-komik impor, terutama dari Jepang.
Yang menarik, komik anak-anak tidak hanya berisi hiburan dan petualangan, tetapi juga banyak di antaranya yang mendidik. Sebagai contoh, komik Dulken karya salah satu pengarang bacaan anak terkemuka Indonesia, Dwianto Setyawan, tidak hanya lucu dan menghibur, tetapi juga mendidik. Dulken, yang sebelum dibukukan dimuat secara bersambung di salah satu harian yang terbit di Surabaya ini, boleh disebut laris, meski tidak selaris dibanding komik impor dari Jepang.
Serial komik Candy-candy yang diimpor dari Jepang sangat laku keras di Indonesia. Oplahnya ratusan ribu eksemplar terjual dalam waktu singkat, suatu bukti bahwa komik hiburan dan petualangan sangat digemari anak-anak Indonesia.
Demikian pula serial komik Kungfu Boy dan Doraemon sangat populer di kalangan anak Indonesia.
Faktor apa yang membuat Doraemon populer di kalangan anak Indonesia? Terdapat dua faktor penyebab.
Pertama, promosinya. Sebelum dibukukan, Doraemon ditayangkan stasiun televisi Indonesia. Doraemon ditayangkan TV setiap hari Minggu pagi, ketika anak-anak punya waktu luang untuk menonton.
Episode yang ditayangkan sering membuat anak penasaran, dan tidak jarang menimbulkan rasa ingin tahu mereka (curiosity). Mereka yang merasa penasaran dan ingin memiliki cerita Doraemon secara lengkap, langsung mencari komik itu ke toko buku.
Kedua, perilaku tokoh dalam film Doraemon sangat cocok untuk anak Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota. Anak-anak Indonesia di kota menyukai kisah petualangan, suka akan tantangan, dan menanamkan sikap tidak mudah menyerah, dan banyak menanamkan sikap untuk berprestasi (the need for achievement). Orang tua yang mengerti bahwa Doraemon mendidik, menganjurkan anak-anaknya nonton (dan kemudian) membaca komik Doraemon.
Tidak dapat dimungkiri, multimedia sangat memengaruhi kehidupan dan perilaku anak-anak Indonesia. Ketika multimedia mulai memasuki kehidupan anak Indonesia, sekitar awal dekade 1990-an, seperti videogames, komputer, dan kini VCD, memang ada kekhawatiran saat itu multimedia akan menggeser posisi buku, termasuk komik. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti.
Buku-buku bacaan anak di Indonesia tetap berjaya, bahkan komik boleh dikatakan menduduki ranking teratas di antara buku bacaan anak yang disukai.
Multimedia tidak kanibal dengan buku, namun saling melengkapi (komplementer). Adapun Jenis multimedia (VCD) yang diminati anak-anak Indonesia ialah yang diimpor, seperti Mr. Bean dan The Beauty and the Beast.
Terhadap Mr. Bean, anak-anak menyukainya karena lucu. Sedangkan The Beauty and The Beast, anak-anak menyukainya karena ceritanya yang menarik dan dapat dipetik pesan-pesan moral dari cerita itu.
Mengapa antara multimedia dan buku komplementer, tampaknya berkaitan dengan sifat media itu sendiri. Sesuai dengan karakternya, multimedia (yang elektronik) itu statis, tidak bisa dibawa ke mana-mana. Anak-anak yang memainkannya terikat oleh waktu dan tempat.
Setiap media memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing (Ariel Heryanto, 2008). Kelebihan buku terletak pada unsur mobile-nya. Buku dapat dibawa ke mana pun pergi, dibawa kapan saja ada waktu, tanpa kehilangan momentum. Lalu, setelah dibaca, buku dapat disimpan di perpustakaan keluarga. Adik-adiknya masih bisa memanfaatkan bacaan itu lagi.
Itu sebabnya, buku disebut sebagai salah satu sarana pendidikan yang ampuh. Seperti dicatat Ensiklopedi Indonesia:“Buku ialah alat komunikasi berjangka waktu panjang dan mungkin sarana komunikasi yang paling berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Dalam buku dipusatkan dan dikumpulkan hasil pemikiran dan pengalaman manusia daripada sarana komunikasi lainnya. Sebagai alat pendidikan, buku berpengaruh pada anak didik daripada sarana-sarana lainnya” (Ensiklopedi Indonesia, hal. 538-539).
Komik impor, tampaknya mendominasi pasar komik di Indonesia, sebuah fenomena yang terjadi sejak dekade 1980-an. Setelah sukses dengan Candy-Candy dan Doraemon, muncul lagi Kobochan, Sweet Fuku-Fuku, Kung Fu Tao, Hakke Yoi, Kotaro, Ashura, Shaolin, dan Izumo --semuanya komik petualangan impor dari Jepang.
Sebagaimana serial komik sebelumnya, komik-komik dari Jepang ini pun sukses besar. Komik yang terbit dengan 37 jilid ini berkisah mengenai seorang jagoan kungfu penerus generasi Kuil Dairin di Negeri Cina, setelah 100 tahun kuil itu berdiri. Jagoan itu bernama Chinmi yang jenius dan bermata elang, tangannya sekeras baja dan kakinya menghancurkan batu.
Segera anak-anak Indonesia menjadikan Kungfu Boy sebagai idola. Yang dicemaskan orang tua dan pendidik ialah perilaku tokoh (unsur who yang menjadi karakter dalam cerita) ditiru anak-anak. Jangan sampai, usai nonton tayangan TV melakukan hal seperti itu beralasan, “Saya ingin seperti jagoan yang ada di TV.” Jangan sampai terjadi, anak-anak meniru apa yang dilihat dan dibacanya. Dalam komik Pedang Bintang misalnya, jelas-jelas di sana dilukiskan bahwa balas dendam itu boleh, bahkan wajib.
Komik ini berkisah ihwal balas dendam seorang samurai di medan pertempuran. Dia mencari musuh yang sangat dibencinya, yaitu seorang panglima perang yang memiliki bekas luka di pipinya. Ia harus mengadakan revenge, sebab orang itu telah membuhuh keluarganya dengan menggunakan “Pedang Bintang” buatan ayahnya sendiri.
Melihat fenomena itu, banyak kalangan mulai mencemaskan pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui komik. Balas dendam misalnya, dikatakan bukan budaya warisan nenek moyang Indonesia. Orang Indonesia pemaaf dan suka hidup harmoni. Komik seperti Pedang Bintang atau Sinchan disebut-sebut dapat mengancam budaya Indonesia.
Kecemasan itu, antara lain didengung-dengungkan oleh para pendidik, orang tua, maupun Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional). Bahkan, dalam setiap kali simposium mengenai pendidikan dan perbukuan, gejala membanjirnya komik asing masuk ke Indonesia ini sering digugat. Sebegitu mendominasinya komik asing, muncul sindiran (julukan) yang mengatakan, “Buku produksi dalam negeri belum menjadi tuan di negerinya sendiri”.
Bertahun-tahun komunitas pendidikan dan insan perbukuan coba menghadang dominasi komik asing. Dalam tataran tertentu, mungkin ada benarnya komik-komik impor merusak budaya bangsa, tetapi jelas tidak semua. Cukup banyak di antaranya bagus dan mendidik. Lalu apa motivasi di balik tindakan menghadang dominasi komik impor? Mungkin faktor bisnis menjadi pertimbangan. Dalam konteks bersaing dengan komik impor, penerbit dan komikus dalam negeri bahu-membahu meningkatkan kualitas dan tampilan komik.
Seperti diungkapkan komikus senior Dwi Koendoro, komik-komik baru Indonesia berupaya mengungkapkan kekuatan visual yang bertumpu pada kekuatan gambar, seperti tampak dalam komik Ayam Majapahit pemenang utama lomba komik Indonesia tahun 1995/1996. Ilustrasi dipercantik, meniru gaya komik impor Jepang.
Demikian pula isi cerita semakin disesuaikan dengan selera pembaca (anak). Meskipun masih mengedepankan nama kerajaan Nusantara masa lalu (Majapahit), Ayam Majapahit adalah komik yang mengisahkan seorang mahasiswa yang kemasukan roh ayam yang menjadi piaraan putra mahkota Kerajaan Majapahit. Tubuh ayam muncul abad ini di rumah kos mahasiswa, dengan pikiran dan perasaan mahasiswa itu sendiri.
Jika dicermati dengan saksama, sudah ada usaha komikus mengambil cerita yang dekat dengan pembacanya. Jadi, tidak lagi murni kisah epos seperti komik Indonesia tahun 1970-an. Unsur kedekatan dengan pembaca merupakan satu faktor, mengapa komik Indonesia berterima di negerinya.
Dalam Ayam Majapahit misalnya. Tokohnya seorang mahasiswa. Bukankah semua orang tahu, sejak 1997 mahasiswa selalu menjadi sorotan dan buah bibir masyarakat Indonesia karena menjadi pelopor yang menentang rezim diktator Soeharto untuk kemudian menjatuhkan presiden yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya itu (A. Ariobimo Nusantara, dkk., 1998).
Formula buku anak Indonesia sebenarnya telah ditemukan. Ketika serial film anak Saras 008 muncul dua kali semiggu di TV swasta beberapa waktu lalu prime-time pukul 19.30-20.00, komik dan buku bacaan dengan tema cerita yang sama, juga laku. Ini mengafirmasi, bahwa antara content (isi) dan tools (media, bahasa, gambar) saling melengkapi, bukan saling memakan.
Film Saras 008 murni buatan lokal isi maupun setting ceritanya. Tidak mengandung cerita epos masa lalu, akan tetapi cerita epos yang visioner, jauh ke depan. Bahkan, dilukiskan Saras 008 dapat berubah ujud, mengeluarkan sinar laser dari bola matanya untuk menghancurkan musuh. Seperti mottonya, Saras 008 adalah “pahlawan kebajikan, pembela kebenaran, teman semua orang yang cinta kedamaian.” Siapa saja yang meminta bantuan, Saras siap datang. Asalkan memencet nomor sandinya “008" dalam sekejap Saras datang menolong.
Saras membuktikan, asal penggarapannya serius, tokoh idola anak Indonesia tidak hanya dari komik Jepang, juga bisa datang dari komik dalam negeri. Sebagai contoh, Saras 008 dapat dijumpai komiknya di toko-toko buku, selain berbentuk novel anak usia akil balig.
Pada masa jayanya di televisi, tokoh Saras 008 sangat digandrungi anak-anak karena karakternya yang kuat. Setiap waktu tayang, anak-anak siap di depan TV. Jika ditelisik, salah satu keberhasilan Saras 008 adalah ceritanya tidak abstrak, meski kadang menonjol sebagai science fiction. Kejadiannya mengambil setting di Indonesia, seperti di Ancol atau Mall Ambasador, Jakarta.
Lagi-lagi, faktor kedekatan dengan audiens (psychographic and demographic proximity) menjadi kunci sukses film dan buku anak. Faktor kedekatan dipertahankan dalam komik Saras 008, selain coretan-coretan gambar maupun motion-nya yang tetap “meniru” gaya komik Jepang yang sebelumnya sudah populer di kalangan anak Indonesia.
Tetap Berkanjang
Agar tetap eksis, dan tetap sanggup bersaing dengan multimedia lain yang menawarkan kecepatan dan juga keanekaragaman, komik pun harus berbuat sama seperti media cetak, terutama surat kabar seperti dilakukan para tokoh di Amerika Serikat.
Ketika pada awal 1970-an tayangan TV dan media elektronika begitu gencar menyerang keberadaan media cetak, tantangan dijawab Tom Wolfe. Wolfe mengenalkan genre baru saat itu yang disebut dengan “New Journalism”.
Komik dan film kartun sebenarnya dilihat dari sisi isi sangat mirip, yang membedakannya hanyalah media penyampaian. Karena dari sisi visual dan gerak lebih hidup, anak-anak lebih menyukai tayangan film daripada membaca buku. Namun, mengingat dari segi waktu, kenyamanan menikmati, serta fantasi lebih berkembang maka ada cukup banyak anak yang suka pada buku daripada menonton. Ini menunjukkan, film dan buku saling melengkapi, tidak kanibal.
Yang penting ialah ketika saling berlomba mencari pengaruh (baca: pasar), antara film dan buku dimensi pendidikan atau pesan (message) terabaikan, sehingga karya itu bukannya mendidik, malah merusak. Sebagai contoh, kasus film animasi “Naruto” di Global TV yang dituduh telah memberikan inspirasi bagi seorang bocah bunuh diri karena meniru film itu.
Namun, bagaimanakah posisi komik di era new media? Karya sastra yang abadi (ars longa), seperti ditegaskan Horatius, ialah yang sekaligus indah dan berguna (dulce et utile).
Mengapa komik berkanjang? Tentu karena memenuhi dua unsur itu! Selain mengandung hiburan, komik juga mendidik. Jadi, jangan khawatir, bila ada komik yang hanya mengandalkan salah satu sisi –hiburan misalnya. Ia akan perlahan-lahan ditinggalkan, manakala menafikan unsur pendidikan. Sebaliknya, komik yang sarat dengan doktrin moral juga akan ditinggalkan, karena kering kerontang.
sumber: Warta Ikapi Oktober-Desember 2009: 6-9
Langganan:
Postingan (Atom)