Kamis, 26 November 2009

Kahlil Gibran, A Fine Artist yang Menginspirasi Nusantara


Kahlil Gibran was not only one of the world's greatest poets, but he was also a fine artist.

Although Gibran died 78 years ago, his spirit is still alive nowadays, especially in Indonesia. A dozen of his books were translated into Indonesia. No doubt Gibran has inspired many people.


Pengantar
Kahlil “The Broken Wings” Gibran telah 78 tahun lalu menutup mata untuk selamanya. Meski demikian, karya-karyanya hingga kini tetap hidup. Meski sebagian terjemahan-terjemahannya terbilang “payah”, toh karya-karya Gibran laku keras sebagai komoditas. Hal ini terbukti dari cetak ulang yang berulang kali.

Yang menarik, ada beberapa judul yang sama dialihbahasakan dari pemegang hak cipta yang berbeda, toh tetap laku terjual. Ini membuktikan bahwa di Nusantara, Gibran mempunyai banyak penggemar. Bahkan, boleh dikatakan telah menginspirasi banyak orang, utamanya di bidang seni dan filsafat.

Banyak orang mengenal Gibran sebagai penyair hebat. Tentu saja, ini tidak keliru. Namun, sejatinya Gibran punya multitalenta di bidang seni. Ia juga seorang pematung, pelukis, dan filsuf. Karena itu, ia dibaiat sebagai seniman ulung (fine art).

Karya Gibran yang fenomenal dan universal telah banyak menjadi objek riset dan penelitian. Sebagai contoh, lihat karya Suheil Bushrui dan Joe Jenkins berjudul Kahlil Gibran: Man and Poet (One World, 1998) setebal 372 halaman. Studi itu salah satu yang komprehensif yang coba merekonstruksi manusia Gibran dan proses kreatif kepenyairannya.

Tulisan ini jauh dari sebuah riset dalam arti demikian. Sekadar membeberkan fenomena, mengapa karya dan pribadi pujangga besar lintas agama dan bangsa yang wafat pada 10 April 1931 itu demikian menginspirasi Nusantara? Sekaligus me-review sejumlah karyanya dalam edisi Indonesia.

Latar Belakang
Jumat, 10 April 1931 di St. Vincent’s Hospital, New York, merupakan hari “pembebasan” bagi Kahlil Gibran. Pembebasan, karena ia telah lama ditawan oleh rasa sakit berkepanjangan. “Si Api Biru Sejati” telah menjemputnya menemui ajal.
Tim medis yang merawatnya dalam sebuah autopsi mencatat bahwa Gibran mengidap, “cirrhosis of the liver with incipient tuberculosis in one of the lungs”.

Itulah rupanya biang dari penyakit yang kemudian mengantar Gibran beristirahat selama-lamanya. Ia pergi ke alam baka, sebuah tempat yang ia siapkan untuk kelak bertemu dan bersatu selamanya dengan May Ziadah, wanita pujaan hatinya sebagaimana sering diucapkannya dalam korespondensi.

Siapa di antara kita yang tak mengenal Gibran? Tak pelak, dialah salah satu sastrawan terhebat dari dunia Timur yang lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove, tepi Wadi Qadisha di kota Bisharri, Lebanon.

Ibunya bernama Kamileh, seorang janda, ketika ia menikah dengan pria bernama Kahlil Gibran. Suami Kamileh yang pertama adalah Hanna Abd-es-Salaam Rahmeh –dengan siapa Kamileh mendapat anak bernama Boutros —yang berusia enam tahun tatkala Gibran lahir.

Pada usia 12 tahun, Gibran beremigrasi bersama ibu, kakak tiri, dan dua adik perempuannya ke Amerika Serikat. Mula-mula mereka menetap di Boston, selanjutnya di New York.

Meksi demikian, sebagaimana halnya orang Lebanon, Gibran tetap memelihara kecintaan pada daerah bergunung-gunung tempat kelahirannya. Gibran tetap mengambil makanan intelektual dan emosional dari alam dan suasana pedesaan serta tradisi kebudayaan tanah kelahirannya.

Oleh karena itu, meskipun orang-orang terpelajar telah menemukan pengaruh filsuf Jerman, Nietzche dan pengaruh para simbolis Prancis, serta pengaruh pelukis-penyair Inggris William Blake dalam tulisannya; alam Lebanon dan pengaruh mistik Timur tidak pernah benar-benar bisa lekang dari karyanya.

Pentahapan Karya Gibran
Secara garis besar, karier sastra Gibran dapat dibagi dalam tiga tahap. Saya menganut pentahapan karya-karya Gibran, sebagaimana sebelumnya telah dilakukan Suheil Bushrui dan Salma Haffar Al-Kuzbari dalam Gibran: Love Letters (One World, 1999, hal. xiv-xvii).

Tahap pertama, dimulai pada 1905, tahun terbit karya perdananya dalam bahasa Arab, hingga tahun 1918. Pada tahap pertama ini Gibran hanya menulis dalam bahasa Arab. Tahun-tahun awal, Gibran menerbitkan al-Musiqah (Music), ‘Ara’is al-Muruj (Nymphs of the Valley), al-Arwah al Mutamarriadah (Spirit Rebellious), al-Ajnihah ‘l-Mutakassirah (The Broken Wings), Dam’ah wa’Ibtisamah (A Tear and A Smile).

Pada tahap kedua karyanya, antara tahun 1918-1931, Gibran menghasilkan buku al-Mawakib (The Procession), al-‘Asawif (The Tempest) dan al-Badayi’wa’l-Tarayif (Beautiful and Rare Sayings). Akan tetapi, karyanya yang menonjol agaknya yang terbit tahun 1923 berjudul The Prophet dan Jesus the Son of Man (1928).

Dalam karya inilah tampak kenangan Gibran akan Kidung Salomo dan Mazmur, dengan gaung kuat pengaruh Kitab Nabi Yesaya dan Kitab Daniel serta perumpamaan-perumpamaan Yesus.
Adapun tahap ketiga, setelah kematiannya 1931. Gibran meninggalkan dua buah karya yang boleh dikatakan belum rampung sepenuhnya, yakni Wanderer (1932) dan Garden of Prophet (1933).

Namun, oleh para pengamat, dua karya ini disebut-sebut bukan murni karya Gibran. Sebab, keduanya ternyata telah dilengkapi dan dipublikasi oleh Barbara Young, penyair wanita Amerika, yang mengklaim “to have been Gibran’s companion during the last seven years of his life.”

Gibran dan Karyanya di Indonesia
Pengalaman hidup yang dijalaninya, membuat Gibran memandang kehidupan ini tampak suram. Gambaran semacam inilah yang kita tangkap dari sebagian besar karyanya yang berbentuk prosa.

Hal ini nyata dalam bentuk cacophony, bunyi yang menuansakan kesedihan, sebagaimana juga tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Kebalikan dari euphony yang menuansakan kegembiraan di mana vokal lebih dominan. Kita tidak menemukan sebaliknya, cacophony sebagai lawan kata euphony dalam karya Gibran. Yaitu bunyi yang menuansakan keterpurukan, kesedihan, keterasingan dalam hidup dan alienasi.

Bunyi dimaksud kerap muncul dalam konsonan yang berada pada akhir kata. Dapat berupa bunyi bilabial, seperti kerap dijumpai pada puisi-pusi Chairil Anwar dan pada beberapa puisi Joko Pinurbo. Misalnya, seru-menderu, angin lalu, malam buta, mengental pada puisi “Selamat Tinggal” Chairil Anwar (Derai-derai Cemara, 1999: 28).

Gambaran suram juga tampak dalam lukisan-lukisannya, salah satu yang paling mencolok adalah Sorrow ((Dukacita) dan Let me go (Biarkan Kupergi).

Boleh dikatakan, hampir semua karya tersebut kental dengan nuansa mistik dan mencerminkan penghayatan yang dalam tentang dunia spritual. Sang Nabi adalah karya prosa yang dinilai banyak pengamat sebagai master-piece Gibran. Prosa yang diterbitkan tahun 1923 itu kini telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa, termasuk bahasa Indonesia tentunya.

Sang Nabi (The Prophet) adalah masterpiece karya Gibran.

Sang Nabi terdiri atas 28 prosa lirik yang saling berkaitan. Tema yang diusung buku tersebut adalah cinta, kebebasan, doa, dan kematian. Keabadian cinta tanpa harus memiliki merupakan ekspresi diri pribadinya dengan May Ziadah. Hubungan cinta Yesus dengan para wanita, di antaranya Maria Magdalena, menjadi inspirasi bagi Gibran untuk selanjutnya melahirkan Jesus, the Son of Man. Inilah, antara lain penggalan karyanya:

To Mary Magdalene, Jesus had beauty, strength, gentleness:
His mouth was like the heart of pomegranate, and the shadows in His eyes wee deep
And He was gentle, like a man mindful of his own strength.
In my dreams I beheld the Kings of earth standing in awe in His presence.


Gibran begitu mendambakan kebebasan dan cinta. Ironisnya, yang ia dambakan justru tak pernah kesampaian. Di balik pencariannya, sebenarnya Gibran tak dapat menyembunyikan diri sebagai sosok yang putus asa. Lihatlah misalnya, The Broken Wings yang sangat terkenal. The Broken Wings adalah kembaran Romeo-Juliet dalam tutur gaya dan karakteristik Gibran yang berdimensi ketimuran.

Penting mengetahui pengalaman dan suasana hati ketika The Broken Wings ditulis. Tahun 1899, selama liburan musim panas di Bisharri, Gibran merasa galau lantaran sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Karena tak kesampaian, ia frustrasi dan kecewa. Pada musim gugur, ia kembali ke Boston melewati Paris. Pengalaman itulah yang kemudian ia tulis dalam The Broken Wings.

Dalam novel tersebut, Gibran bercerita tentang eksistensi manusia di tengah dunia yang sarat dengan keindahan dan cinta, lantas ternoda oleh sebongkah ketamakan dan kepedihan yang menyakitkan.

Banyak orang yakin, lewat novel tadi, Gibran tengah mengisahkan tentang kegagalan cintanya sendiri --dengan Salma, puteri Faris Karama-- yang mengakibatkan dirinya tetap membujang sampai akhir hayatnya.

Agaknya, diperlukan daya imaginasi yang kuat untuk menangkap “pesan” yang dituliskan Gibran dalam karyanya. Dalam setiap karyanya, Gibran menyodorkan sebuah realita yang dilihatnya lewat bahasa batin. Dan lewat bahasa ini juga, tentunya, karya agungnya hanya bisa dinikmati oleh pembaca.

Tema-tema yang disajikan Gibran dalam setiap bukunya sangat universal. Universalitas tema ini merupakan pengaruh pribadinya sendiri yang universal. Sepanjang garis hidupnya, Gibran tinggal dan menjalani hidup dalam komunitas yang berbeda dan heterogen.

Setelah tinggal di Boston selama tiga tahun misalnya, dia kembali ke Lebanon untuk belajar bahasa Arab (1897-1898). Selanjutnya, Gibran memperdalam masalah seni di Prancis (1908-1910), tepatnya di Paris, bersama dengan August Rodin.

Bakat Gibran belum terasah betul sampai dia ditemukan oleh F. Holland Day, seorang fotografer yang kemudian menjadi tutor dalam bidang seni dan sastra. Di kota seni itu juga, konon Gibran jatuh cinta dan kandas. Suasana hatinya ini digambarkannya dalam novel The Broken Wings.

Untuk mengubur kepedihannya, tahun 1912 Gibran kembali ke Amerika, dan menetap di New York City. Di kota inilah kemampuan dirinya di bidang seni terelaborasi. Gibran menetap di New York City, menghabiskan hari-hari muramnya, sambil berkarya, sampai sang maut datang menjemputnya.

Karena tema yang universal, maka penikmat sastra, di mana pun ia berada, dapat memahami nilai yang terkandung dalam karya Gibran.

Oleh karena itu, di Indonesia, tidak mengherankan jika puluhan buku alih bahasa karya Gibran kini masih gampang ditemui di gerai dan toko-toko buku. Buku-buku itu terjejer di rak-rak, atau bagian depan kaunter toko buku sebagai buku terbitan baru. Bahkan, cukup banyak yang cetak ulang.

Dengan mudah kita menemukan buku Lagu Gelombang, Taman Sang Nabi, Orang-Orang Tercinta, Surat-Surat Cinta pada May Zaidah, Sang Kekasih, Sang Musafir, Sang Nabi, Sang Pralambang, Air Mata dan Senyuman, Panggung Fana, Saya-SayapPatah, Cinta Keindahan Kesunyian, Kelopak-Kelopak Jiwa, Lazarus dan Kekasihnya, Pasir dan Buih, Lebanon: Legenda dan Air Mata, serta buku-buku lainnya.

Grasindo pun tak mau kalah, tampil dengan desain menawan, dilengkapi cover cukup mewah. Yang agak istimewa ialah biografi lengkap dan terbaru Gibran, Kahlil Gibran: Man and Poet karya Suheil Bushrui dan Joe Jenkins. Ini merupakan studi terlengkap dan terdalam oleh pakar yang dilakukan dua tokoh terkemuka Kahlil Gibran Research and Studies Project.

Sementara yang lain ialah Love Letters, berisi surat-surat cinta antara Gibran dan May Ziadah yang mengalami cetak ulang lebih dari dua kali.

Sementara itu, kita juga menyaksikan karya Gibran diterbitkan oleh Fajar Pustaka Baru, Yayasan Bentang Budaya, Dunia Pustaka Jaya. Tetapi jangan ditanya hasil alih bahasanya. Rata-rata, karena penerjemah kurang paham benar latar, suasana, serta konteks lahirnya karya-karya Gibran; hasilnya boleh dikatakan parah.

Dalam Yesus Sang Anak Manusia misalnya, banyak ditemukan kesalahan mendasar –dan kesalahan itu tidak dapat dimaafkan. Sebagai contoh, pantheon yang dalam bahasa Yunani yang berarti: banyak allah (pan = banyak, theon = allah) diterjemahkan sebagai” dewa pan” (hal 238).

Kekonyolan lainnya terletak pada alih bahasa nama-nama tokoh dalam Injil, seperti Yakob Anak Zabadi (maksudnya, Jakobus putra Zebedeus). Atau pada halaman 82 “Saul dari Tarsus” yang maksudnya pasti bukan Raja Saul dalam Perjanjian Lama, tetapi Saulus, nama Paulus sebelum bertobat.

Meski tergolong parah, alih bahasa itu boleh disebut “buruk-buruk papan jati”. Banyaknya buku karya Gibran yang diterbitkan di Indonesia menunjukkan animo masyarakat terhadap karya-karya Gibran cukup tinggi.

Sebagai bukti kecil atas asumsi tadi dapat dilihat pada data komputer yang tersedia di toko buku Gramedia di Jakarta. Di sana, tercatat stok buku Cinta Keindahan dan Kesunyian telah habis terjual. Sementara buku Yesus Sang Anak Manusia, mengalami cetak ulang kedua.

Penutup
Gibran memang telah tiada. Tapi karya-karyanya tetap abadi. The Broken Wings itu akan terus mengepakkan sayapnya. Tidak saja di Amerika dan dunia Timur Tengah, tapi juga di bumi Indonesia. Jasadnya telah lama tiada, namun pribadi dan karya-karyanya terus menginspirasi manusia di segala ruang dan di sepanjang zaman, termasuk Indonesia.

Menjadi pertanyaan: apa yang menyebabkan Gibran dan karya-karyanya abadi, tidak lekang ditelan zaman dan hampa di dalam segala ruang?

Melihat main idea karya-karyanya, serta dari pengamatan terhadap pemikiran dan permenungannya, dapat disimpulkan hal itu karena ia mengangkat tema yang universal, yang sangat dekat dan dialami sehari-hari, apa adanya, seperti: kesepian, kesendirian, ketakutan, cinta, benci, harapan, keputusasaan, kebebasan, kemerdekaan, juga alienasi.

Di sini menjadi tepat pendapat Horatius, pujangga Romawi kuna, bahwa karya seni yang baik ialah yang mengandung unsur dulce (indah) dan berguna (utile). Karya-karya Gibran indah dan berguna. Karena itu, universal dan abadi.


Untuk mengunduh gambar, silakan kunjungi:
http://www.susanneangst.com/poetry/gibran/art/

Tidak ada komentar: