Rabu, 11 November 2009

Buku-buku Komik: Yang Berkanjang di Era New Media

Komik, selain novel pop, terbukti genre buku bacaan yang persistence (berkanjang) hingga hari ini di Indonesia. Bukan sekadar berkanjang, komik bahkan tumbuh sebagai sebuah industri menarik.

Tak mengherankan, banyak pemodal terjun menerbitkan komik. Dengan harapan, lini produk ini yang per definisi “gambar-bercerita” ini dapat memberi omset besar di tengah-tengah industri perbukuan tanah air yang kacau balau diterpa krisis global dan diperparah regulasi pemerintah yang amat gegabah.

Berbeda dengan beberapa penndidik dan pengamat perbukuan, saya sama sekali tidak memandang komik dari kacamata hitam. Mengapa? Berbagai studi ilmiah sampai pada kesimpulan, membaca komik dapat menjadi jembatan menuju kegemaran membaca(Mary Leonhardt, 1993: 72-74).

Karena itu, amat gegabah jika hari-hari terakhir ini kita terus-menerus memaki komik-komik Jepang, terutama seri Shincan. Tokoh anak TK dalam komik yang dalam edisi Indonesia populer dengan Crayon itu dikarakterkan sebagai tolol, dan karena itu, sering konyol, bahkan kurang ajar.

Tidak mengherankan, jika kemudian berbagai media cetak menerima surat pembaca yang isinya mengomentari komik Shincan sebagai “tak mendidik dan tidak cocok dengan budaya Indonesia”.

Cukupkah kita hanya memaki, tanpa melihat duduk perkaranya? Sebagai bangsa yang mau belajar, kita justru ingin menggali lebih dalam.

Pertama, mengapa Shincan laku keras di Indonesia?

Kedua, apa sebab komik dalam negeri belum menjadi tuan di negeri sendiri? Artinya, sanggup menggeser posisi komik impor seperti kaset dan CD lagu pop Indonesia yang kini sanggup menggeser dominasi lagu-lagu barat?

Bangkit Kembali
Komik dari Inggris “comic” berarti: lucu, bahasa atau kata kōmikos (Yunani) yang muncul sekitar abad ke-16. Pada awalnya, komik memang gambar-gambar yang “berbicara” tentang hal-hal yang lucu.

Pada awalnya, komik justru dimulai dengan comic strip dan dimuat di majalah atau koran-Seiring perkembangannya, komik tidak lagi dibuat secara comic strip. Sementara temanya sudah tidak melulu tentang hal lucu saja, tetapi meluas ke tema lain. Mulai dari aksi, horor, hingga fiksi ilmiah.

Komik di Indonesia, sesudah koma sejak 1997, memasuki alaf ketiga bangun kembali dari tidur panjangnya. Semula, krisis moneter memang dirasakan penerbit, terutama karena berkaitan langsung dengan bahan bakunya, yakni kertas yang untuk sebagian besar bahannya masih diimpor. Ketika masa-masa awal krisis moneter, tidak ada jalan lain bagi penerbit untuk tidak menaikkan harga jual bukunya, sesuai dengan kenaikan harga kertas.

Waktu itu muncul kekhawatiran, industri buku di Indonesia akan morat marit. Namun, yang kemudian tidak disangka-sangka, terjadi paradoksal: industri buku tetap bergairah, bahkan dilihat dari omset penjualan dibanding tahun-tahun sebelum krisis sangat fantastis.

Memang banyak penerbit kecil gulung tikar. Penerbit papan tengah masih bisa bertahan, lantaran dibantu oleh program Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), yang beranggotakan 250 penerbit, bekerja sama dengan The Ford Foundation untuk menanggung biaya produksi 8-12 buku per tahun.

Yang mengerankan, inudtri buku tetap bergairah meski Indonesia dilanda kriris moneter. Seiring kian meningkatnya taraf pendidikan masyarakat dan mengecilnya jumlah buta huruf di Indonesia dari semula sekitar 40 juta di tahun 1980-an menjadi “hanya” 20 juta di pengujung dekade 1990-an, konsumsi akan buku, termasuk komik, pun meningkat.

Komik di antara Buku Anak
Berdasarkan data penjualan di toko buku, lima besar genre buku yang laris di Indonesia sebagai berikut: buku pelajaran, bacaan anak, keagamaan, ekonomi/manajemen, dan novel.

Buku bacaan anak di Indonesia oleh para ahli (Bunanta, 1998) dibagi dalam sembilan kelompok: (1) Buku bacaan bergambar (picture book), (2) Komik, (3) Sastra tradisional, (4) Fantasi modern, (5) Fiksi realistis, (6) Fiksi sejarah, (7) Puisi, (8) Buku informasi, dan (9) Buku biografi.
Dari sembilan kategori itu, komik penting dibuat catatan khusus, setidaknya karena tiga sebab.

Pertama, komik merupakan bacaan anak Indonesia yang terbukti mampu bertahan selama empat dekade sejak 1967.

Kedua, sebagai salah satu genre dalam khasanah bacaan anak, komik mampu membangun citra sebagai bacaan ringan, sekaligus hiburan, dan rekreasi bagi anak-anak.
Ketiga, ditinjau dari segi fisik dan penampilan luar, terdapat keseragaman komik, yaitu formatnya yang menjadi lebih seragam menjadi 13x18 cm. Format ini yang mencirikan komik dari buku-buku bacaan populer lain, dengan ketebalan rata-rata 64-96 halaman.

Tahun 1967 adalah tonggak populernya komik di Indonesia. Saat itu, komik-komik impor dari luar negeri, baik dari Eropa maupun dari Jepang, belum dikenal luas. Masih sangat kuat mendominasi cerita-cerita dalam negeri, terutama cerita epos yang diangkat dari dunia pewayangan Jawa, seperti cerita Mahabarata dan Ramayana.

Kemudian, pada 1970-an, beredar komik-komik remaja-dewasa yang baik gambar maupun isinya mengeksploitasi seks. Sebagai contoh, komik berjudul Achir Suatu Kemesraan yang sangat digandrungi dan dicari-cari anak remaja, meskipun segmen komik ini sebenarnya adalah orang dewasa.

Di kalangan orang tua, pendidik, dan komunitas pendidikan saat itu, komik dikhawatirkan dapat menggiring anak-anak “meniru” adegan, pesan, maupun cerita yang tersaji di dalam komik-komik. Kekhawatiran itu wajar.

Terus terang, komik saat itu sering menampilkan adegan kekerasan, penyiksaan, dan pertumpahan darah. Tidak jarang, gambar yang ditampilkan nyaris tanpa busana dengan kata-kata yang vulgar. Karena itu, di sekolah-sekolah, para guru melarang siswa membaca komik. Komik dianggap identik dengan bacaan tidak sehat.

Untuk membantu upaya menjauhkan anak-anak dari pengaruh komik, di luar sekolah, polisi turut mengamankannya. Polisi turut mengawasi peredaran komik. Di halaman terakhir buku komik di tahun 1970-an, hampir selalu dapat ditemukan stempel/cap sebagai tanda bukti bahwa ada izin percetakan dan peredarannya. Stempel ini memuat tanggal dan tempat pemeriksaan komik sebelum beredar.
Stempel itu juga merupakan keterangan yang berguna untuk mengawasi produksi dan distribusi komik, karena nama penerbit tidak selalu dicantumkan, akan tetapi nama penulis hampir selalu tertera dengan jelas.

Memang sulit untuk menarik garis lurus yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara komik yang dibaca anak-anak dengan perilaku mereka sehari-hari karena belum ada penelitian yang khusus untuk itu.

Akan tetapi, cukup banyak kasus yang terjadi tahun 1970-1980 remaja-remaja SMA hamil di luar nikah. Apakah ini akibat pengaruh komik yang mereka baca, ataukah karena pengaruh lingkungan? Memang belum ada studi ilmiah tentang hal itu.

Namun, larangan sekolah (guru) dan orang tua agar siswa tidak membaca komik cukup untuk menyimpulkan bahwa komik dianggap berpengaruh terhadap perilaku pembacanya.
Dari tahun 1966-1971, tercatat tidak kurang dari 876 judul komik beredar di Indonesia. Kebanyakan adalah jenis silat (48,75%) dan roman remaja (36,75%). Komik ini kebanyakan ditulis pengarang Indonesia (199 pengarang). Sedangkan komik saduran hanya sedikit, seperti Dongeng-Dongeng H.C. Andersen dan Mickey Mouse.

Tetap Diminati
Memasuki dekade 1980-an, terjadi perubahan pandangan komunitas pendidikan di dalam melihat komik, seiring dengan perubahan zaman dan kemajuan masyarakat. Seorang sarjana pendidikan, dan juga inspektur polisi di Bandung --salah satu kota besar di Indonesia setelah Jakarta-- bahkan mengatakan, karena Indonesia sudah berkembang dan semakin menuju masyarakat yang terbuka, maka pandangan dan penilaian terhadap isi cerita dan gambar komik pun semestinya berubah pula.

Hal yang dulu dianggap porno dan vulgar, barangkali sekarang sudah tidak demikian. Tak dapat dimungkiri, masyarakat Indonesia sedang berubah. Karena itu, nilai-nilai tradisional cenderung ditinggalkan, digantikan dengan nilai-nilai liberal dan individual.

Pergeseran paradigma itu ternyata cukup besar pengaruhnya bagi bacaan anak. Komunitas pendidikan yang dulu diliputi rasa was-was terhadap keberadaan dan dampak negatif komik, mulai melihat peluang bahwa untuk meningkatkan minat baca anak-anak sebenarnya dapat dimulai dari komik. Berkaitan dengan itu, sejak 1980-an, muncul bagai jamur di musim hujan komik di Indonesia. Bukan saja komik karya pengarang dalam negeri, tetapi juga komik-komik impor, terutama dari Jepang.

Yang menarik, komik anak-anak tidak hanya berisi hiburan dan petualangan, tetapi juga banyak di antaranya yang mendidik. Sebagai contoh, komik Dulken karya salah satu pengarang bacaan anak terkemuka Indonesia, Dwianto Setyawan, tidak hanya lucu dan menghibur, tetapi juga mendidik. Dulken, yang sebelum dibukukan dimuat secara bersambung di salah satu harian yang terbit di Surabaya ini, boleh disebut laris, meski tidak selaris dibanding komik impor dari Jepang.

Serial komik Candy-candy yang diimpor dari Jepang sangat laku keras di Indonesia. Oplahnya ratusan ribu eksemplar terjual dalam waktu singkat, suatu bukti bahwa komik hiburan dan petualangan sangat digemari anak-anak Indonesia.

Demikian pula serial komik Kungfu Boy dan Doraemon sangat populer di kalangan anak Indonesia.
Faktor apa yang membuat Doraemon populer di kalangan anak Indonesia? Terdapat dua faktor penyebab.

Pertama, promosinya. Sebelum dibukukan, Doraemon ditayangkan stasiun televisi Indonesia. Doraemon ditayangkan TV setiap hari Minggu pagi, ketika anak-anak punya waktu luang untuk menonton.

Episode yang ditayangkan sering membuat anak penasaran, dan tidak jarang menimbulkan rasa ingin tahu mereka (curiosity). Mereka yang merasa penasaran dan ingin memiliki cerita Doraemon secara lengkap, langsung mencari komik itu ke toko buku.

Kedua, perilaku tokoh dalam film Doraemon sangat cocok untuk anak Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota. Anak-anak Indonesia di kota menyukai kisah petualangan, suka akan tantangan, dan menanamkan sikap tidak mudah menyerah, dan banyak menanamkan sikap untuk berprestasi (the need for achievement). Orang tua yang mengerti bahwa Doraemon mendidik, menganjurkan anak-anaknya nonton (dan kemudian) membaca komik Doraemon.

Tidak dapat dimungkiri, multimedia sangat memengaruhi kehidupan dan perilaku anak-anak Indonesia. Ketika multimedia mulai memasuki kehidupan anak Indonesia, sekitar awal dekade 1990-an, seperti videogames, komputer, dan kini VCD, memang ada kekhawatiran saat itu multimedia akan menggeser posisi buku, termasuk komik. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti.

Buku-buku bacaan anak di Indonesia tetap berjaya, bahkan komik boleh dikatakan menduduki ranking teratas di antara buku bacaan anak yang disukai.
Multimedia tidak kanibal dengan buku, namun saling melengkapi (komplementer). Adapun Jenis multimedia (VCD) yang diminati anak-anak Indonesia ialah yang diimpor, seperti Mr. Bean dan The Beauty and the Beast.

Terhadap Mr. Bean, anak-anak menyukainya karena lucu. Sedangkan The Beauty and The Beast, anak-anak menyukainya karena ceritanya yang menarik dan dapat dipetik pesan-pesan moral dari cerita itu.

Mengapa antara multimedia dan buku komplementer, tampaknya berkaitan dengan sifat media itu sendiri. Sesuai dengan karakternya, multimedia (yang elektronik) itu statis, tidak bisa dibawa ke mana-mana. Anak-anak yang memainkannya terikat oleh waktu dan tempat.

Setiap media memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing (Ariel Heryanto, 2008). Kelebihan buku terletak pada unsur mobile-nya. Buku dapat dibawa ke mana pun pergi, dibawa kapan saja ada waktu, tanpa kehilangan momentum. Lalu, setelah dibaca, buku dapat disimpan di perpustakaan keluarga. Adik-adiknya masih bisa memanfaatkan bacaan itu lagi.

Itu sebabnya, buku disebut sebagai salah satu sarana pendidikan yang ampuh. Seperti dicatat Ensiklopedi Indonesia:“Buku ialah alat komunikasi berjangka waktu panjang dan mungkin sarana komunikasi yang paling berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Dalam buku dipusatkan dan dikumpulkan hasil pemikiran dan pengalaman manusia daripada sarana komunikasi lainnya. Sebagai alat pendidikan, buku berpengaruh pada anak didik daripada sarana-sarana lainnya” (Ensiklopedi Indonesia, hal. 538-539).

Komik impor, tampaknya mendominasi pasar komik di Indonesia, sebuah fenomena yang terjadi sejak dekade 1980-an. Setelah sukses dengan Candy-Candy dan Doraemon, muncul lagi Kobochan, Sweet Fuku-Fuku, Kung Fu Tao, Hakke Yoi, Kotaro, Ashura, Shaolin, dan Izumo --semuanya komik petualangan impor dari Jepang.
Sebagaimana serial komik sebelumnya, komik-komik dari Jepang ini pun sukses besar. Komik yang terbit dengan 37 jilid ini berkisah mengenai seorang jagoan kungfu penerus generasi Kuil Dairin di Negeri Cina, setelah 100 tahun kuil itu berdiri. Jagoan itu bernama Chinmi yang jenius dan bermata elang, tangannya sekeras baja dan kakinya menghancurkan batu.

Segera anak-anak Indonesia menjadikan Kungfu Boy sebagai idola. Yang dicemaskan orang tua dan pendidik ialah perilaku tokoh (unsur who yang menjadi karakter dalam cerita) ditiru anak-anak. Jangan sampai, usai nonton tayangan TV melakukan hal seperti itu beralasan, “Saya ingin seperti jagoan yang ada di TV.” Jangan sampai terjadi, anak-anak meniru apa yang dilihat dan dibacanya. Dalam komik Pedang Bintang misalnya, jelas-jelas di sana dilukiskan bahwa balas dendam itu boleh, bahkan wajib.

Komik ini berkisah ihwal balas dendam seorang samurai di medan pertempuran. Dia mencari musuh yang sangat dibencinya, yaitu seorang panglima perang yang memiliki bekas luka di pipinya. Ia harus mengadakan revenge, sebab orang itu telah membuhuh keluarganya dengan menggunakan “Pedang Bintang” buatan ayahnya sendiri.

Melihat fenomena itu, banyak kalangan mulai mencemaskan pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui komik. Balas dendam misalnya, dikatakan bukan budaya warisan nenek moyang Indonesia. Orang Indonesia pemaaf dan suka hidup harmoni. Komik seperti Pedang Bintang atau Sinchan disebut-sebut dapat mengancam budaya Indonesia.
Kecemasan itu, antara lain didengung-dengungkan oleh para pendidik, orang tua, maupun Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional). Bahkan, dalam setiap kali simposium mengenai pendidikan dan perbukuan, gejala membanjirnya komik asing masuk ke Indonesia ini sering digugat. Sebegitu mendominasinya komik asing, muncul sindiran (julukan) yang mengatakan, “Buku produksi dalam negeri belum menjadi tuan di negerinya sendiri”.

Bertahun-tahun komunitas pendidikan dan insan perbukuan coba menghadang dominasi komik asing. Dalam tataran tertentu, mungkin ada benarnya komik-komik impor merusak budaya bangsa, tetapi jelas tidak semua. Cukup banyak di antaranya bagus dan mendidik. Lalu apa motivasi di balik tindakan menghadang dominasi komik impor? Mungkin faktor bisnis menjadi pertimbangan. Dalam konteks bersaing dengan komik impor, penerbit dan komikus dalam negeri bahu-membahu meningkatkan kualitas dan tampilan komik.

Seperti diungkapkan komikus senior Dwi Koendoro, komik-komik baru Indonesia berupaya mengungkapkan kekuatan visual yang bertumpu pada kekuatan gambar, seperti tampak dalam komik Ayam Majapahit pemenang utama lomba komik Indonesia tahun 1995/1996. Ilustrasi dipercantik, meniru gaya komik impor Jepang.

Demikian pula isi cerita semakin disesuaikan dengan selera pembaca (anak). Meskipun masih mengedepankan nama kerajaan Nusantara masa lalu (Majapahit), Ayam Majapahit adalah komik yang mengisahkan seorang mahasiswa yang kemasukan roh ayam yang menjadi piaraan putra mahkota Kerajaan Majapahit. Tubuh ayam muncul abad ini di rumah kos mahasiswa, dengan pikiran dan perasaan mahasiswa itu sendiri.

Jika dicermati dengan saksama, sudah ada usaha komikus mengambil cerita yang dekat dengan pembacanya. Jadi, tidak lagi murni kisah epos seperti komik Indonesia tahun 1970-an. Unsur kedekatan dengan pembaca merupakan satu faktor, mengapa komik Indonesia berterima di negerinya.

Dalam Ayam Majapahit misalnya. Tokohnya seorang mahasiswa. Bukankah semua orang tahu, sejak 1997 mahasiswa selalu menjadi sorotan dan buah bibir masyarakat Indonesia karena menjadi pelopor yang menentang rezim diktator Soeharto untuk kemudian menjatuhkan presiden yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya itu (A. Ariobimo Nusantara, dkk., 1998).
Formula buku anak Indonesia sebenarnya telah ditemukan. Ketika serial film anak Saras 008 muncul dua kali semiggu di TV swasta beberapa waktu lalu prime-time pukul 19.30-20.00, komik dan buku bacaan dengan tema cerita yang sama, juga laku. Ini mengafirmasi, bahwa antara content (isi) dan tools (media, bahasa, gambar) saling melengkapi, bukan saling memakan.

Film Saras 008 murni buatan lokal isi maupun setting ceritanya. Tidak mengandung cerita epos masa lalu, akan tetapi cerita epos yang visioner, jauh ke depan. Bahkan, dilukiskan Saras 008 dapat berubah ujud, mengeluarkan sinar laser dari bola matanya untuk menghancurkan musuh. Seperti mottonya, Saras 008 adalah “pahlawan kebajikan, pembela kebenaran, teman semua orang yang cinta kedamaian.” Siapa saja yang meminta bantuan, Saras siap datang. Asalkan memencet nomor sandinya “008" dalam sekejap Saras datang menolong.

Saras membuktikan, asal penggarapannya serius, tokoh idola anak Indonesia tidak hanya dari komik Jepang, juga bisa datang dari komik dalam negeri. Sebagai contoh, Saras 008 dapat dijumpai komiknya di toko-toko buku, selain berbentuk novel anak usia akil balig.

Pada masa jayanya di televisi, tokoh Saras 008 sangat digandrungi anak-anak karena karakternya yang kuat. Setiap waktu tayang, anak-anak siap di depan TV. Jika ditelisik, salah satu keberhasilan Saras 008 adalah ceritanya tidak abstrak, meski kadang menonjol sebagai science fiction. Kejadiannya mengambil setting di Indonesia, seperti di Ancol atau Mall Ambasador, Jakarta.

Lagi-lagi, faktor kedekatan dengan audiens (psychographic and demographic proximity) menjadi kunci sukses film dan buku anak. Faktor kedekatan dipertahankan dalam komik Saras 008, selain coretan-coretan gambar maupun motion-nya yang tetap “meniru” gaya komik Jepang yang sebelumnya sudah populer di kalangan anak Indonesia.

Tetap Berkanjang
Agar tetap eksis, dan tetap sanggup bersaing dengan multimedia lain yang menawarkan kecepatan dan juga keanekaragaman, komik pun harus berbuat sama seperti media cetak, terutama surat kabar seperti dilakukan para tokoh di Amerika Serikat.

Ketika pada awal 1970-an tayangan TV dan media elektronika begitu gencar menyerang keberadaan media cetak, tantangan dijawab Tom Wolfe. Wolfe mengenalkan genre baru saat itu yang disebut dengan “New Journalism”.

Komik dan film kartun sebenarnya dilihat dari sisi isi sangat mirip, yang membedakannya hanyalah media penyampaian. Karena dari sisi visual dan gerak lebih hidup, anak-anak lebih menyukai tayangan film daripada membaca buku. Namun, mengingat dari segi waktu, kenyamanan menikmati, serta fantasi lebih berkembang maka ada cukup banyak anak yang suka pada buku daripada menonton. Ini menunjukkan, film dan buku saling melengkapi, tidak kanibal.

Yang penting ialah ketika saling berlomba mencari pengaruh (baca: pasar), antara film dan buku dimensi pendidikan atau pesan (message) terabaikan, sehingga karya itu bukannya mendidik, malah merusak. Sebagai contoh, kasus film animasi “Naruto” di Global TV yang dituduh telah memberikan inspirasi bagi seorang bocah bunuh diri karena meniru film itu.

Namun, bagaimanakah posisi komik di era new media? Karya sastra yang abadi (ars longa), seperti ditegaskan Horatius, ialah yang sekaligus indah dan berguna (dulce et utile).

Mengapa komik berkanjang? Tentu karena memenuhi dua unsur itu! Selain mengandung hiburan, komik juga mendidik. Jadi, jangan khawatir, bila ada komik yang hanya mengandalkan salah satu sisi –hiburan misalnya. Ia akan perlahan-lahan ditinggalkan, manakala menafikan unsur pendidikan. Sebaliknya, komik yang sarat dengan doktrin moral juga akan ditinggalkan, karena kering kerontang.

sumber: Warta Ikapi Oktober-Desember 2009: 6-9

Tidak ada komentar: