Sabtu, 21 November 2009
Siapa Konsumen Novel?
Seorang novelis diandaikan mengetahui siapa calon pembaca karyanya. Kalau tidak, maka ia akan memilih tema, menggunakan bahasa, dan menetapkan nama yang jauh dari dunia pembaca. Padahal, sebuah novel yang berhasil ialah yang dekat dengan pembacanya.
Unsur proximity ini menjadi penting, sedemikian rupa, sehingga pembaca merasa menjadi bagian dari pelaku cerita Anda dan mengalami peristiwa yang Anda reka.
Jadi, tidak hanya dalam ilmu marketing, menetapkan sasaran pembaca (targeting and segmentation) ini penting. Seorang penulis pun perlu menetapkan siapa sasaran pembaca, sebelum menulis.
Siapa sebenarnya pembaca dan pembeli novel? Sulit menjawab pertanyaan itu secara spontan. Mengapa? Karena sampai saat ini masih sedikit riset yang memetakan mengenai profil pembeli buku. Kalaupun peta itu ada, hanyalah terbatas pada segmen tertentu saja. Tidak mencerminkan pembeli buku secara keseluruhan.
Sulitnya memetakan siapa pembeli buku, tidak hanya karena langkanya hasil riset. Akan tetapi, penyebab utamanya karena pembeli buku selalu berubah-ubah.
Pembeli yang hari ini membeli buku A misalnya, belum tentu menjadi pembeli buku B besok lusa. Berbeda dengan pelanggan koran dan majalah, pembeli buku selalu berubah.
Sebenarnya, tidak hanya dalam bisnis buku saja pembeli selalu berubah-ubah. Pada bisnis lain pun, pembeli sering gonta ganti. Tidak ada pembeli yang tetap. Yang tetap ialah perubahan itu sendiri.
Oleh karena itu, riset pemasaran dan identifikasi siapakah pelanggan, penting secara terus-menerus diadakan. Riset itu untuk mengetahui perilaku konsumen, untuk selanjutnya menjadi masukan bagi pengambil keputusan dalam sebuah organisasi penerbitan buku di dalam menyusun kebijakan dan program bisnisnya ke depan.
Berbeda dengan consumer goods, seperti produk makanan dan minuman yang semua usia dan semua lapisan memerlukannya, produk buku sangat unik. Setiap kali melempar produk baru (buku), sebuah penerbit harus mencari pelanggan dan pembeli baru. Berbeda dengan surat kabar dan majalah yang sudah punya langganan tetap, jarang ada pelanggan buku. Kalaupun ada, mereka adalah anggota sebuah klub pecinta buku penerbit tertentu.
Remaja Putri dan Ibu Muda
Sebagaimana diketahui, terdapat banyak jenis buku. Salah satu di antaranya ialah novel. Dari tahun 1970-an, hingga saat ini, novel tetap menjadi salah satu produk andalan baik oleh toko buku maupun penerbit.
Novel selalu menjadi produk best seller. Faktor apa yang menyebabkan novel tetap bertahan, bahkan selalu menempati ranking penjualan teratas baik dari sisi omset maupun jenis buku?
Kritikus dan sastrawan Jakob Sumardjo pernah melakukan riset yang hasilnya dibukukan dalam Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Menurut riset Jakob Sumardjo, di era ’70-an di Indonesia terbit sekitar 70 buah novel.
Siapa konsumen (pembeli)-nya? Agaknya, konsumen novel dari dulu hingga sekarang tetap tidak bergeser: mayoritas konsumen adalah para remaja putri dan ibu-ibu muda.
Hasil penelitian Jakob Sumardjo dapat digunakan untuk menjelaskan fenomenon, mengapa dari dulu sampai kini novel populer selalu saja didominasi wanita.
Kendati banyak juga pria novelis yang karyanya bersambut, namun hampir selalu kalah bersaing dari sisi penjualan. Sebut saja nama pria novelis seperti Ashadi Siregar, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Freddy, Yudhistira ANM Massardi, Abdullah Harahap; eksistensi mereka kalah pamor dibanding wanita novelis seperti: Marga T, Mira W, S. Mara GD, atau V. Lestari.
Memasuki dekade ’80-an – ‘90-an, dominasi novelis wanita tetap tak terpatahkan. Sampai di ambang pintu gerbang millennium ke-3 pun, dominasi itu tetap bertahan, sampai hari ini. Sekadar menyebut contoh, betapa karya Ayu Utami Saman (terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada 1988 menjadi sangat fenomenal. Menyusul karya Dee Supernova dan Dyan Nuranindya Dealova yang juga tak kalah fenomenalnya.
Tiga novel tersebut boleh dikatakan fenomenal pada awal milenum ketiga. Menyusul produk ikutan (mee too product) yang juga tidak kalah menarik dan laris seperti karya Fira Basuki (Atap, Pintu, Jendela, Miss B, Rojak), karya-karya Naning Pranoto dan sejumlah novelis wanita lain.
Mengapa Novel yang Ditulis Wanita Laku?
Mengapa novel yang ditulis oleh wanita laku? Terdapat banyak faktor, antara lain.
1. Tahu kebutuhan pembaca
Sebagaimana dalam surat kabar dan majalah, dalam buku pun unsur kedekatan pada pelanggan memainkan peranan yang penting sebagai pemicu bagi orang untuk membeli dan membaca. Para novelis wanita sadar betul siapa calon pembeli dan pembaca novel mereka, sehingga dengan serius mengekslporasi dunia mereka.
Sebenarnya, dari sisi tema, tidak ada yang baru dalam novel populer. Dari dulu hingga kini, tema itu itu saja: cinta, seks, perkawinan, rumah tangga, pekerjaan, kebebasan, hubungan sosial, masalah spiritual. Bedanya terletak pada bahasa, cara bertutur, pilihan diksi, serta ending yang cenderung happy ending.
2. Bahasanya lugas
Novel-novel sekarang misalnya, bahasanya lebih lugas. Tidak lagi bertele-tele, berpantun dulu dengan sampiran, baru sampai pada isi sebagaimana novel pada zaman Balai Poestaka.
Rata-rata novelis sekarang mengungkapkan sesuatu to the point, tidak malu-malu, tanpa tedeng aling-aling. Ini sesuai dengan perkembangan masyarakat sekarang yang terbuka (open society), ini pula cerminan perubahan perilaku dan gaya hidup konsumen. Namun, pada deskripsi hampir tidak ada perbedaan antara novel dulu dan sekarang.
Agak berbeda dengan pria, wanita novelis sangat mafhum dunia kaumnya. Mereka mengangkat ihwal yang dipikirkan, diimpikan, dan dialami ke dalam novel. Selain ideal, terbungkus di dalamnya impian-impian dan juga harapan. Kadang di awang-awang, namun tetap terasa tidak maya karena persoalan dan tema dekat dengan pembaca.
Di balik impian dan harapan yang serba menyenangkan, toh tetap ada unsur idealisme. Misalnya, bagaimana posisi wanita dalam rumah tangga dan kantor. Bagaimana remaja putri bersikap pada lelaki. Bahwa wanita kini bukan sebagaimana zaman Siti Nurbaya. Tidak mengherankan, novel seperti itu berterima, sebab selain menghibur, juga berguna. Di samping kontekstual, juga sarat dengan muatan filosofis.
3. Memadukan unsur indah dan berguna
Sadar atau tidak, novelis wanita sudah melakukan nasihat pujangga Romawi, Horatius. Menurut Horatius, karya sastra yang baik ialah yang mengandung dua unsur sekaligus: indah, menghibur, manis (dulce) dan berguna, bermanfaat,mengandung hikmah (utile).
Patut dicatat, umumnya novel yang laris manis itu akhir ceritanya memilih penyelesaian yang menyenangkan (happy ending). Mengapa demikian? Ini sesuai dengan sebuah terbitan yang bersifat entertaintment yang hakikatnya memang menghibur.
Lagi pula, hal itu sesuai dengan hakiki manusia yang cenderung menghindari hal-hal buruk dan yang tragis serta cenderung mengulang-ulang ihwal yang menyenangkan.
Dan novel dengan happy ending tujuannya memang menghibur. Sejalan dengan temuan ilmu psikologi, bukankah manusia cenderung menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan dan suka mengulang sesuatu yang menyenangkan?
Tampaknya, novelis wanita tahu betul psikologi pembaca. Mereka memainkannya dengan sempurna.
Hal-hal yang menyenangkan ini ditarik ulur, tidak disajikan seluruhnya sampai pembaca benar-benar merasa puas. Kalau pembaca masih penasaran, maka akan dilanjutkan dengan serial berikutnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar