Pada bagian awal, baiklah kiranya dipaparkan ihwal kondisi umum dan locus studiorum Dayak Jangkang. Pemaparan tentang dua hal itu penting, selain memberikan latar dan konteks, juga bermanfaat di dalam melokalisir permasalahan.
Dengan demikian, pembahasan menjadi lebih fokus dan terarah serta tidak melebar. Sementara itu, tali temali dan kondisi umum Kalimantan Raya beserta konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik juga tidak terlepas dari pokok bahasan.
Tidak mungkin melepaskan Dayak Jangkang dari koloni Dayak Kalimantan Raya karena merupakan bagian utuh dari padanya. Di pihak lain, Dayak Jangkang pun dapat dilihat sebagai sebuah entitas tersendiri, dengan segala anasir yang dimunculkannya dalam segala bentuk baik yang kasat mata maupun yang tidak seperti nyata dalam adat, budaya, sistem sosial, politik, keagamaan, dan sebagainya.
Locus studiorum (lokasi penelitian) Dayak Jangkang dalam konfigurasi pulau Kalimantan dan wilayah NKRI.
Kondisi Geografis
Jangkang merupakan kecamatan terluas di wilayah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Luas Kabupaten Sanggau 18.302 km2 dengan kepadatan penduduk per kilometer rata-rata 29 jiwa. Ditinjau dari letak geografisnya, Kabupaten Sanggau terletak di antara 1 derajat 10 menit Lintang Utara dan 0 derajat 35 menit Lintang Selatan dan di antara 109 derajat 45 menit dan 111 derajat 11 menit Bujur Timur.
Adapun batas wilayah kabupaten ini meliputi:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Malaysia Timur
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ketapang
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sintang
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Landak
Sementara batas kecamatan Jangkang sebagai berikut
- Sebelah Utara dengan Kabupaten Sintang
- Sebelah Selatan dengan Kapuas, Mukok
- Sebelah Timur dengan Belitang Hulu, Belitang Hilir
- Sebelah Barat dengan Bonti, Noyan
Luas Wilayah
Di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Sanggau merupakan kabupaten terluas ke-4 (12, 47%). Adapun Jangkang merupakan kecamatan terluas nomor satu di wilayah Kabupaten Sanggau yakni 1.598,20 km2, diikuti kecamatan Meliau 1.495,70 km. Sementara kecamatan terkecil adalah Belitang dengan luas 281.000 km2.
Iklim
Iklim di wilayah Kecamatan Jangkang, sebagaimana terjadi di Kabupaten Sanggau, ialah iklim tropis dengan rata-rata hari hujan sebulan tertinggi 12 hari yang terjadi pada bulan Januari dan Desember. Adapun hujan terendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus selama 5 hari. Rata-rata curah hujan terbesar 196 mm yang terjadi pada bulan Januari, sedangkan yang terendah 54 mm yang terjadi pada bulan Juli.
Topografi
Kecamatan Jangkang merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dan berawa. Dialiri oleh Sungai Mengkiang, Sungai Sedua, dan Sungai Ence. Sungai Mengkiang adalah yang terpanjang yang mengalir dari hulu Tinyan (Utak Moncangk) hingga bermuara di Sungai Sekayam (Muara Mengkiyang) tempat pernah menjadi pusat Kerajaan Sanggau pada pemerintahan Dayang Mas.
Sungai Sedua, mengalir dari hulu kampung Sedua dan bermuara di Sungai Sekayam. Di masa lalu, dapat dilayari hingga ke Sanggau. Dari sungai ini pula Ayang, puteri Macan Natos dari ketemenggungan Kopa diculik dan dibawa ke kota raja Sanggau oleh ulu balang raja. Setelah jadi permaisuri raja, Ayang ganti nama menjadi Ratu Ayu.
Jenis Tanah dan Keadaan Lapis Tanah
Sebagaimana umumnya jenis tanah dan lapisan tanah di wilayah Kabupaten Sanggau maka jenis tanah dan lapisan tanah di Jangkang adalah jenis tanah podsolik merah kuning batuan dan padat yang hampir merata di seluruh wilayah yakni 108.880 (hektar), podsolik merah kuning batuan beku dan endapan (24.375 hektar.
Geologi
Pada umumnya, di wilayah kecamatan Jangkang terdapat formasi geologi kwartir (4.687,50), kapur, trias (1.562,50), pistosen (48.295,00), intruksif dan plutonik basah menengah, instruksif plutonik asam, skis hablur (14.375), instruksif dan plutonik asam (1.250,00), lapisan batu dan pemo karbon (51.250). Lapisan tanah pistosen agaknya hampir terdapat di semua wilayah kecamatan Jangkang.
Kekayaan Alam, Flora, dan Fauna
Di wilayah Jangkang masih terdapat hutan lindung (suaka) dan sebagian masih terpelihara dan dalam kondisi cukup baik. Masih terdapat cukup banyak hutan perawan yang belum dirambah, terutama di daerah Ulu Tinyan dan di pegunungan-pegunungan. Gunung Bengkawan dan Gunung Balu (Boruh) termasuk yang dilindungi. Bahkan dianggap keramat, karena itu muncul legenda dan syair-syair lagu yang pada intinya menyerukan agar hutan di pegunungan tersebut tetap lestari karena memberikan banyak manfaat. Hasil-hasil hutan dan kekayaan alam banyak terdapat di sekitar daerah pegunungan dan rawa-rawa.
Jalan raya Mongkau, menjelang Jangkang. Tampak di latar belakang Gunung Romosu dan Gunung Bengkawan yang sangat dilindungi penduduk Jangkang dan sekitar.
Berbagai jenis kayu baik yang terdapat di hutan lindung maupun hutan nonproduktif hingga kini masih dapat ditemui, antara lain: ponyaok, janang, meranti, kayu besi (belian), donyer, tapang, pasak bumi, gaharu, modangk, tengkawang dan lain-lain.
Pasak bumi, salah satu kekayaan alam Jangkang. Tanaman obat ini di Malaysia populer dengan nama "tongkat ali".
Jangkang bahkan dikenal sebagai penghasil buah tengkawang terbesar di Kalimantan Barat. Buah tengkawang multiguna, dapat dijadikan bahan kosmetik, obat-obatan, minyak goreng, dan sebagainya. Akhir-akhir ini, tengkawang mulai ditanam secara terencana dan akan menghasilkan buah pada umur 15-20 tahun. Batang kayunya sangat baik dijadikan papan dan bahan bangunan lainnya. Selain kayu, wilayah Jangkang pun kaya akan berbagai jenis rotan. salah satu jenis yang paling baik ialah rotan saga yang jika dibuat anyaman sangat tahan dan sangat bagus.
Buah dan pohon kayu besi.
Pohon tapang yang tumbuh angkuh di tepian pemandian Atuh Jangkang. Sejak saya kecil hingga saat ini, rasanya pohon tapang ini ya... masih seperti dulu.
Adapun flora yang terkenal adalah anggrek hitam, anggrek tanah, dan anggrek lainnya yang tumbuh liar di dahan dan batang-batang pohon. Kantong semar banyak tumbuh di daerah rawa, terdiri atas berbagai jenis dan ukuran. Kebiasaan orang Jangkang menjadikan kantong semar sebagai wadah membuat kue, baik dari bahan singkong maupun beras ketan.
Rotan saga yang tumbuh subur di kanan dan kiri Sungai Ence. Rotan suka tumbuh di hawa dingin, banyak humus, teduh, dan ada tempat buat melilit.
Sementara fauna langka yang masih bisa dijumpai ialah burung beo, burung koroya (punai), bayan (burung nuri), elang, klampiau, kancil, tupai, beruang madu, ular, dan kucing hutan.
Sosial ekonomi
Hubungan sosial Dayak Jangkang sangat diwarnai tradisi dan adat istiadat. Tiap kali berpapasan, atau berjumpa, mereka selalu bertegur sapa satu sama lain. Masih berlangsung hingga kini praktik gotong royong yang dalam istilah mereka disebut pongiruh untuk bekerja di ladang atau di sawah.
Kerja bakti bersama untuk mengerjakan proyek bersama untuk kepentingan umum masih dilakukan. Menjelang pesta gawai, biasanya penduduk Jangkang ramai-ramai membersihkan got, pekarangan, kampung, dan kini salib menjelang kampung (sebagai ganti pontok urangk). Pranata sosial Dayak Jangkang masih cukup kuat yang bertumpu pada hukum adat dan adat istiadat warisan nenek moyang.
Mata pencaharian utama Dayak Jangkang adalah bertani dan berkebun, sebagian kecil pedagang dan pegawai negeri. Perkebunan karet memberikan kehidupan bagi suku ini sejak zaman kolonial hingga kini. Hingga tahun 1970-an, hasil karet unggulan yang dibuat tipis banyak dijual ke Kuching dan Sarawak setelah selama dua hari menempuh perjalanan kaki lewat Mongkos.
Harga karet berfluktuasi, kadang tinggi, kadang juga rendah. Namun, harganya berkisar antara Rp5.000,00-Rp13.000,00 per kilogram. Sebuah keluarga sehari dapat menghasilkan 5-20 kg karet, bergantung pada luas dan banyaknya karet yang ditanam.
Ketika harga karet sedang memuncak, banyak di antara Dayak Jangkang mengatakan, “Untuk apa jadi pegawai kantor, lebih enak jadi petani!” Dan kini yang ditanam bukan lagi karet lokal, tetapi karet unggul yang bibitnya sebagian disubsidi Pemerintah Daerah, dan sebagian lagi swadaya masyarakat. Bibit karet unggul didapat dari koperasi (Credit Union), dari Malaysia, dan dari Palembang. Selain budidaya karet, perkebunan sawit dan gaharu juga mulai dirambah.
Akan tetapi, Dayak Jangkang cenderung boros dan belum arif di dalam mengelola uang. Ketika mempunyai uang banyak, mereka cenderung konsumtif dan membeli barang yang tidak urgen. Misalnya, membeli parabola, kulkas, sepeda motor, bahkan mobil. Begitu CU Pancur Kasih didirikan di Mongkau dan CU Lantang Tipo di Balai Sebut dibuka, sudah mulai tumbuh kesadaran masyarakat untuk menabung. Pada hari kerja, tampak antrean penduduk menabung dan sebagian meminjam untuk modal kerja.
Perikanan juga cukup mendongkrak perekonomian Jangkang. Beberapa keluarga bahkan tidak melakukan pekerjaan lain, hanya berusaha di bidang perikanan. Air yang melimpah dan bersih memungkinkan perikanan berkembang di Jangkang.
Dikondisikan masih banyak plankton, buah yang jatuh ke sungai, dan bebatuan alam yang masih asri, menjadikan ikan di Jangkang sangat lezat rasanya. Kolam ikan dan karambah banyak dijumpai di Jangkang dan sekitarnya. Banyak orang di luar daerah sengaja datang membeli ikan, utamanya ikan yang dipelihara ialah nila merah, ikan mas, lele, gabus, patin, dan sebagian kecil memelihara ikan arwana.
Administratif Pemerintahan dan Adat Istiadat
Menurut data statistik 2003, Kecamatan Jangkang saat ini berpenduduk 24.228, dengan rincian 12.482 laki-laki dan 11.746 perempuan. Kepadatan penduduk kecamatan Jangkang adalah 15 per km2. Terdapat 11 desa/kelurahan dan 46 dusun.
Sebagaimana kecamatan lainnya di wilayah pedalaman Kalimantan Barat maka kecamatan Jangkang masih kental dengan hukum adat istiadat yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun. Adat istiadat dan hukum adat masih memainkan peranan yang cukup besar baik di dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam sistem sosial kekerabatan. Di dalam upaya penyelesaian masalah atau pertikaian, hukum adat juga masih berlaku.
Demikian pula dalam hidup keagamaan, meski sekarang seluruh wilayah kemcatan Jangkang ditambah beberapa kampung/ desa yang masuk kecamatan tetangga, mayoritas penduduknya memeluk agama Katolik, warna atau nuansa budaya lokal masih cukup kental di dalam hukum-hukum Gereja Paroki setempat. Pada lampiran dapat dilihat bagaimana adaptasi atau inkulturasi itu termaktub dalam berbagai Keputusan Dewan Paroki Jangkang tentang Hukum Adat yang Menyangkut Hidup Keagamaan.
Sebagai warga penduduk Kalimantan Raya, Dayak Jangkang patuh pada hukum adat yang berlaku secara umum. Hal ini sudah dimulai sejak abad 18, ketika tujuh ketemenggungan di wilayah Jangkang masuk dalam koordinasi dan bagian dari Dewan Borneo. Dayak Jangkang juga mengirim dua macan (temenggung)-nya mengikuti Musyawarah Besar Dewan Adat se-Borneo yang diadakan di Tumbang Anoi pada 22 Mei-24 Juli 1894.
Metodologi dan pendekatan
Buku ini merupakan hasil pengolahan dari studi pustaka, riset lapangan, wawancara, serta refleksi kritis penulis terhadap asal usul, cara hidup, cara berada, dan masa depan Dayak Jangkang. Studi pustakanya sendiri sudah mulai dilakukan sejak 1984, ketika penulis mulai mencurahkan perhatian pada studi etnologi khususnya etnis Dayak. Minat dan perhatian penulis kemudian dimatangkan ketika adanya kewajiban akademis untuk menulis skripsi sebagai syarat meraih gelar S-1 di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang tahun 1987, dengan judul "Sistem Religi Suku Dayak: Konsepsi mengenai Realitas Mutlak, Alam, dan Manusia".
Secara koinsidental, etnis Dayak menjadi perhatian publik begitu kerusuhan sosial bernuansa etnis terjadi secara hampir beruntun di Kalimantan Barat. Sebagaimana dapat dilihat dari kronologi peristiwa, semakin hari konflik semakin padat. Hal ini antara lain terjadi karena pihak aparat dan penegak hukum kurang memahami kebudayaan dan adat istiadat setempat, sehingga penyelesaian masalah tidak sampai ke akar-akarnya.
Monumen perdamaian memang telah ditancapkan tahun 2000 di Kecamatan Samalantan, Kab. Sambas. Namun, akar konfliknya sendiri tidak diurai sampai tuntas apalagi dicarikan solusi dengan benar dan baik. Hingga hari ini, sejatinya, bumi Borneo masih menyimpan bara api berupa potensi konflik. Sewaktu-waktu, jika diprovokasi atau terjadi pemicu, bara itu siap meledak.
Untuk memahami budaya dan adat istiadat lokal, diperlukan pemahaman dan penafsiran yang benar, bukan hanya sebatas apa yang kasat mata, namun juga melihat simbol-simbol dan makna (konotatif) yang ada di baliknya. Dengan demikian, pemahaman akan etnis Dayak menjadi semakin utuh dan menyeluruh, tidak sebatas stereotip yang mungkin saja salah, dan memang, kerap keliru (tentang seringnya persepsi ini keliru dapat dibaca lebih lanjut dalam Hy Ruchlis, Clear Thinking, 1990: 176-192.)
Dunia akademik terpanggil untuk mengubah dan meluruskan stereotip yang keliru. Hal ini bukan mustahil dilalukan, salah satu tujuan penulisan buku ini adalah mengubah stereotif dan membongkar mitos-mitos yang terselubung serta coba menjelaskannya dari sudut pendekatan semiotika ala Roland Barthes.
Sebagai contoh betapa pentingnya memahami signifier dan signified di kalangan Dayak Jangkang dan Dayak pada umumnya, betapa tanda (signifier) membawa celurit dan parang dalam keadaan terhunus (tidak disarungkan) adalah penanda (signified) menantang berkelahi. Dayak Jangkang tidak pernah membawa pedang dalam keadaan terhunus, selalu disarungkan, dan diikat pada pinggang menghadap ke depan. Dalam hukum adat istiadat Dayak Jangkang, ada sanksi adat bagi orang yang membawa senjata tajam tanpa disarungkan.
Ternyata tanda ini telah keliru ditafsirkan etnis lain. Salah satu pemicu clash antara Dayak-Madura ialah tidak memahami budaya dan simbol lokal seperti ini. Sudah akar permasalahan konflik tidak dipahami, penyelesaiannya pun tidak melalui pendekatan budaya.
Di sinilah ilmu semiotika memainkan peranan. Dan buku ini coba merekonstruksi dan menjelaskan semua simbol dan mitologi Dayak Jangkang khususnya dan Daya Kalimantan Raya pada umumnya.
Roland Barthes. (Atas) Diagram alur teori Barthes tentang simbol dan mitologi.
Sumber gambar/diagram: wikipedia/Daniel Chandler
Sebagaimana diketahui, semiotika secara etimologi berasal dari kata Yunani semeion, dalam Bahasa Inggris sign, dan dalam bahasa Indonesia adalah lambang atau simbol. Secara sederhana, semiotik dapat disebut sebagai studi tentang simbol-simbol atau dalam istilah Daniel Chandler “the study of signs” (Chandler, 2004: 2).
Namun, pengertian ini masih menyisakan pertanyaan: Apa yang dimaksudkan dengan lambang? Banyak orang berasumsi bahwa semiotik ialah studi tentang simbol-simbol visual. Padahal, semiotika bukan hanya sebatas simbol visual. Lalu, apakah semiotik itu? Definisi semiotik yang lebih luas diberikan Umberto Eco yang menyatakan bahwa
“...semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign (Eco, 1976: 7). Semiotics involves the study not only of what we refer to as “signs” in everyday speech, but of anything which “stands for” something else. In a semiotic sense, signs take the form of words, images, sounds, gestures and objects. Contemporary semioticians study signs not in isolation but as a parts of semiotics “sign-systems” (such as a medium or genre). They study how meanings are made and how reality is represented.
Semiotics is concerned with meaning-making and representation in many forms, perharps most obviously in the form of “text” and media. Such term are interpreted very broadly. For the semiotician, a “text” can exist in any medium and may be verbal, non-verbal, or both, despite the logocentric bias of this distinction. The term text usually refers to a message which has been recorded in some way (e.g. writing, audio- and video-recording) so that it is physically independent of its sender or receiver. A text is an assemblage of signs (such as words, images, sounds and/or gestures) constructed (and interpreted) with reference to the conventions associated with a genre and in a particular medium of communication.
Studi semiotika modern dibangun berdasarkan teori-teori sejumlah ahli bahasa dan filosof yang menjadi terpesona oleh bagaimana manusia memberi makna pada dunia sekitar dengan menciptakan tanda-tanda dan bagaimana tanda-tanda ini berinteraksi satu sama lain untuk membentuk bahasa dan praktik budaya.
Bagi ahli semiotika, bidang-bidang penting penyelidikan meliputi hubungan antara tanda dan benda, atau konsep, bagaimana hubungan antara berbagai tanda-tanda (misalnya, bagaimana tanda berhenti dan sebuah tanda batas kecepatan saling berhubungan?); dan hubungan antara tanda-tanda dan orang yang menafsirkan tanda tersebut.
Semiotika memiliki implikasi luas bagi linguistik karena semua bahasa pada galibnya terdiri atas tanda-tanda. Ketika berbicara atau menulis, sesungguhnya manusia berkomunikasi dengan kata-kata yang merupakan tanda-tanda. Susunan huruf tertentu yang membentuk kata adalah penanda, dan makna kata yang dituliskan atau diucapkan itu adalah apa ditandakan.
Jadi, melalui penggunaan tanda, manusia dapat mengekspresikan ide tentang apa saja, misalnya tentang manusia, benda, dan konsep yang tidak hadir secara fisik hanya dengan mengacu benda tersebut melalui kata-kata. Proses penafsiran dan pemaknaan ini merupakan inti dari semua bahasa.
Semiotika Roland Barthes dan Dayak Jangkang
Sebagaimana diketahui, pelopor dan tokoh semiotika banyak sekali. Namun, lima nama yang selalu muncul dalam studi-studi semiotika yang masing-masing menawarkan pendekatan, tentu saja, dengan kelebihan dan keterbatasannya di dalam upaya mendekati suatu objek. Mereka adalah Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, Roman Osipovich Jakobson, Umberto Eco, dan Roland Barthes.
Dari lima tokoh semiotika yang menonjol tersebut, semiotika ala Roland Barthes agaknya cocok untuk mendekati etnis Dayak Jangkang. Mengapa? Alasannya adalah karena Barthes meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pendekatan yang lebih baik pada studi-studi ilmu sosial era 1960-an terutama karena metode semiotikanya yang kokoh untuk memahami mitologi. Esai-esai Barthes tentang mitologi kemudian mempengaruhi studi-studi kebudayaan, terutama di Inggris ketika itu.
Sebagai salah satu peletak dasar semiotika, Barthes merujuk kepada "tanda-tanda" dan melihat tanda-tanda sebagai simbol-simbol budaya dan sebagai blok bangunan penting bahasa dan komunikasi. Seorang semiotisian tidak tertarik pada tanda lalu lintas atau tanda berhenti sebatas hanya bendanya saja. Sebaliknya, ia akan menganalisis bahasa atau proses simbolik melalui oktagon merah yang menjadi simbol universal untuk berhenti di persimpangan dan proses kognitif melalui pengendara yang sampai pada pemahaman simbol universal ini.
Dayak Jangkang, sebagai etnis yang menyatu dengan alam dan menjadi ekosistemnya, sarat dengan simbol dan mitos-mitos. Hal ini tampak dari titik permulaan hidup siklus kehidupan etnis ini yang mulai dengan ritual, hingga meninggalnya, sarat dengan simbol dan mitos. Kurang, apalagi tidak, memahami simbol dan mitos yang hingga hari ini masih hidup di kalangan suku ini, sulitlah bagi orang luar berinteraksi, apalagi menjalin relasi dengan mereka dengan baik.
Banyak pakar mengatakan bahwa Kalimantan Barat merupakan laboratorium studi etnologi dan cross culture yang sangat kaya. Pernyataan itu tepat sekali, mengingat wilayah ini rawan konflik antaretnis dan dihuni multietnis dari berbagai latar kebudayaan dan strata sosial ekonomi yang berbeda.
Ihwal yang penting dicatat, sebenarnya faktor pemicu konflik tidak pernah benar-benar dapat tercerabut dari akarnya manakala akar permasalahan, sumber konflik, serta etnis Dayak sebagai indigenous people tidak dipahami secara benar, dengan pendekatan yang lain. Pendekatan hukum tidak cukup, diperlukan pula pemahaman yang menyeluruh terhadap cara hidup dan cara berada etnis Dayak dengan memahami adat istiadat dan simbol-simbol yang hidup dan diyakini sebagai keniscayaan oleh mereka.
Di situlah letak kegagalan aparat penegak hukum dan penguasa daerah Kalimantan ketika terjadi konflik antarsuku. Hampir selalu pendekatan hukum yang dilakukan, bukan pendekatan budaya, dan pendekatan budaya –sebagaimana yang kita lihat dalam bab-bab berikutnya dan terutama lampiran tentang Hukum Adat Dayak Kecamatan Jangkang—sarat dengan simbol dan lambang-lambang.
Contoh paling jelas ihwal simbol dan lambang-lambang ini dapat dilihat dari simbol manusia di kalangan Dayak Jangkang. Dalam bahasa Dayak Jangkang, manusia disebut sebagai NTOYANT. Dalam semiotik, ucapan "ntoyant" adalah siginifier; signifier ini lantas menjadi signified, sebab apabila ditelusuri makna konotatif di balik simbol ini maka ntoyant dibentuk dari kata ntok yang berarti otak dan yant yang berarti berkata.
Jadi, ntoyant sebagai signifier menyimbolkan bahwa manusia, menurut konsep Dayak Jangkang, adalah otak yang dapat berbicara atau otak yang hidup. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk hidup dan otak merupakan pusat dari kehidupan. Manusia adalah makhluk hidup yang segala perilaku dan tindak tanduknya berporos pada otak.
Bagi Dayak Jangkang, selain otak, darah juga simbol kehidupan. Simbol ini terkait fakta bahwa sebagian besar tubuh manusia terdiri atas air. Pertumpahan darah, yang dapat memicu dan mengakibatkan kematian batang otak, sangat ditabukan. Jika darah keluar, sengaja atau tidak, orang yang menyebabkannya keluar kena adat "pertumpahan darah". Darah adalah signifier, sedangkan kehidupan adalah signified-nya.
Apabila simbol tentang manusia diterangkan lebih jauh maka konsep manusia di kalangan Dayak Jangkang sama esensinya dengan definisi dalam dunia kedokteran. Dunia kedokteran mendefinisikan bahwa kehidupan manusia berpusat pada batang otak. Dengan demikian, tidak berfungsinya otak sama saja dengan kematian manusia itu sendiri. Dan manusia yang tidak menggunakan otaknya sudah kehilangan esensinya sebagai manusia. Ini sepadan dengan definisi manusia dalam dunia filsafat bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi (animal rationale).
Manusia (ruh dan organ tubuhnya) secara gamblang dapat dilihat dari Hukum Adat Dayak Kecamatan Jangkang, Bab 27 tentang Pengganti Alat Tubuh Manusia yang secara terperinci menunjuk signifier dan signified sebagai berikut.
No., Signifier, Signified, Nilai Organ
1. (tuak pati): 1 buah tajau isi 60 liter Darah Rp1.100.000,00
2. Rambut 1 lusin benang hitam Rp18.000,00
3. 1 buah bokor tembaga Tempurung kepala Rp400.000,00
4. 2 buah lotos Biji mata Rp150.000,00
5. 2 buah par tembaga Daun telinga Rp1.000.000,00
6. 2 batang pipa besi Lubang hidung Rp60.000,,00
7. 1 buah oncoi tembaga Batang hidung Rp350.000,00
8. 1 buah pipa tembaga 4 persegi panjang Mulut Rp500.000,00
9. 7 buah beliung/kampak Gigi Rp 105.000,00
10. 1 buah gong cap naga Suara Rp3.000.000,00
11 1 kayu kain putih Kulit Rp80.000,00
12 1 karung tepung terigu Otak Rp67.000,00
13. 1 batang besi parang Tulang punggung Rp10.000,00
14. 1 batang besi parang Tulang ru suk Rp10.000,00
15. 1 batang besi parang Tulang pinggang Rp10.000,00
16. 2 batang besi parang Tulang tangan Rp20.000,00
17. 1 batang besi parang Tulang paha Rp 10.000,00
18. 2 buah pipa tembaga bulat Tulang lutut Rp400.000,00
19. 1 batang besi bulat Tulang betis Rp70.000,00
20. 2 buah serampang besi Jari tangan Rp20.000,00
21. 2 buah serampang besi Jari kaki Rp20.000,00
22. 20 buah skop/cangkul Kuku Rp700.000,00
23. 2 buah talam tembaga Telapak tangan Rp600.000,00
24. 1 pasang sandal kulit Telapak kaki Rp65.000,00
25. 2 buah gima putih Pergelangan tangan Rp200.000,00
26. 10 kg kawat Urat-urat Rp35.000,00
27. 1 buah lila (meriam) Kemaluan Rp3.000.000,00
28. 2 pasang giring-giring Biji kemaluan Rp1.000.000,00
29. 1 buah tajau hijau cap naga Kerangka badan Rp3.000.000,00
Jumlah nilai uang pengganti alat tubuh manusia adalah Rp16.000.000,00 (enam belas juta rupiah). Tentu saja, nilai ini masih merupakan simbol. Apa makna simbol ini? Bagi Dayak Jangkang, Rp16.000.000,00 adalah angka yang tinggi, tak terbatas.
Jadi, bukan berarti itu nilai yang sepadan dengan harga manusia. Atau jika mempunyai uang sebanyak itu boleh menebus nyawa seseorang. Sama sekali tidak! Mengapa? Dalam praktiknya, sulit menemukan barang-barang yang menjadi simbol organ dan nyawa manusia.
Bagaimanakah antarhubungan tanda, penanda, apa yang ditandakan dengan bahasa dan mitologi Dayak Jangkang? Ternyata hubungannya sangat erat, tidak dapat dipisahkan, dan memang harus dimengerti dalam konteks. Misalnya, kata “Ponompa” (penempa, penjadi, pencipta) adalah bahasa yang menunjuk pada petanda dan apa yang ditandakan; simbol ini muncul dalam mitologi –suatu korelasi positif sebagaimana yang dilukiskan dalam diagram alur Roland Barthes.
Atau contoh lain lagi. Mitos seputar kisah penciptaan manusia, asal usul Dayak Jangkang setelah diserang “musuh gelap” di poya tona Tampun Juah, asal usul Bukit Ponongu, asal usul dan filosofi ngayau, mengapa perlu mengadakan tolak bala, memasang pontok urangk pada kiri kanan jalan sebelum masuk kampung, asal usul upacara dan festival, tidak boleh merusak hutan, hingga legenda mengapa makhluk hidup tidak boleh dihinakan; semua itu dapat dijelaskan dengan pendekatan semiotika.
Menarik mengangkat pontok urangk sebagai kajian semiotika. Pontok berarti pantak atau patung dari kayu dan urangk adalah orang merupakan petanda bahwa kampung itu dijaga agar hantu-hantu dan segala yang jahat terhadang sebelum masuk kampung. Tidak sembarang kayu, namun hanya kayu molali untuk membuatnya.
Mitos pertemuan Bujangk Tobalangk yang tengah mancing jelang malam di Lubuk Aji, Sungai Sedua dengan hantu-hantu yang mengayuh perahu ke hulu hendak membinasakan dukun sekaligus kepala kampung yang sombong bernama Belian Tujuh. Sedang Bujangk Tobalangk memancing, hantu-hantu yang berperahu ke hulu sungai Sedua bertemu Bujangk Tobalangk. Ketika ditanya, hantu-hantu akan membinasakan Belian Tujuh dan segenap anak buahnya yang bermukim di hulu, tepi kanan sungai Sedua. Sedangkan Bujangk Tobalangk tidak diganggu, sebab hantu-hantu mengatakan mereka takut pada pontok urangk jika dipasang menghadap keluar kampung dan itu akan menghadang mereka sebelum bisa merangsek masuk untuk menyerang.Sebuah keluarga harus membuat pontok urangk sesuai dengan jumlah jiwa. Jika kurang, maka salah satu atau yang kurang itu menjadi tumbal.
Pontok urangk dan kayu molali: sarat dengan simbol yang perlu dijelaskan dengan pendekatan semiotika.
Dengan demikian, simbol-simbol sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa bagi Dayak Jangkang manusia tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, semiotik ala Barthes sangat tepat untuk mendekati dan menjelaskan cara berada dan cara hidup Dayak Jangkang karena selain dapat menjelaskan makna simbol, juga sanggup membongkar dan menjelaskan makna konotatif di balik mitologi. Simbol dan mitologi hingga hari ini masih hidup dan melekat kuat di kalangan Dayak Jangkang.
Pemahaman akan simbol dan mitologi etnis ini dapat memberikan sumbangsih praktis maupun teoretis di dalam memahami dan berinteraksi dengan Dayak Jangkang dan Dayak pada umumnya -–ihwal yang selama ini senantiasa luput dari bahasan dan pendekatan para antropolog dan peneliti sebelumnya.
Catatan:
Artikel ini adalah Bab 1 Buku saya yang dalam proses penerbitan. Boleh mengutip, asalkan menyebutkan sumbernya.
Sabtu, 20 Februari 2010
DAYAK JANGKANG: Asal Usul dan Sejarahnya sejak Zaman Prasejarah
SEJARAH sosial, meminjam istilah Wilhelm Bauer(1), adalah ilmu yang meneliti gambaran dengan penglihatan yang singkat untuk merumuskan fenomena kehidupan yang berkembang dengan perubahan-perubahan yang terjadi karena hubungan manusia dengan masyarakat, memilih fenomena itu dengan memperhatikan akibat-akibatnya. Bentuk kualitasnya memusatkan pada perubahan-perubahan itu, sesuai dengan waktunya, serta tidak akan terulang lagi (irreproductible).
Demikianlah pada bab ini akan dipaparkan sejarah sosial Dayak Jangkang untuk merumuskan fenomena dan dinamika kehidupan serta tali-temalinya yang membentuk cara berada dan cara hidup Dayak penutur dialek Bokidoh tersebut.
Zaman Prasejarah
Para ahli etnologi dan semiotik menggolongkan Dayak Jangkang ke dalam klasifikasi Austronesia, Melayu Polinesia, atau Land Dayak (Gordon Raymond G, Jr. 2005). Etnis yang disebut sebagai penduduk asli pulau Borneo ini sudah ada sejak zaman Megalitikhum dan Neolithikum, sekitar 1.500 sebelum Masehi.
Tim dari Proyek Riset Penggalian/Penyusunan data Etnografis-Historis dan Arkhais Kalimantan Barat berhasil menemukan benda-benda purbakala, antara lain di Nanga Belang, wilayah Kabupaten Kapuas Hulu dan di Sintang. Diperkirakan benda-benda tersebut berasal dari peninggalan manusia zaman Neolitikum (zaman batu) berupa kapak batu dan pecahan-pecahan periuk tanah. Dari buki-bukti peninggalan peradaban zaman tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah Kalimantan Barat pada zaman itu sudah dihuni manusia.
Bukti lain bahwa wilayah ini sudah dihuni penduduk. Penduduk asli yang memeluk agama ini disebut Senganan atau Sinan; sedangkan yang bergeming dengan kepercayaan nenek moyang tetap disebut Dayak. Kemudian hari, terjadi salah kaprah. Penduduk asli Kalimantan Barat yang memeluk Islam disebut “Melayu”, padahal sesungguhnya mereka bukanlah keturunan Melayu (2).
Berdasarkan perkembangan peradaban, etnis ini dapat dibagi ke dalam beberapa fase sebagai berikut.
Zaman kuno
Pada zaman ini, wilayah Kalbar diketahui dipengaruhi kebudayaan Hindu/Jawa dengan bukti-bukti sebagai berikut.
- Lingga/fallus yang merupakan salah satu lambang agama Hindu Siwa di wilayah Nanga Belang, Kabupaten Kapuas Hulu dan di bekas istana kerajaan Sintang. Bentuknya besar. Karena bentuknya seperti buah kundur maka penduduk setempat menamakannya “batu Kundur”. Di Nanga Sepauk disebut sebagai “Batu Kalbut” (kalbut semacam kopiah). Pada salah satu sisi batu tersebut terdapat relief yang diduga keras merupakan wajah Syiwa sehingga lingga tersebut dinamakan juga “Ekamuka Syiwa Lingga”.
- Patung Syiwa dari perunggu yang terdapat di Kampung Temiang di Hulu Sungai Sepauk, Kabupaten Sintang.
- Sebuah kuburan kuno yang terdapat di dekat Batu Kalbut.
- Bukit atau gundukan tanah dekat batu Kalbut yang diperkirakan tempat peninggalan atau harta Aji Melayu, pendiri kerajaan Sintang.
- Adanya kerajaan Tanjungpura yang lokasinya berada di Kabupaten Ketapang, dekat Sungai Pawan yang merupakan kerajaan tertua yang diketahui bercorak ke-Hinduan sekitar abad XII-XIV.
- Adanya pengaruh Buddhisme terbukti dari peninggalan Buddhis “Batu Pahat” yang berbentuk batu, berukuran 4 x 4 m di Pakit, Kabupaten Sanggau. Sebagaimana diketahui bahwa Pakit secara geografis berbatasan dengan wilayah Kecamatan Jangkang. Diperkirakan peninggalan ini berasal dari abad V berupa tulisan Pallawa Cautha.
Kedatangan dan pengaruh Cina
Masa ini penting diberikan perhatian dalam mata rantai sejarah Kalbar pada umumnya dan Jangkang pada khususnya. Terutama untuk memahami cross culture antara penduduk asli Kalbar (Dayak dan Senganan) dengan pendatang dari Cina yang hari ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan.
Adanya pengaruh Cina terbukti dari benda-benda peninggalan dari Tiongkok, antara lain berupa benda-benda keramik seperti guci, piring, pot-pot bunga, tembikar, dan keramik. Benda-benda ini dapat ditemukan di Gunung Batu Bejamban (Sambas), Pulau Karimata, Gunung Beruang (Kabupaten Pontianak). Hubungan Kalbar dengan Cina sudah terjalin diperkirakan mulai sejak abad VI bersamaan waktunya dengan Ekspedisi Cheng Ho pada periode ekspedisinya antara tahun 1407-1409 .
Kedatangan Agama Islam
Agama Islam masuk Kalimantan Barat bersamaan waktunya dengan masuknya agama tersebut ke wilyah Nusantara yang lain sekitar abad XI. Penyebarannya ke Kalimantan barat melalui Palembang, sebagian melalui Kalimantan Utara, dan ada pula yang datang langsung dari tanah Arab. Syiar agama Islam berhasil masuk keraton-keraton di Kalbar baik dilakukan sambil berdagang maupun secara khusus melalui dakwah-dakwah.
Dapat disebutkan kerajaan-kerajaan di Kalbar yang dipengaruhi perkembangan dan peradabannya oleh agama Islam berikut ini.
- Kerajaan Tanjungpura yang menurut hikayatnya diperintah oleh keturunan dari Junjung Buih dan Prabu Jaya, keturunan langsung dari Majapahit (Lontaan, 1975). Baru sekitar abad XVI kerajaan Tanjungpura mengenal agama Islam yang diperkenalkan oleh Syech Husin pada masa pemerintahan Giri Kesuma.
- Kerajaan Sukadana
- Kerajaan Simpang
- Kerajaan Mempawah
- Kerajaan Sambas juga dipengaruhi Islam. Kerajaan ini didirikan Ratu Sepudak, keturunan Majapahit. Selain terkenal dengan kerajaan Islam dengan raja pertamanya Sultan Muhamad Syaefudin I, kerajaan Sambas juga dikenal sebagai kota Kongsi Cina. Dua kongsi Cina yang bergerak di bidang perdagangan yang senantiasa bersaing yaitu Thai Kong dan Sam Thu Kiam, sehingga memicu perang antarkedua kongsi ini di Sambas.
- Kerajaan Landak
- Keajaan Tayan
- Kerajaan Meliau
- Kerajaan Pontianak
- Kerajaan Kubu
- Kerajaan Sintang
- Kerajaan Sekadau
- Kerajaan Sanggau.
Kerajaan Sanggau sebagai wilayah locus studiorum, juga diwarnai pengaruh Islam yang cukup kuat. Raja dan sultan Sanggau seluruhnya memeluk Islam. Meskipun pada awal mula penduduk asli ini animisme (agama asli), setelah kedatangan dan dipengaruhi Islam maka penduduk asli yang memeluk Islam disebut Melayu.
Namun, khusus di Kalbar, sebutan ini kurang disenangi sebab penduduk asli yang memeluk Islam asal usulnya bukan golongan Melayu, melainkan Senganan atau Sinan. Hal ini dapat diselisik dari istilah setempat yang menyebut Dayak adalah “orang Darat” dan penduduk asli yang memeluk Islam sebagai “Orang Laut”. Artinya, darat dan laut adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sejarah dan hubungan asal usul ini dapat menjelaskan mengapa ketika terjadi Tragedi Sambas yang sebenarnya beraal dari pertikaian Melayu-Madura kemudian melibatkan Dayak. Hal ini karena keduanya berasal dari satu sumber yang sama, penghuni arkais pulau Borneo sejak zaman prasejarah.
Kedatangan dan Pengaruh Bangsa Barat
- Belanda, melalui benedera VOC-nya, mulai berhubungan secara intensif dengan kerajaan-kerajaan di Borneo sejak abad 16. Pada 1604, VOC mendarat di wilayah kerajaan Tanjungpura dengan maksud mengadakan hubungan niaga, ingin membeli intan Kobi, intan pusaka di kerajaan Landak, tidak jauh letaknya dari Jangkang.
Tahun 1822 pasukan VOC dipimpin C. Muller berniat menaklukkan kerajaan Sukadana, namun mendapatkan perlawanan sengit dari raja Muara Mursiddin sehingga VOC berpaling ke wilayah kerjaaan lain. VOC sempat ke Tayan, namun juga mendapatkan perlawanan raja lokal dengan dibantu oleh panglima-panglima perang dari daerah Jangkang yang dikenal gagah berani, terampil, lagi sakti.
- Inggris melalui bendera EIC-nya berhasil mendirikan Kantor Dagang di Matan (kerajan Tanjungpura) sekitar abad XVII. Namun, karena bersaing ketat dengan VOC, Inggri terpaksa menyingkir. Tahun 1812 terjadi perang antara tentara Inggris melawan kerajaan Sambas. Inggris berhasil masuk kota raja. Lalu membumihanguskan sebuah kampung sehingga kemudian dijuluki “Kampung Angus”.
Diperkirakan inilah awal mula Sambas terbentuk menjadi sebuah wilayah yang solid, didukung tiga suku besar yang bermukim di sana yakni Melayu, Dayak, dan Cina. Sambas berasal dari dialek Cina setempat, yakni dari kata sam yang berarti tiga dan bas yang berarti suku. Jadi, ketiga suku di wilayah yang diserang Inggris tadi bersepakat: jika salah satu diserang, yang lain wajib membantu.
- Siar agama Kristen Katolik baru masuk bumi Borneo pada abad 17.
Tahun 1892, Paus Inosensius XII mendirikan Vikariat Apostolik Borneo. Sayang, misi ini tidak berumur panjang, Vikaris apostolik baru dibunuh atas permintaan sultan (Buku Kenangan 75 Tahun Mandirinya Gereja Katolik di Kalimantan Barat (1905-1980): 4). Sejak itu, kegiatan gereja terhambat. Perjalanan orang asing ke pedalaman dilarang.
Ketika negeri Belanda ditaklukkan Perancis pada 1807, kebebasan beragama di seluruh Hindia Belanda mulai tumbuh lagi. Kawasan nusantara disatukan dalam sebuah hukum Gerejani menjadi Prefektur Apostolik dan setelah itu meningkat menjadi Vikariat Apostolik. Sekitar tahun 1851, Borneo Barat dikunjungi seorang pastor bernama Sanders. Usai kunjungan ia berkesimpulan, belum saatnya mendirikan misi di Borneo Barat. Tahun 1884, beberapa pastor Mill Hill dari Borneo Inggris menawarkan diri bekerja di Borneo Barat. Sayang, niat baik ini ditampik oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baru pada 1885, muncul imam pertama di Singkawang untuk melayani sekitar 200 umat Tionghoa yang berasal dari Bangka. Imam yang berkunjung itu ialah pastor Staal SJ yang di kemudian hari ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Jakarta.
Tahun 1890 para pastor Jesuit membuka stasi yang kedua di hulu pedalaman Borneo Barat, Sejiram yang kemudian menyerahkan pelayanan daerah misi ini kepada Ordo Kapusin (OFM Cap) pada 1905. Selanjutnya, misi membuka stasi Sanggau pada 1925 (Boelaars, 1975 : 28) dan dari Sanggau siar agama Katolik masuk wilayah Jangkang.
Dayak Jangkang: Inkorporasi dengan Alam Raya
Dayak Jangkang haruslah diponir dalam persenyawaan dengan alam raya. Seperti dicatat Crevello S “Dayak land use systems and indigenous knowledge” dalam Journal of Human Ecology, 2004;16(2):69-73 sebagai berikut,
The Dayak are a forest dwelling people of the interior of Borneo who rely on a subsistence base of agricultural products cultivated in shifting cultivation plots and forest gardens. Their indigenous knowledge systems are heavily integrated into their mosaic of land use practices. In the field of development there is now recognition that indigenous knowledge may be the key to sustainability. Concepts long used by indigenous groups have maintained populations for several hundred years and continue to due so successfully in times of rapid change in the world.
Asal Usul Dayak Jangkang
Dayak Jangkang dari mana dan bagaimana asal usulnya? Banyak versi tentang asal usul Dayak penutur dialek Bokidoh ini, baik berupa cerita dari mulut ke mulut maupun dari legenda. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya sebuah studi ilmiah, cerita dari mulut ke mulut haruslah dapat diverifikasi baik lewat wawancara, studi lapangan, maupun melalui studi pustaka.
Lontaan (Lontaan, 1975: 327) dalam riset lapangan ke wilayah Sekadau terutama ketika menuliskan hasil risetnya di wilayah Sekadau antara lain, mencatat,
“Suku Daya Benawas berdiam di daerah Kecamatan Sekadau Kabupaten Sanggau. …dari kota Sekadau terbentanglah memanjang di seberang sungai Kapuas sebuah kampung. Di seberang sanalah akan ditemui beberapa suku Daya. Di sana ada suku Daya Benawas, Ketungau, Jangkang, dan lain-lainnya.”
Tahun 1970-an, Dayak Jangkang agaknya sudah ditemui di wilayah Sekadau. Tentu saja, sebagai subsuku yang sudah keluar meninggalkan poya tona , sebab pada tahun 1970-an sudah biasa orang Jangkang merantau ke luar wilayah, baik dengan alasan makan gaji maupun alasan menuntut ilmu. Akan tetapi, keliru besar jika serta merta menarik kesimpulan bahwa asal usul Dayak Jangkang merupakan pecahan atau berasal dari Daya Benawas yang merupakan asal usul penduduk wilayah Sekadau dan merupakan terusan atau pecahan rombongan Dara Nante dan Babai Cinga dalam suatu ekspedisi mencari wilayah baru di Sanggau.
Hasil wawancara dengan para pemuka dan tetua adat Jangkang menyebutkan bahwa asal usul Dayak Jangkang merupakan pecahan dari rombongan Dara Nante dan Babai Cinga. Dalam perjalanan mencari suaminya, Babai Cinga, rombongan Dara Nante mengalami hambatan di muara Sungai Sekayam. Setelah beberapa hari coba mengatasi kesulitan, mereka pun akhirnya dapat meneruskan perjalanan kembali menyusuri Sungai Sekayam.
Setelah sekian lama berlayar, ketika menemui anak Sungai Entabai , fisarat langsung ingin menyusuri anak sungai tersebut. Semakin ke hulu, rombongan lalu berhenti di hulu Sungai Entabai, di sebuah kampung bernama Tampun Juah. Di Tampun Juah ini Dara Nante bertemu suaminya, Babai Cinga. Setelah beberapa hari bertemu, rombongan Dara Nante kembali ke Sanggau, menuju kampung Labai meninggalkan Babai Cinga. Perpisahan kedua insan suami-istri ini barangkali karena panggilan tugas masing-masing. Tampun Juah semakin hari semakin berkembang menjadi pemukiman yang ramai. Setelah ramai, seperti biasa, timbul persoalan-persoalan sosial ekonomi yang rumit dan perlu pemecahan. Salah satu di antaranya ialah masalah pangan.
Syahdan, suatu ketika penduduk Tampun Juah mengalami malabencana yang menimpa seluruh warga. Barangkali kisah ini tidak seluruhnya harus dipercaya dan ditelan mentah-mentah begitu saja, namun haruslah ditafsirkan dan dipahami sebagai bahasa simbolik. Yang masih harus ditelisik menggunakan simbol-simbol bahasa dan pemaknaan yang dalam khasanah ilmiah dikenal dengan semiotika.
Pecahan dari Tampun Juah
Suku Engkarong berasal dari Tampun Juah, poya tona Babai Cinga dan Dara Nante . Waktu itu, terjadi pecah belah Tampun Juah. Keluarga-keluarga keluarga diserang “musuh gelap”, setiap kali menanak nasi, langsung bau busuk, tidak dapat dimakan.
Namun, satu keluarga punya akal. Setiap selesai menanak nasi, diambillah abu, lalu ditaburkan di atas nasi. Nama keluarga yang arif-bijaksana ini adalah Rege Mang Mincar yang setiap kali hendak makan nasi, lapisan bagian atasnya yang ditaburi abu dibuang, lalu yang dimakan lapisan bawahnya yang tidak kena abu. Sementara orang lain yang yang tidak melakukan hal sama, nasinya tidak dapat dimakan.
Karena itu, mereka lalu berpikir dan akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Tampun Juah. Semuanya pergi meninggalkan Tampun Juah, termasuk suku Ribunt dan suku Kopa dan Mang Mincar juga turut berpindah, meski keluarga itu berhasil mengatasi persoalan nasi yang bau itu.
Maka terjadilah perpindahan massal dari Tampun Juah ke Tampun Entabai. Sekian lama di Tampun Entabai, lalu ke pindah lagi ke Polimpah. Dari Polimpah nomad lagi ke Ulu Sungai Moncangk (Mengkiang), yakni Sotantangk. Lama bermukim di tempat ini, penduduk lalu kembali ke hilir Sungai Mengkiang, ke Nanga Solabau. Di Nanga Solabau keluarga ini menetap cukup lama. Lalu keluarga Mincar ke hilir lagi Sungai Moncangk ke Botuh Barah (hingga kini wilayah Botuh Barah ini adalah batas suku Engkarong).
Kemudian, ke Nanga Sungai Sobut bertemu dengan seorang Melayu bernama Peh. Erat hubungan keluarga besar Mincar ini dengan Peh. Ke mana pun Peh bepergian menggunakan perahu dengan suar bambu, berdagang dari kampung ke kampung, mulai dari Muara Mengkiang hingga ke hulu. Kadangkala Peh bepergian bersuar mengajak serta adiknya bernama Dio.
Peh dan Dio bertukar barang dengan orang Dayak, seperti garam, tembakau, baju, kain, besi, bai, periuk, sendok, mangkok, pinggan yang dibarter dengan beras. Waktu itu, penduduk pedalaman belum mengenal mata uang karena jauh dari kota raja. Lalu sampailah praktik berter itu ke Hulu Sungai Mengkiang, ke suatu tempat yang nyaman untuk berlabuh yang penghuninya cukup banyak. Di situ terdapat pangkalan tempat orang biasa bertukar barang dagangan, sehingga disebut dengan “balai”. Dari sinilah nantinya muncul nama Balai Sebut karena balai itu terdapat anak sungai bernama Sebut atau Sungi Sobut.
Hubungan Dayak-Melayu yang sudah lama terjalin ini kemudian terpatri dalam sebutan. Sebutan halus jika orang Dayak ke tempat orang Melayu, orang Melayu akan menyapa, “Odoh mah monik dompu” (datang rupanya kamu, dompu), maka akan dijawab, “Odoh moh somang” (Ya, somang). Jadi, orang Dayak tidak menganggap Melayu sebagai orang lain, sebab asal usul nenek moyang mereka satu dan sama tetapi dengan sebutan “Sinan” atau “Senganan”. Jadi, Dayak yang memeluk Islam disebut Senganan, bukan Melayu.
Kemudian, rombongan Rege Mang Mincar dan, sudah tentu beserta dengan anak buahnya berpindah ke Sorontamp, polaman yang paling besar. Lalu dari sini ada yang pecah menjadi orang Tampik, yang mudik jadi Sekantut dan Engkarong, dari Engkarong pecah ke Semombat. Dari Sorontamp itu juga ada ke Ponyo atau Sinyok (Landau sekarang). Setelah suku Engkarong mendiami wilayah Engkarong, terjailah peristiwa petinggi Engkarong dan Petinggi Ribun waktu itu. Di pusat Engkarong ada Sungi Engkarong dan ada pula peristiwa dengan suku Ribunt.
Asal Mula Jangkang
Menurut penuturan, asal mula Jangkang dari sebuah kampung yang lobor bernama Ponongu. Letaknya di Tabao, sebelah kiri jika mudik menyusuri Sungai Moncangk. Di Ponongu terdapat dua batang kampung. Biasanya, ada kesepakatan, jika habis panen, maka satu saja pesta gawai. Tapi entah kenapa, pada tahun itu (tidak adakesepakatan) di antara dua kampung itu meski sama-sama mempunyai kepala kampung, keduannya pada akhirnya sepakat untuk tidak bersepakat mengadakan gawai.
Pada zaman dahulu, dua kampung dipisahkan oleh jalan. Karena itu, dikenal juga istilah kampung kiri dan kampung kanan. Pada masa ketika itu, kampung kanan jalan duluan gawai, sedangkan yang kiri belum.
Pada waktu gawai itu ada seorang anak, bersama neneknya saja di rumah. Mereka warga kampung kiri. Pada waktu itu, ibu ayahnya tidak di rumah, masih menuai padi (ngetam) di ladang. Nama anak itu Pawan. Kampung Ponongu ini, setelah lobor, menjadi Dorik (Gunung) Sobomant. Lalu pindah dari sini lalu ke Dosant, kampung ini semakin berkembang menjadi besar maka banyak orang mencari pemukiman baru. Ada yang menyeberang ke jauh menjadi orang Ensanong, ada juga yang lebih jauh menjadi orang Jangkang. Yang milir dari Dosant ada yang ke Kamongk, dekat Sanggau, menjadi orang Lintang dan Jonti (suku Pompangk). Lalu yang paling menonjol dari Dayak Pompangk adalah wanita molek bernama Sinot yang menjadi permaisuri Raja Sanggau. Dengan demikian, bubarnya kampung Ponongu kurang lebih belakangan sedikit dari zaman Dara Nante mencari Babai Cinga.
Pawan yang dari kampung kiri Ponongu lalu merantau ke wilayah Sekadau, ke daerah Mahap. Dari nama anak muda yang disuruh neneknya minta daging ke orang yang sedang gawai itulah diberi nama Sungai Pawan yang melintas hingga Kabupaten Ketapang . Salah satu keturunan Pawan yang menjadi permaisuri Raja Matan.
Sebagian warga Ponongu yang tinggal di daerah Terati menjadi suku Ensanong. Ada yang ke hulu lagi langsung bertemu dengan Sungai Ence lebih ke udik menjadi cikal bakal orang Jangkang. Tidak banyak orang Jangkang waktu itu, hanya tiga lawangk (tiga keluarga). Mereka mula-mula tidak menetap di wilayah kampung Jangkang sekarang ini, namun di Botuh Logunt. Kira-kira satu kilometer di hulu kampung Jangkang sekarang, yang kini menjadi aeral persawahan keluarga Loncai (Mang Tini). Dari sini berkembang, baru pecah lagi. Daripada ke hilir, lebih baik ke hulu, ke kaki bukit Bengkawan dan Boruh bermaka Kobangk. Pemuka kampung ini adalah Macan Luar (yang kemudian dikenal dengan sebutan Kek Gila).
Namun, suatu hari, warga kampung Botuh Logunt kena sampar . Lalu pindah beberapa keluarga, sekitar 5 lawang, ke Songongk (sekitar satu kilometer dari Jangkang sekarang, hilir Sungai Ence). Akibat sampar ini, warga Kobang dan Songong sering bertengkar dan saling mengejek. Manakala orang Kobang ke Balai Sebut melewati Songongk, mereka lewat mendengar bunyi alu menumbuk padi sambil mengejek, “Nto odoh paji kidoh, nto odoh paji kidoh” (sekarang ada, nanti tidak ada lagi untuk dimakan).
Di Songongk, ada juga kejadian serupa. Lalu mudik lagi ke Polumpor (kayu mentah untuk membangun rumah). Akhirnya, membangun rumah cukup permanen menjadi Ompuk Jongkang, karena letaknya dekat Air Jangkang. Sejak tahun 1940-an, hingga kini, warga Ompuk Jangkang ini tidak pernah lebih dan tidak pernah kurang dari 8 lawang saja.
Orang Jangkang ada yang berkeluarga, pindah ke Tunongk (Parus), lalu dari Parus melaman lagi ke jauh. Hingga bernama Jangkang Punt (Jangkang Asli) dan Jangkang Tojok. Dengan demikian, Engkolai, Tomok, Rosak, sampai Toriangk termasuk Jangkang Tojok.
Kemudian, sekitar mulai dari tahun 1894 sesudah Tumbang Anoi, ada ketemennggungan di Jangkang, yakni pemerintah lokal. Temenggung Engkarong, yang mencuat sebagai temenggung koordionator. Lalu ada ketemenggungan Kopa (di Empiyang), Ensanong (di Terati), Jangkang Tojok (Tumok), Ndoya (Linga), Empurangk (Poter), Soguna (Tija) dari Mukok sampai Kedukul. Tujuh ketemenggungan ini bertepatan dengan pengangkatan dewan Borneo.
Akan halnya nama Jangkang Benua, agaknya berasal dari nama kayu dan nama anak sungai. Kayu meranti dalam bahasa Jangkang disebut tokamp. Kayu ini bermacam-macam jenisnya, ada tokamp bukit, tokamp botuh, tokamp bintang, dan tokamp jangkang. Kayu ini tumbuh subur di kiri dan kanan Sungai Ence, muara sungai Jangkang dan salaah satu jenis yang paling menonjol adalah tokamp jangkang. Maka sungai itu disebut Sungai Jangkang dan kampungnya disebut kampung Jangkang, sedangkan penghuninya disebut suku Jangkang (Djo).
Catatan:
(1) Michael Grant dalam Greek and Roman Historians(Routledge, 1995: 94) sambil mengutip pendapat sejararawan tersebut mencatat bahwa sejarah sosial tidak berdiri sendiri. Ketika sejarah belum ditulis, sulit untuk membedakan antara fakta dan bukan-fakta. Ketika sudah ditulis, sejarah itu pun tidak terlepas dari si penulis dan penafsirannya serta tanda-tanda yang dipakainya untuk berkomunikasi dengan pembaca. Lebih lanjut Grant mencatat, “Wilhelm Bauer explained ‘that the cult of objectivity presents serious drawbacks, since its object can never be achieved’. He considers that the historian should avoid with equal care tendentiousness and colourless impartiality.”
(2) Sebagai contoh, kini banyak pemuka atau tokoh masyarakat Dayak yang memeluk Islam tetap mengaku sebagai Dayak, yakni Dayak-muslim. Anehnya, Dayak yang meninggalkan agama asli nenek moyang dan memeluk Katolik dan Kristen tetap disebut Dayak.
***
Tulisan ini dilarang dikutip dan dipergunakan untuk kepentingan komersial, kecuali untuk studi ilmiah dan pengayaan khasanah studi-studi cross culture dan kebudayaan pada umumnya, dengan menyebutkan sumber dan nama penulisnya.
Demikianlah pada bab ini akan dipaparkan sejarah sosial Dayak Jangkang untuk merumuskan fenomena dan dinamika kehidupan serta tali-temalinya yang membentuk cara berada dan cara hidup Dayak penutur dialek Bokidoh tersebut.
Zaman Prasejarah
Para ahli etnologi dan semiotik menggolongkan Dayak Jangkang ke dalam klasifikasi Austronesia, Melayu Polinesia, atau Land Dayak (Gordon Raymond G, Jr. 2005). Etnis yang disebut sebagai penduduk asli pulau Borneo ini sudah ada sejak zaman Megalitikhum dan Neolithikum, sekitar 1.500 sebelum Masehi.
Tim dari Proyek Riset Penggalian/Penyusunan data Etnografis-Historis dan Arkhais Kalimantan Barat berhasil menemukan benda-benda purbakala, antara lain di Nanga Belang, wilayah Kabupaten Kapuas Hulu dan di Sintang. Diperkirakan benda-benda tersebut berasal dari peninggalan manusia zaman Neolitikum (zaman batu) berupa kapak batu dan pecahan-pecahan periuk tanah. Dari buki-bukti peninggalan peradaban zaman tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah Kalimantan Barat pada zaman itu sudah dihuni manusia.
Bukti lain bahwa wilayah ini sudah dihuni penduduk. Penduduk asli yang memeluk agama ini disebut Senganan atau Sinan; sedangkan yang bergeming dengan kepercayaan nenek moyang tetap disebut Dayak. Kemudian hari, terjadi salah kaprah. Penduduk asli Kalimantan Barat yang memeluk Islam disebut “Melayu”, padahal sesungguhnya mereka bukanlah keturunan Melayu (2).
Berdasarkan perkembangan peradaban, etnis ini dapat dibagi ke dalam beberapa fase sebagai berikut.
Zaman kuno
Pada zaman ini, wilayah Kalbar diketahui dipengaruhi kebudayaan Hindu/Jawa dengan bukti-bukti sebagai berikut.
- Lingga/fallus yang merupakan salah satu lambang agama Hindu Siwa di wilayah Nanga Belang, Kabupaten Kapuas Hulu dan di bekas istana kerajaan Sintang. Bentuknya besar. Karena bentuknya seperti buah kundur maka penduduk setempat menamakannya “batu Kundur”. Di Nanga Sepauk disebut sebagai “Batu Kalbut” (kalbut semacam kopiah). Pada salah satu sisi batu tersebut terdapat relief yang diduga keras merupakan wajah Syiwa sehingga lingga tersebut dinamakan juga “Ekamuka Syiwa Lingga”.
- Patung Syiwa dari perunggu yang terdapat di Kampung Temiang di Hulu Sungai Sepauk, Kabupaten Sintang.
- Sebuah kuburan kuno yang terdapat di dekat Batu Kalbut.
- Bukit atau gundukan tanah dekat batu Kalbut yang diperkirakan tempat peninggalan atau harta Aji Melayu, pendiri kerajaan Sintang.
- Adanya kerajaan Tanjungpura yang lokasinya berada di Kabupaten Ketapang, dekat Sungai Pawan yang merupakan kerajaan tertua yang diketahui bercorak ke-Hinduan sekitar abad XII-XIV.
- Adanya pengaruh Buddhisme terbukti dari peninggalan Buddhis “Batu Pahat” yang berbentuk batu, berukuran 4 x 4 m di Pakit, Kabupaten Sanggau. Sebagaimana diketahui bahwa Pakit secara geografis berbatasan dengan wilayah Kecamatan Jangkang. Diperkirakan peninggalan ini berasal dari abad V berupa tulisan Pallawa Cautha.
Kedatangan dan pengaruh Cina
Masa ini penting diberikan perhatian dalam mata rantai sejarah Kalbar pada umumnya dan Jangkang pada khususnya. Terutama untuk memahami cross culture antara penduduk asli Kalbar (Dayak dan Senganan) dengan pendatang dari Cina yang hari ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan.
Adanya pengaruh Cina terbukti dari benda-benda peninggalan dari Tiongkok, antara lain berupa benda-benda keramik seperti guci, piring, pot-pot bunga, tembikar, dan keramik. Benda-benda ini dapat ditemukan di Gunung Batu Bejamban (Sambas), Pulau Karimata, Gunung Beruang (Kabupaten Pontianak). Hubungan Kalbar dengan Cina sudah terjalin diperkirakan mulai sejak abad VI bersamaan waktunya dengan Ekspedisi Cheng Ho pada periode ekspedisinya antara tahun 1407-1409 .
Kedatangan Agama Islam
Agama Islam masuk Kalimantan Barat bersamaan waktunya dengan masuknya agama tersebut ke wilyah Nusantara yang lain sekitar abad XI. Penyebarannya ke Kalimantan barat melalui Palembang, sebagian melalui Kalimantan Utara, dan ada pula yang datang langsung dari tanah Arab. Syiar agama Islam berhasil masuk keraton-keraton di Kalbar baik dilakukan sambil berdagang maupun secara khusus melalui dakwah-dakwah.
Dapat disebutkan kerajaan-kerajaan di Kalbar yang dipengaruhi perkembangan dan peradabannya oleh agama Islam berikut ini.
- Kerajaan Tanjungpura yang menurut hikayatnya diperintah oleh keturunan dari Junjung Buih dan Prabu Jaya, keturunan langsung dari Majapahit (Lontaan, 1975). Baru sekitar abad XVI kerajaan Tanjungpura mengenal agama Islam yang diperkenalkan oleh Syech Husin pada masa pemerintahan Giri Kesuma.
- Kerajaan Sukadana
- Kerajaan Simpang
- Kerajaan Mempawah
- Kerajaan Sambas juga dipengaruhi Islam. Kerajaan ini didirikan Ratu Sepudak, keturunan Majapahit. Selain terkenal dengan kerajaan Islam dengan raja pertamanya Sultan Muhamad Syaefudin I, kerajaan Sambas juga dikenal sebagai kota Kongsi Cina. Dua kongsi Cina yang bergerak di bidang perdagangan yang senantiasa bersaing yaitu Thai Kong dan Sam Thu Kiam, sehingga memicu perang antarkedua kongsi ini di Sambas.
- Kerajaan Landak
- Keajaan Tayan
- Kerajaan Meliau
- Kerajaan Pontianak
- Kerajaan Kubu
- Kerajaan Sintang
- Kerajaan Sekadau
- Kerajaan Sanggau.
Kerajaan Sanggau sebagai wilayah locus studiorum, juga diwarnai pengaruh Islam yang cukup kuat. Raja dan sultan Sanggau seluruhnya memeluk Islam. Meskipun pada awal mula penduduk asli ini animisme (agama asli), setelah kedatangan dan dipengaruhi Islam maka penduduk asli yang memeluk Islam disebut Melayu.
Namun, khusus di Kalbar, sebutan ini kurang disenangi sebab penduduk asli yang memeluk Islam asal usulnya bukan golongan Melayu, melainkan Senganan atau Sinan. Hal ini dapat diselisik dari istilah setempat yang menyebut Dayak adalah “orang Darat” dan penduduk asli yang memeluk Islam sebagai “Orang Laut”. Artinya, darat dan laut adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sejarah dan hubungan asal usul ini dapat menjelaskan mengapa ketika terjadi Tragedi Sambas yang sebenarnya beraal dari pertikaian Melayu-Madura kemudian melibatkan Dayak. Hal ini karena keduanya berasal dari satu sumber yang sama, penghuni arkais pulau Borneo sejak zaman prasejarah.
Kedatangan dan Pengaruh Bangsa Barat
- Belanda, melalui benedera VOC-nya, mulai berhubungan secara intensif dengan kerajaan-kerajaan di Borneo sejak abad 16. Pada 1604, VOC mendarat di wilayah kerajaan Tanjungpura dengan maksud mengadakan hubungan niaga, ingin membeli intan Kobi, intan pusaka di kerajaan Landak, tidak jauh letaknya dari Jangkang.
Tahun 1822 pasukan VOC dipimpin C. Muller berniat menaklukkan kerajaan Sukadana, namun mendapatkan perlawanan sengit dari raja Muara Mursiddin sehingga VOC berpaling ke wilayah kerjaaan lain. VOC sempat ke Tayan, namun juga mendapatkan perlawanan raja lokal dengan dibantu oleh panglima-panglima perang dari daerah Jangkang yang dikenal gagah berani, terampil, lagi sakti.
- Inggris melalui bendera EIC-nya berhasil mendirikan Kantor Dagang di Matan (kerajan Tanjungpura) sekitar abad XVII. Namun, karena bersaing ketat dengan VOC, Inggri terpaksa menyingkir. Tahun 1812 terjadi perang antara tentara Inggris melawan kerajaan Sambas. Inggris berhasil masuk kota raja. Lalu membumihanguskan sebuah kampung sehingga kemudian dijuluki “Kampung Angus”.
Diperkirakan inilah awal mula Sambas terbentuk menjadi sebuah wilayah yang solid, didukung tiga suku besar yang bermukim di sana yakni Melayu, Dayak, dan Cina. Sambas berasal dari dialek Cina setempat, yakni dari kata sam yang berarti tiga dan bas yang berarti suku. Jadi, ketiga suku di wilayah yang diserang Inggris tadi bersepakat: jika salah satu diserang, yang lain wajib membantu.
- Siar agama Kristen Katolik baru masuk bumi Borneo pada abad 17.
Tahun 1892, Paus Inosensius XII mendirikan Vikariat Apostolik Borneo. Sayang, misi ini tidak berumur panjang, Vikaris apostolik baru dibunuh atas permintaan sultan (Buku Kenangan 75 Tahun Mandirinya Gereja Katolik di Kalimantan Barat (1905-1980): 4). Sejak itu, kegiatan gereja terhambat. Perjalanan orang asing ke pedalaman dilarang.
Ketika negeri Belanda ditaklukkan Perancis pada 1807, kebebasan beragama di seluruh Hindia Belanda mulai tumbuh lagi. Kawasan nusantara disatukan dalam sebuah hukum Gerejani menjadi Prefektur Apostolik dan setelah itu meningkat menjadi Vikariat Apostolik. Sekitar tahun 1851, Borneo Barat dikunjungi seorang pastor bernama Sanders. Usai kunjungan ia berkesimpulan, belum saatnya mendirikan misi di Borneo Barat. Tahun 1884, beberapa pastor Mill Hill dari Borneo Inggris menawarkan diri bekerja di Borneo Barat. Sayang, niat baik ini ditampik oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baru pada 1885, muncul imam pertama di Singkawang untuk melayani sekitar 200 umat Tionghoa yang berasal dari Bangka. Imam yang berkunjung itu ialah pastor Staal SJ yang di kemudian hari ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Jakarta.
Tahun 1890 para pastor Jesuit membuka stasi yang kedua di hulu pedalaman Borneo Barat, Sejiram yang kemudian menyerahkan pelayanan daerah misi ini kepada Ordo Kapusin (OFM Cap) pada 1905. Selanjutnya, misi membuka stasi Sanggau pada 1925 (Boelaars, 1975 : 28) dan dari Sanggau siar agama Katolik masuk wilayah Jangkang.
Dayak Jangkang: Inkorporasi dengan Alam Raya
Dayak Jangkang haruslah diponir dalam persenyawaan dengan alam raya. Seperti dicatat Crevello S “Dayak land use systems and indigenous knowledge” dalam Journal of Human Ecology, 2004;16(2):69-73 sebagai berikut,
The Dayak are a forest dwelling people of the interior of Borneo who rely on a subsistence base of agricultural products cultivated in shifting cultivation plots and forest gardens. Their indigenous knowledge systems are heavily integrated into their mosaic of land use practices. In the field of development there is now recognition that indigenous knowledge may be the key to sustainability. Concepts long used by indigenous groups have maintained populations for several hundred years and continue to due so successfully in times of rapid change in the world.
Asal Usul Dayak Jangkang
Dayak Jangkang dari mana dan bagaimana asal usulnya? Banyak versi tentang asal usul Dayak penutur dialek Bokidoh ini, baik berupa cerita dari mulut ke mulut maupun dari legenda. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya sebuah studi ilmiah, cerita dari mulut ke mulut haruslah dapat diverifikasi baik lewat wawancara, studi lapangan, maupun melalui studi pustaka.
Lontaan (Lontaan, 1975: 327) dalam riset lapangan ke wilayah Sekadau terutama ketika menuliskan hasil risetnya di wilayah Sekadau antara lain, mencatat,
“Suku Daya Benawas berdiam di daerah Kecamatan Sekadau Kabupaten Sanggau. …dari kota Sekadau terbentanglah memanjang di seberang sungai Kapuas sebuah kampung. Di seberang sanalah akan ditemui beberapa suku Daya. Di sana ada suku Daya Benawas, Ketungau, Jangkang, dan lain-lainnya.”
Tahun 1970-an, Dayak Jangkang agaknya sudah ditemui di wilayah Sekadau. Tentu saja, sebagai subsuku yang sudah keluar meninggalkan poya tona , sebab pada tahun 1970-an sudah biasa orang Jangkang merantau ke luar wilayah, baik dengan alasan makan gaji maupun alasan menuntut ilmu. Akan tetapi, keliru besar jika serta merta menarik kesimpulan bahwa asal usul Dayak Jangkang merupakan pecahan atau berasal dari Daya Benawas yang merupakan asal usul penduduk wilayah Sekadau dan merupakan terusan atau pecahan rombongan Dara Nante dan Babai Cinga dalam suatu ekspedisi mencari wilayah baru di Sanggau.
Hasil wawancara dengan para pemuka dan tetua adat Jangkang menyebutkan bahwa asal usul Dayak Jangkang merupakan pecahan dari rombongan Dara Nante dan Babai Cinga. Dalam perjalanan mencari suaminya, Babai Cinga, rombongan Dara Nante mengalami hambatan di muara Sungai Sekayam. Setelah beberapa hari coba mengatasi kesulitan, mereka pun akhirnya dapat meneruskan perjalanan kembali menyusuri Sungai Sekayam.
Setelah sekian lama berlayar, ketika menemui anak Sungai Entabai , fisarat langsung ingin menyusuri anak sungai tersebut. Semakin ke hulu, rombongan lalu berhenti di hulu Sungai Entabai, di sebuah kampung bernama Tampun Juah. Di Tampun Juah ini Dara Nante bertemu suaminya, Babai Cinga. Setelah beberapa hari bertemu, rombongan Dara Nante kembali ke Sanggau, menuju kampung Labai meninggalkan Babai Cinga. Perpisahan kedua insan suami-istri ini barangkali karena panggilan tugas masing-masing. Tampun Juah semakin hari semakin berkembang menjadi pemukiman yang ramai. Setelah ramai, seperti biasa, timbul persoalan-persoalan sosial ekonomi yang rumit dan perlu pemecahan. Salah satu di antaranya ialah masalah pangan.
Syahdan, suatu ketika penduduk Tampun Juah mengalami malabencana yang menimpa seluruh warga. Barangkali kisah ini tidak seluruhnya harus dipercaya dan ditelan mentah-mentah begitu saja, namun haruslah ditafsirkan dan dipahami sebagai bahasa simbolik. Yang masih harus ditelisik menggunakan simbol-simbol bahasa dan pemaknaan yang dalam khasanah ilmiah dikenal dengan semiotika.
Pecahan dari Tampun Juah
Suku Engkarong berasal dari Tampun Juah, poya tona Babai Cinga dan Dara Nante . Waktu itu, terjadi pecah belah Tampun Juah. Keluarga-keluarga keluarga diserang “musuh gelap”, setiap kali menanak nasi, langsung bau busuk, tidak dapat dimakan.
Namun, satu keluarga punya akal. Setiap selesai menanak nasi, diambillah abu, lalu ditaburkan di atas nasi. Nama keluarga yang arif-bijaksana ini adalah Rege Mang Mincar yang setiap kali hendak makan nasi, lapisan bagian atasnya yang ditaburi abu dibuang, lalu yang dimakan lapisan bawahnya yang tidak kena abu. Sementara orang lain yang yang tidak melakukan hal sama, nasinya tidak dapat dimakan.
Karena itu, mereka lalu berpikir dan akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Tampun Juah. Semuanya pergi meninggalkan Tampun Juah, termasuk suku Ribunt dan suku Kopa dan Mang Mincar juga turut berpindah, meski keluarga itu berhasil mengatasi persoalan nasi yang bau itu.
Maka terjadilah perpindahan massal dari Tampun Juah ke Tampun Entabai. Sekian lama di Tampun Entabai, lalu ke pindah lagi ke Polimpah. Dari Polimpah nomad lagi ke Ulu Sungai Moncangk (Mengkiang), yakni Sotantangk. Lama bermukim di tempat ini, penduduk lalu kembali ke hilir Sungai Mengkiang, ke Nanga Solabau. Di Nanga Solabau keluarga ini menetap cukup lama. Lalu keluarga Mincar ke hilir lagi Sungai Moncangk ke Botuh Barah (hingga kini wilayah Botuh Barah ini adalah batas suku Engkarong).
Kemudian, ke Nanga Sungai Sobut bertemu dengan seorang Melayu bernama Peh. Erat hubungan keluarga besar Mincar ini dengan Peh. Ke mana pun Peh bepergian menggunakan perahu dengan suar bambu, berdagang dari kampung ke kampung, mulai dari Muara Mengkiang hingga ke hulu. Kadangkala Peh bepergian bersuar mengajak serta adiknya bernama Dio.
Peh dan Dio bertukar barang dengan orang Dayak, seperti garam, tembakau, baju, kain, besi, bai, periuk, sendok, mangkok, pinggan yang dibarter dengan beras. Waktu itu, penduduk pedalaman belum mengenal mata uang karena jauh dari kota raja. Lalu sampailah praktik berter itu ke Hulu Sungai Mengkiang, ke suatu tempat yang nyaman untuk berlabuh yang penghuninya cukup banyak. Di situ terdapat pangkalan tempat orang biasa bertukar barang dagangan, sehingga disebut dengan “balai”. Dari sinilah nantinya muncul nama Balai Sebut karena balai itu terdapat anak sungai bernama Sebut atau Sungi Sobut.
Hubungan Dayak-Melayu yang sudah lama terjalin ini kemudian terpatri dalam sebutan. Sebutan halus jika orang Dayak ke tempat orang Melayu, orang Melayu akan menyapa, “Odoh mah monik dompu” (datang rupanya kamu, dompu), maka akan dijawab, “Odoh moh somang” (Ya, somang). Jadi, orang Dayak tidak menganggap Melayu sebagai orang lain, sebab asal usul nenek moyang mereka satu dan sama tetapi dengan sebutan “Sinan” atau “Senganan”. Jadi, Dayak yang memeluk Islam disebut Senganan, bukan Melayu.
Kemudian, rombongan Rege Mang Mincar dan, sudah tentu beserta dengan anak buahnya berpindah ke Sorontamp, polaman yang paling besar. Lalu dari sini ada yang pecah menjadi orang Tampik, yang mudik jadi Sekantut dan Engkarong, dari Engkarong pecah ke Semombat. Dari Sorontamp itu juga ada ke Ponyo atau Sinyok (Landau sekarang). Setelah suku Engkarong mendiami wilayah Engkarong, terjailah peristiwa petinggi Engkarong dan Petinggi Ribun waktu itu. Di pusat Engkarong ada Sungi Engkarong dan ada pula peristiwa dengan suku Ribunt.
Asal Mula Jangkang
Menurut penuturan, asal mula Jangkang dari sebuah kampung yang lobor bernama Ponongu. Letaknya di Tabao, sebelah kiri jika mudik menyusuri Sungai Moncangk. Di Ponongu terdapat dua batang kampung. Biasanya, ada kesepakatan, jika habis panen, maka satu saja pesta gawai. Tapi entah kenapa, pada tahun itu (tidak adakesepakatan) di antara dua kampung itu meski sama-sama mempunyai kepala kampung, keduannya pada akhirnya sepakat untuk tidak bersepakat mengadakan gawai.
Pada zaman dahulu, dua kampung dipisahkan oleh jalan. Karena itu, dikenal juga istilah kampung kiri dan kampung kanan. Pada masa ketika itu, kampung kanan jalan duluan gawai, sedangkan yang kiri belum.
Pada waktu gawai itu ada seorang anak, bersama neneknya saja di rumah. Mereka warga kampung kiri. Pada waktu itu, ibu ayahnya tidak di rumah, masih menuai padi (ngetam) di ladang. Nama anak itu Pawan. Kampung Ponongu ini, setelah lobor, menjadi Dorik (Gunung) Sobomant. Lalu pindah dari sini lalu ke Dosant, kampung ini semakin berkembang menjadi besar maka banyak orang mencari pemukiman baru. Ada yang menyeberang ke jauh menjadi orang Ensanong, ada juga yang lebih jauh menjadi orang Jangkang. Yang milir dari Dosant ada yang ke Kamongk, dekat Sanggau, menjadi orang Lintang dan Jonti (suku Pompangk). Lalu yang paling menonjol dari Dayak Pompangk adalah wanita molek bernama Sinot yang menjadi permaisuri Raja Sanggau. Dengan demikian, bubarnya kampung Ponongu kurang lebih belakangan sedikit dari zaman Dara Nante mencari Babai Cinga.
Pawan yang dari kampung kiri Ponongu lalu merantau ke wilayah Sekadau, ke daerah Mahap. Dari nama anak muda yang disuruh neneknya minta daging ke orang yang sedang gawai itulah diberi nama Sungai Pawan yang melintas hingga Kabupaten Ketapang . Salah satu keturunan Pawan yang menjadi permaisuri Raja Matan.
Sebagian warga Ponongu yang tinggal di daerah Terati menjadi suku Ensanong. Ada yang ke hulu lagi langsung bertemu dengan Sungai Ence lebih ke udik menjadi cikal bakal orang Jangkang. Tidak banyak orang Jangkang waktu itu, hanya tiga lawangk (tiga keluarga). Mereka mula-mula tidak menetap di wilayah kampung Jangkang sekarang ini, namun di Botuh Logunt. Kira-kira satu kilometer di hulu kampung Jangkang sekarang, yang kini menjadi aeral persawahan keluarga Loncai (Mang Tini). Dari sini berkembang, baru pecah lagi. Daripada ke hilir, lebih baik ke hulu, ke kaki bukit Bengkawan dan Boruh bermaka Kobangk. Pemuka kampung ini adalah Macan Luar (yang kemudian dikenal dengan sebutan Kek Gila).
Namun, suatu hari, warga kampung Botuh Logunt kena sampar . Lalu pindah beberapa keluarga, sekitar 5 lawang, ke Songongk (sekitar satu kilometer dari Jangkang sekarang, hilir Sungai Ence). Akibat sampar ini, warga Kobang dan Songong sering bertengkar dan saling mengejek. Manakala orang Kobang ke Balai Sebut melewati Songongk, mereka lewat mendengar bunyi alu menumbuk padi sambil mengejek, “Nto odoh paji kidoh, nto odoh paji kidoh” (sekarang ada, nanti tidak ada lagi untuk dimakan).
Di Songongk, ada juga kejadian serupa. Lalu mudik lagi ke Polumpor (kayu mentah untuk membangun rumah). Akhirnya, membangun rumah cukup permanen menjadi Ompuk Jongkang, karena letaknya dekat Air Jangkang. Sejak tahun 1940-an, hingga kini, warga Ompuk Jangkang ini tidak pernah lebih dan tidak pernah kurang dari 8 lawang saja.
Orang Jangkang ada yang berkeluarga, pindah ke Tunongk (Parus), lalu dari Parus melaman lagi ke jauh. Hingga bernama Jangkang Punt (Jangkang Asli) dan Jangkang Tojok. Dengan demikian, Engkolai, Tomok, Rosak, sampai Toriangk termasuk Jangkang Tojok.
Kemudian, sekitar mulai dari tahun 1894 sesudah Tumbang Anoi, ada ketemennggungan di Jangkang, yakni pemerintah lokal. Temenggung Engkarong, yang mencuat sebagai temenggung koordionator. Lalu ada ketemenggungan Kopa (di Empiyang), Ensanong (di Terati), Jangkang Tojok (Tumok), Ndoya (Linga), Empurangk (Poter), Soguna (Tija) dari Mukok sampai Kedukul. Tujuh ketemenggungan ini bertepatan dengan pengangkatan dewan Borneo.
Akan halnya nama Jangkang Benua, agaknya berasal dari nama kayu dan nama anak sungai. Kayu meranti dalam bahasa Jangkang disebut tokamp. Kayu ini bermacam-macam jenisnya, ada tokamp bukit, tokamp botuh, tokamp bintang, dan tokamp jangkang. Kayu ini tumbuh subur di kiri dan kanan Sungai Ence, muara sungai Jangkang dan salaah satu jenis yang paling menonjol adalah tokamp jangkang. Maka sungai itu disebut Sungai Jangkang dan kampungnya disebut kampung Jangkang, sedangkan penghuninya disebut suku Jangkang (Djo).
Catatan:
(1) Michael Grant dalam Greek and Roman Historians(Routledge, 1995: 94) sambil mengutip pendapat sejararawan tersebut mencatat bahwa sejarah sosial tidak berdiri sendiri. Ketika sejarah belum ditulis, sulit untuk membedakan antara fakta dan bukan-fakta. Ketika sudah ditulis, sejarah itu pun tidak terlepas dari si penulis dan penafsirannya serta tanda-tanda yang dipakainya untuk berkomunikasi dengan pembaca. Lebih lanjut Grant mencatat, “Wilhelm Bauer explained ‘that the cult of objectivity presents serious drawbacks, since its object can never be achieved’. He considers that the historian should avoid with equal care tendentiousness and colourless impartiality.”
(2) Sebagai contoh, kini banyak pemuka atau tokoh masyarakat Dayak yang memeluk Islam tetap mengaku sebagai Dayak, yakni Dayak-muslim. Anehnya, Dayak yang meninggalkan agama asli nenek moyang dan memeluk Katolik dan Kristen tetap disebut Dayak.
***
Tulisan ini dilarang dikutip dan dipergunakan untuk kepentingan komersial, kecuali untuk studi ilmiah dan pengayaan khasanah studi-studi cross culture dan kebudayaan pada umumnya, dengan menyebutkan sumber dan nama penulisnya.
Sabtu, 13 Februari 2010
DAYAK JANGKANG: The Origins and Developments
Dayak Jangkang where and how their origins?
Many versions of the origin Bokidoh dialect speakers, both in the form stories from mouth to mouth or from the legend. However, as usual a scientific study, the story of mouth to mouth must be verified either through interviews, field studies, and through the literature study.
Lontaan (Lontaan, 1975: 327) in the field of research into the area Sekadau especially when writing the results of his research in the area Sekadau among others, noted,
“Suku Daya Benawas berdiam di daerah Kecamatan Sekadau Kabupaten Sanggau. …dari kota Sekadau terbentanglah memanjang di seberang sungai Kapuas sebuah kampung. Di seberang sanalah akan ditemui beberapa suku Daya. Di sana ada suku Daya Benawas, Ketungau, Jangkang, dan lain-lainnya.”
In the 1970s, Dayak Jangkang seems to have found in the region Sekadau. Of course, as is already out subsuku left poya tona (land inheritance) (1), because in the 1970s was used Jangkang people migrated to the outer region, both for reasons to eat salary (2) as well as studying the reasons.
However, a big mistake if necessarily draw the conclusion that the origin of the Dayak Jangkang fragments or derived from Benawas Power (3) which is the origin of the county is Sekadau and fragments coveralls or group and Babai Cinga- Dara Nante on an expedition to find new areas in Sanggau.
Sekayam estuary in 1939.
Sekayam River estuary, fell right in the heart of Sanggau. This is where the party rested Dara Nante as it gets to the next obstacle to continued travel through the water toward Mengkiang River along River Entabai.
According to interviews with indigenous leaders and elders Jangkang mention that the origin of the Dayak Jangkang fraction of the group and Babai Dara Nante nante. In a journey to find her husband, Babai Cinga, Dara Nante group disabilities in Sekayam River estuary.
After several days trying to overcome the difficulties, they were finally able to continue the journey back along the River Sekayam. After a long voyage, when he met the child Entabai River (4), directly to premonition along these tributaries. The more upstream, the group then stopped at Entabai river, in a village called Tampun Juah.
In Tampun Juah, Dara nante met her husband, Babai Cinga. After a few days meeting, the group returned to Sanggau to leave the village Babai Cinga. The second parting husband and wife beings is probably due to the call of duty. Tampun Juah is increasingly developing into a busy neighborhood. After the crowded, as usual, problems arise socioeconomic complicated and need a solution. One of them is the problem of food.
Finally, one time residents of Tampun Juah affected by disaster that affecting all citizens. Perhaps this story is not entirely to be trusted and swallowed it raw just like that, but should be interpreted and understood as a symbolic language. What remains to be ditelisik using language symbols and meaning that in the scientific sphere is known as semiotics (5).
Fraction of Tampun Juah
Engkarong tribe from Tampun Juah, poya tona Babai and Dara Nante (6). At that time, there are strange events that befall the Tampun Juah people. Families attacked by "enemies of the dark", each time cooking the rice, direct stench, can not be eaten (people who told it to say that the rice smell of human shit). However, one family had a reason.
Each finished cooking the rice, taken ashes, then sprinkled over rice. The wise family name-wise this is Rege Mang Mincar every meal of rice, the top layer of ash covered with discarded, and the edible layer that did not hit bottom ash. While others who are not doing the same thing, the rice can not be eaten. Because of that, they then think and finally decided to leave Tampun Juah. Everything left Tampun Juah, including tribes and tribal Ribunt Mahala and Mang Mincar also move, although the family had managed to overcome the problem.
Then there was a mass displacement of Tampun Juah to Tampun Entabai. So long in Tampun Entabai, then to move back to Polimpah. From Polimpah nomads again to Ulu Sungai Moncangk (Mengkiang), ie Sotantangk. Long settled in this place, people then return to Mengkiang River downstream, to Nanga Solabau. In Naga Solabau this family stay long enough. Then the family again Mincar River downstream Moncangk to Botuh Barah (until now this area is Botu Barah tribal boundaries) (7).
Then, the Nanga Sobut River met a Malays named Peh. Close family relationship between Mincar and Peh. Wherever Peh travel using bamboo boats with flares, trading from village to village, from the estuary to the upstream Mengkiang. Sometimes travel Peh and her brother using beacons named Dio.
Peh and Dio exchange goods with the Dayak people, such as salt, tobacco, clothing, cloth, iron, bai, pots, spoons, bowls, dishes that bartering to rice. At that time, rural residents are not familiar with the currency because it is far from the town of king. Then came the practice was to tarry Mengkiang Upper River, into a comfortable place for the residents anchored enough. There were stations where people used to exchange merchandise, so called the "hall". From this will emerge as a Call Center of the hall there is named tributary Call or Sungi Sobut.
Relations Dayak-Malays who have this long established and entrenched in the title. The term Dayak fine if the person to place the Malays, the Malays would say, "Odoh mah monik DOMPU" (apparently come ye, DOMPU), it will be answered, "odoh moh somang" (Yes, somang). So, people do not consider Dayak Malays as others, because the origins of their ancestors and the same one but with the term "Sinan" or "Senganan". So, who embraced Islam Dayak called Senganan, not Malays.
Then, the group Mang Mincar Rege and, of course along with his move to Sorontamp, polaman (8) the most. Then from here there is a break into the hue, which Sekantut and so forth Engkarong, from Engkarong broke into Semombat. Sorontamp it from there to Ponyo or Sinyok (Landau now). After Engkarong tribes inhabit the area Engkarong, Engkarong officials occured events and Ribun officer at the time.
The Origin of Jangkang
The origin of Jangkang from a village lobor (9) named Ponongu. Located in Tabao, the left if Moncang forth along the River. In there are two bars Ponongu villages. Usually, there is an agreement, if the low harvest, then one employee party. But somehow, in that year (no agreement) between the two villages, even though both have the village chief, both eventually agreed to disagree a clerk.
In ancient times, two villages separated by a road. Therefore, the term is also known as the left the village and ward right. At a time when it first street right ward clerk, while the left has not.
At the time that employees have a child, with her grandmother at home. They left the village residents. At that time, his father's mother was not at home, still harvesting rice (ngetam) in the field. Pawan child's name. This Ponongu ward, after lobor, became Dorik (Mountain) Sobomant.
Then move from here and then to Dosant, these villages grew into large, many people look for new settlements. There was a cross to be Ensanong far, there are also more distant to the Jangkang. Go to the downstream of which there are Dosant to Kamongk, near Sanggau, became the latitude and Jonti (Pompangk tribe).
Then the most prominent of the Dayak Pompangk is named Sinot beautiful woman who became queen of King Sanggau. Thus, the dissolution of the village approximately Ponongu little later than the time for Babai Cinga-Dara Nante.
Pawan who left homes and Ponongu migrated to the Sekadau region, the area of Mahap. From a young boy who told his grandmother asked the meat to the people who are employees that are named Pawan River that passes through Ketapang District (10). One of Pawan descendants who became empress King of Matan.
Some residents who live in Ponongu areas Terati be Ensanong tribe. There is a direct upstream again met with more Science River upstream to the Jangkang embryo.
Not many people Jangkang time, only three lawangk (11) (three families). They initially settled in the village area Jangkang today, but the Botuh Logunt. About a mile upstream Jangkang village now, who is now a rice field aeral family Loncai (Mang Tini). From here developed, a new burst again. Rather than going downstream, preferably upstream, to the foot of the hill Bengkawan and Boruh named Kobangk. This village leaders are Tiger Out (which became known as Crazy Grandpa or Kek Gila).
However, one day, the villagers got Botuh Logunt pestilence (12). Then move some families, about 5 families (lawangk), to Songongk (about one kilometer from Jangkang now, River downstream Ence).
As a result of this plague, people Kobang and Songongk fights and taunting each other. When people Kobang to pass Songongk Call Center, they heard the sound through the rice with a pestle to pound mockingly, "Nto odoh paji kidoh, nto odoh paji kidoh" (now there is, then there is no more to eat).
In Songongk, there is also a similar incident. Then going home again to Polumpor (raw wood to build houses). Finally, build a permanent home became Ompuk daih, because of its proximity Air Jangkang. Since the late 1940s, until now, residents of this Opmuk Jangkang never more and never less than 8 families alone.
There Jangkang people who married, moved to Tunongk (Parus), and from Parus melaman again to far. Until named Jangkang Punt (Jangkang Original) and Jangkang Tojok. Thus, Engkolai, Tomok, Pisangk, until Toriangk including Jangkang Tojok.
Then, around the beginning of the year 1894 after the Tumbang Anoi, there ketemenggungan in Jangkang, namely local government. Tomonggong Engkarong, who stuck out as Tomonggongs koordionator. Then there ketemenggungan Kopa (in Empiyang), Ensanong (in Terati), Jangkang Tojok (Tumok), Ndoya (Linga), Empurangk (Poter), Soguna (Tija) from Mukok to Kedukul. Seven ketemenggungan coincided with the appointment of the board of Borneo.
As for the name Jangkang Continent, apparently derived from a timber and a creek. Meranti wood in a language called tokamp Jangkang. Wood is a variety of species, there tokamp hill, tokamp botuh, tokamp stars, and tokamp Jangkang. This timber thrives on the left and right of River Eence, river estuaries and Jangkang one of the most prominent is tokamp Jangkang. So the river is called River Jangkang and Jangkang village called the village, while the inhabitants called tribal Jangkang (Djo).
Note:
(1) ownership, customary land, the land ancestors who must remain maintained and preserved. This ancestral land and then characterize the identity of the group.
(2) Among the Dayak Jangkang, people who migrate out of the area to make a living or earning a salary is eaten. There are after many years working in foreign country back ground, but there is a settlement of a new home because they feel already fell at home and get a better livelihood. Dayak Jangkang called Lontaan in his research is a group of nomads, so not a native Jangkang, Jangkang area.
(3) Benawas Dayak origin can be read in Lontaan, op.cit, page 178.
(4) Compare J.U. Lontaan, op.cit, pages 170-171, also mentions that the group managed to meet Dara nante Babai Cinga in Tampun Juah. The elders and leaders called Dayak Jangkang Tampun Juah as tona and poya Jangkang (Engkarongk) first came from Tampun Juah.
(5) See among others, Daniel Chandler, Semiotics: The Basics (Roudledge, 2002), Norbert Elias, The Symbol Theory (Sage Publications: 1991), and Donald W. Thomas, Semiotics 3: Communication, Codes, & Culture (Ginn Custom Publishing: 1982).
(6) not found in the exactly when Dara Nante (founder of the Kingdom of Sanggau) was met with Babai Cinga. However, new Sanggau Kingdom history record and document the happenings in the 18th century kingdom. If so, surely Jangkang Dayak who has repeatedly moved from place to place the events since the attack "a dark enemy" in the form of rice that smells (buh tokek) in Tampun Webmail occurred before age 18.
(7) Until now still can trace accuracy and truth of the story and origin of this Jangkang Dayang. If for example walking, or on motorcycles, from the region Engkarong (Sekantut) to Sanggau, then boil Botuh this region can still be found.
(8) In Jangkang Dayak language, and also in Sanggau Dayak, precursor polaman is a village. At first, who built a house in polaman one family, if in time they looked at fixed and then multiplied into the village. Often called molaman. Dayak habits Jangkang if farming is far from the village and takes over, it's better to establish a permanent cabin, and it is called molaman.
(9) plague because laughing at people or animals.
(10) Presumably, the origin and story of this Pawan can explain why the language Jangkang phenomenon similar to certain areas in Ketapang (especially Nanga TAYAP). I know my friends from this area in Nyarumkop in high school and college in Malang (Mateus Yuli, Dobi, Mark Mardius, Djuweng, Julipin). We are equally telling Bokidoh language and there are no fundamental differences.
(11) lawangk this term seems to have influenced the Javanese language, which literally means: the door. Ordinary Jangkang Dayak calculate how many families with mace or how many doors (lawangk Kudu / Kudu door)?
(12) Once there, one day, the population decline Kobang bala ceremony. As is usually the starting troops, residents removed a small boat (for an adult's arm) and menghanyutkannya. The boat is full of symbol, indicating the charge is all the diseases and things that are bad. On one night, the boat crossed the Logunt village. Residents heard the crowd in passing, as if the crowds. A voice crying and there was a groan and a voice for help. Supposedly, because it sounds bad and no good signal, no response. Unfortunately, the sound hgaduh for help disahut, "If no strong perabuh pedaling again, stopped, and menataplah here with us." The pestilence was immediately attacked Botuh Logunt citizens and they all hit pestilence.
***
This article is part of my book: Dayak Djongkang, from Headhunting to Catholic Majority. Forbidden to quote or reproduce the text without mentioning the source and author names.
Many versions of the origin Bokidoh dialect speakers, both in the form stories from mouth to mouth or from the legend. However, as usual a scientific study, the story of mouth to mouth must be verified either through interviews, field studies, and through the literature study.
Lontaan (Lontaan, 1975: 327) in the field of research into the area Sekadau especially when writing the results of his research in the area Sekadau among others, noted,
“Suku Daya Benawas berdiam di daerah Kecamatan Sekadau Kabupaten Sanggau. …dari kota Sekadau terbentanglah memanjang di seberang sungai Kapuas sebuah kampung. Di seberang sanalah akan ditemui beberapa suku Daya. Di sana ada suku Daya Benawas, Ketungau, Jangkang, dan lain-lainnya.”
In the 1970s, Dayak Jangkang seems to have found in the region Sekadau. Of course, as is already out subsuku left poya tona (land inheritance) (1), because in the 1970s was used Jangkang people migrated to the outer region, both for reasons to eat salary (2) as well as studying the reasons.
However, a big mistake if necessarily draw the conclusion that the origin of the Dayak Jangkang fragments or derived from Benawas Power (3) which is the origin of the county is Sekadau and fragments coveralls or group and Babai Cinga- Dara Nante on an expedition to find new areas in Sanggau.
Sekayam estuary in 1939.
Sekayam River estuary, fell right in the heart of Sanggau. This is where the party rested Dara Nante as it gets to the next obstacle to continued travel through the water toward Mengkiang River along River Entabai.
According to interviews with indigenous leaders and elders Jangkang mention that the origin of the Dayak Jangkang fraction of the group and Babai Dara Nante nante. In a journey to find her husband, Babai Cinga, Dara Nante group disabilities in Sekayam River estuary.
After several days trying to overcome the difficulties, they were finally able to continue the journey back along the River Sekayam. After a long voyage, when he met the child Entabai River (4), directly to premonition along these tributaries. The more upstream, the group then stopped at Entabai river, in a village called Tampun Juah.
In Tampun Juah, Dara nante met her husband, Babai Cinga. After a few days meeting, the group returned to Sanggau to leave the village Babai Cinga. The second parting husband and wife beings is probably due to the call of duty. Tampun Juah is increasingly developing into a busy neighborhood. After the crowded, as usual, problems arise socioeconomic complicated and need a solution. One of them is the problem of food.
Finally, one time residents of Tampun Juah affected by disaster that affecting all citizens. Perhaps this story is not entirely to be trusted and swallowed it raw just like that, but should be interpreted and understood as a symbolic language. What remains to be ditelisik using language symbols and meaning that in the scientific sphere is known as semiotics (5).
Fraction of Tampun Juah
Engkarong tribe from Tampun Juah, poya tona Babai and Dara Nante (6). At that time, there are strange events that befall the Tampun Juah people. Families attacked by "enemies of the dark", each time cooking the rice, direct stench, can not be eaten (people who told it to say that the rice smell of human shit). However, one family had a reason.
Each finished cooking the rice, taken ashes, then sprinkled over rice. The wise family name-wise this is Rege Mang Mincar every meal of rice, the top layer of ash covered with discarded, and the edible layer that did not hit bottom ash. While others who are not doing the same thing, the rice can not be eaten. Because of that, they then think and finally decided to leave Tampun Juah. Everything left Tampun Juah, including tribes and tribal Ribunt Mahala and Mang Mincar also move, although the family had managed to overcome the problem.
Then there was a mass displacement of Tampun Juah to Tampun Entabai. So long in Tampun Entabai, then to move back to Polimpah. From Polimpah nomads again to Ulu Sungai Moncangk (Mengkiang), ie Sotantangk. Long settled in this place, people then return to Mengkiang River downstream, to Nanga Solabau. In Naga Solabau this family stay long enough. Then the family again Mincar River downstream Moncangk to Botuh Barah (until now this area is Botu Barah tribal boundaries) (7).
Then, the Nanga Sobut River met a Malays named Peh. Close family relationship between Mincar and Peh. Wherever Peh travel using bamboo boats with flares, trading from village to village, from the estuary to the upstream Mengkiang. Sometimes travel Peh and her brother using beacons named Dio.
Peh and Dio exchange goods with the Dayak people, such as salt, tobacco, clothing, cloth, iron, bai, pots, spoons, bowls, dishes that bartering to rice. At that time, rural residents are not familiar with the currency because it is far from the town of king. Then came the practice was to tarry Mengkiang Upper River, into a comfortable place for the residents anchored enough. There were stations where people used to exchange merchandise, so called the "hall". From this will emerge as a Call Center of the hall there is named tributary Call or Sungi Sobut.
Relations Dayak-Malays who have this long established and entrenched in the title. The term Dayak fine if the person to place the Malays, the Malays would say, "Odoh mah monik DOMPU" (apparently come ye, DOMPU), it will be answered, "odoh moh somang" (Yes, somang). So, people do not consider Dayak Malays as others, because the origins of their ancestors and the same one but with the term "Sinan" or "Senganan". So, who embraced Islam Dayak called Senganan, not Malays.
Then, the group Mang Mincar Rege and, of course along with his move to Sorontamp, polaman (8) the most. Then from here there is a break into the hue, which Sekantut and so forth Engkarong, from Engkarong broke into Semombat. Sorontamp it from there to Ponyo or Sinyok (Landau now). After Engkarong tribes inhabit the area Engkarong, Engkarong officials occured events and Ribun officer at the time.
The Origin of Jangkang
The origin of Jangkang from a village lobor (9) named Ponongu. Located in Tabao, the left if Moncang forth along the River. In there are two bars Ponongu villages. Usually, there is an agreement, if the low harvest, then one employee party. But somehow, in that year (no agreement) between the two villages, even though both have the village chief, both eventually agreed to disagree a clerk.
In ancient times, two villages separated by a road. Therefore, the term is also known as the left the village and ward right. At a time when it first street right ward clerk, while the left has not.
At the time that employees have a child, with her grandmother at home. They left the village residents. At that time, his father's mother was not at home, still harvesting rice (ngetam) in the field. Pawan child's name. This Ponongu ward, after lobor, became Dorik (Mountain) Sobomant.
Then move from here and then to Dosant, these villages grew into large, many people look for new settlements. There was a cross to be Ensanong far, there are also more distant to the Jangkang. Go to the downstream of which there are Dosant to Kamongk, near Sanggau, became the latitude and Jonti (Pompangk tribe).
Then the most prominent of the Dayak Pompangk is named Sinot beautiful woman who became queen of King Sanggau. Thus, the dissolution of the village approximately Ponongu little later than the time for Babai Cinga-Dara Nante.
Pawan who left homes and Ponongu migrated to the Sekadau region, the area of Mahap. From a young boy who told his grandmother asked the meat to the people who are employees that are named Pawan River that passes through Ketapang District (10). One of Pawan descendants who became empress King of Matan.
Some residents who live in Ponongu areas Terati be Ensanong tribe. There is a direct upstream again met with more Science River upstream to the Jangkang embryo.
Not many people Jangkang time, only three lawangk (11) (three families). They initially settled in the village area Jangkang today, but the Botuh Logunt. About a mile upstream Jangkang village now, who is now a rice field aeral family Loncai (Mang Tini). From here developed, a new burst again. Rather than going downstream, preferably upstream, to the foot of the hill Bengkawan and Boruh named Kobangk. This village leaders are Tiger Out (which became known as Crazy Grandpa or Kek Gila).
However, one day, the villagers got Botuh Logunt pestilence (12). Then move some families, about 5 families (lawangk), to Songongk (about one kilometer from Jangkang now, River downstream Ence).
As a result of this plague, people Kobang and Songongk fights and taunting each other. When people Kobang to pass Songongk Call Center, they heard the sound through the rice with a pestle to pound mockingly, "Nto odoh paji kidoh, nto odoh paji kidoh" (now there is, then there is no more to eat).
In Songongk, there is also a similar incident. Then going home again to Polumpor (raw wood to build houses). Finally, build a permanent home became Ompuk daih, because of its proximity Air Jangkang. Since the late 1940s, until now, residents of this Opmuk Jangkang never more and never less than 8 families alone.
There Jangkang people who married, moved to Tunongk (Parus), and from Parus melaman again to far. Until named Jangkang Punt (Jangkang Original) and Jangkang Tojok. Thus, Engkolai, Tomok, Pisangk, until Toriangk including Jangkang Tojok.
Then, around the beginning of the year 1894 after the Tumbang Anoi, there ketemenggungan in Jangkang, namely local government. Tomonggong Engkarong, who stuck out as Tomonggongs koordionator. Then there ketemenggungan Kopa (in Empiyang), Ensanong (in Terati), Jangkang Tojok (Tumok), Ndoya (Linga), Empurangk (Poter), Soguna (Tija) from Mukok to Kedukul. Seven ketemenggungan coincided with the appointment of the board of Borneo.
As for the name Jangkang Continent, apparently derived from a timber and a creek. Meranti wood in a language called tokamp Jangkang. Wood is a variety of species, there tokamp hill, tokamp botuh, tokamp stars, and tokamp Jangkang. This timber thrives on the left and right of River Eence, river estuaries and Jangkang one of the most prominent is tokamp Jangkang. So the river is called River Jangkang and Jangkang village called the village, while the inhabitants called tribal Jangkang (Djo).
Note:
(1) ownership, customary land, the land ancestors who must remain maintained and preserved. This ancestral land and then characterize the identity of the group.
(2) Among the Dayak Jangkang, people who migrate out of the area to make a living or earning a salary is eaten. There are after many years working in foreign country back ground, but there is a settlement of a new home because they feel already fell at home and get a better livelihood. Dayak Jangkang called Lontaan in his research is a group of nomads, so not a native Jangkang, Jangkang area.
(3) Benawas Dayak origin can be read in Lontaan, op.cit, page 178.
(4) Compare J.U. Lontaan, op.cit, pages 170-171, also mentions that the group managed to meet Dara nante Babai Cinga in Tampun Juah. The elders and leaders called Dayak Jangkang Tampun Juah as tona and poya Jangkang (Engkarongk) first came from Tampun Juah.
(5) See among others, Daniel Chandler, Semiotics: The Basics (Roudledge, 2002), Norbert Elias, The Symbol Theory (Sage Publications: 1991), and Donald W. Thomas, Semiotics 3: Communication, Codes, & Culture (Ginn Custom Publishing: 1982).
(6) not found in the exactly when Dara Nante (founder of the Kingdom of Sanggau) was met with Babai Cinga. However, new Sanggau Kingdom history record and document the happenings in the 18th century kingdom. If so, surely Jangkang Dayak who has repeatedly moved from place to place the events since the attack "a dark enemy" in the form of rice that smells (buh tokek) in Tampun Webmail occurred before age 18.
(7) Until now still can trace accuracy and truth of the story and origin of this Jangkang Dayang. If for example walking, or on motorcycles, from the region Engkarong (Sekantut) to Sanggau, then boil Botuh this region can still be found.
(8) In Jangkang Dayak language, and also in Sanggau Dayak, precursor polaman is a village. At first, who built a house in polaman one family, if in time they looked at fixed and then multiplied into the village. Often called molaman. Dayak habits Jangkang if farming is far from the village and takes over, it's better to establish a permanent cabin, and it is called molaman.
(9) plague because laughing at people or animals.
(10) Presumably, the origin and story of this Pawan can explain why the language Jangkang phenomenon similar to certain areas in Ketapang (especially Nanga TAYAP). I know my friends from this area in Nyarumkop in high school and college in Malang (Mateus Yuli, Dobi, Mark Mardius, Djuweng, Julipin). We are equally telling Bokidoh language and there are no fundamental differences.
(11) lawangk this term seems to have influenced the Javanese language, which literally means: the door. Ordinary Jangkang Dayak calculate how many families with mace or how many doors (lawangk Kudu / Kudu door)?
(12) Once there, one day, the population decline Kobang bala ceremony. As is usually the starting troops, residents removed a small boat (for an adult's arm) and menghanyutkannya. The boat is full of symbol, indicating the charge is all the diseases and things that are bad. On one night, the boat crossed the Logunt village. Residents heard the crowd in passing, as if the crowds. A voice crying and there was a groan and a voice for help. Supposedly, because it sounds bad and no good signal, no response. Unfortunately, the sound hgaduh for help disahut, "If no strong perabuh pedaling again, stopped, and menataplah here with us." The pestilence was immediately attacked Botuh Logunt citizens and they all hit pestilence.
***
This article is part of my book: Dayak Djongkang, from Headhunting to Catholic Majority. Forbidden to quote or reproduce the text without mentioning the source and author names.
Rabu, 10 Februari 2010
Ketajaman Gus Dur endus China Aksi boikot guanxi terasa pasca kerusuhan Mei 1998
Ahad pekan lalu masyarakat Indonesia merayakan 40 hari wafatnya Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
Mantan orang No. 1 yang akrab disapa Gus Dur itu meninggalkan kita pada 30 Desember 2009. Ia kembali ke bumi pertiwi, tempat nenek moyangnya pada sekitar 1700-an menjejakkan kaki di Jombang, Jawa Timur.
Salah satu citra Gus Dur yang tak mudah lekang dari ingatan ialah tindakannya yang kerap out of the box. Lawatan ke luar negeri pertama dilakukannya bukan ke Amerika Serikat atau Eropa, tetapi justru ke Republik Rakyat China (RRC). Ini tidak biasa, sebab biasanya presiden negara berkembang melawat ke negara adidaya, membangun persekutuan.
Banyak orang mencibir tindakannya waktu itu (1999) karena dianggap nyleneh. Ketika konferensi pers pertama usai terpilih jadi presiden, Gus Dur menjelaskan latar dan alasannya mengunjungi China. "RRC negara besar dan sangat potensial dari segi ekonomi. Jadi, kita justru rugi tidak berhubungan dengan China," tegasnya.
Dalam konferensi itu pula, seorang wartawan istana sempat nyeletuk, dengan membeberkan sejarah diplomasi RI-RRC yang tidak begitu mulus sejak 1965. Gara-garanya, Peking (sekarang Beijing) diduga kuat oleh pemerintah Orba terlibat dalam G-30-S/PKI, terutama karena menyuplai senjata untuk membantu pemberontakan PKI waktu itu.
Lagi-lagi, Gus Dur menepis, keterlibatan RRC itu hanya sebatas asumsi, belum tentu benar. Berdasarkan alasan rasional sebagaimana yang dikemukakannya, Gus Dur justru balik bertanya, "Kalau kini saya membuka kembali hubungan dengan China, mengapa tidak boleh?"
Gus Dur tetap Gus Dur, sulit dibaca dan ditebak. Ia kokoh dalam pendirian dan terus ngotot pada keyakinan yang dianggap benar.
Hubungan khusus
Secara genealogis, Gus Dur mempunyai hubungan khusus dengan China. Sejarah mencatat, salah seorang keturunan raja Majapahit pernah mempersunting putri raja Campa. Dari buah perkawinan itu, lahirlah Tan Kim Ham, alias Abdul Kadir. Dari garis keturunan Abdul Kadir lahir Sunan Ampel yang melahirkan K.H. Hasyim Asyari, kakek Gus Dur. Ini dicatat dalam buku Yan Bin's Genealogy 1770-2004 (2004) yang diterbitkan Paguyuban Keluarga Keturunan Gan, di mana Gus Dur dan Yenny Wahid aktif di dalamnya.
Itulah sebabnya, Gus Dur membela mati-matian etnis China yang, ketika Orde Baru berkuasa, secara politis dipinggirkan. "Orang yang membenci etnis Cina tidak tahu sejarah. Sebab kalau mau ditelusuri, kita semua keturunan China," kata Gus Dur waktu itu.
Pernyataan Gus Dur kontan membuat orang terperangah. Maka ia pun menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Dan membolehkan kembali simbol serta atribut China berkibar di Nusantara.
Namun, Gus Dur mengajak bangsa Indonesia rekonsiliasi dengan China bukan semata-mata karena ia sendiri keturunan China. Lebih dari itu. Gus Dur melihat, pada masa-masa mendatang China sebagai suatu jaringan (networking/guanxi) perlu dirangkul untuk membangun kembali perekonomian Indonesia yang baru saja dilanda krisis hebat.
Dan kini, ketika area perdagangan bebas Asean-RRC dibuka, hubungan dengan China tidak bisa dinafikan. Gus Dur sudah sejak awal menyiapkan masuknya pengaruh China, bukan saja dari sisi budaya, tapi juga ekonomi dan bisnis.
Gus Dur mafhum, sebagai guanxi, kekuatan China sangat diperhitungkan di mana-mana, di seantero dunia. Studi tentang hal ini, antara lain dilakukan Gary Hamilton (1989). Ia sampai pada simpulan, guanxi memainkan peranan besar dalam kapitalisme di tiap-tiap negara-negara (waktu itu disurvei negara-negara industri baru atau NICs).
Bahkan futurolog John Naisbitt melihat guanxi adalah model kapitalisme di Asia. Dalam buku Megatrends Asia (1996) Naisbitt menyebut kecenderungan besar akan terjadi di Asia, yaitu adanya perubahan paradigma negara-bangsa (nation state) menuju networking.
Seperti juga Gary Hamilton dan Niasbitt, Gus Dur pun meyakini guanxi. Itu sebabnya, ketika orang ramai-ramai mengiritik ia banyak menghabiskan waktu untuk berkunjung ke luar negeri, Gus Dur enteng menjawab bahwa orang yang mengritiknya tak paham apa yang dikerjakannya. Atas kritikan itu, Gus Dur bergeming dan tetap pada pendiriannya: kalau mau selamat, guanxi perlu dirangkul.
Keyakinan diimbuh data dan fakta, membuat Gus Dur memprioritaskan kunjungannya ke China. Kunjungan itu, mencairkan kembali hubungan diplomatik Indonesia-RRC, setelah sekian lama beku akibat kebijakan politik luar negeri Indonesia semasa Orba. Sekaligus Gus Dur menepis opini umum yang mengatakan, selama ini Indonesia secara sistematis telah melakukan diskriminasi rasial.
Apalagi, kerusuhan Mei 1998 seakan-akan membenarkan, memang terjadi apa yang disebut sebagai gerakan etnic cleansing (peminggiran etnis) China di Indonesia.
Aksi boikot para guanxi sangat kita rasakan pascakerusuhan Mei 1998. Ratusan triliun rupiah dana segar milik para taipan, yang notabene keturunan Cina, keluar dari Indonesia saat itu. Ini membuat ekonomi kita yang terpuruk sejak 1997 jadi makin ambruk karena adanya capital outflow.
Pelarian modal keluar negeri ini, antara lain ke Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan RRC sendiri; selain sebagai akibat perasaan was-was akan situasi di Indonesia, juga sebagai aksi protes atas dugaan praktik "etnic cleansing" yang dirasakan kaum minoritas pada Tragedi Mei 1998.
Dana segar itu, kemudian menumpuk di Singapura. Dengan mudah membuat para guanxi "mengobok-obok" rupiah, sehingga nilai tukar atas US$ semakin anjlok. Kejadian itu membuat kita merasa kecil di hadapan sebuah jaringan bernama guanxi, sekaligus menjadi warning bagi kita untuk tidak memandang sepele etnis China lagi di bumi pertiwi karena mereka memiliki jaringan luar biasa.
Masih segar dalam ingatan kita, usai tragedi Mei 1998, sebagai ketua PBNU waktu itu, Gus Dur menyerukan kepada keturunan China yang berada di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia. Gus Dur juga menjamin keselamatan mereka. Dan kepada warga pribumi, dihimbau agar mau membaur dengan warga keturunan.
Rekonsiliasi nasional yang sejak awal dikumandangkan Gus Dur, semakin mendapatkan implementasinya begitu ia dipilih jadi presiden. Untuk memulihkan ekonomi nasional, langkah pertama yang ia lakukan adalah memanggil kembali para pemilik modal agar mau berinvestasi di Indonesia. Gus Dur yakin, suatu pemerintahan yang tidak menerapkan politik rasialis, akan membuat para guanxi merasa aman menanam modal di Indonesia.
Ini pertimbangan ekonomis kunjungan beliau ke China. Dan waktu kemudian membuktikan, Gus Dur yang dianggap nyleneh, ternyata benar. Ia seorang visioner. Butuh waktu 10 tahun agar mata awam tercelik melihat apa yang ia lakukan.
Oleh R. Masri Sareb Putra
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
catatan:
dimuat Harian Bisnis Indonesia, 9 Feb 2010
Mantan orang No. 1 yang akrab disapa Gus Dur itu meninggalkan kita pada 30 Desember 2009. Ia kembali ke bumi pertiwi, tempat nenek moyangnya pada sekitar 1700-an menjejakkan kaki di Jombang, Jawa Timur.
Salah satu citra Gus Dur yang tak mudah lekang dari ingatan ialah tindakannya yang kerap out of the box. Lawatan ke luar negeri pertama dilakukannya bukan ke Amerika Serikat atau Eropa, tetapi justru ke Republik Rakyat China (RRC). Ini tidak biasa, sebab biasanya presiden negara berkembang melawat ke negara adidaya, membangun persekutuan.
Banyak orang mencibir tindakannya waktu itu (1999) karena dianggap nyleneh. Ketika konferensi pers pertama usai terpilih jadi presiden, Gus Dur menjelaskan latar dan alasannya mengunjungi China. "RRC negara besar dan sangat potensial dari segi ekonomi. Jadi, kita justru rugi tidak berhubungan dengan China," tegasnya.
Dalam konferensi itu pula, seorang wartawan istana sempat nyeletuk, dengan membeberkan sejarah diplomasi RI-RRC yang tidak begitu mulus sejak 1965. Gara-garanya, Peking (sekarang Beijing) diduga kuat oleh pemerintah Orba terlibat dalam G-30-S/PKI, terutama karena menyuplai senjata untuk membantu pemberontakan PKI waktu itu.
Lagi-lagi, Gus Dur menepis, keterlibatan RRC itu hanya sebatas asumsi, belum tentu benar. Berdasarkan alasan rasional sebagaimana yang dikemukakannya, Gus Dur justru balik bertanya, "Kalau kini saya membuka kembali hubungan dengan China, mengapa tidak boleh?"
Gus Dur tetap Gus Dur, sulit dibaca dan ditebak. Ia kokoh dalam pendirian dan terus ngotot pada keyakinan yang dianggap benar.
Hubungan khusus
Secara genealogis, Gus Dur mempunyai hubungan khusus dengan China. Sejarah mencatat, salah seorang keturunan raja Majapahit pernah mempersunting putri raja Campa. Dari buah perkawinan itu, lahirlah Tan Kim Ham, alias Abdul Kadir. Dari garis keturunan Abdul Kadir lahir Sunan Ampel yang melahirkan K.H. Hasyim Asyari, kakek Gus Dur. Ini dicatat dalam buku Yan Bin's Genealogy 1770-2004 (2004) yang diterbitkan Paguyuban Keluarga Keturunan Gan, di mana Gus Dur dan Yenny Wahid aktif di dalamnya.
Itulah sebabnya, Gus Dur membela mati-matian etnis China yang, ketika Orde Baru berkuasa, secara politis dipinggirkan. "Orang yang membenci etnis Cina tidak tahu sejarah. Sebab kalau mau ditelusuri, kita semua keturunan China," kata Gus Dur waktu itu.
Pernyataan Gus Dur kontan membuat orang terperangah. Maka ia pun menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Dan membolehkan kembali simbol serta atribut China berkibar di Nusantara.
Namun, Gus Dur mengajak bangsa Indonesia rekonsiliasi dengan China bukan semata-mata karena ia sendiri keturunan China. Lebih dari itu. Gus Dur melihat, pada masa-masa mendatang China sebagai suatu jaringan (networking/guanxi) perlu dirangkul untuk membangun kembali perekonomian Indonesia yang baru saja dilanda krisis hebat.
Dan kini, ketika area perdagangan bebas Asean-RRC dibuka, hubungan dengan China tidak bisa dinafikan. Gus Dur sudah sejak awal menyiapkan masuknya pengaruh China, bukan saja dari sisi budaya, tapi juga ekonomi dan bisnis.
Gus Dur mafhum, sebagai guanxi, kekuatan China sangat diperhitungkan di mana-mana, di seantero dunia. Studi tentang hal ini, antara lain dilakukan Gary Hamilton (1989). Ia sampai pada simpulan, guanxi memainkan peranan besar dalam kapitalisme di tiap-tiap negara-negara (waktu itu disurvei negara-negara industri baru atau NICs).
Bahkan futurolog John Naisbitt melihat guanxi adalah model kapitalisme di Asia. Dalam buku Megatrends Asia (1996) Naisbitt menyebut kecenderungan besar akan terjadi di Asia, yaitu adanya perubahan paradigma negara-bangsa (nation state) menuju networking.
Seperti juga Gary Hamilton dan Niasbitt, Gus Dur pun meyakini guanxi. Itu sebabnya, ketika orang ramai-ramai mengiritik ia banyak menghabiskan waktu untuk berkunjung ke luar negeri, Gus Dur enteng menjawab bahwa orang yang mengritiknya tak paham apa yang dikerjakannya. Atas kritikan itu, Gus Dur bergeming dan tetap pada pendiriannya: kalau mau selamat, guanxi perlu dirangkul.
Keyakinan diimbuh data dan fakta, membuat Gus Dur memprioritaskan kunjungannya ke China. Kunjungan itu, mencairkan kembali hubungan diplomatik Indonesia-RRC, setelah sekian lama beku akibat kebijakan politik luar negeri Indonesia semasa Orba. Sekaligus Gus Dur menepis opini umum yang mengatakan, selama ini Indonesia secara sistematis telah melakukan diskriminasi rasial.
Apalagi, kerusuhan Mei 1998 seakan-akan membenarkan, memang terjadi apa yang disebut sebagai gerakan etnic cleansing (peminggiran etnis) China di Indonesia.
Aksi boikot para guanxi sangat kita rasakan pascakerusuhan Mei 1998. Ratusan triliun rupiah dana segar milik para taipan, yang notabene keturunan Cina, keluar dari Indonesia saat itu. Ini membuat ekonomi kita yang terpuruk sejak 1997 jadi makin ambruk karena adanya capital outflow.
Pelarian modal keluar negeri ini, antara lain ke Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan RRC sendiri; selain sebagai akibat perasaan was-was akan situasi di Indonesia, juga sebagai aksi protes atas dugaan praktik "etnic cleansing" yang dirasakan kaum minoritas pada Tragedi Mei 1998.
Dana segar itu, kemudian menumpuk di Singapura. Dengan mudah membuat para guanxi "mengobok-obok" rupiah, sehingga nilai tukar atas US$ semakin anjlok. Kejadian itu membuat kita merasa kecil di hadapan sebuah jaringan bernama guanxi, sekaligus menjadi warning bagi kita untuk tidak memandang sepele etnis China lagi di bumi pertiwi karena mereka memiliki jaringan luar biasa.
Masih segar dalam ingatan kita, usai tragedi Mei 1998, sebagai ketua PBNU waktu itu, Gus Dur menyerukan kepada keturunan China yang berada di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia. Gus Dur juga menjamin keselamatan mereka. Dan kepada warga pribumi, dihimbau agar mau membaur dengan warga keturunan.
Rekonsiliasi nasional yang sejak awal dikumandangkan Gus Dur, semakin mendapatkan implementasinya begitu ia dipilih jadi presiden. Untuk memulihkan ekonomi nasional, langkah pertama yang ia lakukan adalah memanggil kembali para pemilik modal agar mau berinvestasi di Indonesia. Gus Dur yakin, suatu pemerintahan yang tidak menerapkan politik rasialis, akan membuat para guanxi merasa aman menanam modal di Indonesia.
Ini pertimbangan ekonomis kunjungan beliau ke China. Dan waktu kemudian membuktikan, Gus Dur yang dianggap nyleneh, ternyata benar. Ia seorang visioner. Butuh waktu 10 tahun agar mata awam tercelik melihat apa yang ia lakukan.
Oleh R. Masri Sareb Putra
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
catatan:
dimuat Harian Bisnis Indonesia, 9 Feb 2010
Senin, 08 Februari 2010
The Dayak Jangkang Repentance: from Headhunting to be Catholic
Areas of headhunters called Jangkang, first visited by "tuan serani" at around 1930.
The term "tuan serani" is specifically posted to call Dayak Jangkang foreign missionaries in the old old days. Tuan mean master or a priest and serani mean a Christian.
Thus, the term was intended as a Catholic priest named Pastor Fridolinus van Vehgel. This was done in order to tourney in the Sanggau Parish region.
The visit of this historic place before independence in October 1934. As known, the origin of the Jangkang parish in the beginning is part of the Sanggau Parish.
Sanggau parish in 1939 as a Jangkang parish embryo.
Sanggau Parish itself comes from Sejiram. In 1909, Father Gonsalvus who worked in just a week in Sejiram and later settled in Sanggau, the city at Kapuas River banks. A young man who was interested in mission work, Tolli, joined together Gonsalvus. As the approval of his parents, he was finally coming to school in Sejiram, Upper Kapoeas. Tolli eventually attracted many young men joined the school in Sanggau to Sejiram. Learn more about the history of the establishment of the Sanggau Parish can be read in the report, Sustainable research on Parish Profile Sanggau by Boelaars, et al. especially pages 29-33.
Books of status animarum (from the Latin word, status = position, status and animarum = soul.) So, status animarum is a book that records the status or race data, complete with date, month, year of birth and when receiving the sacraments in the Catholic Church tradition.) Jangkang parish initially stored in the Sanggau Parish.
Kobang mass baptism in the year 1939 by Father Ewald Nobel. Himu at that time was a teacher and he baptized according to Catholic rites and attended by the head of the village.
Unfortunately, the original book disappeared during World War II. So, after the war, Father Fridolinus try knitting again strands of history by relying on memory and mobilize all of his mind to write them back.
In 1934, the number of Catholics in Jangkang was not yet how. Generally still embrace the original ancestors. However, from memory Fridolinus Father, the Japanese occupation era around the year 1942, the number of Catholics on the ground Jangkang approximately 150 people.
Two European missionaries of the Swiss and the Dutch Pastor Lazarus and Herman. They love and be loved by the Dayak Jangkang.
Two messengers, Herman and Lazarus tourney on foot. They climbed the hill, down the valley, and across rivers. What a great their services for the Dayak Jangkang! No wonder, when people hear Lazarus died while on leave in Switzerland due to brain cancer, they cry and gathered together praying that their beloved pastor had gone to heaven.
For ease of service, parish, parish founded Sanggau parish. Before the war, parish, parish existing in the region is the Jangkang parish Kobang, Jangkang Continent, and the Turtles.
Stasi (from English word 'station'), this parish has been welcoming visitors since 1934. However, just received a visit on a regular basis in 1937. Priests who had turne to this parish is Father Fridolinus, P. Christianus, P. Ewald Prize, and P. Kasianus.
It is important to note in a series of parish ministry Sanggau mission is the mission of the efforts and services to educate the Dayak Jangkang ethnic educated, so that more adaptive to the current and changing times. On September 1, 1937, P. SD Jangkang Christianus open. A year later, on October 3, 1938, primary schools receive subsidies from the government, which then is popularly known SD Subsidi Jangkang.
Year 1938 also became an important milestone for P. Ewald and Br. Donulus establish a new school building in Jangkang Benua. While in Kobang erected a chapel. Because the school and the people are permanently in Jangkang, it was decided since 1938 till May 1942 became the priest Father Ewald remained for Jangkang region. Ewald would rather live in Kobang because the cool weather and cold, and besides it was on the back of Mount Balu (Boruh) and Bengkawan. Because more often live in Kobang, the Pastor Ewald, dubbed "Mr. Kobang".
Besides the cool weather, Ewald lived in Kobang also for security reasons. European missionaries, he became a fugitive accomplice and Japanese soldiers at that time. After painstakingly trying to hide and move their homes, Ewald finally gave it up. He was arrested by the Japanese. Then forcibly taken to a detention camp in Kuching, and died in prison camp before his fellow prisoners released in 1945.
After all, after the arrest and intimidation of Ewald Japan, the Church is not covered Jangkang speck fear. In fact, in November 1943, received a visit of Javanese priest, P. Adikarjana. This Javanese priest even baptize and convert some people and inaugurate Jangkang marriage and the surrounding population in the Catholic religion.
Post-Japanese occupation, P. Fridolinus had a pastoral visit to Jangkang in 1946. New in March 1947 came to Jangkang Father Josef Herman van Hutlen.
The first Jangkang parish church building, first used on Christmas Eve mass in 1951. At that time the parish pastor was P. Herman Josef van Hulten.
Herman was on leave in October 1948. During vacation, he was replaced by P. v.d. Bos, Hyasintus Key, and P. David Paulisse which include duty finish area boundaries of the community Jangkang rectory, Kobang, and turtles. Also purchased the former home of Himu teachers. After returning from vacation, 1946, P. Herman remained on duty in Jangkang.
Father Diomedes in his capacity as an economist Pontianak Diocese helped prepare complete and houses belonging to Himu became the first rectory. Development plan of the church began to be negotiated at that time.
Thus, the 12 September 1951 at Jangkang parish was officially opened by the Bishop of Pontianak at the time, Msgr. Tarcicius van Valenberg by mail AV numbered 383/51. From then on, the books removed from status animarum Sanggau Jangkang to be stored on the Continent since July 1, 1951.
Mgr. Tarcicius van valenberg, bishop of Pontianak at that time. To his letter, the Jangkang parish was erected.
In addition to the church building, mission critical look at the school founded Jangkang ground. Not only as a means of liberation from the Dayak Jangkang isolation, backwardness, and ignorance. SD Jangkang also seen as a doorway to liberation in the broad sense, the liberation of inner and outer. Recorded as primary school teacher who first Jangkang Himu from Kobang.
After receiving a subsidy from the Government, Elementary Jangkang then get extra teachers of Fr. Ayub of the Mandung. The first religious teacher was Marius Linggi of Sejiram. In early 1942, Marius Linggi replaced by Nyurai until the year 1946.
After the war, who served as assistant teacher of religion is Ign. Ahoy origin Kobang and F. Kangen comes from Penyu. Religious teachers were added again, which is F. Tion of Jangkang and St. Ahim from Empiyang.
Establishment of schools, was abundant fruit. Many children, especially school children, interested in being a Catholic and were baptized. Religious instruction (often also called catechumens. Namely baptismal candidates (Catholic) who will be baptized prepared in such a way, not just knowledge about the Catholic religion, but also especially inner preparation) for school kids do after school lessons. Apparently, these children will also influence their parents to further Catholic too.
In 1947, the school reopened in order to accommodate the children in Empiyang and Kotup. Elementary School opened in 1948 in Ketori and Engkode (Upper Sape) and Entakai. Then, in the 1950s opened another elementary school in Empodis, Darok, Sum, and Lalang.
From, and through schools, evangelization among the Dayak Jangkang started grateful. Of school children is also the Catholic religion began to go into people's homes, such a compromise between the Church and the local culture. And slowly started to happen the local culture cross over or hybrid.
However, in terms of entry of the Catholic religion in the middle of Dayak Jangkang, hybrid terminology is not entirely correct, because the hybrid is the result of mixing two different kinds of things, make something new. In the case of entry of the Catholic religion into the middle of the Dayak Jangkang seems most appropriate adaptation and acculturation. Because, at the crossing, which was the dominant views of the Catholic Church.
How catholic church teaches faith through culture and the minds of the Dayak peole can be read in a catechism book compiled by Pankat KA Pontianak (1981) Semangat Kristus (The Spirit of Christ). So, the missionaries in their evangelization of acculturation among Dayak Jangkang doing something was very interesting. Not only from missiology science, but also the science of semiotics.
Capuchin Order provincial P. Clementinus visit Jangkang parish and offered a Mass in 1959.
Missiology is indeed a science of techniques spreading the faith to the nations by spreading the Catholic faith, without denying or eliminating the local culture of Western missionaries applied correctly.
As noted Boelaars OFM Cap from Atma Jaya Research Center in 1979, "Missieonering method originally used by a visit from village to village without an invitation. In the villages visited endeavored to establish schools for children in surrounding villages, or at least tried to be the children who wished to study sent to places that already have such schools in Sanggau and Nyarumkop."
Interestingly, Boelaars underlines a very unique technique of how the mission and culture through indigenous Dayak Jangkang at an early stage. "Finally secretly compromise arises between these two groups (Dayak Jangkang and church -author) in order to avoid gaps that increasingly pointed the way to accept the new religion, but important elements of the old traditional ceremonies such as birth, marriage, disease and death, a celebration of rice, is also still running.
There are even villages regularly every year to worship ceremonies are animists. This is just starting to change since the P. Anton as an indigenous priest began serving in this parish (Boelaars, 1979: 26). The Church gave birth to what is called the adaptation and acculturation.
P. Anton as an indigenous priest began serving in Jangkang Parish.
When the conditions for the establishment of a parish is fulfilled, then the Jangkang parish was established as an independent, separate from the Sanggau parish as a parent.
So, then on September 12, 1951, officially stand Jangkang parish boundaries is as follows.
Eastside District Sekayam and Mualang area.
West side Sekayam River.
North of the border district and Kembayan Sekayam.
South side of the Kapuas River.
Jangkang Parish Catholics numbered 1,100 people when set up, it's spelled out in 350 people who are still catechumens. All the way from first menggereja live up to the 1970's, Jangkang parish experienced at least two times a change or revitalization areas.
First, in 1962. Region Hulu Tanjung (between Kapuas River, Sekayam and Engkatat) combined with Sanggau Parish. As a result of downsizing, as many as 226 Parishes Catholics Jangkang animarum reduced and its status was transferred to the Parish Sanggau.
Second, the priest of Jemongko gave the Hulu Sae (Sub Noyan) became part of the area Jangkang Parish. This new area consists of six villages with a population of about 750 inhabitants. Of this amount, only four people have already embraced the Catholic religion. The challenge, as well as the mission of the Church is how mengkatolikkan (make the headhunters to be Catholic)Jangkang 746 people again?
Therefore, start thinking a new mode, so that church attendance is more deeply rooted. So, built the rectory (priest's residence house) and the church building. The first parish rectory Jangkang is the former home of an expanded teacher Himu with two rooms and a kitchen in 1950.
Jangkang parish region as a part of the archdiocese of Pontianak.
While Jangkang church was built by village artisans, skilled workers aided the ethnic Malays of the Balai Sebut. Part of the church building was completed and first used on Christmas in 1951. This church building will only really fully completed in 1959.
Having successfully built the rectory and church building, the mission also founded the dormitories. Particularly dormitory for elementary school children Jangkang which opened after the independence of the Republic of Indonesia. In 1962 built a dormitory that also functioned for the parish hall.
Jangkang former rectory house, now abandoned and no longer resident.
Entering the 1970s, the national economic situation more difficult. Food crisis began to be felt everywhere, including in Jangkang. Father Lazarus is known to be very generous, helpful, and skillful treatment of the sick people, getting food supplies from abroad.
In the midst of food crisis that is, to come aid in the amount of more than enough supply in the form of bulgur and milk powder. Residents who have money can buy low prices. However, for those who can not afford sufficient energy exchanged with the work of a priest (Works with people to get wages in the Jangkang language called ngosangk.
The tradition is still alive today. His reward according to the needs of an increasing life. Ngosangk Now day's pay for this type of jobs mild to moderate, such as cutting and grazing, or sowing, ranging from Rp15,000. 00 - Rp20,00. 00 per day. As for the type of heavy work, such as digging or carrying heavy loads even higher, between Rp25,000.00-Rp35,000 per day). Day work got four cans bulgur. Incidentally, Pastor Lazarus with Father David saw no immediate major projects done, but it requires effort and cost a very large.
Kampung Jangkang located right on the river rushing Ence from the valley of Mount Bengkawan. On the left and right of the river are fertile. Mountain land mud mixed with the leaves, eventually forming a very fertile topsoil and pile up more and more along the riverbanks.
There Jangkang Dayak custom, they most like to grow vegetables on the riverbanks. Cassava, sweet potato, transplantation (katuk), pusu (troop) toluk (egg) (sugar cane flower), papaya, mustard greens, spinach and vegetables of all kinds flourish in Ence river.
Unfortunately, every monsoon, the village Jangkang always flooded. As a result, a lot of material loss arising. Livestock lost along with the flow of flood, like the sap of property also soaked drift, not to mention countless hassles during floods. Water entered the house and, after that, takes time and effort to clean it up.
To prevent flooding, the Science River which flows from upstream villages Jangkang made it necessary to reduce the sewage flow of water.
So Lazarus and David were designed to make the canal that cuts across the Ence River transparent to downstream villages. Length of more than three miles. The width of six meters. Special and in the hills, the location of the bathhouse Paulus Kipa is also a catechist, Lada trench depth reaches 20 meters.
So you can imagine, what a wonderful project initiated and David Lazarus is to save Jangkang from flood hazards.
Trench Lada was built by a duo Lazarus-David saving the residents from the flood.
In the upstream, there was a small hill blocking. However, there is no other way but to cut the hill, although there are rock bottom Wadas.
The workers who broke the stones were resident and surrounding Jangkang who are experiencing a food crisis. The priest and the people are equally benefited by the project. Few, long into the hill. Thus, work by work begins.
Finally, about a year, the canal was finished workmanship. Then given a name by taking a combination of the first syllable and David Lazarus name of "Lazarus-David or Lada".
Later, this exemplary project and practiced in other places by the parish priest outside Jangkang.
The early 1970s, the development of very rapid Jangkang Parish. Increased more great race. Recorded in 1975 the population in the Jangkang parish area were 22,280. They were scattered in distant places.
The distance from the farthest point from the parish center to Polo Poda Jangkang along 36 km. Before there is an adequate road to go through the motor, the trip walking distance 13 hours. The number of Catholics in 1975 as many as 6,762.
At the beginning of the Jangkang parish standing, sacramental ministry and the development of people of faith made by visiting priest villages. Visits carried out on foot through a difficult route, sometimes climbing a hill, explore the valley, down the canyon, cross the river, and tread the swamp. Because all traffic routes aimed at achieving several villages, and in each ward usually overnight, then travel Jangkang priests called "turne" (tourney).
Turne time may take two to week. When turne, eat what the priest provided the people and the people stayed at home, too. New in the 1970s, turne to involve villages catechists. In fact, a very important role as a catechist pacer and prepare the people. Then, on the last day, or closing, there was a priest.
Because development is so very fast people, required a non-religious force priests to serve the non-sacramental character. So in 1974 was sent to work in Jangkang Brother Paulus Tikui, known OFM Cap enterprising and skilled work in carpentry. He was also very authoritative, so that the people respected and district officials Jangkang.
Brother Paul helped build a new church and also a new elementary school that moved on the River That, Dampah Robungkang feet. In 1976, a brother came back from Holland, Frans Pallandt. Brtoher Frans, as he is familiarly called, is very close to the people, especially young children. In an instant, he was very fluent Jangkang.
You could say, the era of the 1970s until the 1980s was a golden age of Jangkang parish. Hidup menggereja (Catholic religious life) very dynamic life. Relations priests and brothers with a very close race. Every night held a full rosary.
Every Sunday evening prayers were held Salve. Every Sunday, a church filled with people. In fact, on Church holidays (Christmas, Easter, Pentecost) in the entire parish congregation spilling Jangkang come to celebrate for three days. They stayed in people's homes. In a series of Church's feast day, there is usually a crowd and sports games that involve not only the Catholic population of the village, which also non-Catholic.
In this golden age also the local customs and culture began to be adapted. Akulturisasi (acculturation) process run smoothly, along with a growing number of religion teachers and catechists local son who helped the priest in sacramental ministry and Seara take an active part in pastoral care.
Discussions held more intense. Parish pastoral activity more and more, touching almost all the people of the base. In fact, in the parish center is often held retreats. Preparations for the reception of the sacrament is also very serious.
One of the many adaptation and acculturation is when the Parish Council issued Decree Jangkang on the Customary Law Concerning Religious Life dated August 16, 1977 signed by Father Anton as Chairman of the Parish Council. This decision is the intention of compromise or cross over between the traditional local culture and teachings of the Catholic religion.
In fact, adaptation and inculturation in the parish in advance Jangkang has been enacted. Dated December 25, 1965 for example, Stephanus Ahim as Head Empiyang Parish Indigenous customary law setting prevailing in the area of child Empiyang patterned Parish ecclesial.
This decision letter as confirmation of the opinion of chiefs in a meeting dated December 24, 1965. This decision can be called as adaptation of the teachings of the Catholic Religion which regulates issues regarding Catholic marriage.
Brother Franz was working hard to build Jangkang parish church building. At that time workers were still manual work, so slaving.
A second Jangkang parish church building, built in 1976 by Brother Frans Pallandt and Paulus Tikui. Development during the P. Lazarus became parish priest at that time.
If there is a violation or disagreement on both sides of the marriage, then the solution is not through religious judiciary, but custom is adopting the customs and culture of the Dayak Jangkang. Adopted a customary law on divorce, marriage is not legal, valid marriage, divorce after marriage, adultery, and the basic customs (tahil). Read more about this decision can be studied in Boelaars, op.cit., Pages 84-86.
However, because Anton is the first native priest who worked in Jangkang, and his influence is huge and significant impact on the development and Dayak Katolikisasi Jangkang, he became a milestone for the adaptation and inculturation. As noted Boelaars (1979: 31-32) the following:
The appeal of "Katholicisme 'increased after the arrival of P. Anton Innocent Daem 1975 as the first indigenous priest serving in this Jangkang ground. At that time Protestants also felt pressured slightly and started to 'attack' spread the religion starting from the Mualang, Sanggau, and Sekayam, causing competition with the adherents of the Catholic religion. A healthy competition would benefit because each party seeks to increase knowledge of the teachings of their religion, but on the other hand the unity of the village needs to be cracked so it can give other groups a chance entered.
A letter from Mgr. Herculanus years of Missio-1969 a new policy in fact partly justifies the means of pastoral work that has begun in the Jangkang parish, and partly to give new ideas to the awamisasi (delegations to the layman) local church. "
On Sundays and religious holidays, Catholics in the parish of Jangkang conditioned not work. This is in accordance with the teachings of the Church, in order to specialize in one day a week to worship and glorify God.
Jangkang Catholics today: less maintained their faith. Catholics number Jangkang parish was amazing, 22,000, but the quality of their faith is lower than the 1940-1980s.
And that's how it happened. During Lazarus became Jangkang priest, Parish people obey. Because of the strategic location of the presbytery, Jangkang people who passed down to the fields,hunting, fishing and into the garden, so the suggestion to not work on Sunday was followed.
Unfortunately, when the number of Catholics grew more and more, the maintenance of their soul is less. Everywhere, as in the face of this earth, when there is no longer a challenge, people become lazy and complacent fast. Jangkang Catholics there is now 22,000, the majority of other religions in the Jangkang district.
Where are the seeds of faith planted by the missionaries? Perhaps in heaven, the apostles, who were white, kept praying that Jangkang repent for the second time .....
***
This article is one chapter of my book Dayak Jangkang: from Headhunting to the Catholic Majority. May quote part or in full, provided that identify the source and author's name.
The term "tuan serani" is specifically posted to call Dayak Jangkang foreign missionaries in the old old days. Tuan mean master or a priest and serani mean a Christian.
Thus, the term was intended as a Catholic priest named Pastor Fridolinus van Vehgel. This was done in order to tourney in the Sanggau Parish region.
The visit of this historic place before independence in October 1934. As known, the origin of the Jangkang parish in the beginning is part of the Sanggau Parish.
Sanggau parish in 1939 as a Jangkang parish embryo.
Sanggau Parish itself comes from Sejiram. In 1909, Father Gonsalvus who worked in just a week in Sejiram and later settled in Sanggau, the city at Kapuas River banks. A young man who was interested in mission work, Tolli, joined together Gonsalvus. As the approval of his parents, he was finally coming to school in Sejiram, Upper Kapoeas. Tolli eventually attracted many young men joined the school in Sanggau to Sejiram. Learn more about the history of the establishment of the Sanggau Parish can be read in the report, Sustainable research on Parish Profile Sanggau by Boelaars, et al. especially pages 29-33.
Books of status animarum (from the Latin word, status = position, status and animarum = soul.) So, status animarum is a book that records the status or race data, complete with date, month, year of birth and when receiving the sacraments in the Catholic Church tradition.) Jangkang parish initially stored in the Sanggau Parish.
Kobang mass baptism in the year 1939 by Father Ewald Nobel. Himu at that time was a teacher and he baptized according to Catholic rites and attended by the head of the village.
Unfortunately, the original book disappeared during World War II. So, after the war, Father Fridolinus try knitting again strands of history by relying on memory and mobilize all of his mind to write them back.
In 1934, the number of Catholics in Jangkang was not yet how. Generally still embrace the original ancestors. However, from memory Fridolinus Father, the Japanese occupation era around the year 1942, the number of Catholics on the ground Jangkang approximately 150 people.
Two European missionaries of the Swiss and the Dutch Pastor Lazarus and Herman. They love and be loved by the Dayak Jangkang.
Two messengers, Herman and Lazarus tourney on foot. They climbed the hill, down the valley, and across rivers. What a great their services for the Dayak Jangkang! No wonder, when people hear Lazarus died while on leave in Switzerland due to brain cancer, they cry and gathered together praying that their beloved pastor had gone to heaven.
For ease of service, parish, parish founded Sanggau parish. Before the war, parish, parish existing in the region is the Jangkang parish Kobang, Jangkang Continent, and the Turtles.
Stasi (from English word 'station'), this parish has been welcoming visitors since 1934. However, just received a visit on a regular basis in 1937. Priests who had turne to this parish is Father Fridolinus, P. Christianus, P. Ewald Prize, and P. Kasianus.
It is important to note in a series of parish ministry Sanggau mission is the mission of the efforts and services to educate the Dayak Jangkang ethnic educated, so that more adaptive to the current and changing times. On September 1, 1937, P. SD Jangkang Christianus open. A year later, on October 3, 1938, primary schools receive subsidies from the government, which then is popularly known SD Subsidi Jangkang.
Year 1938 also became an important milestone for P. Ewald and Br. Donulus establish a new school building in Jangkang Benua. While in Kobang erected a chapel. Because the school and the people are permanently in Jangkang, it was decided since 1938 till May 1942 became the priest Father Ewald remained for Jangkang region. Ewald would rather live in Kobang because the cool weather and cold, and besides it was on the back of Mount Balu (Boruh) and Bengkawan. Because more often live in Kobang, the Pastor Ewald, dubbed "Mr. Kobang".
Besides the cool weather, Ewald lived in Kobang also for security reasons. European missionaries, he became a fugitive accomplice and Japanese soldiers at that time. After painstakingly trying to hide and move their homes, Ewald finally gave it up. He was arrested by the Japanese. Then forcibly taken to a detention camp in Kuching, and died in prison camp before his fellow prisoners released in 1945.
After all, after the arrest and intimidation of Ewald Japan, the Church is not covered Jangkang speck fear. In fact, in November 1943, received a visit of Javanese priest, P. Adikarjana. This Javanese priest even baptize and convert some people and inaugurate Jangkang marriage and the surrounding population in the Catholic religion.
Post-Japanese occupation, P. Fridolinus had a pastoral visit to Jangkang in 1946. New in March 1947 came to Jangkang Father Josef Herman van Hutlen.
The first Jangkang parish church building, first used on Christmas Eve mass in 1951. At that time the parish pastor was P. Herman Josef van Hulten.
Herman was on leave in October 1948. During vacation, he was replaced by P. v.d. Bos, Hyasintus Key, and P. David Paulisse which include duty finish area boundaries of the community Jangkang rectory, Kobang, and turtles. Also purchased the former home of Himu teachers. After returning from vacation, 1946, P. Herman remained on duty in Jangkang.
Father Diomedes in his capacity as an economist Pontianak Diocese helped prepare complete and houses belonging to Himu became the first rectory. Development plan of the church began to be negotiated at that time.
Thus, the 12 September 1951 at Jangkang parish was officially opened by the Bishop of Pontianak at the time, Msgr. Tarcicius van Valenberg by mail AV numbered 383/51. From then on, the books removed from status animarum Sanggau Jangkang to be stored on the Continent since July 1, 1951.
Mgr. Tarcicius van valenberg, bishop of Pontianak at that time. To his letter, the Jangkang parish was erected.
In addition to the church building, mission critical look at the school founded Jangkang ground. Not only as a means of liberation from the Dayak Jangkang isolation, backwardness, and ignorance. SD Jangkang also seen as a doorway to liberation in the broad sense, the liberation of inner and outer. Recorded as primary school teacher who first Jangkang Himu from Kobang.
After receiving a subsidy from the Government, Elementary Jangkang then get extra teachers of Fr. Ayub of the Mandung. The first religious teacher was Marius Linggi of Sejiram. In early 1942, Marius Linggi replaced by Nyurai until the year 1946.
After the war, who served as assistant teacher of religion is Ign. Ahoy origin Kobang and F. Kangen comes from Penyu. Religious teachers were added again, which is F. Tion of Jangkang and St. Ahim from Empiyang.
Establishment of schools, was abundant fruit. Many children, especially school children, interested in being a Catholic and were baptized. Religious instruction (often also called catechumens. Namely baptismal candidates (Catholic) who will be baptized prepared in such a way, not just knowledge about the Catholic religion, but also especially inner preparation) for school kids do after school lessons. Apparently, these children will also influence their parents to further Catholic too.
In 1947, the school reopened in order to accommodate the children in Empiyang and Kotup. Elementary School opened in 1948 in Ketori and Engkode (Upper Sape) and Entakai. Then, in the 1950s opened another elementary school in Empodis, Darok, Sum, and Lalang.
From, and through schools, evangelization among the Dayak Jangkang started grateful. Of school children is also the Catholic religion began to go into people's homes, such a compromise between the Church and the local culture. And slowly started to happen the local culture cross over or hybrid.
However, in terms of entry of the Catholic religion in the middle of Dayak Jangkang, hybrid terminology is not entirely correct, because the hybrid is the result of mixing two different kinds of things, make something new. In the case of entry of the Catholic religion into the middle of the Dayak Jangkang seems most appropriate adaptation and acculturation. Because, at the crossing, which was the dominant views of the Catholic Church.
How catholic church teaches faith through culture and the minds of the Dayak peole can be read in a catechism book compiled by Pankat KA Pontianak (1981) Semangat Kristus (The Spirit of Christ). So, the missionaries in their evangelization of acculturation among Dayak Jangkang doing something was very interesting. Not only from missiology science, but also the science of semiotics.
Capuchin Order provincial P. Clementinus visit Jangkang parish and offered a Mass in 1959.
Missiology is indeed a science of techniques spreading the faith to the nations by spreading the Catholic faith, without denying or eliminating the local culture of Western missionaries applied correctly.
As noted Boelaars OFM Cap from Atma Jaya Research Center in 1979, "Missieonering method originally used by a visit from village to village without an invitation. In the villages visited endeavored to establish schools for children in surrounding villages, or at least tried to be the children who wished to study sent to places that already have such schools in Sanggau and Nyarumkop."
Interestingly, Boelaars underlines a very unique technique of how the mission and culture through indigenous Dayak Jangkang at an early stage. "Finally secretly compromise arises between these two groups (Dayak Jangkang and church -author) in order to avoid gaps that increasingly pointed the way to accept the new religion, but important elements of the old traditional ceremonies such as birth, marriage, disease and death, a celebration of rice, is also still running.
There are even villages regularly every year to worship ceremonies are animists. This is just starting to change since the P. Anton as an indigenous priest began serving in this parish (Boelaars, 1979: 26). The Church gave birth to what is called the adaptation and acculturation.
P. Anton as an indigenous priest began serving in Jangkang Parish.
When the conditions for the establishment of a parish is fulfilled, then the Jangkang parish was established as an independent, separate from the Sanggau parish as a parent.
So, then on September 12, 1951, officially stand Jangkang parish boundaries is as follows.
Eastside District Sekayam and Mualang area.
West side Sekayam River.
North of the border district and Kembayan Sekayam.
South side of the Kapuas River.
Jangkang Parish Catholics numbered 1,100 people when set up, it's spelled out in 350 people who are still catechumens. All the way from first menggereja live up to the 1970's, Jangkang parish experienced at least two times a change or revitalization areas.
First, in 1962. Region Hulu Tanjung (between Kapuas River, Sekayam and Engkatat) combined with Sanggau Parish. As a result of downsizing, as many as 226 Parishes Catholics Jangkang animarum reduced and its status was transferred to the Parish Sanggau.
Second, the priest of Jemongko gave the Hulu Sae (Sub Noyan) became part of the area Jangkang Parish. This new area consists of six villages with a population of about 750 inhabitants. Of this amount, only four people have already embraced the Catholic religion. The challenge, as well as the mission of the Church is how mengkatolikkan (make the headhunters to be Catholic)Jangkang 746 people again?
Therefore, start thinking a new mode, so that church attendance is more deeply rooted. So, built the rectory (priest's residence house) and the church building. The first parish rectory Jangkang is the former home of an expanded teacher Himu with two rooms and a kitchen in 1950.
Jangkang parish region as a part of the archdiocese of Pontianak.
While Jangkang church was built by village artisans, skilled workers aided the ethnic Malays of the Balai Sebut. Part of the church building was completed and first used on Christmas in 1951. This church building will only really fully completed in 1959.
Having successfully built the rectory and church building, the mission also founded the dormitories. Particularly dormitory for elementary school children Jangkang which opened after the independence of the Republic of Indonesia. In 1962 built a dormitory that also functioned for the parish hall.
Jangkang former rectory house, now abandoned and no longer resident.
Entering the 1970s, the national economic situation more difficult. Food crisis began to be felt everywhere, including in Jangkang. Father Lazarus is known to be very generous, helpful, and skillful treatment of the sick people, getting food supplies from abroad.
In the midst of food crisis that is, to come aid in the amount of more than enough supply in the form of bulgur and milk powder. Residents who have money can buy low prices. However, for those who can not afford sufficient energy exchanged with the work of a priest (Works with people to get wages in the Jangkang language called ngosangk.
The tradition is still alive today. His reward according to the needs of an increasing life. Ngosangk Now day's pay for this type of jobs mild to moderate, such as cutting and grazing, or sowing, ranging from Rp15,000. 00 - Rp20,00. 00 per day. As for the type of heavy work, such as digging or carrying heavy loads even higher, between Rp25,000.00-Rp35,000 per day). Day work got four cans bulgur. Incidentally, Pastor Lazarus with Father David saw no immediate major projects done, but it requires effort and cost a very large.
Kampung Jangkang located right on the river rushing Ence from the valley of Mount Bengkawan. On the left and right of the river are fertile. Mountain land mud mixed with the leaves, eventually forming a very fertile topsoil and pile up more and more along the riverbanks.
There Jangkang Dayak custom, they most like to grow vegetables on the riverbanks. Cassava, sweet potato, transplantation (katuk), pusu (troop) toluk (egg) (sugar cane flower), papaya, mustard greens, spinach and vegetables of all kinds flourish in Ence river.
Unfortunately, every monsoon, the village Jangkang always flooded. As a result, a lot of material loss arising. Livestock lost along with the flow of flood, like the sap of property also soaked drift, not to mention countless hassles during floods. Water entered the house and, after that, takes time and effort to clean it up.
To prevent flooding, the Science River which flows from upstream villages Jangkang made it necessary to reduce the sewage flow of water.
So Lazarus and David were designed to make the canal that cuts across the Ence River transparent to downstream villages. Length of more than three miles. The width of six meters. Special and in the hills, the location of the bathhouse Paulus Kipa is also a catechist, Lada trench depth reaches 20 meters.
So you can imagine, what a wonderful project initiated and David Lazarus is to save Jangkang from flood hazards.
Trench Lada was built by a duo Lazarus-David saving the residents from the flood.
In the upstream, there was a small hill blocking. However, there is no other way but to cut the hill, although there are rock bottom Wadas.
The workers who broke the stones were resident and surrounding Jangkang who are experiencing a food crisis. The priest and the people are equally benefited by the project. Few, long into the hill. Thus, work by work begins.
Finally, about a year, the canal was finished workmanship. Then given a name by taking a combination of the first syllable and David Lazarus name of "Lazarus-David or Lada".
Later, this exemplary project and practiced in other places by the parish priest outside Jangkang.
The early 1970s, the development of very rapid Jangkang Parish. Increased more great race. Recorded in 1975 the population in the Jangkang parish area were 22,280. They were scattered in distant places.
The distance from the farthest point from the parish center to Polo Poda Jangkang along 36 km. Before there is an adequate road to go through the motor, the trip walking distance 13 hours. The number of Catholics in 1975 as many as 6,762.
At the beginning of the Jangkang parish standing, sacramental ministry and the development of people of faith made by visiting priest villages. Visits carried out on foot through a difficult route, sometimes climbing a hill, explore the valley, down the canyon, cross the river, and tread the swamp. Because all traffic routes aimed at achieving several villages, and in each ward usually overnight, then travel Jangkang priests called "turne" (tourney).
Turne time may take two to week. When turne, eat what the priest provided the people and the people stayed at home, too. New in the 1970s, turne to involve villages catechists. In fact, a very important role as a catechist pacer and prepare the people. Then, on the last day, or closing, there was a priest.
Because development is so very fast people, required a non-religious force priests to serve the non-sacramental character. So in 1974 was sent to work in Jangkang Brother Paulus Tikui, known OFM Cap enterprising and skilled work in carpentry. He was also very authoritative, so that the people respected and district officials Jangkang.
Brother Paul helped build a new church and also a new elementary school that moved on the River That, Dampah Robungkang feet. In 1976, a brother came back from Holland, Frans Pallandt. Brtoher Frans, as he is familiarly called, is very close to the people, especially young children. In an instant, he was very fluent Jangkang.
You could say, the era of the 1970s until the 1980s was a golden age of Jangkang parish. Hidup menggereja (Catholic religious life) very dynamic life. Relations priests and brothers with a very close race. Every night held a full rosary.
Every Sunday evening prayers were held Salve. Every Sunday, a church filled with people. In fact, on Church holidays (Christmas, Easter, Pentecost) in the entire parish congregation spilling Jangkang come to celebrate for three days. They stayed in people's homes. In a series of Church's feast day, there is usually a crowd and sports games that involve not only the Catholic population of the village, which also non-Catholic.
In this golden age also the local customs and culture began to be adapted. Akulturisasi (acculturation) process run smoothly, along with a growing number of religion teachers and catechists local son who helped the priest in sacramental ministry and Seara take an active part in pastoral care.
Discussions held more intense. Parish pastoral activity more and more, touching almost all the people of the base. In fact, in the parish center is often held retreats. Preparations for the reception of the sacrament is also very serious.
One of the many adaptation and acculturation is when the Parish Council issued Decree Jangkang on the Customary Law Concerning Religious Life dated August 16, 1977 signed by Father Anton as Chairman of the Parish Council. This decision is the intention of compromise or cross over between the traditional local culture and teachings of the Catholic religion.
In fact, adaptation and inculturation in the parish in advance Jangkang has been enacted. Dated December 25, 1965 for example, Stephanus Ahim as Head Empiyang Parish Indigenous customary law setting prevailing in the area of child Empiyang patterned Parish ecclesial.
This decision letter as confirmation of the opinion of chiefs in a meeting dated December 24, 1965. This decision can be called as adaptation of the teachings of the Catholic Religion which regulates issues regarding Catholic marriage.
Brother Franz was working hard to build Jangkang parish church building. At that time workers were still manual work, so slaving.
A second Jangkang parish church building, built in 1976 by Brother Frans Pallandt and Paulus Tikui. Development during the P. Lazarus became parish priest at that time.
If there is a violation or disagreement on both sides of the marriage, then the solution is not through religious judiciary, but custom is adopting the customs and culture of the Dayak Jangkang. Adopted a customary law on divorce, marriage is not legal, valid marriage, divorce after marriage, adultery, and the basic customs (tahil). Read more about this decision can be studied in Boelaars, op.cit., Pages 84-86.
However, because Anton is the first native priest who worked in Jangkang, and his influence is huge and significant impact on the development and Dayak Katolikisasi Jangkang, he became a milestone for the adaptation and inculturation. As noted Boelaars (1979: 31-32) the following:
The appeal of "Katholicisme 'increased after the arrival of P. Anton Innocent Daem 1975 as the first indigenous priest serving in this Jangkang ground. At that time Protestants also felt pressured slightly and started to 'attack' spread the religion starting from the Mualang, Sanggau, and Sekayam, causing competition with the adherents of the Catholic religion. A healthy competition would benefit because each party seeks to increase knowledge of the teachings of their religion, but on the other hand the unity of the village needs to be cracked so it can give other groups a chance entered.
A letter from Mgr. Herculanus years of Missio-1969 a new policy in fact partly justifies the means of pastoral work that has begun in the Jangkang parish, and partly to give new ideas to the awamisasi (delegations to the layman) local church. "
On Sundays and religious holidays, Catholics in the parish of Jangkang conditioned not work. This is in accordance with the teachings of the Church, in order to specialize in one day a week to worship and glorify God.
Jangkang Catholics today: less maintained their faith. Catholics number Jangkang parish was amazing, 22,000, but the quality of their faith is lower than the 1940-1980s.
And that's how it happened. During Lazarus became Jangkang priest, Parish people obey. Because of the strategic location of the presbytery, Jangkang people who passed down to the fields,hunting, fishing and into the garden, so the suggestion to not work on Sunday was followed.
Unfortunately, when the number of Catholics grew more and more, the maintenance of their soul is less. Everywhere, as in the face of this earth, when there is no longer a challenge, people become lazy and complacent fast. Jangkang Catholics there is now 22,000, the majority of other religions in the Jangkang district.
Where are the seeds of faith planted by the missionaries? Perhaps in heaven, the apostles, who were white, kept praying that Jangkang repent for the second time .....
***
This article is one chapter of my book Dayak Jangkang: from Headhunting to the Catholic Majority. May quote part or in full, provided that identify the source and author's name.
Langganan:
Postingan (Atom)