Sabtu, 20 Februari 2010

DAYAK JANGKANG: Asal Usul dan Sejarahnya sejak Zaman Prasejarah

SEJARAH sosial, meminjam istilah Wilhelm Bauer(1), adalah ilmu yang meneliti gambaran dengan penglihatan yang singkat untuk merumuskan fenomena kehidupan yang berkembang dengan perubahan-perubahan yang terjadi karena hubungan manusia dengan masyarakat, memilih fenomena itu dengan memperhatikan akibat-akibatnya. Bentuk kualitasnya memusatkan pada perubahan-perubahan itu, sesuai dengan waktunya, serta tidak akan terulang lagi (irreproductible).

Demikianlah pada bab ini akan dipaparkan sejarah sosial Dayak Jangkang untuk merumuskan fenomena dan dinamika kehidupan serta tali-temalinya yang membentuk cara berada dan cara hidup Dayak penutur dialek Bokidoh tersebut.

Zaman Prasejarah
Para ahli etnologi dan semiotik menggolongkan Dayak Jangkang ke dalam klasifikasi Austronesia, Melayu Polinesia, atau Land Dayak (Gordon Raymond G, Jr. 2005). Etnis yang disebut sebagai penduduk asli pulau Borneo ini sudah ada sejak zaman Megalitikhum dan Neolithikum, sekitar 1.500 sebelum Masehi.

Tim dari Proyek Riset Penggalian/Penyusunan data Etnografis-Historis dan Arkhais Kalimantan Barat berhasil menemukan benda-benda purbakala, antara lain di Nanga Belang, wilayah Kabupaten Kapuas Hulu dan di Sintang. Diperkirakan benda-benda tersebut berasal dari peninggalan manusia zaman Neolitikum (zaman batu) berupa kapak batu dan pecahan-pecahan periuk tanah. Dari buki-bukti peninggalan peradaban zaman tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah Kalimantan Barat pada zaman itu sudah dihuni manusia.

Bukti lain bahwa wilayah ini sudah dihuni penduduk. Penduduk asli yang memeluk agama ini disebut Senganan atau Sinan; sedangkan yang bergeming dengan kepercayaan nenek moyang tetap disebut Dayak. Kemudian hari, terjadi salah kaprah. Penduduk asli Kalimantan Barat yang memeluk Islam disebut “Melayu”, padahal sesungguhnya mereka bukanlah keturunan Melayu (2).

Berdasarkan perkembangan peradaban, etnis ini dapat dibagi ke dalam beberapa fase sebagai berikut.

Zaman kuno
Pada zaman ini, wilayah Kalbar diketahui dipengaruhi kebudayaan Hindu/Jawa dengan bukti-bukti sebagai berikut.
- Lingga/fallus yang merupakan salah satu lambang agama Hindu Siwa di wilayah Nanga Belang, Kabupaten Kapuas Hulu dan di bekas istana kerajaan Sintang. Bentuknya besar. Karena bentuknya seperti buah kundur maka penduduk setempat menamakannya “batu Kundur”. Di Nanga Sepauk disebut sebagai “Batu Kalbut” (kalbut semacam kopiah). Pada salah satu sisi batu tersebut terdapat relief yang diduga keras merupakan wajah Syiwa sehingga lingga tersebut dinamakan juga “Ekamuka Syiwa Lingga”.
- Patung Syiwa dari perunggu yang terdapat di Kampung Temiang di Hulu Sungai Sepauk, Kabupaten Sintang.
- Sebuah kuburan kuno yang terdapat di dekat Batu Kalbut.
- Bukit atau gundukan tanah dekat batu Kalbut yang diperkirakan tempat peninggalan atau harta Aji Melayu, pendiri kerajaan Sintang.
- Adanya kerajaan Tanjungpura yang lokasinya berada di Kabupaten Ketapang, dekat Sungai Pawan yang merupakan kerajaan tertua yang diketahui bercorak ke-Hinduan sekitar abad XII-XIV.
- Adanya pengaruh Buddhisme terbukti dari peninggalan Buddhis “Batu Pahat” yang berbentuk batu, berukuran 4 x 4 m di Pakit, Kabupaten Sanggau. Sebagaimana diketahui bahwa Pakit secara geografis berbatasan dengan wilayah Kecamatan Jangkang. Diperkirakan peninggalan ini berasal dari abad V berupa tulisan Pallawa Cautha.

Kedatangan dan pengaruh Cina
Masa ini penting diberikan perhatian dalam mata rantai sejarah Kalbar pada umumnya dan Jangkang pada khususnya. Terutama untuk memahami cross culture antara penduduk asli Kalbar (Dayak dan Senganan) dengan pendatang dari Cina yang hari ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan.

Adanya pengaruh Cina terbukti dari benda-benda peninggalan dari Tiongkok, antara lain berupa benda-benda keramik seperti guci, piring, pot-pot bunga, tembikar, dan keramik. Benda-benda ini dapat ditemukan di Gunung Batu Bejamban (Sambas), Pulau Karimata, Gunung Beruang (Kabupaten Pontianak). Hubungan Kalbar dengan Cina sudah terjalin diperkirakan mulai sejak abad VI bersamaan waktunya dengan Ekspedisi Cheng Ho pada periode ekspedisinya antara tahun 1407-1409 .

Kedatangan Agama Islam
Agama Islam masuk Kalimantan Barat bersamaan waktunya dengan masuknya agama tersebut ke wilyah Nusantara yang lain sekitar abad XI. Penyebarannya ke Kalimantan barat melalui Palembang, sebagian melalui Kalimantan Utara, dan ada pula yang datang langsung dari tanah Arab. Syiar agama Islam berhasil masuk keraton-keraton di Kalbar baik dilakukan sambil berdagang maupun secara khusus melalui dakwah-dakwah.

Dapat disebutkan kerajaan-kerajaan di Kalbar yang dipengaruhi perkembangan dan peradabannya oleh agama Islam berikut ini.
- Kerajaan Tanjungpura yang menurut hikayatnya diperintah oleh keturunan dari Junjung Buih dan Prabu Jaya, keturunan langsung dari Majapahit (Lontaan, 1975). Baru sekitar abad XVI kerajaan Tanjungpura mengenal agama Islam yang diperkenalkan oleh Syech Husin pada masa pemerintahan Giri Kesuma.
- Kerajaan Sukadana
- Kerajaan Simpang
- Kerajaan Mempawah
- Kerajaan Sambas juga dipengaruhi Islam. Kerajaan ini didirikan Ratu Sepudak, keturunan Majapahit. Selain terkenal dengan kerajaan Islam dengan raja pertamanya Sultan Muhamad Syaefudin I, kerajaan Sambas juga dikenal sebagai kota Kongsi Cina. Dua kongsi Cina yang bergerak di bidang perdagangan yang senantiasa bersaing yaitu Thai Kong dan Sam Thu Kiam, sehingga memicu perang antarkedua kongsi ini di Sambas.
- Kerajaan Landak
- Keajaan Tayan
- Kerajaan Meliau
- Kerajaan Pontianak
- Kerajaan Kubu
- Kerajaan Sintang
- Kerajaan Sekadau
- Kerajaan Sanggau.

Kerajaan Sanggau sebagai wilayah locus studiorum, juga diwarnai pengaruh Islam yang cukup kuat. Raja dan sultan Sanggau seluruhnya memeluk Islam. Meskipun pada awal mula penduduk asli ini animisme (agama asli), setelah kedatangan dan dipengaruhi Islam maka penduduk asli yang memeluk Islam disebut Melayu.

Namun, khusus di Kalbar, sebutan ini kurang disenangi sebab penduduk asli yang memeluk Islam asal usulnya bukan golongan Melayu, melainkan Senganan atau Sinan. Hal ini dapat diselisik dari istilah setempat yang menyebut Dayak adalah “orang Darat” dan penduduk asli yang memeluk Islam sebagai “Orang Laut”. Artinya, darat dan laut adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sejarah dan hubungan asal usul ini dapat menjelaskan mengapa ketika terjadi Tragedi Sambas yang sebenarnya beraal dari pertikaian Melayu-Madura kemudian melibatkan Dayak. Hal ini karena keduanya berasal dari satu sumber yang sama, penghuni arkais pulau Borneo sejak zaman prasejarah.

Kedatangan dan Pengaruh Bangsa Barat
- Belanda, melalui benedera VOC-nya, mulai berhubungan secara intensif dengan kerajaan-kerajaan di Borneo sejak abad 16. Pada 1604, VOC mendarat di wilayah kerajaan Tanjungpura dengan maksud mengadakan hubungan niaga, ingin membeli intan Kobi, intan pusaka di kerajaan Landak, tidak jauh letaknya dari Jangkang.

Tahun 1822 pasukan VOC dipimpin C. Muller berniat menaklukkan kerajaan Sukadana, namun mendapatkan perlawanan sengit dari raja Muara Mursiddin sehingga VOC berpaling ke wilayah kerjaaan lain. VOC sempat ke Tayan, namun juga mendapatkan perlawanan raja lokal dengan dibantu oleh panglima-panglima perang dari daerah Jangkang yang dikenal gagah berani, terampil, lagi sakti.

- Inggris melalui bendera EIC-nya berhasil mendirikan Kantor Dagang di Matan (kerajan Tanjungpura) sekitar abad XVII. Namun, karena bersaing ketat dengan VOC, Inggri terpaksa menyingkir. Tahun 1812 terjadi perang antara tentara Inggris melawan kerajaan Sambas. Inggris berhasil masuk kota raja. Lalu membumihanguskan sebuah kampung sehingga kemudian dijuluki “Kampung Angus”.

Diperkirakan inilah awal mula Sambas terbentuk menjadi sebuah wilayah yang solid, didukung tiga suku besar yang bermukim di sana yakni Melayu, Dayak, dan Cina. Sambas berasal dari dialek Cina setempat, yakni dari kata sam yang berarti tiga dan bas yang berarti suku. Jadi, ketiga suku di wilayah yang diserang Inggris tadi bersepakat: jika salah satu diserang, yang lain wajib membantu.

- Siar agama Kristen Katolik baru masuk bumi Borneo pada abad 17.
Tahun 1892, Paus Inosensius XII mendirikan Vikariat Apostolik Borneo. Sayang, misi ini tidak berumur panjang, Vikaris apostolik baru dibunuh atas permintaan sultan (Buku Kenangan 75 Tahun Mandirinya Gereja Katolik di Kalimantan Barat (1905-1980): 4). Sejak itu, kegiatan gereja terhambat. Perjalanan orang asing ke pedalaman dilarang.

Ketika negeri Belanda ditaklukkan Perancis pada 1807, kebebasan beragama di seluruh Hindia Belanda mulai tumbuh lagi. Kawasan nusantara disatukan dalam sebuah hukum Gerejani menjadi Prefektur Apostolik dan setelah itu meningkat menjadi Vikariat Apostolik. Sekitar tahun 1851, Borneo Barat dikunjungi seorang pastor bernama Sanders. Usai kunjungan ia berkesimpulan, belum saatnya mendirikan misi di Borneo Barat. Tahun 1884, beberapa pastor Mill Hill dari Borneo Inggris menawarkan diri bekerja di Borneo Barat. Sayang, niat baik ini ditampik oleh pemerintah Hindia Belanda.

Baru pada 1885, muncul imam pertama di Singkawang untuk melayani sekitar 200 umat Tionghoa yang berasal dari Bangka. Imam yang berkunjung itu ialah pastor Staal SJ yang di kemudian hari ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Jakarta.

Tahun 1890 para pastor Jesuit membuka stasi yang kedua di hulu pedalaman Borneo Barat, Sejiram yang kemudian menyerahkan pelayanan daerah misi ini kepada Ordo Kapusin (OFM Cap) pada 1905. Selanjutnya, misi membuka stasi Sanggau pada 1925 (Boelaars, 1975 : 28) dan dari Sanggau siar agama Katolik masuk wilayah Jangkang.


Dayak Jangkang: Inkorporasi dengan Alam Raya
Dayak Jangkang haruslah diponir dalam persenyawaan dengan alam raya. Seperti dicatat Crevello S “Dayak land use systems and indigenous knowledge” dalam Journal of Human Ecology, 2004;16(2):69-73 sebagai berikut,

The Dayak are a forest dwelling people of the interior of Borneo who rely on a subsistence base of agricultural products cultivated in shifting cultivation plots and forest gardens. Their indigenous knowledge systems are heavily integrated into their mosaic of land use practices. In the field of development there is now recognition that indigenous knowledge may be the key to sustainability. Concepts long used by indigenous groups have maintained populations for several hundred years and continue to due so successfully in times of rapid change in the world.

Asal Usul Dayak Jangkang
Dayak Jangkang dari mana dan bagaimana asal usulnya? Banyak versi tentang asal usul Dayak penutur dialek Bokidoh ini, baik berupa cerita dari mulut ke mulut maupun dari legenda. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya sebuah studi ilmiah, cerita dari mulut ke mulut haruslah dapat diverifikasi baik lewat wawancara, studi lapangan, maupun melalui studi pustaka.

Lontaan (Lontaan, 1975: 327) dalam riset lapangan ke wilayah Sekadau terutama ketika menuliskan hasil risetnya di wilayah Sekadau antara lain, mencatat,

“Suku Daya Benawas berdiam di daerah Kecamatan Sekadau Kabupaten Sanggau. …dari kota Sekadau terbentanglah memanjang di seberang sungai Kapuas sebuah kampung. Di seberang sanalah akan ditemui beberapa suku Daya. Di sana ada suku Daya Benawas, Ketungau, Jangkang, dan lain-lainnya.”

Tahun 1970-an, Dayak Jangkang agaknya sudah ditemui di wilayah Sekadau. Tentu saja, sebagai subsuku yang sudah keluar meninggalkan poya tona , sebab pada tahun 1970-an sudah biasa orang Jangkang merantau ke luar wilayah, baik dengan alasan makan gaji maupun alasan menuntut ilmu. Akan tetapi, keliru besar jika serta merta menarik kesimpulan bahwa asal usul Dayak Jangkang merupakan pecahan atau berasal dari Daya Benawas yang merupakan asal usul penduduk wilayah Sekadau dan merupakan terusan atau pecahan rombongan Dara Nante dan Babai Cinga dalam suatu ekspedisi mencari wilayah baru di Sanggau.

Hasil wawancara dengan para pemuka dan tetua adat Jangkang menyebutkan bahwa asal usul Dayak Jangkang merupakan pecahan dari rombongan Dara Nante dan Babai Cinga. Dalam perjalanan mencari suaminya, Babai Cinga, rombongan Dara Nante mengalami hambatan di muara Sungai Sekayam. Setelah beberapa hari coba mengatasi kesulitan, mereka pun akhirnya dapat meneruskan perjalanan kembali menyusuri Sungai Sekayam.

Setelah sekian lama berlayar, ketika menemui anak Sungai Entabai , fisarat langsung ingin menyusuri anak sungai tersebut. Semakin ke hulu, rombongan lalu berhenti di hulu Sungai Entabai, di sebuah kampung bernama Tampun Juah. Di Tampun Juah ini Dara Nante bertemu suaminya, Babai Cinga. Setelah beberapa hari bertemu, rombongan Dara Nante kembali ke Sanggau, menuju kampung Labai meninggalkan Babai Cinga. Perpisahan kedua insan suami-istri ini barangkali karena panggilan tugas masing-masing. Tampun Juah semakin hari semakin berkembang menjadi pemukiman yang ramai. Setelah ramai, seperti biasa, timbul persoalan-persoalan sosial ekonomi yang rumit dan perlu pemecahan. Salah satu di antaranya ialah masalah pangan.

Syahdan, suatu ketika penduduk Tampun Juah mengalami malabencana yang menimpa seluruh warga. Barangkali kisah ini tidak seluruhnya harus dipercaya dan ditelan mentah-mentah begitu saja, namun haruslah ditafsirkan dan dipahami sebagai bahasa simbolik. Yang masih harus ditelisik menggunakan simbol-simbol bahasa dan pemaknaan yang dalam khasanah ilmiah dikenal dengan semiotika.

Pecahan dari Tampun Juah
Suku Engkarong berasal dari Tampun Juah, poya tona Babai Cinga dan Dara Nante . Waktu itu, terjadi pecah belah Tampun Juah. Keluarga-keluarga keluarga diserang “musuh gelap”, setiap kali menanak nasi, langsung bau busuk, tidak dapat dimakan.
Namun, satu keluarga punya akal. Setiap selesai menanak nasi, diambillah abu, lalu ditaburkan di atas nasi. Nama keluarga yang arif-bijaksana ini adalah Rege Mang Mincar yang setiap kali hendak makan nasi, lapisan bagian atasnya yang ditaburi abu dibuang, lalu yang dimakan lapisan bawahnya yang tidak kena abu. Sementara orang lain yang yang tidak melakukan hal sama, nasinya tidak dapat dimakan.

Karena itu, mereka lalu berpikir dan akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Tampun Juah. Semuanya pergi meninggalkan Tampun Juah, termasuk suku Ribunt dan suku Kopa dan Mang Mincar juga turut berpindah, meski keluarga itu berhasil mengatasi persoalan nasi yang bau itu.

Maka terjadilah perpindahan massal dari Tampun Juah ke Tampun Entabai. Sekian lama di Tampun Entabai, lalu ke pindah lagi ke Polimpah. Dari Polimpah nomad lagi ke Ulu Sungai Moncangk (Mengkiang), yakni Sotantangk. Lama bermukim di tempat ini, penduduk lalu kembali ke hilir Sungai Mengkiang, ke Nanga Solabau. Di Nanga Solabau keluarga ini menetap cukup lama. Lalu keluarga Mincar ke hilir lagi Sungai Moncangk ke Botuh Barah (hingga kini wilayah Botuh Barah ini adalah batas suku Engkarong).

Kemudian, ke Nanga Sungai Sobut bertemu dengan seorang Melayu bernama Peh. Erat hubungan keluarga besar Mincar ini dengan Peh. Ke mana pun Peh bepergian menggunakan perahu dengan suar bambu, berdagang dari kampung ke kampung, mulai dari Muara Mengkiang hingga ke hulu. Kadangkala Peh bepergian bersuar mengajak serta adiknya bernama Dio.

Peh dan Dio bertukar barang dengan orang Dayak, seperti garam, tembakau, baju, kain, besi, bai, periuk, sendok, mangkok, pinggan yang dibarter dengan beras. Waktu itu, penduduk pedalaman belum mengenal mata uang karena jauh dari kota raja. Lalu sampailah praktik berter itu ke Hulu Sungai Mengkiang, ke suatu tempat yang nyaman untuk berlabuh yang penghuninya cukup banyak. Di situ terdapat pangkalan tempat orang biasa bertukar barang dagangan, sehingga disebut dengan “balai”. Dari sinilah nantinya muncul nama Balai Sebut karena balai itu terdapat anak sungai bernama Sebut atau Sungi Sobut.

Hubungan Dayak-Melayu yang sudah lama terjalin ini kemudian terpatri dalam sebutan. Sebutan halus jika orang Dayak ke tempat orang Melayu, orang Melayu akan menyapa, “Odoh mah monik dompu” (datang rupanya kamu, dompu), maka akan dijawab, “Odoh moh somang” (Ya, somang). Jadi, orang Dayak tidak menganggap Melayu sebagai orang lain, sebab asal usul nenek moyang mereka satu dan sama tetapi dengan sebutan “Sinan” atau “Senganan”. Jadi, Dayak yang memeluk Islam disebut Senganan, bukan Melayu.

Kemudian, rombongan Rege Mang Mincar dan, sudah tentu beserta dengan anak buahnya berpindah ke Sorontamp, polaman yang paling besar. Lalu dari sini ada yang pecah menjadi orang Tampik, yang mudik jadi Sekantut dan Engkarong, dari Engkarong pecah ke Semombat. Dari Sorontamp itu juga ada ke Ponyo atau Sinyok (Landau sekarang). Setelah suku Engkarong mendiami wilayah Engkarong, terjailah peristiwa petinggi Engkarong dan Petinggi Ribun waktu itu. Di pusat Engkarong ada Sungi Engkarong dan ada pula peristiwa dengan suku Ribunt.

Asal Mula Jangkang
Menurut penuturan, asal mula Jangkang dari sebuah kampung yang lobor bernama Ponongu. Letaknya di Tabao, sebelah kiri jika mudik menyusuri Sungai Moncangk. Di Ponongu terdapat dua batang kampung. Biasanya, ada kesepakatan, jika habis panen, maka satu saja pesta gawai. Tapi entah kenapa, pada tahun itu (tidak adakesepakatan) di antara dua kampung itu meski sama-sama mempunyai kepala kampung, keduannya pada akhirnya sepakat untuk tidak bersepakat mengadakan gawai.

Pada zaman dahulu, dua kampung dipisahkan oleh jalan. Karena itu, dikenal juga istilah kampung kiri dan kampung kanan. Pada masa ketika itu, kampung kanan jalan duluan gawai, sedangkan yang kiri belum.

Pada waktu gawai itu ada seorang anak, bersama neneknya saja di rumah. Mereka warga kampung kiri. Pada waktu itu, ibu ayahnya tidak di rumah, masih menuai padi (ngetam) di ladang. Nama anak itu Pawan. Kampung Ponongu ini, setelah lobor, menjadi Dorik (Gunung) Sobomant. Lalu pindah dari sini lalu ke Dosant, kampung ini semakin berkembang menjadi besar maka banyak orang mencari pemukiman baru. Ada yang menyeberang ke jauh menjadi orang Ensanong, ada juga yang lebih jauh menjadi orang Jangkang. Yang milir dari Dosant ada yang ke Kamongk, dekat Sanggau, menjadi orang Lintang dan Jonti (suku Pompangk). Lalu yang paling menonjol dari Dayak Pompangk adalah wanita molek bernama Sinot yang menjadi permaisuri Raja Sanggau. Dengan demikian, bubarnya kampung Ponongu kurang lebih belakangan sedikit dari zaman Dara Nante mencari Babai Cinga.

Pawan yang dari kampung kiri Ponongu lalu merantau ke wilayah Sekadau, ke daerah Mahap. Dari nama anak muda yang disuruh neneknya minta daging ke orang yang sedang gawai itulah diberi nama Sungai Pawan yang melintas hingga Kabupaten Ketapang . Salah satu keturunan Pawan yang menjadi permaisuri Raja Matan.

Sebagian warga Ponongu yang tinggal di daerah Terati menjadi suku Ensanong. Ada yang ke hulu lagi langsung bertemu dengan Sungai Ence lebih ke udik menjadi cikal bakal orang Jangkang. Tidak banyak orang Jangkang waktu itu, hanya tiga lawangk (tiga keluarga). Mereka mula-mula tidak menetap di wilayah kampung Jangkang sekarang ini, namun di Botuh Logunt. Kira-kira satu kilometer di hulu kampung Jangkang sekarang, yang kini menjadi aeral persawahan keluarga Loncai (Mang Tini). Dari sini berkembang, baru pecah lagi. Daripada ke hilir, lebih baik ke hulu, ke kaki bukit Bengkawan dan Boruh bermaka Kobangk. Pemuka kampung ini adalah Macan Luar (yang kemudian dikenal dengan sebutan Kek Gila).

Namun, suatu hari, warga kampung Botuh Logunt kena sampar . Lalu pindah beberapa keluarga, sekitar 5 lawang, ke Songongk (sekitar satu kilometer dari Jangkang sekarang, hilir Sungai Ence). Akibat sampar ini, warga Kobang dan Songong sering bertengkar dan saling mengejek. Manakala orang Kobang ke Balai Sebut melewati Songongk, mereka lewat mendengar bunyi alu menumbuk padi sambil mengejek, “Nto odoh paji kidoh, nto odoh paji kidoh” (sekarang ada, nanti tidak ada lagi untuk dimakan).

Di Songongk, ada juga kejadian serupa. Lalu mudik lagi ke Polumpor (kayu mentah untuk membangun rumah). Akhirnya, membangun rumah cukup permanen menjadi Ompuk Jongkang, karena letaknya dekat Air Jangkang. Sejak tahun 1940-an, hingga kini, warga Ompuk Jangkang ini tidak pernah lebih dan tidak pernah kurang dari 8 lawang saja.

Orang Jangkang ada yang berkeluarga, pindah ke Tunongk (Parus), lalu dari Parus melaman lagi ke jauh. Hingga bernama Jangkang Punt (Jangkang Asli) dan Jangkang Tojok. Dengan demikian, Engkolai, Tomok, Rosak, sampai Toriangk termasuk Jangkang Tojok.

Kemudian, sekitar mulai dari tahun 1894 sesudah Tumbang Anoi, ada ketemennggungan di Jangkang, yakni pemerintah lokal. Temenggung Engkarong, yang mencuat sebagai temenggung koordionator. Lalu ada ketemenggungan Kopa (di Empiyang), Ensanong (di Terati), Jangkang Tojok (Tumok), Ndoya (Linga), Empurangk (Poter), Soguna (Tija) dari Mukok sampai Kedukul. Tujuh ketemenggungan ini bertepatan dengan pengangkatan dewan Borneo.

Akan halnya nama Jangkang Benua, agaknya berasal dari nama kayu dan nama anak sungai. Kayu meranti dalam bahasa Jangkang disebut tokamp. Kayu ini bermacam-macam jenisnya, ada tokamp bukit, tokamp botuh, tokamp bintang, dan tokamp jangkang. Kayu ini tumbuh subur di kiri dan kanan Sungai Ence, muara sungai Jangkang dan salaah satu jenis yang paling menonjol adalah tokamp jangkang. Maka sungai itu disebut Sungai Jangkang dan kampungnya disebut kampung Jangkang, sedangkan penghuninya disebut suku Jangkang (Djo).


Catatan:
(1) Michael Grant dalam Greek and Roman Historians(Routledge, 1995: 94) sambil mengutip pendapat sejararawan tersebut mencatat bahwa sejarah sosial tidak berdiri sendiri. Ketika sejarah belum ditulis, sulit untuk membedakan antara fakta dan bukan-fakta. Ketika sudah ditulis, sejarah itu pun tidak terlepas dari si penulis dan penafsirannya serta tanda-tanda yang dipakainya untuk berkomunikasi dengan pembaca. Lebih lanjut Grant mencatat, “Wilhelm Bauer explained ‘that the cult of objectivity presents serious drawbacks, since its object can never be achieved’. He considers that the historian should avoid with equal care tendentiousness and colourless impartiality.”

(2) Sebagai contoh, kini banyak pemuka atau tokoh masyarakat Dayak yang memeluk Islam tetap mengaku sebagai Dayak, yakni Dayak-muslim. Anehnya, Dayak yang meninggalkan agama asli nenek moyang dan memeluk Katolik dan Kristen tetap disebut Dayak.

***
Tulisan ini dilarang dikutip dan dipergunakan untuk kepentingan komersial, kecuali untuk studi ilmiah dan pengayaan khasanah studi-studi cross culture dan kebudayaan pada umumnya, dengan menyebutkan sumber dan nama penulisnya.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya ingin megetahui adakah bahasa dialek Jangkang sama dengan dialek Bidayuh. Atau adakah persamaan perkataan antara dialek bokidoh dengan dialek bidayuh jagoi

Anonim mengatakan...

Saya ingin megetahui adakah bahasa dialek Jangkang sama dengan dialek Bidayuh. Atau adakah persamaan perkataan antara dialek bokidoh dengan dialek bidayuh jagoi

R. Masri Sareb Putra mengatakan...

saya sedang menyusun bukunya Struktur Bahasa Dayak Jangkang. Banyak kesamaannya, Bidayuh itu sebutan orang Barat "Bi doih" karena mereka tidak bisa pas mengucapkannya.