Bagaimana daya saing Indonesia di kancah global? Laporan World Economic Forum menunjukkan bahwa daya saing rata-rata manusia Indonesia masih rendah. Penyebabnya ialah masih segelintir manusia Indonesia yang menggunakan akal budinya dalam bekerja, sehingga di banyak perusahaan dan institusi proses kerja dan hasil kerja belumlah sangkil dan mangkus.
Kecerdasan dan daya saing sangat berkorelasi, sebagaimana juga kemiskinan berkorelasi dengan masyarakat literasi (melek huruf). Bukti-bukti menunjukkan bahwa di mana suatu negara tinggi buta hurufnya, yang mengindikasikan masyarakat itu belum cerdas, maka daya saingnya juga rendah atau angka kemiskinan juga tinggi di negara tersebut.
Di pihak lain, negara maju dan negara indutri-baru sangat tinggi daya saingnya dibanding negara lain. Mengapa bisa demikian? Tidak lain karena negara maju dan negara indutri-baru tingkat buta hurufnya rendah atau masyarakatnya terpelajar (cerdas). Orang yang bekerja dengan mengerahkan seluruh kemampuan otak, hasilnya akan maksimal daripada orang yang bekerja secara mekanis, kurang menggunakan akal budi, tidak kreatif, dan tidak inovatif.
Perbedaan orang cerdas dan orang yang kurang cerdas terletak pada cara dan hasilnya. Orang yang cerdas tahu bagaimana cara bekerja dan bagaimana cara mencapai tujuan. Dengan demikian, orang cerdas bekerja secara efektif dan efisien. Selain menghasilkan lebih banyak dan lebih cepat daripada orang lain, orang yang bekerja dengan cerdas juga menggunakan waktu untuk mencapai hasil jauh lebih sedikit. Waktu selebihnya dapat digunakan untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu yang lain lagi. Dengan kata lain, orang cerdas not just work hard, work smart (bukan hanya bekerja keras, tetapi juga bekerja dengan cerdas).
Masalahnya, bagaimana menghasilkan manusia yang cerdas? Sebagaimana yang didefinisikan ulang oleh Gardner, kecerdasan ialah kemampuan seseorang untuk mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban (the ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture”.
Tidak dapat tidak, cara menghasilkan manusia cerdas ialah melalui pendidikan dan latihan. Selain melalui pendidikan formal, mencerdaskan manusia juga dapat dilakukan melalui pelatihan dan pergaulan sehari-hari dalam masyarakat.
Sebagaimana dikatakan Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara bahwa “Sekolah adalah setiap tempat dan guru adalah semua orang” maka untuk mendidik manusia cerdas diperlukan tempat yang kondusif dan masyarakat yang kondusif pula.
Masalahnya, bagaimana menciptakan tempat yang kondusif dan masyarakat yang kondusif seperti di negara maju dan negara industri-baru? Dapat saja menempuh cara lain, namun upaya pencerdasan masyarakat dapat dimulai dari segelintir orang yang memiliki komitmen dan kepedulian yang tinggi pada kemajuan dan peradaban masyarakat. Orang-orang cerdas selalu ada dalam delapan pranata sosial berikut ini, yakni pranata sosial:
- yang bertujuan memenuhi kehidupan kekerabatan (domestic institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencarian hidup, memproduksi, menimbun, dan mendistribusi harta benda (economic institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi manusia yang berguna (educational institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam sekelilingnya (scientific institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya dan untuk rekreasi (aesthetic and recreational institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib (religious institutions),
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur hidup berkelompok dan bernegara (political institutions), dan
- yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengurus kebutuhan jasmaniah (somatic institutions).
Orang-orang cerdas dalam kedelapan pranata sosial tersebut dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Mereka seperti pemimpin dalam formasi angsa terbang (flying geese ) yang membawa maju masyarakatnya mencapai tujuan. Dengan demikian, manusia cerdas harus dididik secara terencana dan holistik dengan melibatkan dan menggerakkan orang-orang cerdas yang ada dalam setiap pranata sosial.
Manakala manusia-manusia cerdas di setiap pranata sosial sudah ditemukan, selanjutnya perlu dilakukan gerakan sosial secara terintegralistik yang mengarah ke peningkatan daya saing nasional. Dalam konteks tulisan ini, daya saing yang dimaksudkan ialah kemampuan suatu negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya.
Mengacu pada Global Competitiveness Report, laporan tahunan World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia), terdapat sembilan indikator daya saing yang mempengaruhi tingkat kemampuan suatu negara menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya, yakni:
1) institusi publik dan swasta,
2) infrastruktur,
3) makroekonomi,
4) kesehatan dan pendidikan dasar,
5) pendidikan tinggi dan pelatihan,
6) efisiensi pasar,
7) kesiapan teknologi,
8) business sophistication, dan
9) inovasi.
Di mana posisi Indonesia dalam konteks persaingan global saat ini? Data Global Competitiveness Report menunjukkan data yang berikut ini:
- Tahun 2006-2007, daya saing Indonesia di kancah global berada pada peringkat ke-50.
- Tahun 2007-2008, daya saing Indonesia di kancah global berada pada peringkat ke-54.
- Tahun 2008-2009, daya saing Indonesia di kancah global berada pada peringkat ke-55.
Yang mengejutkan dari data itu, Indonesia masih kalah peringkat dibandingkan dengan sesama negara Asean bahkan dengan India. Artinya, daya saing kita masih lemah. Lalu semakin ke depan, peringkat daya saing Indonesia di kancah global semakin melorot.
Apa sebabnya? Penyebabnya adalah Indonesia negara yang luas dengan penduduk yang besar sehingga cara mengelola dan cara mencerdaskan masyarakatnya tidak mudah dan perlu waktu. Secara kuantitas angka buta huruf memang turun, namun pesaing kita semakin cepat memacu pertumbuhan dan daya saingnya. Akibatnya, peringkat daya saing global kita makin merosot. Daya saing global kita tumbuh secara deret hitung, sedangkan daya saing pesaing tumbuh secara deret ukur. Karena itu, dibutuhkan gerakan nasional untuk meningkatkan daya saing.
Sembilan indikator yang dijadikan basis bagi pemeringkatan daya saing di kancah global yang dirilis Global Competitiveness Report juga mengindikasikan bahwa negara maju dan negara industri- baru yang masyarakatnya mayoritas cerdas, peringkat daya saing globalnya juga tinggi.
Secara intelegensia, banyak penduduk Indonesia cerdas. Lihat saja prestasi akademik mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri. Bukan saja mereka sanggup bersaing di kancah internasional, tetapi juga banyak di antaranya mengungguli rekan-rekan mahasiswa. Rata-rata penduduk Indonesia adalah pekerja keras. Namun, baru segelintir yang bekerja dengan cerdas dan produktif. Not just work hard, work smart!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar