Suatu ketika, sejumlah nelayan sedang menangkap ikan. Bukan di kolam susu, namun di laut sungguhan. Mereka menangkap ikan dengan perahu. Semalaman mereka menebarkan kail dan jala. Namun, hasil tangkapan mereka tidak seperti yang diinginkan.
Kesal karena tidak berhasil, para nelayan pun menambatkan perahu di tepi pantai. Mereka uring-uringan. Rasa penat dan putus asa tergurat pada wajah-wajah mereka. Ketika tiba-tiba datang menghampiri seorang bijak dan bertanya,
“Hai, para nelayan. Mengapa kamu berhenti menangkap ikan?”
Para nelayan serta merta bangun dari perahu yang sedang ditambatkan. Mereka kaget. Tidak menyangka jika sepagi itu ada orang yang memerhatikan. Setelah mengucek-ucek mata, lalu dengan gagap mereka menjawab, “Kami kesal sekali. Semalaman menangkap ikan, namun sia-sia.”
“Mengapa kamu semua putus asa? Bangkitlah! Bertolaklah ke air yang lebih dalam lagi. Tebarkanlah jalamu, niscaya kamu akan mendapatkan ikan besar-besar.”
Penuh kepercayaan, para nelayan mengikuti kata-kata orang bijak yang tak dikenal itu. Perahu mereka pun bertolak ke air yang lebih dalam lagi. Pelayaran ke sana memang penuh tantangan. Berbeda dengan angin pantai yang kadang berembus semilir dan memanjakan, ombak di laut besar bergulung-gulung. Jika tidak terampil mengendalikan perahu, bisa-bisa tenggelam.
Tiba di kedalaman laut, para nelayan pun menuruti apa yang disarankan. Mereka menebar jala. Setelah membiarkannya cukup lama, mereka menghela jala itu ke perahu. Astaga! Jala mereka penuh dengan ikan besar-besar, sehingga mereka nyaris tidak kuat lagi untuk menariknya. Saking besar dan banyaknya ikan, jala mereka hampir koyak.
Kakap vs teri
Bagi kalangan tertentu, tamsil “duc in altum” tentu bukan sesuatu yang asing lagi. Dalam bahasa Inggris, istilah itu menjadi “put out into deep water”. Dalam Indonesia, dapat diterjemahkan menjadi “bertolaklah ke air yang lebih dalam lagi”.
Tamsil itu lahir tidak terlepas dari konteks. Penangkap ikan atau nelayan mafhum bahwa jika mengail atau menjala di tepi laut, maka yang didapat adalah ikan teri saja. Kecil, banyak tulangnya. Dilihat dari tangkapan, jumlahnya memang banyak, tapi merepotkan. Pasti ikan kecil-kecil itu kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan ikan besar.
Ikan besar, terutama ikan kakap, habitatnya tidak di tepi laut yang dangkal. Namun, hidup di laut yang dalam. Karena itu, kita mengenal istilah “kakap” untuk menggambarkan sesuatu atau hal yang besar, sedangkan untuk hal atau sesuatu yang kecil kita menyebutnya “teri”. Misalnya, untuk melukiskan sesuatu yang kecil kita menyebutnya “kelas teri”. Sebaliknya, untuk melukiskan ihwal yang besar kita menyebutnya “kelas kakap”.
Dalam konteks teri-kakap itulah tamsil “duc in altum” muncul. Berpikir dan bertindak kecil, risikonya memang kecil juga. Namun, hasilnya tangkapan adalah ikan teri yang kecil-kecil. Tidak mungkin mendapatkan kakap di tepi pantai.
Tantangannya memang jauh lebih kecil, di tepi pantai angin cenderung lebih bersahabat, bahkan cenderung semilir dan meninabobokkan. Karena itu, setelah semalaman menebar jala, para nelayan kelelahan, lalu tertidur pulas di perahu. Mereka dininabobokkan dalam buaian semilir angin pantai. Lupa bahwa masih ada kewajiban yang mesti ditunaikan: membawa pulang hasil tangkapan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.
Sebaliknya, bertolak ke air yang dalam mengandung risiko yang juga jauh lebih besar. Haluan perahu lebih sulit dikendalikan ketika badai menerpa. Bahaya perahu disapu ombak yang ganas sewaktu-waktu siap mengancam. Ketika tantangan dan risiko ini di satu pihak harus diatasi, sementara di pihak yang lain harus berhasil menangkap ikan, maka keberhasilan akan ditentukan setidaknya oleh tiga hal.
Pertama, keterampilan berlayar dan mengendalikan perahu. Jika tidak, kesalahan sedikit pun di laut lepas akan fatal dan tangkapan akan sia-sia belaka. Alih-alih mendapat kakap, bisa-bisa perahu tenggelam, dan para nelayan terseret oleh arus air laut yang ganas.
Kedua, penjala ikan yang cakap menebar jala dalam kondisi perahu oleng dan laut yang dalam. Diharapkan penjala lentur, dapat berpijak di lantasan yang goyah, namun lemparan jalanya harus bisa presisi tepat ke arah permukaan air yang ada ikannya. Si pelempar jala harus punya kemampuan adaptatif dan mempunyai intuisi dan visi di mana kira-kira jala harus ditebar.
Ketiga, adanya pembagian tugas yang jelas antara tukang perahu dan penjala, bahkan sejak rencana digulirkan. Semua harus terampil di bidangnya masing-masing.
Berpikir besar = hasilnya besar
Kita kerap menjumpai ada orang yang sulit dan orang yang kurang berani bertolak ke air yang lebih dalam. Sebagian orang mungkin merasa sudah cukup apabila dapat menangkap ikan teri. Lalu puas dengan hasil tangkapan itu. Sebagian lagi sudah berusaha, namun karena kurang berani bertolak ke air yang lebih dalam karena takut menghadapi risikonya, tidak mendapatkan apa-apa. Lalu tidur dalam buaian angin pantai dalam kehampaan.
Untunglah, ada orang arif bijaksana yang mencelikkan mata. Potensi mereka untuk meraih capaian sebenarnya ada. Di laut yang dalam, yang penuh ombak dan badai itu, banyak ikan kakapnya. Dan mereka menuruti apa kata sang bijak.
Apa hikmat yang bisa dipetik dari tamsil teri-kakap? Berpikir dan mengerahkan tenaga sekecil mungkin, hasilnya juga akan kecil. Risiko diterpa angin topan memang tidak ada. Seseorang bahkan cenderung dibuai oleh angin pantai. Tertidur. Lalu, lupa akan tugas dan tanggung jawabnya. Sebaliknya, jika bertolak ke air yang lebih dalam, akan menghadapi tantangan dan risiko yang jauh lebih besar. Namun, jika berhasil mengatasinya, akan mendapatkan ikan yang besar pula.
Jauhari windows
Dalam kehidupan sehari-hari, kita memerlukan bantuan orang lain untuk mencelikkan mata hati kita. Kita kadang tidak melihat sesuatu yang ada dalam diri kita, entah itu potensi, entah itu kekurangan.
Celah itu sama sekali tertutup dan tidak tampak buat kita, namun orang lain melihatnya. Ada daun jendela kita yang terbuka lebar bagi orang lain di mana lewat jendela itu orang dapat melihat diri kita. Namanya “Jauhari Windows”.
Orang bijak yang menyuruh nelayan bertolak ke air yang dalam, melihat dari Jendela Jauhari. Bahwa di sana ada potensi luar biasa, yang sama sekali tidak tampak sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar