Minggu, 21 November 2010

Mit Sein

Heidegger adalah salah satu tokoh filsafat fenomenologi. Sebagaimana kita mafhum, fenomenologi secara etimologis dari kata Yunani phenomenon yang berarti: gejala atau sesuatu yang tampak. Asumsi dasar: segala sesuatu selalu menampakkan diri begitu saja.

Ilmu sosial tidak menyentuh universalisme, seperti halnya ilmu alam, tapi singularisme. Misalnya, kita bahas masyarakat Batak, Flores, Dayak, tidak bisa sama dengan membicarakan masyarakat lainnya, sebab ada aspek singularisnya.

Ciri khas realitas sosial: changes (perubahan). Oleh karena itu, dalam ilmu sosial, kita mengenal apa yang dinamakan dengan “unpredicted consequences”.

Memahami unpredicted consequences ini penting sebab ada masalah, apakah peneliti dalam ilmu sosial bebas terhadap masyarakat yang diteliti? Tidak! Ada hukum bahwa mereka semua tertnaman dalam realitas sosial. Dalam teori fenomenologi, teori ini yang hendak dijelaskan. Sebab dalam ilmu sosial peneliti terlibat, menyatu dengan objek yang ditelitinya (masyarakat), ia embeded dengan masyarakat.

Yang penting dari Heidegger: konsep being. Bahwa being tidak bisa dipahami. Ini adalah persoalan sejarah bahwa kita tidak pernah mengerti mengenai being sebab being adalah konsep yang universal.

Jika kita menggunakan metode melihat sebuah sisi pada realitas maka kita tidak pernah benar-benar melihat seluruh realitas. Oleh karena itu, ada begitu banyak ilmu untuk menjelaskan realitas. Dan being bisa dijelaskan dengan metode fenomenologi  metode penelitian, bukan hanya pemikiran filsafat saja. Jadi, inti fenomenologi adalah berangkat dari motto supaya orang back to the things their selves, yakni melihat benda sebagai apa adanya.

Ada dua prinsip utama dalam fenomenologi:
1) Subjektivisme ilmiah (Thomas Kuhn) yakni perspektif untuk mengerti realitas.
2) Objektivisme ilmiah, ini yang dipakai oleh metode ilmu-ilmu alam. Setiap pernyataan ilmiah harus disertai dengan pembuktian, tidak hanya pendapat seperti yang ada dalam pikiran subjektivisme.

Di sini fenomenologi tampil, teori ini mengatakan bahwa tidak perlu bukti, tetapi realitas harus menampakkan diri.

Jadi, back to data, apa yang saya alami tentang data. Inilah fenomenologi yang sesungguhnya di mana kita sebagai subjek bertemu dan menyatu (embeded) dengan data yang merupakan fenomena realitas.

Pengalaman, dengan demikian, mengandung muatan interpretasi. Tugas orang yang menggunakan fenomenologi: melihat hakikat di dalam realitas itu. Setiap fenomena ada yang tersembunyi, terselubung, karena itu haruslah ada intensionalitas untuk coba memahaminya. Memahami eidos (hakikat) dari realitas adalah inti dari fenomenologi.

Temuan Heidegger yang paling penting: fenomenologi punya dimensi waktu: historis tentang realitas. Kita pernah bisa memahami makna jika tidak membicarakan juga aspek waktu yang menyertainya. Waktu sangat menentukan. Makin panjang waktu, akan makin kaya. Ini keunggulan Heidegger.

Apa yang dipikirkan Heidegger tentang das sein (being)?
1) Setiap das sein selalu punya karakter waktu. Heidegger menolak sosiologis yang terlalu struktural. Ia melihat bahwa inti dari waktu adalah masa depan. Manusia adalah makhluk yang menuju ke kematian. Seakan-akan kematian adalah kesempurnaan. (Kebalikan dari Hannah Arendt bahwa yang penting adalah masa lalu).
2) Bahwa das sein itu ada bersama yang lain, ada dalam sebuah dunia, ia tidak pernah otonom, selalu ada dalam konteks kebersamaan sehingga ada bersama mit sein: ada dalam konteks dunia maupun dalam konteks masyarakat.

Apa konsekuensinya?

Pengalaman kita tidak pernah dimiliki sendiri (personal), tetapi selalu memiliki horizon. Misalnya, saya tidak merasa puas dengan kinerja Presiden SBY, pengalaman ini punya horizon, punya pengalaman kolektif.

Jadi, apa yang saya alami, dialami pula oleh orang lain inilah mit sein, bahwa pengalaman saya ada dalam konteks masyarakat dan konteks dunia, pengalaman saya ada bersama yang lain.

Heidegger mengajarkan: tidak ada pengalaman yang soliter.

Das sein meski punya struktur waktu, dimensi komunal, ada yang menarik di sana ialah bahwa das senin itu eksistensial. Dalam arti bahwa ada suasana tertentu yang khas, yang hanya dialami oleh orang tertentu. Kecemasan misalnya, adalah pengalaman eksistensial.

Lalu, apa sumbangan fenomenologi bagi ilmu2 sosial?

Pertama, ilmu sosial pada hakikatnya adalah analisis das sein. Bagi fenomenologi, dalam ilmu2 sosial yang penting bukan lagi terletak pada penjelasannya, explanation, tetapi pada orientasinya (understanding) masyarakat. Dalam konteks ilmu komunikasi, yang penting bagi kita bukan terletak pada bagaimana menjelaskan suatu fenomena, tetapi pada makna.

Kedua, fenomenologi membuat kita mengerti dengan baik bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh korespondensi dengan fakta, tetapi dengan ilmu sosial. Kebenaran tidak lebih dari sebuah usaha untuk membuka selubung (aletheia), bukan menjelaskan.

Mit sein ini yang barangkali perlu kita cermati, terutama jika kita bicara soal keindonesiaan. Indonesia ini milik kita semua. Kita ada dalam konteks. Ada bersama ada ada yang lain...

Tidak ada komentar: