Jumat, 26 November 2010

Effective Corporate Communication dan Budaya Organisasi

Agenda komunikasi corporate communication (corcom) sangat bergantung pada bagaimana suatu organisasi menempatkan posisi dan fungsi corcom. Kita akan melihat bagaimana posisi dan fungsi corcom dalam konfigurasi sebuah organisasi.

Corporate communication dalam organisasi
Apa agenda komunikasi corcom yang pokok? Agenda corcom yang pokok ialah: membangun reputasi (to build reputation).

Hal ini dengan gamblang ditegaskan oleh para pakar bahwa “Corporate communication helps an organization to create distinctive and appealing images with its stakeholder groups, build a strong corporate brand, and develop reputation capital (Dowling 1994; van Riel, 1995; Fombrun, 1996). To achieve those ends, all forms of communication must be orchestrated into a coherent whole (van Riel, 1992; Bronn, 2002), and success criteria developed that enable measuring the effects of the organization's communication on its reputation and value (Fombrun and van Riel, 2004).

Magdalena Wenas (2010) menggambarkan secara lebih terperinci fungsi dan tugas corcom dalam organisasi. Bahwa corcom sangat berbeda dengan sekadar public relations, bukan pula bagian dari tugas dan fungsi marketing. Lebih dari itu, corcom sangat strategis.

Lapangan tugas dan fungsi corcom berada dalam sebuah irisan di antara fungsi dan tugas marketing dan public relations, dengan main job sebagai berikut.
1) Image assessment (asesmen pencitraan)
2) Customer satisfaction (kepuasan pelanggan)
3) Corporate reputation (reputasi korporat)
4) Media strategy (strategi media)
5) Corporate advertising (iklan korporat)
6) Employee attitude (perilaku karyawan)


External communication
Selain berfungsi dan berperan membangun serta menjalin komunikasi ke dalam organisasi, corcom juga melaksanakan fungsi dan tugas yang sama ke luar. Corcom membangun dan memelihara hubungan positif dengan media (media relations) seperti dengan televisi, cetak, web, dan sebagainya. Hal ini mencakup, namun tidak terbatas pada, penyusunan dan penyebaran siaran pers, menyelenggarakan konferensi pers dan pertemuan dengan para profesional media dan mengorganisir aktivitas untuk media sebagai kelompok.

Kini fungsi dan tugas public relations sudah semakin kompleks, seiring dengan semakin kompleksnya persoalan dan yang dihadapi suatu organisasi. Pada era sebelumnya, suatu organisasi tidak terlampau dituntut untuk memperhatikan aspek-aspek di luar organisasi itu sendiri.

Zaman sekarang berbeda. Kita kini hidup dalam sebuah big village bernama globalisasi sehingga suatu organisasi mau tidak mau dituntut mempunyai kemampuan adaptif untuk merespons setiap dinamika yang terjadi di luar organisasi dan terutama di lingkungan organisasi tersebut.

Salah satu ciri kemampuan adaptif suatu organisasi menghadapi dinamika di luar tadi ialah mereposisi kembali peran dan fungsi public relations sehingga dapat semaksimal mungkin memberikan manfaat bagi organisasi.

Komunikasi ke dalam maupun ke luar organisasi dengan demikian tidak lagi something given, dilakukan asal-asalan tanpa perencanaan dan tanpa terintegrasi satu sama lain.

Sebaliknya, komunikasi ke dalam maupun ke luar organisasi haruslah direncanakan sedemikian rupa, sehingga terintegrasi dalam setiap gerak langkah dan dinamika seluruh anggota organisasi sehingga pada gilirannya setiap apa pun yang dilakukan mencerminkan budaya organisasi (corporate culture) yang dihayati oleh setiap anggota organisasi.

Inilah yang oleh Henry Fayol (1949) yang disebut sebagai prinsip administratif atau prinsip manajemen yang dipandangnya sebagai sangat esensial untuk menciptakan organisasi efektif.

Dengan demikian, corporate communication berada dalam satu kesatuan komando (unity of command) dari CEO atau pemimpin puncak organisasi. Fungsi dan tugas corporate communication tidak lapas dari mata rantai organisasi. Sebaliknya, seperti ditegaskan Fayol (op. cit.) fungsi dan tugas corporate communication sangat strategis, karena itu, peran dan fungsinya dalam organisasi lebih karena adanya pembagian tugas (division of work).

Sebuah korporasi, sebagaimana halnya semua struktur dalam hidup kemasyarakatan, dibangun atas dasar ide atau gagasan. Keberlangsungan, pertumbuhan, dan sukses suatu korporasi bergantung pada seberapa sensitif tindakan para eksekutifnya merespons perubahan sosial, ekonomi, dan iklim politik.

Corporate communications, yang di dalamnya terdapat advertising and public relations, menjadi alat yang ampuh bagi pihak manajemen untuk membawa korporasi korporasi bergerak maju untuk mencapai sukses dan sanggup mengatasi setiap persoalan yang dihadapi pada zaman yang serba turblen dan tidak menentu ini.

Kini kita memasuki era baru. Memang masih terdapat perusahaan-perusahaan keluarga (Susanto, dkk., 2007). Namun, lebih banyak perusahaan-perusahaan nasional dan transnasional seiring semakin terbukanya pasar dan kecenderungan globalisasi yang nirbatas. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang go public di mana suatu korporasi tidak lagi dimiliki segelintir orang tertentu, tetapi dimiliki oleh publik.

Dengan demikian, pola manajemen dan pertanggungjabannya pun menuntut sesuatu yang berbeda. Tanggung jawab sosial pun berbeda, selain tentu saja pola komunikasi yang harus dibangun baik ke dalam maupun keluar korporasi agar tetap berada dalam koridor dan payung yang terintegrasi dengan tujuan korporasi. Semua itu difasilitasi oleh corporate communications.

Persoalannya ialah: bagaimana corporate communications bekerja dengan efektif dalam sebuah organisasi atau korporat? Di sinilah letak benang merahnya yakni bahwa corporate communications harus ditempatkan ke dalam posisi yang strategis dalam organisasi, bukan hanya menjadi bagian pelengkap atau embel-embel dari sebuah organisasi, akan tetapi corporate communications justru berdiri dan bertindak di depan. CEO atau top manajemen suatu organisasi by design perlu sejak dini menjadikan corporate communications sebagai bagian integral organisasinya sebab pekerjaan yang dilakukannya sangat vital bagi organisasi tersebut.

Pada saat terjadi krisis, corporate communications akan mengatasinya dan pada saat tidak ada krisis corporate communications akan membawa suatu organisasi menuju kepada tujuan organisasi.

Jadi, tidak cukup komunikasi ke dalam dan keluar hanya dilakukan public rerlations (PR), mengingat PR merupakan salah satu saja dari fungsi corporate communications. Tugas dan fungsi corporate communications jauh lebih strategis dan fundamental dari sekadar menjalankan fungsi dan tugas PR.

Kapankah budaya organisasi menampakkan diri? Menurut Weick, sebuah organisasi adalah sistem yang hidup (living sistem). Sebuah sistem tidak pernah berdiri sendiri, sistem yang di bawah selalu dipengaruhi sistem yang di atasnya. Misalnya, perilaku seorang invidivu mencerminkan perilaku organisasi yang bersangkutan karena perilaku individu ini terjadi sebagai proses atau akibat interaksi sosial.

Dalam konteks ini, teori konstruksi realitas sosial atau The Social Construction of Reality (Berger dan Luckmann, 1966) dapat menjelaskan fenomena bagaimana individu dalam organisasi memberikan makna terhadap realitas tidak dapat terlepas dari konteks sosial karena makna terjadi dalam sebuah interaksi sosial.

Dalam konteks konstruksi realitas sosial inilah budaya suatu organisasi menampakkan dirinya. Studi-studi sampai pada satu simpulan bahwa budaya organisasi akan menampakkan dirinya terutama pada saat-saat kritis tertentu. Wilkins (1983) misalnya, mencatat terdapat tiga tahap di mana budaya suatu organisasi tampak ke permukaan.

Tiga tahap
Pertama, ketika karyawan berubah peran sesudah terjadi perpindahan penugasan atau promosi jabatan.

Kedua, ketika konflik subkultur atau ketika menetapkan karakter stereotip satu sama lain.

Ketiga, ketika koalisi yang dominan membuat dan melaksanakan keputusan penting mengenai arah dan gaya perusahaan/organisasi. Karyawan baru tersebut akan berusaha menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Ia bertanya dan belajar pada senior atau pada rekan lain.

Dalam proses ”menjadi” anggota organisasi tersebut, new comer berusaha menjadi bagian integral dari budaya organisasi tersebut. Proses akulturasi berlangsung di sana. Karyawan baru biasanya bertanya mengenai banyak hal seputar kebiasaan dan budaya organisasi, karyawan lama biasanya menceritakan sejarah organisasi dan menjelaskan seperti apakah ”perilaku” yang patut ditiru dan dilakukan. Akan tetapi, apa yang dikisahkan dan dikatakan senior pada pendatang baru suatu organisasi kadang ideal. Pendatang baru menyerap semua informasi yang diterimanya dan ia akan belajar banyak dari apa yang ia lihat dan ia dengar dan dari pengalaman yang mereka dapatkan. Wilkins kemudian mencatat bahwa ”An organization’s corporate culture, then, is very discernible when new employees are induced into it.”

Wilkins juga mengidentifikasi bahwa perilaku top management sebagai indikator yang ketiga dari budaya organisasi. Ini karena decision makers mengontrol banyak hal strategis, seperti promosi dan rewards, mengatur dan mengalokasikan semua anggaran dan dana; mereka dalam posisi untuk menentukan dan mengarahkan sistem nilai organisasi kepada karyawan, terutama kepada karyawan baru.

Manakala karyawan baru masuk suatu organisasi atau bila terjadi mutasi maka karyawan tersebut sangat reseptif untuk mempelajari segala sesuatu yang menyangkut aturan, kebiasaan, serta perilaku anggota suatu organisasi.

Pilar hard dan soft dari organisasi
Terdapat banyak cara untuk memvisualisasikan konsep dari budaya organisasi. Salah stau konsep yang populer ialah model bawang bombai (onion model). Jika kita memotong pada bagian tengah maka akan tampak banyak layer. Sebuah budaya organisasi secara visual dapat direpresentasikan dengan cara ini. (

Apabila kita perhatikan dengan saksama sebuah organisasi maka sebenarnya banyak elemen-elemen dalam suatu organisasi yang tidak tampak di permukaan.

Oleh karena itu, kita mengenal berbagai macam simbol budaya (misalnya saja apabila kita berkantor di lantai bawah atau lantai atas sebuah gedung kita melihat betapa besarnya kantor kita), artifak (misalnya komputer), dan model-model perilaku (misalnya bagaimana dan di mana orang berinteraksi dan bagaimana cara dan perilaku mereka dalam pertemuan formal dan informal).

Yang kurang tampak, meski sebenarnya sama pentingnya, ialah aspek-aspek budaya yang tidak tampak seperti norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi dasar (basic assumptions) dari anggota organisasi tersebut.

Itulah sebabnya, cara lain untuk mengkonseptualisasikan budaya suatu organisasi ialah terminologi sisi “hard” dan “soft” sebagaimana tampak dalam gambar 4.2 ini. Ternyata, sebuah organisasi disangga oleh dua pilar penting yakni aspek sosial dan psikologis, seperti: story, simbol, ritual) dan oleh beberapa elemen konkret seperti struktur kekuasaan (power structures), struktur hierarkial dan sistem kontrol (misalnya financial, sistem reward dan sebagainya).


Mengelola budaya organisasi
Kelompok pragmatis memandang dan meyakini bahwa budaya dalam organisasi sangat penting karena budaya adalah kunci bagi terjadinya produktivitas dan profitabilitas dan bahwa budaya suatu organisasi dapat dibentuk untuk kemudian diselaraskan dengan tujuan perusahaan.

Ouchi (1981) yakin bahwa budaya organisasi dapat dikelola secara stratejik. Studi ekstensifnya pada perusahaan-perusahaan di Amerika membuatnya sampai pada keyakinan bahwa organisasi-organisasi di Amerika cenderung menerapkan budaya “authoritarian” di mana keputusan-keputusan dibuat oleh hierarki puncak organisasi.

Ouchi menyebut organisasi seperti ini dengan Tipe A. Studi yang sama dilakukannya di Jepang di mana Ouchi mendapatkan kenyataan yang berlainan bahwa perusahaan-perusahaan di Jepang biasanya memberikan peran pada level-level organisasi untuk mengambil keputusan dan suasana demokrasi terasa di dalamnya. Ouchi lalu menyebut organisasi yang berbudaya seperti ini Tipe J.

Yang menarik adalah bahwa Ouchi melukiskan partisipasi aktif karyawan sebagai kunci penting bagi keberhasilan suatu organisasi dan mengembangan formula langkah demi langkah untuk mengubah organisasi Tipe A menjadi Tipe Z (perusahaan Amerika dengan karakteristik tipe J).

Sementara itu, Siehl (1985) menganalisis bagaimana budaya suatu organisasi berubah manakala pendirinya pensiun dan organisasi tersebut digantikan oleh CEO yang baru yang latar belakangnya agar berbeda dengan dengan organisasi yang baru dimasukinya. Siehl menyarankan bahwa pada saat transisi maka ekspresi dari nilai-nilai budaya bisa saja dikelola. Pendapat Siehl diperteguh oleh Dean dan Kennedy (1982), Martin et. al. (1985) juga meyakini budaya perusahaan dapat diubah.


Budaya organisasi abstrak, namun berada pada sentral karena tercermin pada nilai yang dinyatakan dalam sikap dan perilaku anggotanya. Hal ini diperteguh Susanto dkk. (2008: 2) yang menyebutkan bahwa budaya organisasi merupakan perangkat organisasi yang dianggap abstrak, namun semakin hari semakin dirasakan betapa signifikan pengaruhnya terhadap kinerja organisasi. Studi Kotter dan Heskett juga mendukung hal ini yang menggolongkan budaya organisasi ke dalam tiga kategori yakni
1) budaya yang kuat (strong culture),
2) budaya yang adaktif (adaptive culture), dan
3) budaya yang berkinerja rendah (low performance culture).

Susanto kemudian menyimpulkan bahwa budaya organisasi ialah nilai-nilai yang dianut serta cara bertindak organisasi berikut para anggotanya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pihak luar.

Sebuah budaya yang kuat adalah salah satu yang dimiliki oleh anggota organisasi yaitu budaya di mana sebagian besar karyawan dalam organisasi menunjukkan konsensus terhadap nilai-nilai perusahaan. Semakin kuat budaya perusahaan, semakin besar pula kemungkinan untuk mempengaruhi cara berpikir dan bertindak karyawan. Misalnya, nilai-nilai budaya yang menekankan layanan pelanggan akan mengarah kepada layanan pelanggan berkualitas tinggi jika ada kesepakatan di kalangan karyawan mengenai pentingnya nilai yang terkait dengan pelayanan pelanggan.

Penting disadari bahwa budaya yang kuat dapat dapat menjadi asset yang sangat berharga bagi organisasi, tergantung pada nilai seperti apakah yang ingin dibagi. Sebagai contoh, sebuah perusahaan dengan budaya yang sangat berorientasi pada hasil.

Jika ini cocok dengan sistem nilai lingkungan organisasi, perusahaan dapat melakukan dengan baik dan mengungguli kompetitornya. Jelas bahwa budaya yang kuat ini merupakan aset dengan catatan bahwa anggota berperilaku etis. Namun, hasil yang berorientasi pada budaya yang kuat dicederai oleh perilaku yang tidak etis dan obsesi dengan indikator kinerja kuantitatif dapat merusak efektivitas organisasi.

Salah satu kekurangan dari budaya yang kuat adalah sulit untuk mengubahnya. Dalam organisasi yang nilai-nilai tertentu secara luas dianut bersama, jika organisasi memutuskan untuk mengadopsi nilai-nilai yang berbeda, cenderung menafikan nilai-nilai lama yang sebenarnya baik dan masih relevan dan belajar yang baru akan menjadi tantangan karena karyawan perlu untuk mengadopsi cara baru berpikir, bersikap, dan menanggapi ke acara penting.

Sebagai contoh, Home Depot memiliki budaya, desentralisasi otonom di mana banyak keputusan bisnis yang dibuat menggunakan "firasat" sementara mengabaikan data yang tersedia. Ketika Robert Nardelli menjadi CEO perusahaan pada tahun 2000, ia memutuskan untuk mengubah budaya yang dimulai dengan pengambilan banyak keputusan yang sebelumnya tersisa untuk toko individu.

Inisiatif ini mendapat perlawanan besar, dan banyak karyawan keluar selama tahun pertama Nardelli memimpin organisasi itu. Meskipun berhasil menggandakan hasil penjualan perusahaan, perubahan yang ia buat banyak menuai mendapat kritik dan kecaman. Tidak tahan, dia meninggalkan perusahaan ini pada Januari 2007. Contoh lain mengenai budaya yang kuat yakni Walt Disney yang menciptakan budaya yang kuat di perusahaan tersebut yang telah berkembang sejak didirikan pada tahun 1923.
***
(artikel ini adalah inti paper saya bertajuk "Effective Corporate Communication dan Budaya Organisasi)", tidak dipublikasikan seluruhnya, termasuk diagram dan gambar-gambar.

Tidak ada komentar: