Oleh: R. Masri Sareb Putra
Tidak semua hal yang dilakukan Belanda di Nusantara jelek. Upaya Belanda melakukan alih teknologi percetakan di Jalan Prapatan (dekat gereja Anglikan di Jakarta sekarang), misalnya, pantas dipuji. Lalu jasa pemerintah kolonial memajukan budaya tulis-baca-cetak di Nusantara juga sungguh luar biasa. Belandalah yang merintis berdirinya Balai Pustaka.
Yang menakjubkan adalah bagaimana Belanda membangun jaringan dan komunitas pecinta dan pembeli buku. Tidak lama setelah kemerdekaan Indonesia, masa kejayaan penerbitan buku ditorehkan. Terbitan perdana buku bisa menembus tiras 50 ribu -- rekor yang saat ini sulit untuk dicapai, bahkan oleh penerbit besar sekalipun.
Rasanya, dibanding tempo dulu, kini dunia penerbitan buku mengalami kemunduran. Ada apa dengan dunia penerbitan buku Indonesia? Mengapa terbitan perdana sebuah buku jarang menembus angka tiga ribu? Daya belikah faktor penyebabnya? Tidak! Lihat saja di mal dan pusat perbelanjaan. Banyak orang punya uang, tapi mereka tidak membeli buku. Faktor melek huruf? Tidak juga! Lihat saja negara berkembang, seperti India dan Thailand. Buta huruf di sana cukup banyak, tapi masyarakatnya suka membaca dan banyak yang membeli buku. Kalau begitu, apanya yang salah?
Penelitian yang pernah dilakukan LPPM menunjuk, faktor penyebabnya adalah perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang tidak kondusif. Selain pengaruh budaya lisan yang masih kental, kebiasaan orang berduit di Indonesia bukan membaca dan membeli buku, tapi menonton televisi.
Jasa Kompeni
Haruslah diakui, Kompeni sangat "berjasa" memelekhurufkan bangsa kita. Kompeni juga "berjasa" mengangkat pujangga-pujangga Nusantara muncul ke permukaan. Tak syak lagi, Balai Pustaka (Volklectuur) yang berdiri tahun 1917 adalah penerbit yang banyak melahirkan pujangga (dan penulis) lokal. Antara tahun 1917-1942, Balai Pustaka menerbitkan sekitar 2.000 judul buku. Tahun 1930, Balai Pustaka menjual 300.000 kopi buku (Eduard Kimman, 1981: 89). Tahun 1920-an, boleh dibilang mulai bangkitnya pujangga Nusantara, antara lain dengan terbitnya karya-karya berikut:
1.
Nur Sutan Iskandar dengan "Apa Dajaku karena Aku Perempuan" (Indonesisische Drukkerij, 1922) dan "Tjinta jang Membawa Maut" (Balai Pustaka, 1926).
2.
Sutan Takdir Alisjahbana dengan "Lajar Terkembang" (Balai Pustaka, 1926).
3.
Armijn Pane dengan "Belenggu" (Pustaka Rakjat, 1940).
4.
Hamka dengan "Tenggelamnja Kapal van der Wijck" dan "Merantau ke Deli" (1939).
5.
Idrus dengan "Surabaja" (Merdeka Press, 1947).
6.
Pramoedya Ananta Toer dengan "Krandji Bekasi Djatuh" (1947), Keluarga Gerilja (Pembangunan, 1950), "Di Tepi Kali Bekasi" (Gapura, 1951).
7.
Mochtar Lubis dengan "Tidak Ada Hari Esok" (Gapura, 1950), "Djalan Tak Ada Udjung" (1952), "Sendja di Djakarta" (1963).
8.
Nugroho Notosusanto dengan "Hudjan Kepagian" (1958).
9.
Ajip Rosidi dengan "Perdjalanan Penganten" (1958).
10.
Motinggo Boesje dengan "Nasihat untuk Anak-anak" (1963).
11.
Chairil Anwar dengan "Deru Tjampur Debu dan Kerikil Tadjam jang Terampas dan jang Putus".
Di samping penerbit yang dikembangkan Kompeni, penerbit asli Indonesia mula-mula berkembang di Sumatera, seperti misalnya Limbago Minangkabau, Drukkerij Merapi (Bukittinggi), dan Almoenir (Padang).
Percetakan dan penerbit lokal mencetak dan menjual cerita-cerita lokal pula, seperti seri "Lukisan Poejangga", "Pergaulan", dan "Dunia Pengalaman". Setelah itu, berkembang produksi roman picisan di seluruh kota Sumatera. Baru kemudian, tahun 1917, mendapat saingan dari Jakarta dengan tampilnya Balai Pustaka.
Tidak lama berselang setelah merdeka, 1947, tampil penerbit Pembangunan -- kerja sama antara Belanda dengan segelintir tokoh intelektual Indonesia. Tahun 1950, penerbit Pembangunan mempekerjakan 70 karyawan, 4 di antaranya orang Belanda.
Sebagai penerbit, Pembangunan boleh dibilang sukses besar, dengan produksi yang cukup fantastis. Pembangunan menerbitkan karya-karya: Ir. Soekarno berjudul "Sarinah", edisi kedua, sebanyak 50.000 eksemplar (1951); Hatta dengan judul "Koperasi" (1954); Chairil Anwar dengan "Deru Tjampur Debu" (1949). Antara tahun 1949-1956, diterbitkan 50-70 judul buku. Penerbit Pembangunan menjadi market leader penerbit buku, dengan meraup 50% pasar saat itu.
Djambatan pada 1953 menjadi penerbit yang agresif, dengan Roeswita Pamuntjak sebagai tokoh penting. Saat itu, Djambatan yang berkantor di Jalan Kramat Raya mempekerjakan 30 karyawan. Struktur organisasi penerbitan sudah mengenal adanya pembagian tugas yang jelas antara redaksi dan pemasaran. Jumlah produksi per tahun antara 150-200 judul, dengan tiras antara 3.000-7.500 eksemplar.
Tahun 1953, Masagung (Tjio Wie Tay) dan rekannya Adisuria (The Kie Hoat) mendirikan N.V. Gunung Agung. Hingga 1964, Gunung Agung menolak menjadi anggota asosiasi penerbit Indonesia. Gunung Agung mengkhususkan pada penerbitan biografi, yang dicetak antara 3.000 -- 5.000 eksemplar. Sepanjang sejarahnya, biografi Soekarno yang paling laris, terjual 150.000 eksemplar.
Memasuki dekade 1970-an, dunia penerbitan (dan percetakan) memulai babak baru, dengan lahirnya Percetakan dan Penerbit PT Gramedia. Mula-mula Gramedia menerbitkan buku terjemahan, lalu menerbitkan kamus-kamus. Kemudian, Gramedia membukukan cerita bersambung yang dimuat harian Kompas, seperti "Karmila" karya Marga T. yang hingga kini mengalami cetak ulang lebih dari 20 kali.
Di tahun 1970-an itu pula, banyak lahir penerbit baru. Apalagi suasana sangat kondusif, dengan diproyekkannya sejumlah buku bacaan oleh pemerintah, yang dikenal dengan Proyek Inpres Bacaan.
Di era 1970-an, ketika televisi, radio, dan film mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat, pengaruh media elektronik dianggap sebagai biang mengapa orang malas membaca. Dekade 1980, 1990, hingga memasuki milenium baru, pengaruh televisi tetap yang paling pokok disebut-sebut sebagai faktor yang memengaruhi budaya baca masyarakat.
Meskipun media cetak, termasuk buku, lebih dulu hadir sebagai produk budaya, pengaruh media elektronik merasuk kehidupan umat manusia tanpa dapat dibendung. Gejala umum menunjukkan, dalam konfigurasi perilaku konsumen terhadap media, maka buku menduduki posisi paling bawah. Hierarki kebutuhan masyarakat terhadap media adalah sebagai berikut: (1) televisi; (2) radio; (3) surat kabar; (4) majalah; (5) buku.
Televisi itu "rakus", demikian kata para pakar. Hal itu karena kehadiran televisi serta-merta memengaruhi pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Semakin ke bawah, semakin sedikit pula konsumen media.
Dan buku? Dari zaman kolonial sampai kini terus-menerus dihadapkan pada masalah klasik: segmen yang sangat kecil, dengan Jawa (plus Madura) dan Sumatera sebagai pasar utama.
Eduard Kimman mencatat, pada zaman kemerdekaan di tahun 1930-an, menurut sensus 1930, terdapat 14,8 penduduk melek huruf di Nusantara. Meski demikian, budaya membaca sangat tinggi waktu itu. Pulau Jawa dan Madura tercatat paling banyak jumlah taman bacaannya yang diprakarsai oleh Balai Pustaka.
Sebagai contoh, tahun 1925 terdapat 2.200 taman pustaka yang buku-bukunya diterbitkan dalam berbahasa Melayu. Selain itu, terdapat 400 perpustakaan serupa yang tidak diprakarsai Balai Pustaka, yang menyediakan buku.
ltu berarti, di tahun 1925, terdapat 2.600 perpustakaan, dan data buku yang dipinjam sekitar 1,9 juta setahun. Tahun 1930 meningkat menjadi 3.000 perpustakaan, dengan peminjam per tahun 2,7 buku. ltulah cikal-bakal masyarakat perbukuan, yang terus berkembang hingga kini.
Di Amerika Serikat, setiap bulan November dirayakan Book Week (pekan buku). Di Indonesia, Hari Buku Nasional diperingati setiap tanggal 17 Mei. Peringatan tersebut ditetapkan dalam Kongres Persatuan Toko Buku Indonesia (PTBI) yang diadakan pada Juni 1958.
Dalam suasana memperingati Hari Buku Nasional, sebagai bagian dari mata rantai penerbitan buku, sekaligus insan perbukuan, kita patut berhenti sejenak, berefleksi, dan bertanya: mengapa kita mengalami kemunduran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar