Kebebasan media di Indonesia dewasa ini, tidak terlepas dari sejarah. Kebebasan tersebut tidaklah datang tiba-tiba, melainkan sudah jauh-jauh hari dikondisikan, bahkan diperjuangkan masyarakat, terutama kalangan pers.
Sebelum sampai pada kebebasan media massa dewasa ini, baiklah kiranya jika sedikit diungkit kembali sejarah media massa pada zaman Pemerintahan Orde Baru.
Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto diktator dan cukup represif, terutama era 1980-1997. Tiga masalah utama yang tidak boleh disentuh media massa pada waktu itu, yakni:
Pertama, sepak terjang bisnis keluarga Cendana,
Kedua, Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu pilar kekuatan Orba, dan
Ketiga, Militer dengan segala sepak terjang bisnisnya.
Mengapa ketiga hal tersebut tidak boleh disentuh dan dikritik oleh media massa? Karena menyentuh dan mengritik ketiganya sama saja dengan menyerang dan mengritik Pemerintah.
Sebagai contoh, pada 9 Oktober 1986 Pemerintah, melalui Departemen Penerangan membatalkan SIUPP koran sore Sinar Harapan. Setahun berikutnya, 29 Juni 1987, giliran harian Prioritas, yang menjadi korban. Kemudian, tiga media dicabut SIUPP-nya pada 1994 yakni majalah Tempo, Editor, dan Detik.
Bukannya tidak ada perlawanan dari masyarakat atas pemberangusan media massa tersebut, terutama oleh tokoh pers.
Goenawan Mohamad (1990) misalnya, didukung sejumlah tokoh nasional dan terutama kalangan pers menggugat Pemerintah ke pengadilan. Gugatan ini cukup memberikan efek kejut pada pemerintah, terbukti agenda media massa waktu itu menjadi agenda publik dan akhirnya menjadi agenda pemerintah.
Akan tetapi, pemerintah tetap bergeming. Suara-suara kritis serta merta dibungkam. Media massa “tiarap” untuk sementara menghentikan kritikan, sembari menunggu kesempatan untuk kembali melaksanakan fungsi kontrol sosialnya.
Pemerintahan Orde Baru dari 1995-1997 semakin diktator. Siapa yang berani mengritik, dibungkam. Media pun demikian, media yang kritis, dengan cara apa pun, dibungkam Pemerintah. Buku-buku yang berbau kritikan dan dinilai menjelek-jelekkan Pemerintah dan bertentangan dengan ideologinya, juga dilarang beredar.
Ketika media resmi ditekan, muncul media alternatif. Tahun 1997-1998 banyak media alternatif, muncul Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menganggap bahwa Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah tidak independen lagi, karena disusupi orang-orang Pemerintah dan keputusannya tidak berpihak pada media (Togi Simanjuntak, 1998).
Para pekerja media dan masyarakat tidak putus asa, mereka terus melawan Pemerintah yang diktator dan berusaha mebebaskan diri dari penguasa. Mereka terus berusaha mencari alternatif, hal ini tampak dari buku Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997). Apa yang tidak disajikan media massa, ditampung dalam karya sastra.
Jadi, sebenarnya, media massa tidak pernah benar-benar bisa dimatikan oleh Pemerintah Orde Baru.
Memasuki era Reformasi yang dipelopori gerakan mahasiswa (Mochtar Pabottingi, 1998) yang puncaknya adalah pendudukan oleh massa mahasiswa gedung DPR/MPR 18-19 Mei 1998 sebagai simbol kekuasaan rakyat, menolak Pemerintahan Soeharto yang dinilai sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Tidak kuasa membendung kekuatan dan pressure rakyat maka pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden RI.
Pada zaman Orde Baru, media massa Indonesia ditilik dari teori Hubungan Media Massa dengan Pemerintah menganut sistem: totoriter (Amir Santoso, 2010). Mengapa demikian? Argumennya adalah:
1) Pihak yang menerbitkan media massa mendapat izin Pemerintah.
2) Media massa dikontrol pemerintah.
3) Kepemilikan media massa: Pemerintah atau Swasta yang mendapat izin pemerintah.
4) Tujuan media yang dikontrol Pemerintah adalah mengembangkan kebijakan dan mengabdi kepada (kepentingan) Pemerintah.
5) Ciri khas media tersebut adalah sebagai sarana efektif kebijakan Pemerintah, walau ada yang tidak dimiliki oleh pemerintah (swasta).
Akan tetapi, sejak 21 Mei 1998 yang menandai berakhirnya Pemerintahan diktatorial Soeharto, berembus angin kebebasan. Sejak itu, terjadi semacam euforia. Rakyat Indonesia terbebas dari kungkungan dalam segala bentuk.
Media massa pun tumbuh bagai jamur di musim hujan. Jika pada zaman Orde Baru diperlukan surat izin terbit (SIT) dan kemudian Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sejak Reformasi izin tersebut sudah tidak ada lagi.
Media massa tumbuh subur sejak Orde Baru tumbang seiring dengan datangnya era kebebasan secara lebih luas dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun, tidak semua media massa bisa hidup karena alam kebebasan menuntut persaingan sesuai dengan mekanisme pasar. Banyak yang tumbuh, akhirnya mati. Yang kuat, dialah yang menang.
Pada era Reformasi, model hubungan media massa dengan Pemerintah adalah gabungan atau hibrida dari model Liberal dan Tanggung jawab Sosial. Liberal, karena media massa bebas dari regulasi dan sensor Pemerintah. Tanggung jawab sosial karena media massa sejak Reformasi hingga kini dicirikan dengan: kebebasan pers, praktisi jurnalistik, dibimbing Kode Etik (profesi), memberikan informasi, menghibur, menjual, mengangkat konflik ke forum diskusi, dan sebagainya.
Liberal dalam arti bahwa meski media massa Indonesia sudah tidak diatur regulasi dan sensor Pemerintah, tapi tetap bertanggung jawab dan dikontrol oleh pendapat masyarakat (public opinion); tindakan konsumen (consumer actions), dibimbing Etika Profesi, dan tidak boleh melanggar hak-hak pribadi yang diakui hukum, dan melanggar kepentingan vital masyarakat. Apabila hal ini terjadi, maka media massa berurusan dengan pengadilan dan diselesaikan lewat jalur hukum (delik pers).
Ada banyak contoh, seperti kasus Tempo dengan Tomy Winata atau kasus Risang Bima Wijaya, Mantan Pemimpin Umum dan Wartawan Harian Radar Yogya yang dianggap bertanggung jawab atas publikasi yang pemberitaan mengenai kasus pelecehan seksual oleh Dr. H. Soemadi M Wonohito (Direktur Utama Harian Kedaulatan Rakyat) terhadap karyawannya.
Media massa di Indonesia benar-benar bebas dari campur tangan dan kontrol Pemerintah ketika Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan sebagai simbol kontrol Pemerintah atas media massa.
Dari ciri-ciri hubungan media massa dengan Pemerintah dan contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa: sejak era Reformasi hingga saat ini media massa di Indonesia berada dalam model Liberal dan Tanggung Jawab Sosial. Bebas, dalam arti bukan-tanpa batas, namun bebas yang bertanggung jawab, bebas yang dibimbing kode profesi dan tidak merugikan pihak mana pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar