Kamis, 19 Maret 2009

Kapan Buku Anak Bertiras Jutaan di Negeri Kita?

Catatan: dimuat Warta Ikapi, edisi Januari-Maret 2009
Oleh R. Masri Sareb Putra



Buku anak di negeri kita sebenarnya amat potensial. Sayang, potensi itu belum digarap
maksimal. Kendalanya banyak. Mulai dari belum terdidiknya SDM andal dan profesional pada industri penerbitan, sistem distribusi, etos kerja, intervensi pasar yang tidak
perlu oleh Pemerintah, hingga daya beli yang masih memprihatinkan.

Padahal, kalau digarap serius, buku anak sangatlah prospek. Ia tak kenal basi, daur hidupnya lebih panjang. Dukungan pasar juga luas. Selain end-users-nya banyak, orang tua yang yang peduli pada kemajuan dan pendidikan anak-anak makin meningkat dari tahun ke tahun.

Jika menengok daftar buku laris di toko buku, maka buku anak selalu masuk urutan lima besar dari sisi penjualan dan omset. Masalahnya, bagaimana “mengadakan” buku anak yang bermutu sekaligus laku sebagai komoditas?

Benchmark Luar Negeri
Membanding kondisi perbukuan nasional dengan luar negeri, Amerika misalnya, bagai langit dan bumi. Selain faktor bahasa yang mengondisikan buku di negeri Paman Sam massif dan luas jangkauan pasarnya, rata-rata buku terbit melalui proses panjang dan berliku. Tidak mungkin mengharapkan di Indonsia buku anak bertiras jutaan seperti di Amerika.

Sebagai contoh, buku anak karya Madonna, The English Roses setebal 48 halaman yang memuat cerita bergambar tentang kelompok empat gadis cilik dicetak 1,4 juta kopi.

Aakah misalnya, penerbit di Indonesia yang sebelum bukunya terbit lebih dulu melakukan tes pasar? Pernahkah dilakukan studi kelayakan, sebelum melempar produk buku yang diprediksi akan jadi andalan penjualan tahunan? Dan yang paling penting, pernahkah dilakukan promosi generic untuk meningkatkan minat baca? Mendorong masyarakat menjadi reading society?

Memang bisa saja diperdebatkan, pihak mana yang bertanggung jawab mendidik masyarakat menjadi reading society. Pasti pihak pertama adalah Pemerintah dan lembaga pendidikan formal. Meski rata-rata bermoto “turut mencerdaskan kehidupan bangsa”, tak satu pun penerbit yang rela merogoh modal cuma-cuma untuk proyek peningkatan minat baca. Namun, mereka pasti mendapat manfaat dari reading society.

Lantaran belum menggembirakan baik dari sisi produk (mutu) maupun pasar, banyak banyak kritikan dihujamkan pada perbukuan anak. Sorotan paling tajam ialah kurang diminatinya buku-buku karya pengarang asli Indonesia dibanding buku impor. Tentu, ada hal “yang keliru” di situ. Namun, untuk mengidentifikasi yang salah, lalu coba mencari solusi dan jawabnya, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Banyak faktor penyebab, mengapa buku karya pengarang asli Indonesia masih belum berterima di negerinya sendiri. Salah satu di antaranya ialah, karena buku-buku Indonesia belum bisa sepenuhnya menjawab kebutuhan anak-anak dan memuaskan rasa ingin tahu mereka.

Sebagaimana dimaklumi, dunia anak adalah dunia bermain. Serba menyenangkan. Penuh dengan imajinasi. Sarat dengan petualangan dan suka dengan tantangan. Kadangkala fantasi mereka cenderung berlebihan. Namun, itulah proses ke arah pematangan yang harus dilalui. Mengapa? Sebab sering kenyataan bermula dari mimpi. Bukankah cita-cita juga sebuah impian?

Dan dalam proses “menjadi” itu, anak-anak suka mengidentikkan diri dengan tokoh yang
mereka kagumi. Pada tahap identifikasi seperti ini, anak-anak cenderung untuk "meniru" tokoh siapa saja. Sosok yang mereka anggap hebat dan memang pantas untuk ditiru.

Karena itu, bacaan bagi mereka menjadi sangat penting. Suguhan dan menu yang terhidang di dalamnya menjadi “guru” bagi anak. Jika mereka membaca dan menikmati buku yang bermutu, mereka mendapat guru yang bermutu pula. Sebaliknya, jika mereka membaca dan menghayati bacaan yang buruk, mereka berjumpa dengan guru yang buruk. Guru-guru itu akan terus hidup dan mengajari apa saja kepada mereka.

Masa Kejayaan
Indonesia pernah mengalami masa booming buku anak. Tahun 1970-an, merupakan tonggak penting dan bersejarah. Waktu itu, lahir banyak pengarang dalam negeri. Anak-anak zaman itu disuguhi bacaan dengan content dalam negeri pula. Mereka mengenal cerita, tokoh, etiologi, mitos, legenda, dan dongeng khas Nusantara. Dan mereka jadi akrab dengan alam asli Indonesia!

Ketika pemerintah mengadakan Proyek Buku Bacaan Anak-anak, yang dikenal dengan Inpres Bacaan 1973, Indonesia melimpah-ruah akan buku fiksi anak. Bersamaan dengan itu lahir sejumlah pengarang, menjadikan negeri ini seolah-olah tidak pernah kehabisan penulis cerita rekaan, hiburan segar bagi anak.

Bayangkan saja! Begitu masuk toko buku, mata langsung melihat sejumlah serial buku fiksi anak menempati space besar rak-rak buku.

Masih minimnya serbuan komik di dekade 1970-an hingga 1980-an, menjadikan Indonesia kaya dengan cerita anak bermutu. Cerita-cerita petualangan menjadi salah satu genre yang tidak hanya disukai, tetapi juga laku sebagai komoditas. Bersamaan dengan itu, dialihbahasakan pula buku-buku asing, seperti karya Enid Blyton dan Walt Disney. Karya terjemahan yang tidak saja baik dari sisi isinya, melainkan juga sukses dipasarkan di Indonesia.

Memperbincangkan buku bacaan anak-anak asli Indonesia, tidak bisa tidak sekaligus menyebut juga pengarangnya. Kalau demikian, maka sederet nama yang sejak lama menggeluti dunia bacaan anak-anak akan tersebut. Yakni Dwianto Setyawan, Djoko Lelono, Zuraini, Suryono H.R., Stefanus Djarot, Soekanto S.A., Arswendo Atmowiloto, Eddy Supardi, dan lain-lain.

Dunia petualangan adalah dunia anak-anak. Buku impor seakan-akan membawa anak-anak memasuki "dunia lain", yaitu dunia fantasi dalam skop yang lebih luas. Mereka diajak berpetualang dan memasuki kutub dan salju. Dan mereka tambah pengalaman batin baru. Dengan membaca buku terjemahan, jendela cakrawala anak terbuka. Wawasan dan pandangan mereka jadi luas. Dan pengarang Indonesia mengisi ruang kosong yang tidak disentuh oleh pengarang-pengarang asing. Pengarang dalam negeri memberi isi kandungan dalam negeri. Mereka jadi guru, yang mengajarkan bahwa agar tidak karam oleh arus globalisasi, maka perkuat akar budaya dalam negeri.

Klop! Terjadi keseimbangan yang harmonis saat itu. Antara buku terjemahan yang ber-content dan berlatar luar negeri dan buku lokal, saling mengisi. Keduanya lengkap-melengkapi.

Anak-anak menjadi seimbang. Toko yang mereka idolakan jadi beragam. Mulai dari Si Doel, Gatotkaca, hingga Old Shatterhand. Juga ada Candy, Neil, dan Eliza. Tokoh-tokoh itu, rata-rata berusia sebaya dengan mereka, namun punya kelebihan. Dan kelebihan itu ingin dijadikan miliknya. Anak ingin seperti tokoh yang dibacanya. Di sanalah terjadi proses identifikasi. Di situ proses pembelajaran berlangsung. Anak berguru pada buku.
Apabila diamati, maka karakteristik tokoh yang disukai anak-anak kurang lebih sama: nakal, cerdik, namun baik hati. Dan yang menonjol ialah, sering pada akhir cerita ditampilkan si tokoh sebagai "pahlawan moral", pembela kebenaran. Sebuah ending yang bagus. Pendidikan yang halus. Tidak langsung menggurui, namun daya magisnya begitu kuat-memikat.

Fantasi

Pada awal mula, buku bacaan anak-anak yang banyak beredar adalah serial detektif cilik terjemahan. Misalnya, karya Enid Blyton (Sapta Siaga, Lima Sekawan, dan Pasukan Mau Tahu) .

Buku cerita semacam itu laku keras, antara lain karena tampil tepat waktunya, muncul saat anak-anak Indonesia memang memerlukan buku-buku fantasi yang mengandung petualangan, sekaligus hiburan.

Baru kemudian hari, cerita seperti itu "diikuti" oleh pangarang Indonesia, seperti Dwianto Setyawan dengan serial buku detektifnya Terlibat di Bromo, Terlibat di Trowulan, dan Sersan Grung-grung.

Itulah antara lain faktor penyebab, mengapa Dwianto Setyawan amat lengket di hati anak-anak Indonesia. Di samping "mendompleng" keberhasilan buku-buku terjemahan yang memang telah mengondisikan suasana, jika diamati buku-buku Dwianto rata-rata menghibur anak-anak. Selain menghibur, juga mendorong anak untuk berprestasi. Inilah yang oleh psikolog sosial Dr. David McClleland disebut sebagai salah satu ciri buku yang baik, yakni buku yang mengandung dan memacu sikap dan tindak untuk berprestasi (the need for achievement –N-Ach),

Bahkan tidak hanya itu! Dwianto punya kelebihan lain. Selain mengaduk-aduk fantasi anak-anak, hampir di semua bukunya ia sertai dengan dengan kelengkapan data dan informasi mengenai suatu tempat (objek) yang ia angkat menjadi setting peristiwa. Terlibat Bromo misalnya, ia lengkapi dengan informasi komplet tentang kehidupan suku Tengger, upacara kasodo, dan asal usul terjadi Kawah Bromo.

Selain memperoleh hiburan, anak-anak juga mendapat pengetahuan baru melalui buku yang dibacanya. Dalam sebuah buku, anak menemukan banyak hal berguna. Tentu saja, yang begini ini tidak bisa didapat dari buku-buku impor.
Karena itu, tak pelak lagi, Dwianto mungkin salah satu dari sedikitnya jumlah pengarang Indonesia yang punya minat khusus pada cerita anak.. Ia menulis buku melulu dari mengutak-atik fantasi dan dunia anak.

Dan untuk menghasilkan buku itu, ia melakukan sesuatu yang tidak umum di buat oleh pengarang yang lain. Ia membaca sejumlah buku, datang melakukan riset ke lokasi.
Untuk serial cerita detektif Terlibat di Trowulan misalnya, diciptakannya tokoh laki-laki dan perempuan berumur 12 tahun. Mengapa 12 tahun? Karena sasaran pembacanya adalah anak-anak SD, anak kurang lebih sebaya dengan tokoh. Di sana berlaku rumusan, “people likes to read about people”. Orang menyukai kisah tentang sesuatu menyangkut diri dan dunianya. Dan faktor kedekatan inilah yang menjadi jembatan penghubung antara buku dan pembaca (pembeli). Rumusan yang juga sama dengan bagaimana memilih sajian untuk surat kabar dan majalah.

Pergeseran

Setelah sukses dengan buku-buku fiksi anak yang mengambil setting di negeri sendiri, memasuki tahun 1990-an, selera anak-anak "bergeser" ke Negeri Sakura. Buku terjemahan dari Jepang, hampir seluruhnya komik, menjadi sebuah tren yang fenomenal.

Tidak penting, apakah pergeseran itu distrategikan (dikondisikan baik dengan iklan maupun dengan promosi) ataupun bukan. Yang jelas, hikmah yang bisa dipetik dari sana ialah bahwa konsumen bisa digiring masuk ke dalam sebuah skenario tertentu. Bahwa pasar dapat diciptakan untuk mengonsumsi sebuah produk tertentu. Untuk itu, ada ilmunya. Ada kiatnya. Dan trik seperti itu, dinamakan “ilmu marketing”.

Berawal dari serial Candy-Candy, kini jutaan anak Indonesia berpaling ke Jepang. Tidak hanya anak-anak, mahasiswa pun masih membawa dan membaca komik terjemahan dari Jepang.. Tayakan kepada anak-anak, apakah mereka mengenal siapakah Candy? Mereka pasti tahu jawabnya, sebab Candy adalah tokoh idola mereka.
Candy-candy adalah karangan Yumiko Igarasi dan Kyoko Mizuki (dari bahasa Jepang). Inti ceritanya mengisahkan tentang petualangan Candy. Pada suatu hari, Candy diadopsi oleh keluarga Legan yang kaya, tetapi Candy tidak diangkat seperti Anny. Teman akrabnya ini tidak mau mengenal Candy setelah diadopsi keluarga Brightson. Candy diangkat sebagai pembantu untuk Neil dan Eliza.

Di tengah kesedihan, Candy berjumpa dengan Anthony yang mirip dengan pangeran, si pesolek Archie, dan Stea yang jenius. Ketiga pemuda itu selalu menemani Candy dalam suka maupun dalam duka. Dan Candy pun pergi ke Chicago….
Setelah sukses dengan Candy-candy (PT. Elex Media Komputindo) menyusul Akira, buku serial bacaan anak-anak yang bercerita mengenai dunia impian masa depan. Tahun 2030, saat dunia baru pulih dari Perang Dunia III, kejadian-kejadian berkembang di Tokyo. Pelacakan terhadap seseorang berwajah keriput, bertenaga telekinetik mahadasyat dengan tanda 26 pada telapak tangannya. Dia yang menguasai petunjuk terhadap sesuatu yang sangat berharga dan menakutkan, dikenal dengan nama "Akira", dengan dua orang pengikutnya, yaitu Kay dan pemuda Ryu.

Secara akal sehat, pandangan ke dua dekade ke depan itu Secara akal sehat merupakan sesuatu yang mustahil. Itulah yang dalam ilmu sastra disebut sebagai “fantasi modern”. Bahkan, ada yang menggolongkannya sebagai fiksi ilmiah (science fiction). Namun, bukan berarti bacaan yang tidak mendatangkan manfaat. Sebelum Neil Armstrong, si manusia pertama mengginjakkan kaki di bulan, sudah ada sebelumnya cerita fiksi mengenai manusia pergi ke bulan.

Belakangan, anak-anak pun tampak akrab dengan buku cerita bergambar. Mereka menyukai Cinderela, Putri Oyayu, Putri Tidur, Songokuu, Danau Angsa, atau Alibaba. Anak-anak juga menyukai buku cerita dalam negeri. Kemasannya tidak saja seindah buku-buku terjemahan. Tapi juga penyajiannya (teknik penulisannya) tidak kalah memikat dibanding buku anak terbitan luar.
Lihat saja buku yang mengambil setting dalam negeri karya Ani Sekarningsih atau Murti Bunanta yang berkisah tentang suku Asmat dan anak Maluku.

Bahkan, karya Murti Bunanta, Si Bungsu Katak (The Youngest Frog) dicetak hard cover, kertas isi art paper, dan full color. Karya yang tidak kalah bermutu dibanding buku terjemahan. Tidak salah kalau Dewan Buku untuk Anak-anak Internasional Polandia menganugerahkan dan mennjunjung The Youngest Frog sebagai karya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan mempererat tali kemanusiaan. Dan kepada penulisnya, Murti Bunanta, dikalungkan anugerah “Janusz Korezak”.


Prospek
Bagaimana prospek buku anak ke depan?

Masih tetap prospek, asalkan insan perbukuan mafhum selera pasar dan cedik bagaimana masuk ceruk pasar. Buku anak yang dari dulu, kini, dan masih akan laku ialah jenis buku bacaan, informasi, pengayaan bidang studi, hiburan, dan buku penuntun.

Jadi, sebenarnya buku dalam negeri dapat bersaing dengan buku terjemahan. Asalkan, insan perbukuan (penerbit-pengarang) tahu trik-triknya.

Dari segi materi dan penyajian buku bacaan, penerbit perlu memperhatikan arah Pendidikan Dasar di Indonesia, yaitu peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun1990 mengenai Pendidikan Dasar.

Ada banyak peluang buku bacaan anak. Masih banyak ruang kosong untuk diisi. Penerbit dan pengarang perlu memperhatikan bahwa di masa yang akan datang diperlukan buku bacaan yang menunjang Kurikulum sesuai dengan PP Nomor 28, Pendidikan dasar bertujuan:
 menumbuhkan sikap,
 memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan anak untuk hidup bermasyarakat
 mempersiapkan peserta didik agar memenuhi persyartan untuk mengikuti pendidikan berikutnya, yakni sekolah lanjutan.

Ke depan, akan banyak dibutuhkan buku yang dapat merangsang imanjinasi dan kreativitas anak, buku yang menumbuhkan sikap percaya diri serta menyibak cakrawala anak seluas-luasnya.

Sedangkan dari segi teknis, buku anak diharapkan dapat dijangkau oleh anak sesuai
kemampuannya, isinya baik dan positif sesuai dengan kurikulum, ditulis sesuai kaidah bahasa Indonesia, pewarnaan yang baik, dan merangsang minat anak untuk membaca.
Dan di atas semuanya itu, hendaknya buku anak tidak hanya menghibur, tapi juga berguna. Jika dapat menggabungkan keduanya, niscaya buku anak di negeri kita akan sanggup keluar dari kutukan lama “oplah tiga ribu”. Lalu menembus tiras jutaan. Kapan?
***
Penulis dosen tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, penulis 47 buku, instruktur Bengkel Buku Anak Pusat Perbukuan Depdiknas, dan bibliofili.

Tidak ada komentar: