Selasa, 31 Maret 2009

Sembilan Tahap menuju Budaya Baca

Adakah tahapan-tahapan menuju budaya baca?

Ada. Namun, tidak mudah menyelisiknya secara saksama. Sebab, sering budaya baca tidak diawali dari urutan biologis, atau sesuai dengan kronologi waktu. Budaya baca tidaklah linear, yang diawali dari seseorang mulai mengenal huruf dan dapat membaca, sampai jadi kutu buku, dan hingga ia merasa buku benar-benar menjadi bagian dari kehidupannya.

Fakta menunjukkan, ada orang yang sudah mulai suka membaca pada waktu TK. Ada yang waktu SD. Ada yang waktu SLTP. Ada yang waktu SLTA. Namun, ada pula pula yang ketika sudah masuk perguruan tinggi.

Ini kalau yang bersangkutan menempuh jalur pendidikan formal. Namun, ada juga orang yang tidak menempuh pendidikan formal dan otodidak yang gemar membaca. Bahkan, tokoh seperti Adam Malik –mantan Menlu dan Wapres RI dari 23 Maret 1978-1983— tidak berpendidikan formal tinggi, ”hanya” SD (HIS). Namun, karena gemar membaca dan otodidak, salah satu pendiri Kantor Berita Antara ini memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diakui setara, bahkan melebihi seorang akademisi. Berkat belajar mandiri, Adam Malik berhasil dalam kehidupannya. Menduduki berbagai pos penting di lembaga negara. Sebagai wartawan dan penulis, ia terbilang sukses karena berbagai tulisannya memengaruhi banyak orang. Sebagai diplomat, ia berhasil meyelesaikan konflik politik antara Indonsia dan Malaysia.

Jadi, sebenarnya, orang sukses bukan karena bersekolah. Namun, karena belajar. Dan, belajar bisa dilakukan di sembarang tempat, dengan memanfaatkan sumber belajar apa saja. Sumber belajar bisa guru. Bisa juga buku. Bisa juga hal lain.

Mary Leonhardt (1993) mencatat, terdapat delapan tahapan menuju budaya baca. Ini adalah simpulan atas penelitian dan pengamatannya di Amerika Serikat. Bersetuju dengan tahapan yang dibuat Mary, saya hanya menambah satu tahapan. Tahapan itu justru berada pada strata paling awal. Sebab, hampir semua orang yang melek huruf melakukannya.

Tahap Pertama: Tidak Sengaja Membaca
Tidak sengaja membaca, bisa dialami oleh siapa saja dan di mana saja. Keika sedang naik kendaraan, baik kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, mata kita tidak sengaja membaca tulisan. Baik iklan (tulisan) di kendaraan, maupun tulisan di dinding/tembok, atau plat nama. Bahkan, kalau truk di dekat kita, tulisan di truk pasti mencolok mata. Dari tulisan yang sopan, hingga tulisan yang seronok, hampir selalu ada di truk. Misalnya:
”Kutunggu Jandamu”
”Kunanti Cintamu”
”Anak Jalanan”
”Ayu Adine”
Dan sebagainya.

Apakah kita sengaja membaca? Tidak! Kebetulan saja, pada saat itu, mata kita terarah pada tulisan. Dan kita tidak sengaja membacanya. Demikian pula, ketika sedang antre, atau sedang menunggu di kamar tunggu. Kita juga tidak sengaja membaca. Bahkan, ketika hanya ada sehelai atau secarik koran di depan kita saat itu, kita pungut. Lalu, dengan saksama membacanya. Padahal, informasi di dalamnya sudah usang. Ini adalah tahap pertama membaca, tidak sengaja, atau karena kebetulan.

Tahap Kedua: Membolak Balik Majalah dan Buku
Membolak Balik Majalah dan Buku secara acak, untuk menemukan topik yang menarik, adalah awal yang baik menuju budaya baca. Kalau sudah memukan bagian yang dirasa menarik, maka akan dibaca sampai tuntas.

Tahap Ketiga: Membaca Komik, Majalah, dan Surat Kabar
Banyak orang tua dan pendidik melarang anak membaca komik. Alasannya, komik kurang mendidik. Benarkah demikian? Ini hanya generalisasi. Pasti tidak semua komik adalah bacaan yang buruk. Kalau toh isinya semua buruk, bukankah masih bisa dipetik satu hihmah di dalamnya: jangan melakukan yang buruk! Apalagi, kalau misalnya di dalam komik itu masih terdapat lebih dari satu unasur baiknya, pasti bacaan itu sangat berguna.
Budaya baca perlu ditumbuhkembangkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah. Siswa SMP dengan saksama dan suka hati membaca dan menikmati majalah dinding.


Tahap Keempat: Buku Pertama
Buku pertama apa yang Anda baca? Dibaca, bukan sekadar dibolak balik. Tapi dibaca sampai tuntas, selesai. Tak ada sepatah kata pun yang terlewati.

Saya sendiri baru membaca sebuah buku utuh waktu duduk di kelas satu SMA. Waktu itu, perpustakaan sekolah cukup lengkap menyediakan bacaan remaja. Meski sudah 29 tahun berlalu, sampai sekarang saya masih ingat judul dan pengarang buku pertama yang saya baca: Ali Topan Anak Jalanan karangan Teguh Esha.

Karena sangat menyukai, dan sayang pada bacaan pertama itu, saya sangat ingin memilikinya. Tahun 2003, dalam sebuah perjalanan libur ke Bali, kami sekeluarga istrahat dan makan malam di Banyuwangi.

Di salah satu kota indah perbatasan antara Jatim dan Bali ini, terdapat restoran, sekaligus gerai Vision 03. Tak menyia-nyiakan kesempatan, saya membeli buku pertama yang saya baca itu sebagai monumen. Meski puluhan tahun lalu pernah membacanya sampai tuntas, saya ingin mengulang membacanya lagi. Dan tidak merasa bosan. Bacaan itu saya baca lagi sampai tamat.

Tahap Kelima: Bacaan Tertentu
Pada tahap ini, orang hanya mau, dan menyukai bacaan tertentu. Misalnya, komik saja, atau novel saja. Bahkan, hanya menyukai jenis bacaan komik saja, bisa jadi seseorang fanatik pada pengarang tertentu. Menyukai novel, hanya suka pengarang tertentu, lainnya ogah.

Kalau anak Anda, atau bahkan Anda sendiri demikian, jangan cemas. Teruskan saja membaca! Menyukai bacaan terentu, suatu saat, akan beralih ke bacaan yang lain.

Tahap Keenam: Pengembangan
Umumnya, kutu buku tidak akan berhenti membaca dan mengelana. Kalau sudah menemukan hiburan dalam buku, yang lain akan ditinggalkan. Pada tahapan ini, waktu untuk nonton TV akan semakin berkurang. Pada tahapan ini, seseorang merasakan ”kurang puas” dari hanya sekadar menonton. Apa yang dilihatnya di TV, akan didalaminya di literatur. Sebab, sebagaimana dikatakan David Shenk, “Books are the opposite of television: They are slow, engaging, inspiring, intellect-rousing, and creativity-spurring.”

Tahap Ketujuh: Bacaan yang Lebih Luas
Pada tahap ini, seseorang merasa tidak puas hanya dengan membaca jenis bacaan tertentu. Ia mulai merasa haus buku. Tidak hanya ia menemukan di dalam buku informasi yang penting buatnya, ia juga menemukan hiburan. Dari awal mula membaca novel, ia memperluas bacaannya ke buku-buku serius, misalnya buku informasi atau buku how to.

Tahap Kedelapan: Mencari Buku Sendiri
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi menunggu. Ia mencari buku sendiri. Kalau tidak tersedia di perpustakan pribadi di rumah, ia mencarinya keluar, ke perpustakaan. Kalau tidak ada di sana, ia mencarinya ke toko buku. Kalau tidak ada di toko buku, ia mencarinya di pasar loakan.

Mencari buku sendiri ini, menimbulkan bukan saja kesenangan, tapi juga kebanggaan. Biasanya, pada tahapan ini seseorang sudah memiliki perpustakaan pribadi. Koleksi pribadinya sudah cukup banyak, setelah sekian lama membeli dan mengoleksi. Setiap bulan, sudah ada pos pembelian buku yang jumlahnya bervariasi.
Tentu, tidak semua orang pada tahapan ini bisa menyamai penulis dan singer seperti Andrias Harefa atau Eduard Depari yang sebulan menghabiskan Rp 2 juta hanya untuk membeli buku. Satu bulan, satu buku, sudah cukup memadai. Sekian tahun mencari buku sendiri, Anda akan mengumpulkan puluhan, atau bahkan ratusan, buku.

Saya mencapai tahapan ini kira-kira enam tahun lalu, saat memasuki usia 40 tahun. Benar kata pepatah,”Life begins at forty!” Sejak itu, saya rutin membeli buku. Sebab, buku yang saya beli itu pasti menghasilkan lebih dari biaya yang dikeluarkan. Kalau tidak diulas dan ditulis menjadi resensi setelah dibaca, buku itu menjadi referensi saya menulis. Kini, koleksi buku pribadi saya baru 3 ribu judul!

Tahap Kesembilan (Puncak): Kutu Buku
Tidak hanya gemar membaca, orang yang sudah mencapai tahap puncak membaca ini juga ingin menuangkan perolehannya dari membaca ke dalam tulisan. Seseorang yang banyak membaca, kepalanya serasa pecah karena berjejal begitu banyak pengetahuan dan informasi. Ia ingin menumpahkan semuanya itu ke dalam tulisan. Maka, tidak ada penulis yang tidak suka membaca. Setiap penulis adalah kutu buku!

Mencapai tahap puncak membaca, tidak mudah. Namun, jika tujuan sudah dipatok, maka tinggal memilih dan menapaki jalan untuk mencapainya. Jika ada kemauan, niscaya ada jalan!

Tidak ada komentar: