Senin, 23 Maret 2009

Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi

Ini merupakan penggalan awal bab 1 naskah buku "Literary Journalism sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi". Jika pembaca memerlukan profil mata kuliah, GBPP, SAP, hingga Kontrak Perkuliahan, silakan meninggalkan pesan dan komentar. Lulusan jurusan jurnalistik suatu PT di era multimedia, dituntut cakap dalam berpikir (clear thinking, bukan hanya terampil menuangkan gagasan/fakta (clear writing).


BAB1 : Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi

Tujuan pembelajaran:

Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
- Tuntutan kompetensi jurnalis di era multimedia
- Pentingnya penguasaan keterampilan penulisan jurnalistik sastra
- Jurnalistik sastrawi dalam konfigurasi pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi

MEDIA hari ini berkembang pesat seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan media ini mendorong manusia, sebagai pengguna, juga berubah pola interaksi sosial dan cara hidup (modus essendi)-nya.

Jika dahulu kala orang berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung melalui kegiatan tatap muka, kini kecenderungan tidak lagi demikian. Media menggganti panggung, mimbar, dan ruang. Pola konvensional interaksi dan komunikasi antarmuka sudah semakin ditinggalkan untuk menjangkau dan menerpa khalayak dalam jumlah besar dengan skala yang lebih luas.

Media adalah pilihan utama menggantikan panggung, mimbar, dan tempat yang sangat dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, media maya juga menjadi pilihan. Meski banyak pakar (Gutkind, 2004) besilang pendapat apakah media, situs, atau blog maya secara substansial mengandung komphrehensi sastra dan jurnalistik, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam banyak dimensi media maya pun dapat pula disebut besilangan dengan jurnalistik dan sastra.

1.2 Tuntutan Kompetensi Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
Sehubungan dengan tuntutan suatu perguruan tinggi harus menghasilkan lulusan yang siap-kerja, kompetitif, berbudi pekerti luhur, menjunjung nilai, dan senantiasa meng-up date diri menjadi knowledge worker, kurikulum harus didesain. Sedemikian rupa, sehingga bukan hanya sanggup membekali calon jurnalis dengan keterampilan keras (hard skill) dan keterampilan lembut (soft skill), namun juga kurilukum yang dirancang berkesepadanan dan terhubung dengan dunia industri.

Karena itu, sebelum disahkan oleh rektor, sebaiknya kurilukum suatu perguruan tinggi yang ideal didadar melalui seminar dan workshop dengan melibatkan praktisi dan para pakar yang terkait. Sembari, tentu saja, menyesuaikannya dengan perkembangan ilmu dan teori dan dengan memetik pengalaman terbaik (best practice) perguruan tinggi dalam dan luar negeri yang sudah terbukti jitu melahirkan jurnalis andal di bidangnya.

Materi buku ajar ini disusun berdasarkan rambu-rambu dan kompetensi yang digariskan kurikulum pada tataran internasional. Dimensi kekinian dan tuntutan kompetensi jurnalis di era multimedia yang harus smart dalam logika dan olah kata, menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Dan ini semua tampak nyata dalam distribusi dan porsi pokok bahasan yang proporsional antara kecerdasan logika (logic smart) dan kecerdasan olah kata (word smart).

Diagram 1.1 Tuntutan kompetensi mahasiswa jurnalistik

(sengaja tidak ditampilkan)
Sumber: Molly Blair, 2006: 159

Sebagaimana ditunjukkan dalam diagram 1.2, mahasiswa jurusan jurnalistik di perguruan tinggi dituntut untuk:
- Membaca dan mengemulasi bacaan-bacaan (terutama karya sastra) bermutu
- Memelajari dan mendalami ilmu-ilmu terkait, misalnya ilmu politik dan ilmu sosial kemaryarakatan lainnya
- Memahami elemen-elemen dan kaidah sastra dan dan terampil menghasilkan teknik penulisan
- Dapat menerapkan pengetahuan teknik penulisan ke dalam praktik
- Berlatih menulis berbagai ragam dan genre
- Mehamai dan menguasai proses dan dunia kerja jurnalistik

1.2 Membaca Menemukan Gaya
Banyak membaca bacaan bermutu bukan hanya semakin menambah wawasasan dan menyibak cakrawala, tetapi juga dari bahan bacaan diperoleh pengalaman praktis. Mahasiswa memetik langsung pengalaman terbaik (best practice) para penulis andal. Lalu, menulis dengan ”meniru” atau copy the master karya mereka untuk hingga saatnya menemuka voice, gaya, dan warna kepenulisan sendiri.

Membaca menjadi penting, sebab melalui bacaan yang bermutulah seseorang menemukan gaya. Jadi, gaya dan warna tulisan seseorang ditemukan bukan ketika menulis, tapi ketika membaca. Seperti ditegaskan Quantum Writing (Hernowo, ed. 2004, 111),

Riset dengan jelas menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca. Untuk lebih tepatnya, kita memperoleh gaya tulisan, bahasa khusus penulisan, dengan membaca. Kita sudah melihat banyak bukti yang menegaskan hal ini: Anak-anak yang berpartisipasi dalam program membaca-bebas, menulis dengan lebih baik (misalnya, Elley dan Mangubhai, 1983; McNeil dalam Fader, 1976) dan mereka yang melaporkan bahwa semakin banyak membaca semakin baik tulisannya (misalnya, Kimberling et al., 1988 sebagaimana yang dilaporkan dalam Krashen 1978, 1984; Applebee, 1978; Alexander, 1986; Salyer, 1987; Janopoulus, 1986; Kaplan dan Palhinda, 1981; Applebee et al., 1990).

Melihat alokasi waktu yang disediakan untuk pendidikan formal jurnalistik, terutama mata kuliah jurnalistik sastra, sebagaimana tampak dalam satuan kredit semester (SKS), mau tidak mau kompetensi yang dituntut dari lulusan harus diiringi dengan tersedianya waktu untuk belajar mandiri dan latihan.

Diagram 1.2 Arus pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi dan tuntutan kompetensi lulusan

(diagram sengaja tidak ditampilkan)

Sumber: Molly Blair, 2006: 250

Oleh karena itu, mahasiswa harus lebih banyak menyediakan waktu untuk berlatih mandiri dan belajar secara berkelompok. Berdiskusi dan berbagi akan memercepat proses perolehan pengetahuan dan keterampilan.

Tidak ada komentar: