Senin, 22 Juni 2009

Kenaifan dan Ketidakfairan Ujian Nasional

Ujian Nasional (UN) jadi salah satu masalah nasional. Boro-boro Depdiknas mengatasi salah satu masalah dan menjadi problem of solution, malah jadi masalah itu sendiri (part of problem). Tulisan ini pernah dimuat Suara Pembaruan, saya tampilkan kembali di blog ini. Semoga bermanfaat!
Salam
R Masri Sareb Putra


Hasil Ujian Nasional (UN) baru saja diumumkan. Sayang, Depdiknas terkesan cuci
tangan. Departemen yang mengurusi pendidikan nasional itu menunjuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang bertanggung jawab atas pelaksanaan maupun pengumuman hasil UN. Dalam hal ini, alih-alih mengurai benang kusut pendidikan nasional, Depdiknas justru menjadi part of problem pendidikan itu sendiri!

Bayangkan! Jatuh banyak korban UN karena berbagai faktor yang sebenarnya bukan datang dari siswa. Jika menggunakan takaran kecerdasan mengatasi hambatan Paul Stoltz (Adversity Quotient), hambatan bukan datang dari subjek, melainkan faktor luar yang tidak bisa dikendalikan. Fear factor justru Pemerintah sendiri dan siswa tetaplah cerdas dengan skor AQ tetap tinggi.

Faktanya, angka ketidaklulusan UN 2008 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Muncul pertanyaan, mengapa demikian? Apakah murid semakin goblok? Guru yang tidak becus mengajar? Kriteria kelulusan yang tidak sahih? Materi yang diuji tidak sama dengan yang substansi materi diberikan/diajarkan? Ataukah kegagalan siswa karena cara membuat soal yang tidak mencerminkan perolehan siswa? Pertanyaan pertama dan kedua tentu tidak perlu dijawab, karena tidak mungkin. Akal sehat mengatakan, semakin hari semakin pintar anak-anak bangsa.

Yang menarik justru jawaban penyebab tingginya angka ketidaklulusan karena kriteria kelulusan yang tidak sahih, materi yang diuji tidak sama dengan yang diberikan/diajarkan di sekolah selama 3 tahun, cara membuat soal yang tidak mencerminkan perolehan siswa.

Soal dan Logika Bahasa

Soal UN Bahasa Indonesia (BI) menjebak siswa. Akibatnya, banyak tidak lulus. Jika diperhatikan, banyak susbtansi materi BI di SMP dan SMA dan soal tidak saling terkait. Memelajari soal BI, kita dapat menyimpulkan, tanpa diajarkan susbtansi materi di kelas pun, siswa yang cerdas dapat mengerjakan soal UN dengan baik. Asalkan, logika dan cara berpikirnya tepat dan lurus.

Soal UN BI tidak demikian. Tidak menjamin siswa yang sudah menguasai substansi materi memeroleh nilai maksimal. Tidak juga menjamin siswa yang logika dan cara berpikirnya tepat dan lurus dapat mengerjakannya dengan maksimal. Penyebabnya, soal yang ambigu dan naif. Tidak disusun berdasarkan logika yang lurus dan tepat, tetapi cenderung menafikan prinsip-prinsip logika formal di dalam bernalar dan mencapai simpulan.

Ironis! Banyak siswa tidak lulus UN BI. Sungguh tidak masuk akal. Nilai Bahasa Inggris jauh lebih tinggi di- bandingkan dengan BI, padahal penguasaan atau komprehensi adalah sebaliknya. Sebagai contoh inilah soal soal UN BI SMP tahun 2006.

Meskipun hanya meraih satu emas dalam Olimpiade Fisika Internasional XXXV di Pohang, Korea Selatan, 14-22 Juli 2004, Indonesia tidak perlu berkecil hati. Emas persembahan Yudistira Virgus itu menempatkan Indonesia se- bagai salah satu negara yang disegani dalam perkembangan ilmu Fisika.

1. Gagasan besar pokok paragraf tersebut adalah ........
A. mahalnya harga sekeping medali emas B. Indonesia disegani dalam perkembangan ilmu Fisika C. keberhasilan Indonesia dalam Olimpiade Fisika Internasional D. Yudistira Virgus mempersembahkan satu medali emas.
Pada era global, sumber daya manusia (SDM) handal merupakan kebutuhan yang mendasar. Usaha untuk mendapatkan SDM andal dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya melalui penataran, pelatihan, kursus, lokakarya, seminar, atau kegiatan sejenis. Cara yang paling efektif untuk menghasilkan SDM andal adalah melalui jalur pendidikan. Dengan mengikuti pendidikan tertentu, seseorang dapat belajar berdasarkan kurikulum yang terprogram dan hari efektif yang pasti.
2. Simpulan tersirat dari paragraf tersebut adalah ........
A.Pada era global, setiap negara membutuhkan SDM yang andal sebagai kebutuhan mendasar. B. Jalur pendidikan dianggap lebih efektif untuk menghasilkan SDM handal. C. SDM yang andal dapat diupayakan melalui berbagai cara antara lain cara pendidikan dan pelatihan. D. SDM yang handal menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap negara baik negara maju maupun berkembang.

Simpulan, dalam logika, adalah penarikan dari premis-remis sebelumnya, ada premis major dan premis minor. Perhatikan, pada contoh 1 dan 2, tidak jelas mana premis major dan premis minor. Yang lebih konyol, soal itu tidak memerhatikan syarat-syarat penarikan simpulan yang valid dan benar. Bangun silogisme dalam logika formal sama sekali tidak diindahkan!

Apa gagasan pokok dari wacana 1 dan 2, bisa multitafsir. Seharusnya, bukan demikian cara menyusul soal yang baik dan benar. Berangkatlah dari term AEIO, dengan kuantitas dan kualitasnya, lalu sampai pada distribusi yang diakhiri dengan preposisi. Misalnya, preposisi A adalah afirmatif universal dengan contoh "Semua burung makhluk bersayap". Preposisi E adalah universal negatif dengan contoh, "Tidak ada burung yang tanpa sayap". Preposisi I adalah partikular afirmatif dengan contoh, "Beberapa burung berwarna hitam". Sedangkan preposisi O adalah partikular negatif dengan contoh, "Beberapa burung tidak berwarna hitam."

Pada contoh soal UN BI di atas, kaidah-kaidah logika diterjang dan tidak diindahkan. Penyusun soal agaknya cukup puas hanya mengambil dari wacana yang sudah tercetak dalam media, tanpa mau bersusah payah mengolahnya kembali.

Dalam creative writing, yang juga menekankan dan mengasah kecerdasan/keterampilan berpikir (thinking skill), diajarkan bahwa cara mudah menemukan central idea/main idea atau gagasan pokok suatu wacana ialah dengan melihat subjek, predikat, objek, dan keterangan suatu kalimat. Gagasan pokok lazimnya terletak pada kalimat pertama, meski kadang pada kalimat bukan-pertama.

Soal UN BI tidak demikian. Kita tidak menemukan adanya kalimat yang dirangkai sesuai kaidah logika. Yang paling fatal, tidak jelas hubungan logis antarkalimat. Tidak jelas mana kalimat yang "mendukung" (support), "membuktikan" (prove), atau "menyediakan bukti untuk" (provide evidence for) yang bersama-sama membangun (ke-) simpulan (conclusion).

Seharusnya, dalam soal pemahaman seperti UN BI, kombinasi antara kalimat atau klausa atau pernyataan dalam satu kesatuan yang jelas. Kombinasi yang utuh dari itu semua di- sebut argumen. Argumen adalah sebuah kelompok dalam pernyataan (kalimat-kalimat/ klausa-klausa) baik dengan menggunakan kalimat panjang ataukah dengan suatu kelompok kalimat gramatikal yang berbeda, sehingga satu atau lebih pernyataan disebut "mendukung" (support), "membuktikan" (prove), atau "menyediakan bukti untuk" (provide evidence for) pernyataan yang lain lagi.

Soal UN yang baik ialah yang sesuai dengan, atau menguji perolehan siswa, akan susbtansi materi yang telah diajarkan. Sedangkan soal UN yang benar ialah yang penyusunannya sesuai dengan tujuan pengukuran dan memenuhi kaidah formal logika yang memerhatikan bangun silogisme yang sahih. Misalnya, jika A adalah B, dan B adalah C, maka A sama dengan C. Dalam rumusan ini B lenyap, yang tinggal hanyalah A dan C. Faktanya adalah A dan C berelasi sebagai simpulan (konklusi) dengan jalan deduksi. Secara simbolik, silogisme ini dapat digambarkan sebagai berikut:
A adalah B, B adalah C, Karena itu, A adalah C
Semua hewan bersayap dan berbulu dapat terbang (A). Tekukur adalah hewan bersayap dan berbulu (B). Simpulan: Tekukur dapat terbang (A = C)

Dalam bangun silogisme ini, tampak bahwa silogisme sekaligus valid, sekaligus benar. Mengapa? Ini karena syarat-syarat penarikan simpulan sudah terpenuhi, premis major dan minor benar; sehingga dihasilkan simpulan yang benar. Simpulan juga benar, apabila hewan lainnya menggantikan posisi tekukur. Namun, menjadi tidak benar -meskipun secara logika valid- apabila burung onta yang menggantikan posisi hewan lainnya. Meski ciri-cirinya benar bahwa burung onta "hewan bersayap dan berbulu", namun burung onta tidak dapat terbang. Jadi, generalisasi tetap mengandung pengecualian!

Sayang, wacana yang dipakai sebagai contoh soal UN BI tidak demikian. Banyak sudah keluhan dan masukan dilayangkan pada Pemerintah, namun respons yang positif dan nyata belum menyentuh susbtansi. UN terbukti sudah menelan banyak korban.

Penulis adalah pengampu Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan Dasar-Dasar Logika di Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.

Tidak ada komentar: