Orang lebih mengenal jeruk manis itu sebagai “jeruk pontianak”. Tapi, begitu Anda menginjakkan kaki di bumi khatulistiwa, jangan coba-coba mengatakannya demikian. Mengapa? Karena Anda hanya akan jadi bahan tertawaan.
Asal tahu saja, tak sebatang pohon pun jeruk ditanam di “kota hantu” itu. Kebun jeruk pontianak yang terkenal itu terletak di kecamatan Tebas, Kab. Sambas.
Maka ada teka teki berkadar intelektual tiggi, "Jeruk ditebas (mestinya di penulisannya dipisah, tapi ketika dilafalkan tidak berbeda)kok malah tumbuh subur. Mengapa?"
Namun seribu sayang, salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) Kalbar itu kini tinggal legenda. Sejak lima tahun lalu, lahan-lahan kebun jeruk kering dan kemudian jadi mati. Tak jelas benar penyebabnya.
Tapi kabar kabur mengatakan, hancurnya komoditas kebanggan masyarakat Sambas itu disbabkan pupuk KCL yang dikembalikan ke Indonesia oleh salah satu negara pengimpor karena tidak sesuai dengan standar mutu. Ini tentu saja alasan politis.
Namun, menurut Aseng (31 tahun), salah seorang petani jeruk di Tebas, penyebabnya adalah soal tata niaga. Seperti banyak orang mafhum, putra salah seorang penguasa negeri ini pernah “mengobok-obok” tata niaga jeruk pontianak.
Sebelumnya, tata niaga jeruk berjalan sesuai dengan mekanisme pasar: Harga berjalan seiring hukum permintaan dan penawaran. Tapi setelah anak mantan penguasa itu masuk, semuanya jadi amburadul.
Tata niaga yang seakan-akan dari luar tampak menguntungkan petani, dalam praktek sesungguhnya adalah monopoli. Itulah akal-akalan anak mantan penguasa bekerja sama dengan (oknum?) Pemda Kalbar, melalui konsorsium Badan Koordinator Tata Niaga Jeruk (BKPTJ).
Akibat tata niaga itu jelas. Petani jeruk tercekik. Karena profit margin yang sangat kecil, mereka tak mampu lagi menyisihkan sebagian keuntungan untuk maintenance (perawatan) kebun jeruknya.
Tanaman jeruk yang tumbuh subur di sepanjang jalan raya Singkawang-Pemangkat-Tebas-Sambas, jadi terlantar. Tak ada lagi pos biaya untuk pembersihan, perawatan, pemupukan, penyemprotan hama. Maka, dalam sekejap, tanaman jeruk itu pun ludes.
Lalu benarkah penyebab hancurnya tanaman jeruk pontianak disebabkan pupuk KCL dan hama? Mungkin tidak.
Dari kisah Aseng tadi dengan sangat gamblang disimpulkan, teta niaga adalah biang kerok hancurnya jeruk pontianak. Terlanjur kesal dengan tata niaga yang merugikan mereka, para petani lantas membiarkan tanaman jeruk mati.
Tadinya, sentra jeruk di Tebas merupakan etalase sukses pertanian Kalbar. Bayangkan, dari 24 ribu hektar kebun jeruk di Kalbar, 90% ada di Tebas. Areal kebun jeruk seluas sekitar 20 hektar ini melibatkan sekitar 25 ribu petani.
Mereka terlibat sebagai buruh, tukang kebun, penjual jasa angkutan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kebun jeruk di Tebas melibatkan mayoritas penduduk Kab. Sambas yang berjumlah sekitar 850 ribu pekerja. Artinya, banyak petani jeruk itu adalah etnis Cina.
Ketika jeruk masih berjaya, kemakmuran tampak di mana-mana. Antena parabola berjajar di rumah-rumah penduduk. Begitu pun, TV berwarna merupakan milik wajib setiap keluarga. Banyak di antara petani bahkan mampu menyisihkan penghasilan untuk membeli sepeda motor dan mobil.
Demikian pula, kesibukan warga seperti tak pernah berhenti. Aktivitas selama 24 jam ada-ada saja. Mulai dari memetik, mensortir, mengemas, hingga mengangkut jeruk ke koperasi.
Biasanya, jeruk disortir kedalam tiga jenis: A, B, dan C bergantung besar kecilnya. Usai disortir, jeruk itu siap dikirim ke Jakarta.
Jeruk pontianak kini tinggal nama. Kalaupun masih ada, mutunya sudah sangat jauh menurun. Kurang manis, dan kecil-kecil. Hampir tak dapat ditemukan lagi jeruk Tebas dengan kualitas A. Paling-paling kualitas C saja yang masih dapat kita temukan. Di kebun, harganya sudah Rp 3000 perkilo. Padahal dulu, cuma rp1500 saja.
Hancurnya kebun jeruk Tebas bukan tak meminta biaya sosial. Kerusuhan rasial Sanggau Ledo 29 Desember 1996, yang dikenal dengan Kerusuhan Sambas, salah satu pemicunya ditengarai adalah kerawanan sosial daerah itu akibat masalah pengangguran. Coba kalau semuanya serba sibuk, dan makmur, tentu kerusuhan tak akan menjalardan masif demikian cepat seperti itu.
Masa keemasan jeruk kini telah berlalu. Mantan Bupati Sambas, Tarya Ariyanto mengakui, jeruk kini bukan lagi primadona. Hal ini tercermin dari retribusi jeruk yang “hanya” Rp750 juta. Padahal, di masa jayanya, retribusi bisa mencapai rp1,6 miliar.
Apa rencana Aseng setelah masa jeruk berlalu? Seperti kebanyakan keturunan Cina yang lain, Aseng tampak selalu optimis menatap hari depan. “Kami akan menggarap sawah dan menanam padi,” ujar Aseng tak putus asa.
Banting stir seperti itu, agaknya sudah mulai dilakukan. Di sepanjang jalan antara Singkawang dan Sambas, sejauh mata memandang yang tampak hanyalah hamparan hijau padi dan kebun kelapa. Bisa jadi, elegi aseng soal jeruk, segera berubah jadi simponi.
Tak di mana pun, warga keturunan Cina memang selalu ulet. Mereka memiliki kemampuan adaptif sangat tingi. Dapat mengubah tantangan jadi peluang. Dalam istilah Paul Stoltz, mereka memiiki Adversity Quotient AQ) tinggi karena sanggup turning obstacles into opportunities.
Jujur harus diakui, kita perlu banyak belajar dari mereka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar