Saya pernah datang ke pameran lukisan di Jakarta. Sebuah pagelaran seni lukis, menampilkan lukisan bernuansa khas Kalimantan Barat. Sebanyak 40 lukisan bernuansa etnik Dayak, Melayu, dan Cina dipamerkan di Galeri Mini, Pusat Kebudayaan Jepang.
Sebagaimana diketahui, Dayak, Melayu, dan Cina adalah suku mayoritas Kalbar. Dari ketiga suku itulah dibentuk kata "Sambas" yang berarti: tiga suku (sam = tiga, bas = suku).
Orang luar kerap bingung, mengapa ketiga suku itu bisa akur. Tapi saya tidak. Saya mafhum, jauh sebelum Indonesia merdeka, ketiga suku sudah bersepakat. Akan saling menyokong kalau ada perlu. Bila salah satu suku diserang pihak luar, suku lain wajib membantu.
Maka tak heran, dalam Kerusuhan Sambas, casus belli memang berawal dari pertikaian pribadi Melayu-Madura. Tapi kemudian jadi massif dan melibatkan suku lain. Ada sejarahnya. Ketiga suku telah sepakat bersekutu sejak zaman kolonial.
Kembali ke laptop, eh topik, atau unting-unting tulisan. Selama sepuluh hari, empat perupa asal Kalbar menggelar lukisannya. Mereka adalah Kurniawan, Zulkiflie MS, Jayus, dan Sahih. Dengan tema “Nuansa Goresan Kalimantan Barat”, keempat pelukis mencoba mengangkat warna lokal Kalbar. Lewat lukisan, mereka berusaha menampilkan tidak saja suasana dan gaya hidup masyarakatnya, tetapi juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi khatulistiwa.
Lewat lukisan-lukisan itu, para pelukis pun hendak mengangkat citra dan mengharumkan nama daerah asal mereka. Meski yang tampak menonjol adalah warna lokal, para pelukis mampu menampilkan keberagaman corak dalam lukisan. Keempat-empatnya menggunakan cat minyak di dalam menuangkan kreasi mereka; meski satu di antara mereka, Jayus, yang selain menggunakan cat minyak, juga menggunakan mixed media.
Ditilik dari objek dan corak goresan, para keempat pelukis dapat digolongkan ke dalam pelukis naturalis. Ini terlihat nyata dalam pilihan tema yang menekankan kekayaan alam, seperti flora dan fauna. Sebagian lagi, menonjolkan kehidupan sosial masyarakat setempat.
Itulah sebabnya, kendatipun para pelukis dari segi usia boleh dikatakan masih muda, hasil lukisan mereka telah menunjukkan kematangan dalam berkesenian. Biasanya, anak-anak muda tak mampu keluar dari dunianya. Lebih sering anak-anak muda mengabadikan diri dan dunianya, jarang memilih tema di luar itu.
Walaupun lukisan-lukisan yang dipamerkan menonjolkan warna lokal, akan tetapi keberagaman tetap menjadi kekuatan utama. Masing-masing pelukis mencoba mengekspresikan warna lokal melalui goresan kanvasnya. Mereka mengeksplorasi warna lokal sesuai dengan resepsi masing-masing, sesuai dengan pengamatan mereka terhadap alam, sosial, budaya, serta warna lokal.
Tak mengherankan, kalau kemudian lukisan-lukisan itu masuk dalam tema besar yang mereka ciptakan. Karena sebuah lukisan adalah juga suatu komunikasi, para seniman menjalin komunikasi dengan masyarakat seni. Itulah sebabnya, selain masyarakat pencinta seni, yang datang menyaksikan pameran lukisan anak-anak muda itu kebanyakan adalah warga Kalimantan Barat yang menetap di Jakarta dan sekitarnya.
Warna lokal dengan sudut pandang mistik coba diangkat pelukis Sahih. Ia mewakili etnik Kalbar, yang melalui sudut pandang magis menonjolkan tema-tema Topeng I, Roh II, Dua Kekuatan, dan Kebiadaban.
Sebagai manusia, Sahih tampak tak bisa lepas dari interes pribadi. Lukisan-lukisan seniman kelahiran Pontianak 3 November 1967 ini mengolah komposisi warna dan bentuk. Tak ada kesan lain, kecuali mistik, dari pengunjung atas karya Sahih ini.
Melalui goresan kuas pendek, Sahih membuat petak-petak kecil seperti yang terdapat dalam bilik bambu. Teknik ini tidak dilakukan pada seluruh bidang kanvas, tetapi hanya pada bagian tertentu saja. Dengan begitu, pelukis menciptakan postur polesan.
Meski cenderung ke aliran abstrak (karena mistik), Sahih tetap berhasil menampilkan pola dekoratif. Hal ini tampak dalam lukisan berjudul Adu Gasing. Setiap kali usai panen padi, masyarakat Dayak mengadakan permainan adu gasing. Dalam bahasa Dayak, permainan itu disebut “bapangka gasingk”.
Lain lagi dengan Kurniawan. Pelukis muda kelahiran Pontianak pada 30 Mei 1978 ini memperlihatkan eksplorasi garis dan arsiran. Berbagai macam garis, mulai dari garis lurus, garis lengkung, dan garis horisontal menjadi sumber kreatifnya di dalam melukis. Dengan bantuan media berupa cat minyak, objek yang dipilih Kurniawan memunculkan kesan yang dinamis. Arsiran yang halus dan tipis mampu menambah kekuatan ekspresi. Objek pilihannya pada fauna khas Kalbar, seperti: Kucing, Burung Madu, Kucing Hitam, dan Burung Enggang (hornbill).
Sayangnya, teknik artistik yang ekspresif dan indah pada objek fauna, kurang begitu berhasil dalam objek manusia. Hal ini terlihat pada lukisan wajah seorang gadis Dayak di bawah judul “Tersenyum”. Lukisan terkesan kurang wajar, lantaran Kurniawan di dalam mengabadikan objek itu cenderung memilih gaya realisme.
Masih dengan tema alam Kalbar, perupa Zulkiflie MS menghadirkan sejumlah lukisan. Objek-objek yang dipilih umumnya menarik, dan termasyhur. Ikan Arwana (--Latin) sering muncul dalam lukisannya. Salah satu lukisan paling impresif adalah lukisan berjudul Dinamika Arwana dan Pesona Arwana. Seniman muda kelahiran Pontianak ini tahu benar, arwana adalah salah satu fauna dari Kalbar yang akhir-akhir ini naik daun. Ikan ini banyak dipelihara di akuarium, harganya jutaan rupiah. Dahulu, ikan yang bergerombol di muara sungai pada musim bertelur ini, dibuat ikan asin. Saya sering memakannya. Ibu saya paling suka memasaknya dicampur daun ubi tumbuk. Lezat sekali! Nama setempat arwana adalah ikan silok.
Selain mengabadikan kekayaan fauna, Zulkiflie juga menampilkan kekayaan budaya masyarakat setempat (Cina). Hal ini tampak dalam lukisan-lukisannya berjudul Barongsai, Pesta Naga, dan Tradisi Meriam Karbit.
Di dalam menggarap objek, Zulkiflie menonjolkan segi teknis dengan mengandalkan komposisi warna. Lukisannya penuh dengan dinamika. Ia tampak melakukan pencarian yang dalam dan sangat panjang. Karena itu, lukisannya jadi penuh pesona, seperti tampak dalam dinamika objek lukisan ikan arwana.
“Alam, budaya, dan masyarakat Kalbar merupakan sumber inspirasi saya yang tak pernah kering,” aku Zulkiflie.
Lukisan berjudul Dinamika Arwana I yang dibuatnya tahun 1996, menampilkan dinamika ikan itu. Arwana dikenal dinamis, tak pernah bisa diam. Selalu saja bergerak, matanya lincah mengarah ke arah mangsa. Arwana selalu dalam posisi siap menerkam sesuatu yang disangka makanan. Bahkan, jemari tangan pun siap diterkamnya. Objek ini diabadikan pelukis melalui lukisan realistis, dengan warna yang detil, dikombinasi siluet dengan perspektif.
Sedangkan pada lukisan di atas kanvas berjudul Barongsai yang dibuat tahun 2000, Zulkiflie memperlihatkan sisi lain dari melukis. Sapuan tangannya di atas kanvas kali ini liar dan lebih bebas. Justru dengan begitu, karya ini lantas terkesan ekspresif. Warna saling beradu, namun tetap dalam kesan yang rapi dan teratur.
Sementara pelukis lain, Jayus Agustono, tampil dengan lukisan abstrak. Sebagian besar lukisannya menggunakan mixed media. Jayus tampil dengan warna khas sosial.
Masih panjang jalan yang dilalui keempat pelukis muda Kalbar di dalam meniti karier sebagai pelukis. Ini pertama kali mereka menggelar pameran di Jakarta, mungkin suatu saat kelak mereka bakal melanglang buana. Asalkan tetap menekankan warna lokal, keempat pelukis niscaya akan tetap mendapat tempat di hati pencinta seni, khususnya seni lukis, karena memiliki identitas.
Seni merupakan keindahan lahiriah, sekaligus representasi jiwa dan ide seniman. Ia adalah karya artistik yang tidak berdiri sendiri. Sebagai manifestasi lahiriah, yang tampak memang hanya lukisan. Namun, sejatinya ada gagasan besar di sana yang hendak diungkapkan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar