Rabu, 17 Juni 2009

Who Stole the Dayak Land?

Judul tulisan saya kali ini --mungkin-- provokatif. Namun, ini sebuah fakta. Terlahir sebagai putra asli Dayak Bi Doih (bukan Bidayuh seperti selama ini ditulis pakar etnologi dan penulis asing) saya coba meluruskan sejarah. Terutama pendekatan, konsep, data, sudut pandang, dan foto2 kuna yang sering memanipulasi etnis Dayak. Buku saya dengan judul di atas sedang dalam proses penerbitan. Orang Dayak sebagai pewaris pulau Borneo di era borderless seperti saat ini, jangan sampai termarjinalisasi oleh kepentingan ekonomi dan VOC wajah baru. Saya mengamati, kecamatan Jangkang dan Noyan yang menurut Pemda Sanggau merupakan "hutan lindung" mulai dirambah para meneer pengusaha kelapa sawit dan akasia dari Jakarta. Nah,siapa sudi, atau penerbit mana berminat, menerbitkan buku ini?

Ini cuplikan kecil chapter buku saya mengenai Berladang yang menunjukkan kearifan lokal (tradisional) suku Dayak. Judulnya terinspirasi oleh buku Burke hedges, Who Stole the American Dream?
Tulisan ini boleh dipetik, asalkan dengan jelas menyebutkan sumbernya.
----------------------------------------------------------------------------------

Ladang dan Kearifan Tradisional Suku Dayak
(Poya Nyak Bopugongk, Adat Nyak Bolinongk)

Oleh: R. Masri Sareb Putra*)


Abstrak:
Orang Dayak mereguk sejuta nikmat dari berladang, sebuah proses dan teknik tradisional kultivasi padi di lahan kering. Berladang, bagi orang Dayak, ternyata bukan hanya pernik-pernik kultivasi padi semata, tetapi juga ada sisi ritualnya dan menjadi titik awal dari siklus gawai. Sayang, gara-gara membakar lahan perladangan, agar didapat tanah bakar dan humus yang subur, sering orang Dayak dituduh merusak lingkungan. Padahal, sejak dahulu kala mereka arif bijaksana mengelola alam dan lingkungan. Yang merusak alam dan lingkungan Kalimantan bukan cara dan proses berladang ala orang Dayak, melainkan tindak perusak HPH dan oknum pelaku illegal logging.

Kata kunci:
Ladang, budaya, kearifan tradisional, padi, gawai, pantun.


1. Pengantar
Ladang adalah tumpuan hidup semua orang, terutama orang Dayak. Kita dapat membuat litani panjang betapa ladang sangat vital dan menjadi kata kunci dalam kehidupan umat manusia. Misalnya: ladang padi, ladang gandum, ladang jagung, ladang tebu, dan ladang minyak. Bahkan, kerap pula kantor, atau pekerjaan, disebut sebagai ladang karena dari sana akan dituai hasil.

“Ampus ka huma boh!” begitu kita sering mendengar, jika suatu pagi bertemu kerabat. Jelas, maksudnya bukan ke huma dalam pengertian ladang sebagai lahan kultivasi padi. Namun, ungkapan itu bisa diartikan pergi ke kantor atau ke pekerjaan tetap.

Itu adalah sisi positif, atau makna, ladang sesungguhnya. Yakni, lahan tempat manusia mengais rezeki dan menabur harapan untuk hidup. Akan tetapi ladang, suatu ketika, dapat juga berkonotasi negatif. Misalnya, ladang pembantaian (killing field). Pada zaman Nazi, atau saat di negeri kita tahun 1960-an, ramai-ramainya mengganyang anggota dan orang yang dianggap antek-antek PKI, ladang menjadi kata yang menyeramkan. Bukan hidup yang ditemui di ladang, justru sebaliknya.

2. Ladang dan Siklus Perladangan Kembali Orang Dayak
Orang Dayak yang arif-bijaksana, tidak pernah sekali pun menajiskan kata “ladang”. Bahkan, ladang dianggap keramat oleh orang Dayak sebab ladang terbukti mampu menjadi sumber penghidupan bagi mereka. Karena itu, dari mulai melihat-lihat lahan yang akan dijadikan ladang (ngabas poya), hingga usai panen (gawai panen), selalu ada upacara yang berkaitan dengan ladang.

Tidak syak lagi, melihat siklus pesta yang ada hubungannya dengan ladang, dapat disimpulkan bahwa orang Dayak memiliki penghormatan khusus pada ladang (tanah) sebagai mata rantai kebersatuan dengan alam semesta. Ini juga bukti bahwa orang Dayak amat memerhatikan keharmonisan hubungan dengan Yang di Atas dan dengan seluruh alam. Jadi, menghormati dan menghargai ladang, sama saja dengan menghormati dan menghargai Si Pemberi dan Asal Mula Kehidupan.

Melihat proses dan cara orang Dayak berladang, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang merusak hutan Kalimantan bukan orang Dayak, tapi para pengusaha HPH dan perkebunan skala besar. Bagaimana mungkin orang Dayak merusak hutan, jika hutan menjadi bagian hidup dan sumber penghidupan? Orang Dayak baru akan meladangi kembali areal lahan jika sudah cukup umur, yakni setelah diladangi 15-20 tahun lalu ketika lahan semula sudah cukup humus dan pepohonan sudah besar-besar. Filosofi di balik siklus perladangan ini ialah untuk tetap menjaga keseimbangan alam, yakni tetap terjaganya persentase yang harmonis antara hutan dan lahan garapan. Dengan demikian, bencana alam yang ditimbulkan dari disharmoni alam dan makhluk penghuninya dapat dieliminir. Di sinilah letak kerarifan tradisional suku Dayak, khususnya dalam perladangan yang meski meladangi atau menggarap lahan tetap menjaga dan memeliharanya seturut dengan hukum alam pula.

Keharmonisan penduduk Kalimantan dengan alam, termasuk proses dan cara berladang, hingga tahun 1980-an masih dapat dijaga dan dipelihara. Akan tetapi, sejak pengusaha kayu dan perkebunan datang, ditambah ulah penambang emas dan batu, banyak lahan di bumi khatulistiwa menjadi tandus dan gersang.


Menugal (menanam padi di ladang) dan ladang yang baru saja dibakar. (Hedda Morrison)

Menurut hasil pengamatan David Jenkins, sebuah keluarga Dayak meladangi areal rata-rata 16 hektar per tahun dengan hasil per hektar kurang lebih 900 kilogram padi (Jenkins: 1978). Di zaman dahulu kala, orang Dayak yang kaya (dan berada) diukur bukan dari perhiasan emas, intan, dan permata, namun ditakar dari seberapa banyak padi yang tersimpan di lumbung. Orang Dayak yang kaya hari ini makan nasi yang disimpan di lumbung dua atau tiga tahu yang lalu. Makan nasi yang diambil dari lumbung hasil panen tahun ini, tidak dianggap berada, hanya pas-pasan.

Di balik pemujaan akan sikap dan gaya hidup makan nasi hasil panen tahun-tahun sebelumnya, tersimpan filosofi yang sangat dalam. Karena zaman dahulu nenek moyang belum terbiasa menabung di bank atau CU, maka orang menyimpan padi (harta benda) di lumbung. Lumbung padi dianggap sebagai bank atau savings. Karena itu, orang Dayak yang kaya akan mempunyai banyak lumbung padi yang isinya penuh, identik sekarang dengan orang yang punya banyak simpanan di bank. Satu lagi kita melihat kerarifan tradisional suku Dayak dari pemujaan menyimpan padi di lumbung, yakni bahwa sebenarnya mereka sudah berpikir jauh ke depan mengenai persiapan pangan.

Ladang bagi orang Dayak tidak hanya berfungsi sebagai lahan yang akan memberikan hasil utama padi yang nasinya sangat enak dan beraroma harum. Lebih dari itu, ladang juga punya sisi-sisi lain, yang tidak ditemukan pada lahan basah. Sebagai contoh, dari ngabas poya, bakal lahan ladang sudah memberi kenikmatan tersendiri. Waktu menjengguk lahan yang akan diladangi, orang Dayak mulai menetapkan tempat (ada yang menamakannya kerancak) yang nantinya dijadikan dangau atau pondok. Kalau sudah dibakar, areal dangau dijadikan probini (tempat menyimpan bibit padi) dan nanti dari sinilah asal bibit padi yang akan ditanam waktu menugal.

Ladang sebagai lahan kering kultivasi padi memberikan penghidupan dan kenyamanan yang tiada tara –hal yang tidak bisa didapat dari bercocok tanam di lahan basah. Waktu nebas misalnya, areal ladang menyediakan aneka bahan makanan dan minuman. Ada umbut ransa, enau, atau aping yang enak dijadikan sayur. Ladang juga menyediakan aneka jamur, baik jamur yang tumbuh di tanah maupun yang menggantung di pohon mati. Ada aneka sayuran rebung dan pakis. Pakis hutan, biasanya berwarna merah kehijauan dan kalau dimasak, dicampur ampas tape pulut (rampang) enak bukan main.

Bahkan, waktu orang Dayak menebas huma, orang sering mendapat binatang, seperti ular, kelelawar, burung, tupai, tikus hutan, atau landak yang dagingnya sangat lezat disantap. Semua itu adalah mata rantai kenikmatan yang didapat dalam proses perladangan.

Itu sebabnya, kita harus memberikan catatan khusus mengenai tradisi berladang orang Dayak. Sejak nenek moyang, sampai dewasa, orang Dayak terbiasa makan nasi huma. Mereka tahu, huma sudah memberikan penghidupan. Karena itu, tidak mungkin orang Dayak merusak lahan karena akan ditanami kembali.


3. Ladang Tidak Merusak Lingkungan
Karena proses dan tata cara berladang arif-bijaksana yang memerhatikan hukum alam diturunkan dari generasi ke generasi, maka setiap orang Dayak wajib menjaga dan memeliharanya. Siapa saja yang berladang tidak sesuai dengan adat, akan kena adat. Itu sebabnya, ada ungkapan Dayak Sanggau yang sangat dalam maknanya, “Poya nyak bopugongk, adat nyak bolinongk” (alam untuk berlindung/bertumpu, adat untuk berpegangan). Tindak melanggar adat, akan dikucilkan dari komunal dan dianggap bukan-Dayak lagi.

Lalu, siapa perusak hutan dan penggundul hutan Kalimantan? Tentu saja, bukan penduduk setempat (indigenous people) yang menggantungkan seluruh kehidupannya pada lingkungan dan alam Kalimantan, tetapi para pendatang dan orang kota! Sebagai contoh, yang menggondol izin HPH dan pemilik perkebunan di Kalimantan adalah kaum pendatang dan orang kota. “Orang kota” yang dimaksudkan ialah pengusaha dari Pontianak dan Jakarta, sedangkan kaum pendatang ialah siapa saja yang perilaku dan cara hidupnya merusak alam sebagai sumber dan tumpuan penghidupan.

Yang terasa tidak adil ialah adanya selentingan yang mengatakan bahwa orang Dayak dan penduduk setempat adalah penyebab kebakaran hutan dan gundulnya bumi khatulistiwa. Malangnya, kebakaran hutan dan kepulan asap justru terjadi bulan Juli-Oktober, berertepatan dengan siklus alam (musim panas) sebagai saat yang tepat bagi orang Dayak membakar ladang.

Padahal, ratusan tahun lamanya orang Dayak membakar ladang, dan tidak pernah menimbulkan masalah. Sebab, kearifan mengajarkan, batas ladang harus dibuat tegas, agar api tidak bisa melalap lahan di sampingnya. Kalau api dari membakar ladang sampai menyapu lahan tetangga, si empunya ladang akan membayar adat! Ada hukum adatnya khusus untuk itu.

Agaknya, karena itu, Musyawarah Adat Dayak tidak pernah lelah mengampanyekan, perusak hutan Kalimantan bukan penduduk asli. Mustahil mereka mau menggorok leher sendiri, sebab ladang adalah tumpuan hidup utama. Lagi pula, mereka hidup dan tinggal di situ. Lama orang Dayak didakwa kasus kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan. Sampai-sampai, beberapa tokoh perlu mendukung dan menyekolahkan orang Dayak yang potensial untuk studi di bidang hukum lingkungan.

Meski demikian, asumsi bahwa orang Dayak arif bijaksana dalam hal kultivasi padi dengan cara berladang, bukan hanya sepihak. Antropolog dan peneliti Barat jauh hari sudah memberi kesaksian dan mencatatnya. Dalam literatur-literatur berbahasa Inggris, ladang disebut “staff of life” (tumpuan hidup) orang Dayak. Seperti dicatat ilmuwan dan antropolog barat, Hedda Morrison dalam bukunya yang terbit tahun 1957, Sarawak.
“Padi, the staff of life,” tulis Hedda sembari menambahkan bahwa padi yang ditanam itu tumbuh di ladang-ladang orang Dayak. Orang Dayak pun dipujinya sebagai manusia yang berbudi pekerti luhur lagi arif dan bijaksana. “It is wasteful method of cultivation. When old jungle is felled the same land will produce good padi for two or three consecutive seasons but the burns destroy all protective vegetation. Heavy rains soon remove the topsoil and the fertility of the land is quickly reduced.”
Hedda sama sekali tidak melihat cara berladang orang Dayak merusak lingkungan, atau mengganggu ekosistem. “If farming can be carried on over a cycle of about 15 years between cuts, the fertility of the soil can be maintained fairly satisfactory. But as the population increase so does the pressure on the land and the cycle may fall to ten, eight or even five years (Hedda, 1957: 45).



Tradisi berladang, kini hanya dilakoni orang Dayak di tempat tertentu. Di mana, lahan masih tersedia dan situasi memungkinkan. Bulan Juni-Juli, saatnya ngabas poya dan menebas. Inilah mula dari sebuah siklus upacara gawai.

4. Ladang dalam Larik-larik Pantun
Buah pantun mengandung kearifan dan filosofi yang sangat dalam. Mengapa? Karena buah pantun merupakan kristalisasi dari proses hidup dan budaya yang sudah berlangsung lama dan dimeteraikan dalam larik-larik sederhana yang mudah diingat. Demikian yang kita saksikan dalam buah-buah pantun orang Dayak yang melukiskan cara hidup (modus vivendi) dan cara berada (modus essendi) masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian, buah pantun dapat dikatakan sebagai “kata kunci”, gagasan pokok (central idea), atau hakikat yang dimunculkan keluar, yang merujuk pada budaya yang dihidupi suatu masyarakat. Manakala buah pantun itu sering muncul, tercerminkan di dalamnya central idea yang apabila diselisik banyak di dalamnya termuat terminologi “ladang”.

Dalam pantun, ada sampiran, dan juga, ada isi. Namun, antara kedua sampiran dan isi harus selalu ada korelasi: yang satu, tidak boleh menyangkal yang lain. Rangkaian pantun orang Dayak mirip silogisme, jalan berpikir (metode) logika untuk menarik kesimpulan dan olah pikir ilmiah yang dikembangkan Aristoteles abad ke-4 sM.
Karena itu, di dalam pantun, sebenarnya terkandung kearifan tradisional. Selain, tentu saja, tergambar di dalamnya proses kreatif dan alur pikir yang sahih dan valid. Kalau alur pikir dalam pantun runtut, maka pemikiran di dalamnya mengandung nilai, yakni nilai kebenaran.

Selain alam pikiran, dari larik pantun, juga dapat ditelusuri sisi sosiologis suatu masyarakat di mana pantun itu hidup dan diperkembangkan. Pantun melukiskan tidak saja suasana, juga struktur sosial, komunikasi, serta kehalusan budi pekerti.
Orang yang lama tidak bertemu (berpandang), misalnya, tentu ingin mengungkapkan sesuatu. Jika lama tidak bertemu, pasti banyak hal yang ingin diungkapkan. Tetapi, kerap isi hati tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu, diam adalah bentuk komunikasi juga, yakni komunikasi nonverbal. Saling pandang, dan itu, sudah cukup mengomunikasikan banyak hal, seperti larik pantun berikut.

Sudah lama tidak ke ladang
Sekarang ini ke ladang lagi
Sudah lama tidak berpandang
Sekarang ini berpandang lagi

Kalau rindu menggebu, dan lama tidak bertemu, bagaimana diungkapkan? Tidak masalah. Orang Dayak punya cara mengungkapkannya lewat pantun.

Sudah lama tidak ke huma
Batang tebu sudah meninggi
Sudah lama tidak berjumpa
Rasa rindu setengah mati

Bagaimana mengungkapkan rindu yang mendendam, sedang orang yang dirindu jauh di seberang? Ketika siaran radio belum merambah hutan Borneo, dan masyarakat adat masih primitif, maka bulan adalah media bertemu. “Oh bulan, sampaikan rinduku!” begitu seseorang yang dimabuk cinta biasa meminta. Biar, pada saat sama, rembulan mengirim pesan rindu pada sang kekasih, agar terasa getar-getar asmara juga. Kalau sekarang, cukup kirim pesan SMS, tidak perlu memandang bulan!

Tapi, seperti sudah diuraikan, pantun adalah cermin budaya suatu masyarakat. Maka, buah-buah pantun jangan pernah punah dari orang Dayak. Kebiasaan berpantun harus terus dipertahankan dan dilestarikan. Sebab, selain mengandung dimensi hiburan, pantun juga mengasah olah pikir. Telusurilah larik pantun pra-dekade 1990-an, berikut ini yang mengusung ‘ladang’ sebagai sampiran.

Sungai keruh, pancur pun keruh
Samalah kita mandi di ladang
Adik jauh, abang pun jauh
Sama kita mabuk kepayang

Waktu adalah pemisah paling tidak disukai, terutama jika rindu yang menggebu, belum cukup terobati. Tapi, waktu jualah yang membuat semburat harapan untuk, suatu waktu, bertemu lagi. Maka ladang kembali diangkat jadi sampiran pantun, kalau hendak berpisah, dan esok berharap dapat berjumpa lagi. Dan orang Dayak pun akan mendendangkan pantun berikut:

Kalau ada sumur di ladang
Boleh kita menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Boleh kita berjumpa lagi

Orang Dayak benar-benar kreatif. Sepatah kata ”ladang”, bisa menjadi sumber inspirasi melahirkan pantun. Larik pantun dengan gagasan pokok “ladang” sekaligus membuktikan bahwa ladang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan orang Dayak.


5. Gawai sebagai Mahkota Berladang
Para antropolog Barat dan peneliti Barat seperti Edwin Gomes (1911) Seventeen Years Among The Sea Dyaks of Borneo dan Ivor Evans, Among Primitive Peoples in Borneo (1922) dalam studinya pernah menautkan hubungan sebab-akibat berladang dan gawai. Mereka mencatat, “This harvest festival (gawai –penulis), gives thanks to the gods and spirits for the bounty of the land. With centuries of tradition behind it, this native ritual involves communication with the spirit world, ancestral worship and feasting with friends and family of the whole community.”

Gawai Dayak, pertama-tama, adalah ungkapan syukur pada “yang di atas”. Dahulu kala, karena masih animis, orang Dayak percaya pada dewa-dewa dan roh-roh. Baru setelah para padri Kapusin masuk tanah Borneo yang masih perawan pada 1905, orang Dayak mengenal Yesus. Tatkala masih animis, orang Dayak menyebut Tuhan sebagai Jubata atau Penompa. Penompa adalah terminologi yang mengacu pada Dia yang telah menjadikan langit dan bumi (menempa = menjadikan).

Lantaran penjadi muka bumi, Jubata, atau Penompa, mesti diberi hati (sesaji). Akhirnya, Ia diberi perhatian dengan pujian, upacara, dan juga pesta. Itulah makna ungkapan di atas, “...for the bounty of the land”. Tidak syak lagi bahwa gawai adalah ungkapan syukur atas tanah dan hasil bumi (karunia) yang telah dilimpahkan Jubata/Penompa.

Sukar diurut dari mana, yang jelas, sejak generasi Dayak pertama ada, pesta gawai sudah ada. Tidak cuma upacara ritual, gawai pun punya sisi penyembahan, sekaligus bentuk komunikasi sosial.

Pada waktu gawai, orang menari kondan dan menyanyi sesuka hati. Saling berbalas pantun, lengkap dengan sampiran dan isi. Dalam berkondan terpancar suka, sekaligus mengandung dimensi pendidikan. Tidak sembarang orang terampil berpantun. Berpantun menuntut tingkat intelektualitas yang tinggi. Bagaimana mungkin pikiran diajak cepat berputar membalas pantun, bila otak tidak encer berdalih? Macam mana bisa menggunakan kata dan kalimat yang memikat, kalau pikiran tidak sehat? Simak contoh pantun berikut ini.
Kami takut pasang bendera
Pasang bendera setengah tiang
Kami takut kawin tentara
Udah kawin ditinggal pulang
Itu adalah contoh pantun yang kerap didaras oleh wanita-wanita Dayak, tahun 1970-1980-an, tatkala ABRI sedang gencar-gencarnya masuk desa. Waktu itu, ramai para tentara mengawini wanita Dayak seenaknya sebagai pelepas dahaga di medan laga. Selepas menunaikan tugas di Tanah Dayak, para tentara meninggalkan pulang wanita Dayak yang malang. Lahirlah buah pantun di atas. Jadi, pantun juga bisa diselisik sejarah dan maknanya. Seperti halnya syair Homeros dan mitologi Yunani mirip dengan pantun dan mitos orang Dayak, indah dan sarat nuansa pendidikan budi pekerti. Bahkan, zaman Yunani kuna, syair (pantun) dijadikan bahan pengajaran mendidik warga Yunani (Hellas).

Pantun dan kearifan tradisional orang Dayak pada akhirnya mengantar kita menarik tali simpul: pasti banyak orang Dayak pintar. Hanya saja, saat ini belum banyak yang muncul ke permukaan. Benihnya sudah ada. Mereka arif bijaksana, terbukti dari mata rantai budaya yang beberapa di antaranya masih hidup hingga hari ini.

Karena itu, mana kini tradisi kondan, berbalas pantun, dan beligo? Disimpan di kotak pandora mana, cerita dan mitos-mitos? Di mana pula tradisi nyidok (pria dan wanita berdekat-dekatan dalam ruang terbuka sebagai awal mencari jodoh)? Di mana pula kebiasan bapangka gasing? (adu gasing) untuk menguji siapa menang dan siapa kalah dengan filosofi berlatih lapang dada? Ya, di mana semua itu? Padahal, mata rantai budaya Dayak itu dahulu kala didapat pada siklus pertanian (dari ngabas poya lahan perladangan hingga usai panen). Kita merasa dahaga kembali pada suasana harmonis dengan alam dan Tuhan. Kita pun rindu kebersamaan dan persaudaraan. Dan kita suka pada keindahan, seperti terekspresi dari tari kondan dan berbalas pantun yang pada zaman dahulu kala dimainkan pada masa siklus perladangan.

Satu dari banyak mata rantai budaya kultivasi padi orang Dayak yang kini masih tersisa ialah pesta gawai (farming feast). Tidak ada masalah jika Dayak Kanayant melangsungkan gawai (Naik Dango) pada 27 April, Dayak Sanggau dan Kapuas Hulu pada 20 Mei, atau Dayak Iban, Bidayuh, dan Ulu di Sarawak-Malaysia pada setiap 1 dan 2 Juni. Yang penting, gawai bermuara pada satu: ungkapan syukur dan penyataan secara lahirah kebersatuan dengan alam semesta.

Sembari menenggak tuak, betabas daging babi dan ayam, ditingkahi cakap senda gurau dan saling menyorongkan buluh ajan (sobangkangk), orang Dayak di hari gawai riang gembira. Lupalah mereka pada kesulitan hidup yang menghimpit. Sejenak mereka larut pada nikmat ragawi.

Akan tetapi, justru di situlah orang Dayak menemukan makna spiritual gawai: boleh mengecap setitik kemuliaan surgawi dari dimensi ragawi tadi. Secercah, dan hanya secercah. Untuk nantinya, di pengujung usia, ada upacara lain lagi. Tiwah namanya di Kalimantan Timur. Upacara terakhir, mengantar jasad manusia kembali pada Sang Khalik.

6. Penutup: Quo Vadis Kebudayaan Dayak?
Sebelum menjawab pertanyaan, “Quo Vadis Kebudayaan Dayak?” (Ke Mana Arah Kebudayaan Dayak?”) perlu disamakan terlebih dahulu apakah yang dimaksudkan dengan ”kebudayaan”. Secara leksikal, kebudayaan mengandung dua pengertian:
(1) hasil kegiatan dan penciptaan (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat;
(2) keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 170).
Sistem (budaya) berladang berpindah-pindah yang dilakukan suku Dayak tradisional tidak merusak alam dan lingkungan hidup, sebab lahan yang sama baru diladangi kembali setelah mencapai siklus 15-20 tahun. Ladang bagi orang Dayak merupakan kata kunci yang vital dalam mata rantai hidup dan budaya, karena itu, banyak upacara ritual dan kebudayaan berhubungan dengan ladang. Dari mulai melihat-lihat bakal lahan yang dijadikan ladang hingga mengantar masuk padi (hasil panenan) ke lumbung, semuanya diawali dan ditandai dengan pesta.
Memang banyak mata rantai ritual dan budaya berladang yang hilang dan tidak dapat dijumpai hari ini. Budaya Dayak, termasuk berladang, hanya mengalami transformasi dan aktualisasi, namun sebenarnya hakikatnya sama saja.
Dengan demikian, pertanyaan ”Quo Vadis Kebudayaan Dayak?” menjadi vital dan aktual, terutama karena akhir-akhir ini, perubahan dunia terus terjadi. Dan di tengah-tengah arus perubahan itu, orang Dayak dan kebudayaannya perlu senantiasa bertransformasi tanpa harus kehilangan identitas dan esensi seperti halnya berladang.
Akan dibawa ke mana kebudayaan Dayak, bergantung masyarakat Dayak itu sendiri. Mau dan sanggupkah orang Dayak, baik sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok, bertransformasi di tengah-tengah arus perubahan zaman tanpa kehilangan identitas dan esensi?
DAFTAR PUSTAKA
Evans, H.N. Ivor. 1922. Among Primitive Peoples in Borneo. London: Seeley-Service & C.O. Limited.
Departemen Pendidikan Nasional – Balai Pustaka. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Djuweng, Spetanus dan Wolas Krenak (editor). 1993. Manusia ayak: Orang Kecl yang Terperangkap Modernisasi. Pontianak: IDRD.
Morrison, Hedda. 1957. Sarawak. Singapore-Kuala Lumpur-Hong Kong: Federal Publications.
Schadee, M.C. 1979. Kepercayaan Suku Dayak di Tanah Landak dan Tayan. Jakarta: Yayasan Idayu.
Jenkins, David. ”Far Eastern Economic Review”, June 1978.

Tidak ada komentar: